Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Penyusun :
Diah Andini, S.Ked
(1118011031)

Pembimbing :
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROPINSI LAMPUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus. Adapun
penulisan refleksi kasus ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Moeloek.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada dokter pembimbing yaitu dr.
Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F yang telah bersedia memberikan bimbingan dalam
penyusunan laporan kasus ini, juga kepada semua pihak yang telah turut serta dalam
membantu penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya laporan kasus ini masih memiliki banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan laporan kasus ini. Akhirnya semoga
laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua

Bandar Lampung, Februari 2016

Penulis

REFLEKSI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama/Inisial
Umur
Jenis Kelamin
No. SPV

: Ny. TPL
: 17 tahun
: Perempuan
: 353/628.A/4.13/II/2016

B. Resume Kasus

Atas permintaan tertulis dari Suryono, pangkat AIPDA. NRP. 58110490, jabatan KA
SPK, atas nama Kepala Kepolisian Sektor Teluk Betung Barat, dengan suratnya nomor:
R/02/I/2016/Reskrim, tertanggal 23 januari 2016. Bertempat di Ruang Instalasi Forensik
RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, telah melakukan pemeriksaan korban
dengan nomor registrasi 443675, dengan identitas; nama Ny. TPL, umur 17 tahun,
pekerjaan ibu rumah tangga.
Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik, mengaku telah dianiaya oleh
orang yang dikenal (suami korban) pada tanggal 23 Januari 2016 sekira pukul 08.30 WIB
di jalan Teluk Bone II Gang Tangkur rt.08 Lk.1 Kelurahan Kota Karang Raya,
Kecamatan Teluk Betung Timur, Bandar Lampung.
Hasil pemeriksaan
a.
b.
c.
d.
e.

Keadaan umum
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu

: Baik, kesadaran penuh, emosi stabil, kooperatif


: 120/80 MmHg
: 74x/menit
: 20x/menit
: 36,5 Celcius

Luka Luka:
1. Pada kelopak mata kanan, terdapat bengkak dan memar berwarna hijau
kehitaman dengan diameter 1,5 cm
2. Bola mata kanan tampak kemerahan
3. Pada rahang kiri, 3 cm dari garis pertengahan depan, 5 cm dibawah sudut mata
teraba bengkak warna sama dengan kulit disekitar dengan diameter 5 cm
4. Pada leher sisi kanan, 6 cm dari garis pertengahan depan, 10 cm dibawah liang
telinga, terdapat luka lecet warna merah kehitaman dengan ukuran 2 cm x 0,5 cm.

C. Alasan Pemilihan Kasus


Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data yang diperoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun
2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak
226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada
tahun 2005 terjadi 455 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jurnal Perempuan edisi
45).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena
meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari internasional sampai pada tingkat
nasional belum mampu menekan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi. Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun kekerasan dalam
rumah tangga cenderung meningkat karena kekerasan yang dihadapai perempuan juga
meningkat.
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang berarti
"anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang
yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti (nuclear family) terdiri
dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara
aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat
yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
Kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan psikologi. Kekerasan
dalam rumah tangga atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic
violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah
tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial
rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah
perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami
(walaupun ada juga korban justru sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di
dalam rumah tangga itu.
UUD RI 1945 mengenai hak asasi manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Woman/CEDAW) ang disetujui Majelis Umum PBB tanggal 18


desember 1979 yang diratifikasi menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvesi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan oleh
Pemerintah Indonesia, Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentnag Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, menjadi dasar para perempuan untuk
mempertahankan haknya sebagai perempuan. Negara wajib memberikan penghormatan
(how to respect), perlindungan (how to protect) dan pemenuhan (how to fulfill) terhadap
hak asasi warga negaranya terutama hak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan serta diskriminasi.
Pada tanggal 22 September 2004 mengesahkan UU No. 23 tahun 2004, Undang-Undang
Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan,
meminimalisasi, menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang
mengalami kekerasan rumah tangga. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga
adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
D. Refleksi Kasus
ASPEK MEDIKOLEGAL
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakkan hukum antara lain adalah
pembuatan Visum et Repertum (VeR) terhadap seseorang yang dikirim olehpolisi
(penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana baik dalam peristiwa
kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun
korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi terdapat kecurigaan akan
kemungkinan adanya tindak pidana.
Visum et Repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik
hidup atau mati, ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan

keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Pembuatan VeR pada
manusia sebagai korban atau diduga korban tindak pidana memiliki dasar hukum yaitu
pasal 133 ayat (1) KUHAP, yaitu Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan, maupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya..
Pada kasus ini korban mengalami luka yang diduga akibat dianiaya oleh beberapa orang
yang dikenal (menurut pengakuan korban), sehingga penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli dalam hal ini ahli kedokteran kehakiman di Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSAM.
Permintaan keterangan ahli ini harus dilakukan secara tertulis, yaitu dalam bentuk surat
permintaan visum (SPV). SPV harus memuat keterangan mengenai identitas korban dan
jenis pemeriksaan yang diminta, seperti tertulis dalam pasal 133 ayat (2) KUHAP, yang
berbunyi Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Pada kasus ini
permohonan visum secara tertulis diberikan oleh penyidik kepada dokter.
Dokter sebagai pihak yang dimintai keterangan oleh penyidik terkena kewajiban untuk
memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya. Dokter yang dimintai keterangan
oleh penyidik wajib memeriksa korban dan membuat VeR setelah sebelumnya
didapatkan persetujuan pemeriksaan dari korban. Jika dokter menolak, maka dokter
dikenai sanksi sesuai pasal 216 ayat (1) KUHP, Barang siapa dengan sengaja tidak
menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh
pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya,
demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana;
demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Keterangan ahli dalam surat pada pasal 184 KUHAP ayat (1) tersebut sepadan dengan
yang dimaksud dengan visum et repertum dalam Statsblad 350 tahun 1937.
Peran ilmu kedokteran forensik dalam membantu penyelesaian proses penyidikan kasuskasus diperlukan dituangkan dalam Visum et Repertum perlukaan yang harus mencakup

penetuan jenis luka, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, dan menentukan
kualifikasi luka. Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP


Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP
Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP
Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP
Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP
Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 356 KUHP.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana tersebut, dibawah
ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut.
Pasal 351
(1.)Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2.)Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berarti yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun;
(3.)Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(4.)Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusakan kesehatan;
(5.)Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352
(1.)Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau
pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau
menjadi bawahannya.
(2.)Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Penyidik mengenal 3 kualifikasi luka yaitu:
1) Luka yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan
atau jabatan. (luka ringan, luka derajat 1)
2) Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan atau
jabatan untuk sementara waktu. (luka sedang, luka derajat 2)
3) Luka yang tertulis dalam pasal 90 KUHP (luka berat, luka derajat 3), yaitu:

a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
b)
c)
d)
e)
f)
g)

atau yang menimbulkan bahaya maut


Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
Kehilangan salah satu panca indera;
Mendapat cacat berat
Menderita sakit lumpuh;
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Korban dalam kasus ini datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum baik, pada
pemeriksaan ditemukan bengkak dan memar berwarna hijau kehitaman pada kelopak
mata kanan, rahang kiri, tampak kemerahan pada bola mata kanan serta lecet pada leher
sisi kanan akibat kekerasan tumpul.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, luka pada korban tersebut dapat menimbulkan penyakit
dan halangan dalam melakukan aktivitas sehari hari dan dikategorikan sebagai luka
sedang.
Pada kasus tersebut dapat dikenakan Undang-Undang RI no. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT). Menurut Undang-Undang
tersebut KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah
tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi;
a. Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri),
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud huruf a karena hubungan darah, perkawinan (mertua, menantu, ipar,
besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetapkan dalam rumah
tangga tersebut.
Pada BAB III tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga dalam undang undang
KDRT
Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6 :
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pada BAB VIII tentang ketentuan pidana
Pasal 44:
1.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00

2.

(lima belas juta rupiah).


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta

3.

rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau

4.

denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pada kasus tersebut suami dapat di tuntut dengan pasal 5 dan 6 undang undang KDRT
dengan ketentuan pidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta seperti tertera
pada pasal 44 undang-undang KDRT tahun 2004.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi D. 2010. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek Medikolegal dan


Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60, No.4.
Hal 188-95.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Harahap, M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta
Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta. Kanter
Idries, AM. Legowo, A. 2008. Penerapan ilmu kedokteran forensic dalam
proses penyidikan. CV. Sagung Seto. Jakarta.
Undang-undang republik Indonesia No 23. 2004. Kekerasan dalam rumah
tangga.

Anda mungkin juga menyukai