Anda di halaman 1dari 19

CASE BASED STUDY

MEMANDIKAN BAYI BARU LAHIR

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas PKK 3

Disusun Oleh :

Dinda Putri Lestari

(P17324417025)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN RI


BANDUNG PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN KARAWANG

Alamat : Jalan Kertabumi Nomor 74, Karawang Kulon, Karawang Barat 41311
Memandikan Bayi Baru Lahir
a. Pendahuluan

Kebersihan bayi baru lahir sangat penting untung dijaga, mengingat begitu
rentannya bayi terkena penyakit karena fakotr lingkungan.Memandikan bayi, baru
lahir, dapat menjadi kegiatan yang mendebarkan bagi orang tua baru. Penting
untuk mempersiapkan diri dan mengetahui cara memandikan bayi agar Anda dan
bayi tetap nyaman selama prosesnya.
Memandikan bayi baru lahir bukanlah hal yang mudah, terutama bagi ibu baru.
Dibutuhkan ekstra hati-hati serta persiapan yang benar agar mandi si kecil tak
hanya berjalan lancar namun juga menyenangkan bagi mereka (Lee, 2009).
Bayi akan mudah kehilangan panas dan bisa terjadi hipotermi apabila terlalu lama
melakukan kontak dengan udara secara langsung tanpa menggunakan alat
pelindung. Memandikan bayi dengan cara yang salah dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk seperticelaka (jatuh dan tenggelam), air masuk ke dalam
telinga atau hidung dan dapat mengalami hipotermi (Deswani, 2010).
Hipotermia, karena suhu tubuh bayi yang belum normal apabila kontak dengan air
akan mengakibatkan hilangnya panas tubuh bayi karena terserap oleh air. Suhu
tubuh bayi akan turun dan aliran darah terganggu, bayi akan kekurangan oksigen
dengan ditandai warna kulit tubuh yang membiru. Sehingga pertumbuhan sel-sel
tubuh bayi terganggu akibat tidak lancarnya oksigen dalam tubuh bayi baru lahir
(Wiwik, 2010).

b. Tujuan
Tujuan memandikan bayi adalah membersihkan bayi yang berlumuran darah,
lendir, mekonium atau kotoran bayi yang warnanya hitam kental, air ketuban, dan
lemak berwarna putih yang kelihatan sangat menjijikkan (Prawirohardjo, 2014).
Bayi sering mengalami gangguan pada kulit, diantaranya adalah biang keringat,
eksim popok, dan eksim susu yang dapat dicegah melalui mandi. Menurut
Choirunisa (2009), mandi mempunyai manfaat yang sangat bagus untuk
kebersihan dan kesehatan bayi, mandi akan membersihkan rasa nyaman bagi
tubuh bayi.. Dimana masalah-masalah ini bisa diatasi dengan mudah (Zuliyanti,
2015).

c. Cara Memandikan Bayi


1. Siapkan ruangan

Harus yang hangat dan bersih, jika Bunda menggunakan bak, letakkan bak di
permukaan yang rata dan stabil, seperti meja, dimana Bunda bisa merasa
nyaman memandikan si bayi.

2. Siapkan semua peralatan mandi


a. Handuk dan alas ganti.
b. Gayung untuk mengalirkan air.
c. Waslap untuk menyeka tubuh bayi.
d. Penggunaan sabun memang tidak disarankan saat memandikan bayi. Bila
diperlukan, gunakan produk pembersih kulit bayi dengan label soap-free
dan tertulis berbahan ringan sebagai pengganti sabun biasa untuk
menghindari kulit kering. Hindari juga produk dengan pewangi dan
antibiotik karena dapat mengiritasi kulit.
3. Tuangkan air di bak mandi bayi
Air sebaiknya cukup sampai dan dapat menutupi bahu bayi saat dimandikan.
Gunakan sabun khusus bayi yang lembut dengan pH seimbang, yang cocok
untuk kulit bayi.

4. Cek temperature air


Untuk keamanan, sangatlah penting agar Bunda mengecek suhu air sebelum
memasukan si bayi ke dalam air. Air untuk mandi sebaiknya jangan terlalu
hangat, dan juga jangan terlalu dingin, cara untuk mengujinya yaitu dengan
lengan atau siku Bunda. Jangan menuangkan air lagi setelah bayi sudah
berada didalam air.
5. Lepaskan pakaian bayi dengan hati-hati dan tahan leher dan kepalanya
dengan lembut, serta masukan bayi di bak dan air mandi yang sudah
disiapkan.

11
6. Cucilah tangan sebelum mulai memandikannya

Adapun cara memandikan bayi adalah :


1. Cuci tangan dibawah air mengalir,
2. Dekatkan alat-alat dan perkenankan ibu untuk melihat pelaksanaannya,
3. Pasang handuk besar, dapat dilipat menjadi dua bagian untuk alas,
4. Siapkan baju, popok, gurita terbuka diatas kain bedong, lipat rapi agar
mudah dibuka (gurita bagi bayi yang belum lepas tali pusatnya),
5. Siapkan air hangat dengan menuangkan air dingin terlebih dahulu, lalu air
panas dalam bak mandi,
6. Buka baju bayi seluruhnya, lalu bayi ditimbang berat badannya,
7. Selimuti dengan handuk bersih atau kain pembedongnya,
8. Bersihkan kepala dan rambut dengan meratakan larutan sampo bayi ke
telapak tangan kita, usapkan ke seluruh kepala bayi,
9. Buka kain pembedong bayi, usapkan waslap yang sudah dibasahi dengan
sabun pada badan bayi.
10. Perhatian khusus harus diberikan pada lipatan kulit daerah aksila dan paha,
11. Angakat kaki dengan kuat, masukkan ke dalam bak mandi, bilas rambut
dan kepala sampai bersih, lalu bilas dengan waslap bersih yang sudah
dibasahi mulai dari dada, lipatan paha, genital sampai ekstremitas. Sambil
mengangkat bayi, jepit handuk pengalas bayi dengan kedua jari tangan kiri
kita dan memasukan kekeranjang yang sudah disiapkan,
12. Telungkupkan bayi atau miringkan ke kanan dan ke kiri untuk
membersihkan punggung dan lipatan bokong sampai bersih. Sambil
dibilas, biarkan bayi telungkup di atas telapak tangan ibu agar dapat
mengapung dengan anggota gerak terendam didalam air.

13. Balik posisi bayi sedemikian rupa untuk dibilas badan depan atau dadanya,
lalu diangkat dari bak mandi untuk diletakkan diatas handuk kering,
Keringkan seluruh tubuh bayi dengan handuk kering,
14. Bersihkan tunggul tali pusat yang belum lepas dengan kapas dan air bersih

12
Bungkus tali pusat dengan kassa bersih dan kering, Kenakan pakaian bayi
dan bungkus dengan kain pembedong, Usap tipis-tipis bedak bayi pada
daerah wajah, Sisir rambut bayi secara perlahan

e. Cara-Cara Melakukan Perawatan Tali Pusat Pada Bayi Baru Lahir


1. Pertahankan sisa tali pusat dalam keadaan terbuka agar terkena udara dan
tutupilah dengan kain bersih secara longgar,
2. Lipatlah popok di bawah sisa tali pusat,
3. Jika tali pusat terkena kotoran atau tinja, cuci dengan sabun dan air bersih ,
dan keringkan betul-betul,
4. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih sebelum merawat tali pusat,
5. Bersihkan dengan lembut kulit di sekitar tali pusat dengan kapas basah,
kemudian bungkus dengan longgar/tidak terlalu rapat dengan kasa
bersih/steril,
6. Popok atau celana bayi diikat di bawah tali pusat, tidak menutupi tali pusat
untuk menghindari kontak dengan feses dan urin,
7. Hindari penggunaan kancing, koin atau uang logam untuk membalut tekan
tali pusat, Jagalah tali pusat dalam keadaan bersih dan kering (Riaz et al.,
2019)

Saat selesai mandi,disarankan untuk menghindari penggunaan minyak atau


pelembap hingga bayi berusia setidaknya satu bulan.

Selain itu, air yang bersih tanpa campuran apa pun adalah yang terbaik untuk
memandikan bayi. Maka, hindari menambahkan apa pun ke dalam cairan
mandinya. Hal yang tidak kalah penting, hindari meninggalkan bayi sendirian
meski sesaat ketika dimandikan atau berganti pakaian.

13
f. Sumber

Syarif, Nurmadinah, dkk. 2018. Perilaku Ibu Dalam Memandikan Bayi Baru
Lahir di Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene. Jurnal Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, Volume 9 Nomor 2

Andriani,Yessi. 2019. Memandikan Bayi Dan Perawatan Tali Pusat Bayi Baru
Lahir Di RSI Ibnusina Yarsi Bukittinggi Mera Delima. Jurnal Abdimas
Kesehatan Perintis Vol. 1 No. 1

Yumna Aninda. 2018. Memandikan Bayi Baru Lahir. Diakses dari


www.cussonsbaby.com

14
CASE BASED STUDY

MELAKUKAN MANAJEMEN AKTIF KALA III

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas PKK 3

Disusun Oleh :

Dinda Putri Lestari

(P17324417025)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN RI


BANDUNG PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN KARAWANG

Alamat : Jalan Kertabumi Nomor 74, Karawang Kulon, Karawang Barat 41311

15
16

Melakukan Manajemen Aktif Kala III

a. Pendahuluan

Kehamilan dan melahirkan memiliki risiko kesehatan yang besar, termasuk pada
perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Di negara
berkembang, perempuan cenderung lebih mendapat perawatan antenatal atau
perawatan sebelum melahirkan dibandingkan perawatan kebidanan yang
seharusnya diterima selama persalinan atau pasca persalinan. Kenyataannya, lebih
separuh dari total jumlah kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah
melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

Perdarahan masif merupakan penyebab utama dari kematian ibu di seluruh dunia.
Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah mengalami
perdarahan pasca persalinan (PPP), namun ia akan menderita akibat kekurangan
darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang
berkepanjangan. Di wilayah yang memiliki angka kematian ibu tinggi dan sarana
terbatas, maka pengenalan mengenai pencegahan dan penanganan PPP yang
terbukti dapat dijalankan (evidence-based practices) dengan biaya rendah bisa
melindungi keselamatan ibu dan bayi.

b. Perdarahan Pasca Persalinan (PPP)


Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya,
paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal.
Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu empat jam setelah
melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama persalinan
kala tiga. PPP didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak lebih dari 500 ml
setelah kelahiran dan PPP masif didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak
lebih dari 1.000 ml. Namun, dalam praktek sulit untuk mengukur kehilangan
darah dengan tepat, dan jumlahnya sering diperkirakan terlalu rendah. Hampir
separuh dari jumlah bumil yang melahirkan pervaginam kehilangan darah
sejumlah 500 ml atau lebih, dan mereka yang menjalani operasi (pembedahan
Caesar) pada umumnya kehilangan 1.000 ml atau lebih. Jumlah kehilangan darah
ini tidak selalu menimbulkan efek samping, dampaknya berbeda antara satu bumil
dengan yang lain. Bagi bumil dengan anemia berat, kehilangan darah 200 sampai

16
17

250 ml saja dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan
karena di negara berkembang terdapat banyak perempuan dengan anemia berat.
Penyebab paling umum PPP dini/primer berat (terjadi dalam waktu 24 jam setelah
melahirkan) adalah atonia uteri (kegagalan rahim untuk berkontraksi sebagaimana
mestinya setelah melahirkan). Plasenta yang tertinggal, laserasi vagina atau mulut
rahim dan uterus yang turun atau inversi, juga merupakan penyebab PPP. PPP
lanjut/sekunder (terjadi lebih dari 24 jam setelah kelahiran bayi) diakibatkan oleh
infeksi, penyusutan rahim yang tidak adekuat, atau sisa plasenta yang tertinggal.
Momentum yang sangat penting dalam pencegahan, diagnosis dan penanganan
perdarahan adalah saat setelah kelahiran bayi dan jam pertama pasca persalinan.
Kasus perdarahan dengan cepat dapat mengancam jiwa. Seorang ibu dengan
perdarahan hebat, maka risiko fatalitas meningkat bila tidak mendapat perawatan
medis yang sesuai, termasuk pemberian obat-obatan, prosedur klinis sederhana,
transfusi darah dan atau operasi. Di daerah atau wilayah dengan akses terbatas
untuk memperoleh pelayanan petugas medis, keterbatasan transportasi dan
pelayanan gawat darurat, maka keterlambatan memperoleh pelayanan kesehatan
menjadi hal yang biasa, sehingga risiko kematian karena PPP menjadi tinggi.
Sebenarnya PPP dini seringkali dapat ditangani dengan perawatan kebidanan
dasar, namun keterlambatan dapat mengakibatkan komplikasi lebih lanjut
sehingga memerlukan pelayanan kebidanan darurat yang komprehensif. Sering
pelayanan ini hanya tersedia di rumah sakit rujukan dan mengharuskan
perempuan tersebut melakukan perjalanan jauh, sehingga menambah risiko
kematian.
Transfusi darah untuk menyelamatkan jiwa berkaitan dengan risiko reaksi
transfusi serta penularan infeksi. Operasi atau pembedahan seperti histerektomi
(mengangkat rahim) mempunyai risiko infeksi, risiko anastesi (pembiusan) dan
komplikasi lainnya, di samping tingginya biaya. Tidak semua kasus bisa
teridentifikasi berisiko tinggi PPP, walaupun ada beberapa faktor yang bisa
berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan seperti : kejadian PPP
sebelumnya, pre-eclampsia, hamil kembar, dan kegemukan. Placenta previa dan
solusio plasenta adalah faktor-faktor risiko untuk perdarahan sebelum persalinan
(antepartum). Faktor-faktor lain yang berkaitan dengan persalinan dan

17
18

meningkatnya kehilangan darah adalah: episiotomi, operasi caesar, dan persalinan


yang berlangsung lama.

Meskipun demikian, duapertiga kasus PPP terjadi pada ibu dengan faktor risiko
yang tidak dapat diidentifikasi.

Mengandalkan faktor risiko untuk mengklasifikasi bumil dengan risiko tinggi


tidak mengurangi angka kematian karena PPP. Selanjutnya, mengandalkan
penilaian risiko dapat menjurus kepada penanganan yang tidak perlu terhadap
bumil yang digolongkan sebagai “berisiko tinggi”, dan dapat merugikan bumil
maupun sistem kesehatan. Semua bumil harus didorong untuk mempersiapkan
kelahiran, siaga terhadap komplikasi, dan saat persalinan harus ditolong oleh
bidan yang mengerti tentang pencegahan PPP. Keluarga dan masyarakat harus
mengetahui tanda-tanda bahaya utama, termasuk perdarahan selama masa
kehamilan. Semua ibu harus dipantau tanda-tanda perdarahan abnormal setelah
melahirkan, dan para pemberi perawatan harus dapat menjamin akses ke tindakan
penyelamatan hidup bilamana diperlukan.

c. Manajemen Aktif Persalinan Kala Tiga


Sebagian besar kasus PPP terjadi selama persalinan kala tiga. Selama jangka
waktu tersebut, otot-otot rahim berkontraksi dan plasenta mulai memisahkan diri
dari dinding rahim. Jumlah darah yang hilang tergantung pada seberapa cepat hal
ini terjadi. Persalinan kala tiga biasanya berlangsung antara 5 sampai 15 menit.7,8
Bila lewat dari 30 menit, maka persalinan kala tiga dianggap panjang/lama yang
berarti menunjukkan adanya masalah potensial. Bilamana rahim lemah dan tidak
berkontraksi secara normal, maka pembuluh darah di daerah plasenta tidak terjepit
dengan cukup, hal ini akan mengakibatkan perdarahan yang berat. Manajemen
aktif persalinan kala tiga terdiri atas intervensi yang direncanakan untuk
mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi rahim dan
mencegah PPP dengan menghindari atonia uteri.
Komponennya adalah :
(1) memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua
menit setelah kelahiran bayi;
(2) menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan;

18
19

(3) melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan


melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut. Setelah pelepasan
plasenta, memijat uterus juga dapat membantu kontraksi untuk
mengurangi perdarahan. Manajemen aktif persalinan kala tiga biasa
dilakukan di Inggris, Australia, dan beberapa negara lain.
Berbeda dengan manajemen aktif, manajemen menunggu (juga dikenal sebagai
penanganan konservatif atau fisiologis) adalah menunggu tanda-tanda bahwa
plasenta sedang melepaskan diri dari dinding rahim (misalnya, melihat suatu
pancaran darah), dan membiarkannya melepaskan diri secara spontan. Manajemen
menunggu umum dilakukan di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, dan
Kanada. Manajemen menunggu juga merupakan cara pertolongan pada sebagian
besar kelahiran di rumah di negara-negara berkembang.
WHO pada umumnya merekomendasikan manajemen aktif persalinan kala tiga
untuk setiap persalinan. Beberapa studi berskala besar, yang dilakukan secara
acak dan terkontrol (dilaksanakan di rumah sakit bersalin dengan perlengkapan
baik) membandingkan pengaruh dari manajemen aktif dan manajemen menunggu.
Walaupun studi studi tersebut menggunakan perangkat aturan dan definisi yang
berbeda dari manajemen aktif, hasilnya cukup meyakinkan. Misalnya, pada suatu
percobaan yang dilakukan di Dublin, Irlandia, 705 perempuan ditangani secara
aktif dengan 0,5 mg ergometrine dan dilakukan penegangan tali pusat terkendali,
sementara 724 ditangani secara menunggu/fisiologis. Hasil dari percobaan
tersebut adalah berkurangnya PPP dan kasus anemia di antara perempuan yang
ditangani secara aktif. Namun, terdapat lebih banyak kasus pelepasan plasenta
secara manual, rasa mual, muntah, dan nyeri yang luar biasa setelah melahirkan,
yang dirasakan oleh perempuan yang ditangani secara aktif.9
Pada percobaan yang dilakukan di Abu Dhabi, 827 perempuan mendapat
penegangan tali pusat terkendali dan oksitosin 10 mcg intramuscular, sementara
821 mendapat intervensi minimum (hanya oksitosin setelah pelepasan plasenta).
Mereka yang ditangani dengan aktif secara bermakna menurunkann kasus PPP,
dan sisa plasenta, serta lebih sedikit memerlukan tambahan obat-obatan
uterotonik.10 Dalam suatu studi di Inggris, 846 perempuan ditangani secara aktif
dengan 5 mcg oksitosin dan 0,5 mcg ergometrine, maupun penegangan tali pusat

19
20

terkendali, dibanding dengan 849 perempuan yang ditangani secara


menunggu/fisiologis. Hasilnya secara bermakna lebih sedikit PPP, dan persalinan
kala tiga menjadi lebih pendek pada mereka yang ditangani secara aktif. Pada
percobaan lain di Inggris, 748 perempuan mendapat oksitosin dan/atau
ergometrine dan penegangan tali pusat terkendali, sementara 764 tidak
mendapatkan salah satu intervensi kecuali ada indikasi. Manajemen aktif
menghasilkan suatu penurunan PPP secara bermakna. Namun, terdapat lebih
banyak yang mengalami muntah di antara mereka yang ditangani secara aktif.

Tidak satupun dari studi-studi tersebut di atas memperlihatkan meningkatnya


kasus komplikasi serius sehubungan dengan manajemen aktif. Di Indonesia pada
umumnya digunakan oksitosin. Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang
tersedia melalui database Cochrane dan WHO Reproductive Health Library
(Perpustakaan Kesehatan Reproduksi, WHO) menegaskan bahwa manajemen
aktif berkaitan dengan berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk PPP dan
PPP berat), berkurangnya anemia pasca persalinan, dan berkurangnya kebutuhan
terhadap transfusi darah.

d. Obat-obatan Uterotonika
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah satu
intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah PPP. Obat uterotonika
yang paling umum digunakan adalah oksitosin, yang telah terbukti sangat efektif
dalam mengurangi kasus PPP dan persalinan kala tiga yang lama.
Syntometrine (campuran ergometrine dengan oksitosin) ternyata malah lebih
efektif daripada oksitosin saja. Namun, syntometrine dikaitkan dengan lebih
banyak efek samping, seperti sakit kepala, rasa mual, muntah, dan tekanan arah
tinggi.
Perempuan dengan tekanan darah tinggi (atau pre-eklampsia atau eklampsia, yang
diderita kira-kira 10% dari semua bumil) tidak dapat menggunakan ergometrine.
Dibandingkan dengan oksitosin, ergometrine kurang stabil pada suhu ruangan dan
cenderung lebih cepat kehilangan potensinya, khususnya di daerah iklim tropis.
Prostaglandin juga efektif untuk mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum
lebih mahal dan memiliki berbagai efek samping, termasuk diarrhea, muntah, dan
sakit perut. Pilihan terhadap obat uterotonika mana yang akan digunakan untuk

20
21

menangani perdarahan tergantung pada penilaian klinis dari pemberi pelayanan


kesehatan, tersedianya pilihan obat, dan pertimbangan antara manfaat dan efek
sampingnya.

e. Penjepitan Tali Pusat


Pada manajemen aktif persalinan kala tiga, tali pusat segera dijepit dan dipotong
setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif yang lain.
Pada manajemen menunggu, penjepitan tali pusat biasanya dilakukan setelah tali
pusat berhenti berdenyut. Walaupun tampaknya kedua praktek tersebut tidak
mempunyai perbedaan dalam pengaruhnya terhadap ibu, penjepitan segera dapat
mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan pada bayi yang baru lahir.
Diperkirakan bahwa penjepitan tali pusat secara dini mencegah 20% sampai 50%
darah janin mengalir dari plasenta ke bayi (jumlah darah yang mengalir juga
dipengaruhi oleh gaya berat dan letak bayi apakah dipegang di atas atau di bawah
plasenta setelah persalinan).
Berkurangnya aliran darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin
yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia
zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu studi menemukan bahwa menunggu untuk
menjepit tali pusat sampai ia berhenti berdenyut mengurangi separuh dari tingkat
anemia bayi pada usia dua bulan.
Beberapa studi telah membuktikan potensi meningkatnya gawat nafas neonatal
akibat penjepitan tali pusat secara dini. Pemberian obat oksitosin tanpa segera
menjepit tali pusat secara potensial dapat mengakibatkan kelebihan transfusi pada
bayi, tetapi isu ini belum cukup dipelajari. Satu kemungkinan manfaat bagi bayi
pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah
pada kelahiran seperti HIV.

f. Penegangan Tali Pusat Terkendali


Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah dengan
sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan
memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas
tulang pinggang. Praktek ini membantu dalam pemisahan plasenta dari rahim dan
pelepasannya. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka

21
22

mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar.
Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta
tidak turun, tetapi penegangan dapat diulang lagi pada kontraksi rahim yang
berikut. Risiko potensial yang berkaitan dengan penegangan tali pusat terkendali
adalah inversio uteri (terbaliknya rahim) dan tali pusat putus dari plasenta. Pada
lima uji klinik terkontrol mengenai manajemen aktif dibandingkan dengan
manajemen menunggu, tidak tercatat kasus inversio uteri atau tali pusat putus.
Agar penegangan tali pusat terkendali dilakukan dengan aman, maka sangat
penting untuk memberikan pelatihan dan panduan kepada petugas.

g. Memberikan Asuhan Pada Ibu Bersalin Kala III


1. Fisiologi Kala III
Dimulai segera setelah bayi sampai lahirnya plasenta yang berlangsung tidak lebih
dari 30 menit. Setelah bayi lahir uterus teraba keras dengan fundus uteri agak
diatas pusat beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan
plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 menit – 15 menit
setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri.
Pengeluaran plasenta, disertai dengan pengeluaran darah. Komplikasi yang dapat
timbul pada kala II adalah perdarahan akibat atonia uteri, ratensio plasenta,
perlukaan jalan lahir, tanda gejala tali pusat.

Tempat implantasi plasenta mengalami pengerutan akibat pengosongan kavum


uteri dan kontraksi lanjutan sehingga plasenta dilepaskan dari perlekatannya dan
pengumpulan darah pada ruang utero-plasenter akan mendorong plasenta keluar.

Otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume ronnga


uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya
ukuran tempat perlekatan plasenta karena tempat perlekatan menjadi semakin
kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat,
menebal dan kemudian lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau
kedalam vagina (Depkes RI 2007).

Pada kala III, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan


volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan

22
23

berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan


menjadi semkin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta
akan terlipat, menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas,
plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam vagina. Setelah janin
lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan
kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari
tempat implantasinya.

2. Keuntungan-keuntungan manajemen aktif kala III

Tujuan Manajemen Aktif Kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus
yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan
dan mengurangi kehilangan darah kala III persalinan jika dibandingkan dengan
penatalaksanaan fisiologis. Sebagian besar kasus kesakitan dan kematian ibu di
Indonesia disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan dimana sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta yang sebenarnya dapat dicegah
dengan melakukan manajemen aktif kala III. (APN, 2008)

Keuntungan-keuntungan Manajemen Aktif kala III:

a. Persalinan kala III yang lebih singkat


b. Mengurangi jumlah kehilangan darah
c. Mengurangi kejadian Retensio Plasenta

Cara-cara Pelepasan Plasenta :

a) Metode Ekspulsi Schultze

Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral) atau dari pinggir plasenta.
Ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina (tanda ini
dikemukakan oleh Ahfled) tanpa adanya perdarahan per vaginam. Lebih besar
kemungkinannya terjadi pada plasenta yang melekat di fundus.

b) Metode Ekspulsi Matthew-Duncan

Ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas.
Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih hal ini patologik.Lebih
besar kemungkinan pada implantasi lateral.

23
24

Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi,


pembuluh-pembuluh darah akan terjepit, dan perdarahan segera berhenti. Pada
keadaan normal akan lahir spontan dalam waktu lebih kurang 6 menit setelah anak
lahir lengkap.

Tanda – tanda pelepasan plasenta.

a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus.

Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk
bulat penuh dan tinggi fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus
berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau
seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada di atas pusat.

a. Tali pusat memanjang.


b. Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva.
c. Semburan darah mendadak dan singkat.

Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta


keluar di bantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplasental
pooling) dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan dalam plasenta
melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar dari tepi plasenta
yang terlepas. Tanda ini kadang – kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah
bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.

Pengawasan Perdarahan

Empat prasat yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut

a. Prasat Kustner

Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan
daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali ke dalam vagina, berarti
plasenta belum lepas dari dinding uterus. Bila tetap atau tidak masuk kembali ke
dalam vagina, berarti plasenta lepas dari dinding uterus. Prasat ini hendaknya
dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta terlepas, perdarahan
banyak akan dapat terjadi.

24
25

b. Prasat Strassman

Perasat ini dilakukan dengan mengetok-ngetok fundus uterus dengan tangan kiri
dan tangan kanan meregangkan tali pusat sambil merasakan apakah ada getaran
yang ditimbulkan dari gerakan tangan kiri, jika terasa ada getaran berarti plasenta
sudah lepas.

c. Prasat Klien

Untuk melakukan perasat ini, minta pasien untuk meneran, jika tali pusat tampak
turun atau bertambah panjang berarti plasenta telah lepas, begitu juga sebaliknya.

h. Manajemen Aktif Kala III

Manajemen aktif III: Mengupayakan kontraksi yang adekuat dari uterus dan
mempersingkat waktu kala III, mengurangi jumlah kehilangan darah, menurunkan
angka kejadian retensio plasenta.

Tiga langkah utama manajemen aktif kala III : Pemberian oksitosin/uterotonika


segera mungkin, melakukan penegangan tali pusat terkendali(PTT), Rangsangan
taktil pada dinding uterus atau fundus uteri (Masase Fundus Uteri).

Penegangan tali pusat terkendali: Berdiri disamping ibu, pindahkan jepitan semula
tali pusat ketitik 5-20 cm dari vulva dan pegang klem penjepit tersebut, lrtakan
telapak tangan ( alas dengan kain ) yang lain, pada segmen bawah rahim atau
diding uterus dan suprasimpisis, pada saat terjadi kontraksi, tegangkan tali pusat
sambil tekan tali uterus ke dorsokranial, ulangi kembali perasat ini bila plasenta
belum dapat dilahirkan ( jangan dilakukan pemaksaan )

i. Pemeriksaan Pada Kala III

Pemeriksaan Plasenta,Selaput Ketuban dan Tali Pusat

1. Plasenta
Pastikan bahwa seluruh plasenta telah lahir lengkap dengan memeriksa
jumlah kotiledonnya (rata-rata 20 kotiledon). Periksa dengan seksama pada
bagian pinggir plasenta apakah kemungkinan masih ada hubungan dengan
plasenta lain (plasenta suksenturiata. Amati apakah ada bagian tertentu yang

25
26

seperti tertinggal atau tidak utuh, jika kemungkinan itu ada maka segera
lakukan eksplorasi untuk membersihkan sisa plasenta.
2. Selaput Ketuban
Setelah plasenta lahir, periksa kelengkapan selaput ketuban untuk
memastikan tidak ada bagian yang tertinggal di dalam uterus. Caranya
dengan meletakkan plasenta di atas bagian yang datar dan pertemukan setiap
tepi selaput ketuban sambil mengamati apakah ada tanda-tanda robekan dari
tepi selaput ketuban.
Jika ditemukan kemungkinan ada bagian yang robek, maka segera lakukan
eksplorasi uterus untuk mengeluarkan sisa selaput ketuban karena sisa
selaput ketuban atau bagian plasenta yang tertinggal di dalam uterus akan
menyebabkan perdarahan dan infeksi.
3. Tali Pusat
Setelah plasenta lahir, periksa mengenai data yang berhubungan dengan tali
pusat.

a. Panjang tali pusat


b. Bentuk tali pusat (besar,kecil, atau terpilin-piliin)
c. Insersio tali pusat
e. Adakah lilitan tali pusat

j. Kebutuhan Ibu Pada Kala III

1. Dukungan mental dari bidan dan keluarga atau pendamping


2. Penghargaan terhadap proses kelahiran janin yang telah dilalui
3. Informasi yang jelas mengenai keadaan pasien sekarang dan tindakan apa
yang akan dilakukan
4. Penjelasan mengenai apa yang harus ia lakukan untuk membantu
mempercepat kelahiran plasenta, yaitu kapan saat meneran dan posisi apa
yang mendukung untuk pelepasan dan kelahiran plasenta.
5. Bebas dari rasa risih akibat bagian bawah yang basah oleh darah dan air
ketuban
6. Hidrasi

26
k. Sumber

Nora, Hilwah. 2012. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 12


Nomor3

Salu, Adriana. 2016. Manajemen Aktif Kala III. Poltekkes Kemenkes Kupang
Prodi D3 Kebidanan.

27

Anda mungkin juga menyukai