BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
Alloanamnesis (ayah dan ibu pasien) tanggal 6 November 2017
Keluhan Utama : Kejang 1 jam yang lalu SMRS
Keluhan Tambahan : Batuk (+)
Riwayat Gizi
Asi Eksklusif : Sampai usia 24 bulan, frekuensi 12 kali sehari
Asi : Sampai usia 24 bulan, frekuensi 12 kali sehari
Susu Formula : Sejak usia 24 bulan, frekuensi 3 kali sehari
Bubur Susu : Sejak usia 12 bulan, frekuensi 1 kali sehari
Nasi : Sejak usia 12 bulan sampai sekarang, frekuensi 3 kali sehari
Sayuran, Buah : Kadang-kadang
Ikan : Kadang-kadang
Telur : Kadang-kadang
Ayam, Daging : Sering
Tahu dan Tempe : Sering
Susu : +
Kesan : Secara kualitatif, asupan gizi cukup, secara kuantitatif,
asupan memenuhi gizi seimbang.
Riwayat Imunisasi
BCG : (+)
DPT : DPT 1(+), 2(+), 3(+)
Polio : Polio 1(+), 2(+), 3(+), 4(+)
Hepatitis B : Hep B 0(+), 1(+), 2(+), 3(+)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
5
Status Gizi
Berat Badan : 14,8 kg
Tinggi Badan : 92 cm
BB/U = rentang 0 sampai -2 SD (normal)
TB/U = rentang 0 sampai -2 SD (normal)
BB/TB = rentang +1 sampai +2 SD (overweight)
Kesan : gizi baik
Keadaan Spesifik
Kepala : Bulat, simetris, normosefali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex
cahaya +/+ normal, pupil bulat dan isokor, edema palpebra (-/-),
bercak bitot (-)
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis sirkum oral (-), sianosis ginggiva (-), mukosa bibir dan mulut
kering (-), atrofi papil lidah (-)
Tenggorokan : Arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior
hiperemis, tonsil hiperemis (T1-T2)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP normal
Thoraks : Bentuk simetris, pergerakan dinamis, retraksi (-)
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis, simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronchii (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus kordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : Heart Rate 102 x/menit, irama reguler, murmur (-), gallops (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Datar, lemas, hepar-lien tidak teraba, massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh bagian perut
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema pretibial (-/-), sianosis (-/-), CRT <2 detik
7
Pemeriksaan Neurologis :
Tungkai Lengan
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala arah Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - - - -
2.6. PENATALAKSANAAN
Edukasi :
1. Memberi tahu cara penanganan kejang di rumah.
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
3. Memberikan penjelasan bahwa kejang pada anak dengan epilepsi disebabkan oleh
suatu faktor pencetus dan perlunya dihindari agar mengurangi risiko kemungkinan
terjadinya serangan kejang.
4. Memberitahu bahwa pengobatan epilepsi secara perlahan-lahan dengan
pertimbangan dokter ahli setelah bebas kejang selama 2 tahun (2 tahun tanpa
kejang).
Terapi :
1. IVFD D5 NS gtt XII x/menit
2. Dexamethasone Inj. 3x4 mg
3. Diazepam Inj. 4 mg (bila kejang kembali)
4. Depakene oral 2x2 cc
2.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
9
Refleks Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada
: Tidak ad
Gerakan abnormal : Tidak ada
: Tidak ada : Tidak ada
A : Epilepsi + Global Developmental Delay
P : Depakene oral 2x2 cc
Rencana Pemeriksaan EEG
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada
: Tidak ad
Gerakan abnormal : Tidak ada
: Tidak ada : Tidak ada
A : Epilepsi + Global Developmental Delay
P : Depakene oral 2x2 cc
Pemeriksaan EEG tidak dilakukan karena adanya masalah teknis alat
EEG
Rencana rawat jalan (pulang)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Epilepsi
Epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Aktifitas
tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi
otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), bermanifestasi
eksitasi negative (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan
keduanya.1
Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure)
adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi
dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai
serangan paroksismal berulang tanpa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa
penyebab yang jelas. 1
Kejang Parsial
Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
o Dengan gejala motorik
o Dengan gejala somatosensorik atau sensorik halusinasi
o Dengan gejala otonom
o Dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
o Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
o Diawali parsial sederhana lalu diikuti dengan gangguan kesadaran
Kejang parsial menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi kejang tonik klonik
o Parsial kompleks menjadi kejang tonik klonik
Kejang yang belum dapat diklasifikasi
Selain itu, ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi sebagai
berikut: 1
Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsy tanpa adanya kelainan
struktur otak dan tidak ditemukan deficit neurologi. Faktor genetik diduga
berperan, dan pada umumnya khas mengenai usia tertentu.
Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu
atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan deficit neurologi.
Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi
yang diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetic, metabolik)
klasifikasi kriptogenik banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsy
simtomatik.
Tabel 3.2. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Etiologi1
Sindrom Epilepsi Fokal
Idiopatik
o Benign Childhood Epilepsy with Contemporal Spikes
o Childhood Epilepsy with Occipital Paroxysms
o Primary Reading Epilepsy
Simtomatik
o Kojewnikow Syndrome
o Sindrom Epilepsi yang ditandai presipitasi spesifik
o Epilepsi lobus temporal/frontal/parietal/oksipital
Kriptogenik
15
3.1.2. Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
mana ditemukan 4 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16
tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak
mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi
penderita epilepsi.2
Faktor risiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi
SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun
terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa
insidensi epilepsi pada anak laki laki lebih tinggi daripada anak perempuan.3
16
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).
Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,
dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 5 tahun,
50 pada 5 9 tahun, dan 39 pada 10 14 tahun.4
3.1.3. Etiologi
Pada umumnya etiologi epilepsy tidak jelas diketahui. Klasifikasi ILAE (2010)
mengganti terminologi idiopatik, simtomatik atau kriptogenik menjadi genetic,
structural/metabolik, dan tidak diketahui. Epilepsi digolongkan sebagai unknown
cause apabila penyebabnya tidak diketahui. 1
Genetic epilepsy syndrome; adalah epilepsy yang diketahui/diduga disebabkan
oleh kelainan genetic dengan kejang sebagai manifestasi utama. Kelainan genetik yang
dapat menyebabkan epilepsy antara lain: 1
Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsy umum awitan lambat
dan leukoensefalopati.
Structural metabolic syndrome; adalah adanya kelainan structural/metabolik
yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsy, contohnya epilepsy pasca
stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetic seperti tuberosklerosis
dengan kelainan struktur otak (tuber). Kelainan structural/metabolik yang dapat
menyebabkan epilepsy antara lain: 1
Kelainan neurokutan
Palsi serebral
Sklerosis hipokampus, gliosis, dll
Malformasi serebral atau kortikal
Tumor otak, trauma kepala, infeksi, congenital, dll.
17
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.
Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:6
Tabel 3.3. Etiologi Epilepsi6
Kejang Fokal Kejang Umum
Trauma kepala Penyakit metabolik
Stroke Reaksi obat
Infeksi Idiopatik
Malformasi vaskuler Faktor genetik
Tumor (Neoplasma) Kejang fotosensitif
Displasia
Mesial Temporal Sclerosis
3.1.5. Patofisiologi
Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada epilepsi belum diketahui
secara pasti. Walaupun mekanisme pasti belum dapat diketahui, beberapa faktor yang
berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah gangguan pada
membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
serta gangguan pada sel glia.9
dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada keadaan normal
konsentrasi ion kalium cenderung tinggi sedangkan konsentrasi ion natrium rendah.9
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion
natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar
ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di
permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya
dan menyebar sepanjang akson.9
Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel
neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di
cairan interstisial yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia
cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema). Pada
penelitian eksperimental, didapatkan bahwa bila kation dimasukkan ke dalam sel
astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan kejang pada sel neuron disekitarnya,
hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur
aktivitas neuronal.9
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan
cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20
detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik.
Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi
seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2
menit.
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
2) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari
otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
21
3.1.7. Diagnosis
Diagnosis epilepsy dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode
kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila terdapat
manifestasi khas suatu sindrom epilepsy. Kejang tanpa provokasi adalah kejang yang
tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma atau
kelainan intracranial akut lainnya. Diagnosis epilepsy pada anak dan remaja dapat
ditegakkan oleh dokter spesialis anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang
epilepsy. Diagnosis epilepsy merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan
atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.1
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpenting dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu.13
Dalam anamnesis untuk menegakkan diagnosis epilepsi, tentukan terlebih
dahulu apakah benar bahwa serangan/bangkitan tersebut adalah benar merupakan
kejang. Tabel berikut memperlihatkan perbedaan antara kejang dan bukan kejang.1
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi merupakan pemeriksaan penunjang standar yang
harus dilakukan pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/kejang. Rekam
EEG dilakukan selama 30 menit terdiri dari rekaman tidur dan bangun tanpa
menggunakan obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah
bangkitan kedua namun bila dirasakan perlu dapat dilakukan setelah kejang
pertama. 1
Pemeriksaan EEG bukan merupakan gold standard dalam penegakkan
diagnosis epilepsy. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis
tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsy. 1
Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
24
b) Pencitraan
Peran pencitraan untuk mendeteksi lesi otak yang mungkin menjadi
factor penyebab epilepsy atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk
mendeteksi kelainan yang mendasari epilepsy. Indikasi MRI pada anak dengan
epilepsy adalah sebagai berikut: 1
- Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
- Pemeriksaan neurologis yang abnormal
- Anak berusia kurang dari 2 tahun
- Anak dengan gejala khas sindrom epilepsy simtomatik
- Epilepsi intraktabel
- Status epileptikus
3.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 4 hal yaitu:
A. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan
kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 12 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 12 kg. Jika kejang masih
belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan
25
obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.11
2. Jika kejang berlanjut, berikan Diazepam intravena (IV) dengan dosis 0,2 0,5 mg/kgBB,
dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit, dan dosis maksimal 10 mg. Atau, bisa diberikan
midazolam 0,2 mg/kgBB IM/buccal dengan dosis maksimal 10 mg.
26
3. Jika kejang berlanjut dalam rentang waktu 5 sampai 10 menit setelah diberikan Diazepam
IV, diberikan Fenintoin atau Fenobarbital.
a. Fenintoin 20 mg/kgBB IV, diencerkan dalam 50 ml NaCl 0,9%, selama 20 menit
dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit; dosis maksimal 1000 mg (1 gram).
Jika kejang berlanjut, dapat ditambahkan Fenintoin 5 10 mg/kgBB
b. Fenobarbital 20 mg/kgBB IV, selama 20 menit dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit;
dosis maksimal 1000 mg (1 gram).
Jika kejang berlanjut, dapat ditambahkan Fenobarbital 5 10 mg/kgBB
4. Jika setelah dua kali pemberian Fenintoin/Fenobarbital berkelanjutan dan kejang masih
terjadi, lanjutkan pemberian Fenintoin/Fenobarbital berikutnya.
Jika telah dua kali diberikan Fenintoin, bisa ditambahkan Fenobarbital dengan
dosis yang sama, begitupun sebaliknya.
5. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan Fenintoin 5-10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
atau Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
6. Jika kejang masih berlanjut, anak dipindahkan dan dirawat di ruang intensif Emergensi
Rawat Inap Anak (ERIA) / PICU (Pediatric Intensive Care Unit); kondisi kejang refrakter
Status Epileptikus.
7. Di ruang PICU/ERIA, dapat diberikan Midazolam bolus 100 200 mcg/kgBB (maksimal
10 mg); dilanjutkan infus kontinyu 100 mcg/kgBB/jam dan dapat dinaikkan 50 mcg/kgBB
setiap 15 menit (maksimal 2 mg/kgBB/jam).
Jika tidak ada midazolam, dapat diberikan Propofol atau Pentobarbital.
Propofol bolus 1 3 mg/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu 2 10 mg/kgBB/jam.
Pentobarbital bolus 5 15 mg/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu 0,5 5
mg/kgBB/jam.
8. Bila kejang > 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang mungkin terjadi dapat
diberikan kortikosteroid: Dexamethasone 0,2 0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4-5 hari. Berikan cairan dengan kadar natrium yang rendah.
B. Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum epilepsy berupa informasi dan edukasi pada
anak/penderita epilepsy dan orang tua/penanggung jawabnya. Keluaga yang
memiliki anak epilepsy berhak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat
tentang kondisi anak, jenis epilepsy, rencana terapi, efek samping dan interaksi
obat OAE (obat anti epilepsy), aktifitas yang diperbolehkan serta pengaruh
27
epilepsy dalam kehidupan sehari-hari. Pada anak yang bersekolah, edukasi dan
konseling psikologis dapat membantu kesiapan pihak sekolah, anak, dan orang
tua dalam mengatasi problematika dan stigma anak dengan epilepsy. 1
Edukasi tidak meliputi itu saja, manajemen risiko dan kemungkinan
risiko kematian pada epilepsy (Sudden Unexpected Death in Epilepsy/SUDEP)
juga perlu diketahui. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manajemen
risiko pada anak dengan epilepsy adalah higienis tubuh (mandi shower),
trauma panas/luka bakar, berenang, ketinggian, dan fotosensitivitas, serta
kenyamanan di jalan raya. Penyandang epilepsy berisiko lebih tinggi
mengalami kematian dini (SUDEP) dibandingkan populasi umum. Mekanisme
kematian pada SUDEP belum dapat diterangkan. 1
Beberapa faktor pencetus kejang epilepsy telah diketahui dan perlu
dihindari. Faktor-faktor pencetus tersebut antara lain: 1
- Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
- Demam
- Konsumsi alkohol
- Video Game (pada jenis epilepsy dengan fotosensitif)
- Pencetus spesifik pada reflex epilepsy
- Kelelahan fisik
C. Tatalaksana Medikamentosa
Sebelum pemberian obat anti epilepsy (OAE), diagnosis epilepsy harus
pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi
dan sindrom epilepsy, serta harus dievaluasi setiap kunjungan. Pengobatan
epilepsy adalah pengobatan jangka panjang. 1
Mayoritas anak dengan first unprovoked seizure tidak akan mengalami
kekambuhan. Faktor risiko kekambuhan adalah etiologi simtomatik, hasil
pemeriksaan EEG abnormal, riwayat kejang demam, dan usia kurang dari 3
tahun. Manfaat pemberian OAE setelah first unprovoked seizure tampaknya
hanya mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetai tidak mempengaruhi
angka kekambuhan jangka panjang. 1
28
Tabel 3.6. Obat Anti Epilepsi (OAE) yang dapat memperburuk sindrom
epilepsy atau tipe kejang tertentu1
Obat Anti Epilepsi Sindrom epilepsy/tipe kejang
Karbamazepin, vigabatrin, tiagabin, fenintoin Childhood absence epilepsy,
Juvenile absence epilepsy,
Juvenile myoclonic epilepsy
Vigabatrin Absans dan status absans
Klonazepam Status epileptikus tonik umum pada
Sindrom Lennox-Gastaut
Lamotrigin Sindrom dravet,
Juvenile myoclonic epilepsy
Jika monoterapi OAE pertama dan kedua gagal, terapi kombinasi OAE
(add-on) patut dipertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi,
pertimbangkan ketepatan diagnosis, kepatuhan minum obat, serta ketepatan
pilihan dan dosis pemberian OAE sebelumnya. 1
D. Tatalaksana Non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa pada epilepsy dapat berupa diet
ketogenik, tindakan bedah, dan stimulasi nervus vagus. 1
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi,
rendah karbohidrat, cukup protein. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai
terapi adjuvant pada epilepsy intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi
kejang. Namun, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan
pertumbuhan yang lambat, batu ginjal, dan fraktur. 1
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil
penyandang epilepsy yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat
terapi OAE kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet
ketogenik. Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik
lain di luar area yang direncanakan akan direseksi. 1
Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjvan yang dilakukan pada
pasien dengan kejang intraktabel dan bukan meruakan kandidat terapi bedah
reseksi. 1
31
Kematian pada anak dengan epilepsy dapat disebabkan oleh komplikasi dari
kejang seperti aspirasi atau aritmia, kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid
(hidrosefalus) dan bunuh diri (suicide) atau Sudden Unexpected Death in Epilepsy
(SUDEP). 1
32
3.2.1. Epidemiologi
Prevalensi GDD sekitar 5-10% pada anak di seluruh dunia, sedangkan di
Amerika Serikat angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3% dari anak-anak berumur
<5 tahun. Etiologi GDD sangat bervariasi, sekitar 80% akibat sindrom genetik atau
abnormalitas kromosom, asfiksia perinatal, disgenesis serebral dan deprivasi
psikososial sedangkan 20% nya belum diketahui. Sekitar 42% dari etiologi
keterlambatan perkembangan global dapat dicegah seperti paparan toksin, deprivasi
psikososial dan infeksi intrauterin, serta asfiksia perinatal.14
Prevalensi GDD adalah 1,8% dan sering ditemukan pada anak berumur lebih
dari 12 bulan (67%). Rasio laki-laki dan perempuan hampir sama 1:1,12. Keluhan
terbanyak adalah belum bisa berbicara pada 16 (24%), belum bisa berbicara dan
berjalan pada 14 (21%), serta belum bisa berjalan pada 12 (18%) pasien. Didapatkan
20% BBLR dan BBLSR, ibu berpendidikan menengah ditemukan pada 68% kasus.
Karakteristik klinis didapatkan 30% gizi kurang, 29% mikrosefali, 20% dicurigai
suatu sindrom. Evaluasi perkembangan menunjukkan 40 (60%) terlambat pada seluruh
sektor perkembangan. Etiologi ditemukan pada 61% dengan penyebab terbanyak
adalah kelainan majemuk, hipotiroid, serebral disgenesis, palsi serebral.15
3.2.2. Etiologi
KPG dapat merupakan manifestasi yang muncul dari berbagai kelainan neuro-
developmental (mulai dari disabilitas belajar hingga kelainan neuromuscular). Berikut
merupakan pendekatan beberapa etiologi GDD:
33
proses tumbuh kembang. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal
pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan.17,18
Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi dini
gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau panduan
skala khusus, misalnya: menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test
II), Child Development Inventory untuk menilai kemampuan motorik kasar dan
motorik halus, Ages and Stages Questionnaire, Parents Evaluations of Developmental
Status. Serta dapat menggunakan alat-alat skrining yang lebih Spesifik dan khusus
yaitu ELMS (Early Language Milestone Scale) dan CLAMS (Clinical Linguistic and
Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai kemampuan bahasa ekspresif, reseptif,
dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.19,20
Secara umum, keterlambatan perkembangan umum pada anak dapat dilihat
dari milestones perkembangan dan beberapa tanda bahaya (red flags) perkembangan
anak sederhana.18,19
3.2.7. Diagnosis
1) Anamnesis
Dokter memulai anamnesis dengan mendengarkan penjelasan orangtua secara
seksama tentang perkembangan anaknya. Orang tua dapat mencatat setiap
keterlambatan perkembangan, perubahan tubuh dan kurang responsifnya anak
tersebut, sehingga perlu perhatian khusus. Tiap orangtua tentunya memiliki daerah
perhatian yang berbeda. Penggalian anamnesis secara sistematis meliputi, resiko
biologi akibat dari gangguan prenatal atau perinatal, perubahan lingkungan akibat
salah asuh, dan akibat dari penyakit primer yang sudah secara jelas terdiagnosis saat
infant. 19
Faktor Postnatal
Kejang
Sepsis / meningitis
Otitis media berulang
Gizi buruk
Terpapar racun toksik
Faktor dari Riwayat Keluarga
Perkembangan terlambat
Tuli
Buta
Abnormalitas kromosom
Faktor Sosial Keluarga
Gangguan mental
Sosioekonomi rendah
Kejadian traumatic
2) Pemeriksaan fisik
Faktor risiko untuk keterlambatan dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik.
Pengukuran lingkar kepala (yang mengindikasikan mikrosefali atau makrosefali)
adalah bagian penting dalam pemeriksaan fisik. Perubahan bentuk tubuh sering
dihubungkan dengan kelainan kromosom, atau faktor penyakit genetik lain sulit dilihat
dalam pemeriksaan yang cepat.19 Sebagai tambahan, pemeriksaan secara terstruktur
dari mata, yaitu fungsi penglihatan dapat dilakukan saat infant, dengan menggunakan
pemeriksaan sederhana seperti meminta mengikuti arah cahaya lampu. Saat anak
sudah memasuki usia pre-school, pemeriksaan yang lebih mendalam diperlukan
seperti visus, selain itu pemeriksaan saat mata istirahat ditemukan adanya strabismus.
Pada pendengaran, dapat pula dilakukan test dengan menggunakan brain-stem evoked
potentials pada infant. Saat umur memasuki 6 bulan, kemampuan pendengaran dapat
dites dengan menggunakan peralatan audiometri. Pada usia 3-4 tahun, pendengaran
dapat diperiksa menggunakan audiometer portable. Pemeriksaan telinga untuk mencari
tanda dari infeksi otitis media menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena bila
terjadi secara kontinyu akan menyebabkan gangguan pendengaran ringan.
Pemeriksaan kulit secara menyeluruh dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit
ektodermal seperti tuberous sklerosis atau neurofibromatosis yang dihubungkan
dengan delay. Pemeriksaan fisik juga harus meliputi pemeriksaan neurologi yang
42
berhubungan dengan perkembangan seperti adanya primitive reflek, yaitu moro reflex,
hipertonia atau hipotonia, atau adanya gangguan tonus.19,20
3) Pemeriksaan Penunjang
Secara umum, pemeriksaan laboratorium untuk anak dengan kemungkinan
gangguan perkembangan tidak dibedakan dengan tes skrining yang dilakukan pada
anak yang sehat. Hal ini penting dan dilakukan dengan periodik. Adapun beberapa
pemeriksaan penunjangnya antara lain adalah skrining metabolik, tes sitogenetik,
skrining tiroid, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG), dan Imaging.20,21
3.2.8. Penatalaksanaan
Pengobatan bagi anak-anak dengan KPG hingga saat ini masih belum
ditemukan. Hal itu disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik, dimana anak anak
belajar dan berkembang dengan cara mereka sendiri berdasarkan kemampuan dan
kelemahan masing-masing. Sehingga penanganan KPG dilakukan sebagai suatu
intervensi awal disertai penanganan pada faktor-faktor yang beresiko
menyebabkannya. Intervensi yang dilakukan, antara lain: 17,18,21
B. Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi lebih
mandiri dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak, tugas
mereka antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti
43
C. Physical Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar
dan halus, keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya tahannya.
Kemampuan motorik kasar yakni kemampuan untuk menggunakan otot yang
besar seperti berguling, merangkak, berjalan, berlari, atau melompat.
Kemampuan motorik halus yakni menggunakan otot yang lebih kecil seperti
kemampuan mengambil barang. Dalam terapi, terapis akan memantau
perkembangan dari anak dilihat dari fungsi, kekuatan, daya tahan otot dan
sendi, dan kemampuan motorik oralnya. Pada pelaksanaannya, terapi ini
dilakukan oleh terapi dan orang-orang yang berada dekat dengan anak tersebut.
Sehingga terapi ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 17,18,21
D. Behavioral Therapy
Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada
dirinya dan memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan bersikap
agresif atau buruk seperti melempar barang-barang, menggigit, menarik
rambut, dan lainlain. Behavioral therapy merupakan psikoterapi yang berfokus
untuk mengurangi masalah sikap dan meningkatkan kemampuan untuk
beradaptasi. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain dalam
pelaksanaanya. Namun, terapi ini bertolak belakang dengan terapi kognitif. Hal
itu terlihat pada terapi kognitif yang lebih fokus terhadap pikiran dan
emosional yang mempengaruhi sikap tertentu, sedangkan behavioural therapy
dilakukan dengan mengubah dan mengurangi sikap-sikap yang tidak
diinginkan. Beberapa terapis mengkombinasikan kedua terapi tersebut, yang
disebut cognitive-behavioural therapy. 17,18,21
44
3.2.9. Prognosis
Prognosis GDD pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan
penegakkan diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan
pemberian terapi yang tepat, sebagian besar anak-anak memberikan respon yang baik
terhadap perkembangannya. Walau beberapa anak tetap menjalani terapi hingga
dewasa. Hal tersebut karena kemampuan anak itu sendiri dalam menanggapi
terapinya. Beberapa anak yang mengalami kondisi yang progresif (faktor-faktor yang
dapat merusak sistem saraf seiring berjalannya waktu), akan menunjukkan
perkembangan yang tidak berubah dari sebelumnya atau mengalami kemunduran.
Sehingga terapi yang dilakukan yakni meningkatkan kemampuan dari anak tersebut
untuk menjalani kesehariannya. 17,18
45
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, berdasarkan alloanamnesis dengan orang tua pasien, pasien dibawa ke
rumah sakit dengan keluhan kejang + 1 jam yang lalu (SMRS); kejang tanpa provokasi
sebanyak satu kali, kejang tonik umum yang didahului kejang fokal dan kejang berlangsung
selama + 15-30 menit, mata mendelik keatas, postictal sadar. Kejang yang sama terjadi 5-6
kali dalam 1 bulan terakhir.
Diagnosis epilepsy dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode kejang
tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih. Kejang tanpa provokasi adalah kejang
yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma atau
kelainan intracranial akut lainnya. Diagnosis epilepsy merupakan diagnosis klinis yang
terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.1
Pasien memiliki riwayat kejang demam sejak usia 8 bulan hingga saat ini 2 bulan
terakhir. Kejang demam terjadi 1-2 kali per tahun. Pasien sejak saat itu mendapat pengobatan
anti kejang. Riwayat penyakit non-kejang disangkal. Paman pasien memiliki penyakit
epilepsi. Pasien berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah. Pada riwayat
kelahiran dan kehamilan, pasien lahir dengan asfiksia dan sianosis. Riwayat imunisasi
lengkap dan riwayat gizi berserta status gizi baik.
Berdasarkan riwayat sebelumnya, diketahui bahwa riwayat penyakit non-kejang
disangkal dan pasien tidak sedang mengidap penyakit selain kejang atau kondisi medis
abnormal lainnya yang dapat memprovokasi timbulnya kejang. Hal ini membantu dalam
penegakkan diagnosis kerja utama pada pasien adalah epilepsi.1
Berdasarkan riwayat sebelumnya, etiologi dan faktor risiko yang berpotensi untuk
menyebabkan epilepsy dapat ditentukan. Etiologi kejang umum dapat berupa idiopatik, faktor
genetik, dll.1,6 Kondisi antenatal dengan asfiksia dan adanya kejang demam pada kondisi
postnatal dapat berisiko untuk terjadinya bangkitan kejang epileptik/epilepsy.1,7 Tidak
ditemukan hubungan yang pasti mengenai kelengkapan imunisasi dan status gizi baik pada
kasus dengan diagnosis epilepsi.
Berdasarkan alloanamnesis riwayat perkembangan, pasien berusia 42 bulan. Pasien
bisa menegakkan kepala pada usia 4 bulan, tengkurap pada usia 5 bulan, duduk pada usia 10
bulan, berdiri pada usia 24 bulan, belum dapat berjalan, dan bisa berbicara pada usia 30 bulan
dan mengerti lawan bicara dengan kosa kata seedikit dan mengucapkan 1 kata untuk
mengutarakan keinginan hingga saat ini.
46
Berdasarkan milestones perkembangan, anak sudah dapat duduk pada rata-rata usia 5-
9 bulan. Rata-rata anak sudah dapat berdiri pada usia 12-18 bulan dan berjalan 18-24 bulan.
Pada rentang usia 36-48 bulan, anak dengan perkembangan yang normal mampu membuat
kalimat yang sempurna.18,19 Pasien mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisik
berupa perkembangan fungsi motorik kasar dan fungsi bicara.
Pada pasien (42 bulan) didapatkan keterlambatan perkembangan yang signifikan pada
fungsi motorik kasar dan fungsi bicara. Keterlambatan perkembangan yang signifikan pada
dua atau lebih domain perkembangan anak (motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif,
personal atau sosial aktivitas hidup sehari-hari) merupakan Keterlambatan Perkembangan
Global (KPG). Istilah KPG dipakai pada anak berumur kurang dari 5 tahun. KPG juga dikenal
dengan istilah Global Developmental Delay (GDD). 12,13,14
Faktor eksternal berupa faktor antenatal (sianosis dan asfiksia) serta faktor postnatal
(riwayat kejang berulang; epilepsy, dll) berpengaruh terhadap pertumbuhan otak
(unilateral/bilateral). Hal tersebut mempengaruhi tumbuh kembang anak pada kondisi normal
dan dapat menyebabkan Global Development Delay (GDD).9,16,17
Pada hasil pemeriksaan fisik umum, pasien sedang tidak mengalami bangkitan kejang.
Pasien tampak sakit sedang, dengan suhu axilla 36,9oC. Pemeriksaan fisik spesifik dan
pemeriksaan neurologis tidak menunjukkan adanya kelainan (abnormalitas). Pemeriksaan
penunjang laboratorium hematologi tidak menunjukkan adanya hasil yang signifikan selain
hemoglobin (10,8 g/dl) dan hematokrit (33%) yang sedikit berada dibawah batas ambang
normal. Pada pasien direncanakan pemeriksaan EEG namun tidak dilakukan karena masalah
teknis peralatan EEG di rumah sakit.
Tidak adanya kelainan (abnormalitas) dari pemeriksaan fisik, neurologis serta tidak
adanya peningkatan suhu signifikan yang berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang
menunjukkan bahwa pada kasus benar adanya kejang terjadi tanpa provokasi dan membantu
penegakkan diagnosis epilepsi.1,6,7,9 Pemeriksaan laboratorium hematologi pada kasus tidak
menunjukkan hal signifikan yang berhubungan dengan epilepsy ataupun kelainan lain yang
berpotensi untuk timbul..
Pada kasus sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). EEG
merupakan pemeriksaan penunjang standar untuk diagnosis epilepsi walaupun bukan baku
emas pemeriksaan. EEG dapat menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.1,10
Selain EEG, pemeriksaan pencitraan MRI juga dapat dilakukan pada kasus epilepsi. Pada
kasus ini pencitraan MRI kurang diperlukan karena tidak memenuhi indikasi pencitraan MRI
pada dugaan kasus epilepsi.10
47
dosis. Pemberian Depakene oral 2x2 cc pada kasus sudah tepat (BB: 14,8 kg; dosis 222
592 mg dibagi 2 dosis; sediaan Depakene sirup oral 250 mg/5 cc; 2x2 cc = 2x125 mg).
Berdasarkan analisa tersebut, tatalaksana berupa terapi cairan dan medikamentosa,
output akhir dari tatalaksana pada kasus ini yaitu epilepsi sudah tepat.
Selama pengobatan epilepsi, baik di rumah maupun di rumah sakit, sebaiknya
dilakukan edukasi umum tentang epilepsy pada pasien (anak) dan orang tuanya. Edukasi
dapat berupa penjelasan mengenai anak dengan epilepsi, jenis epilepsi, rencana terapi, efek
samping dan interaksi obat OAE (obat anti epilepsi), aktifitas yang diperbolehkan serta
pengaruh epilepsi dalam kehidupan sehari-hari. Edukasi juga meliputi manajemen risiko dan
perlunya menghindari faktor pencetus kejang.1
Pada kasus ini, selain pasien mengalami epilepsi, terdapat juga kondisi medis lain
yaitu Global Developmental Delay (GDD). Pada pasien ini terjadi keterlambatan
perkembangan fungsi motorik kasar dan fungsi bicara. Pengobatan bagi anak dengan GDD
hingga saat ini masih belum ditemukan. Sehingga penanganan GDD dilakukan sebagai suatu
intervensi awal disertai penanganan pada faktor risiko. Intervensi yang dapat dilakukan pada
kasus ini antara lain adalah dengan Speech and Language Therapy dan Physical Therapy.
17,18,21
49
BAB V
PENUTUP
Epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode kejang tanpa provokasi
dengan interval 24 jam atau lebih. Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang
terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.
Beberapa jenis epilepsy memiliki prognosis baik, dalam arti menghilang seiring
bertambahnya usia. Epilepsi dalam prognosis buruk dalam arti tidak pernah mencapai periode
bebas kejang.
Global Developmental Delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan anak,
diantaranya motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif, personal atau sosial aktivitas hidup
sehari-hari yang terjadi pada anak berumur kurang dari 5 tahun.
Prognosis GDD pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan penegakkan
diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan pemberian terapi yang tepat,
sebagian besar anak-anak memberikan respon yang baik terhadap perkembangannya.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawan M, Setyo H, Nelly AR. Epilepsi pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
2. McAbee GN, Wark JE. A practical approach to uncomplicated seizures in children. Am
Fam Physician 2000;62(5):1109-16.
3. Annegers JF, Rocca WA, Hauser WA. Cause of epilepsy: contributions of the Rochester
epidemiology project. Mayo Clin Proc. 1996;71(6):570-575.
4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Gangguan kejang pada bayi dan anak. In :
Rudolph AM, Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta :
EGC; 2007.p.2134-40.
5. Shorvon S. Epilepsy. In : Shorvon S, editors. Handbook of Epilepsy Treatment.
Blackwell science Ltd. 2000 :1-4
6. Robert F, Maslah S. Etiologies of Seizures. In: Overview of Epilepsy. 3rd ed. Stanford
Neurology. 2010: 8-10.
7. Wiknjosastro. Kehamilan dan Janin dengan Risiko Tinggi dalam Ilmu Kebidanan. Edisi
ketiga, Cetakan keempat. Yayasan Bina Pustaka Jakarta. 1997: 33-9.
8. Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 1990; 336:291-295.
9. Wyler AR. Modern management of epilepsy. Postgrad Med. 1993. 94(3):97-108
10. Moshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostic evaluation. In: Engel J, Pedley TA, editors.
Epilepsy: A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol One. Philadelphia : Lippincott
Wiliams & Wilkins ; 2008 : 785 89.
11. Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. Penatalaksanaan Kejang. In : Sareharto TP,
Bahtera T, Putranti AH, editors. Buku Ajar llmu Kesehatan Anak. Semarang: Balai
Penerbit UNDIP; 2011.p.138-39.
12. Shevell MI. The evaluation of the child with a global developmental delay. Seminar
Pediatric Neurology. 1998;5:2126.
13. Fenichel GM. Psychomotor retardation and regression. Dalam: Clinical Pediatric
Neurology: A signs and symptoms approach. Edisi ke-4.Philadelphia: WB Saunders;
2001.h.11747.
51
14. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirzt D, dkk. Practice parameter:
Evaluation of the quality standards subcommittee of the American Academy of
Neurology and the practice committee of the child neurology society. Neurology
2003;60:67-80.
15. Melati D, Windiani IGAT, Soetjiningsih. Karakteristik Klinis Keterlambatan
Perkembangan Global Pada Pasien di Poliklinik Anak RSUP Sanglah Denpasar. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
16. Walters AV. Development Delay: Causes and Identification. ACNR 2010; 10(2);32-4.
17. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak
di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan RI. 2005.
18. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Indonesia. [Diakses pada 15 November 2017]. http //idai.or.id/public-
articles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-perkembangan-umum-pada-
anak.html.
19. First LR, Palrey JS. Current Concepts: The Infant or Young Child with Developmental
Delay. The New England Journal of Medicine 1994; 7478-483.
20. Srour M, Mazer B, Shevell MI. Analysis of clinical features predicting etiologic yield in
the Assessment of global development delay. Pediatrics 2006;118:139-45.
21. Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1990;
306-311.
22. Sulistia GG, Rianto SN, Elysabeth. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. BP FKUI.
Jakarta.