Anda di halaman 1dari 35

0

LAPORAN KASUS
ANGINA LUDWIG

Disusun Oleh
Meti Destriyana 1618012047
Nida Nabilah Nur 1618012129
Serafina Subagio 1618012053

Perseptor
dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD JENDRAL AHMAD YANI METRO
2017
1

DAFTAR ISI

SAMPUL
DAFTAR ISI ................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 3

BAB II STATUS PASIEN


2.1 Identitas Pasien..................................................................................... 5
2.2 Anamnesis ............................................................................................ 5
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 11
2.5 Diagnosis .............................................................................................. 13
2.6 Penatalaksanaan ................................................................................... 14
2.7 Prognosis .............................................................................................. 16

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi ................................................................................................. 17
3.2 Etiologi dan Faktor Risiko ................................................................... 17
3.3 Patofisiologi ......................................................................................... 19
3.4 Gejala Klinis ......................................................................................... 22
3.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ................................................ 23
3.6 Tata Laksana ........................................................................................ 25
3.7 Komplikasi dan Prognosis .................................................................... 27
2

BAB IV ANALISIS KASUS


4.1 Dasar Diagnosis ................................................................................... 29
4.2 Dasar Tata Laksana .............................................................................. 31
4.3 Saran ..................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33


3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi gigi atau infeksi odonteogenik merupakan penyakit yang umum
terjadi. Lebih dari 40% infeksi gigi terjadi pada gigi susu anak usia 6 tahun
dan lebih dari 85% pada gigi permanen anak usia diatas 17 tahun. Perluasan
infeksi odontogenik ke regio bukal, fasial, dan subkutaneus servikal,
sehingga berkembang menjadi selulitis fasialis, dapat menyebabkan
kematian jika tidak segera diberikan penanganan yang adekuat. Infeksi
odontogenik biasanya disebabkan oleh Streptococcus sp serta
mikroorganisme anaerob negatif lainya. Namun pada dasarnya, infeksi
odontogenik merupakan infeksi campuran, baik dari bakteri anaerob
maupun bakteri aerob. Pada 88,4 % kasus, penyebab selulitis fasialis adalah
infeksi odontogenik yang berasal dari pulpa dan periodontal, yang berusaha
untuk mencari jalan keluar. Terdapat beberapa klasifikasi selulitis, salah
satunya adalah selulitis difus akut (Ludwig’s angina, selulitis yang berasal
dari inframylohyoid, selulitis senator’s parapharingeal difus, selulitis
fasialis difus, serta fasciitis necrotizing dan gambaran atipikal lainnya) dan
selulitis kronis.

Selulitis fasial yang paling sering dijumpai adalah angina Ludwig, selulitis
bilateral yang mengenai 3 spasium yaitu spasium submandibula, sublingual,
dan submental. Ruang submandibular dan sublingual, meskipun berbeda
secara anatomis, harus dianggap sebagai suatu unit karena kedekatan dan
keterlibatan ganda infeksi yang sering odontogenik. Ruang ini terletak di
4

antara superior mukosa mulut dan otot mylohioid inferior. Infeksi gigi molar
dan premolar pertama sering mengalir ke ruang ini karena Apeks akarnya
berada di superior otot mylohiod.

Walaupun penyebaran yang luas sering terjadi pada pasien


imunokompromais, angina Ludwig juga bisa berkembang pada orang yang
sehat. Faktor predisposisinya berupa karies dentis, perawatan gigi terakhir,
sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah. Selain itu
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, neutropenia, aplastik anemia,
glomerulositis, dermatomiositis dan lupus eritematosus dapat
mempengaruhi terjadinya angina Ludwig. Penderita terbanyak berkisar
antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah dilaporkan terjadi pada usia 12
hari –84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada laki-laki (3:1 sampai 4:1).
Angka kematian akibat angina Ludwig sebelum dikenalnya antibiotik
mencapai angka 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan
perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik, serta tindakan yang
cepat dan tepat, maka saat ini angka kematiannya hanya 8%.

Prognosis angina Ludwig sangat tergantung pada seberapa cepat tatalaksana


mengamankan jalan nafas dan pemberian antibiotik dilakukan. Pada era
sebelum ditemukannya antibiotik, tingkat kematian lebih tinggi
dibandingkan dengan era saat antibiotik telah ditemukan.
5

BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


No. MR 331500
Tanggal Masuk Selasa, 9 Januari 2018
Nama Tn. A
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 26 Tahun
Alamat Bina Karya Utama Putra, Rumbia
Pekerjaan Tidak bekerja
Suku Jawa
Alamat Islam
Status Belum menikah

2.2 Anamnesis
Informasi didapatkan melalui autoanamnesis pasien Tn. A pada tanggal 10
Januari 2018 pukul 08.00 WIB.

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada gusi sejak 3 hari
yang lalu yang tidak berkurang.

Keluhan Tambahan
Bengkak di rahang bawah, nyeri menelan, sulit makan, dan demam.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD A. Yani pada tanggal 9 Januari 2018 dengan
keluhan nyeri dan bengkak pada gusi sejak 3 hari SMRS. Gusi bengkak
6

pertama kali dirasakan setahun yang lalu hilang timbul, hilang ketika
meminum obat nyeri yang dibeli di warung. Namun sejak 3 hari SMRS,
nyeri yang dirasakan tidak hilang sesudah pasien meminum obat. Nyeri
dirasakan makin memberat saat pasien membuka mulut. Keluhan lain adalah
sulit menelan dan sulit untuk makan makanan sehari hari. Pasien hanya bisa
minum, dan terdapat pembengkakan pada daerah rahang bawah disertai
demam.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku sering mengalami gusi bengkak sejak setahun terakhir yang
hilang timbul.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada keluarganya yang mengalami keluhan yang sama
dengannya, riwayat alergi (-), riwayat hipersensitif dingin, panas (-).

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien jarang menggosok gigi, jarang berolahraga, riwayat merokok
disangkal, riwayat minum alkohol disangkal.

Riwayat Operasi
Tidak ada.

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Suhu : 37.6 0C
Frekuensi Nadi : 100 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
SpO2 : 97 %
7

2. Status Generalis
Kepala
Muka : Asimetris, normochepal, oedem (-)
Rambut : Hitam, pertumbuhan merata, tidak mudah dicabut
Mata : Kornea jernih, pupil isokor, konjungtiva anemis (-
/-), reflek cahaya (+/+), gerak bola mata baik.
Telinga : Simetris, sekret (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), Rahang kaku (+)
Kesan : Trismus

Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Systolic thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : SI/SII reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Pemeriksaan jantung dalam batas normal

Paru
Anterior Posterior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Normochest, Normochest, Normochest, Normochest,
pergerakan pergerakan pergerakan pergerakan
dada simetris dada simetris dada simetris dada simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil
dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi dan ekspansi
dada dextra = dada dextra = dada dextra = dada dextra =
sinistra sinistra sinistra sinistra
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Suara napas Suara napas Suara napas Suara napas
vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N), Vesikuler (N),
ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-, ronki -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-
Kesan : Pemeriksaan paru dalam batas normal
8

Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Auskultasi : Bising usus (+) 10x /menit
Perkusi : Timpani (+), pekak hepar (+), asites (-)
Palpasi : Teraba lembut, nyeri (-), hepar & lien tidak teraba
Kesan : Abdomen dalam batas normal.

Ekstremitas
Superior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-/-), oedem (-/-)
Infrerior : Lengkap, cacat (-),akral dingin (-/-), oedem (-/-)
Kesan : Dalam batas normal

3. Status Lokalis
Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Preaurikula Kelainan kongenital - -
Radang dan tumor - -
Trauma - -
Aurikula Kelainan kongenital - -
Radang dan tumor - -
Trauma - -
Retroaurikula Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Sikatriks - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Palpasi Nyeri pergerakan - -
aurikula
Nyeri tekan tragus - -
Canalis Kelainan kongenital - -
Acustikus Kulit Tenang Tenang
Externa Sekret - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
9

Membrana Warna putih keabu- putih keabu-


Timpani abuan abuan
Intak (+) (+)
Retraksi (+) (+)
Refleks cahaya (-) (-)
Perforasi

Kesan : Telinga dalam batas normal

Hidung
Rhinoskopi
Cavum nasi kanan Cavum nasi kiri
anterior
Mukosa hidung Hiperemis (-), sekret Hiperemis (-), sekret
(-), massa (-) (-), massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), dislokasi Deviasi (-), dislokasi
(-), laserasi (-) (-), laserasi (-)
Konka inferior Edema (-), hiperemis Edema (-), hiperemis
dan media (-) (-)
Meatus inferior Polip (-) Polip (-)
dan media
Kesan: Hidung dalam batas normal

Rongga Mulut dan Orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Mukosa mulut Terdapat pus
Lidah Bersih, basah, nyeri bila digerakkan
Palatum molle Tenang, simetris
Gigi geligi Caries (+) Calculi (+) Impaksi 48
Uvula Simetris
Halitosis (-)
Tonsil Mukosa Tenang
Besar T1 – T1
Kripta Normal - Normal
Detritus (-/-)
Perlengketan (-/-)
Faring Mukosa Hiperemis
Granula (-)
Post nasal drip (-)
Darah (-)
Kesan : Carries dan Calculi gigi
10

Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri Tekan : Tidak ada.
Kesan : Dalam atas normal

Leher
Trakea : Deviasi trachea (-), letak normal
KGB : Tidak teraba pembesaran pada KGB leher
Inspeksi : Terdapat selulitis dorsum, pembengkakan,
hiperemis, teraba hangat, fluktuasi (+) pada region
submandibula dan submental
Kesan : Bull neck

Tn. A, 26 Tahun
11

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium Darah
Hasil
No Pemeriksaan Nilai Rujukan
09/01/2018
1. Leukosit 5 – 10 rb/uL 21.50
2. Eritrosit 3.08 - 5.05 jt/uL 4.7
3. Hemoglobin 12 – 16 g/dL 14.1
4. Hematokrit 37 – 48 % 42.1
5. MCV 80 – 92 fl 89.5
6. MCH 27 – 31 pg 28.8
7. MCHC 32 – 36 g/dL 33.7
8. Trombosit 150 - 450 rb/ul 426
9. RDW 12.9 – 15.3 % 13.9
10. MPV 8 – 9.6 fl 9.1
11. GDS <140 88
Kesan : Leukositosis dan Trombositosis ringan

Foto Orthopanthomogram (09/01/2018)


Foto OPG, kondisi cukup. Hasil:
 Tampak carries dentis 36
 Tampak missing gigi 18 28 46
 Tampak impaksi 38
 Tampak impaksi dan gangrene radix 48
12

Foto Cranium Ap dan Lateral (09/01/2018)


Foto cranium AP dan lateral views, kondisi cukup; pada pasien dengan
klinis tidak disebutkan. Hasil:
 Tabula eksterna dan interna intak
 Orbital rim, sella turcica dan dorsum sellae intak
 SPN yang tervisualisasi normolusen
 Os nasal dan os Zygomaticus intak
 Os maxilla dan mandibular intak
 Sutura tak melebar/menyempit

Foto Soft Tissue Cervical AP dan Lateral View (10/01/2018)


Foto soft tissue cervical AP dan Lateral views, kondisi cukup; pada pasien
dengan klinis susp. Retrofaringeal abses. Hasil:
 Tak tampak soft tissue mass pada region colli
 Trakea di tengah tak terdeviasi. Tak tampak penyempitan trakea.
 Retrofaringeal space tak melebar, ukuran 5.5 cm
 Sistema tulang servikal intak
Kesan:
 Tak tampak soft tissue mass region colli
 Tak tampak pelebaran retrofaringeal space
 Sistema tulang servikal intak
13

2.5 Diagnosis
Angina Ludovici e.c. Impaksi 48 dan kalkuli.
14

2.6 Penatalaksanaan
Terapi IGD
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
 Inf. Metronidazole 3x1 gram
 Inj. Omeprazole 1x1 vial
 Inj. Ondansentron 2x1 amp
 Inj. Keterolac 3x1 amp
 Betadine gargle 3x15 cc kumur

Follow Up Harian
Tanggal Follow Up Planning
Rabu, S/ Gusi bengkak, nyeri Pemeriksaan Penunjang:
10/01/2018 menalan, bengkak pada  Kultur
rahang bawah  Rontgen STL AP/Lat
O/ KU: tampak sakit sedang
KS: compos mentis Non-Farmakoterapi
TD: 120/ 70 mmHg  Diet
HR: 100 x/menit Perhitungan kalori 30 x
RR: 20x/menit 50 kgBB = 1500 kkal
T: 37,5°C KH: 45-65%
Lemak: 20-25%
Kepala Protein: 10-20%
Mata : CA -/-, SI -/- TKTP
Leher: Tidak teraba  Bed Rest
pembesaran KGB, tampak  Tidur telentang
selulitis dorsum,  Insisi drainase abses
pembengkakan, hiperemis,
fluktuasi pada Farmakoterapi
submandibula bilateral dan  Infus IVFD RL 25
submental, nyeri tekan (+), gtt/menit
teraba hangat.
 Ceftriaxone 2x 1gr
 Metronidazole infus
Thorax:
3x500mg
I: Bentuk & gerak simetris
P: VF D = S  Paracetamol infus
P: Sonor (+/+) 3x500mg
A: VBS (+), ves (+/+)  Omeprazole 1x40mg
 Betadine gargle 3x15
Jantung cc kumur
Pulsasi iktus kordis tidak
terlihat, iktus kordis teraba
15

ICS V linea mid clavicula


sinistra, batas jantung atas
di ICS II, batas jantung
kanan di ICS IV linea
sternalis dextra, batas
jantung kiri di ICS V linea
mid clavikula, batas
pinggang jantung di ICS III
linea parasternalis, bunyi
jantung I-II murni, reguler,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
I: Datar, simetris
A: BU (+), 10x / menit
P: Timpani, asites (-)
P: Hepar & lien tak teraba

Ekstrimitas:
Edema (-/-/-/-)
Ikterus (-/-/-/-)
CRP <2detik
A/ Angina Ludovici e.c.
Impaksi Gigi 48 susp.
Abses Retro/Parfaring
Kamis, S/ Gusi bengkak, nyeri Pasien menolak
11/01/2018 menalan, bengkak pada dilakukan insisi,
rahang bawah alternatif:
O/ KU: sakit sedang  Pembersihan kalkuli
Kesadaran: compos mentis
TD: 120/70 mmHg Non-Farmakoterapi
HR: 100x/menit, reguler  Diet
RR: 18x/menit Perhitungan kalori 30 x
T: 37.4 0C 50 kgBB = 1500 kkal
SpO2: 98% KH: 45-65%
Lemak: 20-25%
Kepala: Protein: 10-20%
CA -/-, SI -/- TKTP
Leher:  Bed Rest
Tidak teraba pembesaran  Tidur telentang
KGB, tampak selulitis  Insisi drainase abses
dorsum, terdapat
pembengkakan, hiperemis, Farmakoterapi
fluktuasi pada  Infus IVFD RL 25
submandibula bilateral dan gtt/menit
submental, nyeri tekan (+),  Ceftriaxone 2x 1gr
teraba hangat
 Metronidazole infus
16

Thorax: 3x500mg
Bentuk & gerak simetris,  Paracetamol infus
VBS (+) sonor +/+, ves 3x500mg
+/+, BJ I-II regular  Omeprazole 1x40mg
 Betadine gargle 3x15
Abdomen: cc kumur
Datar, BU (+) N, timpani
(+), pekak hepar (+), NT (-)

Ekstremitas:
Oedem +/-/-/- non pitting
A/ Angina Ludovici

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Angina Ludwig atau dikenal sebagai Angina Ludovici atau Phlegmon,
pertama kali dijelaskan oleh Wilheim Frederickvon Ludwig pada tahun
1836 sebagai suatu selulitis atau infeksi jaringan ikat leher dan dasar mulut
yang cepat menyebar. Ia mengamati bahwa kondisi ini akan memburuk
secara progesif bahkan dapat berakhir pada kematian dalam waktu 10 – 12
hari.

Angina Ludwig atau phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius


jaringan ikat (selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini
termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.
Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya
ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

3.2 Etiolgi dan Faktor Risiko


Dilaporkan sekitar 90% kasus phlegmon disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang
kurang. Selain itu, 95% kasus phlegmon melibatkan ruang submandibular
bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya
yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah
dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang
18

merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian.
Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar
bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan
terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang.

Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari phlegmon. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak
pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan
menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir
juga dapat menyebabkan phlegmon, antara lain: penyebaran organisme dari
gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta
inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah
dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.

Penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar


submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat
keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus,
epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena
bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah,
infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.

Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita Angina Ludwig


melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococccus aureus.
Bakteri anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides,
peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram positif yang telah diisolasi
adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes,
Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram
negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
19

3.3 Patofisiologi
Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fascia
penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi. Ruang yang dibentuk
oleh berbagai fascia pada leher ini merupakan area yang berpotensi untuk
terjadinya infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau abses,
dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe.

Ruang submandibular merupakan ruang di atas os hyoid (suprahyoid) dan


m. mylohyoid. Di bagian anterior, m. mylohyoid memisahkan ruang ini
menjadi dua yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di
inferior. Adapula yang membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang
sublingual, ruang submental dan ruang submaksilar.

Gambar 1. Ruang sublingual di bagian superior dari m.


mylohyoid. Ruang submandibular di inferior dari m. mylohyoid.

Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual di bagian


superiornya oleh m. mylohyoid dan m. hyoglossus, di bagian medialnya oleh
m. styloglossus dan di bagian lateralnya oleh corpus mandibula. Batas
lateralnya berupa kulit, fascia superfisial dan m. platysma superficialis pada
fascia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh m.
digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas
dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan
ruang pharyngeal.
20

Gambar 2. Ruang submaksilar dibatasi oleh m. mylohyoid, m.


hyoglossus, dan m. styloglossus.

Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaksilar, duktus


Wharton, n. lingualis, dan hypoglossal, a. facialis, sebagian nodus limfe dan
lemak. Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang
terletak di garis tengah bawah mandibula dimana batas superior dan
lateralnya dibatasi oleh bagian anterior dari m. digastricus. Dasar ruangan
ini adalah m. mylohyoid sedangkan atapnya adalah kulit, fascia superfisial,
dan m. platysma. Ruang submental mengandung beberapa nodus limfe dan
jaringan lemak fibrous.

Gambar 3. Segitiga submental.

Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan
posterior, mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. Os hyoid
membatasi penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakkan dapat
menyebar hingga bagian anterior leher, menyebabkan distorsi dan gambaran
bull neck.
21

Pada 88,4 % kasus selulitis fasialis disebabkan infeksi odontogenik yang


berasal dari pulpa dan periodontal. Periodontitis apikalis akut atau
kelanjutan dari infeksi/abses periapikal, menyebar ke segala arah waktu
mencari jalan keluar. Ketika itu biasanya periosteum ruptur dan infeksi
menyebar ke sekitar jaringan lunak intra dan/atau kstra oral, menyebabkan
selulitis. Penyebab utama selulitis adalah proses penyebaran infeksi melalui
ruangan subkutaneus sellular/jaringan ikat longgar yang biasanya
disebabkan dari infeksi odontogenik. Penyebaran ini dipengaruhi oleh
struktur anatomi lokal yang bertindak sebagai barrier pencegah penyebaran,
hal tersebut dapat dijadikan acuan penyebaran infeksi pada proses septik.
Barrier tersebut dibentuk oleh tulang rahang dan otot-otot yang berinsersi
pada tulang tersebut.

Gambar 4. Perjalanan infeksi odontogenik.

Menurut Dimitroulis, faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dari


infeksi adalah: (1) mikroorganisme (virulensi mikroorganisme, jumlah
22

mikroorganisme, asal infeksi (pulpa, periodontal, luka jaringan) dan


toksisitas yang dihasilkan dan dikeluarkan dari mikroorganisme); dan (2)
host (keadaan umum, status kesehatan, sistem imun, umur) dan faktor lokal
(suplai darah, efektivitas sistem pertahanan).

Peterson menguraikan mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan


lebih jelas lagi, sebagai berikut: mekanisme pertahanan lokal (barrier
anatomi tubuh yang intak dan populasi bakteri normal dalam tubuh),
mekanisme pertahanan hurmoral (imunoglobulin dan komplemen) serta
mekanisme selular (fagosit, granulosit, monosit dan limfosit).

3.4 Gejala Klinis


Gejala klinis umum phlegmon meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan
dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas.
Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang
keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan
jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral
meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan
(disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara
(disarthria).

Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam, takikardi dengan


karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras, serta edem jaringan leher
depan di atas os hyoid yang memberikan gambaran seperti bull neck. Karies
pada gigi molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang
terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi
pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu
menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi, sianosis, dan
postur tubuh mengendus (postur tubuh yang menandai pasien dengan
kompensasi obstruksi saluran napas atas, yakni postur tubuh tegak dengan
23

leher menjulur ke depan dan dagu terangkat seperti orang sedang


mengendus) menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu
mendapat penanganan segera. Adanya brawny induration di dasar mulut
merupakan gejala klinis sugestif bagi klinisi untuk melakukan tindakan
stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya diikuti dengan konfirmasi
diagnostik selanjutnya.

Terdapat 4 tanda kardinal phlegmon atau angina Ludwig, (1) Infeksi


bilateral atau infeksi pada lebih dari 1 ruang jaringan, (2) Adanya gangrene
dengan infiltrate serosanguis, (3) melibatkan jaringan ikat longgar, fascia,
dan otot namun tidak dengan struktur kelenjar, dan (4) meluas secara
perkontinuitatum dan tidak dengan cara limfatik.

3.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis ditegakkan dari riwayat penyakit atau anamnesa dan pemeriksaan
klinis (inspeksi, palpasi & auskultasi intraoral dan ekstraoral), yang lebih
jauh menegakkan diagnosa selulitis tersebut berasal dari gigi. Pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan radiologis, umumnya periapikal foto dan
panoramik foto, walaupun banyak kasus dilaporkan selulitis dapat
didiagnosa dengan MRI.

Meskipun diagnosis phlegmon dapat diketahui berdasarkan anamnesa dan


pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis.

Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
 Leukosit: adanya peningkatan jumlah leukosit sebagai indikasi infeksi
 Elektrolit: untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
 LED: meningkat sebagai indikasi infeksi
 Trombosit: penurunan oleh karena agregasi trombosit
24

 Gula Darah: hiperglikemi menunjukan glukoneogenesis meningkat


2) Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan
antibiotik dalam terapi.

Pencitraan
1) Rontgen
Walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada
dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-
paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal
infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.

2) USG
USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-
invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum
untuk menentukan letak abses.

3) CT-scan
CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan
evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat
mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi
jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan
dibutuhkannya pernapasan buatan.

4) MRI
MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih
panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat
berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.
25

Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue,


adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah
digunakan untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue.
Foto panorama dari rahang menunjukkan fokus infeksi pada gigi.

Gambar 5. Foto polos menunjukkan adanya pembengkakan


supraglotik (tanda panah).

Setelah patensi jalan nafas diamankan, CT scan dapat dilakukan untuk


mengidentifikasi adanya pembengkakan soft-tissue, penumpukan cairan,
dan gangguan jalan nafas. CT scan juga dapat menentukan luas abses
retrofaringeal dan dapat menolong untuk menentukan kapan alat bantu
pernafasan diperlukan. MRI merupakan pemeriksaan lain yang dapat
dipertimbangkan pada beberapa pasien.

3.6 Tata Laksana


Algoritma diagnosis dan managemen angina Ludwig dapat dilihat pada
gambar 6. Morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama
26

disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, oleh karena itu proteksi dari
jalan nafas merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini.
Konsultasi anesthesiologis dan otolaringologis sangat diperlukan dengan
segera. Transfer pasien ke ruang operasi harus dipertimbangkan sebelum
manipulasi jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak memerlukan kontrol jalan
nafas segera harus dimonitor terus menerus. Pada pasien yang sangat
memerlukan bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan di
ruang operasi, untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika
diperlukan.

Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena


secara agresif harus dilakukan. Terapi awal ditargetkan untuk bakteri gram
positif dan bakteri anaerob pada rongga mulut. Pemberian beberapa
antibiotik harus dilakukan, yaitu penisilin G dosis tinggi dan metronidazol,
klindamisin, sefoksitin, piperasilin-tazobaktam, amoksisilin klavulanat, dan
tikarsilin klavulanat. Meskipun masih menjadi kontroversi, pemberian
deksametason untuk mengurangi edema dan meningkatkan penetrasi
antibiotik. Pemberian deksametason intravena dan nebul adrenalin telah
dilakukan untuk mengurangi edema saluran nafas bagian atas pada beberapa
kasus.

Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti


radilogis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau
aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian terapi antibiotik. Drainase ditempatkan di m. mylohyoid
ke dalam ruang sublingual. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting
untuk proses drainase yang lengkap.
27

Gambar 6. Algoritma diagnosis dan tata laksana angina Ludwig.

3.7 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang paling serius dari angina Ludwig yaitu asfiksia yang
disebabkan oleh edema pada soft-tissue leher. Pada infeksi lanjut, dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus dan abses serebri. Komplikasi lainnya
yang telah dilaporkan yaitu infeksi dinding karotis dan ruptur arteri,
tromboflebitis supuratif dari vena jugularis, mediastinitis, empiema, efusi
28

perikard atau efusi pleura, osteomielitis mandibula, abses subfrenikus, dan


aspirasi pneumonia.

Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada proteksi segera jalan


nafas dan pada pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi. Tingkat
kematian pada era sebelum adanya antibiotik sebesar 50%, tetapi dengan
adanya antibiotik tingkat mortalitas berkurang menjadi 5%.
29

BAB IV
ANALISIS KASUS

4.1 Dasar Diagnosis


Angina Ludwig merupakan selulitis fasial yang paling sering dijumpai,
mengenai 3 spasium yaitu spasium submandibula, sublingual, dan
submental. Ruang dapat dianggap sebagai suatu unit karena kedekatan dan
keterlibatan infeksi ganda yang sering odontogenik. Ruang ini terletak di
antara superior mukosa mulut dan otot mylohioid inferior. Infeksi gigi molar
dan premolar pertama sering mengalir ke ruang ini karena apeks akarnya
berada di superior otot mylohiod.

Penegakan diagnosis dari angina Ludwig seperti pada umumnya didasarkan


pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang mendukung. Dari
anamnesis, didapatkan riwayat bahwa pasien sering mengalami peradangan
pada gusi yang mungkin diakibatkan karies gigi yang sudah menahun,
gejala ini ditandai berupa keluhan nyeri dan bengkak yang hilang timbul
pada gigi geraham dan sekitarnya (periodoental) dalam 1 tahun terakhir ini.
Baru 3 hari sebelum masuk RS, pasien merasakan nyeri dan bengkak yang
tiba-tiba pada area rahang bawah dekat leher. Pasien mengeluh sulit untuk
makan bahkan untuk membuka mulut, kualitas tidur yang memburuk
dikarenakan sering terjadi sumbatan jalan nafas yang ditandai dengan
mengorok saat tidur.

Berdasarkan hasil anamnesis di atas, maka ini sangat mirip dan


menimbulkan dugaan bahwa pasien menderita angina Ludwig. Adanya
30

riwayat karies gigi sehingga diduga kuat kemungkinan penyebaran infeksi


melalui odontogen. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari
terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang
merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian.
Infeksi bakteri penyebab angina Ludwig paling banyak didapatkan dari
mikroorganisme Streptococcus viridians dan Staphylococccus aureus.
Karakter spesifik yang membedakan Angina Ludwig dari infeksi oral
lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
Selain itu, adanya predisposisi pada pasien berupa jenis kelamin laki-laki
dan factor usia yang masuk ke dalam kelompok risiko yaitu berada pada
rentang usia 20-60 tahun., serta higienitas atau perawatan gigi yang kurang.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien yang tampak sakit sedang
namun dalam keadaa compos mentis dan tanda-tanda vital yang masih baik
kecuali demam subfebris. Pada pemeriksaan rhinoskopi ditemukan
hiperemis pada dinding mukosa septum nasi dextra. Hal ini dapat
memberikan tanda terdapat peradangan pada mukosa hidung kanan yang
ditunjukkan adanya suatu hipervaskularisasi. Selain itu, pada pemeriksaan
mulut sulit untuk membuka, rahang terasa keras dan menegang juga
ditemukan pus pada mukosa mulut, terdapat karies, kalkuli, dan impaksi 48,
adanya kesulitan saat berbicara atau artikulasi yang tidak jelas (dysarthria),
serta ditemukan kesulitan dan nyeri telan (disfagia dan odinofagia). Pada
pemeriksaan leher tampak selulitis dorsum, pembengkakan, hiperemis,
fluktuasi pada submandibular bilateral dan submental, palpasi ditemukan
nyeri tekan dan teraba hangat. Pada kasus Angina Ludwig biasanya didapati
keadaan umum yang Nampak lesu, lemah malaise dan malnutrisi yang
diakibatkan kesulitan untuk menelan makanan sehingga penderita
cenderung menolak makan. Demam dan takikardi karena adanya proses
inflamasi akibat suatu infeksi sistemik yang mungkin diperberat karena
adanya dehidrasi. Sedangkan pada pemeriksaan mulut dan leher sesuai
dengan tanda klinis penyakit Angina Ludwig, akan tetapi untuk respiration
31

rate masih normal dan tidak begitu menunjukkan obstruksi napas yang
berat.

Dari pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan leukositosis yaitu


21.500/µl sedangkan yang lain dalam batas normal. Ini menunjukkan tanda
infeksi melalui sistemik. Selain itu juga telah dilakukan pemeriksaan lain
yang diharapkan mendukung diagnosis dan pemilihan terapi yang tepat
yaitu pemeriksaan rontgen STL AP/lateral dan kutur bakteri.

Sehingga dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


yang telah dilakukan maka dapat ditegakkan suatu diagnosis Angina
Ludovicii e.c impaksi 48 dan calculi.

4.2 Dasar Tata Laksana


Pada pasien telah dilakukan tatalaksana berupa diit tinggi kalori tinggi
protein (TKTP), bed rest, tidur telentang, dan drainase abses. Untuk
farmakoterapi diberikan infus cairan fisiologis ringer laktat (RL) 25 tpm,
antibiotic cephalosporin generasi 3 untuk bakteri gram (+) spectrum luas,
gentamycin merupakan antibiotic membunuh bakteri gram (-) spectrum
luas, serta metronidazole yang spesifik untuk membunuh bakteri anaerob.
Paracetamol diberikan jika pasien demam dan untuk mengurangi rasa sakit,
omeprazole untuk memperkuat lambung yang memberikan gejala mual
akibat kenaikan asam labung karena pasien sulit untuk makan sehingga
tampak kurus. Terakhir juga diberikan betadine gargle/obatt kumur untuk
menjaga higienitas mulut.

Pada kasus Angina Ludwig ini sendiri lebih memprioritaskan proteksi jalan
nafas, pada pasien yang memerlukan bantuan alat nafas idealnya dilakukan
di ruang operasi untuk tindakan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika
diperlukan. Setelah jalan nafas aman, barulah administrasi antibiotic
intravena yang ditargetkan untuk bakteri gram positif dan bakteri anaerob
pada rongga mulut. Serta pemberian deksamethasone intravena dan nebul
32

adrenaline untuk mengurangi edema saluran nafas bagian atas serta dapat
meningkatkan penetrasi antibiotic.

Drainase surgical diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti


radiologis adanya penumpukan cairan di dalam soft tissue, krepitus, atau
aspirasi jarm purulent. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian terapi antibiotic. Drainase ditempatkan di m. mylohyoid
ke dalam ruang sublingual. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting
untuk proses drainase yang lengkap.

4.3 Saran
Kami mengusulkan pada pasien untuk dilakukan pencitraan CT-scan kepala
dan leher dikarenakan pemeriksaan ini merupakan golden standard untuk
mengidentifikasi adanya pembengkakan soft tissue, penumpukan cairan, dan
adanya gangguan jalan nafas. CT-scan juga dapat menentukan luas abses
retrofaringeal dan dapat menolong untuk menentukan waktu diperlukannya
alat bantu pernafasan. Jika hasil kultur sudah keluar maka disarankan untuk
mengganti antibiotic yang sensitive membunuh kuman yang terdeteksi.
33

DAFTAR PUSTAKA

Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwig´s angina and
ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral Patol
Oral Cir Bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e624-7

Fachruddin D. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,


Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Grupta AK, Dhulkhed VK, Rudagi BM, Gupta A. 2009. Drainage of Ludwig’
Angina under Superficial Cervical Plexus Block in Pediatric Patient.
Anestesia Pediatrica e Neonatale, Vol. 7, N. 3

Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family


Physician. July 1999;Vol. 60.

Heavey J, Gupta N. 2008. Ludwig’s Angina. The New England Journal of


Medicine. 359;14

Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008. Ludwig’s
Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases Journal 2008,
1:19

Lemonick DM. 2002. Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment. Hospital


Physician. p. 31-37

Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.
Journal of Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.

Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolarylology: A Step by Step


Learning Guide. Georg Thieme Verlag: Stuttgart. p. 84-85.

Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret


2008;Vol.21.
34

Srirompotong S. 2003. Ludwig’s angina: a clinical review. Eur Arch


Otorhinolaryngol (2003) 260 : 401–403

Telian SA, Schmalbach CE. 2003. Chronic Otitis Media. Dalam: Snow JB,
Ballenger JJ. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 16th edition. BC Decker: Spain. P. 1039

Anda mungkin juga menyukai