Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
“KUSTA”

DISUSUN OLEH :
NAMA : ANDI RISAL SOLO
NIM : PO5303203200705
KELAS : TINGKAT 2B
MATAKULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I
DOSEN PEMBIMBING : INEKE NOVIANA, S.Tr.Kep.,M.Tr.Kep

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN WAINGAPU
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan
perlindungannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul (Asuhan
Keperawatan Pada Penyakit Kusta) ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Kusta bagi pembaca
maupun penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen Ineke Noviana, S.Tr.Kep.,M.Tr.Kep
Selaku Dosen Peminging yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan ilmunya dalam pembuatan
makalah ini. Sehingga, makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terliat dalam pembuatan
makalah in sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Saya menyadari, makalah yang saya buat ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Waingapu, 18 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL...............................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.2 Tujuan.............................................................................................................4
1.3 Manfaat...........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN TEORI
1.1 Pengertian.......................................................................................................5
1.2 Etiologi...........................................................................................................5
1.3 Tanda dan Gejala............................................................................................5
1.4 Patofisiologi....................................................................................................7
1.5 Pathway..........................................................................................................8
1.6 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................9
1.7 Penatalaksanaan Medis.................................................................................10
1.8 Pendidikan Kesehatan...................................................................................10
BAB III KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1.1 Pengkajian....................................................................................................11
1.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................................12
1.3 Intervensi......................................................................................................12
1.4 Implementasi................................................................................................14
1.5 Evaluasi........................................................................................................14
BAB IV PENUTUP
1.1 Kesimpulan...................................................................................................15
1.2 Saran.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta.Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan
dunia ,seperti India,dan Vietnam.Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir
1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri
penyebab lepra sertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal
ini terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun
mampu ditangani kembali. Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul
“Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita
selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana
pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.
c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.
d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.
g. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.
3. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Mahasiswa dapat memahami dan mengerti masalah keperawatan dan menerapkan asuhan
keperawatan keluarga dengan kasus kusta
2. Bagi keluaraga
Menambah pengetahuan dan informasi keluarga tentang penyakit kusta se- hingga
diharapkan dapat meningkatkan kesehatan untuk memantau dan me meriksa dan
memelihara kesehatannya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

1.1 Pengertian Kusta

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang

saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik,

dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer

sebagai afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat

ke organ lain kecualli susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi, 2010)Kusta atau Lepra (sering

disebut penyakit Hansen) adalah infeksi kronis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,

terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis),

bila tidak ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan

mata. (Akhsin Zulkoni, 2010)

1.2 ETIOLOGI

M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang

saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan sumsum

tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya

antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta

yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini

bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya

ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang

bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan

infeksi sistemik pada binatang Armadillo.


1.3 EPIDEMIOLOGI

            Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui

saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai

permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu.

Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.

            Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal

ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan

tubuh, sosial ekonomi dan iklim.

            Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien tipe MB

(multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur.

            Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%

akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanisfestasi klinis

menjadi determinate dan 70% sembuh. 

Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab. Insidens penyakit kusta

di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.

            Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.

Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok

anak umur 10-12 tahun.

1.4 PATOGENESIS

            Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,

tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada

kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem

imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi.

Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M.

Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral


dengan vaskularisasiyang sedikit. M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat

pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf,

bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel

mn, histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan

kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah

kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu

membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa

epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

            Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada

tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada

intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

1.5 MANIFESTASI KLINIS

            Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut

WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut.

Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel,

biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi

dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama

saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan

saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan

tanda kusta.

BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan

sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

1.6 KLASIFIKASI

            Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Joping adalah tipe TT (tuberkoloid), BT (borderkine

tuberkoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa).

Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi tipe

menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan membagi klasifikasi kusta

berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi

1.TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan

kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar

bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi

kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah

1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran

khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah

dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + )

pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah

sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan

mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL


1.7 PEMERIKSAAN KLINIS

inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa

untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh diperhatikan seperti

adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan

rambut tubuh (alopesia dan madarosis).

Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum

pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa

suhu). Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. Auricularis, n. Ulnaris, n.

Radialis, n. Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasis pemeriksaan yang perlu

dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. perhatikan raut

muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.

Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi

akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.

1.8 GAMBARAN KLINIS

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1.      Tipe Tuberkoloid ( TT )

·         Mengenai kulit dan saraf.

·         Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,

kontrol healing ( + ).

·         Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau

tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa

gatal.

·         Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun

pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.


2.      Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

·         Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

·         Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

·         Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

·         Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3.      Tipe Mid Borderline ( BB )

·         Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

·         Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

·         Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,

cenderung simetris.

·         Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

·         Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah

dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4.      Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,

beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada

tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5.      Tipe Lepromatosa ( LL )

·         Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak

tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

·         Distribusi lesi khas :

o        Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

o        Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

·         Stadium lanjutan :
o        Penebalan kulit progresif

o        Cuping telinga menebal

o        Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai

madarosis, intis dan keratitis.

·         Lebih lanjut

o        Deformitas hidung

o        Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

o        Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

o        Penyakit progresif, makula dan popul baru.

o        Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

·         Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi

dan pengecilan tangan dan kaki.

6.      Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

·         Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

·         Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

·         Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

·         Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

·         Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

·         Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

·         Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

·         Lidah : ulkus, nodus

·         Larings : suara parau

·         Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi


·         Kelenjar limfe : limfadenitis

·         Rambut : alopesia, madarosis

·         Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

1.9 PENATALAKSANAAN

            Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama

tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

            Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS

dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin

meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi

persistensi kuman kusta dalam jaringan.

            Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai

berikut:

1. Tipe B

Jenis obat dan dosis untuk dewasa :

 rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

 DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

 Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis

dinyatakan RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara

klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi

menggunakan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi dalam

pengawasan.

2. Tipe MB

Jenis obat :

 rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.


 klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50

mg/hari diminum dirumah.

 DSS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24

dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri

positif. Menurut WHO (1998) pengobatan  MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan

dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak

- klofazimin :     umur dibawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan

                                                                 Harian 50 mg/2 kali/minggu

                        Umur 11-14 tahun             bulanan 100 mg/bulan

                                                                 Harian 50 mg/3 kali/minggu

- DDS                                                       1-2 mg/kg berat badan

- rifampisin                                                10-15 mg/kg berat badan

Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe PB

dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg,

dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedanngkan untuk tipe PB dengan

2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan di

anjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka

dinyatakan DO< sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat

sebanyak 12 dosis dari yang seharusnya.


1.10 Evaluasi

Evaluasi pengobatan menurut buku panduan pemberantasan penyakit kusta depkes (1999)

adalah sebagai berikut :

pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan

dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. pasien MB yang telah

mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa

diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance)

dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.

1. masa pengamatan

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :

 Tipe PB selama 2 tahun

 Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

 hilang/out of control (OOC)

 pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak

mengambil obat dan dikeluarkan dari registrasi pasien.

 relaps (kambuh)

 terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

2. INDIKASI RUJUKAN

memastikan diagnosis penyakit kusta

 neuritis akut dan sebakut

 reaksi reversal berat


 reaksi ENL berat

 komplikasi pada mata

 reaksi terhadap antikusta

 tersangka resisten terhadap antikusta

 pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik

 pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat

 pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi

 pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi

 luka lebar dan dalam pada anggota gerak

 pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septik

 pasien yang memerlukan protese

 indikasi sosial

1.11 KOMPLIKASI

            Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat kerusakan

fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta 

1. Reaksi kusta

            Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis

penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-

antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.

            Reaksi ini dapat  terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan

dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai

pengobatan.

2. Jenis reaksi

 reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline)


Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan seluler

secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor

pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada

saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).

 reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)

Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil

kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan

komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen,

antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit

berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata

(iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti

demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-hal yang

mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, menstruasi,

hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria) dan

stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang

timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

1.12 PENATALAKSANAAN

obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai

anti implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Klorokuin         3x150 mg/hari

Prednison         30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga

diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10
mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal. Untuk melepas ketergantungan pada

kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid. Dosis talidomid 400 mg/hari yang

berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur

karena talidomid bersifat teratogenik.

Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada

perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat

ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan dosis

diturunkan.

Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya

diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan

kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka

dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi

1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula,

yaitu 50 mg/hari.

Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin

masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan

sebagai antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan

sebagai analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa

nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang

digunakan sebagai berikut.

Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Parasetamol      300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6 x sehari (dewasa)

Antimon           2-3 ml diberikan secara selangn seling, maksimum 30 ml


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA

1.1 PENGKAJIAN

 Dasar data pengkajian klien

·         aktivitas atau istirhat

1.      gejala :malaise

·         sirkulasi

tanda : td normal/sedikit dari jangkauan normal ( selama curah jantung tetap

meningkat ),

·         eliminasi

1.      gejala : diare

·         makanan/cairan

1.      gejala : anoreksia, mual/muntah

2.      tanda : penurunan BB, penurunan lemak subkutan/massa otot ( malnutrisi ),

pengeluaran haluaran, konsentrasi urine, perkembangan ke arah oliguri, anuria

·         neurosensori

1.      gejala : sakit kepala, pusing, pinsang

2.      tanda : gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma

o        nyeri/kenyamanan

1.      gejala : kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit,

urtikaria/pruritas umum
·         pernapasan

1.      tanda : takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan, suhu : umunya

meningkat ( 37.95 oc atau lebih ), tetapi kadang sub normal ( <>

 seksualitas

1.      gejala : pruritas perineal

2.      tanda : maserasi vulva, pengeringan vgina purulen

 penyuluhan/pembelajaran

1.      gejala : masalah kesehatan kronis/melemahkan, misalnya : hati, ginjal, DM,

kecanduan alkohol, penggunaan anti biotik ( baru saja atau jangka panjang )

1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu

2.      Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi

3.      Gangguan aktivitas b/d post amputasi

4.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan

subkutan.

5.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit

1.3 INTERVENSI

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu

Tujuan :

Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :

·         Klien dapat menerima perubahan dirinya

·         Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)

·         Klien tidak merasa malu

Intervensi :

·         Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa

perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.


·         Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan

dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

·         Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan

kriteria hasil :

·         Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi

·         Klien tenang

·         Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :

1.      Kaji skala nyeri klien

2.      Alihkan perhatian klien terhadap nyeri

3.      Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital

4.      Awasi keadaan luka operasi

5.      Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri

6.      Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi

Tujuan :

Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan

dengan kriteria hasil :

·         Klien dapat beraktivitas mandiri

·         Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi :

1.      Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri

2.      mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi


3.      Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan

subkutan

Tujuan:

Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di kulit sehingga tidak mempengaruhi konsep diri

dengan kriteria hasil :

1.      klien mampu beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya

2.      klien tidak lagi merasa malu karena luka/lesi yang ada

3.      klien mampu mengetahui bahwa lesi harus selalu dirawat agar tidak bertambah parah

Intervensi :

·         kaji/catat ukuran, warna, dan kedalaman luka

·         gunakan krim kulit 2xsehari setelah mandi

·         pijat kulit dengan lembut untuk memperbaiki sirkulasi kulit

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit

Tujuan :

Klien mengetahui dengan keadaan sekarang maka sangat rentan terhadap berbagai macam

bakteri dan virus yang akan masuk kedalam tubuh sehingga klien akan lebih berhati-hati dan

juga merawat diri. Dengan kriteria hasil :

1. tidak ada bakteri/virus lain yang ada dalam tubuh klien

Intervensi :

·         cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung

tangan seteril

·         pantau adanya tanda-tanda infeksi

·         gunakan selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat


BAB IV
KESIMPULAN

1.1Kesimpulan
a. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
b. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
c. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon
imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon
imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
e. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas.
f. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta
yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-
faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran
sosial dan lingkungan.
g. Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer,
sekunder dan tersier.
h. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah
melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, kemudian
memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.
1.2Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu
program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai  penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama
tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan
tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk
mempermudahpengobatanya. Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong
tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif

DAFTAR PUSTAKA

·        Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia : Jakarta.

·        Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :

Jakarta.

Carpenito, L. J. 1999. Renca


na Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah
Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.

Anda mungkin juga menyukai