Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah
diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam
urat di serum yang melewati ambang batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal
yaitu kadar asam urat diatas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi
normal. Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg
% pada laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi
epidemologi selama ini. Keadaan hiperurisemia akan beresiko timbulnya arthritis
gout, nefropati gout, atau batu ginjal. Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi akibat
peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan ekskresi asam
urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya.
Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai
jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga
menyebabkan kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya tergantung organ
mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik
berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya. Hal ini tentu saja menyulitkan
dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam keadaan
sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat,
penatalaksaannya
lebih
sulit,
butuh
obat-obatan
yang
lebih
mahal
dan
metabolik,
hipertensi,
stroke,
dan
aterosklerosis.
Dalam
beberapa
penelitian, terapi yang menurunkan kadar uric acid dapat mencegah atau
memperbaiki komponen-komponen tertentu dalam sindrom metabolik. Diketahui
juga terdapat hubungan antara asam urat dan perkembangan lupus eritematosus
sistemik; dimana hubungan antara penyakit rematik lainnya seperti rheumatoid
arthritis dan osteoarthritis masih kurang jelas.
PATOFISIOLOGIS
LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun,
dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali.
interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang
menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel
T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme
downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi
autoantibodi
yang
beberapa
diantaranya
membentuk
kompleks
imun,
dan
sedangkan
penderita
yang
mempunyai
epitop
HLA-DR3
cenderung
pertahanan
tubuh,
antara
lain
melalui
proses
opsonisasi,
untuk
memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks
imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang
terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi
berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan
estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan
pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada
percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome
dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obatobatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya
dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC
kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang
menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat
dengan
kejadian
Diphenylhydantoin,
lupus
ini
diantaranya
Ethosuximide,
Carbamazepine,
Hydralazine,
Chlorpromazine,
Isoniazid,
Methyldopa,
halnya
sistem
yang
mempertahankan
homeostasis
tubuh
lainnya,
terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktorfaktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit
autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel
B.
13,14,21
Spesifisitas Epitop
Keterangan
ds-DNA
lupus
proliferatif
dengan
target
difus,
organ
tipe membranopati
RNP
SS-A (Anti-Ro)
Berhubungan
dengan
Raynauds
phenomenon
dan
indikasi
keterlibatan
pulmo
dan
muskuloskeletal
Lupus kutaneus, sicca complex, dan
sindroma lupus neonatal
SS-B (Anti-La)
Apabila
Phospholipid
ada
maka
meningkatkan
Centromere
CREST
hanya
ada
Raynauds
phenomenon
Mengindikasikan perubahan ke arah
skleroderma
Yang et al. menunjukkan bahwa tingkat SUA dapat digunakan untuk memprediksi
perkembangan penyakit ginjal pada pasien dengan SLE. Mereka menemukan bahwa
SUA secara independen terkait dengan perkembangan lupus nefritis pada pasien
SLE.
PENATALAKSANAAN
Sebagian
besar
kasus
hiperurisemia
(termasuk
hiperurisemia
asimptomatik)
dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance >80ml/menit).
Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada
beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric
agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.
Untuk penanganan LES sendiri terbagi menjadi nonfarmakologis dan
farmkologis.
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan
penyakit
yang
berbeda-beda
sehingga
penderita
dapat
memahami
dan
mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat
penting diberikan pemahaman
kehamilan
penyakit
direncanakan
saat
sedang
sehingga
dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita
selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman
maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus.
Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan
Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan
edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan
advokasi
dan
bantuan
finansial
untulk
pasienyang
kurang
mampu
dalam
pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat
sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko
kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi
merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv
0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam
pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi
remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm 3 dan leukosit > 3500/mm 3.
Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan
dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent
pada
pasien
SLE
yang
pada
mulanya
diberikan
karena
siklosporin
dosis
2,5-5
mg/kgBB/hari
pada
umumnya
dapat
dan
peningkatan
kreatinin
serum.
Siklosporin
terutama
refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan
secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang
hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang
refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi
lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi
flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan
suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang
terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis
factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod
monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa
dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang
percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada
penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin,
dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit,
musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis
dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin
(200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent
memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit
menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum
jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik.
Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman
bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian
rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai
pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali
menyebabkan
kelainan
kongenital
pada
janin.
Oleh
karena
itu
terbukti
bermanfaat
mengurangi
aktifitas
penyakit
SLE.
mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE.
Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.
Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular
digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan
sistemik.
Pemberian
per oral
dosisnya bervariasi
dari
5-30 mg
prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk
mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator
dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan
dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan
hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi
(1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan
yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg
selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain
habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler,
akne,
hirsutism,
percepatan
osteoporosis,
nekrosis
iskemi
tulang,
katarak,
kehamilan
hipertensi.
Tidak
meskipun
terdapat
dapat
bukti
menimbulkan
bahwa
eksaserbasi
kortikosteroid
diabetes
menyebabkan
dan
defek
kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan
ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf
pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria
yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE
atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala,
psikosis
dan
gangguan
kognitif,
meningkatkan
serum
transaminase
secara
lupus
disertai
krioglobulinemia,
sindroma
hiperviskositas
dan
TTP
DAFTAR PUSTAKA
1. Review of Hyperuricemia as New Marker for Metabolic Syndrome. Laura
Billiet, Sarah Doaty, James D. Katz, and Manuel T. Velasquez. Department of
Medicine, The George Washington University, 2150 Pennsylvania Avenue,
NW, Washington, DC 20037, USA. Received 5 August 2013; Accepted 12
December 2013; Published 16 February 2014
2. Z. Yang, Y. Liang, W. Xi, Y. Zhu, C. Li, and R. Zhong, Association of serum uric
acid with lupus nephritis in systemic lupus erythematosus, Rheumatology
International, vol. 31, no. 6, pp. 743748, 2011.
3. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
Rudy S, Sergen JS, editors. Kelleys Textbook of Rheumatology. 8thed.
Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506
4. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH,
Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262
5. 9. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg:
Elsevier; 2003.p.1925-36