Anda di halaman 1dari 22

CLINICAL SCIENCE SESSION

PNEUMONIA
Disusun oleh :
Sri Hudaya Widihastha

1301-1213-0520

Preseptor :
Teddy A. Sihite, dr., Sp.PD., Sp.JP

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR HASAN SADIKIN
BANDUNG
2015
1

A. DEFINISI
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorik
dan alveoli sehingga menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia juga didefinisikan sebagai
suatu peradangan akut parenkim paru akibat infeksi mikroorganisme
(bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit). 1-4
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus
baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang
terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas) atau didalam rumah sakit
(pneumonia nosokomial). Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran
napas bawah akut parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. 1
Pneumonia juga merupakan penyakit yang mengenai sekitar 1% dari
seluruh penduduk Amerika. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap
penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum berkembang
dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi
pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu.4
Penyakit pneumonia saat ini menjadi ancaman bagi usia tua dan
berdampak pada morbiditas maupun mortalitas.5 Di negara maju saja,
seperti Amerika, pneumonia dan influenza menduduki peringkat ke-4
sebagai penyebab kematian tertinggi. Ditemukan sekitar 18,2 kasus
pneumonia per 1000 penduduk berusia 65-69 tahun. Angka itu meningkat
menjadi 52,3 kasus per 1000 penduduk berusia 85 tahun ke atas. Di
Taiwan, kematian akibat pneumonia mencapai hampir 200 per 100.000
pasien lansia pada 2002. Dapat pula disimpulkan, risiko pneumonia pada
usia >65 tahun lebih tinggi 6 kali dibanding usia <60 tahun. 1,3,7

Bila tidak ditangani, penambahan lansia akan menimbulkan


masalah di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) telah memperhitungkan pada tahun 2020 Indonesia akan
mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%, Sebuah
peningkatan tertinggi di dunia. 5,7
Hasil survei kesehatan rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke 2 sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya di dapatkan data
sekitar 180 pneumonia dengan angka kematian antara 20-35%. Pneumonia
geriatri menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak
yang dirawat per tahun.2
C. ETIOLOGI
Infeksi saluran napas bawah akut dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme, bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae (60-70%), H
Influenzae (5%), Mycoplasma (5-20%). Pada gangguan imunitas atau
terdapat penyakit dasar paru kronik dapat disebabkan oleh S. aureus,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan gram negatif
seperti K. pneumoniae, P. aeruginosa.1,2 Akhir akhir ini sejumlah kuman
baru / oportunis telah menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan
tubuh rendah, misalnya legionella, Chlamydia trachomatis, M. atypical,
berbagai jenis jamur (C.albicans, Aspergillus fumigatus) dan virus.1,2,8,9
D. KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Klasifikasi tradisional, meninjau ciri radiologis dan gejala klinis dibagi
atas:
a. Pneumonia Tipikal
Bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris yang klasik antara
lain berupa awitan yang akut dengan gambaran radiologis berupa

opasitas lobus atau lobularis, dan disebabkan kuman terutama


S.Pneumonia, Klebsiella pneumonia atau H.Influenzae. 2,6,7
b. Pneumonia Atipikal
Ditandai oleh gangguan respirasi yang meningkat lambat
dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus. Biasanya
disebabkan organisme yang atipikal termasuk Mycoplasma
pneumoniae, virus, Legionella pneumophila, Chlamydia psitasi
dan Coxiella burnetti. Di negara barat mikroplasma adalah
prototipe penyebab pneumonia atipikal, disamping menyebabkan
penyakit saluran napas atas dan penyakit diluar paru antara lain
pada kulit, susunan saraf pusat, darah jantung dan sendi-sendi.
Mikroplasma menjadi penyebab pada 15-20% pneumonia, bahkan
mencapai 60% pada usia sekolah dan dewasa muda. Dapat juga
terjadi infeksi pada usia diatas 60 tahun. Klasifikasi ini praktis
tidak digunakan lagi karena disadari bahwa gambaran klinis
radiologis atau laboratorium dari berbagai pneumonia saling
tumpang tindih dan pada klasifikasi ini tidak tercakup pneumonia
yang gambarannya tidak khas. 2,6,7
2. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan pejamu :1,2
Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan penjamu
Tipe klinis

Epidemiologi

Pneumonia komunitas

Sporadis atau endemik mudah atau orangtua

Pneumonia nosokomial

Didahului perawatan di RS

pneumonia rekurens

Terdapat dasar penyakit paru kronik

pneumonia aspirasi

Alkoholik, usia tua

pneumonia pada gangguan Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS


imun

Klasifikasi ini adalah yang lebih banyak dipakai karena dapat


diperkirakan etiologi pneumonia dan pemberian antibiotiknya secara
empirik.
3. Klasifikasi berdasarkan sindrom klinis :
1) Pneumonia bakterial (Sindrom Klinis Pneumonia Bakterial).
Diketahui

bahwa

kuman

kelompok

bakteri

tertentu

memberikan gambaran klinis pneumonia yang akut dengan


konsolidasi paru, dapat berupa :
a. Pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai
parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia
lobar.
b. Pneumonia bakterial

tipe campuran (mixed type) dengan

presentasi klinis atipikal yaitu perjalanan penyakit yang lebih


ringan dan jarang disertai konsolidasi paru. Biasanya pada
pasien dengan penyakit kronik. 1,2
2) Pneumonia non bakterial
Pneumonia atipikal umumnya yang disebabkan oleh
Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella. Kemudian
istilah sindrom pneumonia atipikal dipakai untuk merangkum pula
bentuk lain dengan ciri gambaran klinis yang beraneka ragam dan
gambaran radiologis yang menyimpang dari normal. Pada
Pneumonia atipikal ini refrakter terhadap terapi antibiotik standar,
lambat dalam penyembuhannya dan mempunyai kecendurangan
untuk kambuh, yaitu yang biasanya disebabkan oleh bakteri,
jamur, virus atau mikroorganisme lain. Dan penyakit peradangan
paru yang bukan infeksi, termasuk tumor. Peradangan gambaran
klinis antara ketiganya terlihat pada tabel dibawah ini.1,2

Tabel 2. Gambaran klinis pneumonia komunitas dan kelompok kuman


penyebabnya 1
Gejala

Bakterial/tipikal

Nonbakterial /
atipikal

Pola campuran (mixed

usia

Lebih tua

Muda

type)
Lebih tua

awitan

Cepat

Lebih lambat

Cepat

batuk

Produktif

Tidak

Tidak menonjol

sputum

Purulen / berdarah

Negatif/mukoid

Dapat purulen

nyeri dada

Sering

Jarang

Sering

konsolidasi

Sering

Jarang

Jarang

leukositosis

Jelas

Tidak ada

Ringan

foto dada

Segmen/lobar

Interstitial, difus

patchy

infiltrat

(lobus/interstisial)
-

penyebab

Bakteri

Mikoplasma / virus Bakteri presentasi


/ jamur

Atipikal
Tuberkulosis
Legionella
Klamidia

4. Klasifikasi etiologi dibagi atas


1. Bakterial : Streptococcus pneumonia, H.Influenzae, L.pneumonia ,
Klebsiella, Pseudomonas, E-Coli, Mycoplasma, Chlamydia, dll.
2. Non bakterial : tuberkulosis, virus, fungi dan parasit. 1,2
5. Klasifikasi berdasar prediksi infeksi.
a. Pneumonia lobaris, sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder, dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus misal
: pada aspirasi benda asing, atau proses keganasan.

b. Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak infiltrat pada lapangan


paru, dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus, sering pada bayi
dan orang tua,serta jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia Interstisial, yaitu penyakit yang melibatkan dinding
alveolus dan jaringan penunjang lain di paru., dimulai dari perlukaan
dinding epitel yang menyebabkan peradangan dinding alveolus atau
alveolitis. Pada gambaran foto toraks terdapat infiltrat di lobus atas dan
tengah yang cenderung ke tepi sehingga bagian tengah atau hilus lebih
bersih. 2,4,6
E. PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di
paru, keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan

maka

mikroorganisme

dapat

berkembang

biak

dan

menimbulkan penyakit.2,7
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikro
organisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas.
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4.

Kolonisasi dipermukaan mukosa. 2,7

Dari keempat cara tersebut yang terbanyak adalah secara


kolonisasi. Secara inhalasi bakteri yang dapat masuk ke bronkus terminalis
dengan ukuran 0,5 2,0 mikrometer. Kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung,

orofaring)

bila

terjadi

aspirasi

dapat

terjadi

inokulasi

mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar


infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada

orang normal sewaktu meminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
2,7,8

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 810

/ml sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 1,1 ml) dapat

memberikan titer maksimal bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.


Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian
bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama.5,6,7

F. GEJALA KLINIS
Tiga gejala yang paling sering ditemui adalah sesak napas
(dispnea), batuk dan demam. Gejala lain yang juga jarang adalah nyeri
dada pleuritik, sakit kepala, mialgia, mual/muntah, diare, jatuh dan nyeri
tenggorokan. Dapat pula dijumpai pasien menggigil, berkeringat,
takikardi, dan delirium. 1,2,4,8
Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaan umum yang jelek
sering menimbulkan sepsis. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ronki, suara
pernapasan bronkial . Pada gambaran rontgen paru, tampak gambaran
infiltrat pada segmen paru unilateral (70%) yang mungkin disertai kavitas
dan efusi pleura. Seringkali kecurigaan pasien lansia mengidap pneumonia
baru

muncul

setelah

dilakukan

pemeriksaan

penunjang,

yakni

ditemukannya leukositosis dan perubahan gambaran paru yang progresif


pada foto rontgen. 1,7

G. DIAGNOSIS
Diagnosis

pneumonia atau infeksi saluran napas bawah akut

umumnya ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang lengkap,


pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gejala dan tanda, disertai
pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan konsolidasi.1,7
Anamnesa
Pada anamnesa biasanya didapat sesak napas, nyeri dada, batuk
berdahak dan demam (suhu > 37,8 o C ). Pada pneumonia pada usia tua
sering kali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam
pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium),
tidak mau makan, jatuh dan inkontinensia akut. 7
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan
berupa demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru
yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada
Pneumonia komunitas (PK) primer berupa bronkopneumonia (pneumonia
lobaris atau pleuro pneumonia). Gejala atau batuk yang tidak khas
dijumpai pada Pk sekunder ataupun Pneumonia nosokomial (Pn). Dapat
diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura,
pneumotoraks / hidropneumotoraks. Pada pasien Pn atau dengan gangguan
imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia. Warna,
konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan. 1,2
Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan radiologis
Foto torak dapat memastikan keberadaan dan lokasi infiltrat pada
paru yaitu: menilai derajat infeksi paru, mendeteksi adanya kelainan
pleura, kavitasi paru atau limfadenopati hilus; dan mengukur respon pasien

terhadap

terapi

antimikroba.3

Sehingga

foto

toraks

merupakan

pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis.2,3


Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran
air bronchogram (airspase disease) misalnya oleh

Streptococcus

pneumoniae : bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain


staphylococcus. Virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial
(interstisial disease) oleh virus dan mikoplasma. Distribusi infiltrat pada
segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman
aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa dimana saja.
Infiltrat dilobus atas sering ditimbulkan telebsiella, tuberkulosis atau
amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus
atau bakteriemia.1
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air fluid level sugestif untuk
abses paru, infeksi anaerob gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura
dengan pneumonia sering ditimbulkan S.pneumoniae. Dapat juga oleh
kuman anaerob, S.pyogenes, E-coli dan Staphylococcus (pada anak).
Kadang-kadang oleh K.pneumoniae, P.pseudomallei.1
Pneumonia hematogenus yang terjadi akibat embolisi septik pada
pasien tromboflebitis atau endokarditis sisi kanan atau akibat bakterimia
pada pasien dengan endokarditis sisi kiri terlihat pada hasil foton toraknya
sebagai daerah multipel infiltrasi paru yang selanjutnya dapat mengalami
kavitasi. Distribusi yang difus menujukkan infeksi oleh P.carinii,
sitomegali virus, virus campak atau cirus Herpes zoster, infeksi oleh kedua
mikroorganisme yang disebutkan terakhir ini. Di diagnosis dengan adanya
ruam yang jelas yang selalu menyertai pneumonia. Empiema dan
pembesaran kelenjar limfe hilus tidak lazim terdapat pada pneumonia
pneumocytis dan sitomegalovirus.3
Kavitas yang terjadi jika bahan yang nekrotik diekskresikan ke
dalam jalan napas yang berhubungan sehingga terjadi pneumonia
nekrotikan (kavitas kecil yang multipel yang masing-masing berdiameter <
2 cm dalam satu atau lebih lobus atau segmen bronkopulmoner). Kuman
10

anaerob oral, S.aureus, S.pneumoniae serotipe III, baksil aerob gram


negatif, M.tuberkulosis atau fungi dan keadaan kavitas. Sebaliknya
H.Influenzae, M.pneumoniae, virus dan kebanyakan S.pneumoniae dengan
serotipe lainnya hampir tidak pernah menyebabkan kavitas.1,7,8
Foto toraks perlu diulang

untuk melihat kemungkinan infeksi

sekunder / tambahan. Efusi pleura penyerta

yang terinfeksi atau

pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan


foto toraks dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12
minggu. 1,7,8,9
2.

Pemeriksaan Laboratorium1,2
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri, biasanya
lebih dari 10000/l kadang-kadang mencapai 30.000/l, dan pada hitung
jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri, yaitu terjadinya infeksi akut serta
terjadi peningkatan LED (Laju Endap Darah). Leukosit normal / rendah
dapat disebabkan oleh infeksi virus/ mikoplasma atau pada infeksi yang
berat sehingga tidak terjadi respons leukosit ,orangtua atau orang dengan
keadaan umum lemah. Leukopenia menunjukan depresi imunitas misalnya
neutropeni pada infeksi kuman gram negatif atau S. aureus. 1,2,4,7

3.

Pemeriksaan bakteriologis
Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan bahan yang
berasal dari sputum, darah, aspirasi, jarum transtorakal. Torakosentris,
bronkospi atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan
apus gram, burri gin, quellung tes dan Z. Nielson. Kuman predominan
pada sputum yang disertai PMN kemungkinan merupakan penyebab
infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama praterapi dan
bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. 1,2,4,7

11

4.

Pemeriksaan Khusus
Titer antibodi terhadap virus, legionela dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah
menujukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. 1,2,4,7,9
H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan terdiri dari antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu :
1. Penyakit berat yang dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
maka pada penderita dapat diberikan terapi secara empiris.2
Terapi Suportif Umum.
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80 100 mmHg atau saturasi >90%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental,
dapat disertai rebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkospasme
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk
batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing
untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO 2. Posisi tidur
setengah duduk untuk melancarkan pernapasan
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan
terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada
pasien harus diatur dengan baik, terutama pada keadaan gangguan

12

sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan


dahak tidak diperkenankan
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi
ini tidak bermafaat pada keadaan renjatan septik
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang diperlukan bila
terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7. Ventilasi mekanis, Indikasi pemasangan ventilator pada pneumonia
adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakan masker. Konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan pumonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi.
Dalam hal ini perlu dipergunakan Positive End Expiratory
Pressure/ PEEP untuk memperbaiki oksigenasi dan menurunkan
H2O menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress
dengan atau didapati asidosis respiratorik
c. Henti napas
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8. Pengeluaran pus pada empiema bila ada
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup
yang didapatkan terutama dari lemak (> 50%) hingga dapat dihindari
pembentukan CO2 yang berlebihan.3,6,9
1. Antibiotik Empirik
Keputusan memilih antibiotik yang tepat disesuaikan setelah mengetahui
etiologinya. Beberapa cara untuk menentukan etiologi adalah pewarnaan gram, uji
basil tahan asam, tes fluoresensi langsung terhadap antibodi Legionella, atau
menggunakan polymerase chain reaction (PCR) terhadap M. pneumoniae, C.
pneumoniae, dan M. tuberculosis. Tidak semua fasilitas tersebut ada di pelayanan
kesehatan.dan hasilnya juga tidak bisa didapat dengan segera.
Antibiotik empirik haruslah yang bisa mengeradikasi S. pneumoniae.
Beberapa pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah sefalosporin generasi
13

ke-2,

atau

beta-laktam/inhibitor

beta

laktamase,

atau

trimethoprim-

sufamethoxazol, dengan/tanpa makrolid atau kuinolon untuk membasmi kuman


atipikal.1,2,5
Biasanya pasien lansia tidak hanya menderita pneumonia saja, banyak
penyakit yang menyertainya dan disebabkan tak hanya satu mikroorganisme tetapi
polimikroorganisme. Untuk kelompok ini, antibiotik yang dianjurkan adalah
sefalosporin generasi 2 dan 3 atau beta laktam/inhibitor beta laktamase
dengan/tanpa makrolida atau kuinolon. 1,2
Bila

pasien

menderita

pneumonia

komuniti

berat,

kemungkinan

mikroorganisme penyebabnya adalah S pneumoniae, Legionella, basil gram


negatif aerobik (terutama P. aeruginosa), dan M. pneumoniae. Terapinya berupa
makrolida atau kuinolon dan sefalosporin generasi 3 dengan antipseudomonas
seperti imipenem/cilastatin, meropenem, atau siprofloksasin. Insiden pneumonia
komuniti berat yang disebabkan P. aeruginosa terus meningkat, dan lebih mudah
terjadi pada pasien yang sebelumnya sudah mempunyai kelainan paru seperti
bronkiektasis.2,4,7,9

Tabel 3. Antibiotik Pilihan Berdasarkan IDSA 2003

14

Karakteristik Pasien

Antibiotik Pilihan

Rawat jalan
Sebelumnya sehat
Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Makrolida atau doksisiklin

Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Fluorokuinolon respirasi saja; makrolida advanced + amoks


tinggi; atau makrolida advanced + amoksisilin-klavulanat do

Komorbid (PPOK, diabetes, gagal ginjal atau jantung


kongestif, atau keganasan)
Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Makrolida advanced atau fluorokuinolon respirasi

Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Fluorokuinolon respirasi saja atau makrolida advanced + be

Diduga terjadi infeksi akibat aspirasi Influenza

Amoksisilin-klavulanat atau klindamisin

Dengan bakteri superinfeksi

Beta-laktam atau fluorokuinolon respirasi

Rawat inap
Bangsal
Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Fluorokuinolon respirasi saja atau makrolida advanced + be

Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir

Makrolida advanced + beta-laktam atau fluorokuinolon resp

ICU
Bukan infeksi Pseudomonas

Beta-laktam + makrolida advanced/fluorokuinolon respirasi

Bukan infeksi Pseudomonas tetapi pasien punya alergi


beta-laktam

Fluorokuinolon respirasi, dengan/tanpa klindamisin

Ada infeksi Pseudomonas


Antipseudomonal + siprofloksasin, atau antipseudomonal +
aminoglikosida + fluorokuinolon respirasi atau makrolida
Ada infeksi Pseudomonas tetapi pasien punya alergi
beta-laktam

Aztreonam + levofloxacin, atau aztreonam + moxifloxacin at


gatifloxacin, dengan/tanpa aminoglikosida

Perawatan di rumah

Mendapat obat selama perawatan di rumah

Fluorokuinolon respirasi saja, atau amoksisilin-klavulanat +


advanced

15

Dirawat di rumah sakit

Sama dengan obat yang diberikan pada bangsal dan ICU

Keterangan:
Makrolida

= Eritromisin, Azitromisin atau Klaritromisin

Makrolida advanced

= Azitromisin atau Klaritromisin

Fluorokuinolon

respirasi

=Moxifloxasin,

Gatifloxasin,

Levofloxasin

atau

Gemifloxasin
Amoksisilin dosis tinggi

= 1 gram per oral, 3x/hari

Amoksisilin-klavulanat dosis tinggi = 2 gram per oral, 2x/hari


2. Nutrisi
Penatalaksanaan pneumonia pada lansia tidak hanya dengan antibiotika
saja, tetapi

disertai pula

dengan perbaikan keadaan umum seperti dengan:

nutrisi, hidrasi, oksigenasi,elektrolit dan albumin. Penyakit ko-morbid yang berat


serta keadaan umum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Terapi nutrisi sangat
penting bagi usia lanjut sehingga penatalaksanaan pada usia tua juga meningkat.
Upaya lain adalah dengan meningkatkan status nutrisi lansia. Malnutrisi dianggap
sebagai faktor risiko pneumonia pada lansia. Penelitian case control dan cohort
yang dilakukan oleh Riquelme R dkk,menunjukkan bahwa rendahnya kadar
albumin (<3,0 mg/dl) merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian
pneumonia. Beberapa studi menunjukkan pemberian suplemen vitamin memberi
hasil lebih baik.

1,5-7

Bila penderita tidak dapat/ tidak mau makan seperti biasa,

perlu diberikan personde atau kalau perlu parenteral. 1,6,7


Cairan juga harus cukup, monitor osmolaritas plasma dan balans
cairannya, sehingga untuk mengetahui kecukupan cairan pada penderita. Peranan
asuhan keperawatan sangat diperlukan seperti menjaga kenyamanan penderita,
kebersihan penderita dan tempat tidurnya terutama bila ada inkontinensia,
mencegah terjadinya dekubitus dan kontraktur pada penderita penderita yang tidak
dapat bergerak maupun dengan penurunan kesadaran.

16

I. KOMPLIKASI
-

Efusi pleura dan empiema.


Terjadi pada sekitar 45% kasus terutama pada infeksi bakterial
akut berupa efusi parapneumonik gram negatif sebesar 60%
Staphylococcus aures 50%. S.pneumoniae 40-60% kuman anaerob
35%. Sedangkan pada mycoplasma pneumoniae sebesar 20%.
Cairannya transudat dan steril, terkadang pada infeksi bakterial terjadi
empiema dengan cairan eksudat.

Komplikasi sistemik.
Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa
meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada
infeksi kronik, peninggian ureum dan enzim hati. Kadang-kadang
terjadi peninggian fosfotase alkali dan bilirubin akibat adanya
kolestasis intrahepatik.

Hipoksemia akibat gangguan difusi


Menurunnya suplai oksigen dalam darah karena gangguan
difusi.Pada hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia atau
oksigenisasi yang tidak memadai karena gangguan pengiriman
oksigen dan penggunaan oksigen oleh sel sel.

Bronkiektasis
Biasanya terjadi karena pneumonia pada masa anak-anak
tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada
cystic

fibrosis

atau

hipogamoglobulinemia,

tuberkulosis

atau

pneumonia nekrotikans. 1,2,7,8

17

J. PENCEGAHAN
1. Vaksinasi
Selain medikamentosa, upaya preventif terus diupayakan agar angka
mortalitas dan morbiditas dapat ditekan seminimal mungkin. Salah satu
upaya preventif itu adalah pemberian vaksin influenza dan pneumonia.
Vaksin influenza. Vaksin ini mengandung 3 subtipe yaitu influenza A,
B, dan C. Yang paling mematikan adalah subtipe A dan B. Masa
perlindungan hanya sekitar 1 tahun. Efek samping lokal berupa nyeri
setempat yang timbul sekitar 24 jam setelah penyuntikan; biasanya
ditoleransi baik dan hilang tanpa pengobatan dalam 2-3 hari. Efek samping
sistemik berupa demam, malaise, sakit kepala, mialgia, dan artralgia yang
dapat muncul dalam 6-12 jam setelah penyuntikan; dan hilang dalam 1-2
hari. Vaksin ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang alergi telur karena
dapat memicu reaksi hipersensitifitas. 1,2,8
Vaksin pneumonia. Sebenarnya masih banyak perdebatan mengenai
keefektivitasan vaksin ini. WHO menetapkan bahwa vaksin pneumonia
cukup efektif pada lansia terutama untuk melindungi lansia sehat dari
invasive pneumococcal disease (pneumonia yang berpenyulit meningitis,
septikemia, dan pneumococcal pneumonia). Vaksin ini mengandung 23
serotipe S. pneumoniae yang telah dimurnikan. Efek samping yang timbul
berupa kulit kemerahan tanpa nyeri dan demam. 1,2,6,8
2. Menghindari Nosokomial
Pencegahan pneumonia berkaitan erat dengan prinsip umum
pencegahan infeksi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya Pneumonia Nosokomial seperti pada tabel 4. Sedangkan faktor

18

untuk mengurangi terjadinya Pneumonia Nosokomial,terlihat pada tabel 5.


1,7

Tabel 4.Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial 1,7


Pneumonia

Nosokomial

di

ruangan Pneumonia Nosokomial d ruangan ICU

Umum
Usia > 70 tahun

Ventilasi mekanik

Penyakit paru kronik

Perawatan ICU yang lama

Penurunan kesadaran

Intubasi yang lama

Posisi pasien

Malnutrisi pada pasien sakit berat

Aspirasi dalam jumlah banyak

Penyakit paru kronik

Trauma dada

Antasid dan penghambat Histamin tipe II

Pemantauan tekanan Intrakranial

Usia lanjut

Penggunaan penghambat Histamin tipe II

Obesitas

Gangguan aliran ventilator yg sering

Gangguan refleks respirasi

Musim dingin

Perokok

Peralatan :

Pelembab udara

Nebulizer langsung

Enteral feeding

Nassogastric feeding
Endotracheal tube

19

Tabel 5. Pencegahan Pneumonia Nosokomial 1

Mengobati penyakit dasar

Menghindari penghambat histamin tipe II dan antasida

Meninggikan posisi kepala

Pengangkatan selang nasogastrik dan endotrakeal

Mengontrol pemakaian antibiotik

Menghindari stress bleeding

Mengontrol infeksi :

Pengawasan

Pendidikan

Desinfektasi peralatan

Perawatan saluran napas yang benar

Dekontaminasi selektif saluran cerna.

K. PROGNOSIS
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenesis kuman,
usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian
pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5% namun dapat meningkat
menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya
gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik atau
kanker. Leukopeni, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus paru dan
komplikasi ekstra paru merupakan pertanda prognosis yang buruk. Kuman
garam negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek.2,6

20

Prognosis pada orangtua kurang baik, karena itu perlu perawatan di


RS kecuali bila penyakitnya ringan atau dengan keadaan umum baik.
Orang dewasa (< 60 tahun) dapat berobat jalan kecuali :
1. Bila terdapat penyakit paru kronik
2. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi
yaitu :
a. Usia > 60 tahun
b. Dijumpai gejala pada saat masuk perawatan RS : frekuensi
napas > 30 x/menit, tekanan diastolik < 60 mmHg atau sistolik
< 90 mmHg, nadi >125 x/ menit,suhu < 35 o C atau > 40o C,
binggung atau terjadi penurunan kesadaran.
c.

Hasil pemeriksaan laboratorium leukosit abnormal (< 4.000


atau > 30.000/mm3), PO2 turun, dan albumin serum rendah (<
3,5 g%). 2,7

21

DAFTAR PUSTAKA
1) Sudoyo W.Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus S.K, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Edisi IV.Jakarta: Balai
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, 2006.
2) Noer S, Waspadji S, Rachman AM, et al, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1996.
3) Darmojo, B. 2004, Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
4) Ganong, W.F. 1999, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC,
Jakarta.
5) Hazzard, R.W. 1990, Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology, 2nd ed. McGraw-Hill, New York.
6) Setiati, S. 2004, Current Diagnosis and Treatment In Internal
Medicine 2004,
7) Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, Jakarta.
8) British Thoracic Society Standards of Care Committee. British
Thoracic Society Guidelines for the Management of Community
Acquired

Pneumonia

in

2001.URL:http://thorax.bmjjournals.com.

Adults.Thorax
diakses

tanggal

17

Januari 2009

22

Anda mungkin juga menyukai