Anda di halaman 1dari 25

JOURNAL READING

SLE (Systemic Lupus erythematosus)


Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Ulfa Elsanata
01.211.65.46

Pembimbing:
dr. Taufik Kresno, Sp.PD. FINASIM, SH

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RST BHAKTI WIRA TAMTAMA
SEMARANG
2015

SLE (Systemic Lupus erythematosus)

A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam.1,2
Menurut, American collage of rheumatology dalam judul Systemic
lupus erythematosus (Lupus) tahun 2013, SLE adalah salah satu penyakit
inflamasi kronik yang ditandai dengan adanya nyeri dan bengkak. Dapat
menyerang seluruh organ: kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf, dan
organ lain. Mayoritas pasien mengeluhkan lemas dan timbul rash, artritis
(nyeri, dan bengkak pada sendi) dan demam.3
B. Epidemiologi
Faktor ekonomi dan geografik tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia
20-30 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan
frekuensi pada pria berkisar antara(5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang
disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.5 Pada
penelitian, pasien SLE mengalami gangguan neuropsikiatri, 18.5% gangguan
muskuloskletal, and 15.5% kerusakan ginjal.2 Untuk insiden terjadinya
nefritis lupus lebih tinggi pada pria dibanding perempuan. Anak-anak dengan
SLE mempunyai resiko lebih besar terkena penyakit ginjal dibandingkan
orang dewasa. Orang asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis
lupus dibandingkan dengan ras lainnya.6

C. Etiologi
Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti
faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.
Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.5
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko
tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau
yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan

agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis.7,8
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.5,9,10

D. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis SLE masih belum jelas. Patogenesis SLE
dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu
yang tepat pada individu yang mempunyai presdiposisi genetik akan
menghasilkan

tenaga

pendorong

abnormal

terhadap

sel

CD4+,

mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai


akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termaasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai

macam infeksi.5
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,
protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan
alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks proteinRNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen
ini ialah bahwa mereka tidak tissue-specific dan merupakan komponen
integral semua jenis sel.5
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody).
Dengan antigenya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukan bahwa penanganan kompleks imun
pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar
yang larut, gangguan pemoresan kompleks imun dalam hati, dan penurunan
uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting
dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.5

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda-tanda lupus berbeda antara satu penderita dengan
penderita lain. Bahkan dikatakan tidak ada dua orang yang mempunyai gejala
dan tanda-tanda lupus yang sama. Penampilan lupus juga bisa menyerupai
banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah
penyakit seribu wajah. Beberapa penderita hanya memiliki sedikit gejala,
sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat hilang
timbul. Pada saat gejala muncul atau bertambah berat (flare) penderita merasa
sakit, dan pada saat gejala menghilang (remisi) penderita merasa sehat.8,11
Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90%

kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada
55% kasus.5

Gejala Konstitusional5
-

Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain
yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat
seperti prednison. Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan
Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES ini maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang
rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.

Penurunan Berat Badan


Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan
berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkan gejala gastrointestinal.

Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat

lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES
dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya
seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar
getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling
sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu
artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan artritis
reumatoid dimana pada umumnya LES tidak menyebabkan kelainan
deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi
penyakit

autoimun

skleroderma

atau

lain

seperti

manifestasi

artritis
klinis

reumatoid,

polimyositis,

penyakit-penyakit

tersebut

merupakan bagian gejala klinik LES.5

Manifestasi Kulit
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus
dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE)
dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan

gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang umum
bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah
bagian pipi dan sekitar hidung

yang disebut buterfly rash karena

membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah


leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5%
individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan
SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.

Gambar 1 . Butterfly rash.


Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan
penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik
mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien
dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan

memiliki

antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya


dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like,
bulla, dan panikulitis.

Gambar: Discoid rash

Gambar : Malar rash

Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik
berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru,
hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi
kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial
dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti
bilas bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik dengan pemberian steroid.5
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan
bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan
yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan
pengobatan lain seperti plasmaferesis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh
darah koroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling
banyak terkena adalah perikardium.5
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign foto dada, ataupun

melalui gambaran EKG, echokardiografi. Apabila dijumpai adanya


aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang
tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu
dibuktikan lebih lanjut.5
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES
dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal
jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita
LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan
steroid jangka panjang.5

Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. 5
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan
terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau 3+ semi kuantitatif, adanya
cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar
serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita
LES.5 Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi
perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi
atau cuci darah. Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra
indikasi, maka biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirrmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasi fikasi kelainan histopatologik ginjal,

10

dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria


World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah
diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal
Pathology Society (ISN/RPS) tahun 200363 Klasifikasi WHO dinilai
berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara
klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak
aktif, dan kronis.1

11

Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka
klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan penilain berdasarkan panduan
WHO (lihat tabel 9) Pemeriksaan patologi memperlihatkan hubungan
antara respon klinis dan hasil akhir. Difus proliferatif glomerulonefritis
(klas IV) mempunyai prognosis terburuk, 11-48% pasien akan
mengalami gagal ginjal dalam 5 tahun. Pemeriksaan penepis lupus
nefritis penting dilakukan karena gejala sering tidak diketahui oleh
pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau hipertensi.
Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah
pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi antidsDNA dan C3.1
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk
tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid,
gagal terhadap terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal
yang memburuk.1

Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak adanya
keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, irritable bowel
syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat

12

penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak


dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali
gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai pada lebih kurang
50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian
obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. Kelainan lain
seperti IBS sulit dibedakan dengan kausa idiopatik karena gambaran
klinis yang tidak banyak berbeda.5
Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat
perhatian yang besar karena, walaupun jarang, dapat mengakibatkan
perforasi usus halus atau kolon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai
dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam
periode beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini
dilakukan dengan arteriografi.5
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita LES. Keluhan
ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan
muntah serta peningkatan serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya
masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau akibat
pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat diketahui
dapat menyebabkan pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula
pankreatitis pada penderita yang tidak mendapatkan steroid.5
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai
pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun

13

fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktivitas


penyakit dan penggunaan antiinflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita
muda

dengan

poliartritis

dan

mendapatkan

salisilat

didapatkan

peningkatan serum SGOT/SGPT. Transaminase ini akan kembali normal


apabila aktivitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan.
Belum jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan
bagian dari LES, koinsidensi dengan LES, atau merupakan lupoid
hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai bukti
adanya kaitan infeksi virus hepatitis B (HBV).5

Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensi berat.5
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak
membantu proses penegakan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EEG
namun tidak spesifik, pada cairan serebrospinal dapat ditemukan
kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM,
peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar
glukosa.5
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai
epilepsi, hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis
aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi akan

14

bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau


mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental
dapat bersifat organik atau non-organik.5

Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering
dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening yang paling
sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri
tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. Organ limfoid lain
yang sering dijupai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang
biasanya disertai oleh pembesaran hati.5
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan
adanya lupus antikoagulan.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan
penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai
proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses
imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi,
sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang
diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell
aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa
kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia
pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.5

F. Diagnosis
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga

15

terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala
yang dapat timbul berupa

demam berkepanjangan,

foto

sensitifitas,

perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi


perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal,
seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis
reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh
karena itu,

ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting

untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit


lain.
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu
kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan
98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria
SLE yang telah direvisi.
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.
Kriteria

Definisi

1. Butterfly Rash

Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang


cenderung tidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash

Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis


dan sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada
lesi yang sudah lama timbul.

3. Fotosensitivitas

Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet


A dan B
Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring,
biasanya tidak
nyeri jika sudah kronis.
Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih
persendian perifer dengan rasa sakit disertai
pembengkakan
Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura
atau pada
jantung disebut juga pericardium

4. Ulser Mulut

5. Arthtritis

6. Serositis

16

7. Kelainan Ginjal

8. Kelainan Saraf

9. Kelainan Darah

10. Kelainan Imunitas

11. Tes ANA

Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan


tidak
normal dalam urin terlihat dengan bantuan
mikroskop
Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau
gangguan
metabolik yang diketahui.
Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia <4,0 x
10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua
atau lebih pemeriksaan.
Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer
abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif
berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG
atau IgM serum yang abnormal dan uji positif
antikoagulan lupus abnormal ; atau antibody
antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi
antikardiolipin IgG atau IgM serum yang abnormal
dan uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji
standar.
Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak
adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE
yang diinduksi obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis
SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE
dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada
hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak

terlihat

manifestasi

klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan
observasi jangka panjang.
G. Penatalaksanaan
Terapi

SLE

sebaiknya

dilakukan

secara

bersamaan

dan

17

berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE
:
1.

Edukasi dan Konseling


Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain
perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah
dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya

pengaturan

diet

agar

tidak

kelebihan

berat

badan,

displidemia atau terjadinya osteoporosis.


2.

Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan
latihan ortotik, dan lain-lain.

3.

Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang
dialami.
a.

NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)


NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan
rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat :

18

aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut


dapat

menimbulkan

efek

samping,

yaitu

pada

saluran

pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.


b.

Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah

atau

tinggi

sesuai tingkat keparahan penyakit untuk

pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan


secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :
Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu
yang

lama.

Beberapa

efek

samping

dari

mengonsumsi

kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan


kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur,
perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
-

Dosis rendah

: < 7.5 mg prednison atau setara perhari

Dosis sedang

: >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara

perhari
-

Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara
perhari

Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari

Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1


hari atau beberapa hari

Indikasi Pemberian Kortikosteroid

19

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana


kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE
yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE
yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus
cerebral.1,12
c.

Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon

dan kloroquin. Hydroxychloroquinon

lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek


samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk
SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk
mengurangi ruam tanpa meningkatkan

penipisan pembuluh

darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan


kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman
visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata
selamam pengobatan.
d.

Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk
menekan

sistem imun

tubuh. Ada beberapa

jenis obat

immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti


azathioprine

(imuran),

mycophenolate

mofetil

(MMF),

methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab

20

Terapi Berdasarkan Ringan Beratnya Akitivitas1,12

Pengobatan SLE Ringan


Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
Obat antinflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis
dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat
dengan potensi ringan)
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan
periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3
bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari
(200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau
yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection
factor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)

Pengobatan SLE Sedang


Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali
pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obatobatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.
Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang
setara. Lihat algoritme terapi SLE.

Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan

21

obat- obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa


diperlukan obat obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. 2011.
2. Gill J, Quisel A, Rocca P, Walters D. American Family Physician : Diagnosis of
Systemic Lupus Erythematosus. Vol 68,11. [Online]. 2003 [cited 2015 January
25]. Available from: http://www.aafp.org/afp/2003/1201/p2179.html.
3. Ellen G, and Jean T. American collage of rheumatology : Systemic lupus
erythematosus (Lupus). 2013.
4. ACR Committee in SLE Guidelines. Guidelines for Referral and management
of SLE in Adults. ACR USA: Vol. 42, No. 9. 1999.
5. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta :
Interna Publishing;2007.
6. Ramadhani M. Gambaran Klinis Nefritis Lupus. Divisi Nefrologi dan
Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU;2011.
7. Bertsias, George, et.al. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis and
clinical features. 2012.
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Lupus, Penyakit Seribu Wajah. [Online].
2012
[cited
2015
January
25].
Available
from:
http://reumatologi.or.id/reuarttail?id=21
9. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol
2003.

23

10. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Netherl Med 2003
11. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). [Online]. 2014. [cited 2015 January 25].
12. American College of Rheumatology. The 1982 Revised Criteria for
Classification of Systemic Lupus Erythrmatosus. [Online]. 1997.[cited 2015
January 25]. Available from : http://www.rheumatology.org/practice/
clinical/classification/SLE/sle.asp
13. Kasjmir Y dan Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI
RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pendekatan Terbaru Dalam Tatalaksana
SLE. [Online]. 2010 [cited 2015 January 25]. Available from:
http://medinasim.com/upload/pdf/Rheumatologi/Penatalaksanaan
%20SLE.pdf.

24

Anda mungkin juga menyukai