id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Trauma
a. Definisi
International Society for Traumatic Stress Studies (ISTSS) mengatakan bahwa trauma
merupakan suatu keadaan luka baik fisik ataupun psikologis yang dapat dialami oleh
manusia di segala usia, melalui berbagai pengalaman yang sangat menyakitkan.
Kejadian trauma dapat terjadi pada seseorang setidaknya satu kali seumur hidup namun
banyak juga yang mengalaminya lebih dari satu kali. Apabila peristiwa tersebut terjadi
berulang kali dan dalam waktu yang panjang maka trauma dapat menjadi kronis
(ISTSS, 2020).
Rohmad Sarman menyatakan bahwa trauma berasal dari bahasa Yunani yaitu
tramatos yang berarti luka dari sumber luar. Tetapi kata trauma dapat juga diartikan
sebagai luka yang bersumber dari dalam yaitu luka emosi, rohani dan fisik. Luka dari
dalam ini disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri seseorang. Gejala akibat
trauma sangat beragam umumnya menimbulkan kepedihan dan penderitaan yang
berkepanjangan (Hatta, 2016).
Menurut ISTSS (2000) terdapat 3 kondisi yang mungkin terjadi setelah mengalami
trauma, yaitu:
1) Beberapa orang tidak mengalami masalah besar karena memiliki pertahanan diri
yang umumnya terbentuk setelah mengalami peristiwa traumatis. Namun
pertahanan diri tidak terbentuk setelah mengalami trauma yang diakibatkan oleh
kekerasan maupun pelecehan seksual.
2) Banyak orang memiliki gejala yang mirip dengan PTSD beberapa minggu setelah
mengalami peristiwa traumatis. Namun, bagi sebagian besar dari orang, gejala
tersebut kemudian hilang dengan sendirinya. Kondisi ini dikenal sebagai pemulihan
alami atau ketahanan. Fase ini sangat umum terjadi di antara orang-orang yang
mengalami kekerasan seksual.
3) Orang yang mengalami masalah gangguan stres pasca trauma (PTSD) karena
pertahanan diri tidak muncul sehingga permasalahan tidak dapat hilang dengan
sendirinya.
5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
b. Jenis-jenis Trauma
Berdasarkan Hatta (2016) ada beberapa jenis-jenis trauma yang dikenali menurut
Vikram dan Cavanagh. Adapun jenis trauma menurut Vikram, yaitu:
1) Trauma personal
Trauma ini terjadi pada kondisi mencekam, korban pemerkosaan, kematian orang
tercinta, korban kejahatan, dll.
2) Trauma mayor
Trauma ini terjadi pada situasi bencana alam, kebakaran, dll. Trauma mayor umumnya
menyebabkan trauma pada sejumlah besar orang pada waktu yang sama.
Sedangkan Cavanagh mengelompokkan trauma berdasarkan kejadian traumatik yaitu:
1) Trauma situasional
Trauma yang disebabkan oleh situasi seperti bencana alam, perang, kemalangan
kenderaan, kebakaran, rompakan, perkosaan, perceraian, kehilangan pekerjaan,
ditinggal mati oleh orang yang dicintai, gagal dalam perniagaan, tidak naik kelas bagi
beberapa pelajar, dan sebagainya.
2) Trauma perkembangan
Trauma dan stres yang terjadi pada setiap tahap pekembangan, seperti penolakan dari
teman sebaya, kelahiran yang tidak diinginkan, peristiwa yang berhubungan dengan
kencan, berkeluarga, dan sebagainya.
3) Trauma intrapsikis
Trauma yang disebabkan kejadian internal seseorang yang memunculkan perasaan
cemas yang sangat kuat seperti perasaan homo seksual, benci kepada orang yang
seharusnya di cintai, dan sebagainya.
4) Trauma eksistensial
Trauma yang diakibatkan karena kurang berhasil dalam hidup.
2. Post-Tramatic Stress Disorder (PTSD)
a. Definisi
PTSD menurut American of Psychology Association (APA) adalah suatu kondisi
individu yang mengalami peristiwa traumatik sehingga terjadi gangguan pada
integritas diri yang menimbulkan rasa ketakutan, ketidakberdayaan dan perasaan
terancam (Cook et al., 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7
otak yang mengalami perubahan yaitu hipokampus, amigdala, daerah kortikal seperti
anterior cingulate, insula, dan orbitofrontal. Area tersebut saling terhubung
membentuk sirkuit saraf yang beradaptasi terhadap stress dan ketakutan (Rios dan
Morrow, 2020)
e. Diagnosis
Menurut Scott (2014) berdasarkan standar APA pada tahun 2013 diagnosa PTSD dapat
dilakukan menggunakan DSM-5 berikut dapat dilakukan pada orang dewasa, remaja,
dan anak-anak berusia diatas 6 tahun, Adapun kriterianya sebagai berikut:
1) Paparan kematian aktual atau terancam, cedera serius, atau kekerasan seksual
dalam satu (atau lebih) dari cara berikut:
a) Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
b) Menyaksikan secara pribadi peristiwa yang terjadi pada orang lain.
c) Mengetahui peristiwa traumatis seperti kematian atau kekerasan yang terjadi
pada anggota keluarga dekat atau teman dekat.
d) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrim terhadap detail peristiwa
traumatis yang tidak menyenangkan umumnya terjadi pada pekerja pengurus
jenazah manusia, petugas polisi berulang kali terpapar detail pelecehan anak,
petugas medis, dll.
2) Kehadiran satu (atau lebih) dari gejala intrusi berikut yang terkait dengan trauma
peristiwa setelah mengalami peristiwa traumatis berikut:
a) Kenangan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari peristiwa traumatis.
Pada anak-anak yang lebih tua dari 6 tahun, permainan berulang dapat terjadi
di mana tema atau aspek dari peristiwa traumatis diungkapkan.
b) Mimpi menyusahkan berulang yang berhubungan dengan isi dan/atau pengaruh
mimpi peristiwa traumatis. Catatan: Pada anak-anak, mungkin ada mimpi
menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
c) Reaksi disosiatif (contohnya: kilas balik) di mana individu merasa atau
bertindak seolah-olah traumatis peristiwa yang berulang (reaksi tersebut dapat
terjadi pada sebuah kontinum, dengan yang paling ekstrim ekspresi menjadi
kehilangan kesadaran total lingkungan hadir.) Catatan: Pada anak-anak,
pemeragaan khusus trauma dapat terjadi dalam permainan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
d) Distres psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal
atau eksternal itu melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa
traumatis.
e) Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai suatu aspek peristiwa traumatis.
3) Penghindaran terus-menerus terhadap rangsangan yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh
salah satu atau kedua hal berikut:
a) Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan
yang menyusahkan tentang atau dekat terkait dengan peristiwa traumatis.
b) Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang,
tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan,
pikiran, atau perasaan yang menyusahkan tentang atau dekat terkait dengan
peristiwa traumatis.
4) Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa
traumatis, permulaan atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi,
sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari berikut ini:
a) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif, dan bukan karena faktor lain seperti cedera
kepala, alkohol, atau obat-obatan).
b) Keyakinan atau harapan negatif yang terus-menerus dan berlebihan tentang diri
sendiri, orang lain, atau orang lain dunia (contohnya merasa diri sendiri buruk,
tidak ada yang bisa dipercaya, dunia ini benar-benar berbahaya, seluruh sistem
saraf tubuh rusak secara permanen).
c) Kognisi yang terdistorsi dan terus-menerus tentang penyebab atau konsekuensi
dari traumatis peristiwa yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya
sendiri atau orang lain.
d) Keadaan emosi negatif yang terus-menerus (misalnya ketakutan, kengerian,
kemarahan, rasa bersalah, atau rasa malu).
e) Minat atau partisipasi yang sangat berkurang dalam aktivitas yang signifikan.
f) Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
yang dapat mengakibatkan emosi negatif. Terapi kognitif yang paling banyak
digunakan untuk mengobati PTSD adalah terapi pemrosesan kognitif.
b) Cognitive behavioral therapy (CBT)
Terapi kognitif-perilaku termasuk dalam terapi pemrosesan kognitif menunjukkan
manfaat dalam PTSD. Meskipun neurologis yang tepat mekanismenya masih belum
jelas. Efek yang diketahui dari terapi kognitif termasuk peningkatan aktivitas neuronal
di korteks prefrontal dan hippocampus. Sehingga dapat menghadapi pengalaman
traumatis dan desensitisasi terhadap dampak mental dan fisiologis dari memori
traumatis.
c) Prolonged Exposure (PE)
Treatment ini mirip dengan terapi kognitif yang memiliki dampak signifikan pada otak
sebagaimana dibuktikan oleh berbagai studi neuroimaging, tetapi cara spesifiknya
dimana PE menyebabkan penurunan aktivitas amigdala atau peningkatan aktivitas
hippocampal yang belum diketahui.
2) Farmakoterapi
Saat ini terdapat 2 jenis farmakoterapi yang telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) yaitu paroxetine dan sertraline. Keduanya dikenal sebagai
serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI). Senyawa off-label ini termasuk
Serotonin norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI), antidepresan trisiklik,
antihipertensi, antiepilepsi, antipsikotik, hipnotik obat penenang, dan SSRI lainnya.
Obat-obatan bekerja melalui reseptor termasuk serotonin, dopamin, dan norepinefrin.
3) Complementary and alternative medicine (CAM)
CAM adalah pengobatan alternatif komplementer yaitu kumpulan dari berbagai
gabungan pengobatan yang digunakan untuk menangani PTSD ini mencakup beberapa
intervensi seperti akupunktur, neurostimulasi, meditasi dan terapi rekreasi. Mekanisme
terapi akupunktur yaitu dengan meregulasi respons stres dalam sistem neuroendokrin
dan mendorong perlindungan saraf, neurogenesis, dan plastisitas sinaptik di beberapa
area otak (Kwon et al, 2021).
3. Social Support Theory (Teori Dukungan Sosial)
a. Definisi Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan informasi atau umpan balik yang disediakan orang lain
terhadap individu yang mempengaruhi psikologis individu sehingga merasa dicintai,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
1) Penyangkalan (denial)
Tahap pertama ini dalam kedukaan adalah reaksi yang normal yaitu reaksi
penyangkalan atau denial. Penyangkalan sebenarnya merupakan cara yang sehat untuk
menangani situasi atau kondisi tidak nyaman dan menyakitkan. Penyangkalan ini
berfungsi sebagai reaksi pertahanan sementara setelah datangnya berita yang
mengejutkan dan tidak terduga. Sehingga kemudian individu dapat menenangkan diri
dan bertahan untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Individu mungkin dapat
mengalami kondisi ketidakpercayaan terhadap apa yang sedang alami, bahkan
menganggapnya sebagai mimpi. Setelah tahap ini, seseorang akan merasakan berbagai
emosi yang sebelumnya disangkal.
2) Marah (anger)
Ketika mengalami kedukaan, wajar apabila individu merasa marah setelah dihadapkan
pada peristiwa tersebut. Proses penyesuaian dari keadaan sedih memang bukan hal
yang mudah. Peristiwa tersebut terasa seperti kehancuran dan pertarungan yang
menyebabkan penderitaan. Individu meluapkan kekesalannya dengan kemarahan,
berbicara dengan nada yang tinggi, mengeluh, dan menyalahkan keadaan dengan emosi
yang meluap-luap. Perasaan yang intens memungkinkan individu kurang dapat berpikir
secara rasional. Namun, setelah kemarahan mereda individu bisa berpikir lebih rasional
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan merasakan emosi-emosi lain yang selama
ini tersingkir oleh rasa marah.
3) Menawar (bargaining)
Kehilangan dan putus asa merupakan dua perasaan yang kerap berdampingan dalam
tahap kesedihan. Pada saat individu begitu berduka hingga bersedia melakukan apa saja
untuk meredakan rasa sakit dan kembali mendapatkan kendali. Salah satunya dengan
menawar dan mengandai-andai, mungkin kita berpikir “seandainya saja saya mencari
pertolongan dokter lebih cepat”, “Andai saja saya tidak terlalu sibuk, mungkin
pasangan saya tidak akan pergi”, dan sebagainya. Banyak orang juga melakukan tawar-
menawar dengan Tuhan pada tahap ini agar mendapat kekuatan dari kedukaan dan rasa
sakit.
4) Depresi (depression)
Selama proses berduka, ada saatnya emosi seseorang mulai mereda dan kini harus
benar-benar melihat kenyataan yang terjadi. Pada tahapan depresi ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
efek random (random effect model) merupakan variasi effect size dari penelitian satu
dan lainnya. Perbedaan ukuran efek menjadi variasi pada effect size yang disebut
heterogenitas (Murti, 2021).
d. Heterogenitas
Heterogenitas yang terjadi pada penelitian Meta-analisis merupakan variasi yang
muncul dari pengaruh berbagai studi yang diteliti. I2 digunakan untuk menunjukkan
persentase variasi estimasi pengaruh yang disebabkan oleh variasi antar studi serta
digunakan untuk mengkuantifikasikan dispersi effect size pada meta-analisis dalam
rentang nilai 0%-100%. Rentang nilai tidak tergantung dari jenis effect size dan tidak
dipengaruhi oleh jumlah studi (Murti, 2021).
Heterogenitas berasal dari berbagai kemungkinan seperti perbedaan karakteristik
populasi studi, variasi pada desain studi (jenis desain, prosedur seleksi subjek
penelitian, sumber informasi, dan teknik pengumpulan informasi), perbedaan metode
statistik dan kovariat (Murti, 2021).
e. Bias Publikasi
Bias publikasi merupakan kecenderungan peneliti mempublikasikan artikel yang
memiliki hasil temuan positif, khususnya pada temuan baru. Namun cenderung tidak
melaporkan hasil yang tidak signifikan. Bias publikasi adalah sumber bias terpenting
dalam mengolah data pada meta-analisis (Murti, 2021).
Menurut Murti (2021) variabel yang mempengaruhi bias publikasi adalah sebagai
berikut:
1) Besar Sampel
2) Jenis Desain
3) Sponsorship
4) Konflik kepentingan
5) Prasangka mengenai hubungan yang diamati.
C. Penelitian Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yohannes et al (2018) yang berjudul
“Prevalence and correlates of post traumatic stress disorder among survivors of
road treaffic accidents in Ethiopia”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan stress pasca-trauma dan
faktor-faktor terkait di antara penyitas kecelakaan di jalan raya. Desain penelitian ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
adalah cross-sectional yang berlokasi di Ethiopia Tengah. Subjek penelitian ini terdiri
dari 531 orang yang selamat dari kecelakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan
mendapatkan dukungan sosial yang rendah (aOR=2.1; CI95%=1.34-3.46).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah besarnya PTSD pada perempuan, dukungan
sosial yang rendah, durasi kecelakaan (1-3 bulan), dan depresi ditemukan sebagai
prediktor yang signifikan.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Asnakew et al (2019) yang berjudul
“Prevalence of post-traumatic stress disorder and associated factors among
Koshe landslide survivors, Addis Ababa, Ethiopia: a community-based, cross-
sectional study”
Penelitian ini bertujuan untuk menilai prevalensi PTSD dan faktor-faktor terkait di
antara para penyintas tanah longsor Koshe, Addis Ababa, Etiopia pada tahun 2018.
Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di Addis Ababa,
Ethiopia. Subjek penelitian ini terdiri dari 830 partisipan yang selamat dari tanah
longsor di Koshe. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan sosial yang rendah
(aOR=3.64; CI95%=1.99-6.69).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi PTSD ditemukan tinggi dan
mengkonfirmasi bahwa tanah longsor memiliki efek negatif pada kesehatan mental
individu yang terdampak. Dukungan sosial yang buruk dan ancaman kehidupan yang
tinggi signifikan berhubungan dengan PTSD.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Acharya et al (2018) yang berjudul “Post-
Traumatic Stress Disorder Symptoms Among Children of Kathmandu s1 Year
After the 2015 Earthquake in Nepal”
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan prevalensi PTSD gejala dan untuk
menentukan tingkat individu dan tingkat keluarga prediktor gejala PTSD di antara
anak-anak yang terkena gempa bumi 2015 di Nepal. Desain penelitian ini adalah cross-
sectional study yang berlokasi di Nepal. Subjek penelitian ini terdiri dari 800 anak-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
anak berusia 7-16 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan sosial yang
rendah (aOR=2.65; CI95%=1.44-4.88).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai
faktor individu (tingkat paparan gempa bumi, pendidikan, dukungan sosial, dan agama)
dan faktor keluarga (tempat tinggal) adalah risiko penting faktor untuk pengembangan
gejala PTSD.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Caramanica et al (2019) yang berjudul
“Posttraumatic Stress Disorder after Hurricane Sandy among Persons Exposed
to the 9/11 Disaster”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengevaluasi hubungan antara
pengalaman Badai Sandy dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) terkait Sandy di
antara individu yang sebelumnya terkena bencana 11 September 2001 (9/11). Desain
penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di United State. Subjek
penelitian ini terdiri dari 4,558 orang yang mengalami dan melihat kejadian peristiwa
bencana alam badai sandy yang parah. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan
sosial yang rendah (aOR=2.7; CI95%=1.4-5.1).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Gejala stres terkait badai sandy yang
mengindikasikan PTSD memiliki pengaruh bagi orang yang tinggal di daerah banjir di
wilayah metropolitan NYC. Sebelumnya terkait 9/11 PTSD meningkatkan
kemungkinan PTSD terkait Sandy, sementara dukungan sosial bersifat protektif.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al (2022) yang berjudul “About Six in
Ten Survivors of the November 2020 Maikadra Massacre Suffer from
Posttraumatic Stress Disorder, Northwest Ethiopia”
Penelitian ini bertujuan untuk menilai prevalensi gangguan stres pasca-trauma dan
faktor-faktor terkait di antara penduduk Maikadra, Barat laut Ethiopia. Desain
penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di Barat Laut Ethiopia.
Subjek penelitian ini terdiri dari 610 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan
sosial yang rendah (aOR=1.13; CI95%=0.60-2.11).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26
Kesimpulan dari penelitian ini adalah enam dari sepuluh warga menderita PTSD
setelah pembunuhan lebih dari 1,560 orang tak bersalah warga sipil di mana lebih dari
sepertiga responden kehilangan anggota keluarga. Wanita, mereka yang kehilangan
anggota keluarga, individu dengan ancaman yang dirasakan tinggi terhadap kehidupan
dan mereka yang memiliki gejala penyakit mental adalah yang paling terpengaruh. Ini
menyiratkan bahwa gangguan emosional yang intens dan persisten membutuhkan
intervensi psikososial yang mendesak.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Makango et al (2023) yang berjudul
“Prevalence and factors associated with post-traumatic stress disorder among
internally displaced people in camps at Debre Berhan, Amhara Region, Ethiopia:
a cross-sectional study”
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk menentukan prevalensi dan faktor-faktor terkait
PTSD di antara orang-orang yang mengungsi secara internal di kamp-kamp di Debre
Berhan, Ethiopia. Desain penelitian ini menggunakan cross-sectional study yang
berlokasi di Debre Berhan, Amhara, Ethiopia. Subjek penelitian ini terdiri dari 406
subjek penelitian yang mengalami kejadian stress pasca trauma di kamp pengungsian.
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi PTSD di antara responden adalah 67.5%;
CI95%=63-72. Menjadi pedagang (aOR=0.41; CI95%=0.02–0.85), menyaksikan
perusakan properti (aOR=1.67; CI95%=1.01–2.74), menghadapi trauma selama
perpindahan (aOR=6.00; CI95%=2.75–13.10), frekuensi perpindahan (aOR=0.31;
CI95%=0.11–0.85), menghadapi tekanan (aOR=5.42; CI95%=3.25–9.05), dan
pengangguran (AOR=2.09; CI95%=1.24–3.54) merupakan faktor yang secara
signifikan terkait dengan PTSD.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah menyaksikan penghancuran properti,
menghadapi trauma selama perpindahan berapa kali mengubah tempat tinggal karena
perang, kehilangan kematian keluarga adalah faktor yang terkait secara signifikan
dengan PTSD di antara pengungsi internal.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional study,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
Orang yang
mengalami/menyaksikan
peristiwa traumatis
Menyaksikan
Dukungan sosial Persepsi ancaman
kematian
(Social Support) (Perceived threat)
(Witnessing death)
PTSD
(Post-traumatic Stress
Disorder)
F. Hipotesis
1. Orang dengan pengalaman traumatis yang mendapatkan dukungan sosial memiliki
risiko yang lebih rendah mengalami PTSD daripada yang tidak mendapat dukungan
sosial.
2. Orang dengan pengalaman traumatis yang merasakan persepsi ancaman memiliki
risiko PTSD lebih tinggi daripada yang tidak merasakan persepsi ancaman.
3. Orang dengan pengalaman traumatis yang menyaksikan kematian memiliki risiko
PTSD yang lebih tinggi daripada yang tidak menyaksikan kematian.