Anda di halaman 1dari 48

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

MYASTENIA GRAVIS DAN GUILAIN BARE SYNDROME


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
III dengan dosen pembimbing Ns.Friska Sinaga S.Kep., MSN

Disusun oleh :
Neng Rusi Rosmiati 301201170
Dion Hendri 301201170
Octaviani Br. Torus 301201170
Sitanggang, Rachel Christina 301201170
Rolina Margaretha 301201170
Yohana Putri Utami 30120117050

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
Jalan Parahyangan Kav.8 Blok 1/B Kota Baru Parahyangan, Padalarang
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Myasthenia Gravis (MG) yang berarti kelemahan otot yang serius merupakan
penyakit neuromuskular menggambarkan kelelahan cepat otot. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular
junction, bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Miasthenia Gravisi mempunyai prevalansi 85-125 per satu juta
jiwa dan insiden per tahun 2-4 per satu juta jiwa.
Puncak insiden penyakit ini di jumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang
didominasi oleh wanita, dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan
pria. Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelensinya
meningkat baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20/100.000 orang di
Amerika. Angka kejadian myasthenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan
umur. Angka kejadian myasthenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pada pria usia dewasa muda. Myasthenia gravis pada anak-anak di
Eropa dan Amerika Utara cukup jarang, kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus,
namun lebih sering di negara-negara Asia, dimana 50% pasien mempunyai awitan
di bawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manisfestasi okular.
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin. Gejala dari penyakit ini mula
mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar
menimbulkan kelumpuhan,penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat
karena dengan penanganan cepat dan tepat,sebagian besar sembuh sempurna
(Inawati,2010).
Guillaine Barre Syndrom merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering di jumpai pada usia dewasa muda, GBS ini sering kali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,meskipunpada umumnya
mempunyai prognosa yang baik (japardi,2002).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dengan Myasthenia Gravis?
2. Apa etiologi terjadinya Myasthenia Gravis?
3. Bagaimana pathway Myasthenia Gravis?
4. Apa saja klasifikasi Myasthenia Gravis?
5. Bagaimana manifestasi klinis Myasthenia Gravis?
6. Bagaimana penatalaksanaan Myasthenia Gravis?
7. Bagaimana asuhan keperawatan Myasthenia Gravis?
8. Apa yang di maksud dengan penyakit GBS ?
9. Apa saja hal hal yang menyebabkan penyakit GBS ?
10. Bagaimana proses patogenesis dari penyakit GBS ?
11. Bagaimana fatofisiologi dari penyakit GBD ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Myasthenia Gravis.
2. Untuk mengetahui etiologi Myasthenia Gravis.
3. Untuk mengetahui pathway Myasthenia Gravis.
4. Umtuk mengetahu klasifikasi Myasthenia Gravis.
5. Untuk mengetahui manifestasi Myasthenia Gravis.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis Myasthenia Gravis.
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Myasthenia Gravis.
8. Mengetahui pengertian GBS
9. Mengetahui hal hal yang menyebabkan GBS
10. Mengetahui proses patogenesis penyakit GBS
11. Mengetahui patofisiologi dari penyakit GBS
MYASTENIA GRAVIS

A. DEFINISI
Myasthenia Gravis merupakan humoral mediated autoimmune disease yang
mengenai neuromuscular junction pada daerah post sinaptik, ditandai dengan
kelemahan otot secara fluktuatif yaitu kelemahan otot memberat setelah aktivitas
dan membaik dengan istirahat. Penyakit ini disebut Myasthenia Gravis karena di
karakteristikan dengan gambaran myasthenia yaitu kelemahan otot yang dulunya
mempunyai prognosis buruk (grave). Kasus ini di laporkan oleh seorang dokter
dari Inggris yaitu Willis pada tahun 1672 kemudian pada tahun 1895 Jolly
pertama kali menyebut penyakit ini dengan nama Myasthenia Gravis. John
Simpson pada tahun 1960 menghubungkan myasthenia Gravis sebagai penyakit
autoimun yang disebabkan karena reaksi autoimun pada motor endplate.
Penyakit aotoimun pada penyakit ini dilaporkan oleh Patrick dan Lindstron yaitu
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) di daerah post sinaptik dari
motor endplate pada tahun 1973. (Sheila:2015)
Myasthenia gravis merupakan suatu kelainan pada neuromuscular junction
yang paling sering ditemukan, dengan prevalensi 20/100.000 pada populasi yang
bervariasi. Patogenesisnya melibatkan antibodi komplemen yang bertindak
melawan reseptor asetilkolin, tirosin-kinase spesifik otot, atau protein 4 yang
berhubungan dengan reseptor Low Density Lipoprotein (LDL). Myasthenia
gravis dapat menyebabkan kelemahan pada kelopak mata dan otot-otot mata
pada hingga 90% kasus; setengah dari pasien tersebut menunjukkan gejala okular
yang terisolasi seperti ptosis dan/atau hanya diplopia. (Sri,2016)
Berdasarkan sumber diatas dapat disimpulkan bahwa myasthenia gravis
merupakan suatu kelainan pada neuromuscular junction, ditandai dengan
kelemahan otot yang memberat ketika aktivitas dan membaik dengan istirahat.
Myasthenia gravis dapat menyebabkan kelemahan pada kelopak mata dan otot-
otot mata.
B. ANATOMI FISIOLOGI NEUROMUSCULAR JUNCTION
Neuromuscular junction merupakan penghubung antara serabut saraf dan otot
pada membran otot yang berfungsi mengubah impuls elektrik menjadi sinyal
kimia untuk digunakan sebagai pencetus kontraksi otot. Neuromuscular junction
terdiri dari membran presinaptik, celah sinaptik (synaptic cleft) dan membran
post sinaps.

Membran presinaps terdiri dari nervus terminal yang merupakan tempat


dintesis dan penyimpanan neurotransmitter asetilkolin (ACh). Celah sinaptik
merupakan daerah yang memisahkan membran presinaptik dan post sinaptik
dengan jarak kurang lebih 20 nm. Celah ini mengandung asetilkolin dan
protein-protein proteoglikan yang berfungsi untuk menstabilkan stuktur
neuromuscular junction. Membran post sinaptik merupakan daerah yang
mengandung reseptor asetilkolin. Daerah post sinaptik ini dikarakteristikan
oleh adanya invaginasi dari membran plasma yang disebut “secondary
synaptic fold/junction fold” junction fold ini berfungsi memperluas area post
sinaptik dan merupakan tempat terpusatnya depolarasi and plate. Reseptor
asetinkolin terpusat pada bagian atas junctional fold. Muscle specific tyrosine
kinase (MuSK) dan agrin merupakan protein yang terlibat dalam clustering
AChR.

Transmisi di neuromuscular junction pada keadaan normal dimulai dengan


sintesis asetinkolin (ACh) di terminal saraf motorik dan di simpan di dalam
vertikel-vertikel. Potensial aksi akan merambat sepanjang saraf motorik dan
mencapai terminal saraf tersebut yang akan menyebabkan ACh dari 150-200
vertikel dilepaskan ke sinaptik serta berdifusi ke membran post sinaptik.
Asetilkolin akan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada membran
postsinaptik dan menyebabkan terbukanya berbagai saluran ion AChR
sehingga memungkinkan berbagai kation terutama natrium (Na) masuknya ke
otot yang kemudian menimbulkan depolarisasi and plate. Jika depolarisasi
mencapai ambang batas, akan terjadi aksi potensial dan kontraksi otot.
Asetilkolin kemudian mengalami reuptake dan hidrolisasi oleh
asetilkolinesterase sehingga konsentrasi ACh berkurang. Mekanisme ini
mencegah terjadinya aktivasi berulang dari AChR oleh ACh. Jumlah
asetilkolin yang dikeluarkan per impuls mengalami penurunan secara normal
pada perangsangan berulang, hal ini disebut presynaptic rundown.
C. ETIOLOGI
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-
bagian imunologis (epitop) didalam maupun sekitar AChR nicotinik pada
postsynaptic endplace regia neuromuscular junction. Antibodi AChR memicu
terjadinya degredasi imun dari AchR dan membran postsinaptik. Hilangnya
AChR fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah
serat otot yang berdepolarisasi selama aktivitas terminal nervous motorik,
mengakibatkan penurunan aksi potensian otot dan kontraksi serat otot yang
penting. Adanya hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan
kelemahan secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar.

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor
end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui
neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach
(AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka,
memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat otot dan
menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan
berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka
akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk
menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah
AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran
postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor
endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit
dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Hasilnya adalah sebuah transmisi
neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian
antara lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis,
sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri
menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat
terikatnya asetilkolin dan autoantibodi menyebabkan kerusakan pada motor
endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AchR.
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka
memiliki antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam
pathogenesis myasthenia gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari
pasien myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa derajat kelainan timus
(misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus). Mengingat
fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan
timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,
stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal
inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi
pada serum 90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site
dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,
antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk
insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

E. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the


Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi
5 kelas yaitu :

a. Kelas 1 : adanya keluhan otot – otot ocular, kelemahan pada saat menutup
mata dan kekuatan otot – otot lain normal
b. Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot – otot lain selain otot ocular
a) Kelas II a : mempengaruhi otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot – otot orofaringeal yang ringan
b) Kelas II b : mempengaruhi otot – otot orofaringeal, otot pernafasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot – otot anggota tubuh dan otot – otot aksial
lebih ringan dibandingkan kelas II a
c. Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot –otot ocular, sedangkan
otot –otot lain mengalami kelemahan tingkat sedang
a) Kelas III a : mempengaruhi otot – otot anggota tubuh, otot – otot aksial
atau keduanya secara perdominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal
yang ringan
b) Kelas III b : mempengaruhi otot – otot faringeal, otot pernafasan atau
keduanya secara perdominan. Terdapatnya kelemahan otot – otot anggota
tubuh, otot –otot aksial. Otot faringeal mengalami kelemahan pada derajat
ringan
d. Kelas IV : otot – otot selain otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot – otot ocular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat
a) Kelas IV a : secara perdominan mempengaruhi otot anggota tubuh atau
otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
b) Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan atau
keduanya secara perdominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot
anggota tubuh, otot aksial atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi
e. Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:


1. Ocular Miastenia : terkenanya otot – otot mata saja, dengan ptosis dan
diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized Miastenia :
a. Mild Generalized Miastenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan – pelan meluas ke
otot – otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon
terhadap otot baik
b. Moderate Generalized Miastenia
Kelemahan hebat dari otot – otot skelet dan bulbar, respon terhadap
obat tidak memuaskan
3. Severe Generalized Miastenia
a. Acute Fulmating Miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dan
otot – otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan moralitas tinggi.
b. Late Severe Miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah
kelompok I dan II progresif dari miastenia gravis dapat pelan – pelan
atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis jelek.

F. MANIFESTASI KLINIS

Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan
diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala
okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke
mata. Okular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang
tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak
mata atau otot bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal
sebagai ptosis yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda
pada arah otot yang lemah. Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia
pada saat onset penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang
berfluktuasi, biasanya tidak terlihat beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia
terjadi saat pasien melihat ke arah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat
pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila
satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan pada satu
otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling
menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis
unilateral, mata yangtidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis
dibuka dengan menggunakan jari (Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata
tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas okular yang didapatkan
dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus mengarahkan
kecurigaan pada myasthenia gravis MG.
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata,
tetapi biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah
terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring
harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya
kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG.
Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat
umum dari MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan
kelopak mata tertutup atas terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya.
Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak mata akan
memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama
penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot
orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi
ini kadang-kadang bingung dengan kelemahan myasthenic. Biasanya tidak
ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan penutupan kelopak
mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak
mata bawah.
Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk
mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan
pipi adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang
disebut "myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot
melalui sedotan, atau meledakkan balon. Bicara cadel dan kesulitan menelan
dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh
kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan
MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan,
seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik
tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah
berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam
mengunyah karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot
masseter), sedangkan pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan parah,
rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan tangan selama
mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia
karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring
muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas
lebih sulit daripada makanan dingin. Adakalanya pasien menggunakan es batu
untuk meminum cairan yang dibutuhkan. Regurgitasi cairan ke hidung dapat
menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan untuk
menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan
membutuhkan suktion mulut. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini,
sebuah sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga
untuk suplemen gizi.
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan
otot yang menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah
diminta untuk menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat
dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien telentang sangat mengalami
kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi
terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka
yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya
“stridor”, selama dalam usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan
darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan intubasi
endotrakeal.
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien
myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk
mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. Kelumpuhan vokal dapat
menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh
sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Batuk
membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang
terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika
jalan napas paten, otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis
dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan
inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital (> 20 ml/kg berat
badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi mekanis.
Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis
tidak mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan
cepat. Biasanya, pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan
efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien yang tidak menyadari
mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot
pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian
menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari.
Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah
tersebut.
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari
kelemahan otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan
inkontinensia urin mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat
antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan prostat
pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti
biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu
sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat melakukan kontraksi
refleks selama batuk atau regangan.
Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang
untuk transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari
otot distal pada MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris.
Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana kesulitan dalam
mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian,
memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan.
Kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif dengan
kemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan saat ekstensi.
Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari congenital
slow-channel myasthenic syndrome.
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan
menaiki tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG.
Kelelahan otot tungkai dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat
satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali, penilaian langsung dari kekuatan
fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot
aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif.
Sering terjadi Otot-otot Gejala
Ocular Ptosis dan penglihatan ganda
Wajah Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher Kesulitan mengangkat kepala
saat posisi telentang
Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat lengan
setinggi bahu dan kesulitan
berdiri dari posisi duduk
dengan bantuan tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan dan
kesulitan untuk bangun dari
posisi tertidur
Ekstremitas distal Kelemahan saat mengenggam
dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki
Jarang terjadi
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai
kelemahan pada miopati proksimal dari pada kelemahan otot distal.
Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul sebagai sebuah
gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja.
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:
a. Kelelahan, kurang tidur 
b. Stres, kecemasan, depresi
c. Kelelahan, gerakan berulang
d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan
beberapa antibiotik 
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan
mungkin tetap timbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Pada Miastenia Gravis Dari Gejala Yang Sering Terjadi
Sampai Pada Gejala yang Jarang Terjadi

G. TEST DIAGNOSTIK
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibody
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota
badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan
otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat pula mengenai otot
pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
2. Tes klinik sederhana:
a) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).

b) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera
setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk
mengatasinya dapat digunakan atropine.
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.
5. Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita
dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis
sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu
titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat
otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu
potensial aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat
menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua
kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

H. PENATALAKSANAAN
Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat
diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada myasthenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan myastenia gravis dapat
dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi
dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada
kesembuhan miastenia gravis.Terapi pemberian antibiotik yang
dikombainasikan dengan imunosupresif dan imunomodulasi yang ditunjang
dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang
dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.
a. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien
yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang
lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari
PE. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca
operasi.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini
diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah
dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan
pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi
tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien
tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk tertentu dimana 99%
merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman
untuk diberikan secara intravena.
Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi
PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan
malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat,
serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi
lebih lambat.
c. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih
juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10
dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan
IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang
kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap
miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana
respon terhadap pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam
waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
e. Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari
purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida
pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis
yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan
dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga
dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
f. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar
timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia
timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab
terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman
meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan
dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS

A. Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus
2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan
presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis,
pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :

 B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut,


kelemahan otot diafragma
 B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
 B3(brain)       : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
 B4(bladder)   : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
 B5(bowel)     : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik
usus turun, hipersalivasi,hipersekresi
 B6(bone)       : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang
berlebih
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, 

C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan
klien kembali efektif
Kriteria hasil :
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Bunyi nafas terdengar jelas
 Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi
masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah
arteri dansebelum tampak gejala
klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi,Dan  Dengan mengkaji kualitas,


kedalaman frekuensi, dankedalaman
pernapasan,laporkansetiap pernapasan, kita dapatmengetahui
perubahan yang terjadi. sejauh mana perubahan
kondisiklien.

3. Baringkan klien dalam posisi  Penurunan diafragma memperluas


yang nyaman dalam posisi daerah dada sehingga ekspansi
duduk paru bisa maksimal

4. Observasi tanda-tanda vital  Peningkatan RR dan takikardi


(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru

2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam
kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor
resiko dan melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien dalam  Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya

2. Atur cara beraktivitas klien  Sasaran klien adalah memperbaiki


sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, danefek
toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan
tepat waktuadalah ketegasan.

3. Evaluasi Kemampuan  Menilai singkat keberhasilan dari


aktivitas motoric terapi yang boleh diberikan

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan


pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi verbal klien.  Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi

2. Lakukan metode komunikasi  Teknik untuk meningkatkan


yang idealsesuai dengan komunikasimeliputi
kondisiklien mendengarkan klien,
mengulangiapa yang mereka coba
komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara dengan
klienterhadap kedipan mata
mereka dan ataugoyangkan jari-
jari tangan atau kaki
untukmenjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu
mengenal kebutuhan mereka.

3. Beri peringatan bahwaklien  Untuk kenyamanan yang


di ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu

4. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi


kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuanberkomunikasi
5. Ucapkan langsung kepada  Mengurangi kebingungan atau
klien dengan berbicara pelan kecemasanterhadap banyaknya
dan tenang,gunakan informasi. Memajukanstimulasi
pertanyaan denganjawaban komunikasi ingatan dan kata-kata.
”ya” atau”tidak” dan
perhatikanrespon klien

6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli  Mengkaji kemampuan verbal


terapi bicara individual,sensorik, dan motorik,
serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan


komunikasi verbal
Tujuan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan
cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan darigangguan  Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalammenyusun rencana
derajat ketidakmampuan perawatan ataupemilihan
intervensi.

2. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima


Kehilangan atau disfungsi danmengatur beberapa fungsi
pada klien. secara efektifdengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkanyang
lain mempunyai
kesulitanmembandingkan
mengenal dan
mengaturkekurangan.

3. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan perasaan


perawatan yang baik dan hargadiri dan mengontrol lebih
memperbaiki kebiasaan dari satu areakehidupan

4. Anjurkan orang yang  Menghidupkan kembali perasaan


Terdekat untuk mengizinkan kemandirian dan membantu
klien melakukan hal untuk perkembanganharga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi prosesrehabilitasi

5. Kolaborasi: rujuk pada ahli  Dapat memfasilitasi perubahan


neuropsikologi dan konseling peran yang penting untuk
bila ada indikasi. perkembangan perasaan

D. Evaluasi
1. Pola napas kembali efektif
2. Terhindar dari resiko cedera
3. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
4. Citra tubuh klien meningkat
GUILAIN BARE SYNDROME

A. DEFINISI
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila
parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita
rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan
rangsang sehingga ada penurunan respon system otot terhadap kerja sistem
syaraf.
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak,terdiri dari
lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis
serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula mula adalah kelemahan dan
mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan
kelumpuhan,penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat karena dengan
penanganan cepat dan tepat,sebagian besar sembuh sempurna (Inawati,2010).
Guillaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses
yang di perantarai oleh imunitas,serta kelainan yang jarang terjadi,di mana sistem
imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.kelainan ini di tandai oleh adanya
disfungsi motorik,sensorik,dan otonom. GBS merupakan suatu neuropati
demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan
progresif,paralisis,dan hiporefleksi,dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun
otonom.pada kasus berat,kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas
sehingga mengancam jiwa (Judarwanto,2009).
B. ANATOMI FISIOLOGI

C. ETIOLOGI
Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa
dipengaruhi oleh sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik
dengan terapi modulasi imun. Sebuah penyakit dengan gambaran klinis serupa
(serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan gangguan CSF) dapat diinduksi pada
hewan coba dengan imunisasi saraf tepi utuh, mielin saraf tepi, atau pada
beberapa spesies oleh protein dasar mielin saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid.
Sebuah langkah penting pada penyakit autoimun adalah terganggunya self-
tolerance dan ada bukti bahwa hal ini terjadi karena mimikri molekular pada 2
bentuk GBS, AMAN dan sindroma MillerFisher, dengan reaksi silang epitope
antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi. Saat GBS didahului oleh infeksi
virus, tidak ada bukti langsung infeksi virus pada saraf tepi maupun radix saraf.

Organisme penyebab GBS • Epstein-Barr virus


• Mycoplasma pneumoniae
• Campylobacter jejuni
• Cytomegalovirus
• HIV
Vaksinasi yang berpotensi menimbulkan • Rabies vaccine
GBS • Influenza vaccines
• Oral polio vaccine
• Smallpox vaccine
• Diphtheria and tetanus
vaccines
• Measles and mumps vaccines
• Hepatitis vaccines

D. PATOFISIOLOGI
Pada GBS selaput myelin yang melindungi akson hilang. Selaput myelin cukup
rentan terhadap cidera karena banyak agen dan konsidi , termasuk trauma fisik,
hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi.
Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi
yang merugikan ini. Akson bermyelin mengonduksi saraf lebih cepat dibangding
akson tidak bermyelin. Sepanjang perjalanan serabut bermyelin terjadi gangguan
dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membrane sel
akson dengan cairan ekstraseluler. Membrane pada nodus sangat permeable
sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat
terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier sehingga impuls saraf sepanjang
serabut bermyelin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konsuksi
saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput bermyelin pada GBS membuat
koneksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

E. PATHWAY
Faktor faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum o nset,
meliputi adanya ISPA, infeksi gastro in testinal, dan tindakan bedah
saraf

Selaput mielin hilang akibat resp ons alergi, res pons autoimun,
hipoksem ia, toksik kimia, dan ins ufisiensi vas kular

Proses demielinisasi

Kon duksi s altato ri tidak terjadi dan tidak ada transm isi
impu ls s araf

Gangguan fun gsi saraf perifer dan kranial

Gangguan fun gsi saraf kranial :


Gangguan saraf peirfer dan n euromuskular Disfu ngs i oton om
III, IV, V, VI, VII, IX, dan X

Paralisis pada okular, wajah Parestesia (kesemutan kebas) dan


Paralisis lengkap, o tot pernapasan Kurang bereaksinya sistem saraf
dan otot orofaring, kesulitan kelemahan otot kaki yang dapat
terkena, mengakibatkan insufis ien si simp atis dan parasimpatis ,
berbicara, mengunyah dan berkembang ke ekstremitas atas ,
pernapasan perubahan sensori
men elan batang tubu h dan otot wajah

Gangguan frekuensi jantun g dan


Risiko tinggi gagal pernapasan
Gangguan pemenu han nutris i Kelemahan fis ik umum, paralisis otot ritme, perubahan tekanan darah
(ARDS), pen urunan kemampuan
dan cairan wajah (h ip ertensi transien, hipotensi
batuk, peningkatan sekresi mukus
ortostatik) dan gangguan vasomoto r

4. Resiko tinggi defisit cairan


tubu h Penu runan ton us otot s eluru h tubuh, Penu runan curah jantung ke otak dan
5. Resiko tin ggi pemenuhan perubahan estetika wajah jantung
nutrisi kurang dari kebutuh an

6. Gangguan pemenu han ADL


2. Ketidakefektifan bersihan 1. Ketidakefektifan pola 3. Ris iko tinggi pen urunan
7. Kerusakan mobilitas fisik
jalan napas nap as perfusi perifer
8. Gangguan konsep diri
(gambaran diri)

Sekresi mukus lebih ke Penu runan curah jantung ke


Gagal fungsi pernapasan
bawah jalan napas ginjal

Risiko tin ggi infeksi saluran


Penu runan filtrasi
napas bawah dan paren kim Kom a
glomerulus
paru

Pneumonia Kematian Anuria

Prognosis pen yakit kuran g


9. Kecemasan Keluarga Gawat Kardiovas kular Gagal ginjal akut
baik
F. KLASIFIKASI

Tipe Deskripsi
Acute inflammatory The most common form of GBS, accounting
demyelinating for 90% of cases in North America and
polyradiculoneuropathy Europe. The main features include ascending
(AIDP) motor and sensory neuron loss
Acute motor axonal Account for approximately 3–5% of cases
neuropathy (AMAN)/ acute within the developed world but are more
motor and sensory neuropathy common in China, Japan and Mexico,
(AMSAN) accounting for 30– 47% of cases in Asia and
Central and South America. Occur following
infection with Campylobacte jejuni. These
forms of GBS have a more rapid onset and
severity, frequently leading to neuromuscular
respiratory failure and ventilator dependence
and cranial nerve involvement.
Miller Fisher syndrome Accounts for approximately 5% of all cases of
GBS. Annual incidence is much lower than
other forms of GBS at 0.1 per 100 000. Main
symptoms are oculomotor dysfunction, ataxia
and absent reflexes. Many patients develop
facial and bulbar palsies and a few will
require mechanical ventilation.
Chronic idiopathic chronic relapsing remitting form of GBS that
demyelinating presents with chronic progressive or relapsing
polyradiculoneuropathy weakness, sensory loss and paraesthesia,
(CIDP) absent reflexes and/or cranial nerve
dysfunction. Prevalence is around 3–4 per 100
000. Neuromuscular respiratory failure and
cranial nerve dysfunction can occur, although
are less common than in AIDP.

G. TEST DIAGNOSTIK
Diagnosa GBS ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil tes kesehatan baik
secara fisik maupun laboratorium. Berdasarkan riwayat penyakit didapatkan data
tentang obat- obatan yang biasa diminum, apakah ada riwayat konsumsi alkohol,
infeksi-infeksi yang pernah diderita sebelumnya, riwayat vaksinasi dan
pembedahan yang dilakukan pada orang tersebut sebelumnya, maka dokter akan
menyimpulkan apakah pasien menderita penyakit GBS. Tidak lupa juga riwayat
penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes
mellitus, diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga
dokter bisa menarik kesimpulan apakah orang terkena GBS atau penyakit
lainnya.
Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes:
1. Darah lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit
2. Lumbal puncti, berfungsi untuk mengambil cairan otak
3. EMG (electromyogram), untuk merekam kontraksi otot.
4. Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.
Sesuai urutannya, test pertama akan dilakukan kemudian test ke dua apabila test
pertama tidak terdeteksi adanya GBS, dan selanjutnya.

Kandungan protein CSF meningkat pada kebanyakan pasien dengan GBS,


namun dapat menunjukkan nilai normal pada beberapa hari awal setelah onset.
Jumlah sel CSF biasanya normal, namun pada beberapa pasien dengan selain
GBS tipikal memiliki 10 hingga 100 sel mononuklear/ul pada CSF.
Mononukleosis infeksiosa, infeksi CMV, hepatitis viral, infeksi HIV, atau
penyakit yang disebabkan oleh virus yang mendahului penyakit ini dapat
didokumentasikan menggunakan studi serologis. Meningkatnya titer antibodi
IgG atau IgA menjadi GM-1 atau GD1a dapat ditemukan pada bentuk aksonal
GBS. Antibodi anti-GQ-1b berhubungan erat dengan sindroma Miller-Fisher.

H. MANIFESTASI KLINIS
GBS seringkali muncul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah gejala
infeksi virus pada saluran pernafasan atas atau pada saluran pencernaan.
Biasanya gejala neurologis pertama adalah kelemahan anggota gerak simetris,
seringkali juga diikuti dengan mati rasa. Berlawanan dengan kebanyakan
neuropati, otot proximal kadang terpengaruh lebih besar dibandingkan dengan
otot distal. Pada beberapa kasus, otot wajah, mata, dan orofaring terpengaruh
lebih dahulu. Lebih dari 50% pasien mengalami diplegia wajah, dan disfagia
maupun disartria terjadi dalam jumlah kasus yang serupa. Beberapa pasien
membutuhkan ventilasi mekanik. Refleks tendon bisa normal dalam beberapa
hari awal namun hilang pada hari-hari berikutnya. Derajat gangguan sensoris
memiliki banyak variasi. Pada beberapa pasien, semua modalitas sensoris terjaga
dengan baik, pada kasus lain terdapat penurunan pada persepsi posisi sendi,
getaran, rasa sakit, temperatur dengan distribusi pada telapak tangan dan kaki
(glove-stocking). Pasien kadang mengalami papiledem, ataksia sensoris, dan
respon ekstensor plantar yang tidak permanen. Disfungsi autonom termasuk
hipotensi ortostatik, tekanan darah yang labil, takiaritmia, dan bradiaritmia, atau
takikardia menetap sering terjadi pada kasus yang lebih parah dan menjadi sebab
utama morbiditas dan mortalitas. Banyak juga kejadian nyeri otot, dan bisa
terjadi peningkatan sensitivitas saraf pada penekanan, namun tidak ada tanda
iritasi meningen seperti rigiditas nuchal.

I. PENATALAKSANAAN
1. Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .
2. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
3. Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan berupa steroid.
Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat
penyembuhan.
4. Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan
hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE
5. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
hanya memberikan PE atau IVIg.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
1.1 identitas klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Suku/ bangsa
f. Agama
g. Pendidikan
h. Pekerjaan
1.2 Identitas wali
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Hubungan dengan klien
2. Riwayat kesehatan
2.1 Riwayat keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan klien adalah
kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal.
2.2 Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada klien penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Tanyakan pada klien obat-obat yang sering digunakan seperti obat
kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan reaksinya.
2.3 Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut
diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia
(kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot
dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul mengarah pada aspirasi. Keluhan
kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan
klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan
dari fungsi kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan
sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
distritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan
dalam tanda-tanda vital.
2.4 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah
mengalami gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan tanyakan
pula apakah ada anggota keluarga yang pernah menggalami gangguan
ISPA ataupun yang lainnya.

3. Pemeriksaan fisik (data dasar pengkajian klien)


3.1 Aktivitas /istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya
berkembang cepat kerah atas.
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
3.2 Sirkulasi
Tanda :Perbahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi).
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan,diaforesis.
3.3 Integritas ego
Gejala :Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi
Tanda :Tampak takut dan binggung.
3.4 Eliminai
Gejala :Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda :kelemahan pada otot-otot abdomen .
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks
sfinger.
3.5 Makanan/ cairan
Gejala :Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
3.6 Neurosenori
Gejala :
Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,
sensasi tubuh.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda :
Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak
mata (keterlibatan saraf karnil).
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
3.7 Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri tekan otot; seperti terbakar, mengganggu, sakit nyeri
(terauma pada bahu, pelvis pinggang, punggung dan bokong).
Hipersensitif terhadap sentuhan
3.8 Pernapasan
Gejala :Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
Tanda :
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas,
apnea,penurunan/hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru-paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks gag/ menelan/ batuk.
3.9 Keamanan
Gejala :
Infeksi virus nonspesivik (seperti, infeksi saluran pernafasan
atas) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus
Tanda :
Suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu
lingkungan).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parestesia.
3.10 Interaksi sosial
Tanda :
Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan.
2. Gangguan mobilitas fisik yang b.d kerusakan neuromuscular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
3. Risiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan

C. INTERVENSI
Pola napas tidak efektif b.d dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan.

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola nafas
kembali efektif.
Kriteria hasil : secara subjektif sesak nafas (-), RR 16-20 x/mnt. Tidak
menggunakan otot bantu nafas, gerakan dada normal.
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Menjadi bahan monitoring seragan
nafas tambahan, perubahan irama gagal napal dan menjadi data dasar
dan kedalaman, penggunaan otot- intervensi selanjutnya.
otot aksesori.
Evaluasi keluahn sesak napas baik Tanda dan gejala meliputi adanya
secara verbal dan non verbal. kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan irregular,
menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardi, dan perubahan pola.
Beri ventilasi mekanik Ventilasi mekanin digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital,
klien memperlihatkan
perkembangan kea rah
kemunduran, yang mengindikasi
kea rah memburuknya kekuatan
otot.
Lakukan pemeriksaan kapasitas Kapasitas vital klien dipantau lebih
vital pernapasan. sering dan dengan interval yang
teratur dalam penambahan
kecepatan pernapasan yang tidak
efektif dapat diantisipasi.
Penurunan kapasitas vital
dihubungkan dengan kelemahan
otot-otot yang digunakan saat
menelan, sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk
dan menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen
Pemberian Humidufikasi yang sangat diperlukan tubuh
dengan kondisi laju metabolisme
sedang meningkat.

Gangguan mobilitas fisik yang b.d kerusakan neuromuscular, penurunan


kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3x24jam setelah diberikan tindakan mobilitas
klien meningkat atau teradaptasi.
Kriteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi, thrombosis
vena profunda dan embolis paru merupakan ancaman klien paralisis
yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas, decubitus tidak terjadi.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tingkat kemamuan klien Merupakan data dasar untuk
dalam melakukan mobilitas fisik. melakukan intervensi selanjutnya.
Dekatkan alat dan sarana yang Bila pemulihan mulai untuk
dibutuhkan klien dalam dilakukan, kemungkinan
pemenuhan aktivitas sehari-hari membuthkan meja tempat tidur
untuk menolong mereka
mengambil posisi duduk tegak.
Hindari factor yang Individu paralisis memounyai
memungkinkan terjadinya trauma kemungkinan mengalami kompersi
ada saat klien melalukan neuropati, paling sering saraf ulnar
mobilisasi. dan peritoneal. Bantalan dapat
ditempatkan disiku dan kepala
fibula untuk mencegah terjadinya
masalah ini.
Sokong ekstremitas yang Ekstremitas paralisis disokong
mengalami paralisis. dengan posisi fungsional dan
memberikan latihan rentang gerak
secara pasif paling sedikit dua kali
sehari.
Monitor komplikasi gangguan Deteksi awal thrombosis vena
mobilitas fisik. profunda dan decubitus sehingga
dengan penemuan yang cepat
penanganan lebih mudah
dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisioterapis. Kolaborasi dengan alhi terapi
untuk mencegah deformitas
dengan menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dan latihan
rentang gerak.

Risiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan dengan ketidakmampuan


mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : setelah dirawat selama 3 hari klien terjadi komplikasi akibat
penurunan asupan nutrisi.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
pemenuhan nutrisi oral. yang adekuat dan pencegahan yang
kelemahan otot karena kurang makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
akibant insufisiensi akitivitas. insufisiensi aktivitas parasimpatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat memantau
bising usus sampau terdengar.
Berikan nutrisi via NGT Jika klien tidak mampu menelan,
makanan diberikan melalui selang
lambung.
Berikan nutrisi via oral bila paralisis Bila klien menelan, makanan melalui
menelan berkurang oral diberikan perlahan-lahan dan sangat
hati-hati.
DAFTAR PUSTAKA

Febriana, Sheila, dkk. 2015. Refarat Imunologi Myasthenia-Gravis. Makassar:


Klinik FKUH-RSUP.
Sutrisno, Jenri. 2013. Refarat Miatenia Gravis. Pontianak: Universitas
Tanjungpura.
Wijayanti, Sri. 2016. Askep Klinis Penatalaksanaan Miastenia Gravis. Denpasar:
RSUP Sanglah.

Anda mungkin juga menyukai