Anda di halaman 1dari 18

“Asuhan keperawatan”

Miestania gravis

Kelompok 4

1. Rismawati 6. Arum dani


2. Lisa indriani 7. Muh.adnan
3. Neli indriani 8. wahyudi
4. Nurdika parsya 9. Emi lestari
5. Surianti saleh 10. Indah andriani ansar

STIKES PANRITA HUSADA


BULUKUMBA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan
ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kami mengucapkan
Terima Kasih.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat
banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, maupun penyusunan. Dengan
rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang selanjutnya membangun
untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

  

   Bulukumba, 04 maret 2019

                                                                                                                      
Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Tujuan Pembelajaran
BAB II : TINJAUAN TEORI
A.    Konsep Dasar Medik
1.      Definsi
2.      Etiologi
3.      Patofisiologi
4.      Manifestasi klinis
5.      Pemeriksaan diagnostik
6.      Penatalaksanaan medis
7.      Patoflow diagram teori
B.     Konsep Dasar ASKEP
1.      Pengkajian
2.      Diagnosa keperawatan
3.      Rencana keperawatan
BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai
pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.
            Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir
tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis
bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram
menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris
melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan
kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk
mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
            Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah
40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40
tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika
Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap
angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah
terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
            Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi
secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi
spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk

4
menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama
setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui definisi miastenia gravis
2. Mengetahui etiologi miastenia gravis
3. Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
4. Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
5. Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
7. Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
8. Mengetahui komplikasi miastenia gravis
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan miastenia gravis

C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti konsep dasar miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
miastenia gravis

5
BAB II
Pembahasan
A.    Konsep Dasar Medik
1.    Definisi
Miastenia gravis merupakan gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Kondisi ini
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan kombinasi antara
cepatnya terjadi kelemahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal (Muttaqin, 2009).
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa
terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACh) nikotinik
pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini menyebabkan
penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.
[ CITATION ari081 \l 1057 ]
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Brunner
and Suddarth 2002).
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi
transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M. Neffina 2002).

6
Myasthenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya
penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot
volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari
normal) (Price dan Wilson, 1995).

2.      Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung
akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya
sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran
postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.
3. Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan  Acetyl Choline(ACh)  yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan
oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. 
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-
immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok
AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-

7
AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan
lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien
penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada
mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan
penting dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan
toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini,
Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel
B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan
bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada
patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
4.      Manifetasi Klinis
a.     Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan
b.    Diplobia (penglihatan ganda)
c.     Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
d.    Disfonia (gangguan suara)
e.    Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif     menyebabkan gawat
napas.
5.      Pemeriksaan Diagnostik
a. Test serum anti bodi resptor ACh yang positif pada 90% pasien.
b. Test tensilon : injeksi iv memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan
gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-gejala
pada krisis kolinergik.
c. Test elektro fisiologis untuk menunjukan penurunan respon rangsangan saraf
berulang.
d. CT dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan respon
autoimun.
6.      Penatalaksanaan Medis

8
Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian obat
antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang bersikulasi
a.     Obat Anti Kolinestrase

piridostigmin bromide (mestinon), ambenonium klorida (Mytelase), neostigmin


bromide (Prostigmin). diberikan untuk meningkatkan respon otot terhadap impuls
saraf dan meningkatkan kekuatan otot, hasil diperkirakan dalam 1 jam setelah
pemberian.

b.    Terapi Imunosupresif

Ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau


pembuangan antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.  kortikostreoid
menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang menghambat pertukaran
plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara dalam titer antibodi.
Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi) menyebabkan remisi
subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hiperlasia kalenjer timus. kalenjer
timus. kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus.

9
BAB III
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a)      Anamnesis
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama :Kelemahan otot
Riwayat kesehatan :Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis.
Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah
istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya
jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot.
B1 (Breathing) :
            Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut
B2 (Bleeding) :
            Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3 (Brain) :
            Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak
mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (Bladder) :
            Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
B5 ( Bowel) :

10
            Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan
peristaltic usus turun.

B6 (Bone) :
            Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

2.      Diagnosa Keperawatan


a)      Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan.
b)      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif.
c)      Resiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan penutupan kontrol tersedak dan
batuk efektif.
d)     Gangguan pemenuhan nutrisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan.
3.      Rencana Keperawatan
DP I :
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernafasan klien
kembali efektif
Kriteria Hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal,
bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal.
intervensi :
1.      Kaji kemampuan ventilasi
R: Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi perawat mengkaji frekuensi
pernafasan, kedalaman dan bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume
tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan interval yang sering dalam
mendeteksi masalah paru-paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan
sebelum tampak gejala klinis.

11
2.      Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan
yang terjadi
R : dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien
3.      Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk
R : penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
DP II : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi jalan nafas kembali
efektif. Tujuan utama dari intervensi adalah menghilangkan kuantitas dari viskositas
sputum untuk memperbaiki ventilasi paru-paru dan pertukaran gas.
kriteria hasil : Dapat mendemonstrasikan batuk efektif, dapat menyatakan strategi
untuk menurunkan kekentalan sekresi, tidak ada suara nafas tambahan dan pernafasan
klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu nafas.
intervensi :
1.      Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum
R : Karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruktif
2.   Atur posisi semifowler
R : Meningkatkan ekspansi dada
3.      Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan
R: Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan
pembersihan jalan nafas. 

DP III : Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan


fisik umum, keletihan.
Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamsi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal, infeksi pernafasan

12
minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru-paru
normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria hasil : frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi :
1.      Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
R: Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya.
2.      Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
R: Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan dan daya tahan.
3.      Evaluasi kemampuan aktivitas motorik
R: Menilai tingkat keberhasilan dari terapi yang telah diberikan.

DP IV : Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia, gangguan


pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau
oral.
Tujuan : klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengoperasikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria hasil : terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi,
klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi :
1.      Kaji kemampuan komuniksai klien
R : Kelemahan otot-otot bicara pada klien krisis myasthenia gravis dapat berakibat
pada komunikasi.
2.      Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien
R: Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien,
mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan denga jelas dan membuktikan
yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan /
atau goyangan jari-jari tangan atau jari-jari kaki untuk menjawab ya tau tidak.

13
3.      Beri penjelasan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara,
sediakan bel khusus bila perlu
R: Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh
tubuh hingga ke otot pernapasan.Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan
reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun.Gejala
utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang
sembuh kembali setelah istirahat.Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan
riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi
anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes
wartenberg, dan tes prostigmin.Pengobatan miastenia gravis adalah dengan
menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.
B. Saran
Semoga kita dapat terus memahami hasil dari isi makalah yang dimana membahasa
mengenai miastenia dan kami juga menyadari apa yang kami paparkan dalam
makalah ini tentu masih belum sesuai apa yang di harapkan. Dengan ini saya
berharap masukan yang lebih banyak lagi dari dosen pembimbing dan serta para
pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA
muttaqin, a. (2008). asuhan keperawatan dengan sistem persarafan. jakarta: salemba
medika.

Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

15
ASUHAN KEPERAWATAN
“MESTENIA GRAVIS”

OLEH

RISMAWATI
NELY INDRIANI
LISA INDRIANI
NURDIKA PARSYA
ARUM DANI
EMI LESTARI
INDAH ANDRIANI ANSAR
MUH.ADNAN

16
HARDIANTO
WAHYUDI
SURIANTI SALEH

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA
2019

   

17
18

Anda mungkin juga menyukai