Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan
yang telah berlaku, dicatat (registrasi), diberi izin secara sah untuk menjalankan
praktek (Sari dan Rury, 2012). Bidan mempunyai tugas penting dalam
konsultasi dan pendidikan kesehatan baik bagi wanita sebagai pusat keluarga
maupun masyarakat umumnya, tugas ini meliputi antenatal,
intranatal,postnatal, asuhan bayi baru lahir, persiapan menjadi orang tua,
gangguan kehamilan dan reproduksi serta keluarga berencana (Muzaham,
2007).
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggungjawab
praktek profesi bidan dalam sistim pelayanan kesehatan yang bertujuan
meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan
masyarakat dan keluarga. Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga
dalam rangka terwujudnya kelurga kecil bahagia dan sejahtera (Depkes RI,
1998).
Tanggungjawab dan akuntabilitas sangat penting dalam menentukan mutu
kinerja perawat dan bidan. Tanggung jawab mengawah pada kinerja tindakan
dan tugas, mencakup tindakan dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk
kesejahteraan pasien. Sedangkan akuntabilitas mengarah pada hasil dari
tindakan yang dilakukan. Ini berarti menerima hasil kerja atau tindakan serta
tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, serta tindakan dan catatan
yang dilakukan dalam batas kewenangannya.
Berdasarkan Standar Pelayanan 21 Kebidanan yang telah diatur
mengenai Penanganan Perdarahan Post Partum Primer. Bidan mampu
mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah
persalinan dan segera melakukan pertolongan pertama kegawat daruratan
untuk mengendalikan perdarahan. Tujuannya adalah bidan mampu mengambil

5
tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang tepat pada ibu yang mengambil
perdarahan post partum primer/ atoni uteri. Hasil yang diharapkan yaitu
penurunan kematian dan kesakitan ibu akibat perdarahan post partum primer,
meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan, merujuk secara dini pada ibu
yang mengalami perdarahan post partum primer.
Namun, pada kenyataannya yang terjadi dimasyarakat masih banyak terjadi
kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan postpartum. Banyak penyebab
terjadinya perdarahan postpartum seperti atonia uteri, trauma uteri, tonus uteri
itu sendiri, dan lain-lain factor. Peran bidan dan tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan untuk mengurangi angka kematian ibu akibat perdarahan
postpartum tersebut dengan memberikan pelayanan segera mungkin sesuai
dengan standar pelayanan kebidanan yang telah ditetapkan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah sikap bidan dalam menangani kasus perdarahan postpartum?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui sikap bidan dalam menangani kasus perdarahan
postpartum yang terjadi di masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui standar pelayanan kebidanan
b. Untuk mengetahui peran bidan
c. Untuk menganalisa sikap bidan dalam menangani kasus perdarahan
postpartum

6
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Standar Pelayanan Kebidanan


Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggungjawab
praktek profesi bidan dalam sistim pelayanan kesehatan yang bertujuan
meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan
masyarakat dan keluarga. Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga
dalam rangka terwujudnya kelurga kecil bahagaia dan sejahtera (Depkes RI,
1998).
Standar 21 Pelayanan Kebidanan : Penanganan Perdarahan Post Partum
Primer. Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam
pertama setelah persalinan dan segera melakukan pertolongan pertama
kegawat daruratan untuk mengendalikan perdarahan. Tujuannya adalah bidan
mampu mengambil tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang tepat pada
ibu yang mengambil perdarahan post partum primer/ atoni uteri. Hasil yang
diharapkan yaitu penurunan kematian dan kesakitan ibu akibat perdarahan post
partum primer, meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan, merujuk secara
dini pada ibu yang mengalami perdarahan post partum primer.
Syarat dalam standar ini adalah bidan telah terlatih dan terlampil dalam:
1. Bidan terlatih dan terampil dalam menangani perdarahan post partun
termaksud pemberian obat oksitosin dan cairan IV, kompresi bimanual dan
kompresi aorta.
2. Tersedia peralatan / perlengkapan penting yang diperlukan dalam kondisi
DTT / steril.
3. Tersedia obat antibiotika dan oksitosika serta tempat penyimpanan yang
memadai.
4. Tersedia sarana pencatatan: Kartu Ibu , partograf.
5. Tersedia tansportasi untuk merujuk ibu direncanakan.

7
6. Sistem rujukan yang efektif untuk perawatan kegawatdaruratan obstetri dan
fasilitas bank darah berfungsi dengan baik untuk merawat ibu yang
mengalami perdarahan post partum.
Sedangkan proses yang harus dilakukan bidan dalam standar ini adalah:
1. Periksa gejala dan tanda perdarahan post partum primer.
2. Segera setelah placenta dan selaput ketuban dilahirkan, lakukan masase
uterus supaya berkontraksi, untuk mengeluarkan gumpalan darah, sambil
melakukan masase fundus uteri periksa plasenta dan selaput ketuban untuk
memastikan plasenta utuh dan lengkap.
3. Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir sebelum
memberikan perawatan. Gunakan sarung tangan DTT / steril untuk semua
periksa dalam, dan gunakan sarung tangan bersih kapanpun menangani
benda yang terkontaminasi oleh darah dan cairan tubuh.
4. Jika perdarahan terus terjadi dan uterus teraba berkontraksi baik:
a. Berikan 10 unit oksitosin IM.
b. Jika kandung kemih ibu bisa dipalpasi, dengan menggunakuan teknik
aseptik, pasang kateter ke kandung kemih.
c. Periksa laserasi pada perineum, vagina dan serviks dengan seksama
menggunakan lampu yang terang. Jika sumber perdarahan sudah
diidentifikasi, klem dengan forcep arteri dan jahit laserasi dengan
menggunakan anastisi lokal menggunakan teknik aseptik.
5. Jika uterus mengalami atonia uteri, atau perdarahan terus terjadi:
a. Berikan 10 unit oksitosin IM.
b. Lakukan masase uterus untuk megeluarkan gumpalan darah.Periksa lagi
apakah placenta utuh dengan teknik aseptik, menggunakan sarung
tangan DTT / steril, usap vagina dan ostium serviks untuk
menghilangkan jaringan placenta atau selaput ketuban yang tertinggal.
c. Jika kandung kemih ibu bisa dipalpasi, gunakan teknik aseptik untuk
memasang kateter kedalam kandung kemih.
d. Gunakan sarung tangan DTT / steril, lakukan kompres bimanual internal
maksimal 5 menit atau hingga perdarahan bisa dikendalikan dan uterus
bisa berkontraksi dengan baik.

8
e. Anjurkan keluarga untuk mulai mempersiapkan kemingkinan rujukan.
6. Jika perdarahan dapat dikendalikan dan uterus dapat berkontraksi dengan
baik :
a. Teruskan kompresi bimanual selama 1 – 2 menit atau lebih.
b. Keluarkan tangan dari vagina secara hati – hati.
c. Pantau kala 4 persalinan dengan seksama, termasuk sering melakukan
masase uterus untuk memerikasa atonia , mengamati perdarahan dari
vagina, tekanan darah dan nadi.
d. Jika perdarahan tidak terkendali dan uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 5 menit setelah dimulainya kompresi bimanual pada uterus.
e. Instruksikan salah satu anggota keluarga untuk melakukan kompresi
bimanual eksternal.
f. Keluarkan tangan dari vagina secara hati – hati.
g. Jika tidak ada tanda hipertensi pada ibu, berikan methergin 0,2 mg IM.
h. Mulai IV Ringer Laktat 500 cc + 20 unit oksitoksin menggunakan jarum
berlubang besar (16 atau 18 G) dengan teknik aseptik.
i. Berikan 500 cc pertama secepat mungkin, dan teruskan dengan IV
Ringer Laktat + 20 unit oksitoksin yang kedua.
j. Jika uterus tetap atoni dan/ atau perdarahan terus berlangsung.
k. Ulangi kompresi bimanual internal
l. Jika uterus berkontraksi, lepaskan tangan anda perlahan – lahan dan
pantau kala IV persalinan dengan cermat.
m. Jika uterus tidak berkontraksi, rujuk segera ke tempat dimana operasi
bisa dilakukan.
n. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan infus IV dengan kecepatan
500 cc / jam hingga ibu mendapatkan total 1,5 liter dan kemudian
turunkan kecepatan hingga 125 cc / jam.
o. Jika ibu menunjukkan tanda dan gejala syok rujuk segera dan
melakukan tindakan berikut ini :
- Jika IV belum diberikan, mulai berikan dengan instruksi seperti
tercantum di atas.

9
- Pantauan dengan cemat tanda – tanda vital ibu, setiap 15 menit pada
saat perjalanan ke tempat rujukan.
- Berikan ibu dengan posisi miring agar jalan pernafasan ibu tetap
terbuka dan meminimalkan risiko aspirasi jika ibu muntah.
- Selimuti ibu, jaga ibu tetap hangat, tapi jangan membuat ibu
kepanasan.
- Jika mungkin, naikkan kakinya untuk meningkatkan darah yang
kembali ke jantung.
7. Bila perdarahan tetap berlangsung dan kontraksi uterus tetap tidak ada maka
kemungkinan terjadi ruptura uteri. Hal ini juga memerlukan rujukan segera
ke rumah sakit.
8. Bila kompres bimanual pada uterus tidak berhasil, cobalah kompresi aorta.
Cara ini dilakukan pada keadaan darurat, sementara penyebab perdatahan
sedang dicari.
9. Perkirakan jumlah darah yang keluar dan cek dengan teratur denyut nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
10. Buat catatan yang seksama tentang semua penilaian, semua tindakan yang
dilakukan dan semua pengobatan yang diberikan. Termasuk saat
pencatatan.
11. Jika syok tidak dapat diperbaiki, maka segera rujuk keterlambatan akan
berbahaya.
12. Jika perdarahan berhasil dikendalikan, ibu harus diamati dengan ketat untuk
gejala dan tanda infeksi. Berikan antibiotika jika terjadi tanda – tanda
infeksi.
Gejala dan Tanda Syok Berat:
1. Nadi lemah dan cepat ( 110 kali / menit atau lebih ).
2. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90mmHg.
3. Nafas cepat ( Frekuensi pernafasan ) 30 kali / menit atau lebih.
4. Urine kurang dari 30 cc / menit.
5. Bingung, gelisah, atau pingsan.
6. Berkeringat atau kulit menjadi dingin dan basah.
7. Pucat.

10
Kompresi Bimanual Uterus (dari DAL) :
1. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan handuk
bersih. Gunakan sarung tangan panjang yang steril / DTT.
2. Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan fundus uteri dari luar).
3. Masukkan tangan kanan dengan hati – hati ke dalam vagina dan buat
kepalan tinju.
4. Kedua tangan didekatkan dan secara bersama – sama menekan uterus.
5. Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut, bila
diperlukan. Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar
terjadi hemostasis.
Kompresi Manual Pada Aorta:
Kompresi manual pada aorta hanya dilakukan pada perdarahan hebat dan
jika kompresi luar serta tidak efektif. Kompresi manual pada aorta adalah
alternatif untuk kompresi bimanual. Kompresi hanya boleh dilakukan pada
keadaan darurat sementara penyebab perdarahan sedang dicari.
Berikut ini adalah langkah – langkah kompresi manual pada aorta:
1. Lakukan tekanan ke arah bawah dengan kepalan tangan langsung melalui
dinding perut atas aorta abdominal.
2. Titik kompresi adalah tepat diatas pusar dan sedikit ke arah kiri.
3. Pulsasi aorta bisa dirasakan dengan mudah melalui dinding abdominal
anterior pada periode pastpartum segera.
4. Dengan tangan yang lain, palsasi pulpasi femoralis untuk memeriksa
kekuatan kompresi.
5. Jika pulsasi bisa diraba selama kompresi, tekanan yang digunakan tidak
cukup kuat.
6. Jika pulsasi fermoralis tidak dapat dipalpasi, tekanan yang digunakan
cukup.
7. Teruskan kompresi hingga perdarahan bisa dikendalikan.
8. Jika kompresi aorta tidak menghentikan perdarahan, bersiaplah untuk
membawa ibu ketempat rujukan dengan segera.

11
2.2 Peran Bidan
2.2.1 Pengertian
Peran adalah perilaku individu yang diharapkan sesuai dengan posisi
yang dimiliki. Peran yaitu suatu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai dan
sikap yang diharapkan dapat menggambarkan perilaku yang seharusnya
diperlihatkan oleh individu pemegang peran tersebut dalam situasi yang
umumnya terjadi (Sarwono, 2010). Peran merupakan suatu kegiatan yang
bermanfaat untuk mempelajari interaksi anatara individu sebagai pelaku
(actors) yang menjalankan berbagai macam peranan di dalam hidupnya,
seperti dokter, perawat bidan dan petugas kesehatan lainnya yang
mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas atau kegiatan yang sesuai
dengan peranannya masing-masing (Muzaham, 2007).
Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai
dengan persyaratan yang telah berlaku, dicatat (registrasi), diberi izin secara
sah untuk menjalankan praktek (Sari dan Rury, 2012). Bidan mempunyai
tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan baik bagi wanita
sebagai pusat keluarga maupun masyarakat umumnya, tugas ini meliputi
antenatal, intranatal,postnatal, asuhan bayi baru lahir, persiapan menjadi
orang tua, gangguan kehamilan dan reproduksi serta keluarga berencana.
Bidan juga dapat melakukan praktek kebidanan pada Puskesmas, Rumah
sakit, klinik bersalin dan unit-unit kesehatan lainnya di masyarakat
(Nazriah, 2009).
Tenaga kesehatan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Tentang Kesehatan No 36 tahun 2014 merupakan setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu
yang memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Tenaga
kesehatan juga memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat
mampu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
sehingga mampu mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

12
sebagai investasi bagi pembangaunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomi. tenaga kesehatan memiliki beberapa petugas
yang dalam kerjanya saling barkaitan yaitu dokter, dokter gigi, perawat,
bidan dan tenaga kesehatan medis lainnya (Miles & Huberman, 2016).
Perilaku tenaga kesehatan mempengaruhi kepatuhan ibu dalam
mengkonsumsi tablet Fe (Rahmawati, 2008). Kepatuhan ibu hamil dapat
lebih ditingkatkan lagi apabila petugas kesehatan mampu memberikan
penyuluhan, khususnya mengenai manfaat tablet besi dan kesehatan ibu
selama kehamilan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Putri (2016), dengan
hasil terdapat hubungan bermakna antara faktor pelayanan petugas
kesehatan (seperti pemeriksaan khusus anemia, konseling dan pemberian
tablet Fe) dengan kepatuhan konsumsi tablet Fe.
2.2.2 Macam-macam peran bidan
Peran bidan sebagai petugas kesehatan yaitu sebagai komunikator,
motivator, fasilitator, dan konselor bagi masyarakat (Potter dan Perry,
2007). Macam-macam peran tersebut yaitu:
a. Komunikator
Komunikator adalah orang yang memberikan informasi kepada
orang yang menerimanya. Komunikator merupakan orang ataupun
kelompok yang menyampikan pesan atau stimulus kepada orang atau
pihak lain dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan (komunikan)
tesebut memberikan respon terhadap pesan yang diberikan (Putri ,2016).
Proses dari interaksi komunikator ke komunikan disebut juga dengan
komunikasi. Selama proses komunikasi, tenaga kesehatan secara fisik
dan psikologis harus hadir secara utuh, karena tidak cukup hanya dengan
mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi saja tetapi juga
penting untuk mengetahui sikap, perhatian, dan penampilan dalam
berkomunikasi.
Seorang komunikator, tenaga kesehatan seharusnya memberikan
informasi secara jelas kepada pasien, pemberian informasi sangat
diperlukan karena komunikasi bermanfaat untuk memperbaiki
kurangnya pengetahuan dan sikap masyarakt yang salah terhadap

13
kesehatan dan penyakit. komunikasi dikatakan efektif jika dari tenaga
kesehatan mampu memberikan informasi secara jelas kepada pasien,
sehingga dalam penanganan selama kehamilan diharapkan tenaga
kesehatan bersikap ramah, dan sopan pada setiap kunjungan ibu hamil
(Notoatmodjo, 2007). Tenaga kesehatan juga harus mengevaluasi
pemahaman ibu tentang informasi yag diberikan dan juga memberikan
pesan kepada ibu hamil apabila terjadi efek samping yang tidak bisa
ditanggulagi sendiri segera datang kembali dan komunikasi ke tenaga
kesehatan (Mandriwati, 2008).
b. Sebagai motivator
Motivator adalah orang yang memberikan motivasi kepada orang
lain. Sementara motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak
agar mencapai suatu tujuan tertentu dan hasil dari dorongan tersebut
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dilakukan (Notoatmodjo,
2007). Menurut Saifuddin (2008) motivasi adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan,
keinginan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu.
Peran tenaga kesehatan sebagai motivasi tidak kalah penting dari
peran lainnya. Seorang tenaga kesehatan harus mampu memberikan
motivasi, arahan, dan bimbingan dalam meningkatkan kesadaran pihak
yang dimotivasi agar tumbuh kearah pencapaian tujuan yang diinginkan
(Mubarak, 2012). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya sebagai
motivator memiliki ciri-ciri yang perlu diketahui, yaitu melakukan
pendampingan, menyadarkan, dan mendorong kelompok untuk
mengenali masalah yang dihadapai, dan dapat mengembangkan
potendinya untuk memecahkan masalah tersebut (Novita, 2011).
Tenaga kesehatan sudah seharusnya memberikan dorongan kepada
ibu hamil untuk patuh dalam melakukan pemeriksaa kehamilan dan
menanyakan apakah ibu sudah memahami isi dari buku KIA. Tenaga
kesehatan juga harus mendengarkan keluhan yang disampaikan ibu
hamil dengan penuh minat, dan yang perlu diingat adalah semua ibu
hamil memerlukan dukungan moril selama kehamilannya sehingga

14
dorongan juga sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan
tumbuhnya motivasi (Notoatmodjo, 2007).
c. Sebagai Fasilitator
Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan
dalam menyediakan fasilitas bagi orang lain yang membutuhkan.
Tenaga Kesehatan dilengkapi dengan buku KIA dengan tujuan agar
mampu memberikan penyuluhan mengenai kesehatan ibu dan anak
(Putri, 2016). Tenaga kesehatan juga harus membantu klien untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal agar sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
Peran sebagai fasilitator dalam pemanfaatan buku KIA kepada ibu
hamil juga harus dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan pada setiap
kunjungan ke pusat kesehatan. fasilitator harus terampil
mengintegritaskan tiga hal penting yakni optimalisasi fasilitas, waktu
yang disediakan, dan optimalisasi partisipasi, sehingga pada saat
menjelang batas waktu yang sudah ditetapkan ibu hamil harus diberi
kesempatan agar siap melanjutkan cara menjaga kesehatan kehamilan
secara mandiri dengan keluarga (Novita, 2011).
Tenaga kesehatan harus mampu menjadi seorang pendamping
dalam suatu forum dan memberikan kesemapatan pada pasien untuk
bertanya mengenai penjelasan yang kurang dimengerti. menjadi seorang
fasilitator tidak hanya di waktu pertemuan atau proses penyuluhan saja.
tetapi seorang teanga kesehatan juga harus mampu menjadi seorang
fasilitator secara khusus, seperti menyediakan waktu dan tempat ketika
pasien ingin bertanya secara lebih mendalam dan tertutup (Simatupang,
2008).
d. Sebagai konselor
Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain
dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui
pemahaman tehadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-
perasaan klien (Depkes RI, 2008). Proses dari pemberian bantuan
tersebut disebut juga konseling. Tujuan umum dari pelaksanaan

15
konseling adalah membantu ibu hamil agar mencapai perkembangan
yang optimal dalam menentukan batasan-batasan potensi yang dimiliki,
sedangkan secara khusus konseling bertujuan untuk mengarahkan
perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat, membimbing ibu hamil
belajar membuat keputusan dan membimbingn ibu hamil mencegah
timbulnya masalah selama proses kehamilan (Simatupang, 2008).
Konselor yang baik harus memiliki sifat peduli dan mau
mengajarkan melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau
mendengarkan dengan sabar, optimis, terbuka terhadap pandangan
interaksi yang berbeda, tidak menghakimi, dan menyimpan rahasia,
mendorong pengambilan keputusan, memberikan dukungan,
membentuk dukungan atas dasar kepecayaan, mampu berkomunikasi,
mengerti perasaan dan kekhawatiran klien, serta mengerti keterbatasan
yang dimiliki oleh klien (Simatupang, 2008).
Konseling yang dilakukan antara tenaga kesehatan dan ibu hamil
memiliki beberapa unsur. Proses dari konseling terdiri dari empat unsur
kegiatan yaitu pembinaan hubungan baik antara tenaga kesehatan
dengan ibu hamil, penggalian informasi (identifikasi masalah,
kebutuhan, perasaan, kekuatan diri, dan sebagainya) dan pemberian
informasi mengenai kesehatan ibu dan anak, pengambilan keputusan
mengenai perencanaan persalinan, pemecahan masalah yang mungkin
nantinya akan dialami, serta perencanaan dalam menindak lanjuti
pertemuan yang telah dilakukan sebelumnya (Depkes RI, 2008).

16
BAB III
TINJAUAN KASUS

Berharap besar terhadap pertolongan bidan, tetapi tidak terjadi. Sa dan Sae adalah
suami istri, penduduk Kampung Cikotak, Desa Cibeureum, Kabupaten Serang,
Banten. Keluarga tersebut tinggal di perbukitan Padarincang. Sae sedang hamil
anak keempat, merasakan tanda-tanda akan melahirkan pada tanggal 15 Juni 2018
pukul 23.00 WIB. Esok hari, adalah Hari Raya Idul Fitri. Sae tidak dibawa ke bidan
atau ke puskesmas terdekat ketika tandatanda persalinan awal mulai dirasakan. Satu
jam kemudian, Sae melahirkan. Kelahiran tersebut membuat Sa panik, sehingga
memanggil paraji (dukun beranak) untuk menolong istri dan bayi yang baru
dilahirkannya. Sae mengalami perdarahan. Paraji meminta Sa mendatangkan bidan
desa, untuk membantu menghentikan perdarahan yang dialami Sae. Dukun beranak
tersebut tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi. Sa segera pergi ke bidan
terdekat. Sa pergi tanpa membawa serta Sae. Kondisi geografis tempat tinggal Sae,
menjadi hambatan untuk datang ke bidan atau puskesmas terdekat. Kondisi Sae
yang masih sadar, menyebabkan semua orang di rumah tersebut yakin bahwa
keadaan akan baik-baik saja. Bidan terdekat yang bisa didatangi oleh Sa adalah US.
Perempuan tersebut menerima kedatangan Sa pada tanggal 16 Juni 2018 pukul
01.30 WIB. US adalah bidan Puskesmas Padarincang, yang membuka praktek
mandiri di rumahnya, di desa Padarincang. US bukan bidan desa setempat, karena
pertimbangan profesi dan jarak, maka sangat masuk akal Sa minta pertolongan
kepadanya. Kedatangan suami Sae dini hari, bermaksud mengajak bidan US datang
ke rumahnya menolong Sae yang mengalami perdarahan. Maksud dan tujuan
kedatangan Sa, segera dipahami dengan baik oleh bidan US. Keinginan Sa untuk
mengajak bidan US ke rumahnya, tidak berhasil. Bidan US memutuskan untuk
tidak mendatangi Sae-ibu yang mengalami perdarahan pasca salin. Alasan yang
diberikan adalah: kasus perdarahan yang terjadi (berdasarkan cerita Sa)
memerlukan penatalaksanaan oleh dokter ahli. US menyarankan agar Sae dibawa
ke puskesmas di Cacaban. Sa mengikuti saran US, untuk mencari pertolongan ke
Puskesmas Padarincang. Menurut pengakuan Sa, tidak ada seorang petugas pun
yang piket pada dini hari lebaran tersebut. Sa kemudian pulang ke rumahnya. Sa

17
pulang tanpa disertai bidan yang diharapkan dapat menolong istrinya. Kondisi
Saenah semakin memburuk, dan akhirnya Sae meninggal dunia. Tiga jam lamanya
Sae bertahan dalam kondisi perdarahan, tanpa mendapatkan pertolongan
profesional. Proses kematian Sae menjadi bahan pembicaraan oleh warga.
Wartawan koran online datang, mengunjungi Sa kemudian menuliskan kisah
tersebut. Bidan US dan pihak Puskesmas Padarincang merasa perlu melakukan
klarifikasi terhadap informasi yang beredar. Satu hari setelah berita kematian Sae
tayang di koran online, Bidan US menulis surat terbuka sebagai klarifikasi peristiwa
tersebut. Para petugas Puskesmas Padarincangselaku penanggungjawab pelayanan
kesehatan dasar di wilayah tersebut, mengunjungi Sa untuk menjelaskan bahwa
kematian Sae seharusnya tidak terjadi jika ibu tersebut bersalin di fasilitas
kesehatan.
Kasus ini bersumber pada: detikNews, Senin 25 Juni 2018, 12:09 WIB; Reza
Gunadha, Suara. com;Senin, 25 Juni 2018 | 20:12 WIB;BantenNews. co.id- Senin,
25 Juni 2018 | 15:02;BantenNews. co.id -Selasa, 26 Juni 2018 | 14:05
Kasus ini sangat kental dengan tindakan tidak manusiawi. Ketidakhadiran bidan
ketika Sae mengalami perdarahan pasca salin adalah tindakan tidak manusiawi.
“Bu, saya minta tolong, istri saya sudah melahirkan, bayi sudah di luar, keadaan
kritis. Ibu mau saya bawa ke rumah. Kata dia nggak bisa. Alasannya nggak pernah
dipanggil, nggak pernah dibawa (ke warga). Itu mah bawa saja ke Cacaban
(puskesmas). Di sana peralatannya cukup. Dokter ada,” kata Sa
…(BantenNews.co.id: Tak Dapat Pelayanan Medis, Ibu Hamil Asal Padarincang
Meninggal pada Malam Lebaran) US, bidan di Desa Padarincang membantah
menolak memberi pelayanan kepada Sae, ibu hamil asal Desa
Cibeureum,…Melalui surat yang dikirimkan ke Banten News.co.id, US
menyampaikan saat itu kondisi yang disampaikan oleh Sa (suami Sae) adalah kasus
patologis yang harus ditangani dokter ahli.. …(BantenNews.co.id: Bidan di
Padarincang Bantah Tolak Ibu Hamil Hingga Meninggal) Sae mengalami
persalinan dan perdarahan pasca salin tanpa mendapatkan pertolongan profesional.
Sa bercerita, pada Jumat (15/6) pukul 23.00 WIB, istrinya mengalami kontraksi.
Sejam kemudian bayinya langsung keluar. Ia panik mencari dukun beranak. Begitu
tiba, si dukun rupanya tidak sanggup dan menyarankan minta pertolongan bidan

18
karena sudah terjadi pendarahan.. (-detikNews: Pilu Warga Banten Kehilangan Istri
yang Melahirkan di Malam Lebaran) “Itu mah bawa saja ke Cacaban (puskesmas).
Di sana peralatannya cukup. Dokter ada,” kata Sa … (BantenNews.co.id: Tak Dapat
Pelayanan Medis, Ibu Hamil Asal Padarincang Meninggal pada Malam Lebaran)

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini, kami akan membahas antara kasus yang didapatkan dengan
teori. Masyarakat mungkin tidak mengetahui secara jelas risiko yang akan terjadi.
Pada kasus menunjukkan ada kepercayaan terhadap bidan dan menunjukkan ada
kepercayaan dukun dan suami klien terhadap kemampuan serta kemauan bidan
untuk mengatasi perdarahan setelah melahirkan. Dukun dan suami klien yakin
bahwa dalam kondisi perdarahan, bidan akan datang untuk memberikan
pertolongan. Dukun dan suami klien tidak memahami risiko yang mungkin terjadi,
sehingga tidak langsung mencari pertolongan ke puskesmas terdekat saat persalinan
dimulai. Kepercayaan terhadap bidan, bukan isu yang menyingung rasa
kemanusiaan. Sikap percaya dapat memicu terjadi tindakan diluar kewenangan
yang menyebabkan persoalan kemanusiaan.
Pada kasus ini, bidan memilih untuk membiarkan klien dalam keadaan
perdarahan karena merasa kasus tersebut lebih sesuai ditatalaksana oleh dokter ahli.
Dalam kasus tersebut menunjukkan klien berasal dari keluarga miskin yang tinggal
di daerah perbukitan. Kemiskinan dan keterpencilan erat kaitannya dengan
maternal health literacy yang rendah dan isu kemanusiaan. Kepedulian masyarakat
terhadap perempuan, mempengaruhi kualitas kehidupan mereka. Keengganan
perempuan menyuarakan perlakuan yang mereka terima ketika berurusan dengan
tenaga kesehatan, menyebabkan kasus-kasus kemanusiaan tidak terungkap dan
terjadi berulang dengan pola yang serupa.
Kasus ini menunjukkan masyarakat dan keluarga berani menyuarakan
persoalan yang mereka hadapi dalam pelayanan kesehatan maternal. Kasus ini
membuktikan, masyarakat perlu diberi pemahaman yang tepat tentang masalah
kesehatan maternal yang terjadi sehingga dapat menjadi agent yang menyuarakan
kepentingan pelayanan manusiawi bagi perempuan. Suami klien menceritakan
kronologi kejadian yang dialami istrinya. Kejadian kematian yang tidak wajar atau
berkaitan dengan perkara pelayanan kesehatan dapat menjadi perhatian publik.
Suami klien mengetahui bahwa perdarahan dapat membahayakan keselamatan

20
istrinya, sehingga diperlukan kehadiran bidan sebagai profesi spesialistik untuk
kehamilan dan persalinan yang terdekat saat itu.
Hubungan bidan dengan ibu tidak hanya sebatas isu klinis. Bidan adalah
perempuan yang bekerja dalam lingkup sosial perempuan. Kedekatan bidan dengan
klien telah dibentuk akan memunculkan hubungan pertemanan (friendship) sesama
perempuan. Situasi ini sebenarnya menjadi modal utama bagi bidan, untuk
melakukan pendekatan pelayanan kesehatan maternal berbasis hak asasi dan
kemanusiaan melibatkan masyarakat. Isu-isu kemanusiaan dalam pelayanan
kesehatan maternal yang mudah dipahami perlu diinformasikan terus menerus
secara berulang, untuk menimbulkan reaksi spontan dari masyarakat untuk
melindungi hak perempuan. Praktik-praktik yang mengabaikan keselamatan teman
(klien) atas pertimbangan keuntungan pribadi, pelanggaran etika profesi, tindakan
diluar kewenangan, perlu menjadi bahan diskusi dalam pertemuan rutin bidan.
Jajaran pimpinan organisasi profesi bidan harus dapat mengabaikan kekhawatiran
hilangnya keharmonisan hubungan diantara mereka akibat pembahasan tentang
pelanggaran hak asasi dan kemanusiaan yang dilakukan oleh salah satu anggota.
Pembahasan tentang pelayanan yang lebih manusiawi perlu diutamakan
dibandingkan isu klinis dan prosedural. Audit maternal seharusnya menyertakan
pembahasan isu kemanusiaan dan hak asasi dalam kejadian kesakitan dan kematian
ibu. Sisi kemanusiaan yang terabaikan akibat perilaku bidan pada suatu kasus
morbiditas dan mortalitas perlu diungkap untuk mendapatkan gambaran utuh suatu
kejadian, tidak hanya berdasar aspek prosedural. Organisasi profesi perlu secara
bersama-sama dan terus-menerus membuat kesepakatan bersama tentang
pelayanan kesehatan ibu yang manusiawi. Isu-isu sosial dan dukungan masyarakat
terhadap perempuan hamil perlu menjadi bahan diskusi dalam kegiatan pendidikan
bidan berkelanjutan. Fokus utama kegiatan pendidikan bidan berkelanjutan tidak
hanya tentang standar pelayanan, kompetensi, dan prosedur, melainkan tentang
menerapkan konsep kemanusiaan dan hak asasi dalam praktik sehari-hari.
Diskusi kelompok kecil bidan tentang pelayanan kebidanan berbasis
kemanusiaan, dapat memanfaatkan kasus-kasus malpraktik bidan yang dimuat di
media online. Bidan perlu belajar dari kasus-kasus tersebut, agar dapat memilih
informasi yang tepat untuk membangkitkan rasa kemanusiaan masyarakat terhadap

21
perempuan. Dukungan masyarakat dan keluarga terhadap perempuan adalah modal
positif untuk membentuk pelayanan kesehatan maternal yang lebih manusiawi.
Pembahasan tentang isu etikolegal, situasi sosial yang melatarbelakangi kejadian
pelanggaran kemanusiaan, serta membentuk dukungan masyarakat terhadap ibu
hamil di lingkungan mereka sebaiknya dilakukan oleh bidan bersama ahli kesehatan
masyarakat dan ahli ilmu sosial. Kajian kasus rutin dalam organisasi profesi
melibatkan ahli-ahli dari displin ilmu lain, dapat membuka wawasan tentang
kehidupan sosial perempuan.

22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Bidan merupakan tenaga terlatih yang telah menyelesaikan Pendidikan.
Dalam menjalankan pelayanan kebidanan diatur dalam standar pelayanan yang
berlaku. Bidan memiliki peran dan tanggungjawab yang besar dalam
mengurangi angka kematian ibu akibat perdarahan postpartum. Hal tersebut
dicantumkan pada standar pelayanan kebidanan 21 mengenai Penanganan
Perdarahan Post Partum Primer. Bidan mampu mengenali perdarahan yang
berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan dan segera melakukan
pertolongan pertama kegawat daruratan untuk mengendalikan perdarahan.
Berdasarkan kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwabidan tersebut tidak
menjalankan standar pelayanan yang berlaku. Bidan tersebut seharusnya
mempertanggungjawabkannya karena telah membiarkan ibu tersebut
mengalami perdarahan dan membiarkan. Audit maternal seharusnya
menyertakan pembahasan isu kemanusiaan dan hak asasi dalam kejadian
kesakitan dan kematian ibu.
Sisi kemanusiaan yang terabaikan akibat perilaku bidan pada suatu kasus
morbiditas dan mortalitas perlu diungkap untuk mendapatkan gambaran utuh
suatu kejadian, tidak hanya berdasar aspek prosedural. Organisasi profesi perlu
secara bersama-sama dan terus-menerus membuat kesepakatan bersama
tentang pelayanan kesehatan ibu yang manusiawi.
5.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi
sebaiknya lebih mementingkan keselamatan pasien dan melakukan tanggung
jawabnya sebagai seorang bidan sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku
untuk mengurangi kejadian kematian pada ibu akibat perdarahan postpartum
serta menerpakan sikap kemanusiaan yang tinggi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Sari, Rury Narulita. 2012. Konsep Kebidanan. Yogyakarta : Graha Ilmu Muzaham,
2007. Memperkenalkan sosiologi kesehatan. p 93-176 Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia UI Press. Sarwono, 2010
Nazriah, 2009. Konsep Dasar Kebidanan, Banda Aceh : Yayasan Pena.Miles &
Huberman, 2016
A Potter, & Perry, A. G. 2007. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,.
Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, 2007
Mandriwati, G.A. 2008. Penuntun Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Jakarta:
ECG.

24

Anda mungkin juga menyukai