Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS,


KORBAN PEMERKSAAN, KORBAN KDRT, KORBAN TRAFFICKING,
NARAPIDANA, ANAK JALANAN
Dosen Pembimbing :

OLEH :

1. Puguh Subekti (010117A075)


2. Ranti Ayuningtias (010117A080)
3. Rizal Asep Pratama (010117A088)
4. Siska Nuraini (010117A099)
5. Sismianita Astuti (010117A100)
6. Whynera Hendra Resta (010117A115)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS SI KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang
menimpa anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar
menimpa anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai
dari anak-anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah
(Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-
muridnya melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota
yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun
melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen,
2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada
obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat
mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya.
Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).
BAB II
PEMBAHASAN
KORBAN PEMERKOSAAN

A. Pengertian Perkorsaan
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma Pemerkosaan


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W.,
2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan
suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental Health
(NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang
mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang
menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang seperti
bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma,
dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi
E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan
 Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik ketika
dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik
meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai gejala
fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar,
sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
 Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-
kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap hari dengan
kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar
rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
 Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak tertarik
dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan-
perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa
peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
 Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan
para profesional.
 Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang
lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan
dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
 Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Tentu saja
kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu
reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang
lain di rumah dan di tempat terapi.
 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka
waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk
tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar
permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
 Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya bahwa dia
bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini
menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.

F. Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :

Saat perlu ditangani


Reaksi ketika sedang
Usia Korban Akibat yang normal oleh tenaga
stress
profesional

Menghisap jempol, Keinginan


Menangis tidak
mengompol, kurang menyendiri secara
terkontrol
1-5 tahun dapat mengontrol diri berlebihan

Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon


Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus

Takut gelap atau


binatang, sehingga Berlarian ketakutan
merasa terteror di malam tanpa arah
hari

Terlalu ketakutan dan


Tidak mau lepas dari
tidak mau ditinggal
pegangan orang tua
sendirian

Perilaku agresif
Rasa ingin tahu,
(kembali menghisap jari
eksploratif
atau mengompol lagi)

Tidak dapat menahan


Amat sensitif dengan
kencing maupun buang
suara dan cuaca
air besar

Kesulitan bicara Bingung, panik

Perubahan selera makan Sulit makan

Perilaku regresif yang


5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan jelas terlihat (menjadi
lebih kekanak-kanakan)

Mengeluh Gangguan tidur

Senang menempel
kepada orang tua atau Ketakutan akan cuaca
yang dianggap dekat

Pusing, mual, timbul


Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran

Berkompetisi dengan Ketakutan yang tidak


sebayanya/saudaranya beralasan
untuk mencari perhatian
orang tua/guru

Menolak untuk masuk


Menghindar atau malas sekolah, tidak bisa
ke sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi

Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas


gelap dengan baik

Menyendiri dari kawan-


kawan

Hilang minat/konsentrasi
di sekolah

Remaja awal Disorientasi dan lupa


Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri
(11-14 tahun) terhadap sesuatu

Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan


Tidak ada nafsu makan membayangkan bunuh tidak mau ketemu
diri orang

Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya

Permasalahan kesehatan Tidak bisa merawat


(kulit, buang air besar, Depresi dirinya (makan,
pegal-pegal, pusing) minum, mandi)

Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)

Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang
lain

Perilaku antisosial Tidak dapat


Gangguan selera makan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
dan tidur mencari perhatian yang paling mudah
dengan bertingkah) sekalipun

Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
oleh satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga

Protes, apatis
Perilaku yang tidak
Depresi
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi

G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial.
Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta –
seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai
obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan,
dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os,
Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5
mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau
kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres
pasca traumatik tersebut (Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi
fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang
(Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan
yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua
cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah
terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha
untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan
situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari
bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
(Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung.
Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan
pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya
selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).
H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus
merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung
pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima
kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang
sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini
bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku
kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak
berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika
korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi
penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan
peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.

2. Efek terhadap Fisik Korban


Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat
masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja
yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru
menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri,
mereka harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam
tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau
lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan
terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang
menjadi korban pemerkosaan.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
(sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur berlebihan,
mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas
dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek
tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area
genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan
kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan
penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian prestasi di sekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun.

Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk
tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong
untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
BAB III
PEMBAHASAN
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga.
e. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan
unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab
undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang
berbunyi: “Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu,
isteri atau anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri
dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri
Kekerasan seksual berat, berupa:
 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu.
 Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan
korban yang seharusnya dilindungi.
 Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh
dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang
istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian
lewat sarana ekonomi berupa:
 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
 Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan
korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat
dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital
violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan
istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-
luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agama
sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dengan kesabaran.
2) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, serta dapat saling
mengahargai setiap pendapat yang ada.
3) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis.
4) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada
rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa
curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban KDRT


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi
(private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban
KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban
justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku
atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di
rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan
struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan
agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi
perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga
sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang
dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani
perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang
mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan
mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan
permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga
resmi yang ada.
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.
Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT? Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam
PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah
tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu
lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa)
yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan
ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum.
Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum,
psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan
lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-
masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di
lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut. Yang lebih penting lagi
adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang
hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai
harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu
sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana
diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau
memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu,
perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi
dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi
melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan
oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan
konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi.
Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting
dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang
bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya
masing-masing:
a) Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama
7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan
sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di
kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah
aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT.
Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan
disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat
melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran
perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan
setelah 1 X 24 jam.
b) Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi),
dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah
perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT
selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan
atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
d) Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian
sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan
laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan
penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai
kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
f) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
g) Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan
teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT.
Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan
perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil
dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena
berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan
tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya
benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum,
agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah
perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban
KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.

F. Sudut pandang pancasila


Pancasila sebagai Dasar Negara telah jelas mengatakan bahwa segala tindak kekerasan
adalah dilarang karena bertentangan dengan sila pancasila. Terutama pada sila kedua, yaitu “
Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adapun maksud yang terkait dalam masalah yang
kami angkat adalah setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh menjadi
obyek kekerasan dengan alasan apapun dan bagaimanpun.
Dalam sila kedua terdapat pokok-pokok pikiran antara lain ; menempatkan manusia
sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai
hak segala bangsa, dan mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Sehingga
dengan demikian, tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan yang
menyimpang dari pancasila.
BAB IV
PEMBAHASAN
TEORI TRAFFICKING HUMAN

A. Definisi Trafficking Human


Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu kewaktu,
sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada definisi
trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan dan respon
tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang disebut
trafficking ini.
Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau
penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan, pemaksaan,
pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya dengan tujuan
eksploitasi (Course Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri (memperdagangkan), tawar-
menawar, membuat kesepakatan, melakukan transaksi dan hubungan seksual (Taiwan
Medicare, 2012).
Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak
yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan. Perdagangan
manusia mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk apa saja baik
eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ tubuh dan sampai
kepada eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004).

B. Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human


Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap anak-
anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di Indonisia diantaranya
ialah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama
terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan
ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia
umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar
masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan
berbagai cara. Selain itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming
masyarakat untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat
terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya.
Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan semakin
rentan terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bisa diaplikasikan pada
orang yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang tersebut yang pada akhirnya berujung
fenomina yang disebut “Buruh Ijon”, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh
seseorang yang dianggap sebagai pembayaran hutang. Adapun kasus jeratan hutang bisa
terjadi pada siapapun. Pada kasus trafficking mudus yang biasa terjadi dengan cara
penipuan. Buruh migrah telah menempatkan diri mereka dalam jeratan hutang. Di mana
mereka setuju untuk membuat pinjaman uang untuk membayar biaya perjalanan mereka.
Korban hutang tersebut kemudian harus bekerja sampai hutangnya lunas,
biasanya trafficker meminta melunasi sesuai permintaannya. Ada yang sebagai pekerja
seks, pembantu rumah tangga dan masih banyak yang lain. Kekerasan dan eksploitasi
yang terperangkap dalam buruh ijon bekerja pada rumah tangga sebagai pembantu atau
penjaga anak, direstauran, toko-toko kecil, di pabrek-pabrek atau pada industri seks. Tapi
menjadi rahasia umum apabila masih gadis maka melunasi dengan bekerja sebagai
pekerja seks
2. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya
Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia
penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan
sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Indonisia
adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana kaum laki-
laki yang lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi
perempuan baik dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat.
Misalnya perumusan tentang kdudukan istri dalam hokum perkawinan, kecenderungan
untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki, atau kecenderungan
lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam bidang pendidikan,
merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan dalam posisi subordinat
dibandingkan dengan laki-laki.
Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang ada
menempatkan hakperempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan. Meskipun
dalam pasal 3 perjanjian tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966
menyatakan bahwa adanya persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun kenyataannya HAM di Indonesia masih belum
menyentuh masyarakat karena masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan.
3. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan
eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga
mereka tidak mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup.
Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun
2000 lalu melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum
atau tidak tamat pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan
BPJS Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-15
tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak mampuan
dalam hal biaya.
4. Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu
memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai
akta kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak
harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta
kewarganegaraan. Ada bermacam-macam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar
kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal
atau mereka tidak menyadari pentingtnya akata kelahiran. Banyak yang tidak tahu
bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru lahir. Rendahnya registrasi. Kelahiran,
khususnya di masyarakat desa menjadi fasilistas perdagangan manusia. Agen dan pelaku
perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur
perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri. karena mereka tidak
mempunyai dokumin yang disyaratkan, maka mereka dimanfaatkan oleh pelaku
perdagangan.
5. Kebijakan yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di mana hukum
Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk laki-laki dan perempuan.
Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak
bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk
perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan
hanya di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan. Kesetaraan
gender belum sepenuhnya terwujud, perempuan masih tertinggal secara sosial, politik,
dan ekonomi dari kaum laki-laki.
6. Pengaruh Globalisasi
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu
terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam lingkup
domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang
paling menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan
industri seksual, ini baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada
beberapa tahun terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam
suatu kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-
alasan yang membuat berita-berita perdagangan ini belum menarik media massa paa
masa lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak dapat
luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa perubahan
pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan
informasi.

C. Bentuk dan Modus Trafficking Human


1. Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek, banyak
model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini
tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai
belahan dunia termasuk Indonisia.
Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
a) Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian
karena akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat
hiburan kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk
mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif,
misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya
tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak melayani laki-laki hidung
belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia menolak maka sang mucikari
tidak segan-segan untuk menyiksanya karena biasanya mereka punya bodigard-
budigard yang mengawasi mereka.
2. Eksploitasi non komersial,
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak
pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara
kebebasan dengan tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban
harus menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa
dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup
menghadapi semuanya terganggu jiwanya.
b) Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam wilayah Indonesia
dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak
diperbolehkan menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah
yang tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu
tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara
pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan.
upah yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan
pekerjaan yang dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur,
bahkan banyak yang tidak ada waku untuk istirahat.
c) Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi salah satu
penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang enggan mendapatkan
keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya
para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
d) Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di mana korban
tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai hutangnya
lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke
negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar
empat bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI
tidak sebanyak gaji TKW tersebut.
e) Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba. Narkoba sudah
mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota
besar sampai kepelosok desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat
fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang
menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat
menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan
penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.
BAB V
PEMBAHASAN
KORBAN ANAK JALANAN

A. PENGERTIAN ANAK JALANAN


Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan phsykis) yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan
untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat
tekanan fisik atau mental dari lingkunganya. Umumnya mereka berasal dari keluarga yang
ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan
dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga
memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku
kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-
anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat
penting. Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas
jalanan, dan korban kebijakan ekonomi permerintah yang memberatkan rakyat. Untuk itu
kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus
setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi
kekerasan terhadap anak jalanan. Sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB
(Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres
nomor 36 tahun 1990, menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-
anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan.
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalansosial yang
komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan
keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat
dan negara. Namun, perhatian terhadap nasibanak jalanan tampaknya belum begitu besar
dan solutif. Padahal mereka adalahsaudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus
dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang
bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

B. Karakteristik dan Perkembangan Sosial Emosional


Karakteristik anak jalanan terbagi dua yaitu:
a) Ciri fisik
 Warna kulit kusam
 Rambut kemerahan
 Kebanyakan berbadan kurus
 Pakaian tidak terurus
b) Ciri psikis
 Mobilitas tinggi
 Acuh tak uacuh
 Penuh curiga
 Sangat sensistif berwatak keras
 Kreative
 Semangat hidup tinggi
 Berani tanggung resiko
 Mandiri

C. Psikososial anak jalanan


Keadaan saat ini sangat memprihatinkan karena anak yangrentan turun ke jalan lebih dari
20 kali lipat jumlah nya dibandingkan dengan anak jalanan itu sendiri. Anak jalanan
perempuan jauh lebih buruk posisinya karena pasti akan menerima berbagai kekerasan atau
bahkan pelecehan seksual. Karena anak jalanan lebih banyak berinteraksi dengan
kerasnyahidup dijalan dan mencari uang, itu berdampak pada perkembangan psikososial nya
dan tumbuh menjadi anak yang keras, liar, dan terkenal tidak bisa diatur. Usia anak jalanan
biasanya masih dalamusia sekolah dimana usia sekolah termasuk ke dalam tahapan
psikososial yang mampu menghasilkan karya, dapat dan melatih interaksi yang baik, dapat
berprestasi dalam sekolah, serta dapat menggali ilmu dengan kemauan sendiri. Tahap ini
merupakan tahap anak membuat konsep diri mereka sendiri. Jika tahap ini terlewatkan
terjadi masalah Psikososial. Masalah Psikososial adalah masalah kejiwaan dan
kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
gangguan jiwa.

D. Pelyanan Pendidikan
Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang lainnya, mereka juga
mempunyai potensi dan bakat. Pada masa anak-anak seperti itu otak yang memuat 100-200
milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat
perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50 %
pada masa anak usia dini. Kita telah benar-benar melupakan hak anak-anak untuk bermain,
bersekolah, dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka dipaksa orang tua
untuk merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar
kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih
sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif .
Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan
realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan
negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-
kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali
dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan). Kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan.
Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah
dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang
dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah
dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau
murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Pendidikan Pada anak jalanan mungkin ini tidak terlihat sebagai suatu yang penting. Para
anak jalanan lebih memilih untuk mencari uang dibandingkan dengan bersekolah. Karena
dorongan kebutuhan hidup mereka yang mewajibkan mereka untuk mencari uang untuk
dapa bertahan hidup. Maka dari itulah pendidikan yang didapat oleh anak jalanan sangatlah
rendah dan dapat dikatakan anak jalanan ini tidak mendapatkan pendidikan secara baik
sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the
Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan
bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan
perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak jalanan yang memerlukan perhatian
dan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan
dengan baik sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pengajaran.
BAB VI
PEMBAHASAN
NARAPIDANA
A. DEFINISI
 Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani saksi kurungan atau saksi lainnya,
menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak
pidana) atau terhukum. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995
tentang Permasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan. Karena terkucilkan dari masyarakat umum,
berbagai masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya :
 - Harga diri rendah dan Konsep diri yang negative
 - Risiko bunuh diri Dalam makalah ini kelompok penulis berfokus membahas masalah
harga diri rendah yang terjadi terhadap narapidana.
 Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri ( Keliat, 1998). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan
perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau
tidak langsung di ekspresikan. Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif
jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat
apa – apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan
daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap
pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua pihak
yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau
menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).

B. KONSEP DIRI
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a. Citra tubuh (Body Image) Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap
individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa
lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru
(Stuart & Sundeen, 1998).
b. Ideal Diri (Self Ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart &
Sundeen, 1998). Sering juga disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan,
harapan tentang diri sendiri.
c. Identitas Diri (Self Identifity) Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari
kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan
keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa
bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa
remaja.
d. Peran Diri (Self Role) Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang
diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima
adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
e. Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal
diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang yang
penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998.
C. Penyebab Gejala Harga diri rendah
Penyebab Gejala Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping
individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif,
difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal (Townsend,
M.C. 1998 : 366).Menurut Carpenito, L.J (1998 : 82) koping individu tidak efektif adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami suatu
ketidakmampuan dalam mengalami stessor internal atau lingkungan dengan adekuat
karena ketidakkuatan sumber-sumber (fisik, psikologi, perilaku atau kognitif). Sedangkan
menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak efektif merupakan kelainan
perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi
tuntutan kehidupan dan peran. Adapun Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri
Rendah, yaitu :
a. Faktor Presdisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orangtua, penolakan orangtua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal
diri yang tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi Faktor Presipitasi Terjadinya harga diri rendah biasanya
adalah kehillangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktifitas yang menurun. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah :
- Mengejek dan mengkritik diri
- Merasa bersalah dan khawatir, menghukum dan menolak diri sendiri
- Mengalami gejala fisik, misal : tekanan darah tinggi, Menunda keputusan, Sulit
bergaul, Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas, Menarik diri dari realitas,
cemas, panic, cemburu, curiga, halusinasi, Merusak diri : harga diri rendah menyokong
pasien untuk mengakhiri hidupnya, Merusak/melukai orang lain, Perasaan tidak mampu,
Pandangan hidup yang pesimistis, Tidak menerima pujian, Penurunan produktivitas,
Penolakan terhadap kemampuan diri, Kurang memerhatikan perawatan diri, Berpakaian
tidak rapih, Berkurang selera makan, Tidak berani menatap lawan bicara, Lebih banyak
menunduk, Bicara lambat dengan nada suara lemah.
BAB III
PENUTUP

a. KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung
pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-
tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk diperhatikan,
mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila
sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila ini yang sangat
bertentangan dengan tindak kekerasan terutama KDRT adalah saling mencintai sesama
manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan
anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara
mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya,
penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan.
DAFTAR PUSTAKA

Antonim. 2008. Askep Halusinasi. Dimuat


dalam http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/askep-halusinasi/. (Diakses : 8
Agustus 2012)
Anonim. 2009. Askep dengan Halusinasi. Dimuat
dalam http://aggregator.perawat.web.id [Diakses : 15 Oktober 2011]
Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 15
Oktober 2011]
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).
Jakarta : fajar Interpratama.
Yosep , iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional ,
Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
http://www.slideshare.net/fitriapastuti9/savedfiles?s_title=pendidikan-dan-anak-
jalanan&user_login=rampard08
http://www.smeru.or.id/report/other/cpsp/Ppt%20Day%202/Theme3%20Kalasan1/Suharma_ppt
_bahasa.pdf

Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Graha Ilmu
Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak
di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai