Disusun oleh:
Ulfa Elsanata
01.211.65.46
Pembimbing:
dr. Taufik Kresno, Sp.PD. FINASIM, SH
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam.1,2
Menurut, American collage of rheumatology dalam judul Systemic
lupus erythematosus (Lupus) tahun 2013, SLE adalah salah satu penyakit
inflamasi kronik yang ditandai dengan adanya nyeri dan bengkak. Dapat
menyerang seluruh organ: kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf, dan
organ lain. Mayoritas pasien mengeluhkan lemas dan timbul rash, artritis
(nyeri, dan bengkak pada sendi) dan demam.3
B. Epidemiologi
Faktor ekonomi dan geografik tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia
20-30 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan
frekuensi pada pria berkisar antara(5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang
disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.5 Pada
penelitian, pasien SLE mengalami gangguan neuropsikiatri, 18.5% gangguan
muskuloskletal, and 15.5% kerusakan ginjal.2 Untuk insiden terjadinya
nefritis lupus lebih tinggi pada pria dibanding perempuan. Anak-anak dengan
SLE mempunyai resiko lebih besar terkena penyakit ginjal dibandingkan
orang dewasa. Orang asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis
lupus dibandingkan dengan ras lainnya.6
C. Etiologi
Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti
faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons
imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase
awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.
Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.5
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko
tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau
yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan
agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis.7,8
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.5,9,10
D. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis SLE masih belum jelas. Patogenesis SLE
dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu
yang tepat pada individu yang mempunyai presdiposisi genetik akan
menghasilkan
tenaga
pendorong
abnormal
terhadap
sel
CD4+,
macam infeksi.5
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,
protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan
alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks proteinRNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen
ini ialah bahwa mereka tidak tissue-specific dan merupakan komponen
integral semua jenis sel.5
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody).
Dengan antigenya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukan bahwa penanganan kompleks imun
pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar
yang larut, gangguan pemoresan kompleks imun dalam hati, dan penurunan
uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting
dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.5
E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda-tanda lupus berbeda antara satu penderita dengan
penderita lain. Bahkan dikatakan tidak ada dua orang yang mempunyai gejala
dan tanda-tanda lupus yang sama. Penampilan lupus juga bisa menyerupai
banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah
penyakit seribu wajah. Beberapa penderita hanya memiliki sedikit gejala,
sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat hilang
timbul. Pada saat gejala muncul atau bertambah berat (flare) penderita merasa
sakit, dan pada saat gejala menghilang (remisi) penderita merasa sehat.8,11
Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90%
kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada
55% kasus.5
Gejala Konstitusional5
-
Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain
yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat
seperti prednison. Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan
Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES ini maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang
rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat
lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES
dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya
seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar
getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling
sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu
artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan artritis
reumatoid dimana pada umumnya LES tidak menyebabkan kelainan
deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi
penyakit
autoimun
skleroderma
atau
lain
seperti
manifestasi
artritis
klinis
reumatoid,
polimyositis,
penyakit-penyakit
tersebut
Manifestasi Kulit
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus
dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE)
dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan
gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang umum
bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah
bagian pipi dan sekitar hidung
memiliki
Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik
berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru,
hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi
kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial
dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti
bilas bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik dengan pemberian steroid.5
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan
bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan
yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan
pengobatan lain seperti plasmaferesis atau pemberian sitostatika.
Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh
darah koroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling
banyak terkena adalah perikardium.5
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign foto dada, ataupun
Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. 5
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan
terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau 3+ semi kuantitatif, adanya
cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar
serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita
LES.5 Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi
perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi
atau cuci darah. Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra
indikasi, maka biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirrmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasi fikasi kelainan histopatologik ginjal,
10
11
Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka
klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan penilain berdasarkan panduan
WHO (lihat tabel 9) Pemeriksaan patologi memperlihatkan hubungan
antara respon klinis dan hasil akhir. Difus proliferatif glomerulonefritis
(klas IV) mempunyai prognosis terburuk, 11-48% pasien akan
mengalami gagal ginjal dalam 5 tahun. Pemeriksaan penepis lupus
nefritis penting dilakukan karena gejala sering tidak diketahui oleh
pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau hipertensi.
Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah
pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi antidsDNA dan C3.1
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk
tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid,
gagal terhadap terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal
yang memburuk.1
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak adanya
keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, irritable bowel
syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat
12
13
dengan
poliartritis
dan
mendapatkan
salisilat
didapatkan
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensi berat.5
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak
membantu proses penegakan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EEG
namun tidak spesifik, pada cairan serebrospinal dapat ditemukan
kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM,
peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar
glukosa.5
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai
epilepsi, hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis
aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi akan
14
Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering
dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening yang paling
sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri
tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. Organ limfoid lain
yang sering dijupai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang
biasanya disertai oleh pembesaran hati.5
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan
adanya lupus antikoagulan.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan
penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai
proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses
imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi,
sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang
diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell
aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa
kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia
pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.5
F. Diagnosis
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga
15
terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala
yang dapat timbul berupa
demam berkepanjangan,
foto
sensitifitas,
Definisi
1. Butterfly Rash
2. Discoid Rash
3. Fotosensitivitas
4. Ulser Mulut
5. Arthtritis
6. Serositis
16
7. Kelainan Ginjal
8. Kelainan Saraf
9. Kelainan Darah
Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis
SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE
dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada
hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak
terlihat
manifestasi
klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan
observasi jangka panjang.
G. Penatalaksanaan
Terapi
SLE
sebaiknya
dilakukan
secara
bersamaan
dan
17
berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE
:
1.
pengaturan
diet
agar
tidak
kelebihan
berat
badan,
Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan
latihan ortotik, dan lain-lain.
3.
Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang
dialami.
a.
18
menimbulkan
efek
samping,
yaitu
pada
saluran
Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah
atau
tinggi
lama.
Beberapa
efek
samping
dari
mengonsumsi
Dosis rendah
Dosis sedang
perhari
-
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara
perhari
19
Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon
penipisan pembuluh
Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk
menekan
sistem imun
jenis obat
(imuran),
mycophenolate
mofetil
(MMF),
20
21
22
DAFTAR PUSTAKA
23
10. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.
J Netherl Med 2003
11. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). [Online]. 2014. [cited 2015 January 25].
12. American College of Rheumatology. The 1982 Revised Criteria for
Classification of Systemic Lupus Erythrmatosus. [Online]. 1997.[cited 2015
January 25]. Available from : http://www.rheumatology.org/practice/
clinical/classification/SLE/sle.asp
13. Kasjmir Y dan Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI
RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pendekatan Terbaru Dalam Tatalaksana
SLE. [Online]. 2010 [cited 2015 January 25]. Available from:
http://medinasim.com/upload/pdf/Rheumatologi/Penatalaksanaan
%20SLE.pdf.
24