Disusun Oleh:
SITI A. SAMAL (2017-84-006)
Pembimbing:
dr. Carmilla Tamtelahitu, Sp.M
AMBON
2017
HUBUNGAN MIOPIA DENGAN KEJADIAN RETINOPATI DIABETIK
PADA POPULASI KOREA SELATAN
ABSTRAK
Metode : Data diinklusi dari mata kanan 13.424 peserta yang berusia 40 tahun ke atas dengan
foto fundus gradual dari Survei Kesehatan dan Gizi Nasional Keempat dan Kelima Korea.
Retinopati diabetik dinilai dengan menggunakan foto fundus standar. Data autorefraction
dikumpulkan untuk menghitung spherical equivalent dari refraksi pada dioptric (D), dan
selanjutnya dikelompokkan menjadi empat kelompok: hiperopia (≥1.0D), emmetropia (-0,99D
sampai 0,99D), miopia ringan (-1,0D sampai -2,99D ), dan miopia sedang hingga tinggi (≤-
3.0D). Informasi demografis, komorbiditas, dan sikap terkait kesehatan diperoleh melalui
wawancara. Rancangan multivariat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara diagnosis
retinopati diabetes dan status refraksi.
Hasil : Miopia ringan dan sedang hingga berat memiliki hubungan yang negative dengan
perkembangan dari retinopati diabetic. (odds rasio [OR] 0.42;95%. Interval kepercayaan 0.18-
0.97 dan OR 0.14;95% IK 0.02-0.88, ) Selain itu, untuk setiap peningkatan 1 dioptri pada
spherical equivalen, terjadi peningkatan 30% dari retinopati diabetes (OR 1,30; 95% CI, 1,08-
1,58).
Kesimpulan dan hubungan : Hasil kami dari populasi sebuah studi berbasis populasi
menunjukkan bahwa status miopia dikaitkan dengan kemungkinan rendah mengalami retinopati
diabetes pada penduduk Korea Selatan
PENDAHULUAN
Pada studi ini kita menggunakan Korea National Health and Nutrition Examination
Survey ( KHANES ), suatu populasi besar berdasarkan studi kesehatan cross sectional yang
termasuk skrening diabetic retinopati, untuk menilai hubungan antara myopia dan retinopati
diabetic pada populasi ini. Temuan ini kemungkinan sangat relevan pada populasi ini yang mana
dengan tingkat myopia tinggi dan populasi diabetic retinopati yang terus bertambah.
METODE
Studi ini adalah sebuah analisis dari populasi besar berdasarkan studi kesehatan cross
seftional Korea Selatan. Survey telah dilakukan tahunan sejak 2007 dibawah bantuan dari Pusat
pencegahan dan pengontrolan penyakit Korea Selatan, dengan persetujuan oleh kelembagaan
yang luas.
Studi Populasi
Semua analisis didasarkan data dari KNHANES empat dan lima yang menunjukan sejak
Juli 2008 sampai Desember 2011. KNHANES merupakan survey cross sectional yang menilai
kesehatan dan status nutrisi dari populasi Korea Selatan. KNHANES terdiri dari interview
kesehatan, perilaku kesehatan dan survey nutrisi dan penilaian kesehatan. Survei tersebut
mengikuti prinsip-prinsip yang digariskan di deklarasi Helsinki untuk penelitian yang melibatkan
manusia, dan semua partisipan yang bersedia memberikan inform consent tertulis. Studi
perwakilan nasional untuk warga sipil non institusional menggunakan metode bertingkat, desain
multistage probabability sampling dengan model sampling survey bergulir.
Data pada karakteristik demograpik, diet, dan variabel terkait kesehatan dikumpulkan
melalui wawancara pribadi dan kuesioner yang dikelola sendiri. Pemeriksaan fisik dan
pengambilan sampel darah dan urin dilakukan di pusat pemeriksaan keliling. Pertanyaan dan
pemeriksaan ditambahkan pada paruh kedua di tahun 2008 dan ini tersedia untuk KNHANES IV
dan V.
Di KNHANES, Data survey 1 tahun dan data kumpulan dari 2008 – 2011 mewakili
seluruh populasi Korea. Tingkat tanggapan 77,8%, 82,8%, 81,9%, dan 80,4% masing-masing
pada tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011 (9744 dari 12528) pada tahun 2008, 10533 dari 12722
pada tahun 2009, 8958 dari 10938 pada tahun 2010 dan 8518 dari 10589 pada tahun 2011). Ada
14932 subjek berusia 40 tahun ke atas yang berpartisipasi selama sesi 4-tahun periode studi
dengan foto fundus gradasi. Kami selanjutnya mengecualikan peserta yang memiliki riwayat
operasi refraktif, dan siapa saja yang mempunyai afakik atau pseudofakik (n = 1087) atau tanpa
refraksi ( n=421 ). Ini tanpa 13, 424 subjek yang masuk dalam studi.
Komponen Survei
Mereka yang didiagnosis dengan riwayat diagnosa dokter atau yang menerima
pengobatan untuk DM, termasuk insulin atau agen hipoglikemik oral dan mereka yang memiliki
kadar glukosa plasma puasa> 126 mg / dL tanpa diagnosis DM sebelumnya diklasifikasikan
sebagai subyek diabetes mellitus.
Evaluasi dari Retinopati Diabetik
Status Refraktif
Kita juga menyelidiki hubungan antara retinopati diabetic dan kedalaman kamera anterior
dan status katarak. Pemeriksaan slit lamp digunakan oleh studi optalmologi untuk penetuan
penyakit segmen anterior mata ( missal pterigium, katarak, afakia dan pseudofakia ) dan
pengukuran dari tekanan intraocular dan mengukur kedalaman kamea anterior menggunakan
metode Van Herick.
Variabel yang berpotensi menjadi perancu yang dianggap termasuk usia; seks; status pendapatan;
tingkat pendidikan; perilaku terkait kesehatan, seperti merokok, penggunaan alkohol, olahraga,
dan indeks metabolik basal (BMI); dan komorbiditas medis, seperti anemia, gagal ginjal,
hipertensi, hiperlipidemia, angina, dan stroke. Sebagai tambahannya penilaian informasi
demografis dan riwayat kesehatan, peserta yang hadir akan diperiksa tekanan darah dan
pengujian darah dan urine.
Analisis Statistik
Analisis sampel yang kompleks digunakan untuk data KNHANES IV dan V untuk
pembobotan semua nilai mengikuti panduan statistik dari Korea Centers for Disease Control dan
Prevention. Model regresi dibangun setelah identifikasi potensi variabel perancu Semua faktor
risiko yang diidentifikasi dikaitkan dengan diagnosis DR, NPDR, dan PDR dengan analisis
univariat dengan P <0,1 karena titik cutoff kemudian disertakan dalam analisis multivariabel
untuk menilai kemungkinan hubungan independen antara retinopati diabetes dan status refraksi.
Setelah memastikan kemungkinan hubungan semacam itu, 95% interval kepercayaan [CI] rasio
odds (OR) diidentifikasi untuk setiap kemungkinan hubungan. Uji statistik dua sisi dilakukan
dengan perangkat lunak statistik SPSS, versi 21.0
HASIL
Ada 14.932 subjek berusia 40 tahun ke atas yang berpartisipasi selama periode 4- tahun
dengan foto fundus gradasi. Kami mengeksklusi 1087 subjek dengan riwayat operasi refraksi
atau yang memiliki aphakia atau pseudophakia, dan 421 subjek tidak ada data refraksi OD,
sehingga 13.424 peserta yang memenuhi syarat untuk analisis kami (Tabel 1). SE sangat
berkorelasi antar mata: mean SE adalah -0,50 (± 0,02) D pada mata kanan dan -0,47 (± 0,02) D
di mata kiri (r = 0,867, p <0,001), jadi karena itu kami menggunakan mata kanan (RE) untuk
semua analisis lebih lanjut tentang kesalahan refraksi.
Kami mengumpulkan data dari mata kanan 13.424 subjek, di antaranya 1685 memiliki
diagnosis diabetes mellitus. Dari 1685 subjek tersebut, 168 subjek memiliki retinopati diabetes
(9,8%), dengan 147 subyek (8,7%) tergolong NPDR dan 21 (1,1%) tergolong PDR. Tabel 1
menyajikan perbandingan data demografi antara pasien diabetes dengan dan tanpa retinopati
diabetes. Karakteristik demografi, komorbiditas, terkait perilaku kesehatan dan kondisi mata
seperti status refraktif, ACD, dan status katarak di antara subjek dengan diagnosis yang berbeda
dijelaskan.
Kami selanjutnya menilai hubungan antara kesalahan refraksi dan adanya diabetes
retinopati pada penderita diabetes melitus. Analisis regresi logistik multivariat yang disesuaikan
dengan usia, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, subtipe katarak, olahraga, BMI, gula darah
puasa, HbA1c, dan BUN dilakukan untuk melihat hubungan antara status refraktif dan retinopati
diabetes pada subyek dengan diabetes mellitus. Kami menemukan bahwa miopia ringan (OR
0,42; 95% CI 0,18-0,97) serta kelompok miopia sedang sampai tinggi (OR 0,14; 95% CI 0,02-
0,88) memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan diagnosis retinopati diabetes (Tabel 2).
Selain itu, pemodelan menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan 1 diopter, ada peningkatan
rasio odd retinopati diabetes 1,3 (OR 1,3; 95% CI 1,08-1,58)
Selanjutnya kita melihat apakah miopia berhubungan dengan bagian tertentu dari
retinopati diabetes seperti NPDR atau PDR. Analisis multivariat disesuaikan untuk variabel yang
sama yang mencari hubungan antara miopia dan PDR tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan (OR 1,02; 95% CI 0,77-1,35), sedangkan miopia tinggi (≤ 6.0D) memiliki hubungan
negatif dengan NPDR (OR 0,01 95% CI 0,001-0,22). Selain itu, untuk setiap peningkatan
1diopter, ada rasio odds yang meningkat sebesar 1,3 yang memiliki NPDR (OR 1,33, 95% CI
1,08-1,64).
DISKUSI
Dalam penelitian ini, kami menunjukkan adanya hubungan negatif antara miopia dan
prevalensi retinopati diabetes pada populasi KNHANES. Hal ini sesuai dengan studi
epidemiologi sebelumnya tentang miopia dan retinopati diabetes yang menunjukkan penurunan
kejadian retinopati diabetes pada pasien miopia. Menariknya, analisis sebelumnya untuk faktor
risiko retinopati diabetes pada populasi KNHANES tidak ditemukan hubungan antara miopia
atau hiperopia dan retinopati diabetes. Mereka mengukur ada atau tidaknya miopia atau
hiperopia (didefinisikan sebagai baik <-1.0D SE atau> 1.0D SE, masing-masing) dan
hubungannya dengan diabetes retinopati. Kami mengulangi analisis ini dengan menggunakan <-
1.0D SE sebagai cutoff pada model multivariat untuk mata kanan dan juga tidak menemukan
hubungan yang signifikan secara statistik (OR 0,74; 95% CI 0,48-1,14). Kami menyarankan
bahwa definisi miopia ini mungkin terlalu luas, dan karenanya tidak mengungkapkan hubungan.
Selain itu, kurangnya pengecualian pasien yang menjalani operasi katarak, bersifat aphakic, atau
menjalani operasi refraksi mungkin juga telah mengaburkan hasil ini. Menariknya, keseluruhan
prevalensi retinopati diabetik (9,8%) lebih rendah daripada yang dilaporkan pada penelitian
epidemiologi lainnya. Studi sebelumnya tentang prevalensi retinopati diabetes pada populasi
Asia, Studi berbasis populasi menunjukkan rentang prevalensi retinopati diabetes 16% -35%
.2,7,9 Apakah prevalensi diabetes retinopati yang lebih rendah disebabkan oleh bias sampel,
kriteria yang berbeda untuk mengkarakterisasi retinopati diabetes, atau perbedaan antara
populasi Korea Selatan dan populasi Asia lainnya dalam prevalensi retinopati diabetes tetap
ditentukan.
Hubungan negatif antara miopia dan retinopati diabetes ini telah ada dalam banyak
penelitian, namun ada juga hasil yang bertentangan. Studi ini telah mencakup studi cross-
sectional berbasis populasi serta studi longitudinal yang mencakup populasi Amerika, Australia,
dan Asia. Ini mungkin karena definisi yang tidak konsisten atau pengelompokan miopia, serta
apakah miopia refraksi (SE) atau miopia aksial (panjang aksial) diukur. Namun, bila diambil
dalam agregat, meta-analisis terpisah yang melihat hubungan antara miopia dan retinopati
diabetes menunjukkan adanya hubungan negatif antara miopia dan retinopati diabetes. Entah itu
refraksi (yaitu kelengkungan kornea, bola mata) atau structural (yaitu, panjang aksial) komponen
miopia yang mengarah ke hubungan negatif ini dengan Retinopati diabetes masih diperdebatkan.
Banyak penelitian berbasis populasi, termasuk KNHANES, tidak mengukur panjang aksial.
Berdasarkan sejumlah studi lainnya ,panjang aksial nampaknya berkorelasi dengan penurunan
kejadian retinopati diabetes. Sebuah studi cross-sectional retinopati diabetes menunjukkan bahwa
panjang aksial, dan bukan kurvatura kornea atau bola mata, dikaitkan mempunyai hubungan
negative dengan kedua retinopati diabetes serta edema makula diabetik (DME) dalam dosis
dependent.. Selain itu, analisis penelitian juga menyarankan bahwa panjang aksial, dan bukan
miopia refraktif, adalah komponen utama dari asosiasi negatif anatara miopia dengan retinopati
diabetes. Memang, kedua meta analisis baru-baru ini menunjukkan hubungan yang kuat antara
peningkatan panjang aksial dan penurunan kejadian retinopati diabetes. Dengan demikian,
miopia aksial kemungkinan merupakan faktor kuat untuk melindungi dari retinopati diabetes,
dan komponen refraksi lainnya masih harus diteliti untuk mencari tahu hubungannys dengan
retinopati diabetik.
Salah satu komponen miopia aksial adalah anterior chamber depth (ACD) atau
kedalaman ruang anterior. Dalam penelitian kami, kami tidak menunjukkan hubungan antara
ACD dan retinopati diabetes (p = 0,867), menunjukkan bahwa ukuran ruang vitreous mungkin
lebih penting untuk efek ini. Perlu dicatat bahwa ACD diukur secara kualitatif dengan
menggunakan metode Van Herrick, dan Dengan demikian sebaiknya tidak dibandingkan dengan
penelitian lain dimana ACD mutlak diukur seperti studi Mata Beijing dan studi SiMES. Studi
mata Beijing tidak menunjukan adanya hubungan antara ACD dan retinopati diabetic setelah
penyesuain dari beberapa variabel perancu.
Namun, SiMES memang menunjukkan bahwa ACD yang lebih besar dikaitkan
dengan penurunan kejadian penglihatan moderat atau ancaman penglihatan DR.Studi tambahan
Dibutuhkan untuk menentukan apakah ACD dikaitkan dengan retinopati diabetes.
Hipotesis kedua adalah bahwa mata yang memanjang memiliki retina yang lebih tipis,
yang berakibat pada Penurunan metabolik di retina. Menurunnya metabolik bisa menimbulkan
respons hipoksia yang diperlukan untuk retinopati diabetes. Baru baru ini studi tentang mata
myopia menunjukkan penurunan konsumsi O2 dan penurunan fungsi retina oleh mfERG di mata
myopia. Peningkatan volume okular akibat perpanjangan mata juga bisa memainkan faktor,
mengurangi level sitokin angiogenik seperti VEGF. Memang, korelasi negatif antara kadar
aquous VEGF berair dan panjang aksial telah dijelaskan. Hipotesis ketiga adalah bahwa miopia
dikaitkan dengan peningkatan kejadian detasemen vitreus posterior, yang telah ditemukan dapat
memiliki sifat protektif dalam retinopati diabetic.
Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, meski hubungan miopia dan
diabetes retinopati telah dinilai, kami tidak mengevaluasi setiap komponen yang terkait dengan
status refraktif, seperti panjang aksial dan kelengkungan kornea karena data tersebut tidak
tersedia di KNHANES. Kedua, studi populasi cross-sectional tidak memungkinkan untuk
penentuan penyebabnya. Pekerjaan ini hanya melaporkan hubungan antara status refraktif dan
prevalensi retinopati diabetik. Meski miopia nampak memiliki beberapa efek perlindungan
terhadap retinopati diabetik dalam penelitian kami, asosiasi ini masih perlu dikonfirmasi melalui
studi lanjutan.
Olahraga (hari/minggu)
0 1103 (68.7) 140 (85.2)
1 86 (6.8) 3 (3.3)
2 83 (6.6) 4 (1.7)
3 91 (7.8) 8 (4.0)
≥4 109 (7.2) 9 (5.4)
Komorbiditas kesehatan
Anemia 145 (9.6) 22 (10.8)
Gagal ginjal 10 (0.5) 0 (0)
Infark Miokard 35 (1.7) 4 (2.4)
Hipertensi 798 (49.0) 83 (41.7)
Hiperlipidemia 379 (22.8) 40 (21.7)
Angina 62 (3.4) 9 (4.3)
Stroke 72 (3.6) 10 (7.7)
BUN 15.72 16.76
Kreatinin 0.87 0.88
Trigliserida 188 193
Mean SBP 126 129
Mean SDP 79 77
Gula darah 141 171
HbA1c 7.17 8.52
Tabel 2. Analisis regresi logistik multivariat melihat hubungan kesalahan refraktif terhadap adanya retinopati
diabetes proliferatif
Tabel 3. Analisis regresi logistic multivariate melihat hubungan kesalahan refraksi terhadap adanya retinopati
diabetic non proliferasi