Anda di halaman 1dari 10

ASMA TERKAIT DENGAN FAKTOR PEMICU

ABSTRAK
Asma sering terkait dengan faktor pemicu yang bervariasi. Faktor pemicu ini di
antaranya adalah infeksi virus saluran nafas atas, olahraga / aktifitas, obat - obatan, perubahan
suhu, perubahan hormone, stress, dan allergen. Keadaan ini dapat memengaruhi control asma
dan berpengaruh terhadap mekanisme patofisiologinya, serta dapat meningkatkan angka
kesakitan pasien asma. Berdasar hal ini, maka diperlukan pembelajaran tentang bagaimana
mereka berintraksi dengan asma terutama yang telah mengalami asma dengan derajat
keparahan yang tinggi. Mereka sebaiknya mendapat penatalaksanaan yang tepat untuk
keadaan ini. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan pada hubungan asma terhadap faktor pemicu
tersebut.
PENDAHULUAN
Asma adalah peradangan / inflamasi
jalan nafas yang ditandai dengan obstruksi
dan hiperesponsif. Asma memiliki derajat
keparahan yang berbeda beda,
tergantung daripada gejala dan keluhan
yang timbul. Hingga saat ini, asma masih
belum dapat disembuhkan secara total,
sehingga tujuan utama dari terapi pada
pasien asma adalah untuk mengontrol
penyakit asma tersebut. Hal ini dilakukan
untuk mencegah munculnya gejala asma
pada pasien dan mengontrol penyakit asma
pada pasien agar tidak memberat. Kontrol
asma ini dapat berupa edukasi pasien,
penghindaran terhadap pemicu yang ada di
lingkungan dan farmakoterapi pasien.
DEFINISI ASMA
Asma
adalah
Penyakit
paru
obstruktif yang reversible dan ditandai oleh
jalan napas yang hipereaktif dan
hiperesponsif
sehingga
terjadi
bronkokonstriksi dinamis pada iritasi
minimal. Gejala gejala yang bersifat
reversible ini dapat timbul dan menghilang
dengan atau tanpa obat. Penyakit ini
melibatkan banyak sel dan elemennya.

Hiperesponsif pada jalan napas ini akan


menimbulkan proses inflamasi kronik
sehingga munculah gejala gejala penyakit
yang bersifat episodic dan berulang. Gejala
gejala yang muncul bervariasi pada
masing masing individu. Selama serangan
asma, bronkiolus akan membengkak
sehingga menyebabkan penyempitan jalan
napas dan mengurangi aliran napas
tersebut. Mayoritas munculnya serangan
penyakit ini terjadi ketika malam hari.
TANDA PATOLOGI PADA ASMA
Penderita asma akan mengalami
perubahan bentuk pada bagian bronkus dan
bronkiolusnya. Hal ini akan nampak secara
mikorkopik akibat terjadinya Airway
remodeling atau perubahan bentuk jalan
napas akibat serangan asma. Perubahan
perubahan tersebut meliputi :

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos


jalan napas. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya
bronkokonstriksi
dan
bronkospasme.
Hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus
sehingga menyebabkan pengeluaran
mucus yang abnormal. Mukus ini
bersifat tebal sehingga bronkus menjadi

sulit / lambat dalam bergerak. Hal ini


bias
sampai
membentuk
plak
(sumbatan). Sumbatan ini dapat
dikeluarkan lewat sputum.
Penebalan membrane reticular basal.
Peningkatan pembuluh darah, meliputi
vasodilatasi
dan
peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.
Peningkatan fungsi matriks ekstraseluler
Inflamasi dan edema pada dinding
bronkus / bronkiolus
Infiltrasi sel, terutama eosinofil. Sel ini
akan
membantu
menyebabkan
inflamasi pada jaringan. Sel sel dan
mediator kimia lain yang turut berperan
adalah limfosit, histamin, leukotien dan
IgE
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan Fibrogenic Growth Factor
menjadi fibrosis.

GEJALA PADA PENDERITA ASMA


Seminimalnya, seseorang dapat di
diagnose sebagai pasien asma jika memiliki
kriteria seperti berikut :

Mengalami batuk. Batuk ini dapat


disertai dengan pengeluaran sputum
/ dahak atau tidak berdahak sama
sekali.
Mengalami sesak napas / dyspnea.
Hal ini terjadi akibat kesulitan
pertukaran gas akibat penyempitan
bronkus dan bronkiolus.
Dada terasa tercekik. Hal ini
cenderung muncul bersama dengan
sesak napas sehingga dada pasien
terasa seperti terikat kuat.
Terdapat
bising
pernapasan
tambahan (Mengi / wheezing).
Mengi / wheezing adalah suara
bising pernapasan tambahan yang
terdapat pada fase ekspirasi.

MEKANISME TERJADINYA SESAK KETIKA


PASIEN ASMA BERAKTIVITAS
Dyspnea
atau
sesak
nafas
merupakan keadaan yang sering ditemukan
pada penyakit paru maupun penyakit
jantung. Dyspnea merupakan kesulitan
bernafas, terlihat dengan adanya kontraksi
dari otot - otot pernafasan tambahan baik
secara cepat maupun lambat.
Pada penderita asma, kita akan
sering menemukan pasien dalam kondisi
sesak napas. Biasanya, sesak napas ini akan
memburuk ketika penderita asma tersebut
melakukan suatu aktivitas atau kegiatan
tertentu. Dari kuantitas dan kualitas
munculnya
keluhan,
kita
dapat
memperkirakan seberapa besar derajat
keparahan penyakit asma pada pasien.
Ketika melakukan aktifitas kerja,
tubuh memerlukan energy. Energi yang
didapat dari proses metabolisme seluler
untuk
menghasilkan
ATP
dengan
menggunakan ketersediaan O2. Pada saat
beraktivitas, sel sel tubuh kita
membutuhkan energy lebih banyak untuk
melakukan kerja dibandingkan ketika
sedang beristirahat. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kebutuhan sel akan O2
sehingga kerja paru untuk memenuhi
kebutuhan O2 tersebut turut meningkat.
Ventilasi paru paru meningkat saat
olahraga dan aktivitas lainnya disebabkan
karena lebih banyak pertukaran oksigen dan
karbon dioksida saat aktivitas dibandingkan
saat istirahat. Peningkatan suplai oksigen
disediakan oleh peningkatan kedua arteri
pengiriman oksigen dan oksigen jaringan
ekstraksi; pada saat yang sama terjadi
peningkatan transportasi karbon dioksida di

sisi vena. Kebutuhan untuk meningkatkan


pertukaran gas dengan melatih otot-otot
menyebabkan perubahan fisiologis umum
berikut :

Perubahan metabolik. Peningkatan


konsumsi oksigen (VO2) dan produksi
karbon dioksida (VCO2) terjadi segera
dengan aktivitas. Selama metabolisme
aerobik,
glukosa
dan
lemak
memanfaatkan
oksigen
untuk
membentuk adenosin trifosfat (ATP),
sumber utama energi. Ada sangat
sedikit oksigen yang disimpan dalam
tubuh, sehingga metabolisme aerobik
memerlukan
pengiriman
yang
berkesinambungan dari oksigen dari
atmosfer ke darah. Tanpa oksigen,
glukosa dimetabolisme anaerob, dan
hasil ATP per molekul glukosa jauh lebih
sedikit; di samping itu, asam laktat yang
dihasilkan sebagai produk sampingan.
Metabolisme anaerobik cukup untuk
ledakan singkat kegiatan, tapi latihan
berkepanjangan membutuhkan oksigen
sebagai substrat energi.
Perubahan sirkulasi paru. Sirkulasi paru
juga meningkat segera dengan aktivitas.
Alveoli yang tidak perfusi menjadi
perfusi (melalui perekrutan kapiler
paru), dan meningkatnya suplai darah di
unit underperfused. Akibatnya, baik
volume darah paru dan kapasitas difusi
oksigen paru meningkat.
Perubahan ventilasi. Seiring dengan
peningkatan aliran darah paru, baik
menit ventilasi (VE) dan ventilasi
alveolar (VA) meningkat; dengan cara ini

paru-paru mentransfer lebih banyak


oksigen dan karbon dioksida dan
mengimbangi
tuntutan
metabolik.
Meskipun volume tidal (VT) dan
frekuensi pernafasan meningkat saat
olahraga, pada tahap awal peningkatan
VT menyebabkan sebagian besar
kenikan VE dan VA.
Jika ada gangguan di paru paru,
contohnya seperti obstruksi jalan nafas,
pergantian CO2 dan O2 dapat terganggu
yang menyebabkan paru paru tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan
volume CO2 di dalam tubuh akan terus
meningkat. Akhirnya akan terjadi dyspnea.

PENGARUH ALERGI KACANG


TERHADAP GEJALA ASMA

PASIEN

PATOFISIOLOGI
Alergi kacang sama halnya dengan
alergi makanan lainnya yang secara umum
melibatkan kompleks pathogenesis yang
mengakibatkan bekerjanya system fisiologi
dan system imun. Selain itu, faktor genetic,
lingkungan, dan kandungan dari makanan
itu sendiri ikut berperan penting dalam
alergi makanan.
1. TOLERANSI ORAL
Pada
alergi
kacang
terjadi
hipersensitifitas yang melibatkan IgE saat
antigen dari kacang ditampilkan oleh APC /
Antigen Presenting Cell, sebagaimana sel
dendrit di mukosa usus. Pada keadaan
normal, system imun yang ada di dalam
usus relatif toleran terhadap antigen
makanan / kacang dan terjadi hiporesponsif
/ toleran yang diatur oleh mekanisme

termasuk integritas epitel usus untuk


mengurangi absorbs allergen dan adanya
sel imun tolerogenik seperti sel T (T
regulator). Telah dibuktikan bahwa sel
dendrite dan makrofag di usus berperan
penting dalam toleransi mukosa melawan
mikroorganisme dan dietary allergen
selama respon inflamasi melawan pathogen
berbahaya. Terganggunya antigen usus dan
system imun usus mengarahkan terjadinya
inflamasi dan atau terjadinya alergi
terhadap makanan tersebut.
2. PERTAHAN TUBUH/ FISIK
Pertahanan tubuh di system
gastrointestinal termasuk sel epitel batang
selapis yang digabungkan oleh gap junction,
yang berguna untuk memisahkan antara
lingkungan bagian luar dan dalam yang
steril. Fungsi utama sel ini adalah untuk
menyerap gizi makanan yang telah diingesti
juga menghindari pathogen yang ikut masuk
kedalam sirkulasi. Lapisan mucus yang tebal
menyelimuti epitel usus dan menangkap
pathogen asing. Usus, enzim, dan asam
empedu adalah pertahanan fisiologis untuk
menetralisir virus dan bakteri supaya tidak
terjadi alergi. Pada alergi kacang yang
tampak di kulit / kutaneus akan terlihat kulit
mengalami radang / inflamasi.
3. PERTAHANAN IMUNOLOGI
Pertahanan ini melibatkan system
imun bawaan / innate (makrofag, neutrofil,
sel dendrit yang mengingesti antigen asing
dan reseptor yang diaktivasi oleh produk
bacterial dan fungsi selular) dan system
imun yang didapat / adaptive (limosit B dan
T) yang mensirkulasi antibody IgG dan IgE
yang spesifik mengenali molekul asing.
Sitokin yang spesifik (IL-4 dan IL-14)
diproduksi oleh sel imun yang disebut Th-2
yang mengatur respon IgE. Sebagai contoh,
sel dendrite pada mukosa intestinal
diaktivasi oleh sel T dan kemudian menjadi

aktif dengan bertambahnya paparan dari


toksin bacterial dan aktivasi sel T yang
spesifik terhadap antigen makanan / kacang
di nodus limfe mesenteric. Aktivasi limfosit
B dan pematangan di dalam sel plasma
menambah level IgG dan IgE yang spesifik
terhadap allergen kacang. IgG sebagai
respon hilangnya toleransi terhadap
allergen kacang dan IgE adalah respon
patofisiologis. Faktor ini melibatkan aktivasi
sel Th-2
4. ALLERGEN KACANG
Tiga dari sebelas allergen kacang
(Ara h 1- 11) yaitu (Ara h 1, 2, 3) disebut
sebagai allergen kacang mayor. Beberapa
alas an mengapa kacang lebih alergenik
daripada beberapa makanan diantaranya
yaitu biji protein secara ekstrem stabil
melawan denaturasi dari panas, keasaman,
dan aktivitas proteolitik. Factor yang terkait
terhadap penyajian kacang juga mengarah
kepada alergenesitas yang lebih tinggi
misalnya kacang yang di panggang lebih
allergen dibanding yang di rebus atau di
goreng.
Faktor genetika juga menjadi factor
resiko alergi kacang. Vilagreen adalah
protein yang berperan penting dalam fungsi
pertahanan epithelial. Jika gen vilagreen
dan faktor resiko signifikan untuk dermatitis
atopik maka semakin baik untuk terjadinya
alergi rhinitis dan asma.
Reaksi alergi yang parah terhadap
kacang adalah hipersensitifitas tipe 1 yang
di mediasi oleh antibody IgE. Ketika
tersensitisasi maka individu yang memiliki
IgE spesifik terhadap kacang terkena
protein kacang sehingga antibody IgE akan
mengalami FcR pada permukaan sel mast
dan basofil yang mengirim sinyal untuk
pelepasan dan sintesis mediator, seperti
histamin, triptase, PGA D2, leukotrien B4,
faktor pengaktivasi platelet, leukotrin,

cysteinyl dan sitokin (IL-4). Gejala yang


tampak di kutaneus (biduran, angioedema,
flushing) sampai ke anafilaksis yang ditandai
dengan 2 sistem organ. Sebagai contoh
terlibatnya
GI
tract
(yang
dapat
menyebabkan muntah, kram abdomen, dan
diare) dan traktus respiratorius bagian atas
(laryngeal edema, stridoor, bersin, nasal
pleuritis) dan bagian bawah (mengi, sesak
nafas, dispnea, batuk, retraksi intercostae).
Gejala okuler dapat menyebabkan eritema
konjungtiva, menangis, pleuritis, dan
keterlibatan
kardiovaskular
dapat
menyebabkan
takikardi,
bradikardi,
hipotensi, pusing, dan pingsan. Secara
umum reaksinya terlokalisasi berdasar area
yang terpapar allergen.
Jika reaksi tidak termediasi oleh IgE
bisa saja berkonstribusi anafilaksis karena
aktivasi sistem komplemen. Kelainan yang
non-anafilaktik
misalnya
eusonofilik
esofagitik. Kontak hipersensitivitas yang
lambat dapat terjadi setelah paparan
kutaneus.
ALASAN MENGAPA KELUHAN ASMA
SERING MUNCUL PADA MALAM HARI
Gejala asma bisa memburuk selama
malam hari atau dini hari. Banyak orang
yang terbangun di tengah malam karena
nafasnya berbunyi, batuk, terengah-engah,
rasa tercekik, dan sesak di dada. Namun,
faktor yang memiliki kontribusi terhadap
munculnya asma pada malam hari tetap
menjadi misteri.
Selama hampir tiga abad sejak asma
pertama kali ditemukan, banyak sekali
referensi berkaitan dengan terjadinya asma
nokturnal ini. Pada abad 17, Maimonides
yang merupakan dokter Saladin pernah
menemui fenomena ini terjadi pada anak
Saladin, hanya saja ketika itu keadaan ini
masih belum dapat di jelaskan dengan baik

mengenai penyebabnya. Sedangkan, Sir


Thomas Willis menganggap pengahangat
tempat tidur sebagai penyebab asma
kambuh pada malam hari dan dia
menyarankan
penderitanya
untuk
meninggalkan tempat tidur dan tidur di
kursi.
Para ahli pada era modern ini
percaya bahwa multifaktorial berperan
bersama-sama dalam menjadikan asma
sering kambuh di malam hari. Penyebab
penyebab yang diyakini memberikan
kontribusi dalam mencetuskan asma pada
malam hari antara lain ritme sirkardian,
pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen,
pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran
nafas,
posisi
berbaring,
GERD
(Gastroesophageal Reflux Disorder), dan
perubahan suhu.
Pertama adalah ritme sirkaridian.
Pada abad 19, Salter merupakan orang
pertama yang memahami bahwa ritme
sirkardian berperan dalam kambuhnya
asma di malam hari. Fungsi tubuh tertentu
berkurang dan memuncak pada variasi
waktu setelah melewati periode 24 jam.
Contohnya, pada banyak orang fungsi paru
memuncak pada pukul 4 sore dan mencapai
titik terendah pada pukul 4 pagi.
Pencapaian titik terendah tersebut adalah
periode dimana serangan asma sering
terjadi, mungkin dikarenakan tubuh lebih
rentan untuk diserang pada waktu tersebut.
Siklus circadian atau biasa disebut variasi
diurnal tergantung siklus tidur dan bangun
seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang
bekerja pada malam hari dan tidur selama
siang hari lebih mungkin mendapat
serangan asma selama siang hari. Akhir
akhir ini juga telah diketahui bahwa
hormone melatonin mungkin memainkan
peran
penting
dalam
mencetuskan
serangan asma pada malam hari. Melatonin

adalah hormon yang diproduksi oleh


kelenjar pineal yang membantu mengatur
ritme sirkardian seperti makan dan tidur.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa melatonin juga meningkatkan jalur
alergi peradangan, sehingga membuat
serangan asma lebih mungkin terjadi. Dari
penelitian diketahui bahwa asma yang
muncul pada malam hari ada korelasi
dengan ritme sirkardian hormon dalam
darah dan tonus parasimpatis. Pada
awalnya diketahui bahwa kortisol dalam
darah memegang peranan penting pada
serangan asma malam hari. Hal itu
dikarenakan pada variasi diurnal kadarnya
yang terendah didapati antara pukul 24.00
dan pukul 1.00, tetapi akhir-akhir ini
diketahui ternyata peranan kortisol darah
tidaklah besar. Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
perubahan kadar katekolamin bersamaan
dengan penurunan PEFR pada malam hari
dan penurunan yang terendah didapati
pada pukul 04.00. Selain itu ada pula
hubungan terbalik antara keadaan histamin
dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin
naik pada pukul 4.00 bersamaan dengan
penurunan PEFR. Selain itu epinefrin yang
merupakan suatu beta adrenergic agonist
yang kuat juga dapat mencegah pelepasan
histamin dan mediator-mediator lain dari
sel mast dan selanjutnya dapat mengurangi
bronkokonstriksi. Jadi perubahan siklus
sirkardian
epinefrin
dalam
darah
membangkitkan asma malam hari dengan
mengurangi bronkodilatasi dan membantu
pelepasan mediator bronkhogenik dari sel
mast. Pengurangan epinefrin pada malam
hari mengakibatkan meningkatnya kadar
asetilkolin
yang
mengakibatkan
bertambahnya respon pada penderita asma
yang
hiperresponif
terhadap
neurotransmiter ini. Ada juga bukti bahwa
kolinergik juga meningkat pada malam hari

dan menyebabkan asma muncul malam


hari. Peningkatan kolinergik itu diduga
merupakan efek lanjut dari penurunan
kadar adrenalin yang menyebabkan
berkurangnya inhibisi adrenergik.
Kedua adalah pengaktifan sekresi sel
mast oleh alergen. Pengaktifan sel mast
bukan hanya menimbulkan reaksi asma
awal dengan penyumbatan bronkus tetapi
pada
beberapa
penderita
dapat
memperberat serangan asma 6 jam
kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma
lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan
karakteristik asma kronis. Karakteristik
asma tersebut memiliki reaksi tertunda
terhadap alergen dan pemicu iritasi.
Kebanyakan gejala ini berkembang dalam
waktu empat sampai delapan jam setelah
terpapar. Karena risiko paparan ini lebih
tinggi pada siang hari, reaksinya lebih
mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga
reaksi yang tertunda dapat menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan munculnya
asma pada malam hari. Telah banyak bukti
yang
menunjukkan
bahwa
alergen
memegang perangan dalam patogenesis
asma yang muncul malam hari (Chen,
1982). David Dick pernah melakukan
penelitian dengan memaparkan penderita
pada debu gandum, maka akan timbul asma
akut dan wheezing yang kambuh kembali
pada malam hari selama seminggu
kemudian, walaupun pada siang hari faal
parunya normal (Davies, 1976). Disamping
itu, Cockroft juga melakukan penelitian
dengan pemaparan alergen pada dua
penderita. Pada penelitian tersebut terjadi
reaksi lambat pada kedua penderita yang
menjadikan asma timbul malam harinya
dan muncul selama beberapa hari
berikutnya (Chockroft, 1984). Para peneliti
ini
mendapatkan
bahwa
alergen
meningkatkan reaktivitas bronkus yang
perubahan maksimalnya terjadi pada waktu

serangan asma malam hari. Peningkatan


hiperreaktivitas bronkus tersebut bertahan
walaupun wheezing malam hari telah hilang
dan FEV 1 telah kembali normal. Para
peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivitas
bronkus non spesifik meningkat terhadap
pemaparan
satu
antigen
yang
mengakibatkan respon asma lambat,
sehingga dapat menyebabkan asma muncul
pada malam hari. Penting diingat bahwa
pemaparan tunggal terhadap alergen dapat
memulai deretan peristiwa yang menjurus
ke pada peningkatan penyumbatan dan
hiperreaktivitas
bronkus.
Selanjutnya
perubahan-perubahan ini dapat bertahan
untuk beberapa hari setelah pemaparan
antigen tunggal. Selain itu derajat
penyumbatan akan menjadi lebih berat bila
pemaparan antigen terjadi pada malam hari
(Cervais, 1977). Proses lain yang
mendukung reaksi alergi ini, antara lain
kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel
mast, penurunan kadar katekolamin malam
hari, dan tingginya tonus saraf simpatis
yang menyokong pelepasan mediatormediator sel mast.
Ketiga adalah pengaruh tidur.
Pengaruh tidur dalam patogenesis asma
yang muncul pada malam hari telah
menarik perhatian para peneliti dan
hasilnya masih dipertentangkan. Lopes
berkesimpulan bahwa pada orang normal,
sewaktu tidur terjadi kenaikan resistensi
bronkus 230% dibandingkan pada waktu
bangun(Lopes, 1983). Perubahan resistensi
ini mungkin berhubungan dengan kenaikan
tonus otot bronkus pada bagian atas
sehingga menyebabkan bertambahnya kerja
pernafasan selama tidur. Jika hal ini terjadi
pada penderita asma maka penyumbatan
bronkus akan menjadi lebih besar lagi. Clark
dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru
pada pekerja-pekerja dengan asma dan
mendapatkan variasi diurnal peak flow rate

berhubungan dengan tidur tapi tidak


dengan waktunya (Clark, 1977; Hetzel,
1979). Bila pekerja-pekerja mengubah
bekerja pada malam hari, maka serangan
asma terjadi pada waktu tidur siang hari.
Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil
yang bertentangan mengenai pengaruh
tidur dan variasi diurnal atau ritme
sirkardian pada malam hari. Ada yang
menyatakan bahwa pengaruh ritme
sirkardian jam 3.00 subuh pada peak
expiratory flow rate lebih berperan
dibandingkan tidur itu sendiri. Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa tidur
memegang peranan dalam penyempitan
saluran nafas, tetapi bukanlah yang
terpenting.
Keempat adalah perubahan sekresi
saluran nafas. Seperti yang kita ketahui
bersama, penyumbatan lendir membantu
obstruksi bronkus pada penderita asma.
Begitu juga retensi sekresi bronkus pada
malam hari juga membantu gejala-gejala
asma yang muncul malam hari. Dari
penelitian diketahui bahwa berkurangnya
pembersih mukosilier ini terutama terjadi
pada malam hari. Retensi sekresi ini
tampaknya dihubungkan dengan tidur dan
bukan dengan variasi diurnal. Perlu
penelitian lebih lanjut untuk menentukan
apakah fenomena ini lebih berat pada
penderita asma dan apakah berperan
mengakibatkan wheezing pada malam
hari(Bateman, 1978). Rhinosinusitis kronik
dan postnasal drip keduanya dipercaya
menjadi faktor yang berkontribusi pada
asma yang muncul malam hari. Pada banyak
orang dengan penyakit asma, saluran
pernapasan menjadi lebih meradang pada
malam harinya.
Kelima adalah posisi berbaring.
Penderita asma yang berbaring dalam posisi
telentang akan mengalami gangguan faal

paru yang progresif dan PEFR turun 13%


selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4
jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan
akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi
dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam
posisi telentang untuk jangka waktu yang
lama juga menyebabkan serangan asma
pada malam hari, walaupun mekanismenya
belum jelas (Popping, 1988).
Keenam adalah Gastroesophageal
Reflux Disoerder. Banyak diantara para
pasien asma juga mengalami acid reflux
atau GERD (Gastroesophageal Reflux
Disorder)
yang
ternyata
memiliki
keterkaitan dengan munculnya asma di
malam hari. GERD terjadi ketika katup yang
memisahkan esophagus dan lambung
mengalami malfungsi dan menjadikan isi
lambung (asam dan enzim pencernaan)
memasuki esophagus. Kondisi ini akan
memburuk pada malam hari dikarenakan
pada posisi tidur dengan berbaring katub
akan lebih mudah terbuka. Jika ini terjadi,
dinding esophagus akan mengalami
kerusakan dan mengakibatkan nyeri dada,
sendawa, dan nyeri perut. Iritasi dan batuk
yang sering dihasilkan dari kenaikan asam
lambung ini dapat memicu gejala asma.
Pada
Refluks
gastro-oesophageal
pembersihnya cepat pada siang hari, tetapi
pada penderita oesophagitis selalu terjadi
refluks pada malam hari karena aktivitas
otot
oesophagus
berkurang
dan
pembersihan asam diperlambat. Refluks
pada malam hari ini dapat menimbulkan
serangan asma dan pengobatan refluks
pada penderita asma dapat memperbaiki
pernafasan (Davies, 1976; Chockroft, 1984).
Ketujuh adalah perubahan suhu.
Udara dingin diketahui sebagai salah
pencetus asma. Di samping itu suhu tubuh
dapat turun dengan cepat selama tidur,
yang mana dapat membantu mencetuskan

serangan sama. Selain itu, menurunnya


suhu tubuh ternyata memiliki korelasi
penting dengan asma, yaitu suhu tubuh
yang rendah dapat membantu pengeluaran
mediator kimia serta mendukung kerja
inflamasi pada penderita asma.
Tujuan penting dari mengetahu
alasan mengapa kasus asma banyak terjadi
ketika
malam
hari
adalah
untuk
menentukan rencana pencegahan dan
perawatan yang tepat untuk mengurangi
insiden dari gejala. Pencegahan yang paling
tepat, pertama adalah mencegah faktor
faktor yang berperan sebagai pencetus
asma pada malam hari sehingga dapat
mencegah hipereaktivitas bronkhus. Kedua
adalah pengobatan yang digunakan untuk
mencegah hipereaktivitas bronkhus, yaitu
dengan kortikosteroid inhalasi. Ketiga
adalah mencegah bronkhokontriksi dengan
menggunakan slow-release theophyline,
slow-release beta agonist atau obat
antikholonegik inhalasi.
Kambuhnya serangan asma pada
malam hari adalah merupakan sifat dari
asma dan bukan keistimewaan akibat ritme
sirkardian. Faktor-faktor lain seperti
pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen,
pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran
nafas,
posisi
berbaring,
GERD
(Gastroesophageal Reflux Disorder), dan
perubahan suhu juga turut membantu
wheezing pada malam hari, tetapi bukanlah
faktor yang paling dominan. Jadi asma
nokturnal adalah akibat dari interaksi yang
kompleks beberapa faktor endogen dengan
faktor lingkungan dan pencegahan yang
paling tepat adalah mencegah faktor
pencetus serta mengontrol reaktivitas
bronkhus dengan obat-obatan.

KEGAWATDARURATAN
Proses triage dimulai ketika pasien
masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus
mulaimemperkenalkan
diri,
kemudian
menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah
pasien yang berada di brankar sebelum
mengarahkan ke ruang perawatan yang
tepat. Pengumpulan data subjektif dan
objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak
lebih dari 5 menit karena pengkajian ini
tidak termasuk pengkajian perawat utama.
Perawat triage bertanggung jawab untuk
menempatkan pasien di area pengobatan
yang tepat; misalnya bagiantrauma dengan
peralatan khusus, bagian jantung dengan
monitor jantung dan tekanan darah, dll.
Tanpa memikirkan dimana pasien pertama
kali ditempatkan setelah triage, setiap
pasien tersebutharus dikaji ulang oleh
perawat utama sedikitnya sekali setiap 60
menit. Untuk pasien yang dikategorikan
sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15
menit / lebih bila perlu. Setiap pengkajian
ulang harusdidokumentasikan dalam rekam
medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan danlokasi pasien di
area pengobatan. Misalnya kebutuhan
untuk
memindahkan
pasien
yang
awalnya berada di area pengobatan minor
ke tempat tidur bermonitor ketika pasien
tampak mual ataumengalami sesak nafas,
sinkop, atau diaforesis (Iyer, 2004). Bila
kondisi pasien ketika datang sudah tampak
tanda - tanda objektif bahwa iamengalami
gangguan pada airway, breathing, dan
circulation,
maka
pasien
ditangani
terlebihdahulu. Pengkajian awal hanya
didasarkan atas data objektif dan data
subjektif sekunder dari pihak keluarga.
Setelah keadaan pasien membaik, data
pengkajian kemudian dilengkapi dengan

data subjektif yang berasal langsung dari


pasien (data primer)
Alur dalam proses triase.
1) Pasien datang diterima petugas /
paramedis UGD
2) Diruang triase dilakukan anamnese dan
pemeriksaan singkat dan cepat
(selintas) untuk menentukan derajat
kegawatannya oleh perawat.
3) Bila jumlah penderita/korban yang ada
lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan
gedung IGD).
Penderita
dibedakan
menurut
kegawatnnya dengan memberi kode
warna:
a) Segera Immediate (merah). Pasien
mengalami cedera mengancam jiwa
yang kemungkinan besar dapat
hidup bila ditolong segera. Misalnya:
Tension pneumothorax, distress
pernafasan
(RR<30x/mnt),
perdarahan
internal,
dsb. Penderita/korban
kategori
triase merah dapat langsung
diberikan
pengobatan
diruang
tindakan
UGD.
Tetapi
bila
memerlukan tindakan medis lebih
lanjut, penderita/korban dapat
dipindahkanke ruang operasi atau
dirujuk ke rumah sakit lain.

b) Tunda - Delayed (kuning). Pasien


memerlukan tindakan defintif tetapi
tidak ada ancaman jiwasegera.
Misalnya : Perdarahan laserasi
terkontrol, fraktur tertutup pada
ekstrimitas
dengan perdarahan
terkontrol, luka bakar <25% luas
permukaan tubuh, dsb. Penderita
dengan kategori triase kuning yang

memerlukan tindakan medis lebih


lanjut dapatdipindahkan ke ruang
observasi dan menunggu giliran
setelah pasien dengan kategori
triasemerah selesai ditangani.
c) Minimal (hijau). Pasien mendapat
cedera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri ataumencari
pertolongan. Misalnya : Laserasi
minor, memar dan lecet, luka bakar
superfisial.
Penderita
dengan
kategori
triase
hijau
dapat
dipindahkan ke rawat jalan, atau bila
sudahmemungkinkan
untuk
dipulangkan,
maka
penderita/korban
dapat
diperbolehkan untuk pulang.
d) Expextant (hitam).
Pasien
mengalami cedera mematikan dan
akan
meninggal
meski
mendapat pertolongan. Misalnya :
Luka bakar derajat 3 hampir
diseluruh tubuh, kerusakan organ
vital, dsb. Penderita kategori triase
hitam dapat langsung dipindahkan
ke kamar jenazah. (Rowles, 2007).
Penderita/korban
mendapatkan
prioritas pelayanan dengan urutan warna :
merah, kuning, hijau,hitam.

Anda mungkin juga menyukai