Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FARMAKOTERAPI
“SEPTICEMIA”

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Farmakoterapi
Dosen: Asniar Pascayantri, S.Si., Apt.

Disusun Oleh :
KELOMPOK VII (TUJUH)
1. Zainuddin Ahmad (O1A116078)
2. Ayustin Nur Hajar (O1A117086)
3. Dindha Permata Hati (O1A117087)
4. Ega Tri Kutianti (O1A117088)
5. Ending Sulistyo Sumirto (O1A117090)
6. Fenny Risky Febriani Azmas (O1A117091)
7. Hartina (O1A117095)
8. Hesti Sari (O1A117096)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, Rabb


Penguasa alam, Rabb yang tiada henti-hentinya memberikan kenikmatan dan karunia
kepada semua makhluk-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti
risalahnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, dengan izin Allah kami telah menyelesaikan tugas makalah
tentang “Septicemia”. Penyusunan makalah ini dapat terwujud tak lepas dari
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, karena
keterbatasan kemampuan maupun pengalaman kami. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki kekurangan
ataupun kekeliruan yang ada. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para mahasiswa farmasi untuk menambah wawasan dalam bidang kesehatan.
Penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
penulis dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kendari, 2 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Rumusan Masalah ................................................................................
Tujuan ..................................................................................................
Manfaat ................................................................................................
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. Patofisiologi .......................................................................................
2.2. Gejala Klinik ......................................................................................
2.3. Sasaran dan Strategi Terapi ................................................................
2.4. Penatalaksanaan dan Evaluasi Obat ....................................................
2.5. Kasus Klinik ........................................................................................
2.6. Pembahasan .........................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepsis adalah disfungsi organ mengancam nyawa akibat
ketidakseimbangan respon tubuh terhadap infeksi. Beberapa studi membuktikan
sepsis merupakan penyebab utama kematian pasien kritis di dunia. Sepsis
berkembang menjadi syok sepsis, yaitu hipotensi menetap disebabkan sepsis
meski telah mendapat resusitasi cairan adekuat. Kerentanan terhadap infeksi berat
pada penderita penyakit autoimun maupun immunokompromais disebabkan
konsumsi obat dan terapi yang dijalani. Pemberian atau penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi dan lama seperti hiperkortisolisme atau sindrom
Cushing meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan konsumsi
kortikosteroid dosis tinggi dan lama mempengaruhi respon tubuh terhadap
mikroorganisme yakni menurunkan respon inflamasi, menurunkan respon sel
efektor sel dimediasi imunitas, lisis folikel limfoid, dan penurunan sintesis
immunoglobulin.
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hampir semua
(98%) dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua
pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal
disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia,
dan diare. Menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6
hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis
12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab
kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%,
pneumonia 15,4%, prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR) 12,8%, dan
respiratory distress syndrome (RDS) 12,8%. Di samping tetanus neonatorun, case
fatality rate yang tinggi ditemukan pada sepsis neonatorum, hal ini terjadi karena
banyak faktor infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan
ditanggulangi. Angka kematian sepsis neonatorum cukup tinggi 13-50% dari
angka kematian bayi baru lahir. Masalah yang sering timbul sebagai komplikasi
sepsis neonatorum adalah meningitis, kejang, hipotermi, hiperbilirubinemia,
gangguan nafas, dan minum.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Jelaskan patofisiologi septicemia?
2. Jelaskan gejala klinik septicemia?
3. Jelaskan sasaran dan strategi terapi?
4. Jelaskan penatalaksanaan dan evaluasi obat?
5. Kasus klinik septicemia?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui patofisiolog septicemia.
2. Untuk mengetahui gejala klinik septicemia.
3. Untuk mengetahui sasaran dan strategi terapi.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan evaluasi obat.
5. Untuk mengetahui kasus klinik septicemia.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi septicemia.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui gejala klinik septicemia.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui sasaran dan strategi terapi.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dan evaluasi obat.
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui kasus klinik septicemia.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Patofisiologi
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi, mobilisasi dari
isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet
activating factor, dan eikosanoid.Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α,
interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan
menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah
modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses
fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses
tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan
terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan
kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan.
Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan
hipoksia jaringan Global. (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini) (Suparto dkk.,2018).
2.2 Gejala Klinik
Gejala awal sepsis merupakan gejala dari infeksi. Infeksi dapat terjadi di
seluruh tubuh, sehingga gejalanya pun berbeda-beda tergantung dari bagian
tubuh yang mengalami infeksi. Ada beberapa gejala yang bisa terjadi saat infeksi,
antara lain:
 Demam
 Nyeri otot
 Lemas
 Batuk
 Diare
(Alodokter, 2019)

2.3 Sasaran dan Strategi Terapi


1. Sasaran
Sepsis merupakan penyakit infeksi sistemik yang berasal dari terjadinya
systemic inflamatory response syndrome (SIRS), saat terjadi infeksi sistem organ
tubuh akan mengalami kerusakan karena ketika aliran darah dipenuhi oleh
senyawa kimia yang dihasilkan oleh tubuh dengan tujuan untuk melawan infeksi
dan memicu respon peradangan yang mengalami kerusakan pada fungsi organ
tubuh, menyebabkan organ-organ penting gagal dalam bekerja sehingga berujung
pada kematian. Dengan demikian penderita sepsis membutuhkan perlakuan
khusus dan cepat agar tidak mengalami kerusakan organ. Infeksi ini dapat terjadi
pada setiap organ (Ayu dan Nelly A. H., 2017).
2. Strategi terapi
a. Terapi Farmakologi
Terapi antibiotik merupakan salah satu komponen penunjang dalam
keberhasilan dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotika empiris harus segera
dimulai dalam 1-2 jam, jam pertama sepsis ditegakkan, sambil menunggu hasil
pemeriksaan kultur. Keterlambatan dalam pemberian antibiotik dalam waktu 24
jam setelah sepsis ditegakkan berkolerasi kuat dengan meningkatnya kematian
dalam kurun waktu 28 hari. Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional,
adekuat, dan tepat. Karena pemberian antibiotik yang tidak tepat dan tidak
adekuat (dosis, keterlambatan, dan pemberiaan antibiotik tidak sesuai dengan
kuman penyebab atau kuman sudah resisten) disamping memicu terjadinya
resistensi, peningkatan biaya perawatan, juga meningkatkan resiko mortalitas.
Antibiotik yang dipilih harus memperhatikan beberapa hal, seperti: faktor
spesifik pasien (usia, fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit sepsis),
faktor organisme penyebab (peta kuman/pola antibiotik, farmakokinetik
dafarmakodinamik, profil tolerabilitas dan keamanaan, penetrasi ke jaringan dan
azas, biaya dan manfaat) (Astutik dkk., 2017).
Pendekatan umum untuk pengobatan mirip dengan penekanan pada
perawatan yang dipercepat dari pasien dengan infark miokard akut dan
serebrovaskular kecelakaan, cepat, intervensi kuantitatif dengan tepat terapi
untuk mencapai titik akhir spesifik dan terukur setelah diagnosis sepsis dibuat
sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan kematian. Pendekatan yang
bersangkutan dalam pengelolaan pasien septik adalah sebagai berikut :
1. Pengakuan segera dari pasien septik dan dini implementasi terapi.
2. Terapi cairan, menggunakan kristaloid awalnya, untuk mencapai titik akhir
terapi kuantitatif.
3. Pemberian antimikroba spektrum luas secara dini terapi.
4. Terapi vasopresor, menggunakan norepinefrin pada awalnya, untuk menjaga
stabilitas hemodinamik (rata-rata rata-rata tekanan arteri sebesar 65 mm Hg
[8,6 kPa]) pada pasien dengan syok septik refrakter terhadap resusitasi
cairan.
5. Hidrokortison intravena (IV) dapat dipertimbangkan meskipun pasien yang
hemodinamik tetap tidak stabil resusitasi cairan yang memadai dan
dukungan vasopressor.
6. Kontrol glikemik melalui infus insulin reguler mempertahankan kadar
glukosa antara 140 dan 180 mg / Dl (7,8 dan 10,0 mmol / L).
7. Terapi tambahan: pemberian produk darah, sedasi, analgesia, blokade
neuromuskuler, ginjal terapi penggantian, deep vein thrombosis (DVT)
profilaksis, profilaksis tukak lambung (Chisholm-Burns, 2016).

b. Terapi nonfaramkologi
1. Mencegah dehidrasi dan gagal ginjal akut
2. Menjaga tekanan darah agar tetap normal
3. Menjaga aliran oksigen
4. Mempertahankan kadar gula darah normal
5. Nutrisi
(Alodokter, 2019).

2.4 Penatalaksanaan dan Evaluasi Obat


a. Penatalaksanaan
Kerusakan endotel pembuluh darah pada sepsis merupakan proses inflamasi
imunologi, maka penatalaksanaan sepsis adalah dengan pengobatan dasar (basic
support), pemberian antibiotika, serta terapi suportif lainnya (misal:
mempertahankan sirkulasi dan hemodinamik/perfusi jaringan agar didapatkan
oksigenasi jaringan yang cukup. Dalam penanganan kasus sepsis, perawatan dapat
dilakukan di ruang perawatan umum; namun untuk syok septik,
direkomendasikan untuk dirawat di ruang perawatan intesif.
1. Pengobatan Dasar (Basic Support)
Perubahan dasar hemodinamika yang terjadi pada pasien sepsis adalah
kelainan patologik arterial. Meskipun kadar katekolamin dalam darah pada
sepsis meningkat, respon vaskuler terhadap stimulasi reseptor α-adrenergik
nampaknya terganggu. Beberapa mediator (IL-1, TNF-α, dan komplemen)
diduga bertanggung jawab terhadap mekanisme vasodilatasi tersebut.
Disamping hal tersebut, kemungkinan lain sebagai penyebab adalah
perubahan dalam metabolisme pembuluh darah sendiri. Penderita yang
mengalami imunosupresi, baik oleh obat maupun penyakit, akan mempunyai
prognosis lebih baik bila obat yang menyebabkan imunosupresi (kemoterapi)
diturunkan dosisnya atau dihentikan. Ataupun bila penyakit dasarnya diobati.
- Pemberian Oksigen
Secara umum tujuan dari resusitasi adalah memperbaiki oksigenasi pada
jaringan atau sel. Resusitasi dilakukan secepatnya mencakup tindakan yang
berhubungan dengan airway (A), breathing (B) dan circulation (C). Oksigen
arterial diperiksa dengan pulse oksimetri atau dengan pemeriksaan gas darah.
Oksigen diberikan melalui pipa nasal atau masker untuk mempertahankan
saturasi oksigen arteri lebih dari 95%. Bila terjadi gagal nafas dilakukan
intubasi dan ventilasi mekanik.
- Pengelolaan Cairan dan Volume replacement
Pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit sangat penting pada
pasien sepsis, terutama bila penderita mengalami syok. Pada keadaan sepsis
dan syok septik, tubuh telah mengusahakan agar perfusi organ vital, terutama
otak dan ginjal, tetap dipertahankan. Untuk itu tubuh mempertahankan aliran
darah ke organ vital dengan mengadakan vasokonstriksi pembuluh viseral dan
mengurangi aliran darah ke kulit. Apabila usaha mempertahankan perfusi
organ gagal, tekanan arteri sentral akan menurun. Perlu dilakukan monitoring
hemodinamik, antara lain dengan pemasangan kateter vena sentral.
Pemasangan kateter vena sentral umumnya dilakukan untuk pembatasan
cairan, bukanuntuk menentukan optimalisasi terapi.
Dalam pengelolaan penderita dengan sepsis, terutama pada penderita
dengan syok yang mengancam, perlu dilakukan pemantauan ketat. Khusus
pada syok septik, konsensus direkomendasikan:
a. Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada
b. Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena
mempunyai efek hemodinamik segera
c. Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid atau kristaloid
2. Pemberian Antibiotika
Antibiotika merupakan terapi utama pada penderita sepsis. Pemilihan
antibiotika berdasarkan data empirik, oleh karena harus secepatnya diberikan.
Antibiotika yang diberikan diharapkan yang mempunyai afinitas tinggi
dengan kuman penyebabnya, sehingga dapat membunuh semua
mikroorganisme penyebab baik gram positif maupun negatif. Bila perlu
diberikan antibiotika yang berspektrum luas dan mepunyai efek bakterisidal
cepat. Pemberian antibiotika satu jenis saja tidak dibenarkan pada keadaan
sepsis yang berat.
3. Terapi Suportif
Imunonutrisi. Imunonutrisi adalah kumpulan beberapa nutrien spesifik
seperti arginin, glutamin, nukleotida dan asam lemak omega 3, yang diberikan
sendiri atau kombinasi yang memiliki pengaruh terhadap parameter imunologi
dan inflamasi yang telah terbukti secara klinis dan laboratoris. Kelainan
respon imun GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) memberikan
kontribusi adanya disfungsi intestinum (usus halus) dalam keadaan sepsis.
Dalam suatu penelitian terhadap penderita sepsis yang diberikan imunonutrisi
dibandingkan dengan kelompok kontrol (penderita sepsis yang tidak diberikan
imunonutrisi) didapatkan perbedaan yang bermakna. Pada penderita sepsis
yang diberikan imunonutrisi terjadi perkembangan penyakit yang membaik,
terjadi penurunan komplikasi, jangka waktu perawatan dan kematian.

b. Evaluasi Obat
1. Obat Vasopresin – Simpatomimetik Amin
Bila keadaan tak dapat diatasi dengan pemberian cairan saja, maka
perlu diberi obat vasopresor, golongan simpatomimetik amin yang sering
dipakai pada gangguan hemodinamik syok. Obat yang semula dipakai adalah
epinefrin dan norepinefrin. Norepinefrin mempunyai efek vasokonstriktor
kuat. Ekstravasasi di sekitar infus akan dapat berakibat nekrosis. Kedua obat
ini dapat meningkatkan iritabilitas miokard. Alternatif obat yang lain adalah
isoproterenol, dopamin dan dobutamin. Obat-obat tersebut mempunyai efek
inotropik, dan melalui reseptor beta dapat memberikan efek meningkatkan
perfusi jaringan. Dopamin mempunyai efek vasodilatasi renal, jantung dan
serebral; menigkatkan tekanan sistolik dan denyut jantung; serta mengurangi
aliran darah ke jaringan otot. Dibandingkan dopamin, dobutamin mempunyai
efek chronotropik lebih kecil, sedangkan efek lainnya sama. Norepinefrin
biasanya dipergunakan bila dopamin dan dobutamin tak berhasil
meningkatkan tekanan darah sistemik. Dosis yang dianjurkan adalah sebagai
berikut:
a. Dopamin : 2-25 mg/kg/menit di dalam cairan infus (Dextrose 5% atau
normal salin) tiap 15-20 menit sampai tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg, dan produksi urine lebih dari 30 ml/jam. Dopamin bila diberi
dosis 5-10 mikrogram/kg/menit, mempunyai efek merangsang reseptor
beta, sehingga meningkatkan dilatasi splanknik, renal dan serebral arteriol.
Dosis yang lebih besar menyebabkan rangsang pada reseptor alfa dan
menyebabkan vasokonstriksi yang dapat berakibat gangren.
b. Dobutamin : 2-25 mg/kg/menit, titrasi sama dengan dopamin. Dengan
dosis 2-10 mg/kg/menit, akan bekerja primer pada reseptor beta
adrenergik (β1 dan β2), berguna pada pasien dengan cardiac output
rendah.
c. Isoproterenol : 5 mg/kg/menit, efek dilihat tiap 15-25 menit dan dosis
diduakalikan bila perlu.
Simpatomimetik amin mempunyai efek lain, yakni pada saluran
nafas/paru, gula darah dsb. Faktor kritis penting adalah pemberian cairan
harus cukup. Bila cairan intravaskuler masih kurang maka vasodilatasi oleh
beta adrenergik dapat berefek paradoksal, yaitu turunnya tekanan darah oleh
karena turunnya volume intravaskuler.
2. Antibiotik
Dianjurkan kombinasi antibiotika yang rasional sesuai dengan hasil kultur
dan uji sensitifitas. Antibiotika yang biasanya diberikan secara empiris adalah
Cefalosporin generasi III atau IV karena memiliki efek terhadap bakteri gram
positif dan negatif. Juga dapat diberikan Cefalosporin dengan kombinasi β-
laktam. Untuk mencegah agar sepsis tidak jatuh dalam syok septik sebaiknya
diberikan paling tidak dua obat, yaitu diantara antibiotika β-laktam selektif
high molecular weight (HMW) PBP, aminoglikosida dan fluorokuinolon.
Terapi antibiotika empiris yang diberikan adalah yang berspektrum luas,
bersifat bakterisidal, dengan dosis yang dapat mencapai kadar yang cukup
(therapeutic level). Jangka waktu pemberian harus cukup, selama 7-14 hari,
lebih lama bila ada infeksi persisten penyebab bakteremia. Diberikan 4-7 hari
afebril, serta sumber infeksi harus diberantas. bila curiga sumber sepsis dari
paru (pneumonia, PPOK) maka dapat diberikan Ceftriaxone atau Cefepime
selama 2 minggu.
3. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid masih merupakan perdebatan. Beberapa peneliti
mengatakan bermanfaat tetapi dengan dosis yang adekuat. Kortikosteroid
dikatakan dapat memperbaiki gejala klinis sebab dapat menghambat peran
mediator (prostaglandin, leukotrien) dan sitokin IL-1 dan TNF-α. Namun
sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang mengalami syok septik. Suatu
penelitian menunjukkan manfaat pemberian metil prednisolon 30 mg/kg atau
deksametason 2 mg/kg dapat memulihkan syok pada sejumlah pasien. Namun
secara umum mortalitas mereka sama dengan kelompok tanpa steroid, bahkan
dengan pemberian steroid dapat mengakibatkan kejadian superinfeksi.
4. Obat Lain
Pemberian inhibitor siklooksigenase, misalkan ibuprofen, dapat
menekan produksi metabolit asam arakidonat (tromboksan, prostasiklin dan
prostaglandin E2). Dengan ditekannya metabolit tersebut maka akan terjadi
perbaikan pada penderita dengan turunnya suhu, berkurangnya denyut jantung
serta membaiknya ventilasi dan lactic acidosis
(Achmad R., 2016).

2.5 Kasus Klinik


Laki-laki, 24 tahun, masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) dengan sesak nafas
dua hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan batuk disertai dahak produktif, kental,
kekuningan, disertai demam. Riwayat konsumsi obat kortikosteroid deksametason
selama satu tahun karena keluhan gatal-gatal di seluruh tubuh tanpa konsultasi dokter.
Pemeriksaan fisik pasien didapatkan kesadaran gelisah, kontak inadekuat,
Glasgow Coma Scale (GCS) E4M6V3, pupil isokor dengan diameter 3 mm, refleks
reaktif bilateral. Tekanan darah 140-180/mmHg, laju nadi 120-150 kali/menit, laju
nafas 28-32 kali/ menit, suhu 36°-37,50 C, saturasi pulsasi arteri 92-95% dengan Non
Rebrathing Mask 12 liter/menit. Berat badan 87 kg, tinggi badan 160 cm (Nilai
Indeks Masa Tubuh = 31.2 = obesitas), bentuk wajah bulat (kesan moonface), leher
pendek. Sklera tidak ikterik. Pada auskultasi paru bunyi nafas vesikuler, ronki basah
kasar bilateral, tidak terdapat mengi. Auskultasi jantung bunyi jantung 1 dan 2
reguler, tidak terdapat pirau dan irama derap. Abdomen membuncit, hepar dan lien
tidak teraba dan bising usus normal. Terdapat striae dan edema ekstremitas serta lesi
keputihan pada lipat paha. Tidak ada tanda rangsang meningeal, kelumpuhan saraf
kranial maupun kelumpuhan motorik. Refleks fisiologis intak, refleks patologis
Babinski negatif. Pemeriksaan saraf sensorik dan otonom tidak terdapat kelainan.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 12,3 g/dL, hematokrit 37,1%, leukosit 18.000/
µl, trombosit 117.000/µl, hitung jenis 1/0/11/57/30/1, LED 15, Laktat 2,2 mmol/L,
procalcitonin 454,70 ng/ml, natrium 125 mmol/L, kalium 5,5 mmol/L, klorida 95
mmol/L, ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,96 mg/dl, GDS 146, SGOT/ SGPT 188/318 bil
total/direk/indirek 1,54/1,12/0,42. HIV non reaktif. HbsAg negatif. Analisa gas darah
arteri (AGDa): pH 7.49, PaO2 101.8, PaCO2 22.7, Base excess -17.6, Saturasi
oksigen 97% dengan terapi sungkup nonrebreathing 12 liter per menit. Rontgen
thoraks: kesan infiltrat kedua lapang paru. Gambaran ekokardiografi: didapatkan
gambaran irama sinus, takikardia dengan laju QRS ±130x/menit, tidak didapatkan
gelombang Q patologis, perubahan segmen S-T, inversi gelombang T ataupun
hiperakut gelombang T. Pemeriksaan KOH ditemukan hifa panjang. Berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang, ditegakkan diagnosis sepsis ec CAP
(pnemonia komunitas), dengan sindroma Cushing ec susp insufisiensi hiperfungsi
adrenal DD/iatrogenik, riwayat penurunan kesadaran ec ensefalopati sepsis DD/
hipoksik induced ensefalopati.
Terapi non medikamentosa berupa posisi semi fowler, oksigen sungkup
nonrebreathing 12 liter/menit, infus Ringer laktat 500 ml/3 jam pertama lanjut 500
ml/24 jam, terpasang selang nasogastrik dan kateter urin. Terapi medikamentosa
antibiotika Meropenem 3x1 gram intravena, ketokenazol cream 2 kali per hari pada
lesi kulit, Paracetamol intravena 3x1 gram, koreksi hiponatremia dan hiperkalemia.
2.6 Pembahasan
Pasien didiagnosis sepsis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan
penunjang serta skor kriteria skrining Q-SOFA= 2 poin, yaitu kesadaran menurun dan
frekuensi nafas > 22 kali permenit. Disfungsi organ dilihat dari peningkatan nilai
kegagalan organ sekuensial (qSOFA) skor 2 poin atau lebih, dikaitkan angka
kematian meningkat 10%. Penyebab sepsis pada pasien adalah pnemonia komunitas
(Community Acquired Peumonia) berdasarkan skor CURB-65 adalah 3 dengan
mortalitas 14,5%.
Diagnosis sindrom Cushing berdasarkan riwayat medis hipertensi usia muda,
keluhan asthenia progresif dan edema (daerah wajah, leher, dan supraklavikular),
sentripetal obesitas, striae abdomen, rambut rontok, penambahan berat badan dan
gejala depresi. Terdapat riwayat konsumsi obat-obatan steroid (deksametason) lebih
kurang satu tahun. Pemeriksaan fisik ditemukan gambaran cushingoid (moonface,
beberapa telangiectasis di wajah dan thorax, skinatrofi, buffalo hump, centripetal
obesitas, striae kulit yang panjang di perut dan lengan, otot distal atrofi, dan edema
perifer). Kondisi hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan
katabolisme protein berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan
jaringan subkutan menjadi tipis, pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak
sebagai strie berwarna ungu di daerah abdomen, paha, bokong, dan lengan atas. Otot
menjadi lemah dan sukar berkembang, mudah memar, luka sukar sembuh, serta
rambut tipis dan kering, kerja enzim glukoneogenesis dan aminotransferase
meningkat. Asam amino dihasilkan dari katabolisme protein diubah menjadi glukosa
menyebabkan hiperglikemia serta penurunan pemakaian glukosa perifer,
menyebabkan diabetes resisten terhadap insulin.
Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel lemak adalah meningkatkan enzim
lipolisis, terjadi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia dengan gejala obesitas
(redistribusi lemak sentripetal). Deposit lemak dalam dinding abdomen, punggung
bagian atas membentuk buffalo hump, dan wajah sehingga bulat seperti bulan dengan
dagu ganda Hiperglukokortikoid berpengaruh terhadap tulang yakni menyebabkan
peningkatan resorpsi matriks protein, penurunan absorbsi kalsium dari usus, dan
peningkatan ekskresi kalsium ginjal, hipokalsemia, osteomalasia, dan retardasi
pertumbuhan. Hiperglukokortikoid juga menyebabkan hipertensi, namun
penyebabnya belum jelas diketahui, diduga akibat peningkatan sekresi
angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid pada arteriol dan efek seperti
mineralokortikoid, sehingga meningkatkan retensi air, natrium serta ekskresi kalium.
Keadaan hiperglukokortikoid menimbulkan gangguan emosi, insomnia, dan euforia.
Pemberian obat kortikosteroid pada kasus ini menjadi tantangan tersendiri.
Pengobatan sindrom Cushing eksogen adalah penarikan bertahap obat penyebab
dengan tujuan menghentikan obat kausatif, apabila memungkinkan meminimalkan
dosis dan durasi pengobatan glukokortikoid. Sindrom Cushing akibat penggunaan
steroid eksogen berisiko mengalami krisis adrenal bila tidak mendapat terapi steroid
dosis stres selama fase akut yang dapat menyebabkan kematian. Pemberian steroid
yang direkomendasikan adalah glukokortikoid dengan waktu paruh pendek atau
menengah, apabila memungkinkan dosis dikurangi hingga minimal. Pada pasien yang
diobati dengan glukokortikoid long-acting, pertimbangkan untuk pemberian dosis
harian alternatif.
Kasus ini beresiko untuk mengalami kondisi sepsis yang lama dan berat,
disebabkan kondisi imunosupresi akibat konsumsi obat steroid dalam jangka waktu
lama. Mekanisme terjadinya infeksi yakni terdesaknya sistem imun
imunokompromais akibat terapi imunosupresan jangka lama sehingga individu rentan
terhadap infeksi. Melemahnya sistem imun tubuh membuka peluang mikroorganisme
untuk tumbuh kembang tanpa kendali, potensial kearah gradasi infeksi berat dan
sepsis dengan resiko terjadi resistensi antibiotika. Sindroma Cushing dengan sepsis
memiliki gambaran konsisten dengan penderita imunosupresi berupa hilangnya
hipersensitivitas, ketidakmampuan mengatasi infeksi dan predisposisi menderita
infeksi nosokomial. Pada awalnya terjadi peningkatan jumlah mediator inflamasi,
namun ketika sepsis berlanjut terjadi pergeseran keadaan anti-inflamasi
imunosupresif. Manajemen sepsis dan syok septik pada pasien imunokompromais
sama dengan pasien sepsis umumnya, hanya sedikit berbeda dalam terapi steroid.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini, yaitu:
1. Patofisiologi septicemia dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil
yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi,
mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi
endotelial. Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β,
dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis
dan menghambat proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai
koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular
merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya
akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal
ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini
memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan
global.
2. Gejala awal sepsi dimulai dari terjadinya infeksi. Infeksi dapat terjadi di seluruh
tubuh, sehingga gejalanya pun berbeda-beda tergantung dari bagian tubuh yang
mengalami infeksi. Ada beberapa gejala yang bisa terjadi saat infeksi yaitu
demam, nyeri otot, lemas, batuk dan diare.
3. Tujuan terapi yaitu untuk mencegah dehidrasi dan gagal ginjal akut, menjaga
tekanan darah agar tetap normal, menjaga aliran oksigen, mempertahankan kadar
gula darah normal.
4. Penatalaksanaan sepsis adalah dengan pengobatan dasar (basic support),
pemberian antibiotika, serta terapi suportif lainnya (misalkan: mempertahankan
sirkulasi dan hemodinamik/perfusi jaringan agar didapatkan oksigenasi jaringan
yang cukup. Dalam penanganan kasus sepsis, perawatan dapat dilakukan di ruang
perawatan umum; namun untuk syok septik, direkomendasikan untuk dirawat di
ruang perawatan intesif.
5. Laki-laki, 24 tahun, masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) dengan sesak nafas dua
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan batuk disertai dahak produktif, kental,
kekuningan, disertai demam. Riwayat konsumsi obat kortikosteroid deksametason
selama satu tahun karena keluhan gatal-gatal di seluruh tubuh tanpa konsultasi
dokter. Pemeriksaan fisik pasien didapatkan kesadaran gelisah, kontak inadekuat,
Glasgow Coma Scale (GCS) E4M6V3, pupil isokor dengan diameter 3 mm,
refleks reaktif bilateral. Pemeriksaan laboratorium: Hb 12,3 g/dL, hematokrit
37,1%, leukosit 18.000/ µl, trombosit 117.000/µl, hitung jenis 1/0/11/57/30/1,
LED 15, Laktat 2,2 mmol/L, procalcitonin 454,70 ng/ml, natrium 125 mmol/L,
kalium 5,5 mmol/L, klorida 95 mmol/L, ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,96 mg/dl,
GDS 146, SGOT/ SGPT 188/318 bil total/direk/indirek 1,54/1,12/0,42. HIV non
reaktif.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad R., 2016., Sirs/Sepsis Dan Syok Septik Pada Penderita Tumor Ganas
Kepala Dan Leher, Jurnal Tht-Kl., Vol.2(1).
Alodokter, (2019, Februari 28), alodokter.com. Diambil kembali
www.alodokter.com/sepsis/gejala.
Astutik A. W., Nurul A., Rolan S., dan Arsiyk I., 2017, Kajian kesesuaian pemilihan
antibiotik empiris pada pasien sepsis di instalasi rawat inap RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda, Mulawarman Pharmaceutical Conferences,
Hal. 23-24.
Ayu A., dan Nelly A. H., 2017, Implementasi Metode Dempster Shafer Pada Sistem
Pakar Diagnosa Penyakit Sepsis, Komik, Vol. 1(1).
Chisholm-Burns M. A., Terry L. S., Barbara G. W., Patrick M. M., Jill dan Joseph T.
D., 2016, Pharmacoteraphy principles and practice, Mcgraw-Hill Education,
New York.
Suparto.,Irvan., dan Febyan.,2018, Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline
Terbaru sepsis and Treatment based on The Newest Guideline, Jurnal
Anestesiologi Indonesia, Vol X (1).

Anda mungkin juga menyukai