Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK PSIKOLOGIS BENCANA

Disusun Oleh:
Melina Cecilia Tarigan (032017065)
Graicia Sihombing (032017068)
Lucia Cindy Situmorang (032017116)

PRODI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKES SANTA ELISABETH MEDAN
T. A 2020/ 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Dampak Psikologis Bencana”.
Makalah yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan.
Kami yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, karena kami menyadari
bahwa kami masih kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari
segi penyusunan, pengolahan maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah
ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca kepada
kami agar dalam penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada teman – teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerjasama demi
tersusunnya makalah ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras
akhirnya dapat mengatasi kesulitan – kesulitan dan terwujudlah makalah yang
sederhana ini.

Penyusun

Kelompok 1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam atau faktor non alam maupun faktor sosial. Sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Bencana sering dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu (1)
bencana alam yaitu bencana yang disebabkan oleh faktor alam seperti gempa
bumi, tsunami, gunung, meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. (2) bencana nonalam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, serta (3) bencana sosial yaitu yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.
Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan
antara hilangnya kekayaan pribadi, dukungan sosial, dan kesehatan fisik dengan
meningkatnya stress psikologis pasca bencana. Dampak bencana menurut Gregor
(2005) sangat terasa pada sebagian orang akibat kehilangan keluarga dan sahabat,
kehilangan tempat tinggal, dan harta benda, kehilangan akan makna kehidupan
yang dimiliki, perpindahan tempat hidup serta perasaan ketidakpastian karena
kehilangan orientasi masa depan, serta keamanan personal.
Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi
dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek
yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut,
rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa. Pada
sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya waktu.
Namun pada sebagian yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung
lebih lama berupa trauma dan problem penyesuaian pada kehidupan personal,
interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana (Ehrenreich dan McQuaide
dalam Retnowati, 2012). Gejala-gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan
sumber distres dan dapat mempengaruhi kemampuan penyintas bencana untuk
menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan
penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam kehidupan
dengan baik (Retnowati, 2012).

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa/I dapat mengidentifikasi dampak psikologis dari bencana
dan dapat memberikan intervensi kepala korban bencana.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Dapat mengetahui tentang reaksi stress pada bencana.
2. Dapat mengetahui tentang penanganan terhadap reaksi bencana.
3. Dapat mengetahui tentang respon psikologis pada bencana.
4. Dapat mengetahui tentang prinsip dasar penanggulangan masalah
psikologis.
5. Dapat mengetahui upaya kesehatan mental.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Reaksi Stres Pada Bencana


Untuk membantu orang yang selamat kita harus menyadari bahwa
kebanyakan reaksi stres terhadap bencana adalah normal. Reaksi stres yang ringan
sampai sedang dalam situasi darurat dan fase awal dari bencana prevalensinya
tinggi karena orang-orang yang selamat (keluarganya, komunitasnya, dan anggota
penyelamat) betul-betul memahami bahaya yang dahsyat yang berhubungan
dengan peristiwa bencana (Harmono, 2016).
Reaksi stres pada bencana dapat dikatakan diklasifikasikan ke dalam
empat dimensi yaitu dimensi mental/perasaan, fisik, pemikiran, dan perilaku.
Berikut di bawah ini adalah uraiannya, diantaranya :
1. Reaksi Stres Situasional
Reaksi stress pada bencana yang dapat dilihat dari aspek emosional
meliputi: lumpuh mental, gangguan tidur, ingat kembali rasa ketakutan,
ketakutan merasa sendiri, merasa asing, gelisah depresi, marah, rasa
berdosa karena bertahan hidup.

2. Rekasi Stres Fisik


Reaksi stress fisik pada bencana ditunjukan dengan keluhan
seperti: sakit kepala, lemas di kaki – tangan, merasa lelah, tenggorokan
serak, nyeri otot, nyeri dada, mual, diare, kurang nafsu makan, gangguan
pernafasan, menggigil, kepala terasa panas, kedinginan, gemetar, pusing
serasa berputar, kesemutan, alergi, influenza. Ini menunjukkan berbagai
macamreaksi stress fisik. Dari gejala-gejala di atas ini, dapat dipahami
bahwa reaksi-reaksi tersebut dapat menyebar ke seluruh tubuh.

3. Reaksi Stres Kognitif


Reaksi stress kognitif pada bencana antara lain: susah
berkonsentrasi, daya pikirnya lumpuh, kacau, apatis, kehilangan ingatan
jangka pendek, kemampuan mengambil keputusan dan pertimbangan
menurun, tidak dapat menentukan pilihan dan urutan prioritas.

4. Reaksi Stres Perilaku


Reaksi stress perilaku pada bencana adalah kemarahan meledak,
tingkah laku yang berlebihan/kekerasan, menarik diri dari pergaulan sosial
(menyendiri), frekuensi minum minuman keras dan rokok meningkat,
berperilaku seperti anak kecil, berkelahi, bermasalah dengan anggota
keluarga, terisolasi dari masyarakat/komunitas, anoreksia (mnolak makan
dan bulimia (makan berlebihan). Ini menunjukkan berbagai macam reaksi
stres perilaku.

2.2. Penanganan Terhadap Reaksi Stres


Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah stress
pada bencana, yaitu:
1. Menceritakan pengalaman bencana diri sendiri dan mendengarkan
pengalaman orang lain
2. Mencurahkan perasaan dan jangan memancamnya
3. Bernafas dalam rileks, kontak fisik
4. Lakukan olahraga dan mengendorkan ketegangan
5. Mencari kesenangan/ hobi
6. Jangan menghibur hati degan minuman keras
7. Gizi seimbang
8. Mmebuat perencanaan dan tidak memaksakan diri
9. Tidak menyalahkan diri sendiri
10. Tidak menanggung kesedihan sendiri
11. Meminta pertolongan

2.3. Respon Psikologi Pada Bencana


Respon psikologis individu dan masyarakat terkait bencana melewati fase
predisaster, impact/inventory, heroik, honeymoon, disillusionment dan
reconstruction.
1. Predisaster
Saat ini situasi normal, belum terjadi bencana. Dengan atau tanpa
peringatan dini, bisa ada persiapan menghadapi bencana yang akan terjadi.

2. Impact/ Inventory
Saat ini dimulai ketika bencana terjadi. Ada bantuan dari orang lain
untuk menolong dirinya sehingga individu merasa diperhatikan dan ada
semangat menata kembali kehidupannya. Sementara itu, di sisi lain,
mereka merasa tertekan atau bingung atas kejadian bencana ini. Tapi
kemudian dengan cepat akan pulih dan berfokus pada perlindungan untuk
dirinya dan orang-orang terdekatnya. Emosi yang muncul berupa
ketakutan, tidak berdaya, kehilangan, dislokasi dan kemudian merasa
bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang lebih (fase inventory).
Kemudian setelah bencana terjadi, muncul gambaran awal kondisi
individu dan masyarakat.

3. Heroik
Pada fase pertama dan berikutnya, orang merasa terpanggil untuk
melakukan aksi heroik seperti menyelamatkan nyawa dan harta orang lain.
Altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa
memperhatikan diri sendiri) menonjol. Bersedia membantu orang lain
untuk bertahan dan pulih.

4. Honeymoon
Biasanya 1 mingggu – 6 bulan setelah bencana. Untuk yang
terkena langsung biasanya ada strong sense akan bahaya lain, situasi
katastropik. Komunitas biasanya ada kohesi dan kerjasama untuk pulih.
Bantuan biasanya sudah berjalan lancar, ada harapan yang tinggi untuk
cepat pulih. Emosi yang muncul biasanya rasa syukur dan harapan-
harapan.
5. Disillusionment
Biasanya dialami selama 2 bulan – 2 tahun setelah bencana terjadi.
Realita pemulihan sudah ditetapkan. Orang-orang akan merasa kecewa,
frustasi, marah, benci dan kesal jika terjadi kemunduran dan janji bantuan
tidak terpenuhi, terlalu sedikit atau terlambat. Lembaga bantuan dan
relawan mulai hilang, kelompok masyarakat lokal mulai melemah. Mereka
yang paling terkena dampaknya akan sadar bahwa banyak hal yang harus
dilakukan sendiri dan kehidupan mereka tidak selalu sama. Perasaan
kebersamaan akan mulai hilang karena mulai fokus pada membangun
kembali kehidupannya sendiri dan mengatasi masalah individual. Emosi
yang muncul berupa keraguan, kehilangan, kesedihan dan isolasi.

6. Reconstruction
Biasanya berlangsung selama bertahun-tahun setelah bencana.
Mereka yang bertahan mempunyai fokus perhatian pada membangun
kembali rumahnya, bisnis, ladang dan kehidupannya. Muncul bangunan-
bangunan baru, perkembangan program-program baru, dan rencana
meningkatkan kepercayaan dan kebanggan masyarakat dan kemampuan
individu untuk membangun kembali. Namun proses ini ada pasang
surutnya, misal ada peristiwa-peristiwa lain yang memicu reaksi
emosional atau kemajuan yang tertunda.

2.4. Dampak Psikologis Pada Bencana


Adapun dampak psikologis pasca bencam dikategorikan menajdi
beberapa, diantaranya adalah:
1) Distres Psikologis Ringan
Individu dikatakan mengalami distress psikologis ringan bila
setelah bencana merasa cemas, panik dan terlalu waspada. Pada situasi ini
terjadi natural recovery (pemulihan alami) dalam hitungan hari/minggu.
Orang orang dengan kondisi distress psikologis ringan tidak butuh
intervensi spesifik. Hal ini akan tampak pada sebagian besar
survivor/korban yang selamat.
2) Distres Psikologis Sedang
Bila individu merasa cemas menyeluruh, menarik diri dan
mengalami gangguan emosi maka kita kategorikan mengalami distress
psikologis sedang. Pada kondisi ini natural recovery membutuhkan waktu
yang relatif lebih lama, bahkan dapat berkembang menjadi gangguan
mental dan tingkah laku yang berat. Orang dengan kondisi distress
psikologis sedang membutuhkan dukungan psikososial untuk natural
recovery.

3) Gangguan Tingkah Laku dan Mental yang Berat


Situasi ini terjadi bila individu mengalami gangguan mental karena
trauma atau stress seperti PTSD (Post Traumatic Sindrome Disorder),
depresi, cemas menyeluruh, fobia, dan gangguan disosiasi. Gangguan
tingkah laku dan mental yang berat ini jika tidak dilakukan intervensi
sistemik akan mudah menyebar. Keadaan ini membutuhkan dukungan
mental dan penanganan oleh mental health professional.
Para peserta didik, uraian diatas memberikan kita gambaran bahwa
respon psikologis pasca bencana bisa terjadi pada siapa saja, dari intensitas
ringan sampai berat. Kita sebagai perawat, merupakan kelompok terbesar
dari tenaga kesehatan berkomitmen, sering bekerja dalam situasi
sulitdengan sumber daya terbatas, memainkan peran penting ketika
bencana terjadi, menjabat sebagai responden pertama, petugas triase dan
penyedia layanan, koordinator perawatan dan jasa, penyedia informasi
atau pendidikan, dan konselor. Namun, sistem kesehatan dan pelayanan
kesehatan pada situasi bencana hanya berhasil bila perawat memiliki
kompetensi atau kemampuan untuk secara cepat dan efektif merespon
bencana.

2.5. Prinsip Dasar Penanggulangan Masalah Psikologis


Dibawah ini adalah uraian tentang prinsip dasar penanganan menghadapi
respon psikologis pasca bencana. Menurut WHO, ada beberapa hal yang harus
kita pahami dan kita persiapkan terlebih dahulu sebelum menangani masalah
psikologis pasca bencana, yaitu:
1. Lakukan persiapan sebelum emergency
2. Lakukan assessment
3. Upayakan kolaboratif dengan tim kesehatan lain
4. Integrasikan dalam primaru health care
5. Berikan akses pelayanan untuk semua
6. Siapkan pelatihan dan pengawasan
7. Rumuskan perspektif jangka panjang penanganan
8. Tetapkan indikator pantauan

2.6. Upaya Penanganan Kesehatan Mental


Dalam menangani dampak bencana terhadap aspek kesehatan mental
diperlukan dua intervensi utama, yaitu :
1. Intervensi Sosial
Tersedianya akses terhadap informasi yang bisa dipercaya dan
terus menerus mengenai bencana dan upaya-upaya yang berkaitan,
memelihara budaya dan acara-acara keagamaan seperti upacara
pemakaman, tersedianya akses sekolah dan aktivitas rekreasi normal untuk
anak-anak dan remaja, partisipasi dalam komunitas untuk orang dewasa
dan remaja, keterlibatan jaringan sosial untuk orang yg terisolasi seperti
anak yatim piatu, bersatunya kembali keluarga yang terpisah, shelter dan
organisasi komunitas untuk yang tidak punya tempat tinggal, keterlibatan
komunitas dalam kegiatan keagamaan dan fasilitas masyarakat lainnya.

2. Intervensi Psikologis dan Psikiatrik


Terpenuhinya akses untuk pertolongan pertama psikologis pada
pelayanan kesehatan dan di komunitas untuk orang-orang yang mengalami
distress mental akut, tersedianya pelayanan untuk keluhan psikiatrik di
sistem pelayanan kesehatan primer, penanganan yang berkelanjutan untuk
individu dengan gangguan psikiatrik yang sudah ada sebelumnya,
pemberhentian medikasi tibatiba harus dihindari, perlu dibuat perencanaan
untuk intervensi psikologis berbasis komunitas pasca bencana.

2.7. Menganalisis dan Mengidentifikasi Jurnal Mengenai Reaksi dan


Penanganan Stres Pada Bencana

1. Jurnal 1 :
“Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Korban Bencana Tanah
Longsor di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara”

Latar Belakang :
Bencana tanah longsor yang melanda Dusun Jemblung, Desa
Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara pada Hari
Jumat, 12 Desember 2014 menimbun sekitar 35 rumah, mengakibatkan
kerugian harta benda dan korban jiwa. Setelah dilakukan studi
pendahuluan pada tanggal 22 desember 2017 terkait data korban bencana
tanah longsor menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten
Banjarnegara (BPBD) menyebutkan bahwa jumlah korban bencana tanah
longsor yang mengalami trauma fisik atau tidak berjumlah 117 jiwa,
korban meninggal dunia berjumlah 125 jiwa, dan 20 korban tidak
ditemukan (BPBD, 2017). Hal ini tentu saja menimbulkan dampak
psikologis yang tidak ringan bagi warga di daerah bencana.
Dampak yang ditimbulkan dari tanah longsor adalah kerugian pada
kehidupan manusia dan memburuknya derajat kesehatan baik dari segi
fisik maupun non-fisik. Bentuk kerugian yang secara non-fisik seperti
trauma terhadap peristiwa yang pernah dialami merupakan salah satu
dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana
alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Metode :
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan
pendekatan survey. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga
yang berusia diatas 12 tahun dan berada saat dilakukan penelitian di
tempat relokasi korban bencana tanah longsor Dusun Jemblung Kabupaten
Banjarnegara, penelitian dilakukan pada bulan Maret 2018.

Hasil :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami
gejala PTSD sebanyak 30 responden (78,9%), sedangkan responden yang
tidak mengalami gejala PTSD sebanyak 8 responden (21,1%).

Pembahasan:
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
sebanyak 78,9% responden mengalami tanda gejala PTSD. Salah satunya
adalah penelitian Ai (2003) tentang pengaruh koping religiusitas pada
sikap positif para pengungsi muslim dewasa di Bosnia dan Cosovo
menunjukkan pula bahwa optimis para pengungsi dalam memandang
situasi yang menekan, ternyata secara positif berhubungan dengan koping
religius yang positif. Peneliti mendukung hasil penelitian tersebut karena
dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan bahwa responden dapat
tetap survive dalam melanjutkan kehidupannya pasca bencana tanah
longsor.
Responden yang terdiagnosis PTSD di Dusun Jemblung Kabupaten
Banjarnegra mengalami gejala terbanyak berupa Negative alteration in
mood and cognition, Re-experiencing, dan Avoidance. Ada beberapa
faktor yang menjadi penyebab mengapa gejala ini masih saja dialami
seperti lingkungan yang baru, harus memulai kehidupan dari nol karena
harta benda yang hilang, serta tempat relokasi yang berada tidak jauh dari
lokasi kejadian longsor sehingga terus terpapar oleh stimulasi, hal ini
menyebabkan bertambahnya beban psikologis yang dialami responden.

Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagaian besar responden di
Desa Rata Suren Dusun Ngambal Kabupaten Banjarnegara mengalami
PTSD. Perlu upaya peningkatan kesehatan psikologis khususnya pada
responden yang mengalami PTSD berupa terapi psikologis sehingga
mengurangi gejala PTSD pada masyarakat yang terdampak bencana.

2. Jurnal 2:
“Gambaran Dampak Kecemasan dan Gejala Psikologis pada Anak Korban
Bencana Gempa Bumi di Lombok”

Latar Belakang :
Bencana gempa bumi yang terjadi secara berturut-turut di Lombok
sejak tanggal 29 Juli 2018 tersebut membawa dampak yang luar biasa
terhadap semua aspek kehidupan para korban bencana baik aspek fisik,
sosial, dan psikologis. Korban gempa tidak hanya mengalami masalah
darurat seperti kerusakan fisik akibat gempa, namun juga masalah
kesehatan mental psikologis, seperti; masalah ansietas (kecemasan), stress
(tekanan), depresi (kemurungan), dan trauma (Ramirez & Peek-Asa,
2005).
Bencana memiliki pengaruh terbesar pada kelompok yang paling
rentan terutama adalah kelompok usia anak-anak (Nakamura, 2005). Hal
ini disebabkan karena anak-anak secara langsung mengalami, merasakan,
dan menyaksikan dampak yang ditimbulkan akibat faktor usia yang masih
belum matang secara pertumbuhan psikologis.

Metode :
Penelitian ini merupakan penelitian mix method kuantitatif dan
kualitatif. Metode kuantitatif melalui pengisian kuesioner. Metode
kualitatif dilakukan dengan metode wawancara tentang sikap dan perilaku
anak sebelum dan setelah gempa. Pengumpulan data kualitatif dilakukan
setelah hasil kuesioner dinilai sehingga memperkuat data hasil kuantitatif.

Hasil :
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan orang tua dan
guru di sekolah ditemukan bahwa anak-anak korban gempa menyatakan
takut untuk memasuki rumah akibat peristiwa gempa, mengalami
gangguan tidur seperti; mimpi buruk dan di sekolah langsung menangis
jika mendengar suara gaduh, serta ditemukan perubahan sikap seperti
mudah tersinggung dan lebih sensitif. Selain itu, anak-anak juga
menyatakan bahwa mereka takut karena ada isu makhluk halus, sehingga
sering terbangun tiba-tiba pada malam hari. Pernyataan ini didukung
dengan jawaban anak-anak pada kuesioner yang menyatakan anak takut
dengan apa yang dikatakan oleh orang tua dan sering terbangun karena
ketakutan.

Pembahasan :
Secara keseluruhan, pada anak-anak usia sekolah yang selamat dari
bencana alam khususnya bencana gempa bumi sering memperlihatkan
adanya gejala ketakutan pada tingkat yang tinggi, gejala somatik yang
luas, masalah kognitif, perubahan perilaku dan masalah sosial. Masalah
kognitif meliputi konsentrasi, kurang permasalahan kegiatan belajar,
hingga perilaku menolak datang ke sekolah. Perilaku anak menjadi tidak
konsisten seperti mudah marah, tidak sopan dan secara emosional yang
menjadi sensitif. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu tindakan
pelayanan kesehatan pasca bencana untuk menangani masalah-masalah
psikologis yang sering muncul pada kelompok anak-anak.

Kesimpulan:
Bencana alam gempa bumi yang dialami oleh masyarakat wilayah
Lombok provinsi Nusa Tenggara Barat tidak hanya berdampak pada
kondisi fisik dan lingkungan namun juga berdampak pada kondisi
psikologis anak korban gempa seperti adanya gejala kecemasan normal
dan kecemasan klinis yang mengarah pada PTSD yang ditunjukkan dari
perubahan perilaku anak. Gejala tersebut dirasakan anak di rumah maupun
di sekolah. sehingga hal ini akan membutuhkan penanganan lebih lanjut,
seperti pelayanan kesehatan pasca bencana seperti kegiatan trauma
healing.

BAB 3
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis, (Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang
penanggulan bencana).
Dampak yang ditimbulkan dari tanah bencana (baik bencana alam dan non
alam) adalah kerugian pada kehidupan manusia dan memburuknya derajat
kesehatan baik dari segi fisik maupun non-fisik. Bentuk kerugian yang secara
non-fisik seperti trauma terhadap peristiwa yang pernah dialami merupakan salah
satu dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana
alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

3.2. Saran
Semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
terhusus mahasiswa/ I STIKes Santa Elisabeth Medan dalam memberikan
intervensi kepada korban bencana yang memiliki dampak pada psikologis.
DAFTAR PUSTAKA

Tyas Maria. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Retnowati,S. 2012. Intervensi Psikososial Saat bencana. Dalam Prawitasari, JE.
Psikologi Terapan: Melintas Batas Disiplin Ilmu. Jakarta: penerbit
Erlangga.
Gregor, S. 2005. Resilience after Disaster. The Australian Psychological Society:
Inpsych Pub. Diakses dari www.psychology.org.au, tanggal 26 April
2013).

Anda mungkin juga menyukai