Anda di halaman 1dari 34

KEBIJAKAN TATA KELOLA DAN KONSENSUS

PENATALAKSANAAN PENYAKIT KUSTA

PENYAKIT GLOBAL

MAKALAH

Oleh
Kelompok 13

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
HALAMAN JUDUL
KEBIJAKAN TATA KELOLA DAN KONSENSUS
PENATALAKSANAAN PENYAKIT KUSTA

PENYAKIT GLOBAL

MAKALAH
disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Penyakit Global dengan
dosen pengampu Ns. Murtaqib, M.Kep

Oleh
Kelompok 13
Kelas F
Inka Mawardi Putri NIM 152310101059
Kresna Ade Saputra NIM 152310101071
Selvia Anggun Fitriana NIM 152310101076
Zumrotul Farikhah NIM 152310101142
Alfia Andriyani NIM 152310101151

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
i
PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Kebijakan tata kelola dan Konsensus Penyakit Kusta dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari semua pihak yang terlibat. Kami ucapkan terima kasih kepada :

1. Ns.Lantin Sulistyorini, S.Kep.,M.Kes. selaku ketua program studi Ilmu


Keperawatan Universitas Jember,
2. Ns. Murtaqib, M.Kep selaku dosen pengampu mata kuliah Penyakit Global
yang selalu memberikan masukan dalam penulisan makalah ini.
3. teman-teman yang selalu memberikan dukungan pada saat penulisan makalah,
dan
4. semua pihak yang memberikan bantuan dalam penyelesaian makalah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang bersifat
membangun. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
dan tambahan bagi kami khususnya dan juga pembaca. Demikian makalah
Kebijakan tata kelola dan Konsensus Penyakit Kusta ini disusun, jika ada
kekurangan dalam makalah ini kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Jember, 09 Maret 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. I


PRAKATA .................................................................................................. II
DAFTAR ISI .............................................................................................. III
BAB 1. PENDAHULUAN .. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
1.1 Latar Belakang .................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Tujuan .................................. Error! Bookmark not defined.
BAB 2. TUJUAN PUSTAKA ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
2.1 Definisi Penyakit Kusta ...... Error! Bookmark not defined.
2.2 Penyebab Penyakit Kusta .. Error! Bookmark not defined.
2.3 Karakteristik Penyakit Kusta .............................................. 4
2.4 Beban dan Pengukuran Penyakit Kusta Error! Bookmark not defined.
2.5 Kebijakan Penanganan, tatalaksana, pencegahan dan
pengendalian Penyakit ........................................................... 9
2.6 Masalah Etik dalam Penanganan Penyakit............................ 25
BAB 3. PENUTUP ..................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan ............................ Error! Bookmark not defined.
3.2 Saran ...................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 29

iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Leprae yang menyerang saraf dan kulit. Kuman ini menular kepada manusia
melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernafasan. Saraf perifer
sebagai target pertama bakteri tersebut, lalu kulit dan saluran pernafasan bagian
atas, kemudian dapat menjalar ke organ lain kecuai susunan saraf pusat. Bila tidak
segera ditangani, kusta sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-
saraf, anggota gerak, mata, bahkan mengakibatkan kecacatan keadaaan abnormal
dari fisik dan fungsi tubuh (Kemenkes RI, 2015).

Menurut WHO, prevalensi kusta secara global menurun dari >5.000.000


kasus di pertengahan 1980-an menjadi <200.000 kasus pada tahun 2015.
Prevalensi kusta secara global di tiap daerah WHO (Afrika, Amerika, Wilayah
timur Mediterania, Asia Tenggara, dan Wilayah pasifik barat) tercatat mengalami
penurunan. Pada tahun 2014, prevalensi sebesar 0,32 per 10.000 penduduk,
sedangkan pada tahun 2015 sebesar 0,31 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2013,
WHO menerima laporan kasus kusta terbaru dari 121 negara yaitu sebanyak
215.656 kasus dan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 213.899
kasus. kasus baru yang dideteksi tingkat global yaitu 3,78 per 100.000 penduduk
(WHO, 2015).

Penyakit kusta atau dalam istilah lain disebut Leprae merupakan salah satu
penyakit global (mendunia) termasuk juga berkembang pesat di Indonesia. World
Health Organization (WHO, 2015) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga
terbesar ketiga di dunia soal jumlah penderita kusta setelah India dan Brazil. Pada
tahun 2014, ada 125.785 kasus kusta terbaru di India, 31.064 di Brazil, dan
peringkat ketiga yaitu Indonesia yaitu berjumlah 17.025 kasus terbaru. Data
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berkontribusi besar terhadap pertumbuhan
kasus baru penyakit kusta secara global. Indonesia menyumbang 81% dari kasus
kusta terbaru secara global. Meskipun semakin bertambah tahun, jumlah kasus
penyakit kusta secara global mengalami penurunan, tetapi di Indonesia harus lebih

1
ditekankan lagi bagaimana kebijakan, cara penanggulangan kusta dan
pencegahannya, misalnya dilakukan dengan cara deteksi dini (untuk mencegah
cacat dan mengurangi penularan), meningkatkan manajemen pasien, dan
memobilisasi masyarakat (komunitas) untuk 5 tahun kedepannya (WHO, 2015).
Cara tersebut dilakukan agar jumlah penyakit kusta di Indonesia mengalami
penurunan dan akan memberikan dampak positif juga terhadap jumlah dan
sitribusi penyakit kusta secara global. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
kebijakan dan tata laksana pengendalian penyakit kusta akan dibahas dalam
makalah ini.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum penulisan makalah :

1. mahasiswa mampu menjelaskan kebijakan, tata kelola dan konsensus


penatalaksanaan penyakit kusta.
1.2.2 Tujuan khusus penulisan makalah :
1. mahasiswa mengetahui definisi, penyebab dan karakteristik penyakit
kusta;
2. mahasiswa dapat menjelaskan beban penyakit dan pengukuran penyakit
kusta;
3. mahasiswa dapat menjelaskan kebijakan penanganan, tatalaksana,
pencegahan dan pengendalian penyakit kusta;
4. mahasiswa dapat menjelaskan masalah etik dalam penanganan penyakit
kusta.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni khustha berarti


kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Sedangkan menurut WHO (2005)
penyakit kusta merupakan salah satu penyakit kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan di dunia, khususnya di negara berkembang. Penyakit kusta merupakan
penyakit yang menular yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium
Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan lainnya, yang kemudian
menyerang kulit, mukosa, saluran pernafasan, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang, dan testis. Pada awalnya orang yang terserang penyakit kusta tidak
menimbulkan gejala apapun, namun sebagian ada yang menimbulkan gejala
seperti cacat pada tangan dan kaki (Amirudin, 2012). Kebanyakan masyarakat
menganggap penyakit kusta adalah penyakit menular, kutukan dan penderita harus
dasingkan. Anggapan masyarakat yang demikian itu menyebabkan penderita takut
untuk keluar rumah, bahkan untuk berobatpun harus sembunyi-sembunyi.
Penyakit ini sering menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya keamanan
dan ketahanan nasional. Penyakit kusta ni diduga dari Afrika Serikat yang
kemudian menyebar luas diseluruh dunia (Widoyono,2008).

2.2 Penyebab Penyakit Kusta

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium Leprae. Bakteri


ini tumbuh pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan,
wajah, kaki, dan lutut. Microbacterium ini termasuk bakteri yang hanya dapat
tumbuh berkembang di dalam beberapa sel manusia dan hewan tertentu. Cara
penularan bakteri ini adalah melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar
ke udara ketika penderita batuk atau bersin (Andani dkk., 2016).

Kelompok yang memiliki risiko tinggi terkena kusta ialah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lan
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun, dan pria cenderung dua kali lebih

3
tinggi risiko terkena kusta dibandingkan wanita. Selain penyebab utamanya (M.
Leprae) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang tertular penyakit
kusta. Berikut merupakan beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang
tertular penyakit kusta:

1. Melakukan kontak fisik dengan hewan penyebar bakteri kusta tanpa


menggunakan APD (sarung tangan).
2. Melakukan kontak fisik secara rutin dengan penderita kusta
3. Bertempat tinggal di kawasan endemik kusta
4. Menderita cacat genetik pada sistem kekebalan tubuh.
5. Kurang menjaga personal hygiene, personal hygiene itu sendiri dapat
mempengaruhi tingkat keparahan pada penderita kusta itu sendiri.

2.3 Karakteristik Penyakit Kusta

Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk


leproma (kusta tipe Multi Bacillaryz), kusta ini mempunyai kelainan kulit yang
tersebar secara simetris pada tubuh, terdapat bercak putih kemerahan yang
tersebar satu-satu atau mereta diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan
pembekakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, bersifat menular
karena mengandung banyak kuman.

Sedangkan bentuk tuber koloid (kusta tipe Pausi Bacillary) disebut kusta
kering yang ditandai dengan bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau
merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh
rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat, mempunyai kelainan pada
sistem syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh, namun bentuk ini tidak
menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman.

Seseorang yang sudah terkena kusta akan mengalami beberapa tanda dan
gejala, berikut merupakan tanda dan gejala seseorang yang terkena penyakit kusta
:

a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan / tubuh manusia

4
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak
c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja
sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat
d. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit
e. Alis rambut rontok
f. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa)

Gejala-gejala yang ditimbulkan pada lepra, reaksi :

a. Panas dari derajat yang rendah sampai menggigil.


b. Anoreksia
c. Nausea, kadang-kadang dsertai vomitus
d. Cephalgia
e. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
f. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali
g. Neuritis

2.4 Beban Penyakit dan Pengukuran Penyakit Kusta

Beban Penyakit adalah adaah dampak keseluruhan dari penyakit dan


cedera pada tingkat individu, di tingkat masyarakat, atau untuk biaya ekonomi
dari penyakit. Setiap kejadian penyakit (menular maupun tidak menular) akan
menyebabkan beban penyakit bagi komunitas. Beban penyakit dapat diidentikkan
dengan biaya, waktu, dan tenaga yang hilang akibat kejadian yang berhubungan
dengan kesehatan (Heryana, 2017).

Beban penyakit dapat digambarkan dengan menggunakan ukuran sebagai


berikut :

1. Biaya: cost of illness atau biaya medis, biaya ekonomis, biaya psikososial;
salah satu gambaran beban penyakit yaitu terkait dengan biaya ekonomi dan biaya
5
medis, biasanya penderita penyakit kusta harus berobat dalam waktu yang lama
untuk mematikan bakteri yang ada di dalam tubuh penderita kusta sehingga pasien
kusta membutuhkan biaya yang besar untuk membeli obat dan untuk proses
penyembuhannya. Jadi, hal itu merupakan salah satu beban penyakit kusta.

2. Waktu: DALY, QALY, HeaLY, disability day;

Global Burden Disease (GBD) atau beban penyakit secara global dikenalkan oleh
WHO sejak tahun 1996. Global Burden Disease (GBD) berfungsi untuk
mengkuantifikasi beban akibat kematian dini (prematur mortality) dan disabilitas
(disability) bagi penyakit-penyakit utama atau kelompok penyakit. Konsep GBD
menggunakan ukuran sederhana kesehatan populasi yang disebut DALYs
(Disability-Adjusted Life Years). DALY mengkombinasikan Years Life Lost
(YLL) dan YLD (Years Live with Diability). Kesehatan suatu populasi secara
ringkas dapat diukur dengan mengkombinasikan data mortalitas dan indikator
kesehatan non-fatal, menjadi satu angka. Angka tersebut bisa dalam bentuk
DALY, atau QALY (Quality-Adjusted Life Year), DALE (Disability-Adjusted Life
Expectancy), dan HeaLY (Healthy Life Year). Masing-masing ukuran tersebut ada
kelemahan dan kelebihan. DALY merupakan ukuran yang paling banyak
digunakan.

Beban Penyakit merupakan ukuran kesenjangan kesehatan, yang


menggabungkan informasi tentang : dampak kematian dini, dan kecacatan dan
hasil kesehatan non-fatal lainnya. Juga statistik inovatif tahun hidup yang hilang
(YLL), indikator yang menunjukkan kerugian dari kematian dini, berdasarkan
kematian dini dinilai terhadap harapan hidup rata-rata di populasi negara maju.
Dengan demikian beban penyakit adalah pengukuran kesenjangan antara status
kesehatan saat ini dan situasi yang ideal di mana setiap orang hidup sampai usia
tua, bebas dari penyakit dan kecacatan.

Rumus perhitungan DALY adalah sebagai berikut:

DALY = YLL + YLD

Keterangan :
6
DALY = Disability-Adjusted Life Year (jumlah tahun hidup yang disesuaikan
dengan disabilitas);

YLL = years of life due to premature mortality (jumlah tahun hidup pada
kematian dini);

YLD = years of lived with disability (jumlah tahun hidup dengan disabilitas)

YLL pada suatu populasi diukur dengan mengalikan jumlah kematian penyakit
(N) dengan standar usia harapan hidup pada kematian (dalam tahun, L), sehingga
rumusnya adalah: YLL = N L YLD pada suatu populasi diukur dengan
mengalikan jumlah insiden penyakit (I) dengan rata-rata durasi disabilitas (L) dan
faktor disabilitas penyakit (Disability Weight, DW), atau dengan rumus sebagai
berikut: YLD = I DW L. Nilai DW berkisar antara 0 (sehat sempurna) sampai
dengan 1 (mati).

3. Tenaga/Orang: Insidensi, Prevalensi, mortalitas, modbiditas, dan CFR.


a. Insidensi

Insidensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu penyakit yang
ditemukan pada suatu waktu tertentu di satu kelompok masyarakat. Untuk dapat
menghitung angka insidensi suatu penyakit, sebelumnya harus diketahui terlebih
dahulu tentang data tentang jumlah penderita baru. Dan jumlah penduduk yang
mungkin terkena penyakit baru (Population at Risk) (Setyawan, 2008) . Rumus
menghitung insidensi yaitu (Setyawan, 2008) :

I R = (X/Y) K

Keterangan :

X : Jumlah kasus baru penyakit ttt disuatu wilayah dlm periode ttt
Y : Populasi beresiko terkena penyakit disuatu wilayah, periode waktu yg sama
K : Konstanta yang digunakan : 10, 100, 1000, 100000, dst
Manfaat menghitung insidensi yaitu untuk mengetahui potret masalah penyakit
tertentu, angka beberapa periode dapat digunakan untuk memperkirakan
kecenderungan/fluktuasi penyakit, pemantauan evaluasi upaya pencegahan dan

7
penanggulangan penyakit, dan perbndingan angka insidensi antar wilayah dan
antar waktu. Cara menginterpretasikan yaitu semakin besar angka insidensi berarti
semakin besar pula masalah penyakit di daerah tersebut.

b. Prevalensi

Prevalensi adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan baru yang
ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu.
Pada perhitungan angka Prevalensi, digunakan jumlah seluruh penduduk tanpa
memperhitungkan orang/penduduk yang kebal atau penduduk dengan resiko
(Population at Risk) (Setyawan, 2008). Rumus untuk menghitung prevalensi yaitu
(Setyawan, 2008):

PR = (X/Y) K

Keterangan :

X : Jumlah kasus lama dan baru penyakit ttt disuatu wilayah dlm periode ttt
Y : Populasi beresiko terkena penyakit disuatu wilayah, periode waktu yg sama
K : Konstanta yang digunakan : 10, 100, 1000, 100000, dst

Manfaat menghitung prevalensi yaitu untuk mengetahui tingkat keganasan dan


durasi penyakit. Cara menginterpretasikan hasil perhitungan prevalensi yaitu
Semakin tinggi prevalensi suatu penyakit, berarti penyakit ganas dan semakin
rendah durasi penyakit semakin rendah angka prevalensi.
c. Mortalitas

Mortalitas merupakan istilah epidemiologi dan data statistik vital untuk Kematian.
Dikalangan masyarakat kita, ada 3 hal umum yang menyebabkan kematian, yaitu :
a) . Degenerasi Organ Vital & Kondisi terkait

b) . Status penyakit

c) . Kematian akibat Lingkungan atau Masyarakat ( Bunuh diri, Kecelakaan,


Pembunuhan, Bencana Alam, dsb.)

8
d. Morbiditas

Morbiditas adalah keadaan sakit; terjadinya penyakit atau kondisi yang


mengubah kesehatan dan kualitas hidup.

e. CFR (Case Fatality Rate)

CFR (Case Fatality Rate) ialah perbandingan antara jumlah seluruh kematian
karena satu penyebab penyakit tertentu dalam 1 tahun dengan jumlah penderita
penyakit tersebut pada tahun yang sama. ) Digunakan untuk mengetahui penyakit
penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi (Setyawan, 2008).

CFR = Jml. Kematian krn. Penyakit tertentu (x) xK

Jml. Seluruh penderita penyakit tersebut (x)

Beban kusta dibagi menjadi dua, yaitu beban kusta tinggi (angka penemuan kasus
baru lebih dari 10 per 100.000 penduduk) dan beban kusta rendah (angka
penemuan kasus baru kurang dari 10 per 100.000 penduduk). Berdasarkan data
tahun 2011-2013 didapatkan 14 dari 33 provinsi di Indonesia memiliki beban
kusta tinggi. Beban kusta tertinggi khususnya pada anak terdapat di 13 provinsi.
Kasus baru kusta paling banyak terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi Selatan.7 Proporsi kasus kusta anak tertinggi
terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sumatera Utara (Oentari,
2015).

2.5 Kebijakan Penanganan, Tatalaksana, Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Kusta

2.5.1 Kebijakan Penanganan

Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk percepatan eliminasi


kusta diantaranya dengan penemuan penderita secara aktif, membantu provinsi
dan kabupaten dalam memberantas penyakit kusta dengan menempatkan
9
konsultan lokal/Nasional yang berdomisili di Bandung, Surabaya, Palembang,
Aceh, Samarinda, Makasar, Manado dan Jayapura dan konsultan Internasional
yang berdomisili di Pusat serta melakukan kegiatan rehabilitasi. Dengan terus
bertambahnya penderita Kusta di Indonesia, maka pemerintah Indonesia yaitu
menteri kesehatan Nila Moeloek sedang merencanakan program Indonesia bebas
kusta 2019 dengan sasaran di 34 provinsi di Indonesia, dengan menjalankan
sebuah strategi percepatan eliminasi kusta selama lima tahun ke depan dengan
susunan rencana kerja yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan RI di tiap
provinsi yang membutuhkan penanganan kusta berikut:

2015 : Provinsi Banten


2016 : Sulawesi Tengah dan D.I Aceh
2017 : Sulawesi Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan
2018 : Sulawesi Barat, Sulawesi Utara dan Gorontalo
2019 : Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat
Berikut 8 strategi percepatan eleminasi kusta (Kemenkes RI, 2015) :

1. Peningkatan penemuan kasus secara dini di masyarakat.


2. Pelayanan kusta berkualitas, termasuk layanan rehabilitasi yang terintegrasi
dengan pelayanan kesehatan dan rujukan.
3. Penyebarluasan informasi tentang kusta di masyarakat.
4. Eliminasi stigma terhadap Orang Pernah Mengalami Kusta (OPMK) dan
keluarga si penderita.
5. Pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai aspek
kehidupan.
6. Kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan.
7. Peningkatan dukungan kepada program kusta melalui penguatan advokasi
kepada pengambil kebijakan dan penyedia layanan lain.
8. Penerapan pendekatan berbeda berdasarkan endemisitas kusta.

2.5.2 Kebijakan Tatalaksana

10
Pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug
Therapy (MDT) untuk tipe PB (Pausi Basiler/sedikit kuman) maupun MB (Multi
Basiler/banyak kuman). Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau
lebih obat antikusta, yang salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal yang kuat sedangkan obat anti kusta lain bersidat bakteriostatik.

Tujuan pengobatannya yaitu :

1. Memutuskan mata rantai penularan


2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Meningkatkan terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan

Dengan matinya kuman kusta maka sumber penularan dari pasien ke oranglain
terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum dilakukannya pengobatan tidak dapat
diperbaiki atau disembuhkan dengan MDT. Apabila pasien kusta tidak meminum
obat secara teratur maka kuman dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT,
sehingga akan sulit untuk disembuhkan dan kondisi pasien akan semakin
memburuk.

Regimen pengobatan MDT di Indonesia yang direkomendasikan oleh WHO


adalah sebagai berikut :

1. Pasien pausibasiler (PB)


Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
a) 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

a) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

11
Satu blister untuk 1 bulan maka dibutuhkan 6 blister yang harus diminum
oleh pasien kusta selama 6-9 bulan.

2. Pasien multibasiler (MB)


Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
a) 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
b) 3 tablet lampren @100 mg (300 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

a) 1 tablet lampren 50 mg
b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan maka dibutuhkan 12 blister yang harus diminum
pasien kusta selama 12-18 bulan

3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
b) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

a) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan, maka dibutuhkan 6 blister yang harus diminum
oleh pasien kusta selama 6-9 bulan

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
b) 3 tablet lampren @50 mg (150 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28


12
a) 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
b) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan, maka dibutuhkan 12 blister yang harus


diminum selama 12-18 bulan.

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk
blister.

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :

a) Rifampisin : 10-15 mg/kgBB


b) Dapson : 1-2 mg/kgBB
c) Lampren : 1 mg/kgBB

Pasien Dengan Keadaan Khusus :

1. Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya
2. Tuberkulosis : bila seseorang menderita tuberculosis (TB) dan kusta, maka
pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan
dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberculosis
a. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pegobatan tetap pasien
sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB
b. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin
sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan
dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB selesai
maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.
3. Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti
dengan lampren.

13
4. Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan
dua macam obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka
waktu pengobatan MB.

Monitoring dan evaluasi pengobatan

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.


2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan
harus dilakukan pelacakan.
3. Release For Treatment (berhenti minum obat) dapat dinyatakan setelah
dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah
Release For Treatment (berhenti minum obat) pasien dikeluarkan dari
register kohort.
4. Pasien yang sudah Release For Treatment (berhenti minum obat) namun
memiliki faktor resiko :
a. Cacat tingkat 1 atau 2
b. Pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrate)
dilakukan pengamatan secara semi-aktif.
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan Release For Treatment (berhenti minum obat),
tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
6. Pasien MB yang telah mendapatkan pengobatan MDT 12 dosis (blister)
dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan Release For Treatment (berhenti
minum obat), tanpa harus pemeriksaan laboratorium
7. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan
dan pasien MB lebih dari 6 bulan secar kumulatif (tidak mungkin baginya
menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
bersangkutan dinyatakan default.
8. Relaps/kambuh

14
Pasien dinyatakan relaps bila setelah Release For Treatment (berhenti
minum obat) timbul lesi baru pada kulit.
9. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah Release For
Treatment (berhenti minum obat), meninggal, pindah, salah diagnosis,
ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan
kesehatan) dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan
penyuluhan lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar
secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan.

2.5.3 Kebijakan Pencegahan

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang hanya dapat dicegah
penularannya dengan memutus rantai penularan. Namun sebelum terkena
penyakit kusta kita dapat mencegah penyakit ini dengan mengusahakan
lingkungan yang bersih dan sehat. Berikut adalah cara pencegahan sebelum dan
setelah ada orang yang terkena penyakit kusta (Kemenkes RI, 2012):
1. Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita
kusta, agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.
2. Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang lama
3. Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan
4. Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga dan
meningkatkan pemenuhan nutrisi.
5. Tidak bertukar pakaian dengan penderita, karena basil bakteri juga terdapat
pada kelenjar keringat
6. Memisahkan alat-alat makan dan kamar mandi penderita kusta
7. Untuk penderita kusta, usahakan tidak meludah sembarangan, karena basil
bakteri masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet
8. Isolasi pada penderita kusta yang belum mendapatkan pengobatan. Untuk
penderita yang sudah mendapatkan pengobatan tidak menularkan penyakitnya
pada orang lain.
9. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta.

15
10. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai mekanisme penularan
kusta dan informasi tentang ketersediaan obat-obatan yang efektif di
puskesmas.
11. Untuk masyarakat umum, jangan sampai mengucilkan penderita kusta,
memang pada dasarnya penyakit kusta tersebut menular akan tetapi para
penderita kusta juga memiliki hak untuk masih tetap dapat hidup
bermasyarakat. Pada intinya, penderita kusta yang telah menjalani
pengobatan, sedikit kemungkinan untuk dapat menularkan penyakitnya.
12. Para penderita kusta pada umumnya mereka mengalami penurunan
kepercayaan diri dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial.
Sebaiknya masyarakat dapat mendukung para penderita kusta untuk tetap
memiliki keberanian dan kepercayaan diri hidup secara normal. Salah satu
wujud kepedulian suatu kelompok masyarakat terhadap penderita kusta, maka
didirikan suatu perkampungan khusus para penderita kusta. Perkampungan
tersebut berada di Kecamatan Nganget Kabupaten Tuban, yang
perkampungannya berada di tengah-tengah hutan. Mereka di sana
mendapatkan pengobatan dan dorongan sosial, sehingga termotivasi untuk
dapat kembali hidup secara normal.
Upaya pencegahan penyakit kusta tidak hanya upaya yang dilakukan sebelum
terkena penyakit kusta namun upaya pencegahan juga dilakukan ketika orang
sudah terkena penyakit kusta, Upaya pencegahan tersebut berhubungan dengan
upaya pencegahan terjadinya Cacat pada penderita Kusta. Adapun komponen
pencegahan cacat sadalah (Kemenkes RI, 2012):
1 Penemuan dini pasien sebelum cacat
2 Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai Release From Treatment
(berhenti minum obat kusta).
3 Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara
rutin
4 Penanganan reaksi
5 Penyuluhan
6 Perawatan diri

16
7 Penggunaan alat bantu
8 Rehabilitasi medis
Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dimana saja sesuai berjalannya waktu,
upaya-upaya ini dapat dilakukan dirumah sakit (Rumah sakit umum dan rumah
sakit rujukan), puskesmas dan bahkan rumah pasien secara mandiri. Pasien dan
keluarga pasien harus mengerti bahwa pengobatan MDT mampu membunuh
kuman kusta, namun bila sudah terlanjur mengalami kecacatan maka kecacatan
tersebut tidak bisa dipulihkan normal kembali namun hal itu harus diperhatikan
dan diberikan pengertian kepada pasien dan keluarga pasien agar melakukan
perawatan diri agar kecacatan yang dialami tidak semakin bertambah berat
(Kemenkes RI, 2012). Upaya pencegahan kecacatan yang dapat dilakukan antara
lain (Kemenkes RI, 2012):
1. Upaya pencegahan kecacatan dirumah sakit rujukan
Penderita yang masuk pada rumah sakit rujukan akan mendapat intervensi yang
lebih kompleks dimana penderita akan mendapat kan penanganan yang
spesialistik. Misalkan bedah sepsis yang bertujuan untuk membersihkan luka
dari jaringan mati dan PUS (Nanah) yang harus segera dilakukan secepatnya
tanpa menunggu pasien RTF. Tujuan utama bedah sepsis ini adalah mencegah
kerusakan tulang yang lebih parah, mempercepat penyembuhan dan
menghilangkan faktor pencetus terjadinya reaksi kusta.
A) Tindakan pada Mata
1. Masalah mata akut yang membutuhkan penanganan serius
2. Bedah korektif pada kasus legoftarmos berat
3. Bedah katarak
B) Tindakan pada tangan
1. Kasus infeksi yang sudah berat yang harus mendapatkan penanganan
serius seperti operasi
2. Membantu seseorang beradaptasi dengan alat bantu yang akan digunakan
setelah melakukan operasi sehingga dapat mencegah luka pada tangan
yang mungkin mati rasa

17
3. Operasi koreksi kelemahan jari tangan pada cacat yang sudah menetap
namun sendi-sendi masih mampu bergerak
C) Tindakan pada Kaki
1. Kasus infeksi invasive/kedaruratan membutuhkan penanganan intensif
dengan antibiotic atau operasi (Bedah sepsis)
2. Memberikan alat bantu yang dapat mencegah luka pada kaki yang mati
rasa
3. Untuk kaki yang sudah terlanjur semper dapat diberikan alat pemberat
atau berpegas untuk mengoreksi bagaimana posisi kaki saat berjalan.
4. Penanganan Ulkus kronik: Semua luka komplikata (yang disertai
infeksi) yang lebih dari 1 tahun maka harus dilakukan tindakan bedah
septik dan amputasi.
Beberapa syarat yang harus dilakukan untuk bedah rekonstruksi:
a Bersedia dioperasi
b Mengerti manfaat dan batasan operasi
c RELEASE FOR TREATMENT (BERHENTI MINUM OBAT)
d Cacat sudah menetap (lebih dari 1 tahun)
e Kondisi umum baik, kadar hemoglobin 10 gr %
f Tidak ada luka pada daerah yang akan di operasi
g Tidak ada kekakuan sendi
2. Upaya pencegahan kecacatan di puskesmas
Tindakan yang dilakukan untuk mencegah kecacatan dipuskesmas merupakan
tindakan yang sederhana yang lebih terarah. Kecacatan akibat kusta merupakan
masalah jangka panjang sehingga petugas harus dapat mengupayakan pemecahan
masalah yang spesifik. Berikut merupakan upaya pencegahan kecacatan yang
dapat dilakukan puskesmas:
A) Tindakan pencegahan pada mata
1. Mata lagoftalmos yang sangat kering dapat diberikan tetes mata yang
mengandung saline
2. Antibiotik dan bebat mata
3. Rujuk pasien bila mengalami kondisi serius.

18
B) Tindakan pencegahan pada tangan
1. Mengajarkan untuk menggerak-gerakkan jari-jari agar tidak terjadi
kekakuan sendi.
2. Bila tangan sudah mengalami lumpuh dapat dipasangi bidai pada malam
hari
3. Merujuk bila masalah terlalu serius
C) Upaya pencegahan pada kaki
1. Membiasakan menggunakan alas kaki yang sesuai
2. Menghilangkan kallus dan trimming tepi ulkus dengan pisau skapel
3. Merujuk bila masalah terlalu serius.

3.Upaya pencegahan di rumah


Tindakan ini dilakukan sendiri oleh pasien maupu keluarga pasien, petugas
pelayanan tidak hanya memberikan teori mengenai penyakit kusta namun pelayan
kesehatan juga harus memberikan pengajaran praktik langsung kepada pasien
penderita kusta bagaimana merawat diri agar tidak terjadi kecacatan yang semakin
parah.
Pelayanan kesehatan kusta harus memperhatikan pasien dengan cacat menetap
dan bagaimana perawatan diri yang tepat pada pasien tersebut dan bagaimana
menggunakan material disekekliling pasien dengan benar.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
a Tindakan pencegahan pada mata
1. Memeriksa : Sering bercermin dan melihat ada kemerahan atau kekeringan
pada mata atau tidak.
2. Melindungi : Melindungi dari debu atau angin yang dapat melukai mata, bisa
melindungi mata dengan kacamata, menghindari pekerjaan yang berbaur
dengan debu
3. Merawat : Tetesi mata dengan obat tetes mata yang mengandung saline dan
ketika istirahat tutupi mata dengan sepotong kain yang basah.
b Tindakan pencegahan pada tangan
1) Untuk tangan yang mati rasa

19
1. Memeriksa : Sering periksa ada luka lecet atau tidak msekipun itu lecet
yang kecil
2. Melindungi : Lindungi tangan dari benda yang panas dan tajam, dapat
menggunakan kaos tangan yang tebal namun halus.
3. Merawat luka : jika ada luka rawat luka sampai sembuh dan jangan
melakukan pekerjaan rumah terlebih dahulu sebelum lukanya sembuh
total.

2) Untuk kulit tangan yang kering


1. Memeriksa : Biasanya kulit yang kering sudah mengalami mati rasa
sehingga selalu periksa kemungkinan adanya keretakan dan pecah-pecah
pada kulit yang tidak terasa.
2. Melindungi : Lindungi dari benda-benda tajam dan panas dapat
menggunakan kaos tangan yang tebal dan halus.
3. Merawat : Rendam tangan yang kering selama 20 menit kemudian olesi
tangan dengan menggunakan minyak kelapa atau minyak ikan untuk
menjaga kelembaban kulit.
3) Untuk jari tangan yang bengkok
Jari tangan yang bengkok bila dibiarkan dan tidak ditangani secara cepat
dan tepat akan menyebabkan kekakuan sendi yang kemudian dapat
menyebabkan luka.
1. Memeriksa : Periksa adanya luka atau bengkok pada tangan dan jari
tangan.
2. Melindungi : Menggunakan alat yang dimodifikasi untuk dipakai pada jari
tangan yang bengkok
3. Merawat : Sering menggerakkan jari agar tidak menyebabkan kekakuan
sendi.
c Tindakan pencegahan pada kaki
1 ) Untuk kaki yang semper
Kaki yang simper biasanya disebabkan karena kaki bagian belakang (achiles)
memendek sehingga kaki tidak bisa diangkat, jari-jari akan terseret dan luka.

20
1. Memeriksa : Periksa ada luka atau tidak
2. Melindungi : Memakai sepatu ketika berjalan dan usahakan mengangkat
lutut lebih tinggi saat berjalan
3. Merawat : Melatih kaki agar tidak semper dengan meluruskan kaki ketika
duduk kemudian tarik menggunakan kain halus kaki ke arah tubuh.
2) Untuk kaki yang kering
Kulit kaki yang kering biasanya sudah mengalami mati rasa, kulit kering dapat
menyebabkan luka yang kemudian menjalar menjadi infeksi.
1. Memeriksa : Periksa kulit kaki ada tidaknya luka dan retak kulit.
2. Melindungi dan Merawat :
a Merendam kaki selama 20 menit setiap hari
b Menggosok kaki yang menebal
c Langsung olesi kaki dengan minyak ikan atau minyak kelapa untuk
menjaga kelembaban kulit
3) Untuk kaki yang mati rasa
1. Memeriksa : Sering memeriksa kaki ada luka, memar atau lecet atau
tidak.
2. Melindungi : Membagi tugas rumah dengan memberikan tugas rumah
untuk penderita yang mudah-mudah dan ringan sehingga terhindar dari
alat-alat yang berbahaya (tajam dan panas DLL). Menggunakan alas kaki
dengan bagian dalam alas kaki empuk dan bagian luar alas kaki yang
keras, selainitu gunakan alas kaki yang ada tali agak tidak terlepas
3. Merawat : bila ada luka rawat luka tersebut hingga sembuh jangan pernah
dilakukan untuk aktifitas terlebih dahulu.
4) Untuk luka borok/ulkus
Luka borok/ulkus ini biasanya terjadi akibat penderita kusta tidak menghiraukan
adanya luka pada kaki sehingga penderita kusta tetap memaksakan untuk
beraktifitas. Kaki tetap dipakai untuk berjalan dan luka yang ada pada kaki
terinjak-injak dan semakin lama semakin parah dan hancur. Sebenarnya luka kecil
dapat sembuh selama beberapa hari atau minggu bila cara perawatannya benar.

21
Perawatan yang tepat pada luka Borok dengan membersihkan luka dengan sabun
terlebih dahulu, kemudian rendam kaki selama 20-30 menit, gosok bagian
samping luka yang mungkin menebal dengan batu apung. Setelah di rendam dan
digosok langsung olesi kaki dengan minyak kelapa atau minyak ikan kemudian
istirahatkan kaki yang ada luka borok dengan balut bagian yang luka. Jangan
pernah injakkan kaki yang luka bila berjalan.

22
2.5.4 Kebijakan Pengendalian Penyakit Kusta

Kebijakan pengendalian penyakit kusta di Indonesia ini bertujuan untuk


menurunkan angka kesakitan agar masyarakat sehat bebas kusta. Kebijakan ini
berguna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang merata, bermutu
dan berkeadilan serta menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya
kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Penentuan suatu kebijakan dalam
pengendalian penyakit kusta sangat ditentukan dengan ilmu epidemiologi kusta,
perkembangan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan. Upaya pengendalian
penyakit kusta yang paling utama adalah dengan melalui pengobatan MDT pada
pasien Kusta serta Vaksinasi BCG. Pemberian Vaksin BCG dengan 1 dosis dapat
memberikan perlindungan sebesar 50% sampai dengan 80%. Namun kebijakan
pemberian Vaksin BCG dan pengobatan MDT ini belum sepenuhnya menjadi
kebikajan yang diberlakukan di Indonesia. Namun Pemerintahan Indonesia sudah
memiliki berbagai program pengendalian penyakit kusta, adapun strategi
pengendalian penyakit kusta yang dilaksanakan pemerintah adalah sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2012):

1. Peningkatan penemuan kasus secara dini di masyarakat


2. Mengadakan pelayanan kusta yang berkualitas, Layanan rehabilitasi serta
mengintregrasikan dengan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
3. Pelayanan kesehatan harus menyebar luaskan informasi yang benar
mengenai penyakit kusta
4. Eliminasi stigma terhadap orang yang pernah mengalami kusta dan
keluarganya
5. Pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai aspek
kehidupan dan penguatan partisipasi mereka dalam upaya pengendalian
kusta.
6. Peningkatan dukungan kepada program pengendalian kusta melalui
penguatan advokasi kepada pengambil kebajikan dan penyedia layanan

23
kesehatan lainnya sehingga dapat meningkatkan pengendalian penyakit
kusta.

Program Pengendalian Kusta yang dilakukan pemerintah dilakukan dengan


mendata dan menentukan terlebih dahulu suatu kabupaten/kota memiliki beban
penyakit kusta yang rendah atau Tinggi. Suatu kabupaten atau kota dinyatakan
memiliki beban rendah penyakit kusta apabila memenuhi Indikator sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2012):

A. Indikator Epidemiologi
1. Angka penemuan kasus 5 / 100.000 penduduk atau jumlah total
penemuan kasus baru 30 kasus per tahun selama 3 tahun berturut-
turut
2. Kumulasi kasus baru dengan cacat tingkat 2 dalam 5 tahun terakhir
sebanyak 25 kasus
B. Indikator Manajerial
1. Puskesmas harus memiliki tenaga pengelola program kusta terlatih
minimal 75% (termasuk pelatihan 1 hari bagi puskesmas tanpa kasus
kusta)
2. Cakupan pemeriksaan kontak kasus baru > 60%
Adapun langkah-langkah dalam menentukan beban penyakit kusta pada
suatu kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan semua informasi yang sesuai dengan indikator yang telah


ditentukan.
2. Melakukan diskusi bersama Tim Kusta Provinsi dan tim kusta
kabupaten/kota, mengenai situasi dan keadaan penyakit kusta didaerah-
daerah tertentu.
3. Menentukan apakah suatu kabupaten/kota termasuk beban rendah atau
beban tinggi penyakit kusta.
4. Bila masih belum pasti menunjukkan beban penyakit kusta pada
kabupaten/kota tertentu maka dilakukan analisis lebih lanjut
24
5. Buat maping berdasarkan data 5 tahun dengan cara sebagai berikut:
1. Menggambar peta kabupaten dengan pembagiab kecamatan
2. Cantumkan semua kasus 5 tahun terakhir ke dalam peta
3. Identifikasi kecamatan atau wilayah kerja puskesmas dengan total
kasus penyakit kusta tertinggi dalam 5 tahun terakhir
6. Pilih 2 puskesmas berdasarkan kriteria di bawah ini:
1. Terpencilnya lokasi / kesulitan akses pelayanan kesehatan
2. Manajemen kasus lemah
3. Kurangnya pemeriksaan kontak
4. Tingginya proporsi cacat akibat kusta tingkat - 2
7. Lakukan RVS di desa pada puskesmas pada daerah yang terpilih.
8. Konfirmasi diagnosis kasus baru yang ditemukan. Semakin aktif dalam
mencari informasi maka akan semakin banyak penemuan kasus.
2.5 Masalah Etik dalam Penanganan Penyakit Kusta

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan


masalah yang kompleks. Masalah tesebut menimbulkan masalah yang meluas
yaitu masalah social, ekonomi, dan budaya. Etik merupakan filosofi yang
berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai tindakan, apakah
tindakannya sudah benar atau salah, apakah baik atau salah. Dalam menghadapi
dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak menutup
kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan
masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien
dan kenyamanan kerja. (Imam S Arizal, 2010. Dalam Ahmadi, M., 2016)

Masalah sosial : dikarenakan seseoarang yang mempunyai penyakit kusta


merasa disinya mempunyai penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan akan
menularkan penyakit ke orang lain makan ia tidak berani untuk berinteraksi
kepada oraang lain, hanya merenungkan sendiri. Sehingga menimbulkan
keresahan yang sangat mendalam. Penampilan fisik, lebih banyak menyebabkan
utama dari harga diri rendah, hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan
penderita terhadap perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana

25
untuk kondisi penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta
penyakit menular yang tidak bisa di obati, penyakit menular, tidak data diobati,
penyakit keturunan, kutukan tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Arief
Mansjoer, 2000 dalam Ahmadi, M., 2016 )

Masalah ekonomi : dengan pengobatan yang butuh jangka panjang maka


pengeluaran yang dibutuhkan untuk pengobatannya sangatlah tinggi oleh sebabitu
maka keluarga mencari alternative mencari pertolongan termasuk dukun dan
pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat
disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui
masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut
ketularan. (Ahmadi, M., 2016.)
Masalah budaya : dimasyarakat ada stigama bahwa penyakit kusta
meruakan penyakit kutukan dari tuhan, penyakit keturunan maupun penyakit
kutukan tuhan karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan atau bahkan tidak bisa
disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarga. stigma yang muncul
dimasyarakat sangat mempengaruhi yang akan menyebab. (Zulkifli, 2003 dalam
Ahmadi, M., 2016)

Solusi masalah ini mencakup dua saran yaitu keluarga dan pada penderita
kusta itu sendiri. Pada keluarga yaitu diperlukan pemanfaatan peran keluarga yang
merupakan sistem pendukung utama terhadap masalah-masalah yang terjadi
dalam keluarga dan memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta itu sendiri
agar keluarga mengerti tentang kusta sehingga tidak terjadi perlakuan yang
diskriminasi terhadap penderita kusta. Bagi penderita kusta itu sendiri yaitu
dengan mengatasi kekurangan dan melakukan terapi pengobatan sesuai anjuran
dokter, pengetahuan tentang kusta perlu ditingkatkan dan adanya support keluarga
bagi penderita kusta demi menumbuhkan harga diri tinggi. (Ahmadi, M., 2016.)

26
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kusta merupakan salah satu penyakit global yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf dan kulit. Penyakit kusta ini
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernafasan. Saraf perifer sebagai target pertama bakteri tersebut, lalu kulit dan
saluran pernafasan bagian atas, kemudian dapat menjalar ke organ lain kecuai
susunan saraf pusat. Bila tidak segera ditangani, kusta sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, mata, bahkan
mengakibatkan kecacatan keadaaan abnormal dari fisik dan fungsi tubuh. hal yang
dapat menyebabkan penyakit kusta yaitu melakukan kontak fisik dengan hewan
penyebar bakteri kusta tanpa menggunakan APD (sarung tangan), melakukan
kontak fisik secara rutin dengan penderita kusta, bertempat tinggal di kawasan
endemik kusta, menderita cacat genetik pada sistem kekebalan tubuh, kurang
menjaga personal hygiene, personal hygiene itu sendiri dapat mempengaruhi
tingkat keparahan pada penderita kusta itu sendiri. dan gejala seseorang yang
terkena penyakit kusta yaitu adanya bercak tipis seperti panu pada badan / tubuh
manusia, adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit, muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa), panas dari derajat yang rendah sampai menggigil, anoreksia, nausea,
kadang-kadang dsertai vomitus.

Indonesia sebagai negara ketiga terbesar ketiga di dunia soal jumlah penderita
kusta setelah India dan Brazil, oleh karena itu perlu ada kebijakan tertentu untuk
pengendalian penyakit kusta di Indonesia. upaya pemerintah di Indonesia untuk
mengendalikan penyakit kusta yaitu dengan melalui pengobatan MDT pada
pasien Kusta serta Vaksinasi BCG. Selain itu, pemerintah juga melakukan upaya
pencegahan cacat dengan cara penanganan yang tepat, cepat dan tanggap.
3.2 Saran
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan harus mempunyai peran besar
dalam kegiatan promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif penyakit kusta.

27
Perawat dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahayanya
penyakit kusta dan pencegahannya. Perawat juga harus bisa memberikan asuhan
keperawatan kepada klien penderita kusta untuk mengurangi respon tubuh klien
akibat penyakit kusta yang dideritanya (misal dengan pemberian nutrisi yang
cukup), perawat juga harus mampu membantu merehabilitasi klien penderita kusta
dengan cara melakukan pemantauan secara berkala dalam proses meminum obat,
agar klien tidak sampai mengalami kecacatan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, M., 2016. Hubungan Peran Keluarga Dengan Harga Diri Pada Penderita
Penyakit Kusta. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan, 7(1).
Amirudin. M.(2012). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis.Brilian
Internasional: Surabaya
Andani, T. I. A. K., P. S. Keperawatan, F. I. Kesehatan, dan U. M. Surakarta.
2016. Gambaran perawatan personal hygiene pada penyakit kusta.

Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta,
1996.
Heryana, Ade. 2017. Burden (Beban) Penyakit. [serial online]
http://adeheryana.weblog.esaunggul.ac.id/wp-
content/uploads/sites/5665/2016/04/Ade-Heryana_Burden-PTM.pdf.
diakses pada tanggal 01 Mei 2017.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Menkes Canangkan Tahun


Pencegahan Cacat Akibat Kusta. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/article/print/1391/menkes-canangkan-tahun-
pencegahan-cacat--akibat-kusta.html pada tanggal 12 Maret 2017

Kementrian Kesehatan RI. (2015). Info Datin Kusta. Depkes RI. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodat
in/infodatin_kusta.pdf diakses tanggal 12 Maret 2017.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. [serial online]
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1791/2/B
K2012-406.pdf. diakses pada tanggal 16 Mei 2017.

Mora Lori. 2015. Strategi Pemerintah Menuju Indonesia Bebas Kusta 2019.
Diakses dari
http://www.jawaban.com/read/article/id/2015/01/27/69/150127101847/
8-Strategi-Pemerintah-Menuju-Indonesia-Bebas-Kusta-2019 pada
tanggal 12 Maret 2017

29
Oentari, Widyaningsih. 2015. Eradikasi Kusta: Apakah Memungkinkan?.
Eradikasi Kusta, 3 (3).

Setyawan, Dodiet A. 2008. Hand Out IKM : Ukuran-Ukuran Epidemiologi.


Yayasan Mitra Insani Kabupaten Klaten.

WHO. (2015). Weekly epidemiological record: relev pidmiologique


hebdomadaire. The Weekly Epidemiological Record , 90, 461-476.

Widoyono.(2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Semarang : Erlangga

30

Anda mungkin juga menyukai