Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Post-traumatic Stress Disorder (PTSD)

Oleh :

Fatin Syafieqah binti Lokman

112018112

Pembimbing :

dr. Susi Wijayanti, Sp.KJ

KEPANITRAAN KLINIK PSIKIATRI


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 26 APRIL 2021 – 29 MEI 2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Post-traumatic stress disorder (PTSD) atau Gangguan stres pasca trauma adalah
merupakan respons terhadap stresor yang bersifat bencana mengerikan yang mampu
diterima manusia secara umum. Peristiwa traumatik itu dapat berupa kecelakaan hebat,
perang, korban penyiksaan, aksi terorisme, pemerkosaan, menyaksikan kematian yang
mengerikan, berbagai peristiwa seperti kebakaran, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan
tsunami.1 Trias gangguan stres pasca trauma adalah: penghayatan berulang peristiwa
traumatik baik berupa ingatan, maupun mimpi, terkejut berlebihan, gangguan tidur,
perhatian dan konsentrasi berkurang, dan menjauhi aktivitas dan tempat yang
mengingatkan kejadian tersebut. Amerika serikat mengestimasikan prevalensi PTSD
sebanyak 7,8% pada dewasa dimana wanita lebih berisiko tinggi yaitu 20,4% dibanding laki-
laki 8,2%. Angka yang tinggi didapatkan pada orang Afrika-Amerika dan penduduk asli
Amerika (14-16%) dan juga penduduk dari daerah yang sering dilanda konflik di dunia (9-
60%).2 Walaupun PTSD dapat mengenai semua umur, prevalensi tertinggi adalah pada dewasa
muda karena lebih sering terpapar dengan situasi tersebut. PTSD dapat terjadi dengan adanya
komorbid, stressor berupa situasi traumatik disertai dengan ketakutan dan ngeri, faktor resiko,
faktor biologis maupun faktor psikodinamik.3
1.2 Tujuan Umum
Mengetahui dengan lebih terperinci teori serta perbahasan tentang post-traumatic stress
disorder (PTSD).
1.3 Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan tentang definisi gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD).
b. Mendeskripsikan secara umum tentang epidemiologi penyakit post-traumatic
stress disorder (PTSD).
c. Mendeskripsikan komorbiditas pada gangguan post-traumatic stress disorder
(PTSD).
d. Mendeskripsikan etiologi gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD).

2
e. Medeskripsikan kriteria diagnostik gangguan post-traumatic stress disorder
(PTSD) sesuai dengan pedoman PPDGJ-III dan ICD 10.
f. Mendeskripsikan diagnosis banding pada penderita gangguan post-traumatic stress
disorder (PTSD).
g. Mendeskripsikan tatalaksana yang terkait dengan penyakit post-traumatic stress
disorder (PTSD) baik secara farmakologis dan juga non-farmakologis sesuai
dengan teori

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
2.1.1 Stres
Stres dapat didefinisikan sebagai segala jenis perubahan yang menyebabkan ketegangan
fisik, emosional, atau psikologis. Stres adalah respons tubuh terhadap apa pun yang
membutuhkan perhatian atau tindakan.4 Stres merupakan salah satu luka psikologis yang akan
membekas hingga waktu yang tidak dapat ditentukan oleh siapapun, apalagi tanpa pengawalan
dan penanganan serta pemulihan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Stres yang di alami
seseorang akan tergantung pada bagaimana orang tersebut menghadapi kondisi yang
menyebabkan munculnya stres, dengan demikian reaksinya sangat bervariasi antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya baik dalam jenis maupun intensitasnya. Secara umum
stres dapat mempengaruhi aspek psikologis, (mental), fisik, perilaku dan lingkungan.5
Stres terdiri dari 2 macam yang pertama, Distres yaitu stres yang bersifat merugikan, tidak
sehat dan destruktif yang diakibatkan oleh hal-hal tidak menyenangkan seperti pertengkaran,
kematian pasangan dan lain-lain. Kedua, eustres yang merupakan stres yang bersifat positif,
menguntungkan dan konstruktif (membangun) yang diakibatkan oleh hal-hal yang
menyenangkan seperti perubahan peran setelah menikah, kelahiran anak pertama dan lain-lain.
Faktor penyebab stres disebut sebagai stressor. Stresor sendiri teridiri dari stresor fisik-
biologik, stresor psikologik dan stresor sosial. Terdapat 6 tahapan stres yang paling ringan
tahap I hingga paling berat tahap VI. Gejala-gejala pada tahapan stres tersebut didominasikan
oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh fungsional organ tubuh sebagai akibat dari
stresor yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Ketika individu tidak
menyelesaikan atau mengatasi stres dengan efektif, maka stres berpotensi menyebabkan
gangguan psikologis seperti post-traumatic stress disorder atau stres akut.
2.1.2 Trauma
Trauma berasal dari bahasa yunani “tramatos” yang artinya luka. Dalam kamus
kaunseling, traumatik adalah pengalaman dengan tiba-tiba yang mengejutkan yang
meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa seseorang sehingga dapat merusak fisik
maupun psikologis.5 Trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa mengerikan seperti

4
kecelakaan, pemerkosaan, atau bencana alam. Segera setelah kejadian tersebut, keterkejutan
dan penyangkalan adalah hal yang biasa. Reaksi jangka panjang termasuk emosi yang tidak
terduga, kilas balik, hubungan yang tegang, dan bahkan gejala fisik seperti sakit kepala atau
mual.6
2.1.3 Post-traumatic Stres Disorder (PTSD)
Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) atau Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah
keadaan dimana timbul respon berkepanjangan dan atau tertunda terhadap sesuatu kejadian
yang menimbulkan stres yang ditandai dengan meningkatnya stres dan kecemasan akibat
paparan peristiwa traumatis.1 Antara peristiwa traumatis termasuklah terlibat dalam
kecelakaan, kejahatan, pertempuran, penculikan, bencana alam, pelecehan seksual maupun
penyakit yang mengancam jiwa. Orang tersebut bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan
ketakutan, ketidakberdayaan dan sering mengingat kembali situasi tersebut, dan mencoba
untuk menghindari mengingatinya. Peristiwa tersebut mungkin dapat terulang kembali
(flashback) maupun dalam mimpi.3
2.2 Epidemiologi
Amerika serikat mengestimasikan prevalensi PTSD sebanyak 7,8% pada dewasa dimana
wanita lebih berisiko tinggi yaitu 20,4% dibanding laki-laki 8,2% meskipun mereka
mengalami trauma yang lebih sedikit. Angka yang tinggi didapatkan pada orang Afrika-
Amerika dan penduduk asli Amerika (14-16%) dan juga penduduk dari daerah yang sering
dilanda konflik di dunia (9-60%). Walaupun PTSD dapat mengenai semua umur, prevalensi
tertinggi adalah pada dewasa muda karena lebih sering terpapar dengan situasi tersebut. Anak-
anak juga berisiko menderita gangguan ini.
2.3 Komorbiditas
Angka komorbiditas antara pasien PTSD sangat tinggi dimana dua per tiga darinya
mempunyai sekurangnya dua gangguan lainnya. Kondisi Komorbid yang sering termasuklah
gangguan depresi, gangguan ansietas, penyalahgunaan zat dan bipolar. Mereka dengan
komorbid lebih mudah terkena PTSD. 3
2.4 Etiologi
PTSD adalah dikonsepkan sebagai kegagalan pemulihan sebagian atau respon
berkepanjangan atau tertunda terhadap situasi yang menimbulkan stres yang bersifat
katastrofik dan menakutkan yang cenderung menyebabkan distres pada seseorang. Pada

5
keadaan ini terjadinya kegagalan untuk memadamkan respons prilaku terhadap rangsangan
yang terkait dengan trauma dimana terjadinya perubahan dalam “fear learning” yang
melibatkan hipokampus, amigdala dan korteks prefrontal. Hipokampus berperan dalam
kemampuan untuk recall episode aman apabila mengalami stimulus ketakutan. 1,2
2.4.1 Stresor
Faktor yang menyebabkan munculnya stres pada seseorang dikenal sebagai stressor.
Stressor dapat muncul dari berbagai situasi dan peristiwa. Stresor adalah faktor penyebab
utama berkembangannya PTSD. Terjadinya PTSD akibat adanya stresor berat yang melampaui
kapasitas hidup seseorang sehingga menimbulkan penderitaan. Tidak semua orang mengalami
PTSD setelah situasi traumatik. Stresor sahaja tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.
Respon terhadap situasi traumatik harus disertai dengan ketakutan dan ngeri. Arti subyektif
stressor untuk seseorang juga penting. Misalnya, orang yang selamat dari bencana mungkin
mengalami perasaan bersalah (survivor guilt) yang bisa mempengaruhi, atau memperburuk
PTSD.3 Antara kejadian atau situasi yang dapat menyebabkan trauma termasuklah
pertempuran, bencana alam, kecelakaan, pemerkosaan, pelecehan fisik maupun seksual,
kehilangan orang yang dicintai dan krisis medis seperti luka bakar, kanker dan infark miokard.2
2.4.2 Faktor resiko
Tidak semua orang trauma akan mengalami simptom PTSD. Peristiwa yang mungkin
tampak biasa atau kurang katastrofik bagi seseorang, mungkin dapat menyebabkan PTSD pada
beberapa orang. Bukti menunjukkan hubungan dosis-respon antar tingkat trauma dan
kemungkinan gejala. Terdapat beberapa faktor predisposisi yang memainkan peran dalam
etiologis gangguan tersebut antaranya adalah : 3
• Trauma masa kanak-kanak (trauma fisik atau seksual)
• Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu maupun keluarga
• Gangguan personaliti genetik seperti gangguan kepribadian ambang, paranoid,
dependent atau antisosial
• Kecenderungan menjadi khawatir
• Dukungan keluarga atau teman sebaya yang tidak memadai
• Karakter introver atau kesulitan menyesuaikan diri
• Terpapar kejadian-kejadian yang menimbulkan penderitaan dan membuat perubahan
hidup menjadi tertekan

6
• Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna

2.4.3 Faktor Psikodinamik

Hipotesis PTSD mendapatkan trauma telah reaktivasi sebelumnya dan belum terselesaikan
konflik psikologikal. Trauma waktu kecil yang terulang kembali dapat menghasilkan
mekanisme pertahanan represi, penolakan, reaksi dan lain-lain. Menurut Freud, pada pasien
yang mengalami trauma masa kecil, konflik yang sudah ada sebelumnya dapat dibangkitkan
kembali oleh peristiwa baru. Ego pada pasien mencoba untuk menguasai dan mengurangi
kecemasan yang terjadi. 3

2.4.4 Faktor prilaku-kognitif

Model Kognitif pada pasien PTSD adalah tidak dapat merationalisasi trauma dengan cepat
menyebabkan gangguan PTSD. Mereka terus merasakan stres dan mencoba untuk
menghindari apa yang dialami dengan tehnik penghindaran. Orang-orang tersebut akan
menekan ingatan tentang trauma yang dialami ke alam bawah sadar yang lama kelamaan
menumpuk, jika terjadi trauma lagi hal tersebut dapat menimbulkan kebangkitan ingatan
trauma sebelumnya. Model prilaku PTSD menekankan 2 fase dalam perkembangannya.
Pertama, trauma yang menimbulkan ketakutan melalui kondisi fisik maupun mental
(mengingat kembali, bau, suara). Kedua, melalui pembelajaran instrumental, kondisi
menghindari respon ketakutan. 3

2.4.5 Faktor Biologis


Gejala gangguan stres pasca trauma timbul akibat dari respon biologis dan psikologis
individu. Hal ini terjadi karena aktivasi beberapa sistem diotak yang berkaitan dengan
timbulnya perasaan takut pada seseorang. Hal ini menyebabkan otak akan menilai kebahayaan
kondisi tersebut serta mengorganisasi respon prilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala
berperan besar yaitu mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan neurokimiawi di otak
jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk
menghadapi hal tersebut. Beberapa milidetik setelah peritiwa traumatik, amigdala akan
mengirimkan stimulus berupa tanda darurat kepada sistem saraf simpatis (katekolamin), sistem
saraf parasimpatis dan aksis hipotalamus-hipofisis kelenjar adrenal (aksis HPA).

7
Perangsangan sistem saraf simpatis meningkatkan denyut jantungdan tekanan
darah.kondisi ini disebut fight or flight reaction.reaksi ini juga meningkatkan aliran darah dan
glukosa pada otot untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau untuk memberi reaksi
interaktif. Reaksi sistem saraf parasimpatis adalah membatasi reaksi sistem sara simpatis di
beberapaa bagian tubuh. Aksis HPA yang terstimulasi oleh neuropeptida otak setelah
mengalami peristiwa traumatik. Hipotalamus mengsekresikan Cortico-releasing factor (CRF)
dan beberapa neuropeptida lain. Kelenjar hipofisis mensekresi Adenocorticotropic hormone
(CRF) yang akhirnya menstimulasikan pengeluaran hormon kortisol. Seseorang yang
mengalami tekanan, tubuhnya akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan kortisol untuk
menyediakan energi dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Kortisol menghentikan akrivasi
sistem saraf simpatis dan beberapa sistem yang bersifat defensif terhadap peristiwa trauma.
Kortisol berperan dalam terminasi dari respon tubuh terhhadap tekanan. Kortisol menimbulkan
efek umpan balik negatif pada aksis HPA.3
Pada individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma, mereka mengalami gangguan
dalam regulasi neuropeptida dan katekolamin saat adanya peristiwa traumatik. Hal ini
membuatkan pasien siap siaga terus menerus. Jika kortisol gagal menghentikan proses ini,
aktivasi katekolamin tetap tinggi menyebabkan terjadi konsolidasi berlebihan dari ingatan-
ingatan peristiwa traumatik yang dialami.
2.5 Kriteria Diagnostik
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya
dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa. Kemungkinan diagnosis
masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset
gangguan melebihi waktu 6 bulan.1 Dokter harus mempertimbangkan situasi dan faktor
biologis dan psikososial seseorang yang sudah ada sebelum dan sesudah trauma. 3,7,8
Gejala khas mencakup episode-episode dimana bayangan kejadian tersebut sering terulang
kembali atau dalam mimpi. Gejala PTSD adalah terdiri dari 3 simptom utama yaitu merasakan
kembali peristiwa traumatik, menghindar rangsangan yang terkait trauma dan waspada.
a) Merasakan kembali peristiwa traumatik (Re-experiencing symptoms) 2
Tanda dan gejala pada kelompok ini muncul dalam berbagai bentuk seperti bayangan
atau imaginasi yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik (flashback). Hal ini
dapat terjadi terus menerus dan menetap. Antara tanda dan gejala yang timbul adalah:

8
• Memiliki pikiran dan ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa
traumatik secara berkelanjutan.
• Mengalami mimpi buruk yang terus menerus
• Merasakan seolah-olah peristiwa buruk tersebut akan terulah kembali.
• Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa
tersebut.
• Terjadi respon fizikal seperti berkeringat dan berdebar apabila teringat
peristiwa tersebut.
b) Menghindar rangsangan terkait trauma (Avoidance symptoms)
Terjadi penurunan respon individu secara umum dan prilaku menghindar yang
menetap terhadap segala hal yang mengingatkan pasien terhadap trauma. Hal-hal yang
bisa mengingatkan pasien terhadap trauma dapat berasal dari pasien sendiri seperti
pikiran dan perasaan atau stimulus dari luar atau lingkungan yang mampu
membangkitkan memori atau perasaan yang tidak menyenangkan. Tanda dan gejala
yang timbul adalah:
• Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan, aktivitas, pembicaraan
maupun tempat yang mengingatkan kembali peristiwa traumatik tersebut.
c) Waspada (hyperarousal symptoms)
Penderita PTSD akan mengalami peningkatan pada mekanisme fisiologis tubuh
yang akan timbul pada saat istirehat. Hal ini terjadi akibat reaksi yang berlebihan
terhadap stresor baik secara langsung atau tidak yang merupakan lanjutan atau sisa-sisa
dari trauma yang dirasakan dimana pasien mudah terpicu/ sangat waspada.
d) Lain-lain
• Sulit untuk tidur
• Kecemasan meningkat
• kurang Konsentrasi
• mudah marah
• Merasa jauh dari orang lain.
• Emosi sering negatif (ketakutan, ngeri, bersalah, malu)
• Hilang ketertarikan dalam beraktivitas

9
• Kesulitan merasakan perasaan-perasaan positif seperti kesenangan,
kebahagiaan atau cinta maupun kasih sayang.

Kadang-kadang dapat terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif
yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang
dialami. Dapat juga terjadi bangkitan otonomik yang berlebihan dengan kenekatan yang
berlebihan, mudah kaget, tertegun dan insomnia. Selain itu, dapat juga terjadi anxietas dan
depresi disertai gejala diatas dan ide bunuh diri, penggunaan obat-obatan dan alkohol secara
berlebihan.1

Onset setelah terjadinya trauma dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai bulan (jarang melebihi 6 bulan). Pada sejumlah kecil pasien dapat menjadi kronis
sampai beberapa tahun dan transisi menuju perubahan kepribadian yang berlangsung lama. 1

2.6 Diagnosis Banding


Pasien sering menunjukkan reaksi kompleks terhadap trauma, maka perlu hati-hati dalam
menyingkirkan sindrom lainnya saat mengevaluasi pasien yang datang setelah trauma. Oleh
itu sangat penting dalam mengenali kondisi medis pasca trauma yang dapat diobati,
terutamanya cedera kepala setelah trauma. Hal ini dapat dideteksi dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan teliti. Pertimbangan lain yang dapat memperburuk
gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan lainya yang terkait zat. Gejala klinis
intoksikasi obat akut dan putus zat akut sulit dibedakan dari gangguan ini sehingga efek dari
substansi tersebut hilang. 3

Gangguan panik dan cemas menyeluruh


Gejala PTSD sulit dibedakan dengan dua penyakit ini karena ketiga gejala PTSD
berhubungan dengan kecemasan yang menonjol dan kewaspadaan otonom. Kunci untuk
mendiagnosa PTSD adalah meninjau dengan teliti perjalanan waktu terkait simptom peristiwa
traumatis. PTSD juga sering dikaitkan dengan re-experiencing dan menghindari trauma, dan
biasanya tidak terdapat pada gangguan panik atau cemas menyeluruh.

10
Gangguan kepribadian ambang (borderline), gangguan disosiatif dan gangguan
factitious
Gangguan kepribadian borderline sulit dibedakan dengan PTSD karena kedua gangguan
ini dapat terjadi bersamaan dan berhubungan secara kausal. Pasien dengan gangguan disosiatif
biasanya tidak ada prilaku menghindar, hyperarosal atau riwayat trauma seperti pada pasien
PTSD. 3

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Farmakoterapi
Penghambat reuptake serotonin selektif (SSRI) seperti sertraline 50-200mg/hari,
paroxetine, fluoxetine 10-60mg/hari merupakan lini pertama untuk pengobatan PTSD karena
kemanjurannya, tolerabilitasnya dan keamannanya. SSRI dapat mengurangi semua kelompok
gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala khusus PTSD bukan hanya gejala yang
mirip dengan depresi atau gangguan ansietas lainnya misalnya memperbaiki re-experiencing,
menghindar, hyperarousal, kaku karena ketakutan dan hal-hal lainnya yang dapat
memperbaiki kualiti hidup pasien PTSD. Menariknya, paroxetine juga telah terbukti berpotensi
mengatasi defisit kognitif yang terkait dengan PTSD.9
Obat trisiklik seperti imipramine 50-300mg/hari dan amitriptilin 50-300mg/hari juga dapat
digunakan dengan dosis yang sama dengan pengobatan gangguan depresi.3 Beberapa agen lain
yang dapat digunakan dalam pengobatan PTSD yang dapat mempengaruhi rangkaian gejala
PTSD seperti agen antidepresan seratonergik trazadone dengan efek penenang dan agen
antiadrenergik dalam pengobatan gangguan tidur dan mimpi buruk terkait PTSD namun obat-
obatan ini tidak disetujui FDA untuk pengobatan PTSD.9
Selain itu antikonvulsan seperti carbamazepine, valproate juga dapat digunakan. Selain
itu, penggunaaan anti adrenergik seperti clonidine dan propanolol disarankan karena teori
hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan ini.

11
2.7.2 Psikoterapi
Pedoman klinis merekomendasikan terapi psikologis yang berfokuskan pada trauma
berdasarkan bukti dari sistematik review dan meta analisis. Intervensi Psikoterapi yang efektif
pada pasien PTSD termasuklah terapi prilaku (behaviour therapy), terapi kognitif (cognitive
therapy) dan hipnosis. 3
Exposured-Based Interventions adalah modalitas terapi empiris suportif yaitu dengan
pendekatan psikososial untuk PTSD. Perkembangna terapi prilaku ini menunjukkan bahwa
ketakutan dapat ditenangkan dan dihilangkan melalui pengalaman belajar. Misalnya berulang
kali memasang nada uncomfortable shock lama kelamaan timbul respon ketakutan automatik
terhadap nada tersebut sehingga ketakutan tersebut mulai berkurang. Terapi prilaku ini dapat
membantu pasien untuk secara sistematis mendekati daripada menghindar rangsangan yang
ditakuti misalnya situasi yang mengingatkan pasien terhadap peristiwa traumatis dengan
adanya konsekuensi yang ditakuti seperti cedera pada tubuh, atau kecemasan yang
berpanjangan sehingga konsekuensi dan respon rasa takut otomatis terhadap rangsangan
mereda.9
Salah satu protokol terapi empiris suportif exposured-based untuk PTSD adalah prolonged
exposure therapy (PE). PE dilakukan 8 hingga 13 sesi sekali atau 2 kali seminggu dengan
durasi 60-90 menit. Mayoritas pasien yang melengkap PE secara signifikannya telah berkurang
gejala PTSD. Pada awal PE, pasien diajari latihan pernafasan relaksasi dan diberikan
psikoedukasi tentang gejala PTSD dan faktor-faktor yang dapat mencetuskan PTSD. Beberapa
kunjungan berikutnya, pasien disuruh mendeskripsikan trauma dengan suara yang keras untuk
waktu yang lama sekitar 30-45 menit untuk memadamkan respon ketakutan terhadap memori
tersebut (imaginal exposure). Selain itu, pasien diajari untuk mendekati situasi terkait trauma
(vivo exposure). Pasien diberikan pekerjaan rumah (PR) di antara sesi yaitu dengan
mendengarkan rekaman sesi terapi dan mempraktikkan vivo exposure.9
Cognitive Based Therapy (CBT) termasuk komponen tehnik dalam mengelola flashback,
(misalnya: berfokus pada saat ini dan disini dengan mendeskripsikan item dalam ruangan),
latihan relaksasi (misalnya, kontrol pernafasan dan relaksasi otot progresif), berfikir positif dan
berbicara sendiri (misalnya : mengulangi frasa positif seperti “ saya bisa menangani ini”) telah
terbukti menunjukkan efektivitas yang serupa dengan CBT dan EMDR yang berfokus pada
trauma segera setelah perawatan tetapi hal ini tidak dipertahankan pada follow up. 8

12
Tehnik psikoterapi lain yang relatif baru adalah Eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR) dimana pasien berfokus pada gerakan jari dokter sambil
mempertahankan imej mental peristiwa traumatis. Gejala tersebut dapat reda saat pasien
melewati masa peristiwa traumatis saat dalam relaksasi yang dalam. Perawatan ini sama efektif
dan mungkin lebih efektif dari terapi lainnya untuk pasien PTSD dan disukai oleh dokter
maupun pasien yang telah melakukannya.3
Selain terapi individu, terapi kelompok seperti terapi keluarga (family therapy) juga telah
dilaporkan efektif pada pasien PTSD. Keuntungannya adalah dapat berbagi pengalaman
traumatik dan dapat dukungan dari ahli kelompok. Terapi kelompok sangat berhasil
terutamanya pada survivor bencana alam. Terapi keluarga sering kali membantu
mempertahankan pernikahan pada situasi yang buruk . Rawat inap mungkin diperlukan bila
gejala sangat parah atau bila berisiko ada bunuh diri atau kekerasan lainnya.

13
BAB III

KESIMPULAN

Seseorang yang mengalami pengalaman traumatik selalu terkait dengan aspek tingkah
laku, yang apabila tidak ditangan dengan baik akan berkembang menjadi post-traumatic stress
disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan psikologis yang dapat berdampak pada timbulnya
gangguan yang lebih kompleks baik pada fisikal, mental sosial maupun prilaku. Oleh itu
penanganan yang cepat dan tepat haruslah diberikan agar perjalanan penyakitnya tidak menjadi
kronis dan transisi menuju perubahan kepribadian yang berlangsung lama.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES. RI. 2000. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III(PPDGJ-
III). Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI.
2. Kirkpatrick H, Heller G. Post-traumatic stress disorder: Theory and treatment update. Int J
Psychiatry Med. 2014;47(4):337–46.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro Ruiz. synopsis of Phychiatry. 11th ed. new york; 2014. 1419
p
4. Scott E. Stres.What is stress? Verywell mind. 2020 diunduh dari
https://www.verywellmind.com/stress-and-health-
3145086#:~:text=Stress%20can%20be%20defined%20as,to%20your%20overall%20well
%2Dbeing
5. Hatta K. Trauma dan pemulihannya. 1st ed. Aceh; 2016. p 7
6. Trauma. Phychological topics. American Psychological Association. 2021 diunduh dari
https://www.apa.org/topics/trauma#:~:text=Trauma%20is%20an%20emotional%20respo
nse,symptoms%20like%20headaches%20or%20nausea.
7. Rastuti RT, Amin MK, Purborini N. Manajemen Penanganan Post Traumatic Stress
Dissorder (PTSD) 1st ed ;2018
8. Bisson JI, Cosgrove S, Lewis C, Roberts NP. Post-traumatic stress disorder. BMJ.
2015;351
9. Lancaster C, Teeters J, Gros D, Back S. Posttraumatic Stress Disorder: Overview of
Evidence-Based Assessment and Treatment. J Clin Med. 2016;5(11):105

15

Anda mungkin juga menyukai