PENDAHULUAN
1
kondisi psikologis menjadi terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda – beda
pada setiap orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi pada
orang lain dapat menyebabkan trauma mendalam. Terkadang trauma menyebabkan seseorang
tidak mampu menjalankan kesehariannya seperti yang biasanya dilakukan, bayangkan akan
peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak
mampu untuk mengatasinya (Koentra, 2016).
Jika berbicara tentang tindak kekerasan atau trauma, ada suatu hal istilah yang dikenal
sebagai post traumatic stress disorderatau PTSD (gangguan stres pasca trauma) yaitu gangguan
stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang
dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain – lain (Koentra,
2016).
Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak
hanya terbatas pada pemberian asuhan di rumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu
bekerja dalam kondisi siaga tangap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan
keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan
teknik dalam menghadapi kondisi seperti ini (Anggi, 2010).
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan
oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang
perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk (Anggi, 2010).
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang trauamtic pada penderita yang mengalami bencana alam.
2
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah sebagai bahan referensi untuk mahasiswa yang mencari
tentang materi traumatic setelah bencana.
3
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 TRAUMA
2.1.1 Definisi Trauma
Trauma merupakan keadaan dimana seseorang mengalami gangguan baik fisik
maupun psikologis akibat kejadian/pengalaman yang cukup mengerikan dan
membuat mereka tidak berdaya. Trauma juga sering dikaitkan dengan kondisi
seseorang yang terpuruk akibat pengalaman pahit yang menimpanya (Nirwana,
2012)
Trauma merupakan suatu kejadian fisik atau emosional yang cukup serius
yang mengakibatkan kerusakan dan ketidakseimbangan secara substansial terhadap
fisik dan psikologis seseorang dalam jangka waktu yang relatif lama. Sementara
trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak
akibat kejadian di lingkungan individu yang melampaui batas kemampuannya untuk
bertahan, mengatasi atau menghindar (Nirwana, 2012)
Di samping itu trauma merupakan suatu kondisi emosional yang terus
berlanjut setelah suatu kejadian trauma yang tidak menyenangkan, menyedihkan,
menakutkan, mencemaskan dan menjengkelkan. Trauma psikis terjadi ketika
seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan rasa tidak
berdaya dan dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian dan
pengalaman yang traumatis adalah berusaha menghilangkannya dari kesadaran,
namun bayangan kejadian itu tetap berada dalam memori. Konseling traumatik
menjadi kebutuhan yang urgen untuk membantu para korban mengatasi beban
psikologis yang diderita akibat bencana gempa dan tsunami. (Pusat Konseling
Trauma, 2018).
2.1.2 Ciri-Ciri Peristiwa Traumatis
1. Terjadi secara tiba-tiba.
2. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
3. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
4. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat
membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan (Martam,
2009).
4
Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena
tidak pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan
takut dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya.
Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut
sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma (Martam,
2009).
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung (Martam,
2009).
2.1.3 Respon Trauma
2.1.3.1 Pada umumnya respon yang muncul:
1. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti
mencengkeram, atau ingatan lainnya tentang traumanya
2. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
3. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa traumatis karena
sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
4. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
5. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan
ingatan tentang peristiwa traumatis (Martam, 2009).
2.1.3.2 Perubahan perasaan yang dialami antara lain:
1. Cepat sedih
2. Cepat marah
3. Ingin menangis
4. Merasa bersalah
5. Merasa tidak berdaya
6. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
7. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya(Martam, 2009).
2.1.3.3 Perubahan perilaku yang terjadi antara lain:
1. Lebih banyak menyendiri
2. Gemetar
3. Tidak mau keluar rumah
4. Mudah tersinggung
5
5. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk, susah tidur atau
justru terlalu banyak tidur.
6. Gelisah
7. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
8. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan,
atau justru terlalu banyak makan
9. Mudah merasa was-was
10. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
11. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
12. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
13. Sesak napas(Martam, 2009).
Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang
seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila
perubahan tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu
kehidupan kita sehari-hari (Martam, 2009).
2.2 Tindakan Psikologis
2.2.1 Konseling CBT
1. Definisi
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada konseli
(individu yang membutuhkan) dalam rangka menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Adapun konseling CBT adalah konseling yang menggunakan
pendekatan CBT dalam menyelesaikan masalahnya (Rimayati, 2019).
Cognitive-Behavioral Therapy menggabungkan dua jenis psikoterapi yang
sangat efektif, yaitu terapi kognitif dan terapi perilaku. Tingkah laku terapi,
berdasarkan pada teori pembelajaran, membantu klien melemahkan koneksi
antara pikiran dan situasi yang menyusahkan dan reaksi kebiasaan terhadap
mereka. Terapi kognitif mengajarkan klien bagaimana pola berfikir mereka
menjadi penyebab kesulitan mereka, dengan memberi mereka gambaran yang
menyimpang dan membuat mereka merasa cemas, tertekan atau marah. Ketika
digabungkan dalam CBT, terapi prilaku dan terapi kognitif menyediakan alat
yang kuat untuk mengurangi gejala dan membantu klien melanjutkan fungsi
normal. Pendekatan kognitif telah ditemukan sebagai kerangka kerja yang cocok
untuk terapi trauma karena pengalaman traumatis biasanya menghambat proses
emosional yang bertentangan dengan skema kognitif yang sudah ada
sebelumnya (Rimayati, 2019).
2. Pelaksanaan Konseling CBT
6
Ada enam tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
a. Pertama, engange client (bekerjasama dengan klien/konseli), yaitu
bekerjasama dalam menciptakan hubungan yang hangat, penuh empati dan
sikap penghargaan, sehingga mereka merasa ditemani dan diterima. Dalam
kondisi penuh penerimaan dan penghargaan ini konselor akan mudah dalam
memberikan intervensi mengubah pemikiran-pemikiran negatif mereka, dan
mengorientasikannya pada pemikiran positif untuk bisa mengambil hikmah
dari peristiwa traumatik yang dialaminya (Rimayati, 2019).
b. Kedua, assess the problem, person and situation (asesmen terhadap
permasalahan, orang dan situasi). Pada tahap ini konselor melakukan
penilaian terhadap masalah traumatik yang dihadapi individu beserta situasi
yang melingkupinya. Penilaian harus didasarkan pada kondisi gangguan
traumatik tiap-tiap individu, mengingat setiap individu memiliki perbedaan
tingkat terhadap respon ketika menghadapi bencana. Penilaian ini juga
dimaksudkan untuk mendapatkan riwayat pribadi dan sosial para korban,
menilai tingkat keparahan masalah traumatiknya, menilai setiap faktor
kepribadian yang relevan dan menilai apakah ada gangguan sekunder yang
menyertai serta bagaimana perasaan mereka terhadap hal ini. asesmen dan
diagnosis ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang benar tentang
kondisi para korban sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memberikan
bantuan dalam pemulihan gangguan traumatiknya (Rimayati, 2019).
c. Ketiga, prepare the klien for therapy (mempersiapkan konseli untuk
melakukan terapi). Pada tahap ini konselor mempersiapkan konseli (individu
yang mengalami gangguan traumatik) untuk melakukan terapi melalui
konseling CBT. Konselor dan konseli menyepakati bersama tentang tujuan
yang ingin dicapai dalam proses konseling. Dalam konseling CBT tujuan
yang ingin dicapai adalah terjadinya perubahan kognitif/pemikiran dan
perilaku yang maladaptif dan disfungsional dari konseli, sehingga mereka
dapat kembali menjalani kehidupannya secara sehat (fisik dan psikhis) dan
mandiri. Untuk mencapai tujuan ini konselor terus memberikan motivasi
kepada konseli untuk berubah. Dasar-dasar Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) diperkenalkan, dan dijalaskan. Konselor memberikan penjelasan
bagaimana pemikiran-pemikiran dan perilaku maladaptif akibat traumatik itu
justru merugikan mereka, berdampak negatif bagi kehidupan mereka baik
jangka pendek maupun jangka panjang, untuk itu harus dirubah. Konselor
kemudian menjelaskan bagaimana cara merubah pemikiran dan prilaku
7
maladaptif tersebut. Konselor dan konseli berdiskusi bersama tentang
pendekatan dan langkah-langkah yang akan diambil dalam merubah
pemikiran dan perilaku mereka. Hasilnya dijadikan kesepakatan bersama dan
menjadi program terapi yang akan dilaksanakan bersama (Rimayati, 2019).
d. Keempat, implement the treatment programe (mengimplementasikan
program penanganan). Pada tahap ini konselor mulai mengimplementasikan
program yang telah disepakati bersama yaitu melakukan langkah-langkah
dalam proseskonseling traumatik dengan CBT. Konselor melakukan
identifikasi terhadap pemikiranpemikiran mereka yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pemikiran itu tidak rasional dan mengajak
mereka untuk melawan pemikiran tersebut, kemudian mengajari mereka
keterampilan untuk mengubah keyakinankeyakinannya yang keliru yang
mengganggu emosi dan aktifitas mereka. Konselor memberikan intervensi
melalui pengembangan CBT untuk mengurangi ketakutan, kecemasan,
keputus asaan, dan ketidakberdayaan serta keyakinan-keyakinannya yang
maladaptif. Kenselor juga memberikan intervensi modifikasi cara
berperilaku. Mengajari mereka keterampilan keteranpilan cara mengubah
perilaku. Pada intervensi tingkah laku, konseli diajak untuk melakukan
pembelajaran, pengkondisian serta membuktikan pengalaman traumatisnya.
Pada tahap ini konselor bisa memberikan strategi dan teknik tambahan yang
sesuai misalnya pelatihan relaksasi dan pelatihan keterampilan interpersonal
(Rimayati, 2019).
e. Kelima, evaluative progres (mengevaluasi kemajuan). Pada tahap ini
konselor melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana kemajuan yang telah
dicapai konseli dalam hal perubahan kognitif dan perilakunya. Apakah
keyakinan keyakinan yang maladaptif dan disfungsional akibat traumatiknya
telah berubah menjadi keyakinan-keyakinan yang positif? Apakah tingkah
lakunya juga telah berubah menjadi tingkah laku yang wajar sebagaimana
tingkah laku individu yang sehat psikolologisnya? Jawaban atas dua
pertanyaan ini menunjukkan perubahan yang telah dicapai konseli (Rimayati,
2019).
f. Keenam, prepare the client for termination (Mempersiapkan konseli untuk
mengakhiri proses konseling). Pada tahap ini konselor menyampaikan
tentang pentingnya konseli memiliki keterampilan dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah secara mandiri. Sebelum sesi konseling berakhir,
8
konselor memberikan penguatan terhadap hasil yang telah dicapai (Rimayati,
2019).
2.2.2 Sekolah Petra (Penanganan Trauma)
1. Definisi Sekolah Petra (Penanganan Trauma)
Sekolah Petra (Penanganan Trauma) adalah program pendidikan yang
komperhensif, menangani permasalahan emosional, intelektual, dan spiritual
bagi anak-anak korban bencana alam (Nugroho dkk, 2012).
Sekolah Petra merupakan suatu sistem terpadu untuk pemulihan trauma
pada korban anak-anak bencana alam. Sistem ini meliputi empat aspek potensi
dalam diri anak, yaitu aspek fisik, emosional, spiritual dan intelektual. Selain
itu sekolah petra ini juga memiliki pengajar yang profesional khususnya dalam
psikologi (Nugroho dkk, 2012).
2. Tujuan Sekolah Petra (Penanganan Trauma)
Program Sekolah Petra bertujuan untuk memberikan panduan kepada
rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, ataupun relawanrelawan yang terjun
langsung menangani korban bencana, khususnya menangani anakanak, agar
dapat melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan perkembangan kepribadian
dan tingkat traumatis anak. Pembentukan sekolah Petra dengan kurikulum
yang terstruktur, disertai pengamatan perkembangan anak-anak korban
bencana alam ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu mampu
menghilangkan trauma dan memulihkan kondisi anak serta meningkatkan
kualitas diri mereka (Nugroho dkk, 2012).
3. Pelaksanaan Sekolah Petra (Penanganan Trauma)
Program Sekolah Petra memiliki beberapa tahapan dalam menangani
trauma pada anak-anak korban bencana alam antara lain:
a. Tahap pertama, langkah awal program ini adalah identifikasi masalah, yaitu
mengumpulkan data korban anak-anak yang meliputi usia, jenis kelamin,
kondisi fisik, dan kondisi keluarganya melalui survei lapangan atau
wawancara kepada korban bencana (Nugroho dkk, 2012).
b. Tahap kedua, melakukan spesifikasi masalah. Setelah data terkumpul maka
anak-anak korban bencana alam dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
sesuai kriteria-kriteria dari masingmasing anak yang memiliki kurang lebih
kriteria yang sama ataupun mirip (Nugroho dkk, 2012).
c. Tahap ketiga, setelah identifikasi dan spesifikasi masalah, tahap ketiga
adalah penanganan trauma disesuaikan dengan permasalahan yang dimiliki
anak. Penanganan ini memiliki empat titik poin dalam pencarian solusi
9
masalah trauma, yaitu fisik, emosional, intelektual dan spiritual. Karena
keempat titik poin tersebut merupakan prinsip keseimbangan dalam hidup
manusia. Dengan pemulihan fisik diharapkan korban mampu menerima
pembinaan dan penanganan tahap selanjutnya. Titik poin dalam pencarian
masalah dengan fisik misalnya jika ada korban yang terluka atau cacat akibat
bencana solusinya untuk anak adalah dengan memberikan semangat dan
motivasi dan juga memberikan sesuatu yang bisa membuat korban bisa tetap
sehat dan kuat (Nugroho dkk, 2012).
2.2.3 Trauma Healing
1. Teknik Relaksasi UntukAnak
Menurut Karimah, 2014 bahwa Teknik ini dapat membantu anak-anak
menjadi rileks dan nyaman dengan tubuh dan jiwa mereka. Teknik ini bisa
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Sensor tubuh
Suatu upaya untuk mendorong mereka menyadari bagian dari tubuhnya
dan memberikan sugesti yang baik bahwa tubuh mereka itu sehat dan
kuat. Hal ini membiasakan anak-anak untuk dapat mengendalikan
tubuhnya, sehingga mental mereka menjadi kuat.
b. Menghirupbunga
Teknik ini bertujuan menstimulasi anak untuk menghirup oksigen dan
nitrogen monoksida yang dibutuhan oleh tubuh, dapat menenangkan
pikiran dan jiwa. Kegiatannya berupa mengajak anak- anak untuk
menyebutkan nama bunga yang harum kemudian mengimajinasikan
bentuk, warna, danharumnya.
c. Penghakau singa
Teknik ini memiliki tujuan untuk mengeluarkan emosi dan berteriak
sekencang-kencangnya atas perasaan mereka yang terpendam, melalui
cerita singa yang mengganggu desa mereka. Cerita singa ini bisa dibuat
sendiri olehrelawan.
d. Mengeluarkanracun
Teknik mengeluarkan racun bisa dilakukan dengan cara menghirup nafas
dan mengeluarkan nafas sambil membayangkan sebuah udara hitam yang
harus mereka keluarkan dari dalam tubuh mereka.
e. Doa dan sholawat
Mengajak anak-anak untuk berdoa dan bershalawat bersama sambil
memegang dada-dada.
10
f. Menyanyikan lagu
Ajak anak-anak untuk berbaring dan memejamkan mata lalu nyanyikan
mereka lagu lembut sebagai penghantar tidur.
g. Membentukbenda
Teknik ini merupakan modifikasi dari progressive muscle untuk
menstimulasi batang otak, agar kembali memiliki kontrol terhadap otot-
otot tubuh. Dilakukan dengan cara mengajak anak-anak bergerak
kemudian berjalan pelan dan membayangkan menjadi benda sesuai
dengan sifat bendatersebut.
h. Tempatrahasia
Tempat rahasia adalah teknik meminta anak-anak untuk menggambarkan
sebuah tempat lewat selembar kertas dan pensil, kemudian cobalah
mengajak mereka untuk menceritakan tempat tersebut. Setelah itu beri
tahu mereka bahwa kita akan mengajak mereka melalui sebuah imajinasi.
i. Guabertingkat
Sama seperti yang sebelumnya, coba ajak anak-anak untuk melakukan
perjalanan ke sebuah gua bertingkat tiga sambil meminta mereka untuk
melakukan beberapa gerakan sebelum sampai ke tempat tujuan. Gerakan
tersebut bisa berupa melompat, menghirup nafas, melirik, mengangkat
batu, menginjak, dan lain sebagainya sampai akhirnya mereka sampai di
gua tingkat tiga.
j. Imajinasi denganawan
Ajak anak-anak untuk pergi ke ruangan terbuka sambil tiduran serta
melihat awan di langit. Setelah itu suruhlah mereka untuk menebak
bentuk awan mana yang mirip dengn kuda, boneka salju atau benda-
benda lainnya.
2. Teknik Mengekspresikan Emosi untukAnak
a. Melepas balonimajiner
Tanyakan pada anak-anak mengenai emosi negatif yang mereka miliki,
lalu mintalah anak-anak untuk membayangkan sebuah balon kemudian
meniupnya dan memasukan emosi negatif tersebut ke dalam balon.
Balonpun dengan ikhlas diterbangkan ke langit bersama dengan emosi
negatif yang selama initerpendam.
b. Menyimpanemosi
Teknik menyimpan emosi ini memerlukan sebuah kardus atau kaleng
bekas, pensil, dan kertas. Mintalah pada anak-anak untuk menuliskan
11
emosi negatif yang mereka rasakan kemudian buang bersama emosi
negatif itu ke dalam kardus atau kaleng yang sudah disediakan.
c. Mengatasiflashback
Jika anak-anak mengalami flashback (misalnya tangan berkeringat, tiba-
tiba sakit kepala, mulut terasa kering, tempo nafas lebih cepat, panik)
saat mendengar sesuatu yang mengingatkan mereka akan kejadian yang
traumatik, itu tandanya sedang mengalami gejala stres selepas trauma
(GSST). Anak kehilangan orientasi waktu, yang perlu dilakukan adalah :
gunakan kesadaran akan perbedaan waktu. Lakukan dan katakan: Nama
saya (sebutkan nama), saat ini saya sedang mengalami gejala trauma.
Injakkan kaki anda secara bergantian ke tanah (ini akan memberikan
perasaan anak masih memiliki kekuatan mengontrol badan). Sekarang
tanggal (sebutkan tanggal) saya ada di (sebutkan nama tempat), saya
sedang melakukan (sebutkan nama kegiatan). Tarik nafas dalam dan
hembuskan perlahan-lahan beberapa kali hingga pola nafas
normalkembali.
3. Teknik Rekreasional
12
Kegiatan bermain bebas dapat meningkatkan kemampuan ekspresi
diri anak. Permainan berstruktur yaitu permainan yang memiliki tujuan,
metode dan aturan yang dapat mengajarkan nilai-nilai tertentu seperti
berbagi dan kerja sama. Karena bentuknya yang terstruktur, maka bisa
dilakukan persiapan sehingga dalam pelaksanaannya dapat lebih tertib dan
teratur.
e. Olahraga
Olahraga memberikan kesegaran dan menyalurkan energi anak
dengan cara yang positif. Olahraga melatih kemampuan bergerak dan
meningkatkan kekuatan otot.
4. TeknikEkspresif
a. TeknikMenulis
Menulis memiliki kekuatan katartif (pelepasan emosi). Dengan tulisan,
seseorang akan dapat menenangkan pikirannya, melepaskan ketegangan,
menguraikan kebingungan dan membuka alur baru dalam hidupnya.
Teknik menulis tepat untuk anak usia 10 tahun hingga remaja akhir (19
tahun) bahkan bisa juga untuk orang dewasa.
b. TeknikMenggambar
a) Menggambarbebas
13
mengetahui dan mengarahkan harapan anak.
d) Menggambarkata
Menggambar kata adalah meminta anak untuk menggambarkan kata
yang paling mereka sukai ke dalam wujud gambar.
e) Memberijudul
Setelah semua gambar terbentuk mintalah anak untuk memberikan
judul pada setiap gambar tersebut.
f) Menggambarperasaan
Kegiatan menggambarkan perasaan bertujuan untuk
mengidentifikasikan, memberi nama dan menyatakan emosi anak- anak,
karena anak-anak terkadang sulit untuk menyebutkan sebuah ekspresi
perasaan yang dia rasakan.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma merupakan keadaan dimana seseorang mengalami gangguan baik
fisik maupun psikologis akibat kejadian/pengalaman yang cukup mengerikan
dan membuat mereka tidak berdaya. Trauma juga sering dikaitkan dengan
kondisi seseorang yang terpuruk akibat pengalaman pahit yang menimpanya.
Dari penatalaksanaan trauma ini sendiri yaitu CBT (Cognitive-Behavioral
Therapy) menggabungkan dua jenis psikoterapi yang sangat efektif, yaitu
terapi kognitif dan terapi perilaku , Trauma healing, Sekolah Petra
(Penanganan Trauma) adalah program pendidikan yang komperhensif,
menangani permasalahan emosional, intelektual, dan spiritual bagi anak-anak
korban bencana alam.
3.2 Saran
Penulis menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami materi mengenai
bank sampah yang ada di dalam makalah ini. Bagi pembaca dan mahasiswa
lain yang ingin mengetahui dan memahami lebih dalam lagi mengenai materi
ini, maka dapat menjadikan makalah ini sebagai referensi. Penulis juga
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini
selanjutnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Utari Nugroho, Nurulia Unggul P.R, Nur Shinta Rengganis, Putri Asmita Wigati.2012.
Sekolah Petra (Penanganan Trauma) Bagi Anak Korban Bencana AlamJurnal Ilmiah
Mahasiswa, Vol. 2 No.2. Semarang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegor
Elfi Rimayat. 2019. Konseling Traumatik Dengan CBT: Pendekatan dalam Mereduksi
Trauma Masyarakat Pasca Bencana Tsunami di Selat Sunda. Semarang : Indonesian
Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application
Resa Karimah. 2014. Trauma Healing Oleh Muhammadiyah Disaster Management Center
Untuk Anak Korban Bencana. Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
16
17