Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang mengenai sambungan
neuromuskular, ditandai oleh kelemahan otot berat. Miastenia artinya
“kelemahan otot” dan gravis artinya “parah”. Ini adalah suatu penyakit
autoimun dimana tubuh secara salah memproduksi antibodi terhadap reseptor
asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AchR di neuromuscular juction
berkurang. 1-3 Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali menggunakan
istilah Miastenia gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin
sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian Remen (1932)
dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang baik
untuk Miastenia gravis (Muhammad, 2019).
Penurunan jumlah hasil AChR dalam pola karakteristik kekuatan otot
semakin berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan
otot setelah masa istirahat. Otot yang sering terkena ada otot pengontrol mata
dan gerakan bola mata, otot ekspresi wajah, otot untuk berbicara dan otot
penelan tetapi tidak selalu ada. Otot anggota gerak dan otot pernafasan juga
bisa terkena. Miastenia gravis juga dapat terjadi pada semua umur dan ras.
Puncak kejadian pada wanita terjadi pada umur 20-30 tahun , sedangkan pada
laki-laki dapat terjadi pada umur 60 tahun. Namun, penyakit ini juga dapat
terjadi pada semua umur. Pada beberapa kasus, beberapa bayi dari ibu dengan
Miastenia gravis dapat memperoleh antibodi anti AchR saat lahir, dapat
menderita Miastenia neonatus sementara dan dapat menghilang beberapa
minggu setelah lahir (Kamarudin, 2019).
Pembuktian etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan
bahwa glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada 80 % penderita
Miastenia didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10 % dari mereka
memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya
terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa glandula timus tanpa
perubahan di jaringan linfositer lainnya. Kelainan di glandula timus seperti ini
juga dijumpai pada penderita dengan lupus eritematous sistemik,
tirotoksikosis, miksedema, penyakit addison dan anemia hemolitik
eksperimental pada tikus (Chairunnisa, 2016).

B. TUJUAN
Adapaun tujuan dalam pembuatan referat ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi Myasthesia Gravis.
2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi Neuromuskular
3. Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi Myasthesia Gravis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi Myasthesia Gravis.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan gejala Myasthesia Gravis.
6. Untuk mengetahui diagnosis Myasthesia Gravis.
7. Untuk mengetahui tatalaksana Myasthesia Gravis.
8. Untuk mengetahui prognosis Myasthesia Gravis.

C. MANFAAT
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan dan membaca referat
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi Myasthesia Gravis.
2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi Neuromuskular
3. Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi Myasthesia Gravis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi Myasthesia Gravis.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan gejala Myasthesia Gravis.
6. Untuk mengetahui diagnosis Myasthesia Gravis.
7. Untuk mengetahui tatalaksana Myasthesia Gravis.
8. Untuk mengetahui prognosis Myasthesia Gravis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara
sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di
mana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau
berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI NEUROMUSKULAR


Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam
SSP ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron.
Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan
kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini
membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari
banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut
membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke
cekungan dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan
menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end plate” (Dave, 2020;
McMuller, 2020).
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh) (Dave, 2020; McMuller, 2020).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel
tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami
docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin
yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah
synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini
terdapat pada lekukanlekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari
5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan
delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk
mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan
terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah
sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan
kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis
oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang
cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan
Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-
synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk
dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus (Dave, 2020; McMuller, 2020).

C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI


Myasthenia gravis, mirip dengan gangguan autoimun lainnya, terjadi
pada individu yang secara genetik. Faktor pencetus termasuk kondisi seperti
infeksi, imunisasi, operasi, dan obat-obatan.
Protein yang biasanya terlibat dalam Neuromuskular junction (NMJ)
terhadap autoantibodi yang dihasilkan termasuk reseptor nikotinik asetilkolin
(n-AChR), Muscle Spesifik Kinase (MuSK), dan Lipoprotein-Related
Protein 4 (LPR4). Kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK sangat penting
untuk pembentukan dan pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan
pengelompokan AChR. [1] Sekitar 10% pasien dengan MG memiliki timoma,
dan ini terlibat dalam produksi autoantibodi.
Tergantung pada jenis fitur klinis dan jenis antibodi yang terlibat, MG
dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai subkelompok. Setiap kelompok
merespon berbeda terhadap pengobatan dan karenanya memiliki nilai
prognostik (Suresh, 2020):
1. Early-onset MG: Usia kurang dari 50 tahun dengan hiperplasia timus
2. Late-onset MG: Usia saat onset lebih dari 50 tahun dengan atrofi timus
3. Thymoma-associated MG
4. MG with anti-MuSK antibodies
5. Ocular MG: Gejala hanya dari otot periokular
6. MG with no detectable AChR and MuSK antibodies
Klasifikasi Klinis: Klasifikasi klinis Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA) membagi MG menjadi 5 kelas utama berdasarkan fitur
klinis dan tingkat keparahan penyakit. Setiap kelas membawa prognosis atau
respons yang berbeda terhadap terapi (Suresh, 2020).
1. Kelas I : Melibatkan kelemahan otot okular, termasuk kelemahan
penutupan mata. Semua kelompok otot lainnya normal.
2. Kelas II : Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3. Kelas IIa : Melibatkan kelemahan utama tungkai, otot aksial, atau
keduanya. Ini mungkin juga melibatkan otot orofaringeal sampai batas
yang lebih rendah.
4. Kelas IIb : Melibatkan sebagian besar orofaringeal, otot pernapasan,
atau keduanya. Ini dapat memiliki keterlibatan anggota tubuh, otot aksial,
atau keduanya pada tingkat yang lebih rendah.
5. Kelas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang.
6. Kelas IIIa : melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya
dominan. Otot-otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih
rendah.
7. Kelas IIIb : Melibatkan otot orofaringeal, pernapasan, atau keduanya
dominan. Tungkai, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau sama.
8. Kelas IV : Melibatkan kelemahan otot yang parah. Kelemahan otot
okuler dari setiap keparahan dapat hadir.
9. Kelas IVa : Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya
dominan. Otot-otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih
rendah.
10. Kelas IVb : Melibatkan otot orofaringeal, pernapasan, atau keduanya
dominan. Tungkai, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau sama. Ini juga termasuk pasien yang
membutuhkan tabung makanan tanpa intubasi.
11. Kelas V : Melibatkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanis,
kecuali bila digunakan selama manajemen pasca operasi rutin.
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman
membuat klasifikasi klinis sebagai berikut (Suresh, 2020) :
1. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular,
disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian
(15-20 %)
2. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka
kematian rendah (30 %) Kelompok IIB : Miastenia umum sedang :
progres bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut
semakin berat dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25
%)
3. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase
thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat buruk dan angka kematian
tinggi. (15%)
4. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat
dan prognosis buruk. (10 %)

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologis pada MG tergantung pada jenis antibodi yang
ada.
Dalam n-AChR MG, antibodi dari subtipe IgG1 dan IgG3. Mereka
berikatan dengan reseptor n-ACh yang ada di membran pascasinaps dari otot
rangka dan mengaktifkan sistem komplemen yang mengarah pada
pembentukan membrane attack complex (MAC). MAC membawa degradasi
akhir dari reseptor. Mereka juga dapat bertindak dengan secara fungsional
memblokir pengikatan ACh ke reseptornya atau dengan meningkatkan
endositosis reseptor n-ACh yang terikat antibodi (Suresh, 2020; Jawkar,
2018; Philips, 2016).
Dalam MusK MG dan LPR4 MG, antibodi dari subtipe IgG4 dan tidak
memiliki properti pengaktif komplemen. Mereka berikatan dengan kompleks
protein Agrin-LRP4-MuSK di NMJ, yang fungsi utamanya adalah
pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan clustering reseptor n-ACh.
Penghambatan kompleks menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor n-ACh.
ACh yang dilepaskan di terminal saraf, pada gilirannya, tidak dapat
menghasilkan potensial postsinaptik yang diperlukan untuk menghasilkan
potensial aksi pada otot karena berkurangnya jumlah reseptor n-ACh yang
mengarah ke gejala kelemahan otot. Kelemahan lebih jelas dengan
penggunaan berulang kelompok otot karena menyebabkan penipisan
simpanan ACh di NMJ (Suresh, 2020; Jawkar, 2018; Philips, 2016).

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang dapat ditemukan pda pasien Myasthesia Gravis adalah
sebagai berikut (Manji, 2014).
 Kelemahan otot tanpa rasa sakit dengan olahraga adalah ciri klinis.
 Pada tahap awal, kelemahan mungkin bersifat sementara dan variabel;
sering salah didiagnosis sebagai gangguan fungsional.
 Pada –5-20%, hanya otot okular yang terlibat: ptosis dan / atau diplopia.

 Dalam 85% kelemahannya digeneralisasi.


 Gangguan terjadi pada okular (70%), kelemahan tungkai (10%),
digeneralisasi kelemahan otot (9%), disfagia (6%), disartria dan disfonia
(5%), kelemahan rahang (4%), dan kelemahan leher (1%).
 Jarang, dapat muncul sebagai gagal napas dan penurunan kaki yang
terisolasi.
 Otot-otot tertentu dipengaruhi secara istimewa: ekstensor leher dan jari.
 Pengukuran kapasitas vital berbaring dan berdiri penting. Aliran puncak
pengukuran tidak membantu.
 Tes refleks dan sensorik normal.
 Pasien dengan penyakit jangka panjang dapat dibiarkan dengan otot tetap
kelemahan.
 MG dapat diperburuk oleh:
 hipertiroidisme (ditemukan pada 3%);
 infeksi;
 obat-obatan — aminoglikosida (mis. Gentamisin), kina,
penisilinamin, obat antiaritmia, toksin botulinum, agen anestesi (mis.
suksinilkolin).

F. DIAGNOSIS
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk
antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas
dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata
(dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan
anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari),
kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis,
dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak (Jawkar, 2018).
2. Tes Klinik Sederhana
a) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).
b) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara
akan menghilang secara bertahap (tes positif) (Jawkar, 2014).
3. Uji Tensilon
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera
setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk
mengatasinya dapat digunakan atropin (Kaminski, 2018).

4. Uji Prostigmin
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti
misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap (Angel, 2012).
5. Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun (Manji, 2014).
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab (Kaminski, 2018).
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita
dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Kaminski,
2018).
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuro muscular melalui 2 teknik : Single-fiber
Electromyography (SFEMG) (Angel, 2012).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular
fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu
titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat
otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam). Repetitive Nerve Stimulation (RNS) (Angel, 2012).
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu
potensial aksi (Angel, 2012).
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum (Jawkar, 2018).
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan
chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus
Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua (Jawkar,
2018).
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf
otak (Jawkar, 2018).

G. TATALAKSANA
Inhibitor kolinesterase
Pyridostigmine bromide bekerja dalam waktu 1 jam dengan durasi kerja
4 jam.
 Regimen awal 2-4–6 dapat digunakan:
 30 mg dua kali sehari: 2 hari;
 30 mg lima kali sehari: 4 hari;
 60 mg / 30 mg / 60 mg / 30 mg / 60 mg: 6 hari;
 60 mg lima kali sehari sesudahnya.
 Dosis maksimum jarang> 300 mg / hari.
 Dosis yang lebih tinggi menyebabkan otot berkedut dan meningkatkan
kelemahan. Overdosis menyebabkan krisis kolinergik dengan bulbar dan
kelemahan otot pernapasan. Pasien perlu diperingatkan.
 Efek samping: disebabkan oleh efek pada muskarinik otot polos NM -
nyeri perut dan diare yang berespons terhadap propantheline 15–30 mg
PRN.
Prednisolon
 Steroid yang diindikasikan pada pasien yang tidak cukup terkontrol
dengan inhibitor cholinesterase dan tidak cocok untuk thymectomy.
 Prednisolon biasanya dimulai sebagai rawat inap karena risiko kerusakan
yang terjadi pada 50% pasien MG pada 7–21 hari (dip steroid).
 Dosis awal 10 mg pada hari alternatif meningkat setiap 2 atau 3 hari
dengan dosis 1 – 1.5 mg / kg pada hari-hari alternatif.
 Perbaikan dimulai setelah 2-4 minggu dengan manfaat maksimal pada 6
–2 bulan.
 Setelah 3 bulan, atau ketika remisi terbukti, dosis perlahan-lahan
dikurangi secara bertahap sesuai kebutuhan. Dosis kecil mungkin
diperlukan pada hari libur untuk mencegah fluktuasi kekuatan.
 Beberapa pasien mungkin dapat melakukannya tanpa steroid.
 Semua pasien harus memulai pencegahan osteoporosis dengan
bifosfonat. HRT harus dipertimbangkan pada wanita pasca-menopause.
Azathioprine
 Azathioprine, dengan aksinya terutama pada sel T, digunakan:
 untuk mereka yang kortikosteroid dikontraindikasikan;
 untuk mereka dengan respons yang tidak memadai terhadap
kortikosteroid;
 sebagai agen hemat steroid.
 Kombinasi steroid dan azatioprin bekerja secara sinergis.
 Tingkat TPMT perlu diukur untuk memprediksi risiko efek samping
hematologis.
 Dosis awal adalah 50 mg / hari selama 1 minggu meningkat 50 mg /
minggu menjadi dosis 2,5 mg / kg / hari
 Titik akhir hematologis yang diinginkan adalah:
 WBC <3500 / mm3
 jumlah limfosit <000 / mm3
 MCV> 100 fL.
 Tes darah (FBC dan LFT) diperlukan setiap minggu selama 2 bulan dan
kemudian 3 bulanan selama masa pengobatan.
 Manfaat terapeutik mungkin tidak jelas hingga 12 bulan.
 Efek samping:
 5% memiliki reaksi hipersensitivitas dengan mual, sakit perut,
demam, ruam, atau artralgia, dalam hal ini obat harus dihentikan;
 penekanan sumsum tulang;
 hepatotoksisitas.
Imunosupresan lainnya
 Metotreksat juga digunakan sebagai agen hemat steroid (7,5-20 mg sekali
seminggu + folat).
 Mikofenolat mofetil 1 g bd.
 Pada pasien yang tidak toleran terhadap azathioprine, siklosporin 2-5
mg / kg / hari dalam dua dosis terbagi (dosis total 125-250 mg dua kali
sehari) dapat dipertimbangkan. Efek samping termasuk nefrotoksisitas
dan hipertensi. Tingkat obat melalui pemantauan.
 Rituximab (antibodi monoklonal sel B-CD20) 375 mg / m2
 IV empat kali seminggu — laporan anekdotal tentang manfaat dalam
kasus yang resisten.
Pertukaran plasma dan imunoglobulin IV
 Keduanya dapat digunakan untuk pasien dalam krisis miastenia dengan
bulbar parah dan gangguan pernapasan.
 Pasien juga dapat diobati sebelum thymectomy.
 Pasien dengan MG seronegatif juga dapat merespons. Efeknya bertahan
4-6 minggu.
 Pertukaran plasma: 5 pertukaran, 3-4 L per pertukaran selama 2 minggu.
 Imunoglobulin IV: 0,4 g / kg / hari selama 5 hari.
Timektomi
 Prosedur harus dilakukan dalam unit dengan pengalaman bedah dan
pasca operasi yang memadai dalam manajemen pasien MG.
 Angka kematian di institusi seperti itu sama dengan anestesi umum.
 Obat antikolinesterase pascaoperasi diberikan IV dengan dosis 75% dari
dosis oral sebelum operasi.
Indikasi
 Pencegahan penyebaran thymoma secara lokal. Jika pengangkatan total
tidak dapat dicapai, radioterapi pasca operasi diperlukan. Beberapa
pasien dengan timoma mungkin menjadi lebih lemah setelah timektomi
dan memerlukan perawatan imunosupresif lebih lanjut.
 Manfaat terapeutik pada MG (digeneralisasikan dan lebih jarang pada
miastenia okular): menghasilkan remisi total pada beberapa pasien atau
berkurangnya obat imunosupresif pada orang lain.
 Tidak ada RCT pada pasien di bawah usia 45 tahun dengan antibodi
AChR: konsensus umum tentang manfaatnya.
 Pembedahan harus dipertimbangkan sebelum memulai kortikosteroid jika
memungkinkan secara klinis.
 Kontroversi pada pasien> 45 tahun dan mereka yang antibodi AChR
negatif.
 Pada anak-anak, pembedahan harus ditunda sampai setelah masa
pubertas karena timus memiliki peran dalam perkembangan sistem
kekebalan tubuh.
 Manfaat thymectomy mungkin tidak jelas sampai berbulan-bulan atau
bertahun-tahun setelah operasi.
Ringkasan manajemen MG
MG mata
• Pada pasien dengan MG mata murni yang tidak sepenuhnya merespons
piridostigmin, kortikosteroid diperlukan. Dosis rendah sering memadai.
• Thymectomy adalah pilihan pada pasien yang lebih muda dari AChR-
antibody-positif.
• Jika kelemahan otot ekstraokular konsisten, prisma dapat membantu
diplopia.
• Alat peraga Ptosis membantu mengangkat kelopak mata.
• Jika defisit kronis dan statis, operasi korektif dapat menjadi pilihan.
Wanita dan MG
• 14% bayi yang lahir dari ibu dengan MG mengalami MG neonatal karena
transfer plasenta dari antibodi ibu.
• Kelemahan mungkin tampak beberapa hari setelah kelahiran dan
berlangsung selama berhari-hari atau berbulan-bulan.
Perawatan tidak diperlukan.
• Beberapa pasien memiliki antibodi terhadap ACHR janin dan dewasa.
Hal ini dapat menyebabkan keguguran berulang atau menimbulkan
kelainan bentuk janin seperti arthrogryposis multiplex congenita atau
kelainan bentuk wajah.
• Kortikosteroid dan azatioprin keduanya teratogenik. Diperlukan saran
yang memadai tentang kontrasepsi dan konseling pra-kehamilan (Manji,
2014).

H. PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan MG memiliki rentang hidup hampir
normal dengan modalitas pengobatan saat ini. Lima puluh tahun yang lalu,
angka kematian sekitar 50% hingga 80% dalam krisis myasthenic, dan
sekarang telah berkurang secara substansial menjadi 4,47%. Morbiditas
terjadi akibat kelemahan otot intermiten yang menyebabkan pneumonia
aspirasi dan efek samping obat (Suresh, 2020).
Berbagai temuan klinis dan laboratorium / pencitraan di MG juga
memiliki signifikansi prognostik. Penelitian telah menunjukkan hal berikut:
 Risiko generalisasi sekunder: Hal ini terkait dengan onset usia lanjut, titer
tinggi antibodi anti-asetilkolin (AChR), dan adanya timoma. Sebuah
penelitian terbaru memprediksi risiko ini dengan jenis gejala klinis pada
saat presentasi. Kehadiran ptosis dan diplopia saat onset memiliki
kemungkinan generalisasi sekunder yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ptosis atau diplopia saja. Namun, pengobatan dini dengan obat
imunosupresif seperti kortikosteroid dan azathioprine dikaitkan dengan
penurunan risiko (Suresh, 2020).
 Risiko kekambuhan MG: Usia awitan (<40 tahun), timektomi dini, dan
pemberian prednisolon ditemukan berhubungan dengan penurunan risiko
kekambuhan. Namun, pasien dengan antibodi anti-Kv1.4 dan penyakit
autoimun secara bersamaan menunjukkan tingkat kekambuhan yang
tinggi (Suresh, 2020).
BAB III

KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas 3,4. . Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi


dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada


patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin.

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,


thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
DAFTAR PUSTAKA

Phillips, W. D., & Vincent, A. (2016). Pathogenesis of myasthenia gravis: update


on disease types, models, and mechanisms. F1000Research, 5, F1000
Faculty Rev-1513. https://doi.org/10.12688/f1000research.8206.1

Koneczny, I., & Herbst, R. (2019). Myasthenia Gravis: Pathogenic Effects of


Autoantibodies on Neuromuscular Architecture. Cells, 8(7), 671.
https://doi.org/10.3390/cells8070671

Farmakidis, C., Pasnoor, M., Dimachkie, M. M., & Barohn, R. J. (2018).


Treatment of Myasthenia Gravis. Neurologic clinics, 36(2), 311–337.
https://doi.org/10.1016/j.ncl.2018.01.011

Chairunnisa, N. H., Zanariah, Z., Saputra, O., Karyanto. (2016) Myasthenia


Gravis Pada Pasien Laki-Laki 39 Tahun Dengan Sesak Napas. J Medula
Unila, 1(6), 108-113. http://juke.kedokteran.unila.ac.id

Muhammad, F., Syafrita, Y., Susanti, L. (2019). Gambaran Kualitas Hidup Pasien
Miastenia Gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 8(1), 43-49. http://jurnal.fk.unand.ac.id

Kamarudin, S., Chairani, L. (2019). Tinjauan Pustaka: Miastenia Gravis. Syifa’


MEDIKA, 10(1), 63-71. https://jurnal.um-palembang.ac.id

Beloor Suresh A, Asuncion RMD. Myasthenia Gravis. [Updated 2020 Jun 3]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/

McCuller C, Jessu R, Callahan AL. Physiology, Skeletal Muscle. [Updated 2020


Apr 26]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537139/

Dave HD, Shook M, Varacallo M. Anatomy, Skeletal Muscle. [Updated 2020


May 1]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537236/

Angel, A. G. 2012. Myastheni Gravi and Myastheni Disorder (ed). Oxford:


Oxford University Press

Kaminski, H. J. Kusner, L. L. 2018. Myasthenia Gravis and Related Disorders,


3th Editon. Boston: Humana Press
Manji, H., Connolly, S., Kitchen, N., Lambert, C., Mehta, A. 2014. OXFORD
MEDICAL PUBLICATIONS Oxford Handbook of Neurology, 2nd Edition.
Oxford: Oxford Universuty Press.

Jowkar, WD, Vincent A. Pathogenesis of myasthenia gravis: update on disease


types, models, and mechanisms. F1000Research. 2018; 5(1):1513

Anda mungkin juga menyukai