Anda di halaman 1dari 22

REFERENSI ARTIKEL

THANATOLOGI

DISUSUN OLEH:
Dini Estri Mulianingsih G99172061
Astari Febyane Putri G99172049
Namira Nurul H. G99181047
Leonard Sarwono A. G991903030
Ismi Cahya Delima G991905030
Rendra Ristian W. G991908019

Periode : 23 September - 6 Oktober 2019

PEMBIMBING :
dr. Wahyu Dwi Atmoko Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Referensi artikel dengan judul:

THANATOLOGI

Hari, tanggal : Kamis, 3 Oktober 2019

Oleh:
DISUSUN OLEH:
Dini Estri Mulianingsih G99172061
Astari Febyane Putri G99172049
Namira Nurul H. G99181047
Leonard Sarwono A. G991903030
Ismi Cahya Delima G991905030
Rendra Ristian W. G991908019

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

dr. Wahyu Dwi Atmoko Sp. F


NIP. 19770224 201001 1 005
BAB I

PENDAHULUAN

Thanatologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan


yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Terdapat beberapa istilah tentang kematian yaitu mati suri, mati somatik, mati seluler,
mati otak (serebral dan serebelum), mati serebral, mati batang otak, dan mati klinis.
Mati suri adalah kondisi ketika terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan
yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana sedangkan dengan alat kedokteran yang
canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati
somatik adalah kondisi terhentinya fungsi ketiga organ vital sistem penunjang kehidupan,
secara menetap (ireversibel). Ketiga sistem organ vital tersebut adalah sistem saraf pusat,
sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan. Mati seluler didefinisikan sebagai kematian
organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Kematian
terjadi karena tiadanya bahan metabolisme dan tertimbunya metabolit. Kerusakan terjadi
pada semua organela sel, terakhir kerusakan terjadi pada mitokondria sel. Mati serebral
adalah kondisi kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversibel (kecuali batang otak dan
serebelum), kedua sistem lain (batang otak dan serebelum) masih berfungsi dengan
bantuan alat. Mati batang otak adalah kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang
irreversibel, termasuk batang otak dan serebelum, pada kondisi ini seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi.
Perubahan yang terjadi setelah kematian disebut dengan tanda kematian. Tanda
kematian dibagi menjadi dua yaitu tanda awal dan tanda lanjut. Tanda awal terdiri atas
terhentinya pernafasan (dinilai lebih dari 10 menit), terhentinya sirkulasi (dinilai lebih dari
15 menit), kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina
mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian, pengeringan kornea menjadi
keruh (dalam 10 menit masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air), tidak ditemukan
adanya refleks kornea dan cahaya, bulbus oculli melunak dan mengkerut. Selanjutnya
adalah tanda lanjut yang terdiri atas penurunan suhu (algor mortis), lebam mayat (livor
mortis), kaku mayat (rigor mortis), pembusukan (dekomposisi), maserasi, mumifikasi, dan
saponifikasi. Tanda kematian penting diketahui untuk mengetahui perkiraan saat
kematian, perkiraan sebab kematian, dan posisi terakhir saat kematian.
Referat ini bertujuan membahas berbagai hal mengenai thanatologi yang meliputi:
pengertian,definisi kematian, tanda awal kematian, dan tanda lanjut kematian. Hal-hal
demikian diperlukan untuk memperoleh pemahaman pemeriksaan dan penulisan visum et
repertum.
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Tanatologi

Tanatologi adalah bidang interdisiplin yang mempelajari tentang kematian


dan bertujuan untuk membangun pemahaman ilmiah menyeluruh mengenai
kematian (Fonseca & Testoni, 2011). Istilah tanatologi berasal dari bahasa
Yunani, thanatos (kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari ilmu
kedokteran yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaitu
definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi
kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut (Idries, 1997).
Kematian merupakan berhentinya fungsi dari tiga sistem vital yang saling
terhubung, sistem saraf, sistem sirkulasi, dan sistem respirasi secara permanen dan
irreversibel (Bardale, 2011). Kematian yang membutuhkan perhatian dalam ilmu
kedokteran forensik adalah kematian karena kekerasan (kecelakaan, bunuh diri,
dan pembunuhan), kematian yang mencurigakan, kematian mendadak dan tidak
terduga, kematian tanpa kehadiran dokter, dan kematian di suatu institusi (Di
Maio & Di Maio, 2001).

1.2 Manfaat

Manfaat tanatologi di dalam sistem medikolegal antara lain (Di Maio & Di
Maio, 2001):
1. Untuk menentukan penyebab dan cara kematian
2. Untuk menentukan perkiraan waktu kematian dan luka
3. Untuk menentukan atau menyangkal adanya faktor penyebab atau yang
berkontribusi terhadap kematian
4. Untuk menyediakan kesaksian ahli jika kasus dibawa ke pengadilan
Sedangkan menurut Bardale (2011) implikasi medikolegal antara lain:

1. Pernyataan kematian
Pernyataan kematian merupakan poin penting karena jika pernyataan kematian
keliru dan terjadi pergeseran badan pada saat kremasi atau pemakaman di
kuburan maka dokter dapat bermasalah
2. Sertifikat kematian
Seorang dokter harus membuat surat kematian seseorang dan sertifikat
kematian tidak akan bermasalah apabila kematian telah dikonfirmasi
3. Pemusnahan jenazah
Kesalahan diagnosis dan sertifikasi kematian dapat menyebabkan kesulitan
dalam pemusnahan jenazah oleh afiliasi agama tertentu
4. Transplantasi organ
Organ atau jaringan cadaver tidak dapat diambil untuk transplantasi apabila
tidak diperoleh dari seseorang yang telah tersertifikasi meninggal.
5. Perkiraan penyebab dan cara kematian

1.3 Jenis Kematian


Secara konvensional hanya terdapat dua jenis kematian:
1. Mati somatik
Mati somatik atau juga disebut dengan mati klinis atau mati sistemik memiliki
karakteristik hilangnya sensibilitas dan kemampuan untuk bergerak secara
menyeluruh (Bardale, 2011). Mati somatik adalah keadaan dimana seseorang
telah kehilangan kesadarannya, tidak mampu memperhatikan atau
berkomunikasi dengan lingkungannya, dan tidak dapat merespons rangsang
sensoris atau melakukan gerakan volunter. Aktivitas saraf refleks masih bisa
ditemukan, dan fungsi sirkulasi dan respirasi tetap berlanjut secara spontas
atau dengan bantuan mekanik sehingga jaringan dan sel tubuh, selain yang
telah rusak sebelumnya di sistem saraf pusat, tetap dapat hidup dan berfungsi
(Saukko & Knight, 2016).
2. Mati molekuler
Mati molekuler atau juga disebut mati seluler berarti kematian dari sel individu
dari berbagai jaringan dan organ. Sebuah sel dikatakan mati jika tidak dapat
lagi melakukan fungsinya atau tidak dapat melakukan aktivitas metabolik,
terutama respirasi aerobik. Tanpa adanya sirkulasi dan respirasi, sel akan
mengalami kematian molekuler pada waktu yang beragam setelah kematian
somatik bergantung kepada aktivitas metabolik dan keberadaan oksigen.
Dalam runtutan kematian molekuler, sel otak akan mengalami kematian
molekuler lebih awal dibanding di organ lain, karena organ yang memperoleh
atau membutuhkan asupan darah yang lebih pada saat hidup akan mati lebih
awal (Bardale, 2011). Korteks cerebri merupakan jaringan yang paling rentan
untuk mengalami kematian dalam beberapa menit karena anoksia, sedangkan
sel otot masih dapat bertahan berjam-jam atau bahkan dalam hitungan hari
setelah berhentinya sistem sirkulasi (Saukko & Knight, 2016).

1.4 Kematian Otak


Kematian otak berfungsi antara lain untuk: menentukan kematian paling awal
untuk transplantasi organ, legalitas pelepasan alat bantu hidup, dan menentukan
waktu kematian dalam kasus kriminal. Untuk tujuan aplikatif, maka kematian otak
diklasifikasikan menjadi 3 tipe (Bardale, 2011):
1. Mati Kortikal
Mati kortikal juga disebut dengan istilah mati otak serebri atau keadaan
vegetatif persisten. Dalam keadaan ini, pasien mengalami koma irreversibel
dan menunjukkan tanda disfungsi otak berat dengan hilangnya aktivitas
serebral yang lebih tinggi yang disebabkan hipoksia, trauma, atau intoksikasi.
Dalam keadaan ini seseorang akan berada dalam keadaan vegetatif karena
batang otak masih mampu menjaga aktivitas respirasi dan sirkulasi.
2. Mati Batang Otak
Secara praktis, mati batang otak didefinisikan sebagai kematian seseorang
karena pusat vital yang mengontrol respirasi, aktivitas jantung dan jalur
retikuler ascenden yang menciptakan kesadaran telah hilang secara irreversibel
dan permanen. Cerebrum mungkin masih intak namun fungsinya telah terputus
dari batang otak.
3. Mati Otak Total
Mati otak total atau disebut juga mati otak campuran, yang merupakan
kombinasi dari mati otak kortikal dan mati batang otak. Kematian otak terjadi
bertahap dan sel mati karena anoksia. Bagian pertama dari kematian otak
adalah kematian korteks dan diikuti mesencephalon kemudian batang otak.
1.5 Penyebab, Cara, dan Mekanisme dari Kematian
Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit yang menimbulkan
kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan kematian pada seseorang. Berikut
ini adalah penyebab kematian: luka tembak pada kepala, luka tusuk pada dada,
adenokarsinoma pada paru-paru, dan aterosklerosis koronaria.
Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan oleh penyebab
kematian yang menghasilkan kematian. Contoh dari mekanisme kematian dapat
berupa perdarahan, septikemia, dan aritmia jantung. Ada yang dipikirkan adalah
bahwa suatu keterangan tentang mekanime kematian dapat diperoleh dari beberapa
penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi, jika seseorang meninggal karena
perdarahan masif, itu dapat dihasilkan dari luka tembak, luka tusuk, tumor ganas
dari paru yang masuk ke pembuluh darah dan seterusnya. Kebalikannya adalah
bahwa penyebab kematian, sebagai contoh, luka tembak pada abdomen, dapat
menghasilkan banyak kemungkinan mekanisme kematian yang terjadi, contohnya
perdarahan atau peritonitis.
Cara kematian atau Manner of Death menjelaskan bagaimana penyebab
kematian itu datang. Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai
wajar, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan yang tidak dapat dijelaskan atau
tidak wajar (pada mekanisme kematian yang dapat memiliki banyak penyebab dan
penyebab yang memiliki banyak mekanisme, penyebab kematian dapat memiliki
banyak cara). Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif (mekanisme
kematian) dikarenakan luka tembak pada jantung (penyebab kematian), dengan
cara kematian secara pembunuhan (seseorang menembaknya), bunuh diri
(menembak dirinya sendiri), kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat dijelaskan
(tidak dapat diketahui apa yang terjadi).
Menampilkan cara kematian

(Mnemonic - SHAN - S = bunuh diri, H = pembunuhan, A = kecelakaan, N =


alami)

1.6 Cara Mendeteksi Kematian

Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita bisa


mendeteksi hidup matinya seseorang. Untuk mendeteksi tidak berfungsinya
sistem saraf, ada lima hal yang harus kita perhatikan yaitu tanda areflex,
relaksasi, tidak ada pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro ensefalografi (EEG)
mendatar/ flat.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam hal
yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi, denyut
jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro kardiografi (EKG)
mendatar/ flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan
korban kita ikat (tes magnus), daerah sekitar tempat penyuntikan icard subkutan
tidak berwarna kuning kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya darah dengan
pulsasi pada insisi arteri radialis.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada beberapa
hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak napas pada inspeksi
dan palpasi, tidak ada bising napas pada auskultasi, tidak ada gerakan permukaan
air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban pada tes, tidak ada uap air
pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban, serta
tidak ada gerakan bulu ayam yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban (Modi, 1988).
1.7 Modus Kematian

Modus kematian mengacu pada “keadaan fisiologis abnormal yang


berhubungan pada saat kematian”.Dalam semua jenis kematian, apakah alami
atau tidak alami, ada tiga modus kematian dan Bichat telah diklasifikasikan
sebagai :

(Mnemonic - SAC - S = sinkop, A = asfiksia, C = koma)

1. Koma

2. Asfiksia

3. Sinkop

Penyebab koma antara lain terdapat pada tabel dibawah ini :

Penyebab Koma

Cedera kepala

Perdarahan intrakranial

Ensefalitis

meningitis

diabetic ketoacidosis

koma uremik

keracunan alkohol

Epilepsi

heat stroke
Sedangkan hasil sinkop berasal dari penghentian fungsi jantung dengan
penghentian akibat sirkulasi. Dalam sinkop ada terjadi penurunan kesadaran
dengan runtuhnya postural akibat penurunan akut pada aliran darah otak. Penyebab
sinkop disebutkan dalam tabel dibawah ini :

Penyebab Sinkop

Vagal Penghambatan

Infark Miokard

Stenosis Aorta

Stenosis Pulmonal

Hipertensi Pulmonal

Emboli Paru

Tamponade Jantung

Myxoma Atrial

Anemia
Adelson mendefinisikan asfiksia, sebagai “keadaan di organisme hidup
dimana ada kekurangan oksigen akut yang tersedia untuk metabolisme sel yang
terkait dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan kelebihan karbon
dioksida.”. Penyebab asfiksia disebutkan dalam tabel di bawah ini :

Penyebab Asfiksia

Keracunan sianida

Penyebab patologis

Edema glotis akut

Konsolidasi

Efusi pleura

penyebab lingkungan

Dataran tinggi

Orang terjebak di sumur

Respirasi di ruang tertutup

1.8 Tanda Kematian

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini pada saat
meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut dikenal sebagai
tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan
tanda kematian tidak pasti.
A. Tanda kematian tidak pasti

1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.

2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak


teraba.

3. Kulit pucat.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah


kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit
yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.

B. Tanda kematian pasti

1. Livor mortis

Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan vibices.

Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah kebiruan
atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat akibat
penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya kerja
pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh mayat yang
tertekan oleh alas keras.

Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca
kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan lengkap,
akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian klinis.
Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita
menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam pasca
kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai perubahan posisi
mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita hilangkan dengan
penekanan jika lama kematian klinis sudah terjadi kira-kira lebih dari 6-10
jam.
Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan menetap, yaitu:
a. Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.
b. Kapiler sebagai bejana berhubungan.
c. Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
d. Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.

Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai dengan
posisi mayat.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang, dapat kita
lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai,
ujung jari dibawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada
lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat
dasi.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat kita lihat pada
ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru,
dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus yang
dibawah (dalam rongga panggul).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume
darah yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna
lebam.
Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam mayat
lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan lebih
terbatas penyebarannya pada volume darah yang sedikit, misalnya pada
anemia.
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah kebiruan
merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang menandakan
keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3) warna merah gelap
menunjukkan asfiksia, (4) warna biru menunjukkan keracunan nitrit dan
(5) warna coklat menandakan keracunan aniline.
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti
kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda
memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah terjadi lebam
bukan pada saat mati.
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah akibat
trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat trauma akan
menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna tersebut akan hilang jika
irisan jaringan kita siram dengan air.

2. Kaku mayat (rigor mortis)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada
otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot,
yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer; hal mana
disebabkan oleh karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang
terdapat dalam serabut-serabut otot.
a. Cadaveric spasme

Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan


dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang
pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa
melalui relaksasi primer.
b. Heat Stiffening

Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu tinggi,
misalnya pada kasus kebakaran.
c. Cold Stiffening

Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu


rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer, atau
bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan tubuh
terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku.

3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat


terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-
menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan perbedaan suhu antara
mayat dengan lingkungannya. Algor mortis merupakan salah satu
perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada
fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat
dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor, yaitu masih
adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan perbedaan koefisien
hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya
penurunan suhu tubuh mayat, yaitu :
a. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.

b. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin lama
penurunan suhu tubuhnya.
c. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

d. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

e. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat


penurunan suhu tubuh mayat.
f. Aktivitas sebelum meninggal.

g. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan suhu


tubuh tinggi.
h. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

i. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang terpapar.

Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai


berikut, antara lain :
a. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan suhu
tubuh mayat.
b. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.

c. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.

d. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.

e. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.

f. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung dari
suhu, aliran, dan keadaan airnya.

g. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu (98,40F -


suhu rectal 0F) : 1,50F.

4. Pembusukan

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.


Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama protein
akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama Klostridium welchii.
Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas pembusukan berupa H 2S,
HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan
HbS yang berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan
yaitu adanya mikroorganisme dan enzim proteolitik.
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru
tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan melihatnya
pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah perut kanan bagian
bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu menyebar ke seluruh perut dan
dada dengan disertai bau busuk.
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak,
mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut mengeluarkan
darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan
partus (gravid), badan gembung, bulla atau kulit ari terkelupas, aborescent
pattern/ marbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan,
pembuluh darah bawah kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum atau
vulva membengkak, kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam
membusuk, dan ditemukannya larva lalat.
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung,
usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang lambat
membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan diafragma. Organ
yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar prostat dan uterus non
gravid.
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam
pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan
penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan
dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena
racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya
pembusukan mayat, yaitu :
1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat
pembusukan.
2. Suhu optimal yaitu 21-370C mempercepat pembusukan.

3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.

4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi


pembusukan.
5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk
daripada tubuh kurus.
6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).

7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan.


Dehidrasi memperlambat pembusukan.
8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat
pembusukan.
9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.
Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan suatu
kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat kematian,
untuk menaksir lama kematian, serta dapat membedakannya dengan bulla
intravital.
Perbedaan bulla intravital dan bulla pembusukan

Bulla Intravital Perbedaan Bulla pembusukan

Kecoklatan Warna kulit ari Kuning

Tinggi Kadar albumin & klor Rendah atau tidak ada


bulla

Hiperemis Dasar bulla Merah pembusukan

Intraepidermal Jaringan yang terangkat Antara epidermis &


dermis

Ada Reaksi jaringan & Tidak ada


respon darah

5. Adipocere (lilin mayat)

Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat


mengalami hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya,
dan hidrolisis ini dimungkinkan oleh karena terbentuknya
lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium welchii,
yang berpengaruh terhadap jaringan lemak.
Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang
lama, sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan
keuntungan adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah
dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali,
sampai ratusan tahun.

6. Mummifikasi

Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan


menyebabkan pengeringan dengan cepat sehingga dapat
menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap,
keras dan kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya
alat-alat dalam tubuh, sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan
ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi dibutuhkan waktu yang
cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang
dipengaruhi oleh keadaan suhu lingkungan dan sifat aliran udara.
BAB III

PENUTUP

Thanatologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kematian dan


perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut. Terdapat beberapa istilah tentang kematian yaitu mati suri,
mati somatik, mati seluler, mati otak (serebral dan serebelum), mati serebral, mati
batang otak, dan mati klinis. Ketika seseorang itu mati maka akan muncul tanda-
tanda kematian mulai dari tanda awal yaitu terhentinya pernafasan, terhentinya
sirkulasi, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina
mengalami segmentasi, pengeringan kornea menjadi keruh, tidak ditemukan
adanya refleks kornea dan cahaya, bulbus oculli melunak dan mengkerut.
Selanjutnya adalah tanda lanjut yang terdiri atas penurunan suhu (algor mortis),
lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), pembusukan
(dekomposisi), maserasi, mumifikasi, dan saponifikasi. Tanda kematian penting
diketahui untuk mengetahui perkiraan saat kematian, perkiraan sebab kematian,
dan posisi terakhir saat kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Fonseca L., & Testoni I. 2011. The Emergence of Thanatology and Current
Practice in Death Education. Omega. 64. 157-69. 10.2190/OM.64.2.d.

Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta, Binarupa
Aksara.

Di Maio VJM., & Di Maio, DJ. 2001. Forensic pathology. Boca Raton, CRC
Press.

Bardale R. 2011. Principles of Forensic Medicine & Toxicology. New Delhi,


Jaypee Brothers Medical Publisher.

Saukko P. & Knight B. 2016. Knight’s Forensic Pathology. Fourth Edition. Boca
Raton, CRC Press.

Rajesh Bardale. Principles of Forensic Medicine & Toxicology, 2011; Chapter 7:


132-166

Knight B, Sauko P. The Pathophysiology of Death. In: Knigh’s Forensic


Pathology, 3rd Ed. London: Arnold. pp. 1996.: 52–90 15

Dahlan S. Thanatologi. In: Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2007:
47-65

Anda mungkin juga menyukai