Anda di halaman 1dari 26

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Trauma
a. Definisi
International Society for Traumatic Stress Studies (ISTSS) mengatakan bahwa trauma
merupakan suatu keadaan luka baik fisik ataupun psikologis yang dapat dialami oleh
manusia di segala usia, melalui berbagai pengalaman yang sangat menyakitkan.
Kejadian trauma dapat terjadi pada seseorang setidaknya satu kali seumur hidup namun
banyak juga yang mengalaminya lebih dari satu kali. Apabila peristiwa tersebut terjadi
berulang kali dan dalam waktu yang panjang maka trauma dapat menjadi kronis
(ISTSS, 2020).
Rohmad Sarman menyatakan bahwa trauma berasal dari bahasa Yunani yaitu
tramatos yang berarti luka dari sumber luar. Tetapi kata trauma dapat juga diartikan
sebagai luka yang bersumber dari dalam yaitu luka emosi, rohani dan fisik. Luka dari
dalam ini disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri seseorang. Gejala akibat
trauma sangat beragam umumnya menimbulkan kepedihan dan penderitaan yang
berkepanjangan (Hatta, 2016).
Menurut ISTSS (2000) terdapat 3 kondisi yang mungkin terjadi setelah mengalami
trauma, yaitu:
1) Beberapa orang tidak mengalami masalah besar karena memiliki pertahanan diri
yang umumnya terbentuk setelah mengalami peristiwa traumatis. Namun
pertahanan diri tidak terbentuk setelah mengalami trauma yang diakibatkan oleh
kekerasan maupun pelecehan seksual.
2) Banyak orang memiliki gejala yang mirip dengan PTSD beberapa minggu setelah
mengalami peristiwa traumatis. Namun, bagi sebagian besar dari orang, gejala
tersebut kemudian hilang dengan sendirinya. Kondisi ini dikenal sebagai pemulihan
alami atau ketahanan. Fase ini sangat umum terjadi di antara orang-orang yang
mengalami kekerasan seksual.
3) Orang yang mengalami masalah gangguan stres pasca trauma (PTSD) karena
pertahanan diri tidak muncul sehingga permasalahan tidak dapat hilang dengan
sendirinya.

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

b. Jenis-jenis Trauma
Berdasarkan Hatta (2016) ada beberapa jenis-jenis trauma yang dikenali menurut
Vikram dan Cavanagh. Adapun jenis trauma menurut Vikram, yaitu:
1) Trauma personal
Trauma ini terjadi pada kondisi mencekam, korban pemerkosaan, kematian orang
tercinta, korban kejahatan, dll.
2) Trauma mayor
Trauma ini terjadi pada situasi bencana alam, kebakaran, dll. Trauma mayor umumnya
menyebabkan trauma pada sejumlah besar orang pada waktu yang sama.
Sedangkan Cavanagh mengelompokkan trauma berdasarkan kejadian traumatik yaitu:
1) Trauma situasional
Trauma yang disebabkan oleh situasi seperti bencana alam, perang, kemalangan
kenderaan, kebakaran, rompakan, perkosaan, perceraian, kehilangan pekerjaan,
ditinggal mati oleh orang yang dicintai, gagal dalam perniagaan, tidak naik kelas bagi
beberapa pelajar, dan sebagainya.
2) Trauma perkembangan
Trauma dan stres yang terjadi pada setiap tahap pekembangan, seperti penolakan dari
teman sebaya, kelahiran yang tidak diinginkan, peristiwa yang berhubungan dengan
kencan, berkeluarga, dan sebagainya.
3) Trauma intrapsikis
Trauma yang disebabkan kejadian internal seseorang yang memunculkan perasaan
cemas yang sangat kuat seperti perasaan homo seksual, benci kepada orang yang
seharusnya di cintai, dan sebagainya.
4) Trauma eksistensial
Trauma yang diakibatkan karena kurang berhasil dalam hidup.
2. Post-Tramatic Stress Disorder (PTSD)
a. Definisi
PTSD menurut American of Psychology Association (APA) adalah suatu kondisi
individu yang mengalami peristiwa traumatik sehingga terjadi gangguan pada
integritas diri yang menimbulkan rasa ketakutan, ketidakberdayaan dan perasaan
terancam (Cook et al., 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

National Institute of Mental Health mendefinisikan PTSD sebagai gangguan


kecemasan yang dapat berkembang setelah terpapar peristiwa mengerikan serta
mengalami serangkaian reaksi setelah trauma seperti memiliki stress dan pikiran
menakutkan yang terus-menerus dan mencekam, mengalami masalah tidur, merasa
terlepas atau mati rasa, atau mudah terkejut (USDHHS, 2013).
PTSD atau gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan mental yang
menyebabkan distress permanen sehingga membuat individu merasa tidak berdaya atau
ketakutan setelah menghadapi keadaan yang mengancam. Individu tidak mampu
menghilangkan kecemasan akan peristiwa traumatis yang dialami sehingga memori
mengalami kilas balik pengalaman tersebut (Yetter dan Masten, 2022).
Gangguan stres pasca trauma dapat berkembang pada beberapa orang setelah
peristiwa yang sangat traumatis, seperti kondisi peperangan, serangan teroris,
kejahatan, kecelakaan, atau bencana alam. Orang dengan PTSD dapat menghidupkan
kembali trauma dalam ingatan yang menyakitkan, kilas balik, atau mimpi-mimpi buruk
yang berulang, menghindari kegiatan atau tempat yang mengingatkan pada peristiwa
traumatis, mengalami gairah fisiologis yang mengarah ke gejala seperti respons kaget
yang berlebihan, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi atau mengingat peristiwa,
dan rasa bersalah karena selamat dari peristiwa traumatis ketika orang lain tidak
selamat (Rosenfeld, 1999).
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa PTSD merupakan
gangguan stress yang muncul akibat peristiwa traumatis yang dialami dan disaksikan
oleh individu. Kondisi tersebut berdampak pada kualitas psikologis yang kemudian
akan mempengaruhi perasaan individu yang diliputi rasa cemas, takut, dan depresi.
Selain itu juga berdampak pada kondisi fisiologis sehingga mempengaruhi kualitas
tidur dan konsentrasi individu.
b. Tanda dan Gejala
Menurut USDHHS (2014) kondisi kesehatan mental individu pasca mengalami
peristiwa traumatis dapat didiagnosa oleh professional. Individu dapat mengalami
PTSD secara langsung setelah mengalami peristiwa traumatis maupun beberapa bulan
berikutnya, berikut tanda dan gejala yang terjadi pada orang yang mengalami gangguan
stress setelah mengalami peristiwa traumatis:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

1) Mengalami kembali (re-experiencing symptoms)


a) Pada kondisi ini individu mengalami flashback atau kilas balik atau ingatan
yang mengganggu mengenai peristiwa traumatis yang pernah dialami.
b) Munculnya reaksi fisik atau emosional yang intens terhadap peristiwa traumatis
tersebut.
c) Sering mengalami mimpi buruk.
2) Menghindari (Avoidance)
a) Menghindari berpikir atau membicarakan trauma atau peristiwa traumatis yang
pernah dialami.
b) Menghindari orang, tempat, aktivitas, atau segala sensasi yang mengingatkan
trauma.
3) Perubahan negatif (Negative changes)
a) Merasa lebih sedih, tertekan, marah, atau cemas.
b) Merasa sulit atau tidak mungkin bahagia.
c) Merasa malu atau bersalah.
d) Merasa jauh dari orang lain.
e) Kehilangan minat pada hal-hal yang disukai.
f) Tidak dapat mengingat bagian-bagian penting dari trauma yang pernah dialami.
g) Memiliki banyak pikiran negatif terhadap orang lain, diri sendiri, dan dunia.
4) Hiperarousal (Hyperarrousal)
a) Selalu waspada dan/atau mudah kaget.
b) Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
c) Menjadi mudah marah dan agresif.
d) Melakukan hal-hal berisiko seperti seks impulsive dan pesta minuman keras.
e) Sulit tidur.
c. Faktor Risiko
Menurut Sidran Institute (2018) terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko
terjadinya PTSD yaitu semua orang yang telah menjadi korban atau telah menyaksikan
tindakan kekerasan, atau yang telah berulang kali terpapar pada situasi yang
mengancam jiwa. Ini termasuk yang selamat dari :
1) Kekerasan baik dalam rumah tangga atau pasangan intim.
2) Pemerkosaan atau serangan atau pelecehan seksual.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

3) Serangan fisik seperti perampokan atau pembajakan mobil.


4) Tindakan kekerasan acak lainnya seperti yang terjadi di depan umum, di sekolah,
atau di tempat kerja.
5) Anak-anak yang diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan sebagai anak-anak.
6) Penyintas kejadian tak terduga dalam kehidupan sehari-hari seperti:
a) Kecelakaan mobil atau kebakaran.
b) Bencana alam, seperti tornado atau gempa bumi.
c) Peristiwa bencana besar seperti kecelakaan pesawat atau aksi teroris.
d) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan industry.
7) Veteran tempur atau korban sipil perang.
8) Mereka yang didiagnosis dengan penyakit yang mengancam jiwa atau yang telah
menjalani tindakan medis invasif.
9) Profesional yang menanggapi korban dalam situasi trauma, seperti, pekerja layanan
medis darurat, polisi, petugas pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencarian
dan penyelamatan.
10) Orang yang menyaksikan kematian mendadak tak terduga dari teman dekat atau
kerabat.
d. Patofisiologi
Kejadian trauma yang luar biasa dan menekan maka akan mengubah reaksi kimia di
dalam otak dan neurohormonal yang berkembang dapat menyebabkan PTSD pada
individu. Setiap individu memiliki pengalaman stress dan traumatis yang sangat
bervariasi. Ingatan atau memori akan terbentuk beriringan dengan otak melepaskan zat
kimia saat mengolah ingatan yang kemudian disimpan pada bank memori. Individu
yang mengalami PTSD memiliki gangguan pada memori dan proses mengingat-ingat.
Kadar kortikosteroid pasien PTSD cenderung rendah sehingga lebih rentan terhadap
stresor baru dan emosinya terganggu (Elman et al., 2020).
Volume hipokampus individu yang mengalami PTSD cenderung berkurang.
Hipokampus sendiri berperan mengendalikan respon terhadap stress dan memori
deklaratif. Ketika terjadi kurangnya volume hipokampus, akumulasi efek toksik dari
paparan berulang akan meningkatkan glukokortikoid. Sehingga rasa cemas dan depresi
tidak dapat berkurang karena fungsi hipokampus tidak bekerja secara normal. Bagian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

otak yang mengalami perubahan yaitu hipokampus, amigdala, daerah kortikal seperti
anterior cingulate, insula, dan orbitofrontal. Area tersebut saling terhubung
membentuk sirkuit saraf yang beradaptasi terhadap stress dan ketakutan (Rios dan
Morrow, 2020)
e. Diagnosis
Menurut Scott (2014) berdasarkan standar APA pada tahun 2013 diagnosa PTSD dapat
dilakukan menggunakan DSM-5 berikut dapat dilakukan pada orang dewasa, remaja,
dan anak-anak berusia diatas 6 tahun, Adapun kriterianya sebagai berikut:
1) Paparan kematian aktual atau terancam, cedera serius, atau kekerasan seksual
dalam satu (atau lebih) dari cara berikut:
a) Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
b) Menyaksikan secara pribadi peristiwa yang terjadi pada orang lain.
c) Mengetahui peristiwa traumatis seperti kematian atau kekerasan yang terjadi
pada anggota keluarga dekat atau teman dekat.
d) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrim terhadap detail peristiwa
traumatis yang tidak menyenangkan umumnya terjadi pada pekerja pengurus
jenazah manusia, petugas polisi berulang kali terpapar detail pelecehan anak,
petugas medis, dll.
2) Kehadiran satu (atau lebih) dari gejala intrusi berikut yang terkait dengan trauma
peristiwa setelah mengalami peristiwa traumatis berikut:
a) Kenangan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari peristiwa traumatis.
Pada anak-anak yang lebih tua dari 6 tahun, permainan berulang dapat terjadi
di mana tema atau aspek dari peristiwa traumatis diungkapkan.
b) Mimpi menyusahkan berulang yang berhubungan dengan isi dan/atau pengaruh
mimpi peristiwa traumatis. Catatan: Pada anak-anak, mungkin ada mimpi
menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
c) Reaksi disosiatif (contohnya: kilas balik) di mana individu merasa atau
bertindak seolah-olah traumatis peristiwa yang berulang (reaksi tersebut dapat
terjadi pada sebuah kontinum, dengan yang paling ekstrim ekspresi menjadi
kehilangan kesadaran total lingkungan hadir.) Catatan: Pada anak-anak,
pemeragaan khusus trauma dapat terjadi dalam permainan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

d) Distres psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal
atau eksternal itu melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa
traumatis.
e) Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai suatu aspek peristiwa traumatis.
3) Penghindaran terus-menerus terhadap rangsangan yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh
salah satu atau kedua hal berikut:
a) Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan
yang menyusahkan tentang atau dekat terkait dengan peristiwa traumatis.
b) Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang,
tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan,
pikiran, atau perasaan yang menyusahkan tentang atau dekat terkait dengan
peristiwa traumatis.
4) Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa
traumatis, permulaan atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi,
sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari berikut ini:
a) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif, dan bukan karena faktor lain seperti cedera
kepala, alkohol, atau obat-obatan).
b) Keyakinan atau harapan negatif yang terus-menerus dan berlebihan tentang diri
sendiri, orang lain, atau orang lain dunia (contohnya merasa diri sendiri buruk,
tidak ada yang bisa dipercaya, dunia ini benar-benar berbahaya, seluruh sistem
saraf tubuh rusak secara permanen).
c) Kognisi yang terdistorsi dan terus-menerus tentang penyebab atau konsekuensi
dari traumatis peristiwa yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya
sendiri atau orang lain.
d) Keadaan emosi negatif yang terus-menerus (misalnya ketakutan, kengerian,
kemarahan, rasa bersalah, atau rasa malu).
e) Minat atau partisipasi yang sangat berkurang dalam aktivitas yang signifikan.
f) Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

g) Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif (contohnya:


Ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan
cinta).
5) Perubahan yang ditandai dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa
traumatis, awal atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari berikut ini:
a) Perilaku mudah tersinggung dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa
provokasi), biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang
atau benda.
b) Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
c) Kewaspadaan berlebihan.
d) Respon terkejut yang berlebihan.
e) Masalah dengan konsentrasi.
f) Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tetap tidur atau tidur gelisah).
6) Durasi gangguan (Kriteria B, C, D dan E) lebih dari 1 bulan.
7) Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya.
8) Gangguan tidak dikaitkan dengan efek fisiologis suatu zat (misalnya obat-obatan
dan alkohol) atau kondisi medis lainnya.
f. Penatalaksanaan
Menurut Wynn et al (2017) penatalaksanaan PTSD dapat dibagi menjadi tiga kategori
utama. Kategori ini termasuk psikoterapi, farmakoterapi, dan complementary and
alternative medicine (CAM). Berikut ulasan singkat tindakan perawatan PTSD:
1) Psikoterapi
Psikoterapi adalah landasan pengobatan PTSD yang memiliki beberapa bukti
kemanjuran terkuat saat ini. Perawatan psikoterapi untuk PTSD terdiri dari terapi
kognitif dan terapi yang berfokus pada trauma. Beberapa jenis psikoterapi yang
digunakan yaitu:
a) Cognitive therapy atau terapi kognitif
Fokus terapi ini pada perubahan kognisi dengan secara aktif menghadapi distorsi
kognitif melalui serangkaian latihan praktis. Latihan-latihan ini memperkuat perubahan
perilaku dan kognitif ditujukan untuk mengurangi mispersepsi dan distorsi kognitif
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

yang dapat mengakibatkan emosi negatif. Terapi kognitif yang paling banyak
digunakan untuk mengobati PTSD adalah terapi pemrosesan kognitif.
b) Cognitive behavioral therapy (CBT)
Terapi kognitif-perilaku termasuk dalam terapi pemrosesan kognitif menunjukkan
manfaat dalam PTSD. Meskipun neurologis yang tepat mekanismenya masih belum
jelas. Efek yang diketahui dari terapi kognitif termasuk peningkatan aktivitas neuronal
di korteks prefrontal dan hippocampus. Sehingga dapat menghadapi pengalaman
traumatis dan desensitisasi terhadap dampak mental dan fisiologis dari memori
traumatis.
c) Prolonged Exposure (PE)
Treatment ini mirip dengan terapi kognitif yang memiliki dampak signifikan pada otak
sebagaimana dibuktikan oleh berbagai studi neuroimaging, tetapi cara spesifiknya
dimana PE menyebabkan penurunan aktivitas amigdala atau peningkatan aktivitas
hippocampal yang belum diketahui.
2) Farmakoterapi
Saat ini terdapat 2 jenis farmakoterapi yang telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) yaitu paroxetine dan sertraline. Keduanya dikenal sebagai
serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI). Senyawa off-label ini termasuk
Serotonin norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI), antidepresan trisiklik,
antihipertensi, antiepilepsi, antipsikotik, hipnotik obat penenang, dan SSRI lainnya.
Obat-obatan bekerja melalui reseptor termasuk serotonin, dopamin, dan norepinefrin.
3) Complementary and alternative medicine (CAM)
CAM adalah pengobatan alternatif komplementer yaitu kumpulan dari berbagai
gabungan pengobatan yang digunakan untuk menangani PTSD ini mencakup beberapa
intervensi seperti akupunktur, neurostimulasi, meditasi dan terapi rekreasi. Mekanisme
terapi akupunktur yaitu dengan meregulasi respons stres dalam sistem neuroendokrin
dan mendorong perlindungan saraf, neurogenesis, dan plastisitas sinaptik di beberapa
area otak (Kwon et al, 2021).
3. Social Support Theory (Teori Dukungan Sosial)
a. Definisi Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan informasi atau umpan balik yang disediakan orang lain
terhadap individu yang mempengaruhi psikologis individu sehingga merasa dicintai,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

dihargai, diperhatikan, dihormati, dan dilibatkan dalam komunikasi serta kewajiban


yang saling timbal balik (King, 2012). Dukungan sosial merupakan sebuah perasaan
nyaman, mendapatkan perhatian, dihargai, menerima pertolongan dan informasi dari
orang lain atau kelompok tertentu (Sarafino dan Smith, 2014).
Sedangkan menurut Baron dan Byrne, dukungan sosial merupakan suatu bentuk
kenyamanan fisik maupun psikologis yang diberikan anggota keluarga ataupun sahabat
dekat. Social support dapat ditinjau dari seberapa banyak adanya interaksi sosial yang
dilakukan dalam menjalani suatu hubungan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar
(Indriani dan Sugiasih, 2016).
Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah bagian dari ikatan sosial
yang menggambarkan kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan atau
hubungan bersama orang lain menjadi aspek yang akan memberikan kepuasan
emosional di dalam kehidupan seseorang. Apabila seseorang mendapat dukungan dari
lingkungan, maka semua akan terasa jadi lebih mudah. Hubungan intrepersonal dalam
dukungan sosial menunjukkan perlindungan terhadap seseorang dari konsekuensi
stress negatif. Dukungan sosial yang diterima akan menimbulkan rasa tenang, dicintai,
diperhatikan, sehingga timbul rasa percaya diri dan kompeten.
Menurut Sarafino dan Smith (2014) social support umumnya terbagi menjadi 2
jenis dukungan, yaitu:
1) Dukungan yang diterima (Received Support)
Dukungan perilaku menolong yang telah terjadi. Tingkat kepuasan dukungan sosial
yang diterima berkaitan dengan persepsi individu akan terpenuhinya kebutuhan
(pendekatan berdasarkan kualitas).
2) Dukungan yang dirasakan (Perceived Support)
Dukungan perilaku menolong yang dapat dirasakan atau kemungkinan akan terjadi.
Dukungan ini merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat
diandalkan ketika individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).
Dukungan yang dirasakan secara konstan dapat meningkatkan kesehatan psikis dan
melindungi individu dari stress. Jadi dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
merupakan hubungan interpersonal yang berisi pemberian bantuan dengan melibatkan
emosi, informasi, perhatian, penilaian, dan bantuan instrumental yang diperoleh dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

interaksi sosial. Interaksi dengan lingkungan membentuk manfaat emosional dan


perilaku bagi penerima sehingga individu bisa mengatasi permasalahannya.
b. Aspek-aspek dukungan sosial
Menurut Sarafino dan Smith (2014) terdapat 4 aspek dukungan yang membentuk
dukungan sosial yaitu:
1) Dukungan emosional
Dukungan emosional melibatkan ekspresi dari rasa empati dan perhatian kepada
individu, sehingga merasa nyaman, dicintai, dipercaya, dan diperhatikan. Dukungan ini
adalah bentuk perilaku dengan memberi perhatian dan afeksi, serta bersedia
mendengarkan keluh kesah.
2) Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan melibatkan ekspresi pernyataan setuju dan memberikan
penilaian positif akan ide, perasaan, serta performa orang lain. Dukungan ini memberi
dorongan untuk maju sehingga menambah rasa percaya diri akan kemampuan yang
dimiliki.
3) Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental melibatkan perilaku dukungan secara langsung dengan
memberi bantuan baik jasa dan barang. Seperti tenaga, pikiran, maupun finansial.
4) Dukungan Informasi
Dukungan informasi merupakan perilaku yang bersifat informatif, memberikan
nasihat, saran, arahan, dan umpan balik guna menemukan cara dalam memecahkan
permasalahan.
c. Komponen dalam Dukungan Sosial
Menurut Weis (1974) terdapat 6 komponen dukungan sosial yang disebut sebagai The
social provision scale, yaitu:
1) Kerekatan emosional (emotional attachment)
Komponen ini memungkinkan seseorang mendapatkan kedekatan emosional sehingga
cenderung merasa aman. Orang yang menerima dukungan sosial ini cenderung merasa
aman, tentram, damai, tenang, dan bahagia. Sumber dukungan ini umumnya diperoleh
dari pasangan hidup, keluarga, teman dekat, serta saudara yang akrab dan memiliki
hubungan harmonis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

2) Integrasi sosial (social integration)


Dukungan sosial ini membentuk individu membagi minal, perhatian, dan melakukan
kegiatan yang bersifat reaktif atau Bersama-sama. Dukungan sosial ini memberikan
rasa aman, nyaman, merasa dimiliki dan memiliki dalam sebuah kelompok. Kepedulian
keluarga serta masyarakat melakukan kegiatan bersama akan memberikan dukungan
sosial bagi individu sehingga muncul perasaan bahagia, ceria, dan dapat mencurahkan
permasalahan yang dirasakan.
3) Adanya pengakuan (reassurance of work)
Dukungan ini memungkinkan individu mendapat pengakuan atau penghargaan atas
kemampuan dan keahliannya baik dari lembaga maupun orang lain. Dukungan sosial
ini umumnya diperoleh dari keluarga, lembaga, sekolah, perusahaan, dan organisasi.
4) Ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance)
Dukungan ini memungkinkan individu mendapat dukungan yang terjamin dan dapat
diandalkan bantuannya kapanpun individu membutuhkan. Dukungan sosial ini
umumnya didapat dari keluarga sendiri.
5) Bimbingan (guidance)
Dukungan sosial ini merupakan hubungan kerja/sosial yang akan membentuk individu
mendapatkan informasi, nasihat, saran, dan arahan yang dibutuhkan dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini umumnya berasal dari guru, figur yang
dituakan/dihormati, orang tua, dan pimpinan masyarakat.
6) Kesempatan untuk mengasuh (opportunity of nurturance)
Komponen perasaan dibutuhkan oleh orang lain merupakan aspek penting hubungan
interpersonal. Dukungan sosial jenis ini membentuk individu memiliki perasaan bahwa
orang lain bergantung kepadanya dalam mendapatkan kesejahteraan.
d. Manfaat dukungan sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang terkadang memiliki hubungan interpersonal
dengan orang lain justru menjadi sumber konflik. Namun ada berbagai manfaat atau
efek positif yang diperoleh, secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup, individu
memerlukan orang lain.
Menurut Johnson dan Johnson (2009) beberapa manfaat dukungan sosial:
1) Meningkatkan produktivitas seiring terjadinya peningkatan motivasi, kualitas
penalaran, kepuasan kerja, dan menurunkan dampak stress kerja.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

2) Meningkatkan kesejahteraan psikologi (Psycological Well-Being) dan


kemampuan diri melakukan penyesuaian atas perasaan yang dimiliki, identitas
diri, meningkatkan harga diri, mengurangi distress dan menyediakan sumber
yang dibutuhkan.
3) Meningkatkan kesehatan fisik, individu yang memiliki hubungan dekat dengan
orang lain cenderung lebih sehat daripada individu yang terisolasi.
4) Menjadi managemen dalam mengelola stress sehingga menjadi lebih produktif.
4. Perceived Threat (Persepsi ancaman)
Perceived Threat atau persepsi ancaman adalah respons seseorang dalam menghadapi
ancaman, dapat pula diartikan sebagai penilaian kognitif individu mengenai bahaya
yang terdapat di sebuah lingkungan. Penilaian kognitif individu terhadap ancaman ini
meliputi tentang kemungkinan menghadapi pengalaman negatif (risiko) dan seberapa
buruk jika hal itu terjadi. Persepsi ancaman baik yang akurat maupun tidak merupakan
kunci yang digunakan untuk memprediksi Adaptive Health Respons. Respon tersebut
berguna untuk membantu melindungi diri dari bahaya. Berdasarkan perspektif
komunikasi kesehatan, persepsi ancaman dapat membantu menjelaskan tanggapan
individu terhadap pesan ancaman melalui daya tarik rasa takut (Ilmiati et al., 2022)
Berdasarkan Ilmiati et al (2022) persepsi ancaman dibagi menjadi dua dimensi,
yaitu :
a. Perceived severity (persepsi keparahan) merupakan keyakinan tentang signifikansi
atau besarnya ancaman. Keyakinan mengenai konsekuensi yang harus diterima jika
suatu peristiwa terjadi.
b. Perceived susceptibility (persepsi kerentanan) merupakan keyakinan tentang
kemungkinan individu mengalami suatu ancaman atau peristiwa
Teori Extended Parallel Process Model (EPPM) memasukkan unsur dalam
Protection Motivation Theory dan mengemukakan bahwa pesan sebagai stimuli
eksternal dapat menimbulkan persepsi ancaman merupakan hasil pemrosesan
informasi. Persepsi ancaman kemudian dapat menghasilkan dua kemungkinan yaitu
motivasi perlindungan yang menghasilkan penerimaan pesan dan kemungkinan lain
yaitu motivasi defensif yang menghasilkan penolakan pesan apabila pesan tersebut
menyebabkan ketakutan yang berlebihan (Ilmiati et al., 2022).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Perasaan terancam dalam hidup menyebabkan terjadinya keyakinan retrospektif


individu sehingga merasa bahwa hidupnya berada dalam bahaya besar atau ancaman
yang luar biasa. Ancaman menjadi komponen utama dari peristiwa traumatis yang
dapat menyebabkan permasalahan psikologis individu. Selain itu, paparan kejadian
tidak langsung seperti rekan dekat terluka, kerusakan, dan hilangnya harta pribadi
secara memiliki hubungan dengan yang tinggi terhadap rasa terancam dalam kehidupan
(Heir et al., 2016).
5. Witnessing death (Menyaksikan Kematian)
Menyaksikan kematian, kekerasan atau serangan mengerikan menyebabkan individu
tidak bisa melupakan kenangan yang tidak terhapuskan. Keadaan tersebut sangat hiper-
visual sehingga menyisakan trauma yang tidak dapat diubah di alam bawah sadar dan
akan menyakitkan korban. Sehubungan dengan pengalaman peristiwa traumatis dan
menyaksikannya, Caruth memusatkan perhatian pada efek traumatis pada orang yang
trauma dengan menyebutnya sebagai ancaman oleh pikiran dengan intrusi mimpi buruk
atau pengalaman dalam kilas balik yang mengganggu keteraturan dan keseimbangan
hidup korban (Ahmad et al., 2023)
Menjadi saksi hidup pada sebuah peristiwa traumatis juga akan menyebabkan
terjadinya luka ganda karena individu menyaksikan sekaligus mengalami kejadian
traumatis tersebut (Ahmad et al., 2023). Individu yang menyaksikan kematian pada
beberapa peristiwa traumatis seperti bencana alam, perampokan, pembunuhan,
ancaman senjata yang akan menyisakan dampak psikologis seperti ketakutan, merasa
tidak tertolong, duka, dan kehilangan (Elklit dan Kurdahl., 2013).
Menurut Perry dan Potter kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari
kehidupan. Kondisi ini merupakan reaksi psikososial yang mempengaruhi emosional
dan segala aspek kehidupan seseorang yang sedang berduka sehingga tidak dapat
beraktivitas normal karena hanya berfokus pada perasaannya saat ini. Berduka akan
melibatkan stress, kepedihan, penderitaan, dan gangguan fungsi yang dapat terjadi
dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun (Ross, 2019).
Menurut Ross (2019) membagi stages of grief ke dalam lima, setelah berhasil
mengobservasi pasien-pasien dengan gejala-gejala yang berat. berikut tahapannya:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

1) Penyangkalan (denial)
Tahap pertama ini dalam kedukaan adalah reaksi yang normal yaitu reaksi
penyangkalan atau denial. Penyangkalan sebenarnya merupakan cara yang sehat untuk
menangani situasi atau kondisi tidak nyaman dan menyakitkan. Penyangkalan ini
berfungsi sebagai reaksi pertahanan sementara setelah datangnya berita yang
mengejutkan dan tidak terduga. Sehingga kemudian individu dapat menenangkan diri
dan bertahan untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Individu mungkin dapat
mengalami kondisi ketidakpercayaan terhadap apa yang sedang alami, bahkan
menganggapnya sebagai mimpi. Setelah tahap ini, seseorang akan merasakan berbagai
emosi yang sebelumnya disangkal.
2) Marah (anger)
Ketika mengalami kedukaan, wajar apabila individu merasa marah setelah dihadapkan
pada peristiwa tersebut. Proses penyesuaian dari keadaan sedih memang bukan hal
yang mudah. Peristiwa tersebut terasa seperti kehancuran dan pertarungan yang
menyebabkan penderitaan. Individu meluapkan kekesalannya dengan kemarahan,
berbicara dengan nada yang tinggi, mengeluh, dan menyalahkan keadaan dengan emosi
yang meluap-luap. Perasaan yang intens memungkinkan individu kurang dapat berpikir
secara rasional. Namun, setelah kemarahan mereda individu bisa berpikir lebih rasional
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan merasakan emosi-emosi lain yang selama
ini tersingkir oleh rasa marah.
3) Menawar (bargaining)
Kehilangan dan putus asa merupakan dua perasaan yang kerap berdampingan dalam
tahap kesedihan. Pada saat individu begitu berduka hingga bersedia melakukan apa saja
untuk meredakan rasa sakit dan kembali mendapatkan kendali. Salah satunya dengan
menawar dan mengandai-andai, mungkin kita berpikir “seandainya saja saya mencari
pertolongan dokter lebih cepat”, “Andai saja saya tidak terlalu sibuk, mungkin
pasangan saya tidak akan pergi”, dan sebagainya. Banyak orang juga melakukan tawar-
menawar dengan Tuhan pada tahap ini agar mendapat kekuatan dari kedukaan dan rasa
sakit.
4) Depresi (depression)
Selama proses berduka, ada saatnya emosi seseorang mulai mereda dan kini harus
benar-benar melihat kenyataan yang terjadi. Pada tahapan depresi ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

seseorang/individu mungkin terpaksa menghadapi situasi sulit tersebut dan mengalami


kesedihan serta kebingungan yang mendalam. Individu cenderung menjauhkan diri dari
orang lain untuk dapat mengatasi duka tersebut. Namun terkadang untuk melewati
tahap ini, memerlukan bantuan dan komunikasi dengan orang terdekat atau psikologi.
B. Meta-Analisis
1. Definisi Meta-analisis
Meta-analisis adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan cukup banyak data.
Penerapan yang digunakan dengan metode statistik dalam mengorganisasikan
informasi. Informasi diperoleh dari sampel besar untuk menggali informasi sebanyak
mungkin, data hasil penelitian primer dianalisis kembali dan diolah menggunakan
statistik (Murti, 2021).
2. Langkah – Langkah Meta-analisis
Menurut Murti (2021) meta-analisis menggunakan langkah-langkah yang sesuai
dengan prinsip penelitian pada umumnya sebagai berikut:
a. Menentukan masalah yang nantinya akan diteliti.
b. Mengumpulkan dan menganalisis data.
c. Melaporkan hasil.
Peneliti menuliskan protokol penelitian secara rinci, menyatakan tujuan, hipotesis
yang akan diuji, kelompok yang diteliti, metode, dan kriteria yang akan digunakan.
Tujuannya yaitu untuk mengidentifikasi, memilih berbagai studi yang relevan, dan
menganalisis informasi yang diperoleh.
3. Kelebihan Meta-analisis
Menurut Murti (2021) beberapa kelebihan penelitian menggunakan Meta-analisis
adalah sebagai berikut:
a. Meta-analisis merupakan respon logis dan persoalan eksplorasi informasi.
b. Memberikan hasil yang akurat.
c. Dibutuhkan untuk mengatasi berbagai temuan penelitian yang kontroversial dan
ambigu.
d. Teknik yang ilmiah dan efisien.
e. Meningkatkan generalisasi temuan.
f. Menggabungkan besar sampel sari dari berbagai penelitian, sehingga memberikan
kausa statistik yang tinggi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

4. Kekurangan Meta Analisis


Menurut Mansyur and Iskandar (2017) berikut kekurangan meta-analisis:
a. Terdapat kemungkinan tejadi bias pada sampel
b. Sering memicu hanya data yang signifikan saja yang dipublikasi
c. Metode ini tidak cocok digunakan apabila memiliki sampel yang kecil.
5. Pelaporan Meta-analisis
Pelaporan meta-analisis berdasarkan software milik The Cochrane Collaboration yang
disebut dengan Review Manager (RevMan). Tujuannya dibuat untuk mempersiapkan
dan memelihara ulasan Cochrane. Software ini memiliki fasilitas data studi,
karakteristik studi, tabel perbandingan, dan persiapan protokol dengan ulasan lengkap
beserta teks di dalamnya. Data penyajian hasil meta-analisis menggunakan RevMan
akan berbentuk grafik (Cochrane, 2011).

Gambar 2.1. Tampilan Awal Aplikasi Review Manager 5.3


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilaporkan pada saat menyajikan hasil
penelitian Meta-analisis, adalah sebagai berikut:
a. Forest Plot
Forest plot merupakan plot yang digunakan untuk menampilkan data epidemiologis
pada kajian sistematis guna merangkum hasil penelitian yang telah diterbitkan. Forest
plot juga berfungsi menampilkan ukuran efek hasil studi meta-analisis. Forest plot
menunjukkan secara visual besaran variasi atau heterogenitas antar hasil studi dalam
bentuk grafik. Grafik berisi titik estimasi, kepercayaan interval, bobot studi, dan nilai
signifikansi statistik (Murti 2021).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Gambar 2.2 Forest Plot


b. Funnel Plot
Funnel Plot adalah titik sebaran masing-masing efek yang berasal dari studi yang telah
diidentifikasi. Apabila ukuran sampel kecil menghasilkan perkiraan efek yang kurang
tepat, maka jika ukuan sampel dinaikkan maka presisi efek diperkirakan meningkat dan
kesalahan berkurang. Funnel plot adalah diagram yang menunjukkan kemungkinan
adanya bias publikasi. Apabila diagram menunjukkan posisi plot simetris, maka
mengindikasikan tidak ada bias publikasi (Murti, 2021).

Gambar 2.3 Funnel Plot


c. Metode fix effect dan random effect
Metode efek tetap (fix effect Model) merupakan fitur yang menentukan bahwa semua
studi meta-analisis memiliki ukuran efek yang homogen. Perbedaan antara ukuran
effect size yang teramati dapat disebabkan oleh kesalahan pengambilan sampel. Model
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

efek random (random effect model) merupakan variasi effect size dari penelitian satu
dan lainnya. Perbedaan ukuran efek menjadi variasi pada effect size yang disebut
heterogenitas (Murti, 2021).
d. Heterogenitas
Heterogenitas yang terjadi pada penelitian Meta-analisis merupakan variasi yang
muncul dari pengaruh berbagai studi yang diteliti. I2 digunakan untuk menunjukkan
persentase variasi estimasi pengaruh yang disebabkan oleh variasi antar studi serta
digunakan untuk mengkuantifikasikan dispersi effect size pada meta-analisis dalam
rentang nilai 0%-100%. Rentang nilai tidak tergantung dari jenis effect size dan tidak
dipengaruhi oleh jumlah studi (Murti, 2021).
Heterogenitas berasal dari berbagai kemungkinan seperti perbedaan karakteristik
populasi studi, variasi pada desain studi (jenis desain, prosedur seleksi subjek
penelitian, sumber informasi, dan teknik pengumpulan informasi), perbedaan metode
statistik dan kovariat (Murti, 2021).
e. Bias Publikasi
Bias publikasi merupakan kecenderungan peneliti mempublikasikan artikel yang
memiliki hasil temuan positif, khususnya pada temuan baru. Namun cenderung tidak
melaporkan hasil yang tidak signifikan. Bias publikasi adalah sumber bias terpenting
dalam mengolah data pada meta-analisis (Murti, 2021).
Menurut Murti (2021) variabel yang mempengaruhi bias publikasi adalah sebagai
berikut:
1) Besar Sampel
2) Jenis Desain
3) Sponsorship
4) Konflik kepentingan
5) Prasangka mengenai hubungan yang diamati.
C. Penelitian Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yohannes et al (2018) yang berjudul
“Prevalence and correlates of post traumatic stress disorder among survivors of
road treaffic accidents in Ethiopia”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan stress pasca-trauma dan
faktor-faktor terkait di antara penyitas kecelakaan di jalan raya. Desain penelitian ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

adalah cross-sectional yang berlokasi di Ethiopia Tengah. Subjek penelitian ini terdiri
dari 531 orang yang selamat dari kecelakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan
mendapatkan dukungan sosial yang rendah (aOR=2.1; CI95%=1.34-3.46).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah besarnya PTSD pada perempuan, dukungan
sosial yang rendah, durasi kecelakaan (1-3 bulan), dan depresi ditemukan sebagai
prediktor yang signifikan.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Asnakew et al (2019) yang berjudul
“Prevalence of post-traumatic stress disorder and associated factors among
Koshe landslide survivors, Addis Ababa, Ethiopia: a community-based, cross-
sectional study”
Penelitian ini bertujuan untuk menilai prevalensi PTSD dan faktor-faktor terkait di
antara para penyintas tanah longsor Koshe, Addis Ababa, Etiopia pada tahun 2018.
Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di Addis Ababa,
Ethiopia. Subjek penelitian ini terdiri dari 830 partisipan yang selamat dari tanah
longsor di Koshe. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan sosial yang rendah
(aOR=3.64; CI95%=1.99-6.69).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi PTSD ditemukan tinggi dan
mengkonfirmasi bahwa tanah longsor memiliki efek negatif pada kesehatan mental
individu yang terdampak. Dukungan sosial yang buruk dan ancaman kehidupan yang
tinggi signifikan berhubungan dengan PTSD.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Acharya et al (2018) yang berjudul “Post-
Traumatic Stress Disorder Symptoms Among Children of Kathmandu s1 Year
After the 2015 Earthquake in Nepal”
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan prevalensi PTSD gejala dan untuk
menentukan tingkat individu dan tingkat keluarga prediktor gejala PTSD di antara
anak-anak yang terkena gempa bumi 2015 di Nepal. Desain penelitian ini adalah cross-
sectional study yang berlokasi di Nepal. Subjek penelitian ini terdiri dari 800 anak-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

anak berusia 7-16 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan sosial yang
rendah (aOR=2.65; CI95%=1.44-4.88).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai
faktor individu (tingkat paparan gempa bumi, pendidikan, dukungan sosial, dan agama)
dan faktor keluarga (tempat tinggal) adalah risiko penting faktor untuk pengembangan
gejala PTSD.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Caramanica et al (2019) yang berjudul
“Posttraumatic Stress Disorder after Hurricane Sandy among Persons Exposed
to the 9/11 Disaster”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengevaluasi hubungan antara
pengalaman Badai Sandy dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) terkait Sandy di
antara individu yang sebelumnya terkena bencana 11 September 2001 (9/11). Desain
penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di United State. Subjek
penelitian ini terdiri dari 4,558 orang yang mengalami dan melihat kejadian peristiwa
bencana alam badai sandy yang parah. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan
sosial yang rendah (aOR=2.7; CI95%=1.4-5.1).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Gejala stres terkait badai sandy yang
mengindikasikan PTSD memiliki pengaruh bagi orang yang tinggal di daerah banjir di
wilayah metropolitan NYC. Sebelumnya terkait 9/11 PTSD meningkatkan
kemungkinan PTSD terkait Sandy, sementara dukungan sosial bersifat protektif.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al (2022) yang berjudul “About Six in
Ten Survivors of the November 2020 Maikadra Massacre Suffer from
Posttraumatic Stress Disorder, Northwest Ethiopia”
Penelitian ini bertujuan untuk menilai prevalensi gangguan stres pasca-trauma dan
faktor-faktor terkait di antara penduduk Maikadra, Barat laut Ethiopia. Desain
penelitian ini adalah cross-sectional study yang berlokasi di Barat Laut Ethiopia.
Subjek penelitian ini terdiri dari 610 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan
sosial yang rendah (aOR=1.13; CI95%=0.60-2.11).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Kesimpulan dari penelitian ini adalah enam dari sepuluh warga menderita PTSD
setelah pembunuhan lebih dari 1,560 orang tak bersalah warga sipil di mana lebih dari
sepertiga responden kehilangan anggota keluarga. Wanita, mereka yang kehilangan
anggota keluarga, individu dengan ancaman yang dirasakan tinggi terhadap kehidupan
dan mereka yang memiliki gejala penyakit mental adalah yang paling terpengaruh. Ini
menyiratkan bahwa gangguan emosional yang intens dan persisten membutuhkan
intervensi psikososial yang mendesak.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Makango et al (2023) yang berjudul
“Prevalence and factors associated with post-traumatic stress disorder among
internally displaced people in camps at Debre Berhan, Amhara Region, Ethiopia:
a cross-sectional study”
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk menentukan prevalensi dan faktor-faktor terkait
PTSD di antara orang-orang yang mengungsi secara internal di kamp-kamp di Debre
Berhan, Ethiopia. Desain penelitian ini menggunakan cross-sectional study yang
berlokasi di Debre Berhan, Amhara, Ethiopia. Subjek penelitian ini terdiri dari 406
subjek penelitian yang mengalami kejadian stress pasca trauma di kamp pengungsian.
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi PTSD di antara responden adalah 67.5%;
CI95%=63-72. Menjadi pedagang (aOR=0.41; CI95%=0.02–0.85), menyaksikan
perusakan properti (aOR=1.67; CI95%=1.01–2.74), menghadapi trauma selama
perpindahan (aOR=6.00; CI95%=2.75–13.10), frekuensi perpindahan (aOR=0.31;
CI95%=0.11–0.85), menghadapi tekanan (aOR=5.42; CI95%=3.25–9.05), dan
pengangguran (AOR=2.09; CI95%=1.24–3.54) merupakan faktor yang secara
signifikan terkait dengan PTSD.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah menyaksikan penghancuran properti,
menghadapi trauma selama perpindahan berapa kali mengubah tempat tinggal karena
perang, kehilangan kematian keluarga adalah faktor yang terkait secara signifikan
dengan PTSD di antara pengungsi internal.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional study,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

7. Penelitian yang dilakukan oleh Sakisaka et al (2017) yang berjudul “Living


environment, health status, and perceived lack of social support among people
living in temporary housing in Rikuzentakata City, Iwate, Japan, after the Great
East Japan Earthquake and tsunami: A cross-sectional study”
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan lingkungan hidup dan status kesehatan
mereka yang tinggal di perumahan sementara di Rikuzentakata, Iwate, serta untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan kurangnya dukungan sosial yang
dirasakan. Desain penelitian ini menggunakan cross-sectional, yang berlokasi di
Jepang Timur. Subjek penelitian ini menyasar seluruh rumah tangga yang tinggal di
tempat tinggal sementara di Rikuzentakata, Iwate dan mengalami kejadian pasca
Tsunami Jepang tahun 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan sosial yang
kurang mendukung karena memiliki masalah dengan tetangga (aOR 3.68; p=0.002).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kehidupan di perumahan sementara cukup
menegangkan dan dapat menyebabkan kualitas hidup rendah, penurunan kesehatan
fisik dan mental. Situasi cenderung sangat menegangkan bagi mereka yang memiliki
distress lingkungan hidup mereka, beban keluarga yang berat, atau keluhan kesehatan.
Namun tingkat dukungan sosial lebih tinggi daripada tingkat nasional.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Jeong et al (2022) yang berjudul “Maternal
Posttraumatic Stress Symptoms and Psychological Burden in Mothers of Korean
Children With Anaphylaxis”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban psikologis pada ibu dari anak-anak
dengan anafilaksis. Desain penelitian ini menggunakan Multivariable logistic
regression analysis, yang berlokasi di Korea. Subjek penelitian ini 188 ibu dari anak
dengan anafilaksis. Hasil penelitian ini menunjukkan PTSS (IES-R-K ≥ 25)
diidentifikasi pada 56.9% ibu, dan 57.9% di antaranya menunjukkan PTSS Proporsi
ibu yang mengalami kecemasan (K-BAI ≥ 22) dan depresi (K-BDI ≥ 17) masing-
masing adalah 18.6% dan 33.0%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat PTSS
di antara ibu dari anak-anak dengan anafilaksis tinggi pada 56.9%. Tenaga Kesehatan
yang merawat pasien anafilaksis pediatrik harus menyadari beban psikologis pada
pengasuh mereka.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan Multivariable logistic


regression analysis, sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan
meta-analisis.
9. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammedhussein et al (2021) penelitian ini
berjudul “Posttraumatic Stress Symptoms Among Patients with Chronic
Medical Disease Amid Covid-19 Pandemic in Southwest Ethiopia”
Penelitian ini bertujuan untuk menilai gejala stres pascatrauma di tengah pandemi
COVID-19 antara pasien dengan penyakit medis kronis Desain penelitian ini
menggunakan Cross-sectional study yang berlokasi di Addis Ababa, Ethiopia. Subjek
penelitian ini 422 pasien penyakit kronis. Hasil penelitian ini menunjukkan persentasae
anxiety (aOR=6.52; CI95%=3.71-11.47) dan poor social support (aOR=2.16;
CI95%=1.26-3.68) memiliki hubungan yang signifikan dengan PTSS.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah gejala stres pasca trauma yang signifikan
dilaporkan oleh lebih dari separuh pasien dengan penyakit medis kronis. Hal ini
menjadi perhatian besar yang menunjukkan dampak signifikan dari pandemi COVID-
19 terhadap hal ini kelompok yang mencari perhatian untuk intervensi psikologis awal.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
10. Penelitian yang dilakukan oleh Mosheva et al (2021) yang berjudul “The
association between witnessing patient death andmental health outcomes in
frontline COVID‐19 healthcare workers”
Penelitian ini bertujuan untuk untuk membandingkan hasil kesehatan mental, faktor
risiko dan protektif untuk gejala stres pascatrauma (PTSS), kemungkinan depresi, dan
kecemasan antara petugas kesehatan yang bekerja di bangsal COVID-19 dan non-
COVID-19. Desain penelitian ini menggunakan Cross-sectional study yang berlokasi
di Israel. Subjek penelitian ini 828 Tenaga Kesehatan. Hasil penelitian ini
menunjukkan persentase menyaksikan kematian pasien di bangsal COVID-19
dikaitkan dengan kemungkinan PTSS meningkat empat kali lipat (OR=3.97; CI95%,
1.58–9.99) dibandingkan dengan bangsal non-COVID-19 (OR 0.91; CI95%=0.51–
1.61) Kesimpulan dari penelitian ini adalah menyaksikan kematian pasien menjadi
faktor risiko PTSS yang unik kepada petugas kesehatan yang terlibat langsung dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

merawat pasien dengan COVID-19 dan membantu petugas kesehatan mengatasi


kematian terkait COVID-19 dapat mengurangi risiko mereka stres pasca trauma.
Perbedaan penelitian pada penelitian ini yaitu menggunakan cross-sectional,
sedangkan peneliti akan menggunakan sistematik review dan meta-analisis.
D. Kebaruan Penelitian
Kebaruan penelitian meliputi tujuan penelitian, ruang lingkup (variabel penelitian), dan
penelitian primer dilibatkan dan dianalisis menggunakan meta-analisis. Metode
dilakukan dengan merangkum dan menggabungkan penelitian yang relevan mengenai
pengaruh dukungan sosial, persepsi ancaman, dan menyaksikan kematian terhadap
PTSD sehingga hasil dari analisa dapat memberikan ringkasan berdasarkan bukti.
Penelitian dilakukan di seluruh dunia dengan variabel yang dikaji yaitu dukungan
sosial, persepsi ancaman, dan menyaksikan kematian dengan outcome PTSD. Studi
primer yang peneliti libatkan yaitu studi-studi cross-sectional.
E. Kerangka Berpikir

Orang yang
mengalami/menyaksikan
peristiwa traumatis

Menyaksikan
Dukungan sosial Persepsi ancaman
kematian
(Social Support) (Perceived threat)
(Witnessing death)

PTSD
(Post-traumatic Stress
Disorder)

(Gambar 2.4 Kerangka Berpikir)


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

F. Hipotesis
1. Orang dengan pengalaman traumatis yang mendapatkan dukungan sosial memiliki
risiko yang lebih rendah mengalami PTSD daripada yang tidak mendapat dukungan
sosial.
2. Orang dengan pengalaman traumatis yang merasakan persepsi ancaman memiliki
risiko PTSD lebih tinggi daripada yang tidak merasakan persepsi ancaman.
3. Orang dengan pengalaman traumatis yang menyaksikan kematian memiliki risiko
PTSD yang lebih tinggi daripada yang tidak menyaksikan kematian.

Anda mungkin juga menyukai