Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak II
dengan dosen pembimbing Ibu Tina Shinta, M.Kep., Sp. Kep.An
Disusun Oleh:
Libertus Rinaldi Kelsen
30120117057
PADALARANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan pokok
bahasan “Penyakit Kawasaki Pada Anak” guna memenuhi tugas mata ajar
Keperawatan Anak I.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.................................................................................2
1.5 Sistematika Penulisan..........................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi Penyakit Kawasaki.................................................................3
2.2 Etiologi Penyakit Kawasaki.................................................................4
2.3 Faktor Risiko Penyakit Kawasaki........................................................5
2.4 Anatomi Fisiologi Pembuluh Darah....................................................8
2.4.1 Sistem Pembuluh Darah............................................................8
2.4.2 Stuktur Dinding Pembuluh Darah.............................................10
2.5 Patofisiologi Penyakit Kawasaki.........................................................12
2.6 Manifestasi Klinis Penyakit Kawasaki................................................13
2.7 Komplikasi Penyakit Kawasaki...........................................................15
BAB 3 PEMBAHASAN.......................................................................................16
3.1 Kasus...................................................................................................16
3.2 Pembahasan Kasus...............................................................................16
3.3 Pengkajian............................................................................................17
3.4 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan...............................................19
3.4.1 Masalah Keperawatan Pada Kasus............................................19
3.4.2 Masalah Keperawatan Tambahan yang Dapat Muncul.............22
3.5 Evaluasi................................................................................................25
3.6 Perencanaan Pulang dan Perawatan Di Rumah...................................25
3.7 Penatalaksanaan Medis........................................................................26
iii
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................27
4.1 Kesimpulan..........................................................................................27
4.2 Saran....................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................v
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
aneurisma CAAS dengan trombosis, MI, dan kematian mendadak . Tingkat
kematian adalah 0,1-2 %.
4
perkembangan lesi arteri koroner pada penyakit Kawasaki. Dalam
penelitian ini, DNA genom diekstraksi dari seluruh darah yang
dikumpulkan dari 56 pasien dengan penyakit Kawasaki yang menerima
gamma globulin pengobatan, dan genotipe untuk FCG RIIIb-NA (1,2),
FCG RIIa-H/R131, dan FCG RIIIa-F/V158 ditentukan.
Sekitar 23 % dari pasien dengan alel HH untuk polimorfisme FCG
RIIA mengembangkan lesi arteri koroner, dibandingkan dengan 60 %
dengan HR dan RR alel. HR dan RR alel dapat menjadi prediktor
perkembangan lesi koroner pada penyakit Kawasaki sebelum memulai
terapi gamma globulin. Selain itu, polimorfisme dalam plasma platelet-
activating factor acetylhydrolase terlibat dalam perlawanan terhadap
pengobatan imunoglobulin pada penyakit Kawasaki.
5
1. Variasi Gen ITPKC
Nama resmi dari gen ITPKC yaitu “inositol-triphosphate 3-kinase C”.
“ITPKC” adalah simbol untuk memudahkan dalam mengingat dan menulisnya.
Lokasi gen ini yaitu mulai pasangan basa 40.716.979 hingga pasangan basa
40.740.859 pada kromosom 19. Nama lain dari gen ITPKC antara lain:
inositol 1,4,5-triphosphate 3-kinase
C
InsP 3 kinase C
insP 3-kinase C
IP3-3KC
IP3 3-kinase C
IP3KC
IP3K C
IP3KC_HUMAN
Gen ITPKC menyediakan instruksi untuk membuat satu versi (isoform)
dari enzim inositol 1,4,5-triphosphate 3-kinase (ITPK). Enzim ini membantu
menambahkan sekelompok atom oksigen dan fosfor (grup posfat) ke sebuah
molekul yang disebut Ins(1,4,5)P3 untuk memproduksi sebuah molekul yang
bernama Ins(1,3,4,5)P4. Kedua molekul ini terlibat dalam pengaturan jumlah
kalsium di dalam sel.
Beberapa versi (isoform) dari enzim ITPK diproduksi dari gen yang
berbeda. Mereka memainkan bermacam-macam peran dalam berbagai proses pada
tubuh manusia. Isoform yang diproduksi oleh gen ITPKC disebut inositol 1,4,5-
triphosphate 3-kinase (ITPKC). Isoform ini terlibat dalam sebuah mekanisme
yang disebut Ca(2+)/NFAT signaling pathway, yang memengaruhi level kalsium.
Mekanisme tersebut membantu membatasi aktivitas sel-sel dalam sistem imun
yang bernama sel T. Sel T mengidentifikasi zat-zat asing dan mempertahankan
tubuh dengan melawan infeksi. Pengurangan aktivitas sel T pada saat yang tepat
akan mencegah kelebihan produksi protein imunitas, disebut sitokin, yang
menyebabkan inflamasi dan lebih jauh lagi kerusakan jaringan.
Variasi gen ITPKC telah dihubungkan dengan peningkatan risiko Penyakit
Kawasaki. Variasi tersebut mengubah DNA building block (nukleotida) tunggal
6
dalam sebuah daerah pada gen yang dinamakan intron 1. Hal ini mengakibatkan
efisiensi transkripsi gen ITPKC menjadi berkurang, sehingga membuat jumlah
enzim ITPKC pun menjadi berkurang. Apabila jumlah enzim ITPKC berkurang,
maka produksi protein sitokin akan lebih banyak. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya inflamasi (peradangan) yang dapat merusak pembuluh darah dan
menghasilkan tanda dan gejala dari Penyakit Kawasaki. Tampaknya ada
kemungkinan faktor-faktor lain, termasuk perubahan dalam gen lain, juga
memengaruhi perkembangan gangguan kompleks ini.
7
kedelai berkaitan dengan risiko lebih tinggi terhadap Penyakit Kawasaki pada
anak-anak di bawah usia 18. Hal ini dapat menjelaskan mengapa penyakit ini
umunya terjadi di populasi Asia, terutama pada anak-anak Jepang. The Portman
Research Group sekarang mengejar studi kasus-kontrol yang menganalisis
konsumsi kedelai pada anak-anak dari latar belakang etnis yang berbeda di
Amerika Serikat.
Terdapat faktor risiko atau insidensi lain terjadinya penyakit Kawasaki,
diantaranya: (Scheinfeld, 2014)
Ras, meskipun penyakit Kawasaki telah dilaporkan pada anak-anak dari
semua etnis, namun terjadi paling sering pada anak-anak Asia, khususnya
keturunan Jepang.
Jenis kelamin, penyakit Kawasaki adalah sedikit lebih umum pada laki-laki
daripada perempuan. Rasio perbandingan laki-laku dan permempuan berkisar
1.3-1.83:1
Usia, sekitar 85-90 % dari kasus penyakit Kawasaki terjadi pada anak berusia
kurang dari 5 tahun (Pinna et all, 2008 dalam Scheinfeld, 2014); 90-95 %
kasus terjadi pada anak-anak kurang dari 10 tahun. Penyakit Kawasaki jarang
dilaporkan pada remaja dan orang dewasa.
8
paru yang berfungsi sebaliknya (Guyton, 2000; High beam encyclopedia, 2008;
Farlex, 2008). Di target organ, pembuluh darah arteri bercabang-cabang dan
berakhir menjadi pembuluh darah yang lebih kecil yang disebut dengan arteriol.
Arteriol bekerja sebagai katup pengatur di mana darah dilepaskan ke dalam
kapiler.
Kapiler adalah pembuluh darah terkecil yang berfungsi untuk menukar
cairan dan bahan gizi di antara darah dan ruang interstisial. Venula
mengumpulkan darah dari kapiler-kapiler. Secara berangsur-angsur mereka
bergabung menjadi vena-vena yang makin lama makin besar. Vena adalah
pembuluh darah yang berfungsi sebagai penyalur yang membawa darah dari
jaringan kembali ke jantung.
Secara histoanatomik, ketebalan dinding ketiga sistem ini berbeda, sesuai
dengan fungsi utamanya masing-masing. Aorta dan pembuluh darah arteri, karena
fungsinya untuk menyalurkan darah dari jantung ke seluruh tubuh, mengalami
tekanan yang tinggi. Sehingga pembuluh darah arteri memiliki dinding vaskuler
yang kuat dan darah mengalir dengan cepat ke jaringan-jaringan.
Arteriol yang berfungsi sebagai katup pengatur dari sistem arteri, memiliki
dinding otot yang kuat yang dapat menutup sama sekali arteriol tersebut sehingga
memungkinkannya untuk berdilatasi beberapa kali, dengan demikian dapat
mengubah aliran darah ke kapiler.
Kapiler memiliki fungsi yaitu sebagai penukar cairan dan bahan gizi,
memiliki dinding yang sangat tipis dan permeabel terhadap zat yang bermolekul
kecil. Selanjutnya dari kapiler darah kemudian berlanjut menuju venula-venula
yang kemudian bergabung menjadi pembuluh darah vena.
Vena berfungsi mengalirkan darah kembali ke jantung, memiliki tekanan
dinding yang sangat rendah dan sebagai akibatnya dinding vena tipis. Tetapi
walaupun begitu, dinding vena berotot yang memungkinkannya untuk mengecil
dan membesar, sehingga vena mampu menyimpan darah dalam jumlah kecil atau
besar tergantung kepada kebutuhan badan.
9
Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan ketebalan dinding pembuluh
darah, diameter lumen dan luas area sesuai dengan fungsinya dalam sistem.
10
yang terluar disebut sebagai tunika adventisia. Tunika intima terdiri dari selapis
sel endotel yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen,
dan selapis jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut membran basalis.
Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan,
glikoprotein dan jaringan kolagen. Dalam keadaan biasa, jumlah jaringan elastin
yang membentuk tunika media aorta dan pembuluh darah besar lainnya, lebih
menonjol dibandingkan dengan otot polosnya. Sebaliknya di pembuluh darah
arteri lebih banyak dijumpai sel otot polos yang membentuk tunika medianya.
Perbedaan sel dalam tunika media menjadi tidak jelas (tidak bisa dibedakan) bila
sudah memasuki arteriol, bahkan tampaknya, dapat dikatakan bahwa di dalam
arteriol jaringan ikat dari tunika adventisia menjadi lebih dominan (Guyton,
2000)
Dalam dinding kapiler pembuluh darah, tidak didapatkan lagi lapisan
tunika media dan yang ada adalah lapisan sel endotel. Pada sistem venosa,
komponen tunika jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem
arterial. Tunika media tidak begitu berkembang dan hanya terdapat pada vena
kava dan pembuluh darah vena besar lainnya. Pada vena-vena kecil dan venol,
hanya jaringan ikat tuna adventisia yang lebih dominan. Oleh karena itu sistem
venosa lebih mudah mengalami dilatasi yang ireguler dan menampung pembuluh
darah paling besar.
Elastin yang bersifat hydrofobik berperan dalam mempertahankan
elastisitas dinding pembuluh darah, sedangkan jaringan kolagen berperan dalam
mempertahankan struktur dan bentuk pembuluh darah. Jaringan kolagen pada
tunika media yang terdiri dari tiga tipe yaitu, tipe I dan tipe II mengandung sel-sel
fibril dengan diameter 20-90 nm, dan tipe III yang bersifat lebih elastik. Jaringan
ikat kolagen yang ada dalam tunika intima adalah jaringan kolagen tipe IV,
sedangkan yang tipe V ada di membran basal. Tunika adventisia yang merupakan
lapisan terluar bertindak sebagai pelindung dan terdiri dari banyak jaringan ikat,
saraf otonom, pembuluh darah limfe dan vasa vasorum.
11
2.5 Patofisiologi Penyakit Kawasaki
Perubahan patologis arteri koroner pada Penyakit Kawasaki telah
diklasifikasikan oleh Fujiwara dan Hamashima menjadi empat tahap, tergantung
pada durasi penyakit saat pemeriksaan. Awalnya, pembengkakan endotel disertai
dengan infiltrat neutrofil. Limfosit dan sel plasma menggantikan sel-sel
polimorfonuklear pada tahap subakut (dimulai 2 minggu setelah onset).
Didampingi kehancuran lamina elastis internal; aneurisma arteri koroner menjadi
karakteristik pertama Penyakit Kawasaki yang jelas pada saat ini. Akhirnya,
selama keadaan penyembuhan dari Penyakit Kawasaki, penyembuhan lesi
vaskular terjadi dengan proliferasi fibromuskular dan pembentukan bekas luka,
bersama dengan perluasan aneurisma karena kekuatan hemodinamik (Fleisher,
2010).
Fase I – Durasi Penyakit <10 hari
Perivasculitis akut arteri koroner
Mikrovaskuler angiitis arteri koroner dan aorta
Pancarditis dengan pericardial, miokard, peradangan endokardium
Peradangan pada sistem konduksi atrioventrikular.
Fase II – Durasi Penyakit 12-28 hari
Panvaculitis akut pada arteri koroner
Aneurisma arteri kororner
Obstruksi koroner dan trombosis
Miokard dan peradangan endokardium yang kurang intens
Fase III – Durasi Penyakit 28-45 hari
Peradangan subakut pada arteri koroner
Aneurisma arteri koroner
Miokard, peradangan endokardium yang semakin menurun
Fase IV – Durasi Penyakit >50 hari
Pembentukan bekas luka (skar), kalsifikasi di arteri koroner
Stenosis dan rekanalisasi lumen pembuluh koroner
Fibrosis miokard tanpa peradangan akut
IVIG, intravena immunoglobin.
12
Durasi pada setiat fase dapat berkurang dengan pengobatan yang tepat
menggunakan IVIG.
13
6. Limfadenopati servikal, yang biasanyanya unilateral, berukuran lebih dari
1,5 cm, dan menghilang dengan turunnya demam.
7. Miokarditis akut, penurunan fungsi ventrikel kiri, dan artritis temporer
(Betz. 2002).
14
Sisa manifestasi utama dari Penyakit Kawasaki sangat beragam dalam
frekuensi. Hingga satu-setengah dari anak-anak dengan Penyakit Kawasaki tidak
memiliki limfadenopati servikal, khususnya anak dibawah 2 tahun. Saat ini,
limfadenopati cenderung melibatkan kelenjar serviks anterior yang melapisi otot
sternokleidomastoid. Difus limfadenopati, serta tanda-tanda lain dari yang
melibatkan retikuloendotelial seperti splenomegali, harus segera mencari
diagnosis alternatif (Fleisher, 2010).
Retak, bibir merah dan lidah strawberry merupakan karakteristik dari
mucositis yang biasanya terlihat selama minggu pertama. Lesi oral diskrit, seperti
vesikel atau ulkus, dan eksudat tonsil, sugestif infeksi virus atau bakteri.
Manifestasi kulit dari Penyakit Kawasaki yang polimorf. Ruam biasanya dimulai
seperti eritema perineal dan deskuamasi, diikuti oleh makula, morbilliform, atau
lesi targetoid pada batang tubuh dan ekstremitas. Lesi vesikular atau bulosa jarang
terjadi. Perubahan pada ekstremitas pada umumnya manifestasi klinis terakhir dari
Penyakit Kawasaki untuk dikembangkan. Anak-anak menunjukkan sebuah
indurasi edema dari dorsum tangan dan kaki mereka, dan eritema difus telapak
tangan dan kaki mereka. Selama fase penyembuhan dari Penyakit Kawasaki,
lembaran seperti deskuamasi yang dimulai di wilayah periungual dari tangan dan
kaki adalah karakteristi.. Lipatan kuku linear dikenal sebagai garis Beau juga
manifestasi akhir umum pada Penyakit Kawasaki (Fleisher, 2010).
15
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
16
Berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat pada data kasus, klien anak A
berada pada fase demam akut dan sedikit masuk ke fase subakut. Fase demam
akut pada anak A ditandai dengan adanya keluhan demam batuk pilek, yang
menurut ibunya demam telah berlangsung selama 4 hari. Ruam kemerahan juga
ditemukan pada permukaan kulit anak, namun tidak di seluruh tubuh. Hasil
pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh petugas, didapatkan: suhu 39,5ºC,
frekuensi nafas 40x/menit, dan frekuensi nadi 120x/menit, dan tekanan darah
95/60 mmHg. Pemeriksaan fisik tersebut menunjukkan bahwa anak A sedang
mengalami demam yang serius yang membuat tubuhnya menjadi lebih giat dalam
melakukan metabolisme, sehingga suhu tubuh dan frekuensi napas pun
meningkat. Lalu terlihat pula anak A tampak gelisah dan rewel, serta
menunjukkan tanda lidah strawberry (mukosa bibir kering, lidah dan bibir tampak
merah). Pada leher anak A ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening,
selain itu pembengkakan juga terjadi di telapak tangan dan kaki. Sedangkan fase
subakut pada anak A ditandai dengan satu tanda dan gejala yaitu terjadinya
pengelupasan kulit (deskuamasi), sehingga anak A terbilang sudah memasuki
sedikit dari fase subakut.
Kemerahan pada kulit atau vaskulitis pada kasus diakibatkan oleh pembuluh
darah yang cedera akibat infeksi. Infeksi yang menyerang akan merusak mukosa
dari pembuluh darah sehingga akibat dari cedera pembuluh darah ini bisa dilihat
melalui kulit yaitu kemerahan. Pembengkakan kelenjar getah bening,
pembengkakan tangan, dan pembengkakan kaki ini disebabkan oleh terganggunya
kelenjar limfe, pembengkakan kelenjar getah bening terjadi akibat respon tubuh
terhadap infeksi, sehingga salah satu gejalanya adalah pembengkakan kelenjar
getah bening, kemudian untuk tangan dan kaki disebabkan oleh disfungsinya
pembuluh limfe, apabila terjadi gangguan pembuluh limfe akan mengakibatkan
terganggunya filtrasi cairan yang kemudian keluarnya cairan ke intertisium
sehingga terjadi pembengkakan atau edema.
3.3 Pengkajian
17
pemeriksaan fisik, mengukur tanda-tanda vital klien, dan pemeriksaan
laboratorium jika diperlukan. Pada kasus, pengkajian yang perlukan dilakukan
ialah sebagai berikut.
Peengkajian pertama yaitu dilakukan anamnesa, yang terdiri dari:
1. Latar Belakang
a. Keluhan utama
Pertanyaan:
1) Apa yang membuat Ibu membawa anak Ibu ke rumah sakit?
2) Apa keluhan anak Ibu?
3) Sejak kapan keluhan tersebut muncul?
4) Bagaimana kondisi anak setelah mendapatkan keluhan tersebut?
5) Bagaimana kondisi keluhan anak Ibu saat itu dengan sekarang?
b. Keluhan berdasarkan kasus
Anak mengalami demam yang telah berlangsung selama empat hari dan
ruam kemerahan.
2. Kulit
Pertanyaan:
1) Bagaimana keadaan kulit anak Ibu sekarang?
2) Bagaimana keadaan kulit anak Ibu sebelumnya?
3) Perubahan perilaku apa yang terjadi pada anak Ibu?
Berdasarkan kasus: Ada ruam disertai kulit mengelupas
3. Leher
Klien tampak gelisah dan rewel karena kemungkinan merasa nyeri akibat
pembengkakan kelenjar limfa pada salah satu sisi leher.
18
pecah) dan lidah (merah dan terdapat bintil-bintil seperti stroberi). Lalu, inspeksi
pada leher dilakukan untuk melihat adanya pembengkakan kelenjar limfa di salah
satu sisinya.
Selanjutnya, inspeksi pada komponen pernapasan (memakai anggota tubuh
lain sebagai alat bantu bernapas atau tidak jika terindikasi takikardi). Pada kasus,
klien mengalami takikardi karena frekuensi nadi lebih dari 80—90x/menit
(120x/menit). Lalu, inspeksi pada ekstremitas dilakukan untuk melihat adanya
pembengkakkan atau tidak dan adanya pengelupasan pada kulit jari atau tidak.
Selagi melakukan inspeksi, pengukuran suhu tubuh perlu dilakukan karena gejala
yang sering muncul pada klien kawasaki ialah demam yang berkepanjangan (lebih
dari 5 hari) sebagai respon dari inflamasi. Pada kasus, klien telah mengalami
demam sejak empat hari lalu.
Selanjutnya palpasi dilakukan di area leher. Palpasi pada leher dilakukan
untuk meraba dan mengkaji lebih lanjut limfadenopati servikal (biasanya
unilateral) dan sendi (lentur atau tidak). Selanjutnya auskultasi pada toraks
dilakukan untuk mendengar bunyi jantung (S1, S2, gallop, dan murmur).
Jika klien mempunyai tanda-tanda klinis penyakit kawasaki, pemeriksaan
dilanjutkan ke pemeriksaan diagnostik atau pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan diagnostik tersebut meliputi x-ray dada, Complete Blood Count
(CBC), C-Reactive Protein (CRP), ekokardiogram (ECG), EKG, ESR, serum
albumin, serum transaminase, dan urinalisis untuk menunjukkan adanya pus atau
prrotein dalam urin. Pada kasus, hasil pemeriksaan lab menunjukan Hb 11 g/dL,
leukosit 5000/ul, dan tombosit 1.400.000/ul.
19
Diagnosis 1
Hipertermia b.d proses penyakit
Kriteria Hasil
1. Suhu anak kembali normal dalam waktu ...x24 jam.
2. Orang tua anak mengetahui jenis demam yang terjadi pada anaknya.
3. Orang tua dapat menurunkan demam pada anaknya secara mandiri.
Rencana Intervensi Rasional
Berikan cairan per oral; anjurkan Ketika demam, anak mungkin akan banyak mengeluarkan
klien untuk banyak minum air cairan melalui keringat dan juga membutuhkan banyak
putih. cairan karena metabolisme tubuhnya sedang meningkat.
Atur suhu lingkungan; anjurkan Pakaian yang tipis akan membuat tubuh lebih nyaman
klien untuk tidak memakai ketika demam dan tidak merasa semakin kepanasan.
pakaian yang tebal.
Lakukan mandi spons air hangat Mandi menggunakan air hangat dapat mengurangi risiko
untuk suhu di atas 39°C. kedinginan pada anak.
Jelaskan sifat-sifat demam yang Demam memiliki sifat yang bermacam-macam, seperti
tidak lazim kepada orang tua demam akibat proses inflamasi atau demam akibat respon
berkaitan dengan pola pengobatan.
intermitennya, durasi, dan Pada anak yang menderita Penyakit Kawasaki, demam
resistensinya terhadap antipiretik; muncul sebagai tanda dan gejala pertama yang
pedoman terantisipasi dapat berlangsung sejak awal hingga 5 hari, apabila parah dapat
mencegah ansietas orang tua berlangsung beberapa minggu. Demam dapat mencapai
berkaitan dengan demam. suhu sebesar 40°C. Demam biasanya disertai dengan
beberapa tanda dan gejala lain, misalnya pembengkakkan
kelejar getah bening di salah satu sisi leher.
Kolaborasi pemberian terapi Obat aspirin dan antipiretik berfungsi untuk menurunkan
farmakologi dengan aspirin atau demam pada anak.
antipiretik; pantau respons anak Respon setiap anak terhadap pengobatan berbeda-beda.
terhadap pengobatan. Sebanyak 3%-5% anak antara 6 bulan dan 3 tahun dapat
mengalami kejang meskipun suhunya hanya 38,8°C.
Diagnosis 2
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan intake akibat
20
lidah strawberry
Kriteria Hasil
1. Nafsu makan anak kembali normal.
2. Anak dapat makan dan minum dengan nyaman.
3. Berat badan anak kembali normal dalam ... hari.
4. Anak dapat mempertahankan selera makan yang baik.
Rencana Intervensi Rasional
Timbang berat badan anak. Mengetahui peningkatan atau penurunan berat badan
anak.
Perhatikan intake dan output pada Mengetahui jumlah output cairan dan feses anak, normal
anak. atau tidak.
Lakukan oral higiene dengan Mengurangi terjadinya infeksi akibat bakteri yang ada di
menggunakan sponge yang mulut.
lembut secara teratur.
Oleskan jelly atau madu pada Jelly dan madu dapat mengurangi kering dan pecah-pecah
bibir anak. pada bibir anak serta melembutkan mukosa mulut.
Memberikan makanan lunak Memudahkan sistem pencernaan anak dalam mengolah
sedikit-sedikit. dan menyerap makanan.
Anjurkan orang tua untuk Memberikan makanan yang disukai anak dapat
membawa makanan yang disukai memancing dan meningkatkan nafsu makan anak.
anak dari rumah, serta kaji
makanan di RS yang disukai.
Hindari makanan pedas, panas. Makanan pedas dan panas dapat membuat sensasi nyeri di
bibir, lidah dan mulut.
Informasikan kepada anak dan Menambah pengetahuan kepada klien mengenai nutrisi
orang tua tentang manfaat nutrisi. apa saja yang penting dan baik untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.
Kolaborasi dalam pemberian Suplemen makanan mengandung zat-zat (vitamin,
suplemen makanan. mineral, nutrisi) yang dapat membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi anak.
Diagnosis 3
Kerusakan integritas kulit b.d hipertermia, ketidakseimbangan nutrisi, gangguan
sirkulasi
Kriteria Hasil
21
1. Tidak ada deskuamasi atau pengelupasan kulit.
2. Ruam kemerahan minimal.
3. Klien menunjukkan rutinitas perawatan kulit yang optimal.
Rencana Intervensi Rasional
Monitor aktivitas dan mobilisasi Melihat apakah ruam kemerahan, deskuamasi dan
anak. pembengkakkan di telapak tangan dan kaki mengganggu
aktivitas anak atau tidak.
Jaga kebersihan kulit agar tetap Hindari kulit dari tempat yang lembab atau terlalu
bersih dan kering. tertekan karena kondisi yang lembab merupakan tempat
perkembangbiakan bakteri.
Ubah posisi anak setiap 2 jam Mencegah anak dari ulkus dekubitus.
sekali.
Oleskan lotion atau minyak (baby Lotion dan minyak dapat membantu melembabkan daerah
oil) pada daerah yang kering. kulit yang mengelupas, sehingga kulit tidak terasa terlalu
kering, tidak menimbulkan gatal, dan dapat memicu
pertumbuhan kulit yang baru.
Ajarkan perawatan luka pada Orangtua dapat menerapkan perawatan kulit secara
anak dan orang tua; instruksikan mandiri untuk anaknya.
mereka untuk memberitahu Infeksi dapat terjadi apabila perawatan kulit tidak
perawat apabila terlihat tanda- dilakukan secara benar.
tanda infeksi.
Diagnosis 4
Nyeri b.d agen biologis, proses inflamasi
Kriteria Hasil
22
1. Keluhan nyeri yang dialami anak dapat berkurang dalam waktu ...x24 jam.
2. Keluhan ketidaknyamanan saat beraktivitas dapat teratasi dalam waktu ...x24 jam.
3. Tidak ada gangguan dalam frekuensi pernapasan, frekuensi jantung, atau tekanan darah.
4. Anak dapat beraktivitas dan beristirahat dengan nyaman.
Rencana Intervensi Rasional
Berikan anak lingkungan yang Tindakan ini dapat meningkatkan kenyamanan fisik dan
tenang dan tindakan yang emosional.
nyaman, misalnya perubahan
posisi, menggosok punggung,
atau menggunakan kompres
hangat/dingin.
Memberikan aktivitas hiburan Mengarahkan kembali perhatian dan memberikan
yang tepat dan disukai anak. distraksi agar anak tidak fokus pada rasa nyerinya.
Tingkatkan istirahat pada anak. Istirahat dapat membuat nyeri menjadi berkurang,
misalnya dengan cara tidur.
Kolaborasi dengan dokter dan Aspirin dapat menghilangkan nyeri dengan menurunkan
farmasis dalam pemberiaan obat respon inflamasi.
sesuai indikasi, seperti analgesik Analgesik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri.
atau aspirin.
Diagnosis 5
Penurunan curah jantung b.d gangguan irama jantung, stroke volume, preload,
afterload, kontraktilitas jantung
Kriteria Hasil
1. Frekuensi curah jantung pada anak kembali normal dalam waktu ...x24 jam.
2. Frekuensi dan pola pernapasan anak kembali efektif dalam ...x24 jam.
3. Perfusi jaringan pada anak kembali normal.
Rencana Intervensi Rasional
Pantau frekuensi curah jantung Takikardia dan disritmia dapat terjadi ketika jantung
anak. berupaya untuk meningkatkan curahnya sebagai respon
terhadap demam, hipoksia, asidosis, dan iskemia.
Kondisikan tirah baring anak Posisi semi fowler dapat menurunkan beban kerja jantung
dalam posisi semi fowler. dan memaksimalkan curah jantung.
Gunakan monitor jantung (EKG) Pemasangan EKG dapat membantu perawat melihat
selama fase akut dan subakut; fungsi kerja jantung melalui gelombang EKG dan data-
23
laporkan kepada dokter bila ada data lainnya yang muncul pada EKG (seperti tekanan
aritmia. darah, frekuensi pernapasan, dan saturasi oksigen).
Komplikasi Penyakit Kawasaki menjadi penyakit arteri
koroner biasanya muncul saat dan setelah fase subakut.
Jelaskan pada orang tua dan anak Hasil yang muncul pada EKG dan ekokardiogram sangat
tentang tujuan pemasangan EKG tergantung pada tepat atau tidaknya posisi pemasangan
dan ekokardiogram serta alat-alat. Beri tahu orang tua dan anak agar jangan
penyimpangan yang terjadi melakukan pergerakan yang dapat menganggu atau
karena gerakan anak. menggeser alat-alat selama dipasang EKG atau dilakukan
ekokardiogram agar hasil yang muncul sesuai dengan
kondisi tubuh anak yang asli.
Minimalkan stress lingkungan. Lingkungan yang tidak nyaman dapat memicu stress dan
masalah pada jantung.
Kolaborasi dalam pemberian Antibiotik atau antimikrobial berfungsi untuk mengatasi
antibiotik atau antimikrobial; patogen yang terindikasi (perikarditis, miokarditis), yang
pemberian obat antiaritmia, mencegah kerusakan jantung lebih lanjut.
inotropik, nitrogliserin dan Antiaritmia, inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
vasodilator: dan pemberian obat berfungsi untuk mempertahankan kontraktilitas jantung.
antikoagulan. Antikoagulan berfungsi untuk mencegah trombus perifer.
3.5 Evaluasi
2. Keadaan mukosa mulut anak kembali normal, kemampuan menelan baik, dan
nafsu makan meningkat.
24
3.6 Perencanaan Pulang dan Perawatan di Rumah
1. Ajarkan kepada orang tua dan anak tentang pentingnya pemeriksaan tindak
lanjut sesuai tingkat perkembangannya termasuk EKG, ekokardiogram, dan
foto toraks (dua pertiga aneurisma koroner mengalami regresi setelah 1
tahun).
2. Jelaskan kepada orang tua secara lisan dan tulisan tentang tanda dan gejala
komplikasi jantung (misalnya aneurisma dan trombosis koroner); minta
mereka menghubungi dokter dengan segera jika anak menunjukkan tanda dan
gejala tersebut.
3. Beri tahu orang tua tentang pentingnya terapi antikoagulan, seperti aspirin
dan efek sampingnya yang perlu diwaspadai; jelaskan kepada orang tua
mengapa beberapa anak dengan penyakit Kawasaki perlu menjalani operasi
pintas tandur alih arteri koronaria.
4. Ajarkan kepada orang tua tentang pentingnya nutrisi yang baik dan cairan
yang adekuat.
5. Tekankan pentingnya istirahat yang adekuat.
6. Berikan pendidikan kepada orang tua tentang penundaan pemberian vaksin
virus hidup (seperti MMR) untuk 5 bulan setelah anak menerima IVGG.
Menurut WHO berat badan anak usia 4 tahun adalah 12,3-21,5 kg. Pada kasus
tidak disebutkan berat badan pasien yang akan menentukan dosis pemberian obat,
sehingga diasumsikan berat badan pasien adalah 13 kg.
1. Pasien telah mengalami demam yang berlangsung selama 4 hari sehingga bisa
diberikan Gama globulin IV (IVIG). Pemberian IVIG ini dilakukan setelah 10
hari terserang Kawasaki, jika tidak memungkinkan, bisa dilakukan dalam
jarak 7 hari. Akan tetapi, para ahli dari Amerika Serikat dan Jepang sepakat
bahwa hanya diperlukan 4 hari demam sebelum memulai pemberian IVIG.
IVIG sebagai anti-inflamasi umum dapat menurunkan inflamasi arteri
25
koroner, mempercepat resolusi demam, dan mengurangi kejadian kelainan
arteri koroner. Pemberian IVGG dilakukan 12 jam 2g/kg dengan infus
tunggal. Sehingga, pada kasus pasien diberikan IVIG sebanyak 26g selama 12
jam dengan infus tunggal.
2. Pada kasus disebutkan bahwa pasien mengalami batuk pilek. Jika batuk pilek
ini merupakan influenza, pasien tersebut tidak diberikan terapi aspirin. Selain
itu, jika sebelumnya pasien sudah diberikan aspirin dosis tinggi maka
pemberian aspirin harus segera dihentikan.
3. Jika pasien tidak berespon terhadap IVIG, pasien bisa diberikan
methylprednisolone yang merupakan steroid. Terapi IVMP ini akan
menunjukkan efektivitas pada pasien yang sebelumnya tidak berespon pada
terapi IVIG. IVMP dapat mengurangi durasi demam dan mengurangi biaya
pada pasien yang resistensi pada IVIG awal. Dosisnya adalah 39mg/hari.
4. Pasien bisa juga diberikan penghambat Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α)
sebagai tambahan terapi yang efektif. Hal ini karena terjadi peningkatan
TNF-α pada anak yang terkena Kawasaki. Reseptor ini dapat diberikan
setelah kegagalan IVIG atau setelah dosis kedua IVIG.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Kawasaki merupakan penyakit pada anak kecil yang
menyebabkan vaskulitis sistemik luas. Penyakit ini biasa terjadi pada anak-anak
berusia dibawah 5 tahun. Penyakit ini menyebabkan cedera pembuluh darah kecil
dan sedang dan dapat menimbulkan konsekuensi kardiovaskular yang dapat
mengancam hidup. Etiologi dari penyakit ini belum ditemukan namun diduga
akibat adanya agen infeksius (bakteri/ virus) yang didukung oleh beberapa faktor
risiko yang pada intinya dapat melemahkan sistem imun tubuh seperti genetik,
usia, makanan, musim dan sebagainya. Gejala khas yang timbul pada penyakit ini
diantaranya demam, ruam, infeksi konjungtiva, limfadenitis serviks, peradangan
26
pada bibir dan rongga mulut, eritema, dan edema dari tangan dan kaki. Oleh
karena itu diperlukan pengkajian dan pemeriksaan fisik yang didukung oleh
pemeriksaan diagnostik yang dilakukan secara bertahap. Asuhan keperawatan
yang ditegakkan berupaya untuk menekan respon tubuh terhadap penyakit.
Sedangkan penatalaksanaan medis yang pertama dilakukan adalah menghentikan
inflamasi dan meminimalisasi risiko inflamasi arteri koroner dan terjadinya
aneurisma, dan mencegah thrombosis dengan menggunakan beberapa terapi
medis.
4.2 Saran
Sebagai seorang perawat profesional pentin untuk dapat menguasai
seluruh sistem dalam tubuh khususnya dalam hal ini sistem sirkulasi pada anak.
Pengetahuan mencakup sistem pada kondisi normal hingga gangguan-gangguan
yang ada pada sistem-sistem tersebut dapat mendukung dalam melakukan proses
keperawatan mulai dari pengkajian, diagnosis, pelaksanaan intervensi hingga
evaluasi sesuai kebutuhan klien serta meningkatkan status kesehatannya. Serta
dengan pengetahuan, perawat dapat menjadi advokat klien ketika ada hal yang
kurang tepat dilakukan kepada klien. Sehingga klien mendapatkan pelayanan dan
penanganan maksimal.
27
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L., & L. A. Sowden. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Terj.
Eny Meilia. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2009
Betz, Cecily Lynn & Sowden, Linda A. (2004). Buku Saku Keperawatan Pediatri.
Edisi ke-5. (Terj. Mosby’s Pediatric Nursing Reference 5e, alih bahasa oleh
Ns. Eny Meiliya, S.Kep) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Budiyanto N. (2007). Problem Jantung pada Penyakit Kawasaki. Jurnal
Kardiologi Indonesia, 28:285-296
Cecily Lynn Beyz & Linda A. Sowden. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri.
Penerjemah Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC
Ciastko, AR. (2002). Onychomadesis and Kawasaki disease. Canadian Medical
Association 166 (8), 1069.
Ethel Sloane. (2003). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerjemah Palupi
Widyastuti. Jakarta : EGC.
Fleisher, Gary R dan Stephen Ludwig. (2010). Pediatric Emergency Medicine.
Ed.6th. New York: Lippincott Williams & Wilkins
Genetics Home Reference. (12 Mei 2014). ITPKC. U.S National Library of
Medicine®. Diambil dari http://ghr.nlm.nih.gov/gene/ITPKC.
Genetics Home Reference. (12 Mei 2014). ITPKC. U.S National Library of
Medicine®. Diambil dari http://ghr.nlm.nih.gov/gene/ITPKC.
Genetics Home Reference. (12 Mei 2014). Kawasaki disease. U.S National
Library of Medicine®. Diambil dari
http://ghr.nlm.nih.gov/condition/kawasaki-disease.
Genetics Home Reference. (12 Mei 2014). Kawasaki disease. U.S National
Library of Medicine®. Diambil dari
http://ghr.nlm.nih.gov/condition/kawasaki-disease.
Guyton C. Athur. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta : EGC
Harris, KC dan Martin C.K.H. (2011). Persistent fever in an infant: incomplete
Kawasaki disease. CMAJ 183 (17), 2009—2013.
Hashkes, PJ. (2004). Vaccine safety: Infant develops Kawasaki Disease afteer
hepatitis B vaccination. Drug Week, 486.
28
Hockenberry, M. J. & Wilson, D. (2009). Wong’s Essentials of Pediatric Nursing.
Canada: Mosby Elsevier.
http://pediatrics.med.nyu.edu/rheumatology/conditions-we-
treat/conditions/kawasaki-disease#treatment.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001984/.
http://www.pediatrics.ucsd.edu/Research/Labs/Kawasaki%20Disease/Document
%20Library/KD_Bahasa_Indonesia.pdf.
Kuo, H.-C., Yang, K. D., Chang, W.-C., Ger, L.-P., & Hsiehs, K.-S. (2012).
Kawasaki Disease: An Update on Diagnosis and Treatment. Pediatric &
Neonatology, 4-11.
Kyle, T. Dan Susan C. (2013). Essentials of Pediatric Nursing. 2nd Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams dan Wilkins.
Lauralee, Sherwood. (2009). Fisiologi Manusia. (Terj. Nela Yesdelita) Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Luxner, Karla L. (2005). Delmar’s Pediatric Nursing Care Plan. 3rd Edition.
USA: Chengane Learning.
Neal, M. J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Pearce C. Evelyn. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta : Gramedia
Portman, Michael. (Februari 2013). [Abstract] Kawasaki disease and soy:
potential role for isoflavone interaction with Fcγ receptors. National Center
for Biotechnology Information. Diambil dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23168576.
Portman, Michael. (Februari 2013). [Abstract] Kawasaki disease and soy:
potential role for isoflavone interaction with Fcγ receptors. National Center
for Biotechnology Information. Diambil dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23168576.
Portman, Michael. Kawasaki Disease Program. Investigating Kawasaki Disease’s
Causes. Seattle Children’s Hospital, Research and Foundation. Diambil dari
https://www.seattlechildrens.org/research/developmental-
therapeutics/portman-research-group/kawasaki-disease-program/.
Portman, Michael. Kawasaki Disease Program. Seattle Children’s Hospital,
Research and Foundation. Diambil dari
29
https://www.seattlechildrens.org/research/developmental-
therapeutics/portman-research-group/kawasaki-disease-program/.
Scheinfeld, Noah S. (2014). Kawasaki Disease. Diakses pada 4 Mei 2014 dari
website http://emedicine.medscape.com/article/965367-overview#showall
Sowden, Linda A. & Beyz, Cecily Lynn. (2009). Buku Saku Keperawatan
Pediatri. (Terj. Egi Komara Yudha) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Starkebaum, Gordon A. (2013). Kawasaki Disease. Diakses pada 4 Mei 2014 dari
website http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000989.htm
Weinstein, M. (2006). Inflammation at a previous inoculation site: an unsual
presentation of Kawasaki disease. CMAJ 174 (4), 459—460.
Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. (2009). Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Edisi 9. (Terj. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook: NANDA
Diagnoses, NIC Interventions, NOC Outcomes) Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Wilson, N., Nicholson, R., & Webb, R. (2013, September). Diambil dari
http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/_Documents/Kawasaki
%20Disease.pdf.
30