Anda di halaman 1dari 7

Trauma Pada Bayi Yang Baru Lahir

Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang
dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat tindakan, cara persalinan atau
gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita sebut sebagai cedera atau trauma lahir.
Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis. Kebanyakan cedera lahir ini
akan menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan adekuat.
Trauma pada bayi baru lahir adalah trauma yang diterima dalam atau karena proses kelahiran.
Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat
dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan clan
kelahiran.
Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau
yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan
kebidanan yang terampil dan kompeten clan sama sekali tidak ada kaitanriya dengan tindakan
atau sikap orang tua yang acuh tak acuh.
Pembatasan trauma pada bayi baru lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi
intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi.
Beberapa kondisi karena trauma pada bayi baru lahir :
1. Trauma pada bayi baru lahir perlukaan kulit.
Kelainan ini mungkin timbul pada persalinan yang mempergunakan alat-alat seperti cunam atau
vakum. Infeksi sekunder merupakan bahaya yang dapat timbul pada kejadian ini. Karena itu,
kebersihan dan pengerigan Wit yang terluka perlu diperhatikan. Bila perlu dapat juga digunakan
obat-obat antiseptik lokal. Biasanya diperlukan waktu 6-8 minggu untuk penyembuhan.
2. Trauma pada bayi baru lahir enitema, ptekiae, abrasi, ekimosis dan nekrosislemak
subkutan.
Jenis persalinan yang sering menyebabkan kelainan mi yaitu presentasi muka clan persalinan
yang diselesaikan dengan ekstraksi cunam clan ekstraksi vakum. Kelainan mi memerlukan
pengobatan khusus dan menghilang pada minggu pertama.
3. Trauma pada bayi baru lahir perdarahan subaponeurotik.

Perdarahan ini terjadi di bawah aponeurosis akibat pecahnya vena-vena yang menghubungkan
jaringan di luar dengan sinus-sinus di dalam tengkorak. Perdarahan dapat terjadi pada persalinan
yang diakhiri dengan alat, dan biasanya tidak mempunyai batas tegas, sehingga kadang-kadang
kepala berbentuk asimetnis. Kelainan ini dapat menimbulkan anemia, syok, atau
hiperbilirubinemia.

Trauma: Deteksi Dini & Penanganan Awal Di Realitas Sosial

A. Pengantar
Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini, seiring itu pula keberagaman
persoalan muncul silih berganti seolah tidak pernah habis-habisnya, seperti konflik, kekerasan,
pertumpahan darah, dsb. Itu belum lagi problematika alamiah seperti bencana alam; gempa
bumi, tsunami, meletus gunung api, tanah longsor, banjir, badai topan, dsb. Keberagaman
peristiwa dan pengalaman yang menakutkan tersebut, selain telah memporak-porandakan kondisi
fisik lingkungan hidup, juga merusak ketahanan fungsi mental manusia yang mengalaminya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam waktu yang singkat dan jangka panjang.
Gambaran peristiwa dan pengalaman yang demikian dalam telaah psikologi dinamakan dengan
trauma.
Berbedanya gejala trauma dalam realitas yang dihadapi manusia perlu ditangani secara bijak oleh
berbagai pilot project, para ahli atau masyarakat secara utuh. Karena itu dengan terdeteksinya
gejala-gejala awal dari suatu peristiwa trauma, maka akan memudahkan kita dalam upaya
pemberian bantuan (konseling) secara baik dan kontinyu. Dalam melakukan konseling trauma,
keberadaan konsep deteksi awal akan menjadi hal yang penting untuk dipahami dan diperhatikan
oleh pemberi bantuan sehingga tergambar berbagai sifat atau jenis trauma yang diderita korban,
seperti trauma ringan, sedang dan berat. Namun, tidak semua peristiwa atau pengalaman yang
dialami manusia itu bermuara pada trauma. Biasanya kejadian dan pengalaman yang buruk,
mengerikan, menakutkan atau mengancam keberadaan individu yang bersangkutan, maka
kondisi ini akan berisiko memunculkan rasa trauma. Sementara, peristiwa dan pengalaman yang
baik atau menyenangkan, orang tidak menganggap itu suatu kondisi yang trauma.
Kondisi trauma (traumatics) biasanya berawal dari keadaan stres yang mendalam dan berlanjut
yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya. Stres adalah suatu
respon/reaksi yang diterima individu dari rangsangan lingkungan sekitar, baik yang berupa
keadaan, peristiwa maupun pengalamanpengalaman, yang menjadi beban pikiran terus menerus

dan pada akhirnya bermuara pada trauma. Untuk menanggulangi keberlanjutan trauma sejak
kanak-kanak hingga dewasa, kiranya perlu segera dilakukan upaya deteksi dini. Sejauh mana
trauma berkembang, bagaimana sifat atau jenisnya. Bila keadaan trauma dalam jangka panjang,
maka itu merupakan suatu akumulasi dari peristiwa atau pengalaman yang buruk dan
memilukan. Dan, konsekuensinya adalah akan menjadi suatu beban psikologis yang amat berat
dan mempersulit proses penyesuaian diri seseorang, akan menghambat perkembangan emosi dan
sosial individu (anak) dalam berbagai aplikasi perilaku dan sikap, seperti dalam hal proses
belajar mengajar (pendidikan) atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu (anak) lainnya
secara luas.
Pengetahuan sekilas itu diharapkan akan menjadi rujukan kita untuk melakukan konseling pasca
trauma. Penanganan kasus traumatik sangat berbeda dengan kasus-kasus penyakit fisik biasa atau
soal kesulitan belajar individu (anak). Penanganan kasus traumatik sangat diperlukan sejumlah
profesional (orang) yang berkualifikasi, terlatih, atau berkepribadian yang baik. Demikian juga
dalam hal penerapan metode dan pendekatan, harus berorientasi pada budaya, tradisi, tata nilai
dan moralitas sosial penderita traumatik. Secara ringkas, tulisan ini akan memberi pemahaman
dan gambaran kepada kita tentang belajar dan pembelajaran trauma; mulai dari konsep trauma,
penyebab terjadinya trauma, jenis-jenis trauma hingga deteksi dini persoalan trauma dan metode
penanga-nannya pasca trauma.
B. Pengertian, Penyebab dan Jenis2 Trauma
1. Pengertian Trauma
Dalam realitas kita sering mendengar atau mengucapkan istilah stres dan trauma. Kondisi kedua
konteks ini diucapkan orang bilamana suatu persoalan yang kita hadapi terjadi berulangulang,
beruntun dan membuat kita tidak berdaya dalam menyikapi, menghadapi dan mengatasinya.
Stres secara umum dapat dipahami sebagai suatu reaksi atau tanggapan (fisik atau psikis)
terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar diri manusia (lingkungan). Stres dapat
berlangsung dalam jangka waktu singkat dan panjang. Stres dalam waktu singkat biasanya dapat
diatasi dengan cara beristirahat, rileks, rekreasi atau berolahraga. Stres ini biasanya terjadi akibat
kecapekan atau kelelahan secara fisik. Namun, bila stres itu berkepanjangan dan tidak dapat
dikendalikan, tubuh dan jiwa tidak punya kesempatan untuk beristirahat, ini biasanya
dikategorikan stres yang bersifat psikologis. Sebagai konsekuensinya adalah akan menimbulkan
dampak negatif pada diri individu, seperti depresi, serangan jantung, sesak nafas, dsb. Kondisi
stres yang berakibat fatal bagi individu (merugikan dan menyakiti) disebut distress (stres buruk),
sedangkan stres yang menyenangkan, memotivasi semangat hidup, meningkatkan etos kerja,
meningkatkan gairah, kreativitas dan prestasi belajar/kerja dinamakan eustress (stres baik).
Sedangkan trauma merupakan reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu
peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas/secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat

individu mengejutkan, kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri, dsb yang tidak mudah
hilang begitu saja dalam ingatan manusia. James Drever (1987) mengatakan trauma adalah
setiap luka, kesakitan atau shock yang terjadi pada fisik dan mental individu yang berakibat
timbulnya gangguan serius. Sarwono (1996), melihat trauma sebagai pengalaman yang tibatiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas (kesan) yang mendalam pada jiwa seseorang yang
mengalaminya. Dari dua pendapat ini, dapat dianalisis bahwa trauma merupakan suatu kondisi
yang tidak menyenangkan atau buruk yang datang secara spontanitas dan merusak seluruh
sendi/fungsi pertahanan kejiwaan individu, sehingga membuat individu tidak berdaya dalam
mengendalikan dirinya.
2. Penyebab terjadinya Trauma
Secara umum, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh berbagai situasi dan
kondisi, di antaranya:
1. Peristiwa atau kejadian alamiah (bencana alam), seperti gempa bumi,
tsunami, banjir, tanah longsor, angin topan, dsb.
2. Pengalaman dikehidupan sosial ini (psiko-sosial), seperti pola asuh yang
salah, ketidak adilan, penyiksaan (secara fisik atau psikis), teror, kekerasan,
perang, dsb.
3. Pengalaman langsung atau tidak langsung, seperti melihat sendiri,
mengalami sendiri (langsung) dan pengalaman orang lain (tidak langsung),
dsb.

3. Jenis & Sifat Trauma


Dalam kajian psikologi dikenal beberapa jenis trauma sesuai dengan penyebab dan sifat
terjadinya trauma, yaitu trauma psikologis, trauma neurosis, trauma psikosis, dan trauma
diseases.
1. Trauma Psikologis:
Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa, yang terjadi
secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan untuk mengontrolnya (loss
control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Ekses
dari jenis trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).
2. Trauma Neurosis:
Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat (otak) individu, akibat
benturan-benturan benda keras atau pemukulan di kepala. Implikasinya, kondisi otak individu

mengalami pendarahan, iritasi, dsb. Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan diri,
hilang kesadaran, dsb. yang sifatnya sementara.
3. Trauma Psychosis:
Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau problema fisik
individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh, dsb. yang menimbulkan
shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya terjadi akibat
bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman/ peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu
timbulnya histeris atau fobia.
4. Trauma Diseases:
Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap sebagai suatu penyakit
yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami individu secara spontan atau berulangulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman, dsb.
Sementara itu, kondisi trauma (traumatic) yang dialami orang (anak, remaja dan dewasa), juga
mempunyai sifatnya masing-masing sesuai dengan pengalaman, peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan rasa trauma, yaitu ada trauma yang bersifat ringan, sedang/menengah dan trauma
berat. Kondisi trauma yang ringan, biasanya perkembangannya tidak berlarut-larut, mudah
diatasi dan hanya dalam batas waktu tertentu saja serta penanganannya tidak membutuhkan
waktu lama, demikian pula halnya dengan kondisi trauma yang bersifat sedang atau menengah.
Namun, jika keadaan trauma yang dialami individu bersifat berat, ini biasanya agak sulit
ditangani dan membutuhkan waktu yang lama dalam penyembuhan. Adapun konseling yang
akan diterapkan dalam kasus ini adalah harus dilakukan secara kontinyu, penuh kesabaran, penuh
keikhlasan dan betul-betul ada kesadaran dari para profesional (orang-orang yang terlatih) untuk
menanganinya secara baik.
C. Deteksi Dini & Upaya Penanganannya
Adalah suatu hal penting yang harus diperhatikan secara komprehensif oleh semua pihak yang
terlibat dalam pemberian bantuan pada penderita traumatik bahwa upaya deteksi (teropong,
observasi, analisis dan pemahaman) terhadap kasus, masalah atau penyakit secara mendalam
merupakan kunci utama dari keberhasilan penanganannya (terapi atau konselingnya).
Bagaimana proses awal terjadinya trauma dan sejauh mana kondisi traumatik menyerang
individu? Konteks ini, kiranya akan memudahkan kita dalam hal pencarian solusi akhir untuk
mengembalikan kondisi normal bagi penderita ganguan kejiwaan secara bertahap dan
berkesinambungan.

Berikut ini adalah beberapa cara atau langkah awal yang perlu diperhatikan dalam rangka
diagnosis awal sebagai upaya penanganannya (terapi) selanjutnya:
1. Planning
Konsep ini merupakan pemikiran dasar dalam rangka menjalankan tugas secara menyeluruh.
Tanpa planning yang tepat, kesulitan akan segera menghadang. Dengan adanya planning, maka
segala sesuatu yang dibutuhkan dalam aplikasi kerja akan berjalan dengan baik dan terfokus.
2. Action
Setelah perencanaan yang matang, maka langkah kerja selanjutnya adalah aksinya (perbuatan).
Dalam aksi, segala hal/masalah yang hendak dianalisis atau dikaji akan menjadi terorganisasi,
sistematis dan terintegrasi, sehingga memperjelas metode, pendekatan dan upaya problem
solving (pemecahan masalah).
3. Controlling:
Konsep ini menjadi penting karena apabila terjadi kekeliruan metode, pendekatan dan konsep
sebagaimana yang telah direncanakan dan diaplikasikan dilapangan maka dapat dikontrol, dan
memungkinkan konselor untuk mengubah cara-cara lain yang sesuai dengan bobot masalah
4. Evaluation:
Kegunaan konsep evaluasi adalah untuk melihat sejauhmana proses perkembangan kesembuhan
traumatik yang diderita oleh individu dalam upaya pemberian bantuan, apakah dilanjutkan atau
dihentikan (bila dianggap sudah normal).
Ringkasnya, teknik ini akan memudahkan konselor, guru, dokter, dsb. dalam upaya diagnosis
awal (deteksi dini) dimulai bagi penderita traumatik. Kemudian baru dilanjutkan dengan tahap
penyembuhan (penanganan). Pada tahap penanganan awal terhadap penderita traumatik, ada
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh konselor, guru, dokter, ulama, tokoh agama, tokoh adat,
dsb., diantaranya:
1. Direct Techniqe Aplication

Pemberian bantuan langsung; chek kesehatan, materi, dll.

Di sini konselor, guru, dokter, tokoh agama, tokoh adat, dsb. diharapkan
harus terlibat langsung mengadakan penanganan korban trauma.

Bagaimana proses penyesuaian diri, interaksi, komunikasi dan sikap para


petugas akan sangat menentukan berhasil tidaknya pemberian bantuan

penyembuhan. Pola kepribadian


penanganan koran trauma.

petugas

adalah

kunci

utama

dalam

Dengan teknik langsung ini, metode self help group akan menjadi efektif,
kohesif dan kreatif, dsb.

2. FGD Techniqe Aplication:

Terapi model ini akan menghasilkan suasana kebersamaan, satu rasa dan
satu tujuan kelompok.

Akan terbentuk persepsi diri dan persepsi sosial secara baik bagi penderita
trauma

Akan terbentuk konsep diri secara baik bagi penderita trauma

Dengan teknik ini akan memungkinkan dilakukan usaha kearah


pengembangan dan pemberdayaan ketrampilan dalam berbagai bentuk;
karya wisata, kegiatan perlombaan, life skill, dsb.

Merujuk pada model penanganan tersebut, yang lebih para pemberi bantuan terhadap korban
trauma mampu menjabarkan empati secara proporsional dan profesional, sehingga penanganan
yang dilakukan dapat memberi hasil maksimal.

Anda mungkin juga menyukai