Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HALU OLEO JANUARI 2018

POLYMYOSITIS

OLEH :

Nur Azizah Noviyana, S.Ked

K1A1 11 026

SUPERVISOR

dr.Happy Handaruwati., M.Kes., Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIANNEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nur Azizah Noviyana

Nim : K1A1 11 026

Judul Referat : Polymyositis

Telah menyelesaikan pembacaan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada hari
Jumat 19 Januari 2018.

Kendari, 9 Januari 2018

Pembimbing

dr. Happy Handaruwati., M.Kes.,Sp.S

2
POLYMYOSITIS
Nur Azizah Noviyana, Happy Handaruwati

I. DEFINISI

Polymyositis (PM) adalah penyakit idiopatik subakut atau kronis yang

penyebab nya tidak diketahui yang ditandai dengan kelemahan simetris dari

otot tungkai dan badan bagian proksimal. Penyakit ini memiliki onset

bertahap dan progresif selama periode beberapa minggu atau bulan. Penyakit

ini menyebabkan kekuatan otot menurun biasanya mempengaruhi otot-otot

proksimal. Polymyositis kelompok penyakit autoimun dimana sel-sel darah

putih, sel-sel radang secara spontan menyerang otot 1-3.

II. EPIDEMIOLOGI

Idiopatik inflamasi myopati merupakan penyakit yang jarang terjadi,

insiden di Amerika Serikat sekitar 0,5 – 8,4 kasus per 1000.000 populasi.

Polymyositisdi Amerika Serikat lebih banyak ditemukan dalam populasi

kulit hitam,dengan insiden polymyositis 5:1 dermatomyositis3:1.

Polymyositis jarang ditemukan pada orang-orang Jepang. Polymyositis dan

dermatomyositis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan

rasio 2: 1, sedangkan inclusion body myositis dua kali lebih sering terjadi

pada pria. Polymyositis biasanya mempengaruhi orang dewasa umur > 20

tahun, terutama mereka yang berusia 45- 60 tahun. Polymyositis jarang

menyerang anak-anak.. Dermatomiositis juga merupakan penyakit pada

3
orang dewasa, namun dapat di jumpai pada anak-anak usia 5-14 tahun.

Inclusion body myositis 80 % yang lebih tua dari 50 tahun di awal.4

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Otot skelet merupakan organ kontraktil yang berfungsi untuk

pergerakan. Sebagian besar otot skelet berhubungan dengan tulang melalui

tendon. Otot skelet terdiri dari sel-sel otot yang berbentuk serabut (fiber)

dengan struktur tertentu. Kumpulan serabut otot disebut fasikula (fascicle),

dan setiap serabut di dalam fasikula dipersarafi oleh neuron motor yang

berbeda. Secara fungsional serabut otot dikelompokan kedalam uni motor

yang terdiri dari lower motor neuron yang berasal dari kornu anterior

medulla spinalis dan serabut otot yang dipersarafinya. Semua serabut otot

dalam unit motor adalah dari jenis yang sama 5.

Berdasarkan metabolisme dan responnya terhadap rangsangan, serabut

otot dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu

Serabut otot tipe 1 (slow twitch oxydative) memiliki respon terhadap

rangsangan listrik lebih lambat, intensitas kontraksi moderat dan tahan

lelah terhadap rangsangan berulang. Serabut tipe 1 ini memiliki sejumlah

besar mitokondria dan banyak mengandung lemak.

Serabut otot tipe 2a (fast twitch oxidative glycilytic fiber) merupakan jenis

antara serabut tipe 1 dan tipe 2a.

Serabut otot tipe 2b (fast twitch glycolytic fibers) mempunyai respon

terhadap rangsangan listrik lebih cepat dengan intensitas kontraksi yang

4
kuat, tetapi cepat lelah. Dalam serabut ini banyak terdapat miofosforilase

dan mioadenilat deaminase serta glikogen 5.

Karakteristik setiap serabut otot biasanya terjadi dalam masa

pertumbuhan dan selanjutnya dipelihara melalui interaksi antara neuron

motor dengan otot yang dipersarafinya. Distribusi dan spesifitas serabut

otot dapat dipengaruhi oleh reinervasi, latihan fisik dan proses penyakit.

Setiap serabut otot terdiri dari dari sel multinuclear yang dikelilingi oleh

membrane plasma yang disebut sarkolema. Serabut otot mengandung

protein kontraktil yang disebut miofilamen yang terdiri dari aktin, myosin,

troponin, dan tropomiosin. Miofilamen terendam dalam dalam sitoplasma

yang disebut sarkoplasma, terdapat diantara serabut otot dan dikelilingi

oleh reticulum sarkoplasmik dijalankan melalui suatu lubang dan saluran

yang disebut system t-tubule5.

Kontraksi otot dimulai dari adanya suatu potensial aksi berjalan

disepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya pada serabut

otot.Disetiap ujung, saraf mensekresi subtansi neurotransmitter yaitu

asetilkolin dalam jumlah sedikit. Asetilkolin bekerja pada area stempat

pada membran serabut otot untuk membuka banyak kanal “gerbang

asetilkolin” melalui molekul-molekul protein yang terapung pada

membran. Terbukanya kanal gerbang asetilkolon memungkinkan sejumlah

besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membrane serabut otot.

Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membrane.

5
Potensial aksi akan berjalan disepanjang membrane serabut otot dengan

cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membrane

serabut saraf.Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot,

dan banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot.

Disini potensial aksi menyebabkan reticulum sarkoplasma melepaskan

sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan di dalam reticulum

ini.Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filament aktin

dan miosin, yang menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu sama

lain dan menghasilkan proses kontraksi.Setelah kurang dari satu detik, ion

kalsium dipompa kembali ke dalam reticulum sarkoplasma oleh pompa

membrane Ca++, dan ion-ion ini tetap disimpan dalam reticulum sampai

potensial aksi otot yang baru datang lagi, pengeluaran ion kalsium dari

myofibril akan menyebabkan kontraksi otot berhenti.6

IV. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Polymyositis merupakan sindrom imun sekunder yang berkaitan

dengan kerusakan imunitas seluler yang paling sering dikaitkan dengan

penyakit autoimun sistemik lainnya. Ini mungkin karena berbagai

penyebab yang terjadi seperti infeksi virus, keganasan, atau gangguan

jaringan ikat. Sampai saat ini, tidak ada penyebab pasti dari polymyositis

yang telah diisolasi oleh peneliti ilmiah. Sementara agen yang memicu

awal tetap tidak diketahui, kemungkinan infeksi tertentu seperti virus

atau trauma otot. Ada banyak penyakit menular yang diduga memicu

6
penyakit, terutama Coxsackie virus B1, HIV, T-lymphotropic virus

manusia 1(HTLV-1), hepatitis B dan C, influenza, echovirus, dan

adenovirus.1,4.

Banyak obat-obatan juga dapat menyebabkan miopati, seperti

hidroxicloroquine dan colchicine. Pada biopsi otot menunjukan inflamasi

kronik pada danpolymyositis. Obat-obatan seperti D-penicillamine,

hydralazine, procainamide, phenytoin, dan ACE inhibitor mempunya

hubungan dengan tipe inflamasi miopati. Inflamasi otot yang berat dapat

juga menyebabkan rhabdomyolysis.4

Penyakit polymyositis diduga berhubungan dengan sistem imun

tubuh. Adanya cedera otot yang diperantarai oleh virus atau

mikrovaskuler menyebabkan pelepasan dari autoantigen otot.

Autoantigen otot ini kemudian disampaikan pada limfosit T oleh

makrofag dalam otot. Aktifasi T limfosit ini menyebabkan proliferasi dan

pelepasan sitokin seperti interferon gamma dan interleukin 2.Interferon

gammamenyebabkan aktifasi makrofag lagi dan pelepasan mediator

inflamasi seperti IL-1 dan TNF alfa. Sitokin kemudian menyebabkan

ekspresi yang menyimpang dari histokompabilitas kompleks mayor

(MHC) molekul kelas I dan lidan adhesi molekul pada sel otot. Keruskan

serat otot terjadi ketika CD8+ limfosit (sitotoksik) bertemu dengan

antigen bersama dengan MCH molekul kelas I pada sel otot. Makrofag

7
kemudian menyebabkan kerusakan otot, baik langsung maupun secara

tidak langsung melalui pengeluaran sitokin.

V. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot yang dapat

mengenai sebagian atau semua otot skelet, timbul akut atau subakut.

Paling sering mengenai otot proksimal gelang bahu dan gelang panggul,

kadang-kadang dapat juga mengenai otot lain, sehingga menimbulkan

kesulitan mengangkat kepala, berjalan lurus, dan sebagainya. Gejala

utamanya adalah kelemahan otot ekstremitas bagian proksimal. Otot-otot

yang terkena semuanya nyeri, pegal, atau sengal. Otot-otot larings juga

bisa terkena. Kesulitan menelan menyebabkan ancaman aspirasi yang

dapat mengancam jiwa. Pada kasus berat semua otot skelet dapat terkena,

sehingga pasien terpaksa tinggal ditempat tidur karena tidak dapat

bergerak. Otot dapat membengkak, keras dan kaku. Sehubungan dengan

itu perlu dilakukakn penilaian kekuatan otot-otot untuk mendiagnosis dan

penatalaksanaan selanjutnya. Refleks tendon pada umumnya menurun5,8.

8
Gambar 1. Otot yang terkena pada polymyositis

Gejala sistemik dapat berupa badan lemah, demam, malaise,

anoreksia, dan berat badan menurun5.

Pada kulit akan tampak ruam heliotrope, yaitu ruam ungu

kemerahan agak bersisik yang dapat ditemukan di daerah periorbital,

malar, dahi, dan lipatan nasolabialis. Selain itu dapat ditemukan papul

gottron yaitu papul-papul ungu kemerahan pada daerah interfalang jari-

jari. Di daerah dada dan leher dapat ditemukan ruam kemerahn yang

berkonfluens yang disebut V-sign rash, sedangkan didaerah bahu dan

proksimal lengan dapat ditemukan ruam kemerahan yang disebut Shawl-

sign rash. Pada kuku dapat ditemukan eritema periungual, pertumbuhan

kutikular daan dilatasi lengkung kapiler. Pada sendi dapat ditemukan

sinovitis subakut yang mungkin menyerupai gambaran arthritis

rheumatoid5.

9
Gambar 2. Manifestasi klinis polymyositis

Pada paru dapat ditemukan fibrosis paru dan pneumonia

interstitialis, sedangkan pada saluran cerna dapat ditemukan disfagia dan

enterovaskulitis 5.

10
VI. DIAGNOSIS

Diagnosis polymyositis pada hakekatnya merupakan

diagnosisklinis, yang didasarkan adanya kelemahan otot skelet proksimal

yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium yang sesuai.

Kriteria diagnosis Polymyositis menurut Bohan dan Peter :

1. Kelemahan simetris otot gelang bahu dan panggul dan otot fleksor

anterior leher yang progresif berminggu-minggu sampai berbulan-

bulan dengan atau tanpa disfagia atau keterlibatan otot pernafasan

2. Keterlibatan histologik otot skelet menunjukan tanda-tanda nekrosis

pada serabut otot tipe1 dan 2, fagositosis, regenerasi dengan basofilia,

inti sarkolema yang besar dengan anak inti yang prominen, atrofi

perivaskular, ukuran serabut otot yang bervariasi dan eksudat

inflamatorik.

3. Peningkatan kadar enzim otot skelet dalam serum (CK, aldolase,

SGOT, SGPT, dan LDH).

4. Gambaran elektromiografi menunjukan triad unit motor yang pendek,

kecil, polifasik, fibrilasi, gelombang positif yang iritabilitas

insensional, dan bizarre high-frequency discharge.

5. Gambaran dermatologic yang spesifik yang meliputi diskolorisasi

helitrop pada kelopak mata disertai edema periorbital, dermatitis

eritematoskuama pada dorsum manus terutama pada daerah MCP dan

11
PIP (Gottron’s sign), dam keterlibatan lutut, siku, maleolus ,medial,

muka leher dan badan bagian atas5,9.

VII. DIAGNOSIS BANDING

Tabel 1. Diagnosis Banding3


Kriteria Polymyositis Dermatomyositis Necrotizing Inclusion
Autoimun Body
Myositis Myositis
Pola Onset Onset subakut, Onset akut Onset lambat,
kelemahan subakut, kelemahan atau subakut, kelemahan
otot kelemahan simetris bagian kelemahan dari
simetris proksimal, bagian proksimal
bagian terdapat ruam proksimal, dan distal,
proksimal, pada kulit, sering atrofi pada
orang dewasa mengenai semua memberat M.Quadricep
usia pada orang s, lengan,
dewasa kelemahan
pada otot
wajah,
mengenai
usia 50 tahun
Kadar Tinggi (pada Tinggi (50 kali Sangat tinggi Norimal atau
Creatinin fase awal dari nilai normal) (bisa >50 kali sedikit
Kinase bisa 50 kali nilai normal miningkat
nilai normal, pada fase dan bisa 10
fase kronis awal) kali dari nilai
10 kali nilai normal
normal )

12
Electromy Myopati unit Myopati unit Myopati unit Myopati unit
ography (aktif dan (aktif dan kronis) (aktif ) (aktif dan
kronis) kronis)

Biopsi otot Sel-sel CD8+ Inflamasi pada Tersebarnya Sel-sel CD8+


menyerang perivaskular, serabut otot menyerang
serabut otot perimisial, yang serabut otot
yang sehat, perifasicular, mengalami yang sehat,
adanya nekrosis serat otot nekrosis adanya
eksprei MHC “wedge-like”, dengan eksprei MHC
kelas I atrofi dari makrofag, kelas I
antigen, tidak perifasicular tidak antigen,
ditemukan ditemukan adanya
vakuola, ada CD8+ dan vakuola, dan
distrofi vakuola, deposit
inflamasi adanya amiloid
deposit congophilic
komplemen
pada kapiler.
MRI Menunjukan Menunjukan Menunjukan Menunjukan
inflamasi inflamasi aktif inflamasi keterlibatan
aktif aktif otot yang
selektif, dan
sulit

13
dibedakan
atrofi dari
peradangan
kronik

Tabel diatas menunjukan bahwa diagnosis banding dari polymyositis

terdiri dari dermatomyositis, necrotizing autoimun myositis, dan inclusion

body myositis. Berdasarkan onset dapat dibedakan polymyositis dan

dermatomyositis memiliki onset subakut, sedangan pada necrotizing autoimun

myositis onset akut, dan inclusion body myositis onset kronik. Pola

kelemahan otot pada ke empat penyakit tersebut sama yaitu kelemahan pada

otot proksimal dan simetris. Namun pada dermatomyositis biasa ada

manifestasi dari kulit seperti ruam, dan pada inclusion body myositis selain

kelemahan otot proksimal disertai dengan otot distal, terdapat atrofi pada

otot,dan bisa mengenai otot wajah.3

Pemeriksaan laboratorim yaitu Creatinin Kinase untuk masing-masing

memiliki interpretasi berbeda. Pada polymyositis dan dermatomyositis kadar

Creatinin Kinase meningkat 50 kali dari nilai normal dan fase kronis sampai

pada 10 kali nilai normal. Pada necrotizing autoimun myositis kadar Creatinin

Kinase sangat tinggi bisa mencapai > 50 kali nilai normal. Pada inclusion

body myositis kadar Creatinin Kinase dapat normal atau sedikit meningkat

dan hanya bisa mencapai 10 kali nilai normal. 3

14
Pada pemeriksaan Electromyogram ke empat penyakit ini memberikan

gambaran yang sama yaitu miopati unit pada fase aktif dan kronis. 3

Pemeriksaan biopsi otot pada polymyositis tampak sel-sel CD 8+

menyerang serabut otot yang sehat dan terdapat ekspresi MHC kelas 1,

distrofi inflamasi dan tidak ditemukan vakuola. Dermatomyositis tampak

inflamasi pada perivaskular, perimisial, perifasicular, nekrosis serat otot

“wedge-like”, atrofi dari perifasicular. Necrotizing autoimun myositis tidak

ditemukan CD8+ dan vakuola, namun terdapat gambaran nekrosis dari serabut

otot dan deposit komplemen pada kapiler. Inclusion body myositis tampak

adanya vakuola dan deposit amiloid congophilic.3

Gambaran MRI pada polymyositis, dermatomyositis dan necrotizing

autoimun myositis adalah sama karena menunujkan inflamasi aktif, hanya

pada inclusion body myositis menunjukan peradangan kronik.3

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk

mendiagnosis abnormalitas dari enzim otot pada serum pasien

polymyositis. Pada hasil laboratorium ditemukan Creatinin Kinase

tinggi biasanya 5-10 kali dari nilai normal. Enzim Creatinin

Phosphokinase (CPK) menunjukan kerusakan otot yang

15
menyebabkan sel otot untuk membuka dan menumpahkan isinya ke

dalam aliran darah. Karena sebagian besar CPK ada pada otot,

peningkatan jumlah enzim ini di darah menunjukkan bahwa

kerusakan otot telah terjadi. Selain CPK, kadar SGOT, SGPT dan

aldolase dapat meningkat, demikian juga laju endap darah dan C-

Reaktif protein. Didalam urin juga didapatkan peningkatan kadar

miogloin dan kretinin1,10.

B. Electromyogram (EMG)

EMG digunakan untuk mengukur aktivitas otot dan untuk

memberikan petunjuk dimana penyebab kelemahan otot atau

kelumpuhan, masalah ototseperti otot berkedut, mati rasa, kesemutan,

atau nyeri, dan kerusakan saraf atau cedera. EMG berguna dalam

diagnosis PM. Pada EMG ditemukan fibrilasi spontan dan potensial

polifasik serta berjangka pendek menunjukan adanya aktifasi

insersional. Studi conductions saraf biasanya normal1,10.

C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pencitraan otot menggunakan tes radiologi seperti Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan daerah peradangan

otot, pembengkakan, atau jaringan parut. MRI biasa digunakan untuk

menentukan lokasi dari biopsi otot. Pada polymyositis awal, tampak

gambaran otot yang homogen pada MRI. Pada inflamasi aktif terjadi

peningkatan sinyal dengan gadolinium atau T2. Pada inflamasi

16
kronis, otot dapat diganti dengan jaringan lemak dan otot mengalami

atrofi1,10.

Gambar 3. MRI menunjukan peningkatansignal pada musculus Quadricep


bilateral dan adanya miositis inflamasi4

D. Biopsi Otot

Biopsi otot adalah salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis

myositis dan gangguan otot lainnya. Biopsi otot digunakan untuk

mengkonfirmasi adanya peradangan otot yang khas dari polymyositis.

Biopsi otot melalui prosedur pembedahan dimana jaringan otot

diambil untuk analisis oleh seorang ahli patologi, spesialis dalam

memeriksa jaringan di bawah mikroskop. Otot sering digunakan

untuk biopsi termasuk otot paha bagian depan, otot bisep, otot lengan,

dan otot bahu. Hasilnya dapat menunjukkan gambaran nekrosis fokal

serabut otot dengan garis-garis serat lintang otot menghilang disertai

inti sarkolema yang lebih gelap. Jaringan nekrosis di infiltrasi dan

mungkin difagositosis oleh sel-sel radang akut dan kronik. Juga

17
tampak infiltrasi sel-sel radang kedaerah perivaskular, kadang-kadang

tampak gambaran vaskulitis. Sel-sel limfosit tampak menginfiltrasi

secara difus ke daerah-daerah diantara serabut otot1,10.

Gambar 2. Menunjukan adanya infiltrate inflamasi pada endomisial


mononuclear dan nekrosis pada serabut otot6

IX. PENATALAKSANAAN

A. Non Farmakologi

Pada fase akut, pasien dianjurkan untuk istrahat tirah baring.

Gerakan pasif harus dilakukan selama masa akut untuk mencegah

kontraktur. Setelah fase akut teratasi, pasien harus melakukan latihan

aktif, baik latihan isometric maupun isotonic. Peran fisioterapi sangat

penting, tidak hanya untuk membantu melakukan tes kekuatan otot,

tetapi juga dalam membuat perencanaan program latihan untuk

penguatan otot. Latihan-latihan ini sangat penting untuk mencegah

atrofi otot dan kontraktur.5

18
B. Farmakologi

Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk

polymyositis, prednisone dengan dosis 60 mg/hari sampai 2 mg/kgBB

Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama pengobatan atau

bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi kekuatan otot dan kadar

CK harus dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke 6,

keputusan dosis steroid harus ditentukan. Bila keadaan pasien

membaik, maka dosis awal steroid dipertahankan sampai kekuatan

otot dan kadar CPK kembali normal. Dosis tersebut masih harus

dipertahankan sampai 4-8 minggu kemudian, baru diturunkan secara

perlahan yaitu 10 mg/hari setiap bulan. Setelah dosis prednisone

mencapai 10mg/hari selama satu bulan, dosis diturunkan lagi menjadi

5 mg/hari dan dipertahankan sampai 1 tahun. Bila selama penurunan

dosis steroid timbul kekambuhan, maka dosis steroid dinaikan lagi ke

dosis sebelumnya5.

Bila pada minggu ke 6 setelah steroid diberikan tidak

menunjukan perbaikan yang diharapkan, maka dapat ditambahkan

azatioprin dengan dosis 2-3mg/kgBB, dimulai dengan dosis 50 mg 1

kali sehari. Bila setelah 3 minggu tidak ada perbaikan, dosis

azatioprin dinaikan menjadi 100mg/hari dan dapat dinaikan lagi

sampai tercapai dosis maksimal 150mg/hari. Selama pemberian

19
azatioprin, harus hati-hati terhadap kemungkinan efek samping

penekanan sumsum tulang dan gangguan fungsi hati5.

Metotrexat juga dapat diberikan baik pada dewasa maupun

anak-anak, dengan dosis awal 7,5 mg/minggu dan dapat dinaikan

sampai 15 mg/minggu bila setelah 4-6 minggu tidak didapatkan

perbaikan yang diharapkan5.

Siklofosfamid dan siklosporin-A jarang diberikan pada

polymyositis walaupun dapat memberikan efek yang baik.

Siklosporin-A memberikan hasil yang baik pada polymyositis dengan

anti Jo-1 positif dan polymyositis refrakter. Dosis siklosporin-A

untuk polymyositis adalah 2,5-5 mg/kgBB/hari. Selama pemberian

siklosporin-A, tekanan darah dan fungsi ginjal haus dimonitor secara

ketat. Bila tekanan darah dan kadar kreatinin meningkat 20% sejak

awal pemberian, maka dosis siklosporin-A harus diturunkan5.

X. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Sebelum era kortikosteroid polymyositis merupakan penyakit yang

berat dengan tingkat kelangsungan hidup kurang dari 40%. Polymyositis

pada orang dewasa sekarang memiliki prognosis yang relatif baik dengan

tingkat kelangsungan hidup lima tahun sekitar 90%. Hanya 30-50%

orang dengan polymyositis mencapai pemulihan yang sempurna dan

sebagian besar pasien memiliki masalah fungsional persisten. Prognosis

untuk polymyositis dan respon terhadap terapi bervariasi dari sangat baik

20
sampai memuaskan. Kebanyakan pasien merespon baik terhadap

pengobatan. Komplikasi dari pengobatan kortikosteroid jangka panjang

dapat menimbulkan osteoporosis. Pada ras Afrika dan Amerika, usia

lanjut, wanita, orang dengan penyakit paru-paru interstitial, keganasan,

menunda pengobatan, disfagia, disfoniaserta keterlibatan jantung dan

paru-paru menunjukan prognosis yang kurang baik.1

XI. KESIMPULAN

Polymyositis (PM) adalah penyakit idiopatik subakut atau kronis yang

penyebab nya tidak diketahui yang ditandai dengan kelemahan simetris dari

otot tungkai dan badan bagian proksimal.

Idiopatik inflamasi myopati merupakan penyakit yang jarang terjadi,

insiden di Amerika Serikat sekitar 0,5 – 8,4 kasus per 1000.000 populasi.

Polymyositis di Amerika Serikat lebih banyak ditemukan dalam populasi kulit

hitam, dengan insiden polymyositis 5:1 Polymyositis dan dermatomyositis

lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 2: 1.

Sementara agen yang memicu awal tetap tidak diketahui, kemungkinan

infeksi tertentu seperti virus, terutama Coxsackie virus B1, HIV, T-

lymphotropic virus manusia 1(HTLV-1), hepatitis B dan C, influenza,

echovirus, dan adenovirus. Banyak obat-obatan juga dapat menyebabkan

miopati, seperti hidroxicloroquine dan colchicines, D-penicillamine,

hydralazine, procainamide, phenytoin, dan ACE inhibitor.

21
Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot yang dapat

mengenai sebagian atau semua otot skelet, timbul akut atau subakut. Paling

sering mengenai otot proksimal gelang bahu dan gelang panggul, kadang-

kadang dapat juga mengenai otot lain, sehingga menimbulkan kesulitan

mengangkat kepala, berjalan lurus.

Diagnosis polymysitis berdasarkan gambaran klinis, laboratorium,

histopatologis, elektromiografi, dan dermatologi. Diagnosis banding dari

polymyositis terdiri dari dermatomyositis, necrotizing autoimun myositis, dan

inclusion body myositis.

Penatalaksanaan polymyositis terdiri dari non farmakologi dan

farmakologi. Pada panalataksanaan non farmakaologi pada fase akut adalah

tirah baring dan melakukan gerakan-gerakan pasif, sedangkan setelah selesai

fase akut bias dilakukan gerakan aktif dan fisioterapi. Farmakologi yang

diberikan pada polymyositis adalah kortikosteroid yaitu prednisone,

azatioprin, metotrexat, dan sisklosporin A.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Lakhan ES, Lorenzo N. 2017. Peroneal Mononeuropathy. Medscape

Neurology.

2. Baima J. 2008. Evaluation and Treatment of Peroneal Neuropathy. Cur Rev

Musculoskelet Med 1:147-153. Boston, MA, USA.

3. Iskandar J.2002. Peroneal Neuropathy. USU digital Library.

4. Chairiani A. 2014. Peroneal Nerve Palsy. Refrat FK Universitas Trisakti.


5. Kouri A, Hamilton R, Skie M. 2017. A case Report on Deep Peroneal Nerve

Palsy Following Patella Dislocation. OALib Journal.

6. Masakado Y, Kawakami M, Suzuki K, Abe L, Ota T, Kimura A. 2008.

Clinical Neurophysiology in The Diagnosis of Peroneal nerve Palsy. Keio J

Med. 57(2). Japan.

7. Reife MD, Coulis CM. 2013. Peroneal Neuropathy Misdiagnosed as L5

Radiculopathy : a Case Report. BioMed Central. USA.

8. Pasnoor M. 2017. Peroneal Neuropathy. Universitas Of Kansas Medical

Center.

9. Marciniak C. 2013. Fibular (Peroneal) Neuropathy. Physical Medicine and

Rehabilitation. USA

10. Wibisono Y. 2016. Nyeri Neuropatik Tungkai. Continuing Medical Education.

CDK-236. Vol. 43 No. 1. Bandung.

23

Anda mungkin juga menyukai