Anda di halaman 1dari 72

PROCEEDING BOOK

4TH ANNUAL SCIENTIFIC MEETING


INDONESIAN OPHTHALMIC NURSES ASSOCIATION
Four Points by Sheraton Hotel
Makasar, 28th, 2019

Editor:
Heriyanto, S.Kep., Ns, MPH
KATA PENGANTAR

Sebagai organisasi profesi, dalam hal iniIkatan Perawat Mata (IKPAMI) sudah melakukan berbagai
upaya terobosan untuk meningkatkan kompetensi perawat mata. Berbagai pelatihan kompetensi saat ini
sudah berjalan dan terus dilakukan pemantapan serta pengembangan untuk meningkatkan kemampuan
perawat mata dalam melakukan tugasnya sesuai standar organisasi.

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dengan pelayanan kesehatan mata
terjadi sangat cepat dan dinamis.Untuk itu, diperlukan pertemuan ilmiah tahunan (PIT) untuk perawat
mata sebagai upaya untuk memfasilitasi anggota IKPAMI dalam mengikuti perkembangan informasi,
ilmu pengetahuan serta standar perawatan mata yang update sehingga dapat menerapkan ilmu dan
keterampilannya dalam pengabdiannya kepada masyarakat.

Dalam PIT IKPAMI ini juga menjadi sarana untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui
pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh perawat mata baik yang praktisi maupun akademisi.

Chairman,

Rosikin, SKM., MKM, CEBT

i
DAFTAR ISI

1. Hubungan Persepsi dan Pengetahuan Terhadap Efikasi Diri Pada Pasien Retinopati Diabetik
Ns. Diah Ayu Lestari Irawadhi, S.Kep

2. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Klien yang Mengalami Retinopati
Diabetik Di Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung
Linda Kartika, Davika Triana, Dewanti Widya

3. Perbedaan Efek Dilatasi Pupil Pada Pemberian Tropicamide 1% Single Dose Dengan
Kombinasi Tropicamide 1% Dan Phenylephrine 10% Eye Drop Pada Pasien Katarak Di
Klinik Mata Utama JEC – Java Surabaya
Saffitri Wulandari, Ariz Juli Prihanto, Susy Fatmariyanti

4. Efektifitas Pemberian Teknik Relaksasi Otot Progressive Terhadap Penurunan Tekanan


Darah Pada Pasien Pre Operasi Katarak Di RS Jakarta Eye Center Menteng
Ns. Leliani Oktarina, S.Kep

5. Pengaruh Pemberian Discharge Planning Oleh Perawat Terhadap Kesiapan Pasien Post
Operasi Katarak Dalam Menghadapi Kepulangannya Poliklinik Kirana RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta
Ns. Lilis Suryanti, S.Kep

6. Skrining Kelainan Refraksi Pada Siswa Sekolah Dasar Sebagai Upaya Pencapaian Program
Kecamatan Sehat Mata Di Kota Makassar
Ns. Asrul Parawansyah, S.Kep., M.Kep

7. Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Pre
Operasi Di Ruang Kamar Bedah RS Mata JEC Primasana @ Tanjung Priok Jakarta Utara
Ns. Kerise Pramudita, S.Kep

8. Hubungan Unsafe Action Penggunaan Gadget Dengan Nilai Visus Pada Remaja Miopia Di
Rumah Sakit Daerah Balung Kabupaten Jember
Siswoyo, Muhamad Zulfatul A’la, Linda Novema

ii
HUBUNGAN PERSEPSI DAN PENGETAHUAN TERHADAP EFIKASI
DIRI PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIK

Diah Ayu Lestari Irawadhi


Nursing of Ophthalmology, Jakarta Eye Center, diahayu.irawadhii@gmail.com
Abstrak
Latar belakang: Retinopati Diabetik merupakan salah satu bentuk komplikasi mikrovaskular
dari diabetes melitus yang dapat berakibat pada kebutaan. Penyebabnya adalah persepsi yang
negatif serta pengetahuan rendah yang berakibat pada rendahnya efikasi diri manajemen
faktor risiko retinopati diabetik
Metode: tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi dan pengetahuan
terhadap efikasi diri pasien retinopati diabetik. Sampel yang digunakan sejumlah 40 orang
yang dipilih melalui metode total sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner
Brief- Illness Perception Questionairre (B-IPQ), Kuesioner pengetahuan retinopati diabetik,
Kuesioner The Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) dan dianalisa dengan
menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: sebagian besar memiliki persepsi negatif (65%), pengetahuan dalam kategori cukup
(42,5%), dan efikasi pada kategori kurang (70%)terdapat hubungan yang signifikan antara
persepsi dengan efikasi diri (p=0,017), hubungan signifikan antara pengetahuan dengan
efikasi (p=0,000). Persepsi positif memiliki kemungkinan akan memiliki efikasi diri lebih
besar 1,756 kali lebih besar dibanding yang memiliki persepsi negatif. Pengetahuan yang
tinggi memiliki kecenderungan akan memiliki efikasi diri 2,877 kali lebih lebih besar
dibanding yang memiliki pengetahuan yang rendah.
Kesimpulan: terdapat hubungan persepsi dan pengetahuan terhadap efikasi diri pasien
retinopati diabetik
Kata kunci: Persepsi, Pengetahuan, Efikasi diri, Retinopati diabetik
I. Latar Belakang risiko dari retinopati diabetik itu sendiri yaitu
Retinopati Diabetik merupakan salah satu hiperglikemia kronik.
bentuk komplikasi mikrovaskular dari diabetes Hiperglikemia kronik pada pasien retinopati
melitus yang ditandai dengan kerusakan dan diabetik dapat diminimalisasikan jika pasien
sumbatan pada pembuluh darah di retina yang memilki persepsi positif tehadap penyakitnya
mengakibatkan gangguan nutrisi pada retina dan serta pengetahuan yang baik sehingga pasien
berakibat pada kebutaan (Royal College of memiliki efikasi diri yang baik untuk mengelola
Ophthalmologists, 2012). dan memanajemen diabetes secara mandiri (Rias,
Retinopati diabetik dapat berkembang dari 2016).
Non-Proliferative Diabetic Retinophati (NPDR) Penelitian ini bertujuan untuk menguji
hingga Proliferative Retinopati Diabetik (PDR). hubungan persepsi penyakit dengan efikasi diri,
NPDR sering tidak menimbulkan gangguan hubungan tingkat pengetahuan tentang Retinopati
penglihatan sehingga sering tidak terdiagnosa. Diabetik dengan efikasi diri, serta hubungan
NPDR dapat mengalami gangguan penglihatan persepsi dan tingkat pengetahuan dengan efikasi
apabila disertai dengan Diabetic Macula Edema diri pasien retinopati diabetik.
(DME) (Miceli al, 2014). Penyebab utama
gangguan penglihatan berat hingga kebutaan II. Desain Dan Metode Penelitian
berada pada tahapan PDR dan DME (Dewi al, Penelitian ini merupakan penelitian
2019). kuantitatif dengan rancangan deskriptif korelasi
Saat ini diabetik retiopati menempati urutan dan pendekatan cross sectional. Penentuan
keempat dalam penyebab kebutaan secara gobal sampel menggunakan teknik total sampling.
setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi Populasi pada penelitian ini adalah pasien
makula. Menurut Arisandi (2018) di RSCM pada retinopati diabetik yang di rawat di ruang rawat
tahun 2011 Retinopati Diabetik menjadi inap RS Mata Jakarta Eye Center (JEC)
komplikasi terbanyak kedua yang ditemukan @Kedoya. Sampel yang digunakan dalam
dengan angka kejadian 33,4%. Prevalensi penelitian ini telah memenuhi kriteria inklusi
Retinopati Diabetik di Indonesia adalah 10-32% dna eksklusi yang diperoleh selama bulan Maret-
dari seluruh populasi penderita DM (Annisa& Juli 2019 dan didapatkan sebanyak 40 pasien
Romdhoni, 2017). Risiko mengalami retinopati yang terlibat dalam penelitian ini. Kriteria
diabetik meningkat sejalan dengan lamanya inklusi berupa pasien retinopati diabetik berusia
menderita DM (Annisa&Romdhoni, 2017). 20-75 tahun, dapat berkomunikasi aktif, bersedia
Retinopati Diabetik merupakan penyakit menjadi responden. Sedangkan untuk kriteria
kronis yang tidak dapat disembuhkan dan hanya eksklusi meliputi pasien retinopati diabetik yang
dapat dikelola secara tepat agar tidak terjadi memiliki gangguan komunikasi, gangguan
komplikasi berulang. Pengelolaan retinopati kognitif, dan mengundukan diri dalam proses
diabetik dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian.
pemeriksaan mata teratur dan menghindari faktor
Instrumen penelitian dalam penelitian ini (Tabel III). Item consequences memiliki
berupa kuesioner data demografi, Kuesioner nilai mean yang lebih tinggi dibanding
Brief- Illness Perception Questionairre (B-IPQ) yang lain, sedangkan yang terendah
versi bahasa indonesia digunakan untuk terdapat pada item coherence memiliki
mengukur persepsi pasien terhadap penyakit nilai rata-rata 3,35 dengan SD 0,893
yang dialaminya (Arifin, 2016). Selanjutnya (Tabel IV).
kuesioner pengetahuan untuk mengetahui tingkat 4. Efikasi Diri
pengetahuan pasien (Gonardi&Nursymai, 2017). Berdasarkan penelitian yang telah
Kuesioner The Diabetes Management Self dilakukan pasien berada pada kategori
Efficacy Scale (DMSES) untuk mengetahui kurang baik sebanyak 28 orang (70%) dan
tingkat efikasi pasien (Ariani, 2011). sisanya berada pada kategori baik
sebanyak 12 orang (30%) (Tabel V).
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan 5. Hubungan Persepsi terhadap Efikasi Diri
A. Hasil Penelitian Pada uji korelasi persepsi dengan
1. Karakterstik demografi efikasi diri uji yang digunakan adalah uji
Hasil analisa deskriptif menunjukkan korelasi spearman. Melalui uji tersebut
bahwa sebagian besar pasien berjenis diperoleh nilai signifikansi 0,017 yang
kelamin wanita (60%). Dari segi usia berarti p<0,05. Nilai signifikansi p<0,05
sebagian besar berada pada rentang usia menunjukkan bahwa terdapat hubungan
41-60 tahun (57,5%), sebagian besar telah yang signifikan antara persepsi pasien
menikah (87,5%), dengan pendidikan terhadap efikasi diri pasien untuk
terakhir SMA (40%). Dari jenis pekerjaan mengelola pencegahan retinopati diabetik
didominasi oleh ibu rumah tangga (45%), (Tabel VI).
sebagian besar mengalami DM selama 6- Selanjutnya dilakukan uji korealasi
10 tahun (42,5%) (tabel 1). antar item B-IPQ terhadap efikasi diri.
2. Pengetahuan Hasil yang diperloleh dapat disimpulkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi seluruh item B-IPQ
sebagia besar pasien memiliki terhadap efikasi memiliki nilai
pengetahuan dalam kategori cukup signifikansi p<0,05 yang berarti terdapat
sebanyak 17 orang (42,5%) (Tabel II). hubungan yang signifikan antara persepsi
3. Persepsi pasien terhadap efikasi diri.
Persepsi yang dimiliki yaitu persepsi
negatif dengan nilai mean 38,93 SD 3,149
Tabel I. Karakteristik Demografi Pasien (N=40)
Jumlah %
Jenis kelamin Laki-laki 16 40
Perempuan 24 60
Usia 18-40 tahun 4 10
41-60 tahun 23 57,5
>60 tahun 13 32,5
Pekerjaan Ibu rumah tangga 18 45
PNS 4 10
Swasta 10 25
Wiraswasta 3 7,5
Lainnya 5 12,5
Pendidikan SD 2 5
SMP 5 12,5
SMA 16 40
Diploma 3 7,5
Sarjana 9 35
Status pernikahan Belum Menikah 1 2,5
Menikah 35 87,5
Janda/duda 4 10
Lama DM 1-5 tahun 14 35
6-10 tahun 17 42,5
>10 tahun 9 22,5

Tabel II. Distribusi Pengetahuan Pasien (N=40)


Tingkat pengetahuan Jumlah %
Kurang 16 40
Cukup 17 42,5
Baik 7 17,5

Tabel III. Rerata Persepsi Pasien (N=40)


Nomor pertanyaan Total
1 2 3 4 5 6 7 8 skor
Mean 6,18 5,03 4,23 3,98 4,98 5,55 3,35 5,65 38,93

Tabel IV. Distribusi Rerata Nilai Persepsi Pasien Tiap Variabel (N=40)
Persepsi Mean SD
Consequences 6,18 0,747
Timeline 5,03 1,143
Personal control 4,23 1,000
Teratment control 3,98 1,250
Identity 4,98 0,698
Concern 5,55 0,749
Coherence 3,35 0,893
Emotional representation 5,65 0,736
Tabel V. Distribusi Efikasi Diri Pasien (N=40)
Efikasi diri Jumlah %
Baik 12 30
Kurang baik 28 70

6. Hubungan Pengetahuan terhadap Efikasi 7. Hubungan Persepsi dan Pengetahuan


Diri terhadap Efikasi Diri
Uji korelasi spearman juga digunakan Untuk mengetahui hubungan antar
untuk mengetahui hubungan antara variabel pada penelitian ini menggunakan
pengetahuan terhadap efikasi diri. Hasil analisa model regresi logistik.
uji korelasi pengetahuan terhadap efikasi Berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow
diri diperoleh hasil berupa nilai diperoleh nilai signifikansi 1,000 (>0,05).
signifikansi 0,000 (p<0,05), hal ini Hal ini dapat disimpulkan bahwa model
menunjukkan bahwa terdapat hubungan persamaan logistik yang dibuat layak dan
yang signifikan antara tingkat dapat diinterpretasikan. Nilai Negelkerke
pengetahuan dengan efikasi diri (Tabel R Square model adalah sebesar 0,790.
VI).
Tabel VI. Uji Korelasi Persepsi, Pengetahuan terhadap Efikasi Diri
Variabel Sig
Persepsi 0,017
Pengetahuan 0,000

Tabel VII. Uji Korelasi item B-IPQ terhadap Efikasi Diri


Variabel Domain Sig
Consequences 0,046
Persepsi Timeline 0,046
Personal control 0,035
Teratment control 0,047
Identity 0,038
Concern 0,047
Coherence 0,022
Emotional representation 0,036

Tabel VIII. Uji Analisis Regresi Logistik


Hubungan Persepsi, Pengetahuan dengan Efikasi Diri Pasien Retinopati Diabetik
Variabel B OR P CI 95%
Atas Bawah
Persepsi 0,277 1,756 0,008 -0,043 0,597
Pengetahuan 0,313 2,877 0,007 0,093 0,534

Hal ini menunjukkan bahwa pasien terhadap efikasi diri pasien adalah
pengaruh persepsi dan pengetahuan sebesar 79%. Nilai signifikansi pada
Omnibus test sebesar 0,000 (Sig< 0,05) dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini
berarti persepsi dan pengetahuan secara dikaitkan dengan tingginya angka
simultan berpengaruh terhadap efikasi kegemukan pada wanita terkait genetik
diri. dan pola hidup yang merupakan faktor
Nilai signifikansi pengaruh persepsi risiko dari DM.
terhadap terhadap efikasi diri adalah Dari segi usia sebagian besar berada
sebesar 0,008 (p<0,05) dan koefisien pada rentang usia 41-60 tahun (57,5%).
regresi bertanda positif maka dapat Usia merupakan salah satu faktor risiko
disimpulkan bahwa persepsi berpengaruh dalam proses terjadinya retinopati
positif dan signifikan terhadap efikasi diri. diabetik. Pertambahan usia mulai dari usia
Nilai odds ratio sebesar 1,756 40 tahun dapat menurunkan fungsi tubuh
menunjukkan bahwa pasien dengan yang disebabkan oleh proses apoptosis
persepsi yang positif memiliki sel. Keadaan hiperglikemia yang kronis
kecenderungan akan memiliki efikasi diri reaksi inflamasi dan stres oksidatif
1,756 kali lebih lebih besar dibanding mempercepat terjadinya apoptosis sel di
yang memiliki persepsi negatif. retina sehingga terjadilah retinopati
Nilai signifikansi pengaruh diabetik.
pengetahuan terhadap terhadap efikasi diri Sebagian besar dengan pendidikan
adalah sebesar 0,007 dan koefisien regresi terakhir SMA (40%). Semakin tinggi
bertanda positif maka dapat disimpulkan tingkat pendidikan maka toleransi dan
bahwa pengetahuan berpengaruh positif pengontrolan terhadap stresor akan
dan signifikan terhadap efikasi diri. Nilai semakin baik perkembangan kognitifnya
odds ratio sebesar 2,877 menunjukkan sehingga akan memiliki penilaian yang
bahwa pasien dengan pengetahuan yang lebih realitas dan menjadikan masalah
tinggi memiliki kecenderungan akan sebagai sesuatu yang harus diatasi.
memiliki efikasi diri 2,877 kali lebih lebih Sebagian besar responden telah
besar dibanding yang memiliki menikah (87,5%) dan bekerja sebagai ibu
pengetahuan yang rendah (Tabel VIII). rumah tangga (45%), hal ini sesuai
B. Pembahasan dengan penelitian Doya (2017) yang
1. Demografi menyatakan bahwa seseorang yang tidak
Hasil analisa deskriptif menunjukkan memiliki pekerjaan tidak menetap akan
bahwa sebagian besar pasien berjenis cenderung lebih mudah mengalami stres,
kelamin perempuan (60%). Sesuai dengan dan stres merupakan salah satu faktor
penelitian yang dilakukan oleh pemicu meningkatnya kadar gula darah.
Noventi&Dawiyah (2018) yang Sebagian besar mengalami DM
menyatakan bahwa retinopati diabetik selama 6-10 tahun (42,5%). Penelitian
lebih sering ditemukan pada perempuan yang dilakukan oleh Massimo al (2014)
menunjukkan rata-rata retinopati diabetik tentang penyakitnya akan dapat
terjadi 5 tahun setelah pasien terdiagnosa memahami cara untuk mengontrol
DM. Selain itu pada durasi DM 5-10 penyakitnya dengan tepat (Naili, 2017)
tahun sudah terdapat perubahan vaskular Pada penelitian ini diperoleh
yang cukup signifikan seperti kesimpulan bahwa persepsi negatif pasien
mikroeneurisme, cotton wool spot, retinopati diabetik berakibat pada
perdarahan intraretinal dan edema kurangnya tingkat efikasi diri mereka
makula. untuk melakukan manajemen
2. Persepsi hiperglikemia sebagai salah satu faktor
Berdasarkan hasil penelitian ini, risiko retinopati diabetik. Sehingga perlu
persepsi pasien retinopati diabetik masih ditanamkan persepsi yang positif terhadap
negatif, hal ini dibuktikan dengan nilai manajemen diabetes sebagai salah satu
mean 38,93. Menurut Hadisa al (2017) bentuk pengelolaan retiopati diabetik.
semakin tinggi skor yang diperoleh maka 3. Pengetahuan
akan menunjukkan bahwa penyakit Hasil penelitian ini menunjukkan
tersebut dianggap sebagai suatu ancaman. bahwa sebagian besar pasien memiliki
Analisa rerata tiap item mengenai persepsi pengetahuan yang cukup (42,5%). Hal ini
pasien terhadap Retinopati diabetik menunjukkan masih perlunya sosialisasi
memperkuat hasil persepsi yang negatif. pada pasien akan pentingnya deteksi dini
adapun rerata yang tinggi yaitu pada item melalui pemeriksaan retina secara berkala
consequese (kepercayaan pasien sesuai dengan yang direkomendasikan
mengenai seberapa kuat pengaruh oleh American Diabetes Association
penyakit terhadap kehidupan sehari-hari), (ADA) dan American Academy of
timeline (kepercayaan pasien mengenai Ophthalmology (AAO) yaitu pada pasien
rentang waktu penyakit yang dialami), DM tipe 1 harus melakukan pemeriksaan
identity (beberapa sering pasien rutin setiap tahun, dimulai dari 5 tahun
mengalami gejala dari penyakit tersebut), setelah diagnosis ditegakkan. Sedangkan
concerns (perasaan khawatir akibat dari pada pasien DM tipe 2 harus dilakukan
penyakit), emotional response (respon skrining segera setelah diagnosis DM
emosional pasien terkait penyakit). ditegakkan dan dilanjutkan pemeriksaan
Menurut Pasek (2013) persepsi rutin setidaknya setahun sekali
merupakan satu aktifitas mengindera, (Nursyamsi al, 2018).
mengintergrasikan, menginterpretasikan Hasil uji korelasi antara pengetahuan
suatu objek yang dipengaruhi stimulus terhadap efikasi diri dalam penelitian ini
fisik dan stimulus sosial yang ada di menunjukkan bahwa adanya hubungn
lingkungan sekitarnya. Pasien Retinopati yang signifikan antara pengetahuan
diabetik yang memiliki persepsi positif dengan efikasi diri. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mehta al, kurang optimal disebabkan oleh
(2016) dalam penelitiannya mengenai pengetahuan dan keyakinan yang belum
hubungan Pengetahuan terhadap efikasi optimal. Efikasi diri yang tinggi
perempuan dengan diabetes di India yang mendorong pembentukan pola pikir.
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat Pengetahuan memegang peranan penting
pengetahuan seseorang maka akan dalam membentuk persepsi seseorang.
semakin tinggi pula efikasi diri yang Melalui pengetahuan yang baik seseorang
dimilikinya. dapat memahami dengan baik pokok
4. Efikasi Diri permasalahan yang ada sehingga dapat
Efikasi diri dikemukakan oleh memikirkan baik dan buruknya sikap
Bandura dalam Rustika (2012) merupakan yang diambil.
suatu bentuk teori kognitif mengenai Retinopati diabetik merupakan salah
keyakinan terhadap dirinya untuk satu bentuk komplikasi mikrovaskular
menyelesaikan masalah yang yang diakibatkan oleh DM yang bersifat
dihadapinya. Efikasi diri merupakan kronis. Untuk mencegah terulangnya
bagian dari suatu perilaku kesehatan. komplikasi diperlukan manajemen
perilaku seseorang dipengaruhi oleh diabetes yang baik dan dilakukan seumur
faktor eksternal berupa faktor lingkungan hidup. Persepsi negatif dan kurangnya
baik fisik seperti cuaca maupun non fisik pengetahuan yang dibangun oleh pasien
yaitu sosial, budaya, ekonomi, dan faktor berakibat pada rendahnya tingkat
internal salah satunya adalah persepsi. kepercayaan diri mereka terhadap
Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuannya untuk memanajemen
bahwa efikasi diri pada pasien retinopati penyakit yang dideritanya (Naili, et. Al,.
diabetik masih kurang baik yaitu 70%. 2017)
Hasil ini sejalan dengan pendapat Doya Efikasi diri adalah prediktor kuat
(2017) yang menyatakan bahwa pasien terhadap perilaku manajemen
DM yang memiliki komplikasi hiperglikemi pada pasien retinopati
menunjukkan tingkat efikasi dirinya diabetik, seseorang dengan tingkat efikasi
masih rendah. Selain itu hasil penelitian diri yang baik atau tinggi akan mengelola
ini mendukung hipotesa adanya hubungan hiperglikeminya dengan baik (Hunt al.,
signifikan antara persepsi dan tingkat 2012). Strategi untuk meningkatkan
pengetahuan terhadap efikasi diri pada efikasi diri adalah dengan pendidikan
pasien retinopati diabetik. kesehatan melalui pendekatan Diabetes
Penelitian yang dilakukan oleh Rias self management education,
(2016) menjelaskan bahwa terdapat empowerment dan motivational
hubungan pengetahuan dan keyakinan interviewing, serta support group (Ariani,
dengan efikasi diri. Efikasi diri yang 2011). Seseorang yang berpengetahuan
baik akan memiliki tingkat pemahaman Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Mengikuti
dan kesadaran yang lebih baik, dan Prolanis Di Puskesmas Kedaton Kota Bandar
selanjutkan akan berpengaruh terhadap Lampung. Majority Journal. 2018; 7(3): 17-23
perilaku yang baik.
Astuti, R., Ansyori, A., Amin, R. Urine Albumin
IV. Kesimpulan dan Saran Creatinine Ratio Among Diabetic Retinopathy
Penelitian ini menyimpulkan bahwa persepsi Patient With And Without Diabetic Macular
dan tingkat pengetahuan pasien retinopati Edema In Moh. Hoesin Hospital Palembang.
diabetik terhadap efikasi diri berpengaruh secara International Journal Of Retina (Ijretina). 2018;
signifikan. Hal ini sesuai dengan teori HBM. 1(1): 1-6
Pengetahuan merupakan faktor dasar yang
mempengaruhi persepsi. Oleh karena itu edukasi Dewi, N., Fadrian., Vitresia, H. Profil Tingkat
yang efektif perlu ditingkatkan untuk Keparahan Retinopati Diabetik Dengan Atau
meningkatkan persepsi sehingga dapat tercipta Tanpa Hipertensi Pada Di RSUP Dr. M. Djamil
eikasi diri yang baik. Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(2):
204-210
V. Kepustakaan
Annisa, Y., Romdhoni. M. Perbandingan Resiko Doya, A. (2017). Efikasi Diri Diabetes Melitus
Terjadinya Retiopati Diabetik Antara Pasien Tipe 2 Di RSUP H. Adam Malik Medan.
Hipertensi Dan Non Hipertensi Yang Mengidap Repositori Institusi USU. Medan
Diabetes Mellitus Di Rsud Majenang.
Medisains: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Kesehatan. Gonardi, J., Nursyamsi. 2017. Tingkat
2017; 15(1): 31-38 Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Terhadap Terjadinya Penyakit Retinopati
Ariani, Y. 2011. Hubungan Antara Motivasi Diabetik Di Rs Wahidin Sudirohusodo.
Dengan Efikasi Diri Pasien Dm Tipe 2 Dalam Universitas Hasanuddin. Makassar: FK UNHAS.
Konteks Asuhan Keperawatan Di RSUP. H.
Adam Malik Medan. Depok: Fk UI. Hadisa, N., Susanti, R., Robianto. (2017). Uji
Validitas dan Reliabilitas B-IPQ Versi Bahasa
Arifin, F.F. 2016. Hubungan Antara Persepsi
Indonesia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di
tentang Penyakit dengan Keparuhan Minum
RSUD Soedarso Pontianak. Jurnal Manajemen
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) Di Puskesmas
dan Pelayanan Farmasi. 2017; 7(4): 175-181
Srondol Semarang Kota Semarang. Semarang:
Undip
Massimo, P., Curletto, G., Cipullo, D., Rigault,
R.L., Trento, M., Passera, P., Viola, A.T.,
Arisandi, R., Himayani, R., Maulana, M.
Mehta, N.V., Trivedi, M., Maldonado, L.E.,
Hubungan Kadar Hba1c Dengan Angka
Saxena, D., Humphries, D.L. (2016). Diabetes
Kejadian Retinopati Diabetik Pada Pasien
Knowledge and Self Efficacy Among Rural Rafiah, N., & Perwitasari, D.A. (2017).
Women n Gujarat India. Rural and Remote Hubungan Persepsi Tentang Penyakit dengan
Health. 2016; 16:1-10 Kualitas Hidup pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 dengan Komplikasi di RSUD Abdul
Miceli, S., Cenci, A., Dalmasso, P., Cavallo, F. Wahab Sjahranie Samarinda. Media Farmasi.
(2014). Estimating the Delay Between Onset and 2017; 14(1): 103-118
Diagnosis of Type 2 Diabetes From the Time
Course of Retinopathy Prevalence. Diabetes Rias, Y.A. Hubungan Pengetahuan Dan
Care. 37:1668–1674 Keyakinan Dengan Efikasi Diri Penyandang
Diabetic Foot Ulcer. Jurnal Keperawatan
Noventi, I., & Damawiyah, S. (2018). Faktor Muhammadiyah. 2016; 1(1): 13-17
Resiko Retinopati Diabetik: A Case-Control.
Indonesian Journal of Health Sciensce. Robiyanto., Prayuda., Nansy, E. Uji Validitas
2018;10(2):1-10 Instrumen B-Ipq Versi Indonesia Pada Pasien
Hipertensi Di Rsud Sultan Syarif Mohamad
Nuraini, A., Yulia, R., Herawati, F., Setiasih. Alkadrie Pontianak. Social Clinical Pharmacy
Hubungan Pengetahuan Dan Keyakinan Dengan Indonesia Journal. 2016; 1(1): 41-49
Kepatuhan Menggunakan Antibiotik Pasien
Dewasa. Jmpf. 2018; 8(4):165 – 174 Rustika, I.M. (2012). Efikasi Diri: Tinjauan
Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi.
Nursyamsi., Habibah, M., Jennifer, G. (2018). 2012;20:18-25
Knowledge of Diabetic Retinopathy Amongst
Type II Diabetes Melitus Patients in DR Soewondo, P., Soegondo, S., Suastika, K.,
Wahidin Sudirohusodo Hospital. Medical Pranoto, A., Soeatmadji, D. The Diabcare Asia
Science Journal. 2018; 3(2): 23-29 2008 Study – Outcomes On Control And
Complications Of Type 2 Diabetic Patients In
Pasek, M.S., Suryani, N., Murdani, P. Hubungan Indonesia. Med J Indonesia. 2010; 19(4): 235–
Persepsi Dan Tingkat Pengetahuan Penderita 244
Tuberkulosis Dengan Kepatuhan Pengobatan Di
Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng 1. Jurnal Yau, J., Rogers, S.l., Kawsaki, R., Lamourex,
Magister Kedokteran Keluarga. 2013; 1(01): 14- E.L., Kowalski, J., Bek, T., Et Al. Global
23 Prevalence And Major Risk Factors Of Diabetic
Retinopathy. Diabetes Care. 2012; 35: 556–564
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS HIDUP
KLIEN YANG MENGALAMI RETINOPATI DIABETIK

Linda Kartika, Davika Triana, Dewanti Widya


Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung

Abstrak

Latar Belakang : Retinopati diabetik adalah salah satu dampak dari komplikasi yang muncul pada sistem
penglihatan akibat diabetes mellitus, dimana kondisi ini dapat mengancam penglihatan dan menyebabkan
kebutaan sehingga menurunkan kualitas hidup penderita. Untuk meningkatkan kualitas hidup klien
dibutuhkan dukungan keluarga, karena salah satu fungsi keluarga adalah memberikan perawatan kepada
anggota keluarganya yang sakit. Pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah
klien retinopati diabetik yang berkunjung ke Poli Vitreoretina sebanyak 49,75%. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup klien yang mengalami
retinopati diabetik di Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
Metode : Jenis penelitian menggunakan descriptive korelasi dengan pendekatan cross sectional pada
sampel berjumlah 50 orang dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner untuk dukungan keluarga dan Visual Function Questionnaire-25 untuk kualitas hidup
penglihatan. Analisa statistik yang digunakan uji Chi-Square.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 58% klien mendapatkan dukungan dari keluarga, dan 52
% klien memiliki kualitas hidup yang baik.
Kesimpulan : Dari hasil uji Chi Square didapatkan P-value = 0,04 dengan α = 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup klien yang mengalami
retinopati diabetik. Oleh karena itu, perawat diharapkan dapat meningkatkan dukungan keluarga dengan
memberikan edukasi mengenai perawatan klien yang mengalami retinopati diabetik agar klien dapat
mempertahankan kualitas hidupnya.
Kata Kunci : Dukungan Keluarga, Kualitas Hidup, Retinopati Diabetik
I. LATAR BELAKANG Katarak Bedah Refraktif Pusat Mata Nasional
Penglihatan adalah salah satu indera yang Rumah Sakit Mata Cicendo pada tahun 2017
Tuhan berikan agar kita dapat melihat dan sebanyak 2776. Sedangkan jumlah kunjungan klien
mempelajari banyak hal di dunia ini. Kehilangan yang mengalami retinopati diabetik ke Poli
penglihatan bukanlah hal yang mudah untuk Vitreoretina sebanyak 3662 kunjungan. Dapat
diterima oleh semua orang. Dapat dibayangkan disimpulkan bahwa jumlah kunjungan klien yang
betapa kehilangannya seseorang yang tidak dapat mengalami retinopati diabetik lebih banyak 56,4%
menggunakan kembali indera penglihatannya atau dibandingkan klien dengan katarak diabetikum.
orang yang memiliki keterbatasan dalam melihat Klien yang mengalami katarak diabetikum
karena suatu hal misalnya karena menderita suatu dapat dikategorikan sebagai treatable blindness,
penyakit tertentu atau karena kecelakaan sehingga dimana penglihatan dapat direhabilitasi dengan
terjadi kerusakan pada organ mata dan harus tindakan operasi katarak. Sedangkan klien yang
kehilangan fungsi penglihatan (Jannah, 2016). Salah mengalami retinopati diabetik mengeluh
satu penyakit yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatannya buram, seperti melihat jaring laba-
penglihatan adalah diabetes mellitus dengan laba dan bintik-bintik yang berterbangan. Klien
komplikasi retinopati diabetik. Jumlah penderita harus menjalani pengobatan atau tindakan medis
diabetes mellitus yang telah terdiagnosis di secara teratur untuk mempertahankan
Indonesia di perkirakan sebanyak 3.706.236 jiwa penglihatannya. Kebutaan pada klien dengan
(Kemenkes Republik Indonesia, 2014). retinopati dapat dikategorikan sebagai preventable
Komplikasi kronik yang akan dialami blindness dimana kebutaan akibat retinopati hanya
penderita diabetes mellitus meliputi komplikasi dapat dicegah apabila klien melakukan deteksi dini
makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi dan pengobatan secara teratur (Asrorudin, 2014).
makrovaskular terdiri dari penyakit arteri koroner, Retinopati diabetik adalah kerusakan
penyakit serebrovaskular, hipertensi, penyakit progresif pembuluh darah di retina yang disebabkan
pembuluh darah kapiler dan infeksi. Sedangkan oleh kadar gula darah tinggi (hiperglikemia). Sebagai
komplikasi mikrovaskular terdiri dari retinopati, komplikasi umum dari diabetes mellitus, penyakit ini
katarak, nefropati, ulkus tungkai dan kaki, neuropati dapat menyebabkan kebutaan dan gangguan
sensori motor dan neuropati autonomi. (Black, penglihatan lainnya.
2014). Komplikasi yang muncul pada sistem Menurut World Health Organization (1994)
penglihatan klien yang mengalami diabetes mellitus dalam Asrorudin (2014), kualitas hidup didefinisikan
adalah katarak diabetikum dan retinopati diabetik. sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau
Jumlah kunjungan klien dengan katarak komplikata wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan
yang diantaranya adalah katarak diabetikum ke Poli sistem nilai dimana mereka tinggal, dan
berhubungan dengan standar hidup, harapan, dan aktivitas olah raga rutin minimal jalan kaki setiap
kesenangan, dan perhatian mereka. hari. Keluarga jarang menemani klien untuk
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti beraktivitas di luar rumah dan keluarga jarang
lakukan di Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional menghibur klien jika klien merasa sedih karena
Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung jumlah klien memikirkan kondisi penyakit saat ini. Perasaan sedih
retinopati yang datang ke Poli Vitreoretina sejak inilah yang dirasakan semakin menurunkan
bulan Januari 2017 sampai dengan bulan Desember semangat klien untuk sembuh. 5 dari 10 klien yang
2017 mencapai 2446 klien, dengan rata-rata diwawancara mengatakan terjadinya penurunan
kunjungan sebanyak 203 tiap bulannya. Sedangkan ketajaman penglihatan yang signifikan setelah
pada tahun 2018 jumlah kunjungan klien retinopati mengalami retinopati diabetik. Banyak perubahan
diabetik di poli retina berjumlah 4918 dengan rata- yang dialami klien terkait penurunan fungsi
rata kunjungan tiap bulannya sebanyak 409 penglihatan. 3 orang menyebutkan bahwa aktivitas
kunjungan. Terdapat peningkatan jumlah kunjungan pekerjaan menjadi terganggu. 2 orang mengatakan
klien retinopati diabetik yang signifikan antara tahun merasa malu dengan kondisi yang ada, dan merasa
2017 dan tahun 2018 yakni sebanyak 49,75%. sedih karena tidak dapat membaca ayat suci
Berdasarkan wawancara peneliti kepada Alqu’ran, dan 7 orang mengatakan aktifitas di luar
klien dan keluarganya, 2 dari 10 klien retinopati rumah menjadi terbatas. Bahkan ada 1 orang
diabetik mengatakan tidak ada yang mengantar untuk mengatakan putus asa dan berdoa ingin segera
kontrol ke rumah sakit. Klien yang pertama mengakhiri kehidupan karena beratnya menjalani
mengungkapkan bahwa klien tidak tinggal satu kondisi penyakit yang dialami saat ini.
rumah dengan pasangan (suami) karena suami Penurunan fungsi penglihatan dilalui melalui
bekerja di luar kota dan klien tinggal bersama dengan tahap kehilangan menurut Kubler Ross yaitu Denial
anak-anak di rumah. Sedangkan klien yang kedua (Penyangkalan), Anger (Marah), Bargaining (Tawar
mengatakan bahwa sudah tidak memiliki suami, dan menawar), Depression (Depresi) dan Acceptance
saat ini tinggal bersama dengan salah satu anaknya. (Penerimaan). Peran keluarga sangat diperlukan
Klien mengungkapkan tidak enak merepotkan anak- untuk menjalani tahap kehilangan ini.
anak untuk mengantar berobat dan kontrol ke dokter Berdasarkan fenomena dan data-data tersebut
mata. Untuk kontrol ke dokter mata, klien harus terkait kasus retinopati yang diakibatkan oleh
menempuh perjalanan yang cukup jauh dari rumah diabetes mellitus di Pusat Mata Nasional Rumah
dan memerlukan biaya yang cukup besar baik untuk Sakit Mata Cicendo Bandung, maka peneliti tertarik
akomodasi maupun biaya pengobatan tindakan di untuk meneliti hubungan dukungan keluarga dengan
rumah sakit. Klien mengatakan keluarga yang kualitas hidup pada klien yang mengalami retinopati
tinggal satu rumah (anak) jarang mengingatkan diabetik di Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional
untuk menjaga makanan terkait diabetes mellitus, Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
II. DESAIN DAN CARA PENELITIAN responden diolah dan dianalisis untuk mendapatkan
Penelitian ini menggunakan desain gambaran dukungan keluarga dengan kualitas hidup
descriptive korelasi dengan pendekatan cross klien yang mengalami retinopati diabetik beserta
sectional study yaitu peneliti melakukan penelitian hubungan kedua variabel tersebut di Poli
atau pengukuran dalam satu waktu. Adapun tujuan Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
spesifik penelitian cross sectional adalah untuk Cicendo Bandung. Penyajian dan hasil penelitian
mempelajari dinamika korelasi antara fenomena atau ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
hubungan antara variabel independen dengan berdasarkan variabel yang diteliti.
variabel dependen dalam satu waktu atau sesaat
(Notoatmodjo, 2014). Tabel 1 Karakteristik Klien Retinopati Diabetik di
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
klien diabetes mellitus tipe 2 yang mengalami Cicendo Bandung
komplikasi retinopati diabetik dan berkunjung ke No Karakteristik Jumlah Persen
Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Responden (%)
1 Usia:
Mata Cicendo Bandung bulan Mei 2017 yaitu Usia < 46 (Dewasa 14 28
sebanyak 97 orang. Akhir)
Usia 46-55 (Lansia 19 38
Sampel dalam penelitian ini adalah klien Awal)
dengan diabetes mellitus tipe 2 yang mengalami Usia 56-55 (Lansia 17 34
Akhir )
komplikasi retinopati diabetik. Berdasarkan rumus Total : 50 100
jumlah sampel yang didapat dengan α= 0,1 adalah 2. Pendidikan :
Tidak Sekolah 2 4
49,2 dan dilakukan pembulatan sehingga menjadi 50 SD 23 46
sampel. Non Probability Sampling adalah Teknik SLTP 1 2
SLTA 14 28
yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi
Pendidikan Tinggi 10 20
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel Total: 50 100
(Notoatmodjo, 2014). Teknik yang dipergunakan 3. Keluarga yang
merawat :
dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling, Pasangan / anak 45 90
yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan Tetangga / kerabat 5 10
4. Visus Terbaik Mata
tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti kanan dan kiri
berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah <3/60 31 62
3/60 - <6/18 19 38
diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2014). Total 50 100
5. Status Pekerjaan :
Bekerja 12 24
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tidak Bekerja / 38 76
A. Hasil Penelitian berhenti dari
pekerjaan / pensiun
Hasil Penelitian yang dilakukan terhadap 50
Total: 50 100
klien yang tidak mendapatkan dukungan informasi
Dari tabel diatas menunjukkan sebagian besar (38%) dari keluarga.
klien berada pada usia lansia awal, sebagian dari
klien (46%) memiliki pendidikan sekolah dasar, Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup Klien
hampir seluruh klien dirawat oleh pasangan atau yang mengalami Poli Vitreoretina Pusat Mata
anak (90%), sebagian besar dari klien (62%) Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung
memiliki ketajaman penglihatan terbaik mata kanan Kategori Kualitas Hidup
dan kiri < 3/60 dan sebagian besar klien (76%) tidak Frekuensi %
Baik 26 52
bekerja. Buruk 24 48
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan sebagian
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
besar (52%) klien retinopati diabetik di Poli
yang Mengalami Retinopati Diabetik di Poli
Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Cicendo Bandung memiliki kualitas hidup baik
Cicendo Bandung
Kategori Dukungan Keluarga
Frekuensi % Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup
Mendukung 29 58 Berdasarkan Domain Klien yang Mengalami
Tidak Mendukung 21 42
Retinopati Diabetik di Poli Vitreoretina Pusat Mata
Total 50 100
Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan sebagian Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung
besar (58%) klien retinopati diabetik di Poli Domain Kualitas Hidup
Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Baik Buruk
Kesehatan Umum 21 (42%) 29 (58%)
Cicendo Bandung mendapatkan dukungan keluarga. & Penglihatan
Kesulitan 21 (42%) 29 (58%)
Melakukan
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Beberapa Aktifitas
Berdasarkan Bentuk Dukungan Pada Klien yang Tanggapan 24 (48%) 26 (52%)
Terhadap Masalah
Mengalami Retinopati Diabetik di Poli Vitreoretina Penglihatan
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung Menunjukkan bahwa sebagian dari klien memiliki

Jenis Dukungan Keluarga kualitas hidup buruk pada domain yaitu domain
Dukugan Mendukung Tidak kesehatan umum & penglihatan (58%) dan domain
Keluarga Mendukung
Informasi 45 (90%) 5 (10 %) kesulitan melakukan beberapa aktifitas (58%)
Emosional 48 (96%) 2 (4 %) sedangkan sebagian dari dari klien (48%) memiliki
Penghargaan 48 (96%) 2 (4%)
kualitas hidup baik domain tanggapan terhadap
Instrumental 49 (98%) 1 (2%)
Dari tabel 3 diatas menunjukkan bahwa hampir masalah penglihatan.
seluruh (98%) klien mendapatkan dukungan
instrumental dari keluarga. Dan sangat sedikit (10%)
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Kualitas Hidup Dukungan Kualitas Hidup Total
Keluarga Baik % Buruk % %
Berdasarkan Sub Domain Klien yang Mengalami
Mendukung 18 75 11 42 58
Retinopati Diabetik di Poli Vitreoretina Pusat Mata Tidak 6 25 15 57 42
Nasional Rumah Sakit Cicendo Bandung Mendukung
Total 24 26 100
Sub Domain Kualitas Hidup P-Value 0,04
Baik Buruk Berdasarkan tabulasi silang diatas diketahui bahwa
Kesehatan Umum 36 (72%) 14 (28%)
Penglihatan 15 (30%) 35 (70%) klien dengan dukungan keluarga yang baik dan
Umum memiliki kualitas hidup yang baik sebanyak 18 orang
Nyeri pada Mata 37 (74%) 13 (26%)
(75%), sedangkan klien dengan kategori tidak
Aktifitas Dekat 19 (38%) 31(62%)
Aktifitas jauh 28 (57%) 21(42%) mendukung dan memiliki kualitas hidup buruk
Fungsi Sosial 24 (48%) 26 (52%)
sebanyak 15 orang (57%). Hasil uji Chi-square
Kesehatan Mental 25 (50%) 25 (50%)
Kesulitan Peran 28 (56%) 22 (44%) menghasilkan nilai P-Value = 0,04 dengan derajat
Ketergantungan 26 (52%) 24 (48%) kepercayaan atau α = 5% (0,05).
Kemampuan Tidak dapat Tidak dapat
Mengemudi dinilai dinilai Karena nilai P-value = 0,04 < 0,05 artinya Ho
Penglihatan 35 (70%) 15(30%) ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Warna
Penglihatan 17 (34%) 33(66%) terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan
Perifer kualitas hidup klien retinopati diabetik di Poli
Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Berdasarkan tabel 6 diatas menunjukkan sebagian
Cicendo Bandung.
besar (74%) klien retinopati diabetik di Poli
Vitreoetina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
B. Pembahasan
Cicendo Bandung memiliki kualitas hidup baik
Hasil penelitian menunjukkan dukungan
untuk sub domain nyeri pada mata dan sebagian
keluarga klien retinopati diabetik di Poli Vitreoretina
besar (70%) klien memiliki kualitas hidup buruk
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
pada sub domain penglihatan umum. Untuk sub
Bandung yang dikategorikan mendukung sebanyak
domain kemampuan mengemudi tidak dapat dinilai
29 orang (58%) dari 50 total klien.
karena klien tidak memiliki kemampuan mengemudi
Berdasarkan hasil penelitian di Poli
sebelumnya atau klien berhenti mengemudi karena
Vitreoretina Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
alasan penurunan ketajaman penglihatan.
Cicendo Bandung yang tertera pada tabel 4
menunjukkan bawah kualitas hidup klien yang
mengalami retinopati diabetik dengan kategori baik
Tabel 7 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
sebanyak 26 orang (52%) dan yang memiliki kualitas
Kualitas Hidup Klien yang Mengalami Retinopati
hidup buruk sebanyak 24 orang (48%).
Diabetik di Poli Vitreoretina Pusat Mata Nasional
Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung
Penurunan fungsi penglihatan dilalui Dukungan sosial akan semakin dibutuhkan pada saat
melalui tahap kehilangan menurut Kubler Ross yaitu seseorang mengalami masalah atau sakit. Disinilah
Denial (Penyangkalan), Anger (Marah), Bargaining peran anggota keluarga sangat diperlukan untuk
(Tawar menawar), Depression (Depresi) dan menjalani masa-masa sulit dengan cepat (Efendi &
Acceptance (Penerimaan). Makhfudli, 2009).
Domain kualitas hidup fungsi penglihatan
menurut Mangione,et al (2000) terdiri dari 3 yaitu IV. KESIMPULAN DAN SARAN

kesehatan umum dan penglihatan (meliputi : A. Kesimpulan


kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri mata dan Berdasarkan hasil penelitian 52 % klien yang
kesehatan mental), kesulitan melakukan beberapa mengalami retinopati diabetik di Poli Vitreoretina
aktifitas (meliputi : penglihatan dekat, jarak Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
penglihatan, penglihatan spesifik: fungsi sosial, memiliki kualitas hidup baik .
kesehatan mental, kesulitan peran, ketergantungan, Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
kemampuan mengemudi kendaraan, penglihatan sebagian besar (75%) keluarga memberikan
warna, penglihatan perifer) dan tanggapan terhadap dukungan dengan klien yang memiliki kualitas hidup
masalah penglihatan meliputi : kesulitan peran, baik. Sementara itu keluarga yang tidak mendukung
tingkat ketergantungan, nyeri mata, kesehatan dengan kualitas hidup klien baik sebanyak 25%.
mental. Setelah dilakukan uji statistik menggunakan uji Chi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan Square dengan tingkat kepercayaan 5% (0,05)
sebagian besar (75%) keluarga memberikan didapatkan hasil P-Value = 0,04. Karena nilai P-
dukungan dengan klien yang memiliki kualitas hidup Value 0,04 < 0,05 artinya Ho ditolak sehingga dapat
baik. Sementara itu keluarga yang tidak mendukung disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan
dengan kualitas hidup klien baik sebanyak 25%. keluarga dengan kualitas hidup klien yang
Setelah dilakukan uji statistik menggunakan uji Chi mengalami retinopati diabetik.
Square dengan tingkat kepercayaan 5% (0,05) B. Saran
didapatkan hasil P-Value = 0,04. Karena nilai P- Secara teoritis menambah pengetahuan
Value 0,04 < 0,05 artinya Ho ditolak sehingga dapat terutama bagi klien dan keluarga, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan memberikan support sehingga meningkatkan
keluarga dengan kualitas hidup klien yang kualitas hidup pasien.
mengalami retinopati diabetik. Secara metodologis, dengan adanya
Dukungan sosial sangat diperlukan setiap penelitian ini dapat memberikan pengalaman kepada
individu di dalam setiap kehidupannya. Keluarga peneliti serta dapat menjadi literatur untuk
merupakan sumber dukungan sosial bagi anggota memperbaharui keilmuan yang selama ini diterapkan
keluarga lainnya yang sedang mengalami sakit. khususnya kualitas hidup pada klien retinopati
diabetik, diharapkan kedepannya penelitian yang Efendi,F & Makhfudli (2009). Keperawatan
akan datang dapat menyempurnakan penelitian- Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik Dalam
penelitian sebelumnya. Meningkatkan peran perawat Keperawatan. Salemba Medika Jakarta
dalam memberikan asuhan keperawatan, tidak hanya Friedman,M.M, Bowden,V.R & Jones, E.G (2010).
berfokus secara fisik, tapi juga secara psiko social Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan
spiritual. Praktek alih Bahasa Akhir Yani Hamid,et al Ed.5.
EGC: Jakarta
V. KEPUSTAKAAN Fenwick, E., et al. (2012).The Impact Of Diabetic
Andarmoyo, S .(2012). Keperawatan Keluarga Retinopathy On Quality Of Life: Qualitative
Konsep Teori, Proses dan Praktik Keperawatan. Findings From An Item Bank Development Project
Graha Ilmu. Yogyakarta http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1442-
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu 9071.2011.02599.x/full, diperoleh tanggal 5 April
Pendekatan Praktik Edisi Revisi X. Rineka Cipta 2017
Jakarta Harnilawati. (2013). Konsep Dan Proses
Asrorudin, M. (2014). Dampak Gangguan Keperawatan Keluarga. Pustaka Assalam.
Penglihatan dan Penyakit Mata Terhadap Kualitas Kabupaten Takalar
Hidup terkait Penglihatan Pada Populasi Gangguan Jannah,R. (2016).Gangguan Kesehatan Mata.
Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia. Tesis. Guepedia Bogor
http://www.lib.ui.ac.id/abstrakpdf?id=20367253&lo Karmila, M. (2012). Kualitas Hidup Penderita
kasi=lokal. diperoleh tanggal 27 Maret 2017 Glaukoma di RSUP H Adam Malik dan RSUD
Baughman, D.C & Hackley, J.C. (2014). Pirngadi Medan.
Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014) .
Brunner dan Suddarth Alih Bahasa : Yasmin Asih, Info Datin Diabetes.
Editor : Monica Ester. EGC Jakarta http://www.depkes.go.id/resources/.../infodatin/info
Black, J.M & Hawks, J.H (2014). Keperawatan datin-diabetes, diperoleh tanggal 5 Desember 2016
Medikal Bedah. Jakarta Edisi 8 Buku 2. Salemba Lemone,P.,Burke,K&Bauldoff,G.(2014).
Medika Jakarta Keperawatan Medikal Bedah Vol.1 Edisi 5. EGC
Damayanti, et al. (2014) . Dukungan Keluarga pada Jakarta
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam Menjalankan Mulyati, Amin & Santoso. (2015) . Kemajuan Visus
Self Management Diabetes. Penderita Retinopati Diabetik Yang Diterapi Dengan
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/vie Laser Fotokoagulasi dan atau Injeksi Intravitreal Di
w/81. Diperoleh tanggal 1 September 2017 Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang.
Dewi, S.R .2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/vie
Deepublish. Yogyakarta w/2754, diperoleh tanggal 15 Maret 2017
Notoatmodjo, S .(2014) . Metodologi Penelitian Sitompul, R. (2011) . Retinopati Diabetik.
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta http://www.indonesia.digitaljournals.org, diperoleh
Mangione, C.M., et al. (2000). Visual Function tanggal 26 Maret 2017
Questionnaire, Smeltzer, S., & Bare (2014). Buku Ajar Keperawatan
http://www.rand.org/health/surveys_tools/vfq.html, Medikal Bedah.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
diperoleh tanggal 5 april 2017 EGC
Oktavia,N. (2015). Sistematika Penulisan Karya Skalicky,S.& Goldberg, I .(2013).Quality Of Life in
Ilmiah.Yogyakarta: Deepublish Glaucoma Patients.
Pengan,V., Sumual,H.J.G & Rares, L.M.. 2014. http://www.touchophthalmology.com/articles/qualit
Kecenderungan Penderita Retinopati Diabetik. y-life-glaucoma-patient, diperoleh 15 Maret 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article Sugiyono.2013. Statistik Untuk Penelitian. Rineka
=172362&val=1001&title=KECENDERUNGAN% Cipta Jakarta
20PENDERITA%20RETINOPATI%20DIABETIK Tamher.S, Noorkasiani. (2009) .Kesehatan Usia
diperoleh 5 Maret 2017 lanjut dengan pendekatan Asuhan Keperawatan.
Purnawan. (2008) . Dukungan Suami dan Keluarga. Jakarta:Salemba Medika
Jakarta: Salemba Medika Victor,A.A . (2008) . Retinopati Diabetik, Penyebab
Riyanto, Agus. (2011) .Aplikasi Metodologi Kebutaan Diabetesi. www.kompas.com, diupload
Kesehatan.Yogyakarta: Nuha Medika tanggal 15 Agustus 2008, diperoleh tanggal 12 April
Rosalina, D & Wahjudi, H. (2011). Visual Field 2017
Abnormality and Quality Of Life Of Patient With Wiramihardja,S.A Kualitas Hidup Seseorang
Primary Open Angle Terlihat Dari Interaksi Dengan Kehidupan
Glaucoma.http://.www.journal.unair.ac.id/filerPDF/ Sekitarnya, www.unpad.ac.id/2013/kualitas-hidup,
abstrak_531633_tpjua.pdf. diperoleh tanggal 24 diupload tanggal 23 Februari 2013, diperoleh tanggal
Maret 2017 2 Agustus 2017
Setiadi. (2008). Konsep Dan Proses Keluarga. Graha
Ilmu. Yogyakarta
PERBEDAAN EFEK DILATASI PUPIL PADA PEMBERIAN
TROPICAMIDE 1% SINGLE DOSE DENGAN KOMBINASI
TROPICAMIDE 1% DAN PHENYLEPHRINE 10% EYE DROP PADA
PASIEN KATARAK DI KLINIK MATA UTAMA JEC – JAVA
SURABAYA

Saffitri Wulandari, Ariz Juli Prihanto, Susy Fatmariyanti


Klinik Utama Mata JEC – JAVA Surabaya

ABSTRAK
Latar Belakang.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi lensa,
denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua – duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua
mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat kelainan
kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal menahun. Sebelum dilakukan operasi katarak,
pasien harus dilakukan pemeriksaan dengan tropicamide 1% dan phenylephrine 10%.
Tujuan. Untuk menganalisis Perbedaan efek dilatasi pupil untuk pemeriksaan katarak antara
tropicamide 1% dengan kombinasi tropicamide 1% dan phenylephrine 10% eye drop pada
pasien katarak di Klinik Mata Utama JEC – JAVA Surabaya.
Metode.
Penelitian ini menggunakan metode quasy experiment design (eksperimen semu) dengan
sampel 10 pasien. Kelompok pertama 5 pasien diberikan tropicamide 1% dan kelompok kedua
5 pasien diberikan tropicamide 1% dan phenylephrine 10% (p>0,05) .
Hasil Penelitian.
Uji statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efek
dilatasi pupil untuk pemeriksaan katarak antara tropicamide 1% dengan kombinasi tropicamide
1% dan phenylephrine 10% eye drop pada pasien katarak.
Kesimpulan.
Pemberian tropicamide 1% single drop tidak memiliki efek perbedaan dengan kombinasi
tropicamide 1% dan phenylephrine 10% eye drop pada pasien katarak, tropicamide 1% dan
phenylephrine 10% bisa digunakan alternatif pelebaran pupil sebelum operasi katarak.

Kata Kunci : Katarak, Tropicamide, Phenylephrine, Pupil.


LATAR BELAKANG masalah kesehatan (diabetes), penggunaan
Katarak adalah setiap keadaan obat tertentu (steroid), gangguan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi pertumbuhan sering terpapar sinar
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, matahari, rokok, alkohol, trauma atau
denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua kecelakaan.
– duanya. Biasanya kekeruhan mengenai Sebelum dilakukan tindakan operasi
kedua mata dan berjalan progresif ataupun katarak, pasien akan dilakukan
dapat tidak mengalami perubahan dalam pemeriksaan lebih lanjut dengan pemberian
waktu yang lama. Katarak umumnya tropicamide 1% dan phenylephrine 10%
merupakan penyakit pada usia lanjut, akan eye drop berfungsi untuk melebarkan pupil
tetapi dapat juga akibat kelainan sehingga mudah melakukan pemeriksaan
kongenital, atau penyulit penyakit mata fundus okuli. Pada penelitian ini akan
lokal menahun (Sidarta, 2018). dilakukan secara bersamaan pada dua
Sekitar 45 juta dari 180 juta orang kelompok, yaitu kelompok responden yang
penduduk di dunia mengalami kebutaan. diberikan tropicamide 1% serta kelompok
Indonesia sendiri menjadi peringkat kedua responden dengan pemberian tropicamide
dengan kejadian kebutaan tertinggi di dunia 1% dan phenylephrine 10%.
setelah Ethiopia [3]. Jenis kebutaan yang
banyak dialami penduduk di dunia adalah METODE PENELITIAN
katarak 51%, glaucoma 8%, Age related Jenis penelitian ini adalah penelitian
Macular Degeneration (AMD) 5%, analitik dengan jenis quasy eksperiment
kekeruhan kornea 4%, gangguan refraksi design (eksperimen semu) dengan
3%,trachoma 3%, Retinopati diabetic 1%. rancangan non equivalent control group
Sebesar 21% tidak dapat ditentukan design. Teknik pengambilan sampel
penyebabnya dan 4% adalah gangguan menggunakan purposive sampling. Jumlah
penglihatan sejak masa kanak-kanak [4]. sampel pada penelitian ini sebanyak 10
Penyakit katarak memiliki gejala yang pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu
dapat dikenali yaitu : merasa silau, usia diatas 40 tahun, pasien tidak memiliki
berkabut, berasap, sukar melihat dimalam diabetes, hipertensi dan belum melakukan
hari atau penerangan redup, melihat ganda, operasi katarak. Penelitian ini dilakukan di
melihat warna terganggu, melihat halo Klinik Utama Mata JEC – JAVA Surabaya.
sekitar sinar, penglihatan menurun (Sidarta, Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli
2018). Di Indonesia katarak menduduki 2019.
nomor 1, sehingga tim kesehatan Pemberian tropicamide 1% 15
menganalisis sebelum dilakukan tindakan menit pertama pada kedua kelompok
pembedahan. Menganalisis pasien katarak pasien. Kelompok pertama yaitu Pasien
terlebih dahulu dengan visus dan hanya diberikan Tropicamide 1% hingga 45
pemeriksaan lebih lanjut. Terutama menit dalam 3 kali penetesan. Pada
pemberian tropicamide bertujuan untuk kelompok pasien kedua 15 menit kedua
melebarkan pupil mata, sehingga dokter diberikan Phenylephrine 10%. Pengamatan
dapat mengetahui seberapa tebal katarak dan pencatatan dilanjutkan 3 kali dengan
tersebut. selang waktu 15 menit dengan maksud
Katarak disebabkan oleh degeneratif untuk melihat pupil tidak melebar lagi.
atau bertambahnya usia seseorang. Usia Pencatatan diameter pupil dengan
rata – rata terjadinya katarak adalah pada penggaris Kenrose (dengan satuan mm) dan
umur 50 - 60 tahun keatas. Akan tetapi, melihat refleks pupil dengan loupe dan
katarak dapat pula terjadi pada bayi karena senter. Jika refleks pupil masih ada,
sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil pengamatan dilanjutkan tiap 15 menit
muda. Penyebab katarak lainnya meliputi : sampai refleks negatif.
faktor keturunan, cacat bawaan sejak lahir,
Teknik pengumpulan data dalam
Tropicamide 1%
penelitian ini menggunakan teknik 10
wawancara, observasi, pemeriksaan fisik. 9

Pupil Diameter (mm)


Data dianalisis dengan menggunakan uji 8 8 8
7 7
Whitnney. 6 6
5
4 4
HASIL
2
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut 0
Jenis Kelamin, Usia dan Pekerjaan. 15 Menit ke-1 15 Menit ke-2 15 Menit ke-3

Variabel Frek %
Jenis Kelamin Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%
Pria 6 60 10
Wanita 4 40 9

Pupil Diameter (mm)


10 100 8 8
Total 7
Usia 6 6 6
40 – 50 1 10 5 5
4
50 – 60 2 20
2
60 – 70 4 40
70 – 80 2 20 0
80 – 90 1 10 15 Menit ke-1 15 Menit ke-2 15 Menit ke-3

Total 10 100
Pekerjaan Gambar 1. Distribusi Dilatasi Pupil antara
Ketentuan Tropicamide 1% Single dose dan
Ibu Rumah Tangga 4 40
Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%.
Karyawan 1 10
Pensiunan 5 50
Total 10 100 Perbandingan Rerata Lebar Pupil
Sumber : Data primer 2019 10
9 8.4 8.4
Total dari 10 Pasien (6 Pria, 4 8 7.2 7
Lebar Pupil (mm)

Wanita) diterima dalam penelitian ini. Rata 7


6 5.4
– rata usia responden 62 ± 11,14 tahun 5
4.8
(jarak: 42-82 tahun). Kita menemukan 4
pasien Katarak dari data pendukung 3
pekerjaan pasien sebagai pensiunan 2
(50%, n=5), ibu rumah tangga (40%, n=4), 1
0
dan karyawan (10%, n=1). 15 Menit ke-1 15 Menit ke-2 15 Menit ke-3
Kelompok dengan Pemberian
Tropicamide 1%
tropicamide 1% single drop, rata – rata Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%
diameter pupil 4.8±0.84 mm dalam 15
menit pertama 7.2±0.45 mm. Hasil rata –
Gambar 2. Perbandingan Rata – Rata Dilatasi
rata diameter pupil 8.4±0.89 mm di menit Pupil antara Pemberian Tropicamide 1% Single
terakhir 15 menit. Jarak perbedaan diameter dose dan Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%.
pupil antara pertama hingga terakhir 15
menit 3.6±1.14 mm. (Gambar 2). Rata – rata diameter pupil
Kelompok dengan pemberian meningkat dengan ukuran 7.0±1.22 mm
kombinasi Tropicamide 1% + Phenylephrine dalam sesi kedua 15 menit. Selanjutnya,
10%, rata – rata diameter pupil 5,4 ± 0,55 akhir rata – rata diameter pupil 8.4±1.34
mm dalam 15 menit pertama. mm. itu artinya perbedaan diameter pupil
antara sesi pertama dan terakhir 15 menit Menurut penelitian Erman, penyebab
3.0±1.22 mm. (Gambar 2). terjadinya penyakit katarak karena
bertambahnya usia sekitar 90% penderita
Tabel 2. Perbedaan lebar pupil antara katarak terjadi pada usia di atas 50 tahun.
pemberian tropicamide 1% single dose Pada penelitian ini responden berjenis
dengan kombinasi tropicamide 1% dan kelamin perempuan yang sebanyak 4 orang
phenylephrine 10% eye drop (40,0%) dibandingkan dengan laki-laki
Kelompok Frekuensi P Value sebanyak 6 orang (60,0%). Pada penelitian
Uji Mann ini sejalan dengan Hanok, dkk yang
Whitnney menyebutkan faktor-faktor yang
Tropicamide 5 = 0.811 berhubungan dengan kejadian katarak
Tropicamide + 5 mengatakan bahwa paling banyak adalah
Phenylephrine responden berjenis kelamin laki-laki.
Namun ada yang berpendapat bahwa pada
Sumber : Data primer, 2019 laki-laki juga banyak yang menderita
katarak dikarenakan mereka banyak yang
Hasil uji Mann Whitnney diperoleh bekerja di luar ruangan yang setiap harinya
hasil yang tidak signifikan (p = 0,811 ; α > sering terpapar dengan sinar ultraviolet
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak (UV) tanpa menggunakan Alat Pelindung
ada perbedaan antara pasien yang diberi Diri (APD) yang dapat mengakibatkan
tropicamide 1% single dose dan kombinasi tingkat kematangan kataraknya mengalami
tropicamide 1% + Phenylephrine 10%. peningkatan. Pada penelitian ini tidak dapat
dijadikan acuan karena jumlah responden
pada penelitian ini sedikit dimana peneliti
hanya menggunakan 10 responden pasien
katarak yang belum melakukan operasi.
Menurut data yang diambil rata-rata
pasien katarak pada penelitian
(a) (b)
menunjukkan pensiunan lebih tiggi 5 orang
(50 %). Ibu rumah tangga 4 orang (40 %)
dan Karyawan 1 % (10 %). Pada pasien
yang pensiunan rata-rata mereka dulu
bekerja sebagai buruh pabrik yang bekerja
di lapangan dan pensiunan kantor farmasi.
(c) (d) Berdasarkan data yang diambil oleh peneliti
di Klinik Utama Mata JEC – JAVA
Gambar (3a) sebelum pupil, dan (3b) sesudah Surabaya mereka bekerja sebagai karyawan
pupil pemberian tropicamide 1% (3c) pupil buruh pabrik. Menurut penelitian yang
pemberian tropicamide 1% dan phenylephrine
dilakukan oleh Tana, pekerjaan yang
10% (3d) dilatasi dengan slitlamp dilatation with
Slitlamp. memiliki resiko terjadinya katarak seperti
kelompok petani, nelayan, dan juga buruh
PEMBAHASAN resiko terkena katarak 2,5 kali (16%)
Karakteristik Responden dibandingkan dengan masyarakat yang
Hasil penelitian menunjukkan usia pekerjaannya sebagai pegawai. Tingginya
responden rata-rata 60 – 70 tahun dengan katarak yang terjadi pada kelompok pekerja
usia terendah 40 tahun dan usia tertinggi 86 yang berada di luar ruangan yang
tahun. Berdasarkan data tersebut dapat menyebabkan adanya pajanan kronis sinar
disimpulkan bahwa yang mengalami matahari karena merupakan salah satu
penyakit katarak pada pasien Klinik JEC – faktor risiko katarak. Prevalensi katarak
JAVA Surabaya berusia 55 tahun keatas. pada pekerja di luar ruangan lebih tinggi
(1,3 kali) dibandingkan dengan didalam efek yang sama dengan Tropicamide 1%
ruang. single dose (Park et al., 2009).
Dari segi dosis, kombinasi
Perbedaan Lebar Pupil dengan Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%
Tropicamide 1% dan Tropicamide 1% + mungkin juga bukan merupakan dosis yang
Phenylephrine 10% terhadap Pasien efektif. Trinavirat and Pituksung (2009)
Katarak melaporkan bahwa dosis kombinasi
Berdasarkan hasil uji Mann Tropicamide 0,75% + Phenylephrine 2,5%
Whitnney diperoleh hasil taraf signifikansi merupakan dosis yang paling efektif
yaitu p = 0,811 sehingga p > 0,05 yang dibandingkan dengan dosis standar
artinya tidak signifikan. Hal ini kombinasi Tropicamide 1% +
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan Phenylephrine 10% dengan waktu dilatasi
antara pasien dengan Tropicamide 1% dan efektif ±40 menit dan lebar pupil mampu
Tropicamide 1% + Phenylephrine 10%. Ini mencapai 6,6 mm. Selain itu, Mesina-
dikarenakan kondisi responden tidak Bayana and Arroyo (2005) juga
memiliki kelainan dimata, sehingga jika melaporkan bahwa kombinasi Tropicamide
diteteskan dengan waktu yang sama antara 0,5% + Phenylephrine 0,5% dan
kelompok Tropicamide dengan kelompok Tropicamide 0,25% + Phenylephrine
Tropicamide + Phenylephrine sama – sama 1,25% menghasilkan efek dilatasi yang
menunjukkan pupil yang lebar. lebih baik daripada pemberian Tropicamide
Tropicamide dan Phenylephrine tetes mata maupun Phenylephrine single dose. Hal
bekerja pada otot iris dan berfungsi tersebut berlawanan dengan penelitian
melebarkan pupil. Namun kedua tetes mata Gray (1991) yang menunjukkan hasil lebih
tersebut memiliki kontra indikasi yaitu : baik pada kombinasi Tropicamide 1% +
tidak boleh diteteskan kepada pasien Phenylephrine 10% daripada pemberian
dengan menderita glaukoma atau TIO > Tropicamide 1% single dose (Gray, 1991;
21mmH, dan Hipertensi. Bayana and Arroyo, 2005; Trinavirat and
Pada penelitian ini kita dapatkan Pituksung, 2009).
hasil bahwa dengan Tropicamide yang Untuk pemberian dosis kombinasi
lebih memiliki efek midriatik daripada antara Tropicamide dan Phenylephrine juga
Phenylephrine cukup mampu menimbulkan mungkin perlu diberikan treatment khusus
efek dilatasi sebagai alternatif tetes mata. agar efek potensial midriatik tercapai. Studi
Tidak terdapatnya perbedaan efek Sandhya and Ponnat (2016) melaporkan
Tropicamide 1% single dose dengan bahwa pemberian topikal Propacaine
kombinasi Tropicamide 1% + dengan dosis 0,5% sebelum pemberian
Phenylephrine 10% ini sejalan dengan tetes mata kombinasi Tropicamide 0,8% +
penelitian Park et al., (2009) yang Phenylephrine 5% menghasilkan efek
mengatakan bahwa Tropicamide 1% single midriatik yang lebih baik (Sandhya and
dose lebih efektif dibandingkan dengan Ponnat, 2016).
kombinasi Tropicamide 1% + Otot dilator pupil berada di stroma
Phenylephrine 2,5%. Pada penelitiannya iris kecuali di daerah pupil. Setiap selnya
lebar pupilnya mampu mencapai lebih dari menjadi satu dengan yang lain oleh dan
6.0 mm. Hasil tersebut sejalan dengan dapat berkontraksi sebagai suatu kesatuan.
penelitian ini karena Park et al., (2009) Otot sphincter pupil membentuk lingkaran
menggunakan dosis Phenylephrine 2,5% yang mengelilingi pupil dan terpisah dari
pada kombinasinya sehingga menimbulkan lapisan neuroepitelial di posteriornya.
efek yang lebih baik pada Tropicamide 1% Secara histologis, otot ini dibentuk dari
single dose sedangkan pada penelitian ini serabut otot polos yang berhubungan
menggunakan kombinasi dengan dosis dengan stroma iris dan otot dilator pupil
Phenylephrine 10% yang menghasilkan (Trinavarat and Pituksung, 2009).
Secara normal pupil akan bereaksi 30 menit setelah pemberian tropikamid
secara akomodatif terhadap intensitas dalam bentuk sediaan tetes mata. Midriasis
cahaya. Pupil akan berdilatasi dan akan berlangsung 6-7 jam dan kelumpuhan
konstriksi secara simultan sebagai reaksi otot korpus siliaris selama 1-6 jam.
dari perubahan intensitas cahaya yang Sikloplegik meningkatkan tekanan
masuk ke dalam mata kemudian akan dapat intraokular pada pasien yang memiliki
merangsang sistem simpatetik dan sudut bilik mata terbuka maupun sudut
parasimpatetik. Otot sphincter ini sempit. Penelitian Hung et al., (2015)
mempunyai reseptor muskarinik terhadap menunjukkan bahwa Tropikamid dapat
asetilkolin. Reseptor tersebut tidak secara meningkatkan tekanan intraokular setelah
langsung berhubungan dengan channel ion 45 menit pemberian dalam bentuk tetes
antar membran namun juga terhadap mata meskipun kenaikan tidak lebih tinggi
sekelompok reaksi yang bertingkat dari daripada Cyclopentolate. Tropikamid
fosforilasi yang menyebabkan messenger bersama dengan Lachesine, Dibutoline, dan
sekunder intraokular lepas sehingga pada Oxyphenonium merupakan analog sintetik
akhirnya akan menyebabkan otot atropin yang memblokir reseptor
berkontraksi (Ratanapakorn et al., 2006). muskarinik dan karena itu menunjukkan
Proses ini membutuhkan cukup efek yang mirip dengan atropin. Juga
waktu yang di kenal sebagai waktu laten seperti atropin, Tropikamid tidak
reflek pupil. Agen yang bersifat agonis mempengaruhi impuls saraf dan tidak
terhadap reseptor tersebut memiliki efek mencegah pelepasan asetilkolin. (Bersani et
konstriksi pupil, termasuk di antaranya al., 2015; Hung et al., 2015).
karbakol dan pilokarpin. Apabila terjadi Fenilefrin merupakan obat
denervasi otot akibat lesi baik di pre simpatomimetik juga sering dipakai untuk
ganglion maupun di post ganglion akan melebarkan pupil guna pemeriksaan
menyebabkan agonis hipersensitivitas oftalmoskop. Efek maksimal didapatkan
pupil terhadap muskarinik. Antagonis dalam jangka waktu 20 menit dan
terhadap reseptor ini (anti muskarinik) menghilang dalam waktu 2 jam. Efek
dipergunakan untuk mendilatasi pupil pada midriasil dari fenilefrin sedikit lebih kecil
kepentingan klinis atau untuk mencapai daripada obat-obatan golongan siklopegik.
keadaan siklopegik pada kepentingan Walaupun mempergunakan fenilefrin
pemeriksaan refraksi. Termasuk ke dalam dirasa cukup untuk melebarkan pupil, tetapi
obat golongan ini adalah tropikamid, karena efek midriasil fenilefrin tidak
siklopentolat, homatropin, dan juga bertahan dengan rangsang cahaya maka
atropine (Evcim et al., 2015). obat tersebut sering dikombinasikan
Otot dilator iris mempunyai dengan obat siklopegik guna mencegah
reseptor alfa-adrenegik terhadap respon miosis terhadap pencahayaan,
noradrenalin. Noradrenalin tersebut sehingga kombinasi kedua obat ini menjadi
disintesis dan disimpan pada pre-junction larut dalam lemak dengan cara
akhir saraf simpatetik. Pemberian mencampurkannya dengan larutan pH
hidroksiamfetamin 1% secara topikal dapat tinggi akan meningkatkan penetrasi obat
menyebabkan noradrenalin yang tersimpan tersebut 6 kali lipat lebih tinggi agar lebih
terlepas dan dapat menyebabkan pupil pada mudah untuk menembus sawar kornea
penderita normal akan berdilatasi (Evcim et (Hossain et al., 2010).
al., 2015).
Tropikamid adalah obat KESIMPULAN
antimuskarinik yang menghasilkan efek Tidak terdapat pebedaan antara
midriatik dan sikloplegik yang dapat pasien dengan pemberian Tropicamide 1%
melumpuhkan otot korpus siliaris. Efek dengan Tropicamide 1% + Phenylephrine
midriasis dan sikloplegik dapat dicapai 20- 10% Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan di Klinik Utama Mata JEC 7. Hung KC, Huang HM, and Lin PW.
– JAVA Surabaya dapat disimpulkan 2015. Changes of intraocular pressure
sebagai perawat memberikan pendidikan and refractive status in children
kesehatan dan memotivasi pasien tentang following cyclopegic refraction with
pentingnya edukasi pemeriksaan dan 1% cyclopentolate and 1%
penyakit katarak. Pasien Memahami dan tropicamide. Taiwan J Ophthalmol.
mengenali penyakit katarak serta efek 5(3): 124-127.
pemberian obat Tropicamide 1% dan 8. Ilyas, Sidarta. 2018. Ilmu Penyakit
Phenylephrine 10%. Instansi pelayanan Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran
kesehatan memberikan penyuluhan secara Universitas Indonesia.
menyeluruh dan bertahap di puskesmas, 9. Mohammad Bima. 2014. Anatomi dan
klinik, rumah sakit, atau lingkungan Fisiologi Tubuh Manusia. Yogyakarta
keluarga. : Bhafana Publishing.
10. Park JH, Lee YC, Lee SY. The
DAFTAR PUSTAKA comparison of mydriatic effect
1. Amin, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan between two drugs of different
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa mechanism. Korean J Ophthalmol.
Medis Dan Nanda Nic-Noc. 2009;23(1):40–42.
Yogyakarta : Mediaction doi:10.3341/kjo.2009.23.1.40
2. Bersani, FS, Imperatori, 11. Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep
C, Prilutskaya, M, Kuliev, R, Dan Proses Keperawatan Nyeri.
and Corazza, O ( 2015), Injecting eye‐ Yogyakarta : Graha Ilmu
drops: a mini‐review on the non‐ 12. Ratanapakorn T, Yospaiboon Y,
clinical use of tropicamide. Hum. Chaisrisawadsuk N. Single dose of 1%
Psychopharmacol Clin tropicamide and 10% phenylephrine
Exp,30, 262– 264. for pupil dilation. J Med Assoc Thai.
doi: 10.1002/hup.2481. 2006;89(11):1934–9.
3. Evcim AS, Micili SC, Karaman M, 13. Sandhya R, Ponnat AK. Effectiveness
Erbil G, Guneli E, Gidener S, dkk. The of Topical Proparacaine 0.5% to
role of rac1 on carbachol-induced Augment the Mydriatic Effect of
contractile activity in detrusor smooth Tropicamide: Phenylephrine
muscle from streptozotocin-induced Combination Eye Drops. Int J Sci Stud
diabetic rats. Basic Clin Pharmacol 2016;4(7):100-104.
Toxicol. 2015;116(6):476–84. 14. Sarwadi dan Erfanto. 2014. Buku
4. Eyeson-Annan ML, Hirst LW, Pintar Anatomi Tubuh Manusia.
Battistutta D, Green A. Comparative Jakarta : Dunia Cerdas.
pupil dilatation using phenylephrine 15. Trinavarat A, Pituksung A. Effective
alone or in combination with pupil dilatation with a mixture of
tropicamide. Ophthalmology. 1998;10 0.75% tropicamide and 2.5%
5:726–32. phenylephrine: a randomized
5. Gray RH. The Influence of Drop Size controlled trial. Indian J Ophthalmol.
on Pupil Dilatation. Eye. 1991;5:615– 2009;57(5):351–4.
619. 16. Wibisono, Soesanto. 2008.
6. Hossain MM, Mohiuddin AA, Biostatistik Penelitian Kesehatan :
Hossain MA, Aziz MA. Diclofenac Biostatistik dengan Komputer (SPSS
sodium and prednisolone acetate 16 For Windows). Surabaya : Perc.
ophthalmic solution in controlling Duatujuh
inflammation after cataract surgery.
Mymensingh Med J. 2010;19(3):343–
7.
EFEKTIFITAS PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI OTOT
PROGRESSIVE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH
PADA PASIEN PRE OPERASI KATARAK
NS. LELIANI OKTARINA, SKEP
DI RS JAKARTA EYE CENTER MENTENG

Abstrak
Fenomena yang terjadi di masyarakat, masih sering ditemukan klien saat menjelang tindakan
operasi tekanan darah meningkat berkaitan dengan kecemasannya. Fenomena yang sering
terjadi juga adalah tekanan darah tidak menurun padahal perawat sudah melakukan intervensi
untuk mengurangi cemas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan
darah pre operasi adalah teknik relaksasi otot progressive. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji keefektifan teknik relaksasi otot progressive terhadap pnurunan tekanan darah pada pasien
pre operasi katarak di RS. Jakarta Eye Center Menteng. Desain penelitian ini menggunakan quasi
eksperimen design dengan metoda yang digunakan pretest-posttest control group design. Populasi
terdiri dari 65 responden diambil dari rata-rata jumlah pasien operasi katarak bulan May dan Juni
2019 yang mengalami peningkatan tekanan darah dimana sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg.
Penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan jumlah 34 responden kelompok intervensi
tanpa kelompok kontrol mengingat keterbatasan waktu penelitian. Waktu penelitian dilakukan
pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2019. Hasil penelitian didapatkan adanya penurunan tekanan
darah pada kelompok intervensi dengan nilai mean tekanan darah sistolik 38.912 dan pengukuran
diastolik 22.059 dengan nilai p value 0,000 ( > 0,05 ) artinya adanya hubungan yang signifikan
anatara penurunan tekanan darah dengan pemberian tekhnik relaksasi otot progressive. Peneliti
selanjutnya disarankan untuk mengembangkan penelitian dengan memperhatikan faktor lama
waktu penelitian sehingga penelitian dapat juga dilakukan pada kelompok control, dimana saat ini
tidak dilakukan kepada kelompok control karena keterbatasan waktu.

Kata Kunci : Tekanan darah, teknik relaksasi otot progressive, pre operasi katarak
1. LATAR BELAKANG total jumlah pasien operasi katarak
Terapi bedah pada kasus bulan May dan Juni sebesar 390 pasien
katarak di Indonesia terbagi dua yaitu sekitar 90 pasien saat dilakukan
operasi katarak jenis umum yang pemeriksaan tekanan darah pre operasi
dilakukan dengan mengangkat lensa mengalami kenaikan dimana tekanan
yang keruh dan menggantinya dengan sistolik lebih dari 140 mmHg dan
lensa bening yang baru, dan operasi Diastolik lebih dari 90 mmHg, dan 10
laser katarak yaitu operasi dengan klien batal operasi karena tekanan
menggunakan teknologi terbaru yaitu darah tidak turun. Berdasarkan SOAP
menggunakan sinar laser yang klien pre operasi yang mengalami
memiliki kemampuan memotong peningkatan tekanan darah akan
sangat akurat dibandingkan tekhnologi diulang pemeriksaannya 10 sampai
laser lainya dengan tingkat panas yang dengan 15 menit bila tekanan darah
sangat rendah ( masih tinggi perawat berkolaborasi
www.p2ptm.kemkes.go.id ). dengan dokter anastesi untuk
Tindakan operasi, bagi klien pemberian therapi medikamentosa.
merupakan salah satu faktor penyebab
Penatalaksanaan keperawatan
kecemasan. Kecemasan pada klien pre
mandiri berdasarkan Nursing
operasi katarak, selain menimbulkan
Intervention Classification (NIC)
rasa tidak nyaman, juga dapat
untuk tindakan menurunkan tekanan
merugikan klien, yaitu terjadinya
darah salah satunya yaitu dengan
peningkatan tekanan darah yang
teknik relaksasi progresive
mengakibatkan pembatalan operasi.
(Dochterman & Bulechek,
Salah satu penyebab terhalangnya
2009).Teknik relaksasi progressive
kegiatan operasi adalah terjadinya
bermanfaat untuk menurunkan
peningkatan tekanan darah
tekanan darah(National Safety
(Ikhsan,2012)
Council, 2004). Teknik relaksasi otot
Dari hasil studi pendahuluan bulan
progresif adalah memusatkan
May dan Juni 2019, di ruang Recovery
perhatian pada suatu aktivitas otot,
Room ( RR ) Operation Theather (OT
dengan mengidentifikasikan otot
) RS. Jakarta Eye Center Menteng dari
yang tegang kemudian menurunkan
ketegangan dengan melakukan mandiri teknik relaksasi otot progresif
teknik relaksasi untuk mendapatkan untuk menurunkan tekanan darah pada
perasaan relaks (Purwanto, 2013). pasien pre operasi katarak.
Respon relaksasi merupakan bagian Berdasarkan latar belakang tersebut,
dari penurunan umum kognitif, peneliti tertarik untuk melakukan
fisiologis, dan stimulasi perilaku. penelitian tentang efektifitas tekhnik
Relaksasi dapat merangsang relaksasi progressive terhadap
munculnya zat kimia yang mirip penurunan tekanan darah pada pasien
dengan beta blocker di saraf tepi pre operasi katarak di RS. Jakarta Eye
yang dapat menutup simpul-simpul Center Menteng.
saraf simpatis yang berguna untuk
11. DESAIN DAN CARA PENETIAN
mengurangi ketegangan dan
menurunkan tekanan darah (Hartono, Jenis penelitian yang dipakai

2009). dalam penelitian ini adalah quasi


eksperimen, dengan metode yang
Hasil penelitian Tyan, Utomo
digunakan pretest-posttest control
dan Hasneli (2015) di Riau diperoleh
group design. Tempat peneliti yang
hasil terdapat perbedaan yang
peneliti gunakan untuk melakukan
signifikan antara rata-rata tekanan
penelitian yaitu recovery room OT
darah sebelum dan sesudah diberikan
Depatemen RS. Jakarta Eye Center
relaksasi otot progresif, demikian juga
Menteng. Penelitian ini dilakukan
dengan penelitian Khasanah (2017)
pada bulan Juli sampai dengan
menyatakan bahwa terapi relaksasi
Agustus 2019. Penelitian ini
otot progresif berpengaruh terhadap
menggunakan tekhnik purposive
penurunan tekanan darah pada wanita
sampling dimana didapatkan
lanjut usia dengan hipertensi primer
34responden.
Posyandu Lansia Peduli Insani
N
Mendungan Surakarta. 𝑁=
1 + N (𝑒 2 )

Fenomena yang ditemukan di


RS. Jakarta Eye Center menteng
belum adanya intervensi keperawatan
65 III. HASIL PENELITIAN DAN
𝑁=
2
1 + 65(0.05) PEMBAHASAN

65 Tabel 5.1
=
1 + 65(0.0025) Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia,
dan Jenis kelamin pada
65 65
= = Pasien Pre Operasi Katarak Di RS.
1 + 0.1625 1.1625 Jakarta Eye Center Menteng
Juli-Agustus 2019
= 55.91 = 56(Dibulatkan) Jumlah
n : 34
sampel 56, untuk mengantisipasi drop out -/+56 – variabel kategorik jumlah presentase
20 %. Sehingga 56 + 12 = 68 45-49 4 11.8%

Dari 68 Jadi didapatkan Usia 50-54 9 26.5%

sebanyak 34 responden kelompok 55-59 21 61.8%


intervensi, dan 34 responden Jenis Laki-laki 13 38.2%
kelamin
kelompok kontrol. Peneliti hanya akan Perempuan 21 61.8%
melalukan penelitian pada kelompok
Berdasarkan hasil penelitian
intervensi tanpa kelompok kontrol
diketahui jumlah responden terbanyak
karena keterbatasan waktu penelitian.
yaitu usia 55-59 tahun tahun yaitu
Kriteria inklusi Pasien yang akan
sebanyak 21 pasien dengan presentase
menjalani operasi katarak, pasien
61.8 %. Yang kedua yaitu usia 50-54
dengan tekanan darah sistolik 140
tahun sebanyak 9 pasien dengan
mmHg sd 170 mmHg, tekanan darah
prosentase 26.5 %, dan yang terakhir
diastolik 90 sd 100 mmHg, usia 45 sd
yaitu usia 45-49 tahun sebanyak 4 pasien
59 tahun.
dengan prosentase 11.8 %. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui jumlah
responden wanita lebih banyak
jumlahnya dibandingkan dengan
responden laki-laki, dimana responden
perempuan berjumlah 21 dengan
prosentase 61.8 dan responden laki-laki
berjumlah 13 dengan prosentase 38.2 %
siastolik didapatkan nilai mean 117.91
Tabel 5.2
, standard deviasi 7.875, nilai
Distribusi Frekuensi Tekanan Darah
Responden Pasien Pre Operasi Katarak minimum 100, nilai maximum 130 .
Pada Kelompok Intervensi Sebelum Dan
Pada kelompok post intervensi
Sesudah Diberikan diastolik didapatkan nilai mean 75.88,

variabel mean SD Minimal- standard deviasi 4.21 , nilai minimum


maksimal 70, nilai maximum 82.
Pre intervensi
relaksasi otot
progressive
Kelompok 156.82 3.186 151 – 165
sistolik
97.94 3.035 95-106
Kelompok
diastolik

Post
intervensi
relaksasi otot
progressive
Kelompok
117.91 7.875 100-130
sistolik
75.88 4.212 70-82
Kelompok
diastolik

Berdasarkan hasil penelitian


diketahui pada kelompok pre
intervensi sistolik didapatkan nilai
mean 156.82 , standard deviasi 3.186 ,
nilai minimum 151, nilai maximum
165. Pada kelompok pre intervensi
diastolik didapatkan nilai mean 97.94,
standard deviasi 3.035, nilai
minimum 95, nilai maximum 106.
Pada kelompok post intervensi
Tabel 5.3
Distribusi Rata-Rata Tekanan darah Pasien Pre Operasi Katarak
Pada Kelompok Intervensi Di RS. Jakarta Eye Center Menteng
Juli-Agustus 2019
n : 34

Variabel Mean SD Std Error P Value N


mean

Kelompok Intervensi 38.912 7.485 1.284 0.000 34


Siastolik pre dan post test

Kelompok Intervensi 22.059 3.142 0.539 0.000 34


Diastolik

Hasil distribusi rata rata pada IV. KESIMPULAN DAN SARAN


pemeriksaan tekanan darah siastolik
Kesimpulan
pasien pre operasi katarak pre dan post
intervensi didapatkan hasil mean 38.912 1. Adanya hubungan yang signifikan
anatara penurunan tekanan darah
, standar deviasi 7.485, standar error dengan pemberian tekhnik relaksasi
mean 1.284 dengan p value 0.000 . Pada otot progressive pada klien pre operasi
distribusi rata- rata pemeriksaan tekanan katarak di RS. Jakarta Eye Center
Menteng
darah diastolik pre dan post intervensi
2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
didapatkan hasil mean 22.059, standar jumlah responden terbanyak yaitu usia
deviasi 3.142, standar error mean 0.539 55-59 tahun yaitu sebanyak 21 pasien
hal ini sesuai katarak biasa pada usia
dengan p value 0.000.
diatas 50 tahun dimana semakin
meningkatnya usia sifat lensa sebagai
salah satu organ tubuh akan berubah ,
dan jumlah populasi wanita pada data
demografi lebih banyak dari pria hal
ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Anni Nur Aini dengan
judul Kejadian Katarak di RSUD
Tugurejo dimana hormon estrogen
pada wanita mungkin meningkatkan Good M, Stanton Y, Anderson M, Lai C &
pembentukan katarak. Adler G. (2011). Progressive Muscle
3. Terdapat penurunan tekanan darah Relaxation.
http://www.guidetopsychology.
pada kelompok intervensi dengan nilai
com/pmr.htm, diperoleh tanggal 20 Maret
mean tekanan darah sistolik 38.912
2018.
dan pengukuran diastolik 22.059 Hart, J.T., Fahey, T., Savage, T. (2010).
Tekanan darah dan tekanan darah tinggi.
Saran
Dalam S. Satyanegara: Tanya jawab seputar
Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian tekanan darah tinggi. 2nd ed. Jakarta: Arcan.
yang sama diharapkan mengembangkan Hartono, LA. (2009). Stres & stroke.
Yogyakarta: Kanisius. Healthcare. (2009).
penelitian dengan waktu yang lebih lama.
Complementary/Alternative Therapies in
V. KEPUSTAKAAN Nursing. 4th Ed. USA: Springer Publishing
Company.
Adib, M. (2009). Cara Mudah Memahami dan Muttaqin, A. (2012). Asuhan
Menghindari Hipertensi, Jantung, dan Stroke. Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Yogyakarta: Dianloka. Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta:
Brooker. C. (2010). Ensikolpedia Salemba Medika.
keperawatan, (edisi bahasa Indonesia), alih Potter, P. A., & Perry (2008 ), A. G
bahasa Andry hartono, et al.Jakarta: EGC. Fundamentals of nursing process,
Depkes RI (2017). Profil kesehatan concept, and practice
indonesia. Jakarta: Depkes Republik Purwanto, B. (2013). Herbal dan Keperawatan
Indonesia.
EFFECTIVENESS OF TIME APPLICATION OF PROGRESSIVE
MUSCLE RELAXATION TO DECREASE BLOOD PRESSURE IN
PETIENT PRE CATARACT SURGERY

NS. LELIANI OKTARINA, SKEP

AT JAKARTA EYE CENTER HOSPITAL MENTENG

ABSTRACT

This study aims to test the effectiveness of muscle relactation progressive technique. This research

design is quasi experiment design with metod used pretest – posttest control high blood tension

patient pre operation cataract at RS. Jakarta Eye Center Menteng. The population of 65

respondents was taken from the average number of patients on May – June cataract surgery . This

study used sampling with 34 intervevtion group pools, without control group respondents. Data

were collected from July to August 2019. The result of the research showed that there was blood

pressure examination in the intervention group with the mean sistolik measurement value 38.912

and the mean diastolic value measurement was 22.059 with p value 0,00 ( p value < o,05 ) that’s

means significant relationship. Research are further advised to develop the study by taking into

account the long time research.

Key words : Blood pressure, technique of relaxation of progressive muscle, pre cataract operation
1. BACGROUND Menteng have not yet been any intensive
Surgery in the case of cataract in the nursing self intervention. For the
Indonesia in divided into twoo pieced a precautionary technique of muscle
common type of cataract is performed by reduction blood pressure in the pre cataract
lifting the lens upright and replacing with surgery. This is a reason for me to do a
new clear lens, and the lastest technology research about the progressive technique of
using a laser with very low heat level ( muscle reduction blood pressure.
www.p2ptm kemkes go id )
11. DESAIN AND RESEARCH
The operation for clients is one of the METHOD
causes of anxiety for cataract surgery can
The type of research used in
also encreassed of blood pressure ( Ikhsan,
this study was quasi experimental
2012). From the result of the May and June
with the method used pretest-
2019 study causes in the recovery room
posttest control group design.
(RR) at operation room Jakarta Eye center
Research site that researchers use
Hospital Menteng the total number 390
to conduct research into the OT
patients around 90 patienst during blood
recovery room hospital at Jakarta
pressyre examinationbefore the onset
Eye Center Hospital Menteng.
experienced an increase where the cystolic
This research was conducted in
more than 140 mmHg and Diastolic more
July to August 2019. This study
than 90 mmHg. On SOAP the patients who
use purposive samplingtechnique
experience on increase blood pressure be
in wich 34 respondent.
repeated for 10 to 15 minutes if the blood
N
pressure is still high, the nurses must 1 + N (𝑒 2 )
collaboration with anastecyologi to 65 65
𝑁= =
medicine. 2 1 + 65(0.0025)
1 + 65(0.05)
65 65
Management of independent treatment = =
1 + 0.1625 1.1625
based on nursing intervention classification = 55.91 = 56(Dibulatkan)
(NIC) to avoid causing pressure on the
The research inclusy are the patient
blood of the ntional safety council,2004).
pre cataract operation systolic blood
The Nurses In Jakarta Eye Center Hospital
pressure 140mmHg to 170 mmHg, 111. RESULT AND DISCUSSION
diastolic blood pressure 90 mmHg to 100
mmHg. Age 45 to 59 years old.
Tabel 5.1
Frequensi distribution with age and gender
Patient ore operation cataract at Jakarta Eye Center Hospital Menteng
July-August 2019
variabel kategorik jumlah presentase

45-49 4 11.8%

Usia 50-54 9 26.5%

55-59 21 61.8%

Jenis kelamin Laki-laki 13 38.2%

Perempuan 21 61.8%

Based on known research result there is the high most age of respondent
is 55-59 years old 21 respondent, and the high most the respondent gender is
female 21 respondent

Tabel 5.2
Frequensi distribution blood pressure
Patient pre operation cataract at Jakarta Eye Center Hospital Menteg
July-August 2019

variabel mean SD Minimal-maksimal

Pre intervensi relaksasi otot


progressive

Kelompok sistolik
156.82 3.186 151 – 165
Kelompok diastolik
97.94 3.035 95-106

Post intervensi relaksasi otot


progressive

Kelompok sistolik
117.91 7.875 100-130
Kelompok diastolik
75.88 4.212 70-82
Based on known research result , in pre intervention group systolic there is mean
156.82 with minimal and maximal pressure 151 to 165 mmHg, and in pre intervension
diastolic group mean 97.94 with minimum to maximum pressure 95 to 106 mmHg. In
post intervention at systolic group mean 117.91 with minimum to maximum pressure
100 to 130mmHg. And diastolic mean 75.88 with minimum to maximum pressure 70 to
82 mmHg.

Tabel 5.3
Frequensi distribution mean blood pressure
Patient pre operation cataract at Jakarta Eye Center Hospital Menteg
July-August 2019
Variabel Mean SD Std Error P Value N
mean

Kelompok Intervensi 38.912 7.485 1.284 0.000 34


Siastolik pre dan post test

Kelompok Intervensi 22.059 3.142 0.539 0.000 34


Diastolik

3. There is increased blood pressure


IV. CONCLUSIONS AND
RECOMMENDATIONS in intervension group with mean
result systolic 38.912 and
Conclusions
diastolic 22.059
1. There is significan relationship
between progressive technique of Recommendations
muscle relaxtation with decreased
For researchers who will conduct
blood pressure the patient of pre
research are expected to develop research
cataract surgery in Jajarta Eye
with a longer time
Center Hospital Menteng
2. The most respondent is 55-59 V. REFERENCES
years old this correspondent to Adib, M. (2009). Cara Mudah Memahami
dan Menghindari Hipertensi, Jantung, dan
degenerative lens, and there are Stroke. Yogyakarta: Dianloka.
more female patients than male Brooker. C. (2010). Ensikolpedia
keperawatan, (edisi bahasa Indonesia), alih
patients , this correspondent to the bahasa Andry hartono, et al.Jakarta: EGC.
estrogent hormom in female can Depkes RI (2017). Profil kesehatan
indonesia. Jakarta: Depkes Republik
speed up cataract early Indonesia.
Good M, Stanton Y, Anderson M, Lai C & Complementary/Alternative Therapies in
Adler G. (2011). Progressive Muscle Nursing. 4th Ed. USA: Springer Publishing
Relaxation. Company.
http://www.guidetopsychology. Muttaqin, A. (2012). Asuhan
com/pmr.htm, diperoleh tanggal 20 Maret Keperawatan Klien Dengan Gangguan
2018. Kardiovaskular Dan Hematologi.
Hart, J.T., Fahey, T., Savage, T. (2010). Jakarta: Salemba Medika.
Tekanan darah dan tekanan darah tinggi. Potter, P. A., & Perry (2008 ), A. G
Dalam S. Satyanegara: Tanya jawab seputar Fundamentals of nursing process,
tekanan darah tinggi. 2nd ed. Jakarta: Arcan. concept, and practice
Hartono, LA. (2009). Stres & stroke. Purwanto, B. (2013). Herbal dan
Yogyakarta: Kanisius. Healthcare. (2009). Keperawatan
1

PENGARUH PEMBERIAN DISCHARGE PLANNING OLEH PERAWAT


TERHADAP KESIAPAN PASIEN POST OPERASI KATARAK DALAM
MENGHADAPI KEPULANGANNYA
Lilis Suryanti
Poliklinik Kirana
RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstrak

Katarak adalah kekeruhan di lensa kristalin, yang terjadi karena peningkatan usia atau
degenerasi, namun selain itu dapat diakibatkan juga karena kelainan kongenital atau
kelainan genetik, trauma, toksin, merokok dan juga sebagai akibat komplikasi dari penyakit
diabetes melitus. Katarak biasanya ditemukan pada pasien diatas umur 50 tahun, terjadi
perubahan lensa yang awalnya bening lama kelamaan kebeningannya berkurang atau keruh.
Metode yang efektif untuk menyembuhkan katarak dengan cara operasi tetapi setelah
tindakan tersebut terdapat beberapa kasus dimana pasien mengeluh tentang
ketidakmampuan untuk melakukan perawatan saat dirumah seperti pasien kurang istirahat di
malam hari, pasien takut membuka dop penutup mata, pasien takut mengganti kassa penutup
mata sebelum memberikan tetes mata sehingga mata menjadi kotor dan berpotensi terjadi
infeksi Hal tersebut menunjukan ketidaksiapan pasien untuk melakukan perawatan saat
pulang dari Rumah Sakit. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post operasi katarak dalam
menghadapi kepulangannya di Poliklinik Kirana RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Desain penelitian Quasy Experimental, pre test – post test design. Populasi dan
sampel dari penelitian adalah pasien post operasi katarak di Poliklinik Kirana RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jumlah sampel yang diambil adalah 50 responden. Alat
pengumpulan data menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan uji T-dependen.
Hasil penelitian menununjukan adanya pengaruh pemberian discharge planning oleh
perawat terhadap kesiapan pasien post operasi katarak dalam menghadapi kepulangannya
dengan nilai p value 0,000. Dengan demikian peneliti merekomendasikan pemberian
discharge planning oleh perawat untuk mempersiapkan kepulangan pasien post operasi
katarak.

Kata kunci : Discharge planning, katarak, kesiapan

LATAR BELAKANG
Mata merupakan indra penglihatan yang Manusia mampu mempertahankan

diciptakan oleh Allah untuk melihat dan kehidupannya. 80 persen informasi dari

sebagai penuntun untuk beraktivitas sehingga lingkungan sekitar diterima melalui indra
2

penglihatan atau mata. Mata memerlukan toksin, merokok dan juga sebagai akibat
perhatian karena rawan terhadap penyakit dan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus
kerusakan. Banyak jenis penyakit yang dapat (Artini, 2011).
merusak mata seperti rabun dekat, rabun senja WHO (2010) memperkirakan terdapat 39 juta
dan katarak sampai dengan kebutaan. Dengan angka kebutaan di dunia, 246 juta orang
bertambahnya usia maka fungsi organ akan mengalami gangguan penglihatan lainnya.
mengalami perubahan termasuk lensa baik Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata
secara morfologi maupun fungsional. Indonesia Nila Moeloek, mengatakan di
Kekeruhan mulai terjadi, tampak kecil dan perkirakan ada 12 orang menjadi buta tiap
terlokalisasi, namun akhirnya seluruh lensa menit di dunia dan 4 orang di antaranya
akan mengalami kekeruhan sampai dengan berasal dari Asia Tenggara (diakses dari
kebutaan. Kebutaan dan gangguan http://www.lensaindonesia.com/ pada tanggal
penglihatan merupakan masalah kesehatan 10 November 2013). Di Amerika Serikat,
masyarakat (Depkes, 2007). katarak yang terjadi akibat usia lanjut
Kebutaan dapat menyebabkan berkurangnya dilaporkan mencapai 42 persen, usia 52 – 64
produktivitas seseorang dalam kehidupannya tahun, 60 persen usia 65 – 74 tahun, dan usia
dan menghambat penderitanya dalam 75 sampai 85 tahun mencapai 91 persen.
beraktivitas serta akan membebani keluarga Indonesia merupakan salah satu negara
dan masyarakat. Semakin tinggi harapan dengan tingkat kebutaan tertinggi di dunia.
hidup seseorang maka semakin besar Prevalensi katarak di indonesia adalah 1,5
kemungkian akan terkena katarak, pada persen dari jumlah penduduk keseluruhan dan
umumnya katarak muncul di usia lanjut. setiap satu menit akan terjadi 1 kebutaan.
Katarak berasal dari bahasa Yunani Masyarakat Indonesia memiliki
katarrhakies, dalam bahasa inggris cataract kecenderungan menderita katarak 15 tahun
dan bahasa latin cataracta yang berarti air lebih cepat dibandingkan di daerah subtropis.
terjun. Katarak biasanya ditemukan pada Sekitar 16 - 22 persen penderita katarak yang
pasien diatas umur 50 tahun, terjadi dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Hal itu
perubahan warna lensa yang awalnya bening diduga berkaitan erat dengan faktor
lama kelamaan kebeningannya berkurang degeneratif akibat masalah gizi (diakses dari
(Ilyas, 2006). Katarak adalah kekeruhan di http://m.republika.co.id/berita/ pada tanggal
lensa kristalin, yang terjadi karena 11 november 2013).
peningkatan usia atau degenerasi, namun Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
selain itu dapat juga diakibatan oleh kelainan khususnya Departemen Mata Kirana terhitung
kongenital atau kelainan genetik, trauma, dari Januari sampai dengan September 2013
3

tercatat ada 48.763 kasus gangguan atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan
penglihatan, dan sekitar 6.298 adalah kasus umum (Koizer, 2004).
katarak sisanya 42.465 dengan empat belas The Royal Marsden Hospital (2004)
kasus gangguan penglihatan lainnya. Dari menyatakan bahwa tujuan diberikan
data tersebut terlihat angka kasus kebutaan discharge planning adalah untuk
akibat katarak di RSUPN Dr. Cipto mempersiapkan pasien dan keluarga pasien
Mangunkusumo Jakarta sangat tinggi dan secara fisik dan fisiologis untuk pulang
hingga saat ini penanganan yang efektif untuk kerumah atau ke suatu lingkungan,
kasus katarak adalah dengan cara operasi. menyediakan informasi tertulis atau verbal
Dengan kemajuan teknologi kedokteran dan pada pasien dan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan untuk tindakan tersebut pasien mereka dalam proses pemulangan,
dapat dirawat dalam periode yang lebih memfasilitasi proses pemindahan yang
singkat, sehingga setelah operasi pasien dapat nyaman dengan memastikan semua fasilitas
segera pulang hanya dalam satu atau dua hari pelayanan kesehatan yang diperlukan telah
saja. Pada situasi tersebut peran tenaga medis dipersiapkan untuk menerima pasien,
khususnya perawat sangat penting untuk memposisikan tahap kemandirian aktivitas
memberikan discharge planning. Perawat perawatan diri.
dianggap sebagai orang yang kompeten, Dalam kegiatan sehari-hari perawat telah
mempunyai keahlian dalam melakukan memberikan discharge planning pada pasien
pengkajian secara akurat, mengelola dan Post Operasi Katarak, tetapi tidak
memiliki komunikasi yang baik serta mengevaluasi tingkat pemahaman pasien
memahami semua kondisi di masyarakat terhadap isi dari discharge planning tersebut,
(Caroll & Dowling, 2007). sehingga kesiapan pasien sebelum pulang
Discharge planning merupakan suatu kerumah tidak terukur. Sebagai contoh
pendekatan interdisipliner meliputi seorang pasien Post Operasi Katarak yang
pengkajian kebutuhan klien tentang perawatan ketika keesokan harinya pasien datang
pasien diluar Rumah Sakit disertai dengan kembali ke Poliklinik Kirana. Pasien
kerjasama antara pasien dan keluarga pasien mengeluh mengantuk dan badan lemas,
dalam mengembangkan rencana keperawatan semalam tidak bisa tidur karena harus bangun
setelah dirumah sakit (Burnner & Sudarth, setiap tiga jam untuk menetes matanya. Kasus
2002). Discharge planning adalah proses lainnya pasien merasa takut untuk membuka
mempersiapkan pasien untuk meninggalkan dop penutup mata, mengganti kassa pembalut
suatu unit pelayanan kepada unit lain didalam mata sebelum memberikan tetes mata
sehingga mata yang telah dilakukan operasi
4

menjadi kotor hal ini dapat memicu timbulnya 0,000. Uji ini untuk membandingkan hasil
infeksi sehingga terjadi perpanjangan pretest dan post test perlakuan.
kunjungan pasien tersebut ke Rumah Sakit
yang berdampak pada banyaknya biaya yang HASIL DAN PEMBAHASAN
harus dikeluarkan untuk perawatan lanjutan.
Fenomena diatas dapat dihindari dengan cara
Tabel 1. Distribusi berdasarkan
memberikan discharge planning secara karakteristik responden
terukur. Discharge planning dilakukan sejak
Jumlah Persentase
No Variabel Kategori
pasien diterima disuatu pelayanan kesehatan n=50 (%)
1. < 64 Tahun
2. > 64 Tahun 24 48
di rumah sakit dimana rentang waktu rawat 1 Umur
26 52

Jenis 1. Laki-laki 29 58
inap pasien dapat diperpendek (Sommerfeld, 2
Kelamin 2. Perempuan 21 42
1. SD 6 12
2001). Dari fenomena diatas peneliti merasa Pendidikan
2. SMP 6 12
3 3. SMU 18 36
Terakhir
4. Akademi 9 18
tertarik untuk menyelidiki bagaimana 5. PT 11 22
1. Tiddak bekerja 21 42
pengaruh pemberian discharge planning oleh 4 Pekerjaan
2. Wiraswasta 6 12
3. Pegawai swasta 6 12
4. PNS/ABRI 17 34
perawat terhadap kesiapan pasien Post
Sumber: data primer
Operasi Katarak dalam menghadapi
kepulangannya di Poliklinik Kirana RSUPN
Pada tabel diatas, menunjukan bahwa
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
pasien katarak yang menjadi responden
terbanyak berumur > 64 tahun yaitu 26
DESAIN DAN CARA PENELITIAN responden (52 %). Penyebab utama katarak
Desain penelitian yang digunakan adalah adalah proses penuaan. Dengan bertambahnya
Quasy Experimental, pre test – post test usia, akomodasi melambat karena lensa secara
design. Sampel penelitian diambil bertahap kehilangan sifat elastisitasnya dan
menggunakan purposive sampling. Variabel menjadi massa yang relatif padat. Jenis
penelitian menggunakan variabel bebas yaitu kelamin responden terbanyak adalah laki-laki
pemberian discharge planning tentang yaitu 29 orang (58%). Status pernikahan
perawatan post operasi katarak dan variabel responden terbanyak adalah menikah yaitu 29
terkait adalah kesiapan pasien dalam (58%) responden, pendidikan terakhir
menghadapi kepulangannya. Analisa data responden terbanyak adalah SMU yaitu 18
yang dilakukan menggunakan uji t-test orang (36 %). Pekerjaan responden terbanyak
(paired t-test). Analisis hasil dilakukan adalah tidak bekerja yaitu 21 orang (42%).
dengan keputusan pengujian hipotesis yang
didasarkan pada taraf signifikan p value
5

Tabel 2. Distribusi tingkat kesiapan Tabel 3.Distribusi tingkat kesiapan


responden Post Operasi Katarak dalam responden Post Operasi Katarak dalam
menghadapi kepulangannya di Poliklinik menghadapi kepulangannya setelah
Kirana RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo diberikan discharge planning (post test)
Tahun 2014
Variabel Mean SD SE N P
value
No. Tingkat Kesiapan Pre discharge Post discharge
(Martinsusilo, 2007) planning planning 1. Sebelum 96,62 25,594 3,620 50
diberika
No. Tingkat Kesiapan Frek % Frekuen % n
(Martinsusilo, 2007) uensi si discharge
1. 1 : score 38 - 67 5 10 0 0 planning
2. 2 : score 67 - 95 20 40 0 0 0,000
2. Setelah 133,78 13,388 1,893 50
3. 3 : score 95 - 124 15 30 15 30 diberika
4. 4 : score 124 -152 10 20 35 70 n
Jumlah 50 100 50 100 discharg
e
planning
Sumber: data olahan
Sumber: data olahan

Dari hasil pengukuran tingkat kesiapan pada


Dari tabel diatas hasil tes yang dilakukan
subjek penelitian hasil tes yang dilakukan
setelah diberikan discharge planning (post
sebelum diberikan discharge planning (pre
test) menunjukkan bahwa 15 responden (30
test) menunjukkan bahwa 5 responden (10 %)
%) memiliki tingkat kesiapan 3 (R4) yaitu
memiliki tingkat kesiapan 1 (R1) yaitu tidak
mampu tetapi ragu atau mampu tetapi tidak
mampu dan tidak ingin atau tidak mampu dan
ingin, dan 35 responden (70%) dalam
ragu, 20 responden (40 %) memiliki tingkat
kategori tingkat kesiapan 4 (R4) yaitu mampu
kesiapan 2 (R2) yaitu tidak mampu tetapi
dan ingin atau mampu dan yakin. Hal ini
berkeinginan, atau tidak mampu tetapi
menunjukan bahwa tingkat kesiapan
percaya diri, 15 responden (30%) memiliki
responden sebagian besar berada pada tingkat
tingkat kesiapan 3 (R3) yaitu mampu tetapi
kesiapan 4 (R4).
ragu atau mampu tetapi tidak ingin, 10
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
responden (20%) memiliki tingkat kesiapan 4
sebelum diberikan discharge planning tingkat
(R4) yaitu mampu dan ingin atau mampu dan
kesiapan responden adalah 96,62 dengan
yakin, sesuai dengan kategori tingkat
standar deviasi 25,594. Setelah diberikan
kesiapan yang dinyatakan oleh Martinsusilo
discharge planning tingkat kesiapan
(2007). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
responden menjadi 133,78 dengan standar
responden post operasi katarak yang belum
deviasi 13,388. Terlihat perbedaan tingkat
diberikan discharge planning mempunyai
kesiapan sebelum dan setelah diberikan
tingkat kesiapan 2 (R2).
discharge planning, nilai mean 37,160 dengan
standar deviasi 25,666. Hasil uji statistik
6

didapatkan nilai p 0,000 dengan α < 0,05, Bruce, J. et al. (2006). Lecture notes
maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang oftalmologi. (Ninth Edition). Jakarta:
signifikan antara tingkat kesiapan responden Erlangga.
sebelum dan s diberikan discharge planning.
Bupa, (2010). Cataract epiddemiology.
KESIMPULAN DAN SARAN Diakses dari http://www.news-

Pembaeian discharge planning pada pasien medical.net/health/Cataract-

post operasi katarak memiliki pengaruh yang Epidemiology.aspx. Pada tanggal 21 Oktober

signifikan terhadap kesiapan pasien dalam 2013.

menghadapi kepulangannya.
Peneliti tidak mengunakan kontrol dalam Burnner, L. & Suddarth, D. (2002). Buku ajar

pengambilan sampel, sebaiknya jika keperawatan medikal bedah. (Edisi 8).

melakukan penelitian dengan metode quasi Jakarta: EGC.

experimental kelompok kontrol harus di ikut


sertakan. Carpenito, L.,J., (1999). Nursing diagnosis
and collaborative problems.(Third Edition).
KEPUSTAKAAN Philadelphia: Lippincot.
Almborg, H., A., (2010). Discharge after
stroke-importan factor for health Realeted Chan, M. (2012). Lions club making a
Quality of Life. Journal of clinical nursing. difference in the figh against blindness.
World Health Organization. Diakses dari
Alligood, M., R., & Tomey, A., M., (2006). http://www.who.int/dg/speeches/2012/blindn
Nursing theorist and their work Edisi 6). ess_20120625/en/. Pada tanggal 13 Oktober
Louis, S., T., Missouri: Mosby Inc. 2013.

Artini, W. (2011). Pemeriksaan dasar mata. Caroll A & Dowling (2007). Discharge
Departeman Ilmu Kesehatan Mata Rumah Planning: Communication, education and
Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas patient participation. British Journal of
Kedokteran Universitas Indonesia. Nursing.(Volume 16).

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian Discharge planning Assotiation (2008).


suatu pendekatan praktik. (Edisi revisi 6). Discharge planning. Diakses dari
Jakarta: PT. Rineka Cipta. http://www.dischargeplanning.org.au/. Pada
tanggal 18 Juni 2013.
7

Driscoll, A. (2000). Managing post discharge Laporan hasil riset kesehatan dasar Tahun
care at home: on analysis of patients and their 2007, Departemen Kesehatan Republik
carers Perception of information received Indonesia. (2008). Diakses dari
during their stay in hospital. Journal of http://www.k4health.org/sites/default/files/lap
advanced Nursing. oranNasional%20Riskesdas%202007.pdf.
Pada tanggal 18 Oktober 2013.
Doengoes, E.M. et al. (2007). Nursing
diagnosis manual: planning, individualizing Martinsusilo. (2007). Kepemimpinan
and documenting client care. 2nd Edition. FA situasional. Diakses dari
Davis Company. Philladelphia: Lippincot. http://edymartin.wordpress.com/. Pada
Hurlock, E. B. (1997). Psikologi tanggal 26 Desember 2013.
perkembangan. (Edisi 5). Jakarta: Erlangga.
Mubtadi. (2013). Pengaruh discharge
Hafidz, (2012). Indonesia jumlah tertinggi planning terhadap kesiapan pasien. Diakses
penderita katarak di asia tenggara diakses dari
dari diakses dari http://skripsijudulkeperawatan.blogspot.com/
http://m.republika.co.id/berita/ Pada tanggal 2013/03/pengaruh-discharge-planning-
11 November 2013. terhadap.html. Pada tanggal 25 November
2013.
Ilyas, S. (2006). Penuntun ilmu penyakit
mata. (Edisi 2). Jakarta: Fakultas Kedokteran Medical Mutual of Ohio. (2008). Discharge
Universitas Indonesia. planning guidelines. Diakses dari
http://www.medmutual.com/proviver/resourc
Inascrs. (2011). Panduan penatalaksanaan es/hospitalservices/discharge
pada pasien post operasi katarak. Diakses planning.aspx. Pada tanggal 18 Juni 2013.
dari
http://www.inascrs.org/old/doc/PPM_1_katar Nursalam. (2008). Konsep dan penerapann
ak_rev03.pdf. Pada tanggal 20 November metedologi penelitian ilmu keperawatan.
2013. Jakarta: Salemba Medika.

Kozier, B., et al. (2004). Fundamentals of Notoatmojo. (2003). Pendidikan dan perilaku
nursing concepts process and practice. (1 st kesehatan. (Edisi 1). Jakarta:PT. Rineka
volume, 6 th edition). New Cipta.
Jersey:Pearson/prentice Hall.
8

Notoatmodjo. (2002). Metodologi kesehatan. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G.(2002), Buku ajar
Jakarta:PT. Rineka Cipta. medikal bedah.(Edisi 8 Volume 2). Jakarta:
EGC.
Perry AG & Potter PA. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan: konsep, proses, & Sommerfeld. (2011). Disability test 10 days
Praktik. (Volume I. Edisi 4). Jakarta: EGC. after acute stroke to predict early discharge
home in patients 65 years and older.Clinical
Perry AG & Potter PA. (2006). Clinical Rehabilitation. Diakses dari
nursing skill & technique. (6 th edition). http://cre.sagepub.com/content/15/5/528.short
Missouri: Mosby Inc. . Pada tanggal 15 oktober 2013.

Phillips, C.O.,et al. (2004). Comprehensive The Royal Marsden. (2004). Diakses dari
discharge planning with post discharge http://www.royalmarsden.org/ pada tanggal 5
support for older patients congestive heart Juli 2013.
failure: meta-analysis. National Institute For
Health Research. Vaughan., et al. (2009). Oftalmologi Umum,
(Edisi 17). Jakarta: EGC.
Siahaan, M. (2009). Pengaruh discharge
planning yang dilakukan oleh perawat
terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut
abdomen menghadapi pemulangan di RSUP
H. Adam Malik Medan, Universitas Sumatera
Utara. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678
9/14260/1/09E01651.pdf. Pada tanggal 4
desember 2013.

Singapore National Eye Center. (2013).


Perawatan mata setelah operasi katarak.
Diakses dari
http://www.snec.com.sg/about/international/m
enuutama/kondisimataandperawatan/Pages/ca
re-after-cataract-surgery.aspx. Pada tanggal 5
Januari 2014.
SKRINING KELAINAN REFRAKSI PADA SISWA SEKOLAH DASAR
SEBAGAI UPAYA PENCAPAIAN PROGRAM
KECAMATAN SEHAT MATA
DI KOTA MAKASSAR

Asrul Parawansyah
Lokasi Penelitian: Sekolah Dasar di Wilayah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya
Kota Makassar

Abstrak

Latar belakang: Kebutaan pada anak dan kelainan refraksi merupakan prioritas utama pada
komitmen global WHO “Vision 2020: The Right to Sight”. Indonesia merupakan salah satu
negara dengan angka kebutaan tertinggi di dunia. Skrining dan deteksi dini kelainan refraksi
menjadi solusi utama pencegahan kebutaan pada anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui prevalensi kelainan refraksi pada anak sekolah dasar sebagai upaya pencapaian
program kecamatan sehat mata di Kota Makassar
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan studi deskriptif.
Penelitian ini dilakukan di 36 sekolah dasar di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Tamalanrea dan
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar yang dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 2019
sampai dengan tanggal 15 Maret 2019. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah siswa
sekolah dasar kelas I-VI dengan total sampel sebanyak 8202 anak. Skrining dilakukan dengan
pemeriksaan mata responden dengan alat Optotipe Snellen dan Trial lens. Analisis data
menggunakan program SPSS versi 20 untuk menilai frekuensi dan presentase prevalensi
kelainan refraksi pada anak.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8202 siswa yang melakukan skrining kelainan
refraksi mata, ditemukan 643 (7,8%) siswa mengalami kelainan refraksi.
Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi pada siswa sekolah dasar di dua
kecamatan di kota Makassar cukup tinggi mencapai 7.8%. Diharapkan kepada pihak dinas
kesehatan untuk melakukan program skrining secara rutin pada anak usia sekolah dan edukasi
pencegahan kelainan refrakasi pada anak dan disarankan kepada guru dan orangtua untuk
mencegah dan mengenali secara dini kelainan refraksi yang dialami oleh anak.
Kata Kunci: Kelainan Refraksi, Skrining, Siswa Sekolah Dasar
I. LATAR BELAKANG penglihatan diantaranya mengalami
Prevalensi kebutaan pada anak atau kebutaan dan 246 juta penduduk mengalami
gangguan penglihatan karena kelainan penurunan penglihatan (Low vision)
refraksi dapat digunakan untuk mengkaji (Khurana et al. 2018). Sembilan puluh
kemajuan pelayanan kesehatan mata di suatu persen (90%) gangguan penglihatan terjadi
negara (Murthy 2000). Kelainan refraksi di negara berkembang (Fauzi et al. 2016).
adalah komponen penting dari penyakit Sekitar 80% gangguan penglihatan dan
prioritas "kebutaan pada anak" dalam kebutaan di dunia dapat dicegah.
inisiasi visi 2020 untuk mencegah terjadinya Mengingat besarnya masalah
kebutaan pada anak (Adhikari, S., Nepal, B. kebutaan di dunia, WHO pada tanggal 30
P., Shrestha, J. K., & Khandekar 2013). September 1999, mencanangkan komitmen
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan global Vision 2020: The Right to Sight
tegas tidak dibentuk pada retina, dimana untuk mendorong penanggulangan
terjadi ketidakseimbangan sistem gangguan penglihatan dan kebutaan tertentu
penglihatan pada mata sehingga yang sebenarnya dapat dicegah atau
menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar direhabilitasi. Vision 2020, the right to sight
tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi merupakan gagasan dari seluruh dunia
dapat di depan atau di belakang retina dan/ berupa upaya kesehatan untuk
atau tidak terletak pada satu titik menanggulangi masalah gangguan
focus(Launardo et al. 2015). penglihatan dan kebutaan yang dapat
Kelainan refraksi yang tidak dicegah atau direhabilitasi dengan dasar
terkoreksi merupakan penyebab penting keterpaduan upaya dan bertujuan untuk
pada gangguan penglihatan di berbagai menurunkan jumlah kebutaan pada tahun
negara di dunia. Pada negara berkembang, 2020 (Kementrian Kesehatan RI Pusat Data
kesulitan dalam memberikan pelayanan juga dan Informasi Kesehatan 2014).
mempengaruhi penanganan terhadap Program sehat mata di Kota
gangguan refraksi. Pemeriksaan mata Makassar adalah suatu upaya pemerintah
melalui skrining pada anak adalah proses kota makassar untuk menanggulangi
deteksi dini gangguan penglihatan(Murthy masalah gangguan penglihatan dan
2000). Menurut WHO, sekitar 285 juta kebutaan. Skrining ini dilakukan di seluruh
penduduk dunia mengalami gangguan sekolah dasar dua kecamatan di kota
Makassar. Skrining gangguan penglihatan siswa sekolah dasar di 36 sekolah dasar pada
(visus) dimaksudkan untuk mencegah dua kecamatan di kota Makassar. Pemilihan
kejadian gangguan ketajaman penglihatan lokasi penelitian berdasarkan lokasi program
yang lebih serius pada populasi risiko tinggi. kecataman sehat mata yang di galakkan oleh
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pemerintah kota Makassar. Jumlah sampel
dengan kartu Snellen (Snellen Chart/E yang dilakukan skrining pada penelitian ini
Chart) yang berisikan berbagai ukuran huruf sebanyak 8202 siswa.
atau angka. Kartu Snellen ditempatkan pada B. Cara penelitian
jarak 6 meter di depan orang yang akan Metode skrining menggunakan alat
diperiksa dengan pencahayaan yang cukup Optotipe Snellen dan lensa coba yang
tetapi tidak menyilaukan. Apabila dari dilakukan oleh perawat mata dan dokter
pemeriksaan mempergunakan metode ini mata. Pemeriksaan tajam penglihatan
ada kelainan ketajaman mata maka dilakukan dengan kartu Snellen (Snellen
dilanjutkan dengan pemeriksaan Chart/E Chart) yang berisikan berbagai
mempergunakan triallens/lensa coba. ukuran huruf atau angka. Kartu Snellen
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ditempatkan pada jarak 6 meter di depan
perlu dilakukan penelitian skrining kelainan orang yang akan diperiksa dengan
refraksi pada siswa sekolah dasar sebagai pencahayaan yang cukup tetapi tidak
upaya pencapaian program sehat mata di menyilaukan. Apabila dari pemeriksaan
kota makassar. Tujuan penelitian ini adalah mempergunakan metode ini ada kelainan
untuk mengetahui prevalensi kelainan ketajaman mata maka dilanjutkan dengan
refraksi pada anak sekolah dasar sebagai pemeriksaan mempergunakan triallens/lensa
upaya pencapaian program kecamatan sehat coba.
mata di Kota Makassar. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
II. DESAIN DAN CARA PENELITIAN A. Hasil
A. Desain Skrining kelainan refraksi mata
Penelitian menggunakan desain dilaksanakan di seluruh sekolah dasar di
kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya
Populasi penelitian adalah semua anak usai sebanyak 36 sekolah dasar, dan jumlah
6-11 tahun atau anak usia sekolah dasar. sampel skrining kelainan refraksi sebanyak
Sampel pada penelitian ini adalah semua 8202 siswa. Berdasarkan tabel 1. Diperoleh
hasil dari 8202 siswa yang melakukan B. Pembahasan
skrining kelainan refraksi mata, sebanyak Hasil penelitian ini memberikan
7.8% siswa mengalami kelainan refraksi gambaran data tentang prevalensi kelainan
mata. Sehingga dapat dijelaskan bahwa refraksi pada anak usia sekolah dasar.
prevalensi kelainan refraksi mata di dua Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
kecamatan di kota Makassar sebanyak 7,8%. tingginya angka kelainan refraksi pada siswa
Tabel 1. Karakteristik Sampel Skrining sekolah dasar di kota Makassar. Skrining
Kelainan Refraksi Mata Pada Siswa Sekolah yang merupakan tes awal untuk
Dasar mengidentifikasikan individu yang benar-
Karakteristik Kelainan Tidak benar sakit dan yang tidak sakit hasilnya
Kelainan
harus dilakukan uji validitas dengan melihat
n % n %
Jenis komponen sensitivitas dan spesivisitas.
kelamin Program skrining kelainan refraksi pada
Laki-laki 261 40,6 3538 46,8
Perempuan 382 59,4 4021 53,2 siswa sekolah dasar merupakan deteksi dini
Kelainan untuk pencegahan kebutaan pada anak. Usia
refraksi
Jumlah 643 7.8 7559 92.2 sekolah 6-11 tahun merupakan usia dimana
Sumber: Data Primer, 2019 myopia sudah mulai berkembang dan
kelainan refraksi yang tidak terdeteksi dapat
8000 7559
(92,16%) berkembang dan menyebabkan
7000
6000
keterlambatan dalam penanganan(Murthy
5000 2000).
4000 Hasil penelitian ini sejalan dengan
3000 penelitian sebelumnya di Nigeria yang
2000 643 melaporkan bahwa hasil skrining
1000 (7,84%)
penglihatan pada siswa sekolah dasar di
0
Kelainan Tidak Kelainan Enugu Nigeria yang mengalami kenainan

Prevalensi Kelainan Refraksi Siswa SD refraksi sebanyal 7.4% (Opubiri et al. 2012).
Di Kota Makassar Selain itu, salah satu studi Paudel, dkk, 2014
menunjukkan hasil tinggi kejadia myopia
Grafik 1. Prevalensi Kelainan refraksi siswa pada anak sekolah sekitar 20,4% (Paudel et
SD di Kota Makassar al. 2014). Gangguan penglihatan karena
myopia pada anak berhubungan dengan antara kementrien pendidikan dan
peningkatan penggunaan waktu untuk kementrian kesehatan. (Opubiri et al. 2012).
membaca, bermain gadget atau computer Keterbatasan pada penelitian ini
(Paudel et al. 2014). Hal ini didukung salah adalah kurangnya mengumpulkan data
satu studi di Indonesia yang gejala yang dialami oleh siswa sekolah dasar
mengungkapkan hasil bahwa durasi, dan menganalisis faktor yang berhubungan
frekuensi dan tipe gadget berhubungan dengan kelainan refraksi pada siswa sekolah
dengan ketajaman penglihatan siswa sekolah dasar. Sehingga penting untuk melakukan
dasar (Wahyuningrum & Prameswari 2018). penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor
Kelainan refraksi adalah penyebab yang berhubungan dengan kelainan refraksi
utama kedua dari gangguan penglihatan. pada anak sekolah dasar untuk melakukan
Orang tua, anak-anak, dan khususnya, para pencegahan sedini mungkin.
guru yang memainkan peran penting dalam IV. KESIMPULAN DAN SARAN
membentuk karier dan perilaku anak harus A. Kesimpulan
menyadari kemungkinan faktor-faktor risiko Dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi
dan perlunya pemakaian kacamata yang pada siswa sekolah dasar di dua kecamatan
tepat dan konstan. Kesadaran di antara di kota Makassar cukup tinggi mencapai
orang-orang akan membantu kita untuk 7.8%.
mencapai tujuan Visi 2020 (hak untuk B. Saran
melihat) sedini mungkin (Kannan et al. Diharapkan kepada pihak dinas kesehatan
2016). Program kesehatan mata sekolah untuk melakukan program skrining secara
dapat diintegrasikan dengan program rutin pada anak usia sekolah dan edukasi
perawatan kesehatan primer untuk pencegahan kelainan refrakasi pada anak
meningkatkan kesadaran tentang penyakit dan disarankan kepada guru dan orangtua
mata umum pada anak-anak dan langkah- untuk mencegah dan mengenali secara dini
langkah yang diambil untuk mencegah atau kelainan refraksi yang dialami oleh anak.
mengobatinya. Sinergi ini akan V. KEPUSTAKAAN
memungkinkan pemantauan yang efektif Adhikari, S., Nepal, B. P., Shrestha, J. K., &
terhadap program kesehatan mata sekolah, Khandekar, R., 2013. Magnitude and
dan membutuhkan kerjasama lintas sectoral determinants of refractive error among
school children of two districts of
Kathmandu, Nepal. Oman journal of school children in Ba Ria – Vung Tau
ophthalmology, 6(3), pp.175–178. province , Vietnam. Clinical &
Fauzi, L., Anggowowati, L. & Heriana, C., Experiment Ophthalmology, (42),
2016. Skrining kelainan refraksi mata pp.217–226.
pada siswa sekolah dasar menurut Wahyuningrum, T. & Prameswari, V.E.,
tanda dan gejala. Journal of Health 2018. The relationship between gadget
Education, 1(1), pp.78–84. addiction and visual auity in
Kannan, U. et al., 2016. Refractive error and elementary school student of Mlirip II
associated risk factors in 6-12 years Mojokerto. International Journal fo
schoolchildren. , 6(6), pp.554–558. Nursing and Midwifery Science
Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan (IJNMS), 2, pp.217–221.
Informasi Kesehatan, 2014. Situasi
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan,
Khurana, R. et al., 2018. Accuracy of
noncycloplegic refraction performed at
school screening camps. Indian Journal
of Ophthalmology, pp.806–811.
Launardo, V.A. et al., 2015. Kelainan
refraksi pada anak usia 3-6 tahun di
Kecamatan Tallo Kota Makassar,
Murthy, G., 2000. Vision Testing for
Refractive Errors in Schools
“Screening” Programmes in Schools.
Community Eye Health, 13(33), pp.3–5.
Opubiri, I., Opubiri, I. & Pedro-egbe, C.N.,
2012. Screening of primary school
children for refractive error in South-
South Nigeria. Screening of Primary,
22(2), pp.1–6.
Paudel, P. et al., 2014. Prevalence of vision
impairment and refractive error in
Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Pada Pasien Pre Operasi Di Ruang Kamar Bedah
Rs Mata JEC Primasana @ Tanjung Priok Jakarta Utara
Tahun 2019
Ns.Kerise Pramudita, S.Kep
Jakarta Utara

ABSTRAK
Latar Belakang: Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial abnormal yang berlangsung terus
menerus dimana tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 140 mmHg dan diastolik sama dengan atau
lebih dari 90 mmHg. Penatalaksanaan medis pada klien dengan hipertensi tidak hanya dilakukan dengan metode
farmakologis saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan pengobatan non-farmakologis. Salah satu teknik terapi
nonfarmakologi yang dapat menurunkan tekanan darah adalah relaksasi autogenik. Terapi relaksasi autogenik
ini merupakan salah satu cara untuk membantu klien yang sedang mengalami ketegangan atau stress fisik dan
psikologis yang bersifat ringan atau sedang, dengan menekankan pada latihan mengatur pikiran, posisi yang
rileks dan mengatur pola pernafasan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitaif dengan Desain
penelitian yaitu Eksperimen Semu (Quasy Eksperiment) dengan pendekatan pre dan post test only design
menggunakan uji statistik Simple Paired t-Test, dengan sampel sebanyak 20 orang pasien pre operasi yang
menderita hipertensi dimana tekanan darahnya lebih 140/90 mmHg. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini dengan cara Stratified Sample yaitu mengukur tekanan darah pre dan post. Pengumpulan data
menggunakan standar operasional prosedur terapi relaksasi autogenik dan sphygnomanometer. Variabel
intervening adalah terapi relaksasi autogenik dan variabel dependen adalah tekanan darah. Pada responden
dilakukan relaksasi autogenik sebanyak 1 kali dan diukur tekanan darahnya sebanyak 2 kali pre dan post. Hasil:
penelitian ini didapatkan ada perbedaan tekanan darah systol sebelum dilakukan relaksasi dan systol setelah
dilakukan relaksasi dengan (p Value=0.000), serta terdapat perbedaan tekanan darah dyastol sebelum dilakukan
dilakukan relaksasi dan dyastol setelah dilakukan relaksasi dengan (p Value=0.019). Kesimpulan: Ada
pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi.

Kata kunci: relaksasi autogenik, tekanan darah, hipertensi.


BAB I. LATAR BELAKANG pasien. Sehingga pada bulan juli terdapat 54 pasien
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menderita hipertensi dari jumlah kunjungan
arterial abnormal yang berlangsung terus menerus 171 pasien. Total jumlah penderita hopertensi di
dimana tekanan darah sistolik sama dengan atau Ruang Kamar Bedah JEC Primasana pada 3 bulan
lebih dari 140 mmHg dan diastolik sama dengan terakhir yaitu 111 pasien dari jumlah total
atau lebih dari 90 mmHg (Kemenkes, 2014). Data kunjungan 329 pasien operasi.
World Health Organization (WHO) tahun 2015 Adapun Faktor resiko Hipertensi adalah
menunjukkan sekitar 1,13 Miliar orang di dunia umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik
menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di (faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol),
dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi
hipertensi terus meningkat setiap tahunnya, lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan
diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas,
orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan estrogen
setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat (MedicineNet, 2009) dalam (Alfisyahr, 2011).
hipertensi dan komplikasinya (Anggraini, 2008 dalam Selain penanganan dengan farmakologi,
Nurhaedar Jafar 2010). beberapa penelitian menunjukkan salah satu
Hipertensi merupakan penyebab kematian pendekatan nonfarmakologi yang dapat
nomor 3 setelah stroke dan tuberculosis. menurunkan tekanan darah adalah relaksasi
Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi autogenik. Terapi ini merupakan salah satu cara
berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia untuk membantu klien yang sedang mengalami
lebih dari 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di ketegangan atau stress fisik dan psikologis yang
Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di bersifat ringan atau sedang, dengan menekankan
Papua sebesar (22,2%). Sedangkan DKI menduduki pada latihan mengatur pikiran, posisi yang rileks
posisi ke-10 sebesar 32.1%. Hipertensi terjadi pada dan mengatur pola pernafasan. Relaksasi
kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 merupakan bentuk mind body intervention dalam
tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%) terapi komplementer dan alternative (CAM) dalam
(Anggraini, 2008 dalam Nurhaedar Jafar 2010). setting keperawatan (kozier et al, 2004). Ada tiga
Sedangkan kejadian Hipertensi di RS.Mata posisi dasar dalam melakukan relaksasi autogenik
JEC Primasana @ Tanjung Priok di Ruang Kamar yaitu duduk di kursi, menyandar di atas kursi, atau
Bedah pada bulan Mei terdapat 28 pasien yang berbaring di lantai. Penggunaan terapi
menderita hipertensi dari jumlah kunjungan 73 komplementer ini semakin meningkat beberapa
pasien. Pada bulan Juni terdapat 29 pasien yang dekade terakhir ini, bahkan terapi ini sudah
menderita hipertensi dari jumlah kunjungan 79 merupakan bagian dari keperawatan sejak periode

2
Florence Nightingale seperti dalam bukunya Notes maka peneliti tertarik untuk meneliti Pengaruh
on Nursing tahun 1859. Relaksasi diduga bekerja Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Tekanan
dengan pengaturan hormon kortisol dan hormon Darah Terhadap Pasien Pre Operasi Di Ruang
stres lainnya. Relaksasi merupakan intervensi wajib Kamar Bedah RS.Mata JEC Primasana @ Tj.Priok
yang harus di lakukan pada setiap terapi anti Tahun 2019.
hipertensi (Muttaqin, 2010).
Adapun Menurut penelitian sebelumnya BAB II. DESAIN DAN CARA PENELITIAN
tentang pengaruh relaksasi autogenik terhadap Penelitian ini berfokus pada pasien pre
kadar gula darah dan tekanan darah pada klien operasi yang menderita hipertensi di ruang kamar
diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di instalasi bedah RS.Mata JEC Primasana @ Tj.Priok.
rawat inap Rumah Sakit D.I. Yogyakarta dan Jawa Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 juli –
Tengah, yang bertujuan untuk mengetahui 15 Agustus Tahun 2019 dengan sampel penelitian
pengaruh relaksasi autogenik terhadap tekanan sebanyak 20 Orang. Penelitian ini menggunakan
darah dan kadar gula darah. Hasil penelitian ini metode kuantitatif dengan desain penelitian yaitu
didapatkan ada pengaruh relaksasi autogenik Eksperimen Semu (Quasy Eksperiment) dengan
terhadap penurunan tekanan darah (p=0,001) pendekatan pre dan post test only design
(Setyawati, 2010). menggunakan uji statistik Simple Paired T-Test.
Berdasarkan hasil penelitian ‘Rizal Teknik dalam penelitian ini dengan cara Stratified
Darmawan & Budi Nugroho Program Studi S-1 Sample yaitu mengukur tekanan darah pre dan
Keperawatan STIKES Pemkab Jombang Program post. Pengumpulan data menggunakan standar
Studi S-1 Keperawatan STIKES Pemkab Jombang operasional prosedur terapi relaksasi autogenik dan
didapatkan hasil intervensi didapatkan nilai mean sphygnomanometer.
tekanan darah pre test 170/84 mmHg dan post test
155/82 mmHg. Hasil uji statistik Simple Paired t-
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Test didapatkan nilai t hitung tekanan darah pada
3.1 HASIL
sistole = 6,930 dan signifikan ρ = 0,000. Pada
Hasil penelitian yang dilaksanakan di
diastole didapatkan nilai t hitung = 2,630 dan
ruang kamar bedah RS.Mata JEC Primasana@
signifikan ρ = 0,027 karena ρ<α ada pengaruh
Tj.Priok pada tanggal 15 juli s/d 15 agustus
relaksasi outogenik terhadap tekanan darah sistole
2019. Berdasarkan tabel 1 keseluruhan
dan diastole.
responden dengan jumlah 20 responden.
Berdasarkan uraian diatas disertai dengan
tingginya angka kejadian Hipertensi di Ruang Berdasarkan tabel 2, karakteristik responden
Kamar Bedah RS.Mata JEC Primasana @ Tj.Priok berdasarkan umur menunjukkan terdapat 1
yang sering menyebabkan pasien batal operasi, orang usia dibawah 30 Tahun, 9 orang usia

3
dibawah 60 tahun, dan 10 orang usia diatas 60 Tekanan 154,25 20 13,447
darah systol
tahun. setelah
relaksasi

Statistics Berdasarkan hasil uji T Dependen


Usia
N Valid 20 didapatkan bahwa rata-rata tekanan darah
Missing 0
systol sebelum relaksasi autogenik adalah
Usia 165,30 dengan standar deviasi 14,004. Pada
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 25 1 5,0 5,0 5,0 pengukuran tekanan darah systol setelah
45 1 5,0 5,0 10,0
49 1 5,0 5,0 15,0
50 1 5,0 5,0 20,0
relaksasi autogenik didapatkan rata-rata
52 1 5,0 5,0 25,0
56 2 10,0 10,0 35,0 tekanan darah 154,25 dengan standar deviasi
57 1 5,0 5,0 40,0
58 1 5,0 5,0 45,0 13,447. Hasil uji statistik didapatkan nilai P
59 1 5,0 5,0 50,0
61 1 5,0 5,0 55,0
62 2 10,0 10,0 65,0
Value = 0,000, maka dapat disimpulkan ada
64 1 5,0 5,0 70,0
69 1 5,0 5,0 75,0 perbedaan yang signifikan antara tekanan darah
71 1 5,0 5,0 80,0
74 1 5,0 5,0 85,0 systol sebelum dan sesudah dilakukan terapi
77 1 5,0 5,0 90,0
84 1 5,0 5,0 95,0
86 1 5,0 5,0 100,0
relaksasi autogenik.
Total 20 100,0 100,0

Berdasarkan tabel 5, nilai tekanan darah


dyastol sebelum dilakukan terapi relaksasi
Berdasarkan tabel 3, karakteristik responden
autogenik dan tekanan darah dyastol setelah
berdasarkan jenis kelamin. Terdapat 9 orang
dilakukan terapi relaksasi autogenik.
(45%) berjenis kelamin laki-laki dan 11 orang
Paired Samples Statistics

(55%) berjenis kelamin perempuan. Mean N SD P Value

Pair 1 Tekanan 99,00 20 13,522 0.019


Jenis kelamin darah
Valid Cumulativ dyastol
sebelum
Frequency Percent Percent e Percent relaksasi
Valid L 9 45,0 45,0 45,0
Tekanan 90,60 20 8,325
darah
P 11 55,0 55,0 100,0 dyastol
setelah
relaksasi
Total 20 100,0 100,0

Berdasarkan hasil uji T Dependen


Berdasarkan tabel 4, nilai tekanan darah
didapatkan bahwa rata-rata tekanan darah
systol sebelum dilakukan terapi relaksasi
dyastol sebelum relaksasi autogenik adalah
autogenik dan tekanan darah systol setelah
99,00 dengan standar deviasi 13,522. Pada
dilakukan terapi relaksasi autogenik.
pengukuran tekanan darah dyastoll setelah
Paired Samples Statistics
relaksasi autogenik didapatkan rata-rata
Mean N SD P
(Value) tekanan darah 90,60 dengan standar deviasi
Tekanan
P
pair darah 165,30 20 14,004 0,000
1 systole
8,325. Hasil uji statistik didapatkan nilai P
sebelum
relaksasi Value = 0,019, maka dapat disimpulkan ada

4
perbedaan yang signifikan antara tekanan Frequen Valid Cumulative
cy Percent Percent Percent
darah sebelum dan sesudah dilakukan terapi Prehipertensi 4 20,0 20,0 20,0
Ringan 8 40,0 40,0 60,0
relaksasi autogenik.
Sedang
7 35,0 35,0 95,0
Berat
1 5,0 5,0 100,0

Berdasarkan tabel 6, distribusi frekuensi 20 100,0 100,0

kategori hipertensi sebelum dilakukan terapi


relaksasi autogenik Berdasarkan hasil distribusi frekuensi
menurut tekanan darah sesudah dilakukan
Kategori hipertensi
N Valid 20 relaksasi autogenik pada klien hipertensi di
Missing 0
Kategori hipertensi Ruang Kamar Bedah RS.Mata JEC
Cumulative
Primasana@ Tj.Priok tahun 2019 terlihat paling
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ringan 6 30,0 30,0 3 banyak responden menderita hipertensi ringan


0
,
yaitu 8 orang (40,0%). 7 orang (35,0%)
0
menderita hipertensi sedang, 1 orang (5,0%)
Sedang 11 55,0 55,0 85,0

Berat 3 15,0 15,0 100,0 menderita hipertensi berat, dan 4 orang (20.0%)
Total 20 100,0 100,0
mengalami pre hipertensi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perubahan tekanan
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi
darah yang signifikan setelah dilakukan terapi
menurut tekanan darah sebelum dilakukan
relaksasi autogenik.
relaksasi autogenik pada klien hipertensi di
Ruang Kamar Bedah RS.Mata JEC
3.2 PEMBAHASAN
Primasana@ Tj.Priok tahun 2019 terlihat paling
Dari data penelitian diketahui bahwa
banyak responden menderita hipertensi sedang
tekanan darah systol sebelum relaksasi
yaitu 11 orang (55,0%). Sedangkan untuk
autogenik didapatkan nilai rata-rata (165,30
hipertensi ringan yaitu 6 orang (30,0%) dan 3
mmHg) dan dyastol (99,00 mmHg). Sedangkan
orang (15.0%) menderita hipertensi berat.
setelah dilakukan relaksasi autogenik
Berdasarkan tabel 7, distribusi frekuensi
didapatkan nilai rata-rata systol (154,25
kategori hipertensi setelah dilakukan terapi
mmHg) dan dyastol (90,60 mmHg).
relaksasi autogenik.
Berdasarkan hasil uji Paired-Samples t-Test
dapat diketahui bahwa nilai signifikan systol
Statistics
Kategori hipertensi 𝜌 = 0,000 dan nilai signifikan dyastol 𝜌 =
N Valid 20
0,019, maka Ho ditolak artinya ada pengaruh
Missing 0
relaksasi autogenik terhadap penurunan tekanan
Kategori hipertensi darah pada pasien pre operasi di ruang kamar

5
bedah RS.Mata JEC Primasana @ Tj.Priok hitung tekanan darah systole = 6,930 dan
tahun 2019. signifikan 𝜌 = 0,000. Pada diastole didapatkan
Teori National Safety Council (2003) nilai t-hitung=2,630 dan signifikan 𝜌=
kata autogenic berarti pengaturan diri atau 0,027 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝜌 < 𝛼 ada pengaruh relaksasi
pembentukan diri sendiri. Kata ini juga dapat otogenik terhadap tekanan darah systole dan
berarti tindakan yang dilakukan diri sendiri. diastole.
Istilah outogenik secara spesifik menyiratkan Sejalan juga dengan hasil penelitian
bahwa anda memiliki kemampuan untuk Soedirman Tentang Pengaruh Relaksasi
mengendalikan berbagai fungsi tubuh, seperti Autogenic Terhadap Penurunan Tekanan Darah
frekuensi jantung, tekanan darah, dan aliran Pada Klien Hipertensi Di Wilayah Kerja
darah. Ini merupakan konsep yang baru karena Puskesmas 23 Ilir Palembang Tahun 2015
selama abad-berabad, fungsi-fungsi tubuh yang didapatkan hasil ada pengaruh relaksasi
spesifik yang dianggap berjalan secara terpisah autogenic terhadap penurunan tekanan darah
dan pikiran yang tertuju pada diri sendiri. pada klien hipertensi (p Value=0,000).
Teori (Potter & Perry, 2005) bahwa Penelitian ini menggunakan uji statistic uji T
relaksasi merupakan suatu keadaan dimana Dependent.
seseorang merasakan bebas mental dan fisik Peneliti berasumsi dari beberapa teori dan
dari ketegangan dan stres. Teknik relaksasi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
bertujuan agar individu dapat mengontrol diri beberapa peneliti bahwa tehnik relaksasi
ketika terjadi rasa ketegangan dan stres yang autogenic dapat menurunkan tekanan darah
membuat individu merasa dalam kondisi yang pada pasien hipertensi dan dapat mengurangi
tidak nyaman. Widyastuti (2004) stress. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
menambahkan bahwa relaksasi autogenik tehnik relaksasi autogenic dapat menurunkan
membantu individu untuk dapat mengendalikan tekanan darah sehingga dapat bermanfaat
beberapa fungsi tubuh seperti tekanan darah, dalam menstabilkan teknan darah pada
frekuensi jantung dan aliran darah. penderita hipertensi.
Sejalan dengan hasil penelitian Rizal
Darmawan & Budi Nugroho tentang Pengaruh IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap
Perubahan Tekanan Darah Hipertensi di KESIMPULAN
Posyandu Lansia Desa Jabon Kecamatan Ada pengaruh terapi relaksasi autogenic
Jombang Kabupaten Jombang didapatkan hasil terhadap penurunan tekanan darah pada pasien
nilai mean tekanan darah pre test 170/84 pre operasi di ruang kamar bedah RS.Mata JEC
mmHg dan post test 155/82 mmHg. Hasil uji Primasana @ Tj.Priok Tahun 2019. Didapatkan
statistic Simple Paired t-Test didapatkan nilai t

6
hasil tekanan darah systole (p Value=0.000), Ethonkowner. 2012. Relaksasi Untuk Mengurangi Stress
(online)
dan diastole (p Value=0.019). (http://ethonkowner.blogspot.com/2012/01/relaksasi-
untuk mengurangistress. html diakses tanggal 16-08-
2019).
SARAN
Fauzan, Lutfi. 2009. Teknik Relaksasi (Online)
• Bagi Umum (http://lutfifauzan.wordpress.com/. Diakses tanggal 20-
dilakukannya relaksasi autogenik ini dapat 08-2019.
Felicia, Nadia. 2009. Ingin mencoba Teknik Relaksasi?
menurunkan tekanan darah secara alami. (Online)
(http://female.kompas.com/read/2009/11/30/12042524/i
• Bagi Rumah Sakit RS.Mata JEC ngin.mencoba.tekn ik.relaksasi diakseS tanggal 16-8-
Primasana 2019.

Diharapkan tehnik relaksasi autogenik ini Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Riset Keperawatan dan
Teknik Penelitian. Jakarta: Salemba Medika.
dapat diimplementasikan oleh perawat
dalam mengatasi masalah pada pasien http://keperawatan.unsoed.ac.id/content/pengaruh-
teknik-relaksasi-autogenik-terhadap-skala-
hipertensi. Khususnya di unit Kamar Kemenkes, 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Bedah, Rawat Inap dan Rawat Jalan. Kesehatan RI. Jakarta Selatan. Online.
http://www.depkes.go.id.

Kozier,et all. 2010. Buku Ajar Fundamental


Diharapkan teknik relaksasi autogenik ini
Keperawatan ( Alihbahasa : Esty Wahyu ningsih, Devi
dapat diterapkan oleh pasien-pasien yang
yulianti, yuyun yuningsih. Dan Ana lusyana ). Jakarta
mengalami hipertensi di Rumah Sakit
:EGC
maupun Di Rumah. Sehingga dengan
Mardiono, Sasono. 2015. Terhadap Penurunan Tekanan
Darah Pada klien Hipertensi. Pengaruh Relaksasi
V. KEPUSTAKAAN Autogenik Terhadap Tekanan Darah Pada Klien
Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas 23 Ilir
Anggraeni,D.M & Saryono. (2013). Metodelogi Palembang Tahun 2015. Palembang: Jurnal
Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Nursing), Volume 11, No.3 November 2016.

Artikel Online.teknik-konseling-individurelaksasi/ Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan dengan


diakses tanggal (16-08-2019). Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta Salemba Medika.
Artikel Online/relaksasi/ diakses tanggal (16-08-2019).
Potter dan Perry.2010. Fundamental Kperawatan.
Brunner and Suddarth. 2014. Keperawatan Medikal- Jakarta: Salemba Medika
Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Darmawan, Rizal & Nugroho, Budi. 2015. Pengaruh Riskesdas. 2018. Data kejadian hipertensi. Jakarta
Terapi Relaksasi Otogenik Terhadap Perubahan Setyawati, Andina. 2010. Pengaruh Relaksasi Otogenik
Tekanan Darah Hipertensi di Posyandu lansia Desa Terhadap Kadar Gula Darah dan Tekanan Darah pada
Jabon Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang. Klien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Hipertensi di
Jombang: Jurnal Keperawatan STIKES Pemkab Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit D.I. Yogyakarta dan
Jombang. Jawa Tengah. Universitas Indonesia: Jakarta.
Deatma. 2009. Relaksasi. (online) WHO.2014.Hipertensi(online)(http://www.searo.who.int
(http://deatma.wordpress.com/2009/. Diakses tanggal /linksfiles/non_communicable_diseases_hypertn sion-
(16-08-2019). fs.pdf. diakses 25-8-2019).

7
HUBUNGAN UNSAFE ACTION PENGGUNAAN GADGET DENGAN
NILAI VISUS PADA REMAJA MIOPIA DI RUMAH SAKIT DAERAH
BALUNG KABUPATEN JEMBER
Siswoyo, Muhamad Zulfatul A’la, Linda Novema
Rumah Sakit Daerah Balung Kabupaten Jember

Abstrak
Latar Belakang : Miopia adalah jenis kelainan refraksi yang memiliki prevalensi tinggi di
dunia dan terjadi pada remaja. Miopia disebabkan oleh kebiasaan buruk ketika melihat suatu
objek, salah satunya kebiasaan ketika menggunakan gadget.
Metode : Desain penelitian menggunakan observasional analitik. Teknik pengambilan
sampel menggunakan consecutive sampling diperoleh 84 remaja usia 15-24 tahun dengan
miopia. Pengambilan data menggunakan kuesioner unsafe action penggunaan gadget dan
lembar pemeriksaan visus.
Hasil : Hasilnya menunjukkan bahwa median unsafe action penggunaan gadget adalah 26,5
dengan skor minimum 16 dan maksimum 32. Median nilai visus adalah 0,25 dengan nilai
minimum 0,03 dan maksimum 0,83. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara unsafe action penggunaan gadget dan nilai visus pada remaja miopia (p value =
<0,001; r = 0,474).
Kesimpulan : Remaja kurang memperhatikan posisi, jarak pandang, lama penggunaan
penggunaan, dan pencahayaan saat menggunakan gadget. Menggunakan gadget dengan
posisi tubuh duduk, jarak pandang minimal 30 cm dan lama penggunaan maksimal 2 jam
disertai istirahat selama 20 menit dapat mencegah ketegangan mata. Selain itu, meningkatkan
kebutuhan nutrisi dan berolahraga dapat mencegah penurunan ketajaman visus.
Kata Kunci : Unsafe action, gadget, visus, miopia.

1
I. LATAR BELAKANG
Fungsi penglihatan dapat dikatakan baik ditemukan data secara pasti jumlah
apabila refraksi mata emetrop, media penduduk yang menderita miopia, namun
refrakta jernih, kondisi fundus sehat, ditemukan angka kejadian miopia pada
lintasan penglihatan baik dan kesadaran remaja sebanyak 48,1% dari populasi
baik (Syaifuddin, 2003). Apabila terdapat remaja di Indonesia (Wu, 2016).
gangguan/kelainan pada komponen Berdasarkan hasil studi pendahuluan di
tersebut, maka dapat mengakibatkan Rumah Sakit Daerah Balung Kabupaten
penurunan tajam penglihatan (Vaughan, Jember, angka kejadian miopia selama
2000). Salah satu jenis kelainan refraksi bulan Oktober-November 2018 sebanyak
yang memiliki prevalensi tinggi di dunia 88 kasus. Salah satu aktivitas yang dapat
dan terjadi pada remaja adalah jenis mendorong individu untuk melihat dalam
myopia (Purwanto, 2010). Miopia adalah jarak dekat yaitu kebiasaan dalam
bentuk gangguan penglihatan dimana penggunaan gadget.
objek yang jauh terlihat buram karena Gadget merupakan perangkat yang
pertumbuhan aksial yang berlebihan yang dipakai sebagai alat komunikasi modern
tidak sesuai dengan kekuatan refraksi mata yang dapat mempermudah kegiatan
(Alvarez, 2012). Miopia dapat disebabkan komunikasi manusia (Jati, 2014).
oleh beberapa faktor diantaranya faktor Indonesia menduduki posisi ke lima di
genetik dan lingkungan. Selain itu dunia dengan pengguna gadget terbanyak.
disebutkan pula bahwa miopia disebabkan Dari setiap 100 orang pengguna, 70 orang
oleh kebiasaan melihat dalam jarak dekat diantaranya adalah remaja (Rangkuni,
(Basri, 2014). Kebiasaan melihat dekat 2015). Remaja seringkali tidak
biasanya dilakukan saat membaca buku, memperhatikan hal-hal seperti postur
penggunaan alat elektronik seperti tubuh, jarak layar dengan mata,
menonton televisi, gadget dan penggunaan pencahayaan ruangan dan kecerahan layar
komputer (David, 2016). gadget, yang dapat berdampak buruk
Berdasarkan data yang diperoleh United terhadap penglihatan dan kesehatan
Nations Population Department (UNPD) mereka (Anonim, 2017). Remaja yang
diperkirakan 1.406 juta orang dengan tidak memperhatikan hal-hal tersebut saat
miopia (22,9% dari populasi dunia) pada menggunakan gadget, dapat dikatakan
tahun 2000 dan meningkat menjadi 1.950 bahwa remaja tersebut telah melakukan
juta pada tahun 2010 (28,3% dari populasi unsafe action penggunaan gadget. Hal ini
dunia) (Holden, 2016). Di Indonesia belum membuat peneliti tertarik untuk

2
menganalisa hubungan unsafe action menggunakan rumuscontent-validity index
penggunaan gadget dengan nilai visus (CVI) yang hasilnya menunjukkan valid
pada remaja miopia. Penelitian ini dengan nilai 0,97 dan nilai validitas
bertujuan untuk Menganalisis hubungan konstruk (pearson product moment)
unsafe action penggunaan gadget dengan dengan r hitung = 0,373 - 0,557 untuk 8
nilai visus pada remaja miopia di Rumah item pertanyaan. Uji reliabilitas
Sakit Daerah Balung Kabupaten Jember. menunjukkan reliabel dengan nilai r alpha
cronbach’s 0,485. Sedangkan nilai visus
II. DESAIN DAN CARA PENELITIAN didapatkan dari laporan hasil pemeriksaan
Desain penelitian ini menggunakan pasien melalui Optotype Snellen yang
observasional analitik dengan pendekatan dilakukan oleh refraksionis. Analisis
cross-sectional.. Teknik memperoleh bivariat dalam penelitian ini menggunakan
sampel menggunakan consecutive uji korelasi spearmen-rho yang dibantu
sampling. Penelitian ini menggunakan dengan aplikasi SPSS 16. Etika penelitian
sampel dari sejumlah remaja miopia usia dalam penelitian ini meliputi lembar
15 – 24 tahun yang memiliki gadget. persetujuan, kerahasiaan, Keamanan dan
Jumlah sampel didapatkan dengan rumus keselamatan, keadilan, dan kemanfaatan.
power analysis yaitu Effect size |ρ| 0,3; α
III. HASIL PENELITIAN DAN
err prob 0,05; dan power (1-β err prob)
PEMBAHASAN
0,8 yang menghasilkan jumlah sampel A. HASIL PENELITIAN
sebesar 84 responden. Lokasi penelitian ini Karakteristik responden
dilakukan di Klinik Mata Rumah Sakit Tabel 1. Rerata karakteristik responden
berdasarkan umur di Rumah Sakit Daerah
Daerah Balung Kabupaten Jember. Waktu
Balung Kabupaten Jember (n=84)
penelitian dihitung mulai dari pembuatan Variabel Median Min-max
proposal bulan Oktober 2018 sampai Umur 17,50 15 – 24
(tahun)
penyusunan laporan penelitian pada bulan
Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik
Maret 2019. Pengumpulan data dilakukan
responden berdasarkan jenis kelamin,
dengan dua tahap yaitu tahap persiapan pendidikan saat ini dan keperluan
menggunakan gadget di Rumah Sakit
dan pengambilan data. Alat pengumpulan
Daerah Balung Kabupaten Jember (n=84)
data berupa instrumen unsafe action Karakteristik Frekuensi Persentas
penggunaan gadget yang disusun oleh responden (f) e (%)
1 Jenis kelamin
peneliti dan telah dilakukan uji validitas Laki-laki 20 23,8%
dan reliabilitas. Uji validitas menggunakan Perempuan 64 76,2%
Total 84 100%
validitas isi dan konstruk. Validitas isi

3
2 Pendidikan miopia dengankategori tinggi dan rendah
SMP 13 15,5% memiliki jumlah yang sama yaitu 42 orang
SMA 39 46,4% (50%).
PT 12 14,3% Tabel 5. Rerata indikator unsafe action
Putus sekolah 20 23,8% penggunaan gadget di Rumah Sakit
Total 84 100% Daerah Balung Kabupaten Jember (n=84)
3 Keperluan Indikator Median Min-maks
menggunaka Posisi tubuh 3,80 2-5
n gadget Posisi gadget 3,00 1-5
Belajar 24 28,6% Jarak 3,00 1-5
Games 10 11,9% Lama 2,50 1-5
Social media 24 28,6% penggunaan
Menonton 3 3,6% Istirahat mata 3,00 1-5
video Pencahayaan 4,00 2-5
Browsing 18 21,4% ruangan
Online shop 5 6,0% Pengaturan 3,00 1-5
Total 84 100% brightness
gadget
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata usia Pelindung mata 3,00 1-5
responden adalah 17,50 tahun. Pada tabel
2 diketahui bahwa sebagian besar Tabel 6. Distribusi frekuensi indikator
responden adalah perempuan (76,2%) dan unsafe action penggunaan gadget di
tingkat pendidikan tertinggi adalah SMA Rumah Sakit Daerah Balung Kabupaten
(46,4%). Keperluan menggunakan gadget Jember
lebih banyak digunakan untuk belajar dan Indikator Frekuensi Persentas
(n) e (%)
social media.
1 Posisi tubuh
Unsafe Action Penggunaan Gadget
Tidak aman 32 38,1%
Tabel 3. Rerata variabel unsafe action Aman 52 61,9%
penggunaan gadget di Rumah Sakit Total 84 100%
Daerah Balung Kabupaten Jember (n=84) 2 Posisi
Variabel Median Min-maks gadget
Unsafe action 26,50 16 – 32 Tidak aman 25 29,8%
penggunaan Aman 59 70,2%
gadget
Total 84 100%
3 Jarak
Tabel 4. Distribusi frekuensi unsafe action
pandang
penggunaan gadget pada remaja myopia di
Tidak aman 29 34,5%
Rumah Sakit Daerah Balung Kabupaten
Jember Aman 55 65,5%
Tingkat Frekuensi Persentase Total 84 100%
(n) (%) 4 Lama
Tinggi 42 50% penggunaan
Rendah 42 50% Tidak aman 42 50%
Total 84 100% Aman 42 50%
Total 84 100%
5 Istirahat
Berdasarkan cut of point median (26,50),
mata
pada tabel 4. menunjukkan bahwa unsafe
Tidak aman 20 23,8%
action penggunaan gadget pada remaj
Aman 64 76,2%

4
Total 84 100% penggunaan
6 Pencahayaa gadget- nilai
n ruangan visus
Tidak aman 32 38,1%
Aman 52 61,9% Tabel 8 menunjukkan bahwa ada
Total 84 100%
7 Pengaturan hubungan antara unsafe action
brightness penggunaan gadget dengan nilai visus
Tidak aman 30 35,7%
Aman 54 64,3% pada remaja miopia (p value < 0,05) yang
Total 84 100% memiliki korelasi sedang (r = 0,474
8 Pelindung
mata dengan arah korelasi posistif yang artinya
Tidak aman 29 34,5% semakin tinggi unsafe action penggunaan
Aman 55 65,5%
Total 84 100% gadget maka semakin tinggi pula tingkat
keparahan penurunan ketajaman
Berdasarkan cut of point median, diketahui
penglihatan pada remaja miopia.
pada tabel 6. menunjukkan remaja myopia
B. PEMBAHASAN
dengan kategori tindakan tidak aman
Karakteristik responden
tertinggi adalah pada indikator lama
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
penggunaan dan kategori aman tertinggi
sebagian besar remaja myopia adalah
adalah pada indikator istirahat mata
perempuan dengan rerata usia 17,50 tahun
Nilai visus
dengan tingkat pendidikan SMA. Jumlah
Tabel 7. Distribusi nilai visus di Rumah
perempuan yang menderita miopialebih
Sakit Daerah Balung Kabupaten Jember
(n=84) banyak dikarenakan aktifitas perempuan
Variabel Median Min-maks
sering dilakukan didalam ruangan. Selain
Nilai visus 0,25 0,03 – 0,83
itu tingkat pendidikan menjadi salah satu

Tabel 7 menunjukkan bahwa rerata nilai faktor resiko meningkatnya prevalensi

visus reponden tergolong dalam low vision miopia pada remaja karena berkaitan

sedang dengan nilai 0,25 dengan kegiatan membaca. Sebagian besar

Hubungan unsafe action penggunaan remaja menggunakan gadget untuk

gadget dengan nilai visus pada remaja keperluan belajar dan social media.

miopia Unsafe action penggunaan gadget

Tabel 8. Analisa hubungan unsafe action Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
penggunaan gadget dengan nilai visus peneliti menunjukkan rerata pada unsafe
pada remaja miopia di Rumah Sakit
Daerah Balung Kabupaten Jember. (n=84) action penggunaan gadget adalah 26,50.
Variabel R p value Apabila dikategorikan berdasarkan cut of
unsafe action +0,474 <0,001
point, peneliti membagi menjadi 2 kategori
5
yaitu unsafe action penggunaan gadget objek dengan akomodasi yang kuat
tinggi dan rendah. Hasilnya menunjukkan (Handriani, 2016). Selain itu posisi gadget
bahwa setengah dari remaja miopia masih yang tidak aman akan membuat otot siliar
memiliki tingkat perilaku tidak aman yang yang berfungsi dalam akomodasi mata
tinggi ketika menggunakan gadget. mengalami stress kemudian akan
Berdasarkan observasi peneliti di Klinik meningkatkan asam laktat dan akibatnya
Mata Rumah Sakit Daerah Balung, remaja mata mengalami kelelahan yang disebut
memposisikan tubuh duduk ketika asthenopia konvergensi (Ningsih, 2017).
menggunakan gadget namun dalam jarak Apabila keadaan ini menetap maka
pandang kurang dari 30 cm dengan durasi penderita miopia dapat mengalami
penggunaan lebih dari 2 jam. Fenomena esotrophia (mata akan terlihat juling ke
ini menjadi dasar dari tinggi atau dalam). Faktor yang kedua adalah jarak
rendahnya unsafe action penggunaan pandang. Hasil penelitian menunjukkan
gadget pada remaja. Beberapa faktor 34,5% remaja melihat layar gadget dengan
resiko dari unsafe action penggunaan jarak pandang yang tidak aman (< 30 cm).
gadget antara lain posisi, jarak pandang, Jarak pandang kurang dari 30 cm atau
lama penggunaan, dan pencahayaan. terlalu dekat ketika menggunakan gadget,
Berdasarkan hasil analisis kuesioner, membuat mata harus bekerja ekstra untuk
perilaku remaja saat menggunakan gadget melakukan akomodasi agar terbaca
hanya sebagian kecil yang memiliki seluruhnya (Primadiani, 2016). Hal ini
perilaku tidak aman. Hal ini dibuktikan akan menyebabkan pemanjangan pada
dengan hasil analisis pada faktor yang diameter bola mata sehingga benda-benda
pertama yaitu faktor posisi. Hasilnya yang dilihat jauh bayangan yang terjadi
menunjukkan bahwa 38,1% remaja didalam mata di depan retina (Saminan,
menggunakan gadget dengan posisi tubuh 2013).
tidak aman dan 29,8% remaja dengan Faktor yang ketiga adalah lama
posisi gadget tidak aman. Posisi duduk penggunaan. Lama penggunaan
merupakan posisi yang lebih disarankan merupakan lama penggunaan dalam sekali
karena selain membuat mata lebih rileks, waktu dan istirahat mata. Lama
pengguna dapat mengatur jarak pandang penggunaan dikategorikan menjadi lama
ketika melihat gadget. Sedangkan pada penggunaan yang aman yaitu ≤2 jam dan
berbaring atau tiduran akan membuat mata tidak aman apabila >2 jam. Pada penelitian
semakin dekat dengan mata dan otot mata ini diketahui 50% remaja melihat layar
semakin tertarik ke bawah mengikuti letak gadget>2 jam dalam sekali waktu.
6
Sebanyak23,8% remaja juga menggunakan layar dengan cahaya yang kurang terang.
gadget secara terus-menerus tanpa Pada faktor ini peneliti menemukan
mengistirahatkan mata. Mata yang fenomena bahwa beberapa remaja sering
digunakan untuk melihat secara terus menggunakan gadget dalam ruangan yang
menerus dapat mengalami asthenopia gelap dan pengaturan brigthness layar
(kelelahan mata) akibat ketegangan mata yang terang. Perilaku seperti ini tidak
ketika melakukan akomodasi. Bila terjadi aman karena fungsi dari pencahayaan
akomodasi terus menerus zonula zin akan ruangan sendiri adalah untuk meredam
kendor, lensa akan menebal, dan diameter radiasi yang berasal dari layar gadget.
lensa berkurang, serta lensa semakin Selain itu ketika remaja melihat layar
cembung (Ilyas, 2013). Selain itu layar gadget dengan brightness yang terlalu
gadget memiliki Radiasi yang terang, remaja jarang menggunakan alat
memancarkan sinar biru yang dapat pelindung mata. Alat pelindung mata
merusak jaringan penglihatan. Radiasi berfungsi untuk meminimalisir paparan
tersebut dapat menyebabkan degenarsi radiasi layar gadget yang masuk ke mata.
pada macula yang berakibat pada Alat pelindung mata dapat berupa
gangguan penglihatan sentral karena sel kacamata biasa atau khusus yang dapat
pada makula mengalami kerusakan akibat membatasi radiasi yang masuk pada mata
paparan sinar biru (Kumorowati, 2016). sebesar 25% hingga 75%.
Faktor yang keempat adalah pencahayaan. Nilai Visus
Pada faktor ini terbagi menjadi Hasil penelitian menunjukkan rerata pada
pencahayaan ruangan, pengaturan nilai visus responden adalah 0,25.
brigthness layar, dan penggunaan alat Berdasarkan tabel klasifikasi ketajaman
pelindung mata. Hasil penelitian penglihatan, nilai visus tersebut termasuk
menunjukkan 38,1%remaja menggunakan pada klasifikasi low vision sedang dengan
gadget dengan cahaya ruangan yang tidak nilai 6/24 meter (20/80 kaki). Low vision
aman (redup dan gelap). Penerangan sedang artinya penderita menggunakan
ruangan redup dan gelap dapat kacamata masih dapat membaca dengan
menimbulkan kelelahan pada mata. Sama cepat. Nilai visus 6/24 artinya huruf atau
halnya dengan pengaturan cahaya pada angka yang seharusnya dengan mata
layar gadget yang perlu diatur dengan normal dapat dilihat sejauh 24 meter hanya
cahaya yang terang namun tidak dapat dilihat dengan jarak 6 meter oleh
menyilaukan mata. Pada indikator ini, mata miopia. Remaja yang memiliki low
sebesar 35,7% remaja mengatur brightness vision sedang memiliki derajat miopia
7
derajat sedang (3 dioptri hingga 6 dioptri). ada hubungan antara unsafe action
Miopia sedang dapat dikoreksi dengan penggunaan gadget dengan nilai visus
lensa negatif ukuran -3,25 hingga -6,00. pada remaja miopia. Menurut peneliti,
Ketajaman penglihatan atau visus dapat belum ada penelitian spesifik yang
dipengaruhi oleh penerangan, kontras menyatakan hasil yang sama. Apabila
cahaya, perpaduan warna dan kelainan peneliti membandingkan dengan beberapa
refrkasi. Selain itu visus dapat penelitian sebelumnya yang memiliki
dipengaruhi oleh vitamin A, intensitas indikator yang sejenis dengan indikator
penerangan, lamanya terpapar, aktivitas variabel peneliti, ditemukan hasil yang
melihat jarak dekat, dan posisi tubuh atau sama. Menurut penelitian yang dilakukan
kombinasi dari seluruh faktor (Handriani, Handriani (2016) menunjukkan hasil
2016). Berdasarkan hasil temuan peneliti, bahwa ada pengaruh posisi, lama
responden yang mengalami gangguan pada penggunaan, dan jarak saat menggunakan
fungsi penglihatannya mengeluh mata gadget dengan ketajaman penglihatan.
perih, kering, penglihatan buram dan Penelitian lain tentang penggunaan gadget
terkadang disertai sakit didaerah mata. yang dilakukan oleh Rahmawaty (2018)
Menurut Supriati (2012) gejala berupa terdapat hubungan antara penggunaan
penglihatan buram, kabur, ganda, perih, gadget dengan ketajaman penglihatan.
gatal, tegang, mengantuk, berkurangnya Pada dasarnya kerja mata mampu
kemampuan akomodasi mata dan mengubah fokus benda pada jarak yang
terkadang disertai sakit kepala merupakan jauh ke jarak dekat karena kekuatan lensa
gejala dari adanya kelelahan pada mata mata yang dapat mengubah bentuk
(Supriati, 2012). Kelelahan mata dapat (Vaughan, 2000). Mata manusia
dipengaruhi oleh posisi yang tidak benar digunakan untuk melihat secara terus
sehingga mata melihat dengan jarak yang menerus memperhatikan detail, warna,
terlalu dekat dan pencahayaan yang terlalu cahaya, gerakan, bentuk, dan kedalaman.
terang dalam intensitas waktu yang lama. Teknologi modern membawa manusia
Hubungan Unsafe Action Penggunaan semakin tidak menyadari akan kekuatan
Gadget dengan Nilai Visus pada Remaja mata, sehingga sistem visual mata hanya
Miopia di Rumah Sakit Daerah Balung dimanfaatkan untuk bermain game,
Kabupaten Jember berhari-hari di depan perangkat elektronik
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dengan tidak memperhatikan posisi dan
bahwa hipotesis peneliti diterima dengan jarak pandang yang benar dan kegiatan
nilai p<0,001(p value < a) yang artinya yang pada dasarnya memaksa mata untuk
8
selalu bekerja tanpa istirahat lama pula mata terpapar oleh radiasi yang
(Hidayatulloh, 2016). Faktor pada unsafe dipancarkan melalui sinar biru layar
action penggunaan gadget adalah posisi, gadget. Hal ini akan menyebabkan
jarak pandang, lama penggunaan, dan gangguan pada penglihatan sentral yang
pencahayaan. Penderita miopia sifatnya lebih berpengaruh terhadap visus.
menggunakan gadget dengan posisi Penggunaan gadget yang terlalu dekat
tiduran dan menekuk leher sehingga jarak dapat menyebabkan stress pada otot
pandang terlalu dekat Beberapa penderita akomodasi karena mata berupaya melihat
miopia menggunakan gadget lebih dari 2 pada objek yang kecil, sehingga mata
jam yang dapat menjadi faktor penyebab melihat dalam jarak yang dekat. Menurut
miopia. Selain itu hanya sebagian kecil beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dari penderita yang mampu melakukan eye pembatasan waktu penggunaan gadget
excersice (Ernawati, 2015). Penggunaan dapat mengurangi gejala pada kelelahan
gadget yang terlalu lama dapat mata. Saran bagi remaja adalah
menyebabkan stress pada otot akomodasi hendaknya remaja dapat memperhatikan
karena mata berupaya melihat pada objek setiap perilaku yang dapat memicu pada
yang kecil, sehingga mata melihat dalam miopia. Remaja perlu meningkatkan
jarak yang dekat (Ernawati, 2015). Selain kebutuhan nutrisi dan kegiatan diluar
itu dengan durasi penggunaan yang ruangan seperti berolahraga untuk
berlebihan menyebabkan pengguna berada mencegah tingkat keparahan penurunan
dalam paparan yang lebih lama dan lebih ketajaman penglihatan. Perawat dapat
intens dengan sinar gadget yang berarti memberikan edukasi kepada remaja
pengguna dalam waktu yang lama telah mengenai penggunaan gadget bahwa
terpapar langsung dengan cahaya biru menggunakan gadget yang baik dan aman
yang memiliki signifikansi berdampak adalah menggunakan gadget dengan posisi
pada kesehatan mata (Gomes, 2015). tubuh duduk dan jarak pandang minimal
30 cm. Melihat layar gadget yang
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
disarankan adalah maksimal 2 jam disertai
Jumlah remaja miopia dengan unsafe
istirahat selama 20 menit. Pembatasan ini
action penggunaan gadget kategori tinggi
bertujuan untuk mencegah ketegangan
dipengaruhi oleh banyaknya remaja yang
mata yang dapat memicu terjadinya
menggunakan gadget dengan intensitas
miopia.
waktu lebih dari 2 jam. Semakin lama
mata melihat layar gadget maka semakin V. KEPUSTAKAAN

9
Alvarez, A. A. (2012). Light, Nearwork, Penggunaan, Tampilan Layar, Dan Posisi
and Visual Environment Risk Factors in Tubuh Saat Menggunakan Smartphone
Myopia Terhadap Keluhan Mata Pada Mahasiswa
Basri, S. (2014). Etiopatogenesis dan Fakultas Kedokteran Universitas
Penatalaksanaan Miopia pada Anak Usia Muhammadiyah Palembang. Retrieved
Sekolah. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, from http://repository.um-
14(3), 181–186. palembang.ac.id/id/eprint/130/1/SKRIPSI4
3-1704018954.pdf
David, O., Ryan, D. S., Francis, A.,
Ugochi, I., Hameed, A., Masumali, M., & Anonim. (2017). How Gadgets and Digital
Dhariwal, C. (2016). Prevalence of Eye Screens Are Harming Your Child.
Defects among Medical Students in Retrieved from
Dominica, 61, 133–141. https://childdevelopmentinfo.com/child-
health-news/how-gadgets-and-digital-
Ernawati, D. (2015). Hubungan Antara screens-are-harming-your-
Sarana Kerja, Lama Kerja Dan Sikap child/#.W0dm7M997IU
Kerja Dengan Keluhan Subyektif Nyeri
Pinggang Pada Petani Di Desa Sidorejo Primadiani, I. S. (2016).Faktor-Faktor
Kecamatan Karangdowo Kabupaten Yang Mempengaruhi Progresivitas Miopia
Klaten Tahun 2015. Pada Mahasiswa Kedokteran. Retrieved
from
Gomes, C. C & Preto, S. 2015. Blue light: http://Eprints.Undip.Ac.Id/57598/1/Inez_S
A blessing or a curse?.Procedia harfina_Primadiani_22010113120056_Lap
Manufacturing 3 ( 2015 ) 4472 – 4479. .Kti_Bab0.Pdf
(http://creativecommons.org/licenses/by-
nc-nd/4.0/) Purwanto, S. (2010). Faktor Determinan
yang Berhubungan dengan Kejadian
Handriani, R. (2016). Hubungan Antara Miopia. Jurnal Ilmu Kesehatan
Praktek Unsafe Action Dalam Penggunaan Masyrakat, 1(3), 162–169.
Gadget Dengan Keluhan Subyektif
Gangguan Kesehatan Mata Pada Murid Rahmawaty, D. R. I. (2018). Hubungan
Sekolah Dasar Islam Tunas Harapan Penggunaan Gadget Dengan Ketajaman
Tahun 2016. Naskah Publikasi. Penglihatan Pada Siswa Kelas VII Dan
Http://Eprints.Dinus.Ac.Id/19078/2/Junal_ VIII .
18415.Pdf. Diakses Tanggal 19 Februari Rangkuni, I. Y. (2015).Perilaku Remaja
2018. Mengenai Penggunaan Gadget Terhadap
Hidayatulloh, M. S., Brata, K. C., & Az- Keluhan Kelelahan Mata di SMA Negeri 6
zahra, H. M. (2017). Pengembangan Medan tahun 2015. Retrieved from
Aplikasi Pelatihan Otot Mata Penderita http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345
Miopia Menggunakan Metode Bates dan 6789/52130/6/Cover.pdf
Teknologi Virtual Reality, 1(12). Saminan. (2013). Efek Bekerja Dalam
Holden, B. A., Fricke, T. R., Wilson, D. Jarak Dekat Terhadap Kejadian Miopia.
A., Jong, M., Naidoo, K. S., Sankaridurg, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol. 13(3)
P., … Resnikoff, S. (2016). Global Supriati, F. (2012). Faktor-Faktor yang
Prevalence of Myopia and High Myopia Berkaitan dengan Kelelahan Mata pada
and Temporal Trends from 2000 through Karyawan Bagian Administrasi di PT.
2050. Ophthalmology, 123(5), 1036–1042. Indonesia Power UBP Semarang. Jurnal
https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2016.01.0 Kesehatan Masyarakat. Vol.1(2)720 - 730
06 Syaifuddin. (2003). Anatomi Fisiologi
Ilyas, S. (2017). Ilmu Penyakit Mata. Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Jakarta :Balai Penerbit FKUI. ISBN: Buku Kedokteran EGC.
9789794968246 Vaughan, D.G, T. Asbury dan Paul R.E.
Jati, L. T. E. P.(2014). Segmentasi 1995. General Ophtalmology. Fourtenth
Mahasiswa Program Studi Ilmu Edition.California :Aplleton & Lange.
Komunikasi Universitas Atma Jaya Terjemahan oleh dr. Jan Tambajong dan
Yogyakarta (UAJY) dalam Menggunakan dr. Brahm U. Pendit. (2000). Oftalmologi
Gadget. Retrieved from http://e- Umum. 2000. Cetakan Pertama. Jakarta
journal.uajy.ac.id :Widya Medika. ISBN 9795190733
Kumorowati, B., Yulianti, I., & Ardani Wu, P. C., Huang, H. M., Yu, H. J., Fang,
Rahman, F. (2016). Analisis Reduksi P. C., & Chen, C. T. (2016). Epidemiology
Intensitas Cahaya Pada Smartphones’ of myopia. Asia-Pacific Journal of
Screen Protector Dan Dampaknya Pada Ophthalmology, 5(6), 386–393. doi :
Mata, 2477–8451 https://doi.org/10.1097/APO.00000000000
Ningsih, A. (2017). Hubungan Lama 00236

10

Anda mungkin juga menyukai