Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Aktifitas
tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi
otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), bermanifestasi
eksitasi negative (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan
keduanya. Epilepsi didefinisikan sebagai bangkitan kejang/serangan paroksismal berulang
tanpa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.1
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
mana ditemukan 4 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16
tahun pertama kehidupan. Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak.
Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Faktor risiko terjadinya
epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit
degeneratif, dan penyakit metabolik.2,3,4
Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya
penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam
tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang
cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan
biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan
baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.5
Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan
anak, diantaranya: motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif, personal atau sosial
aktivitas hidup sehari-hari.12,13
Pengobatan bagi anak-anak dengan GDD hingga saat ini masih belum ditemukan.
Sehingga penanganan KPG dilakukan sebagai suatu intervensi awal disertai penanganan
pada faktor-faktor yang beresiko menyebabkannya.17,18,21
2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : An. AFA
Umur : 3 tahun 5 bulan 26 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. N
Nama Ibu : Ny. S
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Jl. K.H. Faqih Usman Kec. Pemgi Kecil No. 14, RW 03,
Alamat : Kel. 2 Ulu, Palembang
MRS / No. RM : 3 November 2017 / 41.50.89

2.2. Anamnesis
Alloanamnesis (ayah dan ibu pasien) tanggal 6 November 2017
Keluhan Utama : Kejang 1 jam yang lalu SMRS
Keluhan Tambahan : Batuk (+)

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak + 1 jam SMRS penderita mengalami kejang, dengan frekuensi satu kali,
lama kejang + 15-30 menit, kejang tonik umum yang didahului kejang fokal, mata
mendelik keatas, postictal penderita sadar.
Saat kejang berlangsung, keluarga pasien langsung memberikan obat yang
dimasukkan melalui anus (stesolid 10 mg) pasien sehingga keluhan kejang berkurang.
Penderita lalu dibawa ke RSUD Palembang Bari.
Sejak + 1 bulan terakhir, penderita mengalami keluhan kejang yang sama
sebanyak 5 6 periode kejang.
Sejak + 4 jam SMRS, penderita mengeluh batuk. Batuk kering tanpa disertai
dahak. Frekuensi batuk 3-4 kali.
3

Riwayat Penyakit Dahulu


Pada usia + 8 bulan, penderita mengalami kejang demam. Sejak usia tersebut,
penderita diberikan pengobatan kejang anti kejang oleh dokter spesialis anak. Keluhan
kejang berkurang. Sejak usia + 8 bulan hingga sekarang, penderita mengalami periode
kejang sebanyak 1 2 kali kejang dalam 1 tahun.

Riwayat Penyakit Keluarga


Saudara laki-laki dari orang tua (ayah) penderita memiliki penyakit epilepsi.

Riwayat Sosial Ekonomi


Kesan status sosial ekonomi menengah.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa Kehamilan : Aterm G3P2A0
Presentasi : Kepala
Cara Persalinan : Spontan / normal
Kepala terlilit tali pusat (sianosis), Tidak
langsung menangis (asfiksia)
KPSW : Tidak ada
Riwayat demam dalam kehamilan : Tidak ada
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : Tidak ada
Ditolong oleh : Bidan

Keadaan Bayi saat Lahir


Jenis Kelamin : Laki-laki
Kelahiran : Tunggal
Kondisi saat lahir Hidup
BB : + 2500-3000 gram
PB : tidak tahu
LK : tidak tahu
4

Riwayat Gizi
Asi Eksklusif : Sampai usia 24 bulan, frekuensi 12 kali sehari
Asi : Sampai usia 24 bulan, frekuensi 12 kali sehari
Susu Formula : Sejak usia 24 bulan, frekuensi 3 kali sehari
Bubur Susu : Sejak usia 12 bulan, frekuensi 1 kali sehari
Nasi : Sejak usia 12 bulan sampai sekarang, frekuensi 3 kali sehari
Sayuran, Buah : Kadang-kadang
Ikan : Kadang-kadang
Telur : Kadang-kadang
Ayam, Daging : Sering
Tahu dan Tempe : Sering
Susu : +
Kesan : Secara kualitatif, asupan gizi cukup, secara kuantitatif,
asupan memenuhi gizi seimbang.

Riwayat Perkembangan Fisik


Menegakkan kepala : 4 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 10 bulan
Berdiri : 24 bulan
Berjalan : - bulan
Bicara : 30 bulan (pembendaharaan kata meningkat, namun belum
mampu mengucapkan kalimat yang terdiri dari 2 kata atau
lebih)
Kesan : Riwayat perkembangan (fungsi motorik kasar dan fungsi
bicara) terlambat (Global Development Delayed)

Riwayat Imunisasi
BCG : (+)
DPT : DPT 1(+), 2(+), 3(+)
Polio : Polio 1(+), 2(+), 3(+), 4(+)
Hepatitis B : Hep B 0(+), 1(+), 2(+), 3(+)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
5

Status Gizi
Berat Badan : 14,8 kg
Tinggi Badan : 92 cm
BB/U = rentang 0 sampai -2 SD (normal)
TB/U = rentang 0 sampai -2 SD (normal)
BB/TB = rentang +1 sampai +2 SD (overweight)
Kesan : gizi baik

Riwayat Penyakit yang pernah diderita


Kejang : Dengan demam : Usia 8-46 bulan : 7 kali
Tanpa demam : Usia 46-47 bulan : 5 kali
Non-kejang : (-)

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Keadaan gizi : baik
Kesadaran : Compos mentis
Posisi : Supinasi
Berat Badan : 14,8 kg
Tinggi Badan : 92 cm
Edema : Tidak ada
Aktivitas : Aktif
Tonus otot : Eutoni
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Dispneu : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Suhu : 36,9 oC (axilla)
Pernafasan : 27 x/menit
Nadi : 102 x/menit; irama reguler; isi dan tegangan cukup
Tugor : normal (< 2 detik)
6

Keadaan Spesifik
Kepala : Bulat, simetris, normosefali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex
cahaya +/+ normal, pupil bulat dan isokor, edema palpebra (-/-),
bercak bitot (-)
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis sirkum oral (-), sianosis ginggiva (-), mukosa bibir dan mulut
kering (-), atrofi papil lidah (-)
Tenggorokan : Arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior
hiperemis, tonsil hiperemis (T1-T2)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP normal
Thoraks : Bentuk simetris, pergerakan dinamis, retraksi (-)
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis, simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronchii (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus kordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : Heart Rate 102 x/menit, irama reguler, murmur (-), gallops (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Datar, lemas, hepar-lien tidak teraba, massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh bagian perut
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema pretibial (-/-), sianosis (-/-), CRT <2 detik
7

Pemeriksaan Neurologis :
Tungkai Lengan
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala arah Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - - - -

Fungsi Sensorik : Tidak ada kelainan


Fungsi Nervi Cranialis : Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada
Gerakan abnormal : Tidak ada

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (3 November 2017)
Hematologi
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10,8 g/dl 14 16 g/dl
Leukosit 8.100 /l 5.000 10.000 /l
Trombosit 334.000 /l 150.000 400.000 /l
Hematokrit 33% 40 48 %
Diff. Count
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 13%
Neutrofil Batang 1 26%
Neutrofil Segmen 49 50 70 %
Monosit 44 20 40 %
Limfosit 5 28%
8

2.5. DIAGNOSA KERJA


Epilepsi + Global Developmental Delay

2.6. PENATALAKSANAAN
Edukasi :
1. Memberi tahu cara penanganan kejang di rumah.
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
3. Memberikan penjelasan bahwa kejang pada anak dengan epilepsi disebabkan oleh
suatu faktor pencetus dan perlunya dihindari agar mengurangi risiko kemungkinan
terjadinya serangan kejang.
4. Memberitahu bahwa pengobatan epilepsi secara perlahan-lahan dengan
pertimbangan dokter ahli setelah bebas kejang selama 2 tahun (2 tahun tanpa
kejang).

Terapi :
1. IVFD D5 NS gtt XII x/menit
2. Dexamethasone Inj. 3x4 mg
3. Diazepam Inj. 4 mg (bila kejang kembali)
4. Depakene oral 2x2 cc

2.7. PEMERIKSAAN ANJURAN


Pemeriksaan EEG (Electro-Encephalography)

2.8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
9

FOLLOW UP SELAMA PASIEN DIRAWAT


Tanggal Sabtu, 4 November 2017
S : Kejang (-), batuk berkurang
O : Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis, tampak sakit sedang
Berat badan : 14,8 kg
Nadi : 127 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 41 x/menit
Suhu : 37,4 oC
Keadaan Spesifik
Kepala- : Konjungtiva anemis (-), clera ikterik (-), reflex cahaya +/+ normal,
Leher pupil bulat dan isokor, nafas cuping hidung (-), arcus faring
simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil
hiperemis (T1-T2), pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP
normal, GRM (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-), stem fremitus kanan sama dengan kiri
Paru-paru : Vesikuler (+) normal, ronchii (-/-), wheezing (-/-), perkusi sonor
pada kedua lapangan paru
Jantung : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallops (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar-lien tidak teraba, massa (-), Timpani selurh
bagian perut, Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
Pemeriksaan Neurologis
Tungkai Lengan
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Segala Segala Segala Segala
Gerakan
arah arah arah arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak :ada
Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : Tidak :ada
Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak :ada
Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak :ada
Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak :ada
Tidak
kelainan
ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak :ada
Tidak ad
Gerakan abnormal : Tidak :ada
Tidak ada : Tidak ada
10

A : Epilepsi + Global Developmental Delay


P : IVFD D5 NS gtt XII x/menit
Dexamethasone Inj. 3x4 mg
Diazepam Inj. 4 mg (bila kejang kembali)
Depakene oral 2x2 cc
Rencana Pemeriksaan EEG

Tanggal Senin, 6 November 2017


S : Kejang (-), batuk berkurang
O : Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Berat badan : 14,8 kg
Nadi : 91 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 48 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Keadaan Spesifik
Kepala- : Konjungtiva anemis (-), clera ikterik (-), reflex cahaya +/+ normal,
Leher pupil bulat dan isokor, nafas cuping hidung (-), arcus faring
simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil
hiperemis (T1-T2), pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP
normal, GRM (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-), stem fremitus kanan sama dengan kiri
Paru-paru : Vesikuler (+) normal, ronchii (-/-), wheezing (-/-), perkusi sonor
pada kedua lapangan paru
Jantung : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallops (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar-lien tidak teraba, massa (-), Timpani selurh
bagian perut, Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
Pemeriksaan Neurologis
Tungkai Lengan
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Segala Segala Segala Segala
Gerakan
arah arah arah arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
11

Refleks Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada
: Tidak ad
Gerakan abnormal : Tidak ada
: Tidak ada : Tidak ada
A : Epilepsi + Global Developmental Delay
P : Depakene oral 2x2 cc
Rencana Pemeriksaan EEG

Tanggal Selasa, 7 November 2017


S : Tidak ada keluhan
O : Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Berat badan : 14,8 kg
Nadi : 96 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 44 x/menit
Suhu : 36,7 oC
Keadaan Spesifik
Kepala- : Konjungtiva anemis (-), clera ikterik (-), reflex cahaya +/+ normal,
Leher pupil bulat dan isokor, nafas cuping hidung (-), arcus faring
simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil
hiperemis (T1-T2), pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP
normal, GRM (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-), stem fremitus kanan sama dengan kiri
Paru-paru : Vesikuler (+) normal, ronchii (-/-), wheezing (-/-), perkusi sonor
pada kedua lapangan paru
Jantung : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallops (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar-lien tidak teraba, massa (-), Timpani selurh
bagian perut, Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
Pemeriksaan Neurologis
Tungkai Lengan
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Segala Segala Segala Segala
Gerakan
arah arah arah arah
12

Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - - - -
Fungsi Sensorik : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Luhur : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Vegetatif : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Fungsi Otonom : Tidak ada
: Tidak
kelainan
ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada
: Tidak ad
Gerakan abnormal : Tidak ada
: Tidak ada : Tidak ada
A : Epilepsi + Global Developmental Delay
P : Depakene oral 2x2 cc
Pemeriksaan EEG tidak dilakukan karena adanya masalah teknis alat
EEG
Rencana rawat jalan (pulang)
13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Epilepsi
Epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Aktifitas
tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi
otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), bermanifestasi
eksitasi negative (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan
keduanya.1
Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure)
adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi
dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai
serangan paroksismal berulang tanpa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa
penyebab yang jelas. 1

3.1.1. Klasifikasi Epilepsi


Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE) membagi
kejang menjadi kejang umum dan kejang fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan.
ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi
sebagai berikut: 1
Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer.
Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.
Tabel 3.1. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Tipe Bangkitan1
Kejang Umum
Tonik
Klonik
Tonik-Klonik
Absans
o Tipikal absans
o Atipikal absans
Mioklonik
Atonik
14

Kejang Parsial
Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
o Dengan gejala motorik
o Dengan gejala somatosensorik atau sensorik halusinasi
o Dengan gejala otonom
o Dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
o Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
o Diawali parsial sederhana lalu diikuti dengan gangguan kesadaran
Kejang parsial menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi kejang tonik klonik
o Parsial kompleks menjadi kejang tonik klonik
Kejang yang belum dapat diklasifikasi

Selain itu, ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi sebagai
berikut: 1
Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsy tanpa adanya kelainan
struktur otak dan tidak ditemukan deficit neurologi. Faktor genetik diduga
berperan, dan pada umumnya khas mengenai usia tertentu.
Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu
atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan deficit neurologi.
Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi
yang diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetic, metabolik)
klasifikasi kriptogenik banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsy
simtomatik.
Tabel 3.2. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Etiologi1
Sindrom Epilepsi Fokal
Idiopatik
o Benign Childhood Epilepsy with Contemporal Spikes
o Childhood Epilepsy with Occipital Paroxysms
o Primary Reading Epilepsy
Simtomatik
o Kojewnikow Syndrome
o Sindrom Epilepsi yang ditandai presipitasi spesifik
o Epilepsi lobus temporal/frontal/parietal/oksipital
Kriptogenik
15

Epilepsi dan Sindrom Epilepsi Umum


Idiopatik
o Benign neonatal familial convusions/pyknolepsy
o Juvenile absence/myclonic epilepsy
o Unidentified
Simtomatik
o Etiologi non spesifik: Early myoclonic encephalopathy w/o suppression-bursts,
unidentified
o Sindrom spesifik
Kriptogenik
o West Syndrome (Infantile spasms)
o Epilepsy with myoclonic absences/astatic seizures
o Lennox-Gastaut syndrome
Epilepsi dan Sindrom Epilepsi yang tidak dapat ditentukan fokal atau uum
Dengan kedua bentuk kejang umum dan fokal
o Neonatal seizures
o Severe myoclonic epilepsy in infancy
o Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner Syndrome)
Tanpa kedua gejala umum atau fokal
Sindrom Epilepsi Khusus
Kejang berhubungan dengan situasi
o Kejang demam
o Isolated Seizures

3.1.2. Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
mana ditemukan 4 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16
tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak
mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi
penderita epilepsi.2
Faktor risiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi
SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun
terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa
insidensi epilepsi pada anak laki laki lebih tinggi daripada anak perempuan.3
16

Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).
Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,
dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 5 tahun,
50 pada 5 9 tahun, dan 39 pada 10 14 tahun.4

3.1.3. Etiologi
Pada umumnya etiologi epilepsy tidak jelas diketahui. Klasifikasi ILAE (2010)
mengganti terminologi idiopatik, simtomatik atau kriptogenik menjadi genetic,
structural/metabolik, dan tidak diketahui. Epilepsi digolongkan sebagai unknown
cause apabila penyebabnya tidak diketahui. 1
Genetic epilepsy syndrome; adalah epilepsy yang diketahui/diduga disebabkan
oleh kelainan genetic dengan kejang sebagai manifestasi utama. Kelainan genetik yang
dapat menyebabkan epilepsy antara lain: 1
Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsy umum awitan lambat
dan leukoensefalopati.
Structural metabolic syndrome; adalah adanya kelainan structural/metabolik
yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsy, contohnya epilepsy pasca
stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetic seperti tuberosklerosis
dengan kelainan struktur otak (tuber). Kelainan structural/metabolik yang dapat
menyebabkan epilepsy antara lain: 1
Kelainan neurokutan
Palsi serebral
Sklerosis hipokampus, gliosis, dll
Malformasi serebral atau kortikal
Tumor otak, trauma kepala, infeksi, congenital, dll.
17

Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.
Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:6
Tabel 3.3. Etiologi Epilepsi6
Kejang Fokal Kejang Umum
Trauma kepala Penyakit metabolik
Stroke Reaksi obat
Infeksi Idiopatik
Malformasi vaskuler Faktor genetik
Tumor (Neoplasma) Kejang fotosensitif
Displasia
Mesial Temporal Sclerosis

3.1.4. Faktor Risiko


Gangguan stabilitas neuron neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,
dapat terjadi saat:7
Tabel 3.4. Faktor Risiko Epilepsi7
Prenatal Antenatal Postnatal
Umur ibu saat hamil terlalu muda Asfiksia Kejang
(<20 tahun) atau terlalu tua (>35 Bayi dengan berat badan demam
tahun) lahir rendah (<2500 gram) Trauma
Kehamilan dengan eklamsia dan Kelahiran prematur atau kepala
hipertensi postmatur Infeksi SSP
Kehamilan primipara atau multipara Partus lama Gangguan
Pemakaian bahan toksik Persalinan dengan alat Metabolik

3.1.5. Patofisiologi
Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada epilepsi belum diketahui
secara pasti. Walaupun mekanisme pasti belum dapat diketahui, beberapa faktor yang
berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah gangguan pada
membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
serta gangguan pada sel glia.9

Gangguan pada membran sel neuron


Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel terhadap ion kalium
18

dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada keadaan normal
konsentrasi ion kalium cenderung tinggi sedangkan konsentrasi ion natrium rendah.9
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion
natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar
ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di
permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya
dan menyebar sepanjang akson.9

Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps


Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial
aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuron akson yang kemudian
membebaskan zat transmitter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran paska-sinaps. Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamat)
mengakibatkan depolarisasi, zat neurotransmiter inhibisi (GABA, glisin)
menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat
mengakibatkan eksitasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.9
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron lainnya melalui
sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel
neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktifitasnya. Pada keadaan
normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap
keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi
ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah
terjadinya hipersinkronisasi melalui mekanisme inhibisi. Gangguan sintesis GABA
mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi sehinhgga dapat
menimbulkan bengkitan kejang.9

Gangguan pada sel glia


Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar
neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang
mengatur monsentrasi ion kalium ekstraseluler akan tergangggu yang akan
mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron sekitarnya. Rasio yang tinggi
antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi
membran neuron.9
19

Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel
neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di
cairan interstisial yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia
cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema). Pada
penelitian eksperimental, didapatkan bahwa bila kation dimasukkan ke dalam sel
astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan kejang pada sel neuron disekitarnya,
hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur
aktivitas neuronal.9

3.1.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai,
kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-
tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau mmenit dan
sebagian besar berlangsung singkat.1
Sebelum terjadi bangkitan epileptik, penderita kadang dapat merasakan akan
terjadi serangan, keadaan ini disebut fase prodormal. Fase kejang/bangkitan termasuk
aura yang merupakan gejala sebelum kejang. Selanjutnya adalah fase setelah kejang
(post ictal), penderita tertidur atau bingung selama beberapa saat. Aura merupakan
perasaan paroksismal berupa sensasi sensoris atau motorik yang mendahului kejang
fokal.1 Manifestasi klinis dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu:4
1) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya menurun.4
a) Kejang absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura
atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b) Kejang parsial kompleks
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama.
20

c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan
cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20
detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik.
Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi
seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2
menit.
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

2) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari
otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
21

3.1.7. Diagnosis
Diagnosis epilepsy dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode
kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila terdapat
manifestasi khas suatu sindrom epilepsy. Kejang tanpa provokasi adalah kejang yang
tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma atau
kelainan intracranial akut lainnya. Diagnosis epilepsy pada anak dan remaja dapat
ditegakkan oleh dokter spesialis anak yang sudah dilatih dan/atau pakar di bidang
epilepsy. Diagnosis epilepsy merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan
atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.1

1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpenting dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu.13
Dalam anamnesis untuk menegakkan diagnosis epilepsi, tentukan terlebih
dahulu apakah benar bahwa serangan/bangkitan tersebut adalah benar merupakan
kejang. Tabel berikut memperlihatkan perbedaan antara kejang dan bukan kejang.1

Tabel 3.5. Perbedaan Bangkitan Kejang dan Bukan Kejang1


Klinis Kejang Bukan Kejang
Awitan Tiba-tiba Gradual
Kesadaran Terganggu (pada fokal sederhana Tidak terganggu
kesadaran tidak terganggu
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Sianosis Sering Jarang
Gerakan abnormal bola Selalu Jarang
mata
Serangan khas Sering Jarang
Lama Detik-menit Beberapa menit
Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu
Abnormalitas EEG (iktal) Selalu Tidak pernah
22

Setelah dipastikan bahwa bangkitan merupakan benar adalah kejang,


tentukan bentuk bangkitan kejang tersebut. Anamnesisnya meliputi: 1
- Kejang tonik (kaku), klonik (kelonjotan), umum atau fokal
- Kejang umum tonik-klonik (kaku-kelonjotan)
- Tiba-tiba jatuh (atonik)
- Bengong, tidak berespon ketika dipanggil atau ditepuk (absans). Tipe
kejang ini dapat diprovokasi dengan cukup aman di poliklinik, dengan
cara anak diminta hipervantilasi (meniup kertas) selama 30 kali
hitungan. Hiperventilasi akan mencetuskan serangan absans.
- Bayi tampak seperti kaget berulang kali (spasme)
- Gerakan otomatisasi (mengecap-ngecap)
- Gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas (mioklonik)
- Episode bingung dan kehilangan kesadaran
- Perasaan tiba-tiba merasa mual atau sakit ulu hati, halusinasi
visual/auditori, rasa kesemutan dapat ditemukan pada kejang fokal.
Keadaan tersebut disebut aura, yang dideskripsikan sebagai stimulasi
sensorik sebelum bangkitan muncul. Aura dapat juga merasa pernah
berada di suatu tempat (dj vu)

Setelah dipastikan bahwa bangkitan kejang benar terjadi dan bentuk


bangkitan kejang ditentukan, diperlukan anamnesis keterangan lain untuk
penegakkan diagnosis. Anamnesis lain yang perlu ditanyakan adalah sebagai
berikut: 1
- Pada keadaan apa bangkitan/kejang tersebut muncul?
- Apa yang dilakukan anak sebelum bangkitan muncul?
- Apakah ditemukan aura?
- Berapa kali anak kejang dalam 1 hari dan berapa lama kejang
berlangsung?
- Apa yang terjadi setelah kejang berhenti? Apakah anak terlihat
bingung/mengantuk/lemas atau tidur?
- Saat kejang apakah ditemukan gangguan kesadaran, tidak adanya
respon, anak terlihat menatap dengan pandangan kosong, mata
terbuka/tertutup/berkedip-kedip, bola mata deviasi/terbalik ke satu sisi,
kedutan pada wajah, kekakuan tubuh, pucat/sianosis.
23

- Apakah gangguan fungsi otonom (misalnya mengompol).


- Apakah bentuk bangkitan selalu sama.
- Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan dan pascanatal untuk
mengetahui adakah factor risiko pada masa ersebut yang dapat
mengakibatkan kelainan struktur otak.
- Riwayat penyakit dahulu seperti trauma kepala, infeksi SSP,
perdarahan intracranial, penyakit lain yang disertai penurunan
kesadaran.
- Riwayat perkembangan anak.
- Riwayat epilepsy dalam keluarga.

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebab sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.9

3) Pemeriksaan Penunjang
a) Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi merupakan pemeriksaan penunjang standar yang
harus dilakukan pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/kejang. Rekam
EEG dilakukan selama 30 menit terdiri dari rekaman tidur dan bangun tanpa
menggunakan obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah
bangkitan kedua namun bila dirasakan perlu dapat dilakukan setelah kejang
pertama. 1
Pemeriksaan EEG bukan merupakan gold standard dalam penegakkan
diagnosis epilepsy. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis
tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsy. 1
Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
24

kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan


genetik atau metabolik. 10
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila: 10
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal

b) Pencitraan
Peran pencitraan untuk mendeteksi lesi otak yang mungkin menjadi
factor penyebab epilepsy atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk
mendeteksi kelainan yang mendasari epilepsy. Indikasi MRI pada anak dengan
epilepsy adalah sebagai berikut: 1
- Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
- Pemeriksaan neurologis yang abnormal
- Anak berusia kurang dari 2 tahun
- Anak dengan gejala khas sindrom epilepsy simtomatik
- Epilepsi intraktabel
- Status epileptikus

3.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 4 hal yaitu:
A. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang
berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan
kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 12 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 12 kg. Jika kejang masih
belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan
25

obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.11

Gambar 3.1. Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus11

Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus11


1. Diazepam rektal dapat diberikan maksimal 2 kali (satu kali dalam jarak waktu 5 menit) di
rumah jika terjadi kejang. Jika kejang sudah berulang terjadi 2 kali dan diazempam rectal
telah diberikan, maka diharapkan anak dibawa ke rumah sakit.

2. Jika kejang berlanjut, berikan Diazepam intravena (IV) dengan dosis 0,2 0,5 mg/kgBB,
dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit, dan dosis maksimal 10 mg. Atau, bisa diberikan
midazolam 0,2 mg/kgBB IM/buccal dengan dosis maksimal 10 mg.
26

3. Jika kejang berlanjut dalam rentang waktu 5 sampai 10 menit setelah diberikan Diazepam
IV, diberikan Fenintoin atau Fenobarbital.
a. Fenintoin 20 mg/kgBB IV, diencerkan dalam 50 ml NaCl 0,9%, selama 20 menit
dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit; dosis maksimal 1000 mg (1 gram).
Jika kejang berlanjut, dapat ditambahkan Fenintoin 5 10 mg/kgBB
b. Fenobarbital 20 mg/kgBB IV, selama 20 menit dengan kecepatan 2 mg/kgBB/menit;
dosis maksimal 1000 mg (1 gram).
Jika kejang berlanjut, dapat ditambahkan Fenobarbital 5 10 mg/kgBB

4. Jika setelah dua kali pemberian Fenintoin/Fenobarbital berkelanjutan dan kejang masih
terjadi, lanjutkan pemberian Fenintoin/Fenobarbital berikutnya.
Jika telah dua kali diberikan Fenintoin, bisa ditambahkan Fenobarbital dengan
dosis yang sama, begitupun sebaliknya.

5. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan Fenintoin 5-10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
atau Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

6. Jika kejang masih berlanjut, anak dipindahkan dan dirawat di ruang intensif Emergensi
Rawat Inap Anak (ERIA) / PICU (Pediatric Intensive Care Unit); kondisi kejang refrakter
Status Epileptikus.

7. Di ruang PICU/ERIA, dapat diberikan Midazolam bolus 100 200 mcg/kgBB (maksimal
10 mg); dilanjutkan infus kontinyu 100 mcg/kgBB/jam dan dapat dinaikkan 50 mcg/kgBB
setiap 15 menit (maksimal 2 mg/kgBB/jam).
Jika tidak ada midazolam, dapat diberikan Propofol atau Pentobarbital.
Propofol bolus 1 3 mg/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu 2 10 mg/kgBB/jam.
Pentobarbital bolus 5 15 mg/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu 0,5 5
mg/kgBB/jam.

8. Bila kejang > 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang mungkin terjadi dapat
diberikan kortikosteroid: Dexamethasone 0,2 0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4-5 hari. Berikan cairan dengan kadar natrium yang rendah.

B. Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum epilepsy berupa informasi dan edukasi pada
anak/penderita epilepsy dan orang tua/penanggung jawabnya. Keluaga yang
memiliki anak epilepsy berhak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat
tentang kondisi anak, jenis epilepsy, rencana terapi, efek samping dan interaksi
obat OAE (obat anti epilepsy), aktifitas yang diperbolehkan serta pengaruh
27

epilepsy dalam kehidupan sehari-hari. Pada anak yang bersekolah, edukasi dan
konseling psikologis dapat membantu kesiapan pihak sekolah, anak, dan orang
tua dalam mengatasi problematika dan stigma anak dengan epilepsy. 1
Edukasi tidak meliputi itu saja, manajemen risiko dan kemungkinan
risiko kematian pada epilepsy (Sudden Unexpected Death in Epilepsy/SUDEP)
juga perlu diketahui. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manajemen
risiko pada anak dengan epilepsy adalah higienis tubuh (mandi shower),
trauma panas/luka bakar, berenang, ketinggian, dan fotosensitivitas, serta
kenyamanan di jalan raya. Penyandang epilepsy berisiko lebih tinggi
mengalami kematian dini (SUDEP) dibandingkan populasi umum. Mekanisme
kematian pada SUDEP belum dapat diterangkan. 1
Beberapa faktor pencetus kejang epilepsy telah diketahui dan perlu
dihindari. Faktor-faktor pencetus tersebut antara lain: 1
- Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
- Demam
- Konsumsi alkohol
- Video Game (pada jenis epilepsy dengan fotosensitif)
- Pencetus spesifik pada reflex epilepsy
- Kelelahan fisik

C. Tatalaksana Medikamentosa
Sebelum pemberian obat anti epilepsy (OAE), diagnosis epilepsy harus
pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi
dan sindrom epilepsy, serta harus dievaluasi setiap kunjungan. Pengobatan
epilepsy adalah pengobatan jangka panjang. 1
Mayoritas anak dengan first unprovoked seizure tidak akan mengalami
kekambuhan. Faktor risiko kekambuhan adalah etiologi simtomatik, hasil
pemeriksaan EEG abnormal, riwayat kejang demam, dan usia kurang dari 3
tahun. Manfaat pemberian OAE setelah first unprovoked seizure tampaknya
hanya mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetai tidak mempengaruhi
angka kekambuhan jangka panjang. 1
28

Pemilihan obat anti epilepsy (OAE)


Pada epilepsy yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua
jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin,
asam valproat, klobazam, fenintoin, fenobarbital efektif sebagai OAE. Selain
efektifitas, efek samping OAE juga perlu dipertimbangkan sebelum memilih
OAE. Perlu diketahui bahwa OAE tertentu juga dapat menyebabkan
eksaserbasi kejang pada beberapa sindrom epilepsy. 1

Tabel 3.6. Obat Anti Epilepsi (OAE) yang dapat memperburuk sindrom
epilepsy atau tipe kejang tertentu1
Obat Anti Epilepsi Sindrom epilepsy/tipe kejang
Karbamazepin, vigabatrin, tiagabin, fenintoin Childhood absence epilepsy,
Juvenile absence epilepsy,
Juvenile myoclonic epilepsy
Vigabatrin Absans dan status absans
Klonazepam Status epileptikus tonik umum pada
Sindrom Lennox-Gastaut
Lamotrigin Sindrom dravet,
Juvenile myoclonic epilepsy

Asam valproat efektif untuk tatalaksana beberapa epilepsy umum


idiopatik. OAE spektrum luas (fenintoin, valproat, karbamazepin, klobazam,
lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin) efektif sebagai monoterapi
kejang fokal. 1

Tabel 3.7. Pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Pertama1


Nama Obat Indikasi Kontraindikasi Dosis
Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi fokal
Fenintoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi umum Absans
Asam Valproat Epilepsi umum - 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi fokal Target awal: 15-25 mg/kgBB/hari
Absans
Mioklonik
29

Karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik 10-30 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis


Absans Mulai dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari
Dinaikkan setiap 5-7 hari, 5
mg/kgBB/hari
Target awal: 15-20 mg/kgBB/hari

Jika monoterapi OAE pertama dan kedua gagal, terapi kombinasi OAE
(add-on) patut dipertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi,
pertimbangkan ketepatan diagnosis, kepatuhan minum obat, serta ketepatan
pilihan dan dosis pemberian OAE sebelumnya. 1

Tabel 3.8. Pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Lini Kedua1


Nama Obat Indikasi Dosis
Topiramat Epilepsi umum 5-9 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal Mulai dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
Dinaikkan setiap 1-2 minggu hingga dosis 5-9
mg/kgBB/hari
Levetiracetam Epilepsi fokal 20-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi umum Mulai dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari
Absans Dinaikkan setiap 5-7 hari hingga dosis 30
Mioklonik mg/kgBB/hari
Oxcarbazepine Epilepsi fokal 10-30 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
Benign Rolandic Mulai dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari
Epilepsy Dinaikkan setiap 5-7 hari hingga dosis 30
mg/kgBB/hari
Lamotrigine Epilepsi uum 0,5-5 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal Mulai dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari
Absans Dinaikkan setiap 2 minggu hingga dosis 5
Mioklonik mg/kgBB/hari

Penghentian Obat Anti Epilepsi (OAE) harus dipertimbangkan jika


anak sudah bebas kejang selama 2 tahun atau lebih. Beberapa faktor risiko
yang dapat memprediksi kekambuhan adalah epilepsy simtomatik, sindrom
epilepsy, usia awitan kejang lebih dari 12 tahun, periode bebas kejang kurang
dari 6 bulan, dan hasil pemeriksaan EEG abnormal pada saat penghentian obat.
Penghentian obat dilakukan secara bertahap (tapering off). 1
30

Tabel 3.9. Panduan Penghentian OAE1


Waktu memulai penghentian OAE
1. Setelah 2 tahun bebas kejang, jika syarat a,b, dan c di bawah ini terpenuhi:
a. Epilepsi idiopatik: tonik-klonik, absans tipikal
b. Pemeriksaan fisis, neurologis, dan perkembangan normal
c. Gambaran EEG normal
2. Setelah 3 tahun bebas kejang, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom epilepsy
c. Gambaran EEG abnormal walau telah 2 tahun bebas kejang
Kecepatan tapering off
1. Tapering off selama 3 bulan, jika syarat a dan b dibawah ini terpenuhi:
a. Epilepsi idiopatik yang bebas kejang dengan 1 jenis OAE
b. Gambaran EEG sebelum tapering off normal
2. Tapering off selama 6 bulan, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom epilepsy
c. Gambaran EEG sebelum tapering off masih menunjukkan gelombang
epileptiform
d. Terdapat gangguan perkembangan

D. Tatalaksana Non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa pada epilepsy dapat berupa diet
ketogenik, tindakan bedah, dan stimulasi nervus vagus. 1
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi,
rendah karbohidrat, cukup protein. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai
terapi adjuvant pada epilepsy intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi
kejang. Namun, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan
pertumbuhan yang lambat, batu ginjal, dan fraktur. 1
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil
penyandang epilepsy yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat
terapi OAE kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet
ketogenik. Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik
lain di luar area yang direncanakan akan direseksi. 1
Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjvan yang dilakukan pada
pasien dengan kejang intraktabel dan bukan meruakan kandidat terapi bedah
reseksi. 1
31

3.1.9. Prognosis dan Mortalitas


Pada beberapa anak, epilepsy bersifat sementara. Dengan adanya maturasi
otak, kejang berhenti dengan sendirinya. Hampir sebagian besar epilepsy (minimal
50%) tidak menglami kejang kembali dan pengobatan dapat dihentikan. Pasien harus
dipantau dalam 5 tahun ke depan untuk memastikan tidak ada kejang kembali. 1
Beberapa faktor yang dapat memprediksi pasien dapat bebas kejang adalah
tingkat kecerdasan yang normal, pemeriksaan neurologi normal, jumlah bangkitan
yang sedikit pada saat pertama kali didiagnosis, usia kejang pertama kali <12 tahun,
dan tidak ada kelainan structural di otak. 1
Beberapa jenis epilepsy memiliki prognosis baik, dalam arti menghilang
seiring bertambahnya usia. Epilepsi dalam prognosis buruk dalam arti tidak pernah
mencapai periode bebas kejang. Berikut merupakan sistem skoring untuk
kemungkinan remisi: 1

Tabel 3.10. Sistem Skoring untuk Kemungkinan Remisi1


Variabel Skor
Usia saat kejang pertama (bulan)
<12 99
12 144 142
144 0
Tingkat kecerdasan
Normal 111
Retardasi 0
Kejang neonates
Tidak 218
Ya 0
Jumlah kejang sebelum diobati
12 72
3 20 123
>20 0

Kematian pada anak dengan epilepsy dapat disebabkan oleh komplikasi dari
kejang seperti aspirasi atau aritmia, kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid
(hidrosefalus) dan bunuh diri (suicide) atau Sudden Unexpected Death in Epilepsy
(SUDEP). 1
32

3.2. Global Developmental Delay


Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan
anak, diantaranya: motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif, personal atau sosial
aktivitas hidup sehari-hari. Istilah KPG dipakai pada anak berumur kurang dari 5 tahun,
sedangkan pada anak berumur lebih dari 5 tahun saat tes IQ sudah dapat dilakukan dengan
hasil yang akurat maka istilah yangdipergunakan adalah retardasi mental.12,13 Anak
dengan KPG tidak selalu menderita retardasi mental sebab berbagai kondisi dapat
menyebabkan seorang anak mengalami KPG seperti penyakit neuromuskular, palsi
serebral, deprivasi psikososial meskipun aspek kognitif berfungsi baik.13,14

3.2.1. Epidemiologi
Prevalensi GDD sekitar 5-10% pada anak di seluruh dunia, sedangkan di
Amerika Serikat angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3% dari anak-anak berumur
<5 tahun. Etiologi GDD sangat bervariasi, sekitar 80% akibat sindrom genetik atau
abnormalitas kromosom, asfiksia perinatal, disgenesis serebral dan deprivasi
psikososial sedangkan 20% nya belum diketahui. Sekitar 42% dari etiologi
keterlambatan perkembangan global dapat dicegah seperti paparan toksin, deprivasi
psikososial dan infeksi intrauterin, serta asfiksia perinatal.14
Prevalensi GDD adalah 1,8% dan sering ditemukan pada anak berumur lebih
dari 12 bulan (67%). Rasio laki-laki dan perempuan hampir sama 1:1,12. Keluhan
terbanyak adalah belum bisa berbicara pada 16 (24%), belum bisa berbicara dan
berjalan pada 14 (21%), serta belum bisa berjalan pada 12 (18%) pasien. Didapatkan
20% BBLR dan BBLSR, ibu berpendidikan menengah ditemukan pada 68% kasus.
Karakteristik klinis didapatkan 30% gizi kurang, 29% mikrosefali, 20% dicurigai
suatu sindrom. Evaluasi perkembangan menunjukkan 40 (60%) terlambat pada seluruh
sektor perkembangan. Etiologi ditemukan pada 61% dengan penyebab terbanyak
adalah kelainan majemuk, hipotiroid, serebral disgenesis, palsi serebral.15

3.2.2. Etiologi
KPG dapat merupakan manifestasi yang muncul dari berbagai kelainan neuro-
developmental (mulai dari disabilitas belajar hingga kelainan neuromuscular). Berikut
merupakan pendekatan beberapa etiologi GDD:
33

Tabel 3.11. Penyebab Growth Developmental Delay16


Kategori Keterangan
Genetik atau Sindromik Sindrom yang mudah diidentifikasi, misalnya Sindrom Down
Teridentifikasi dalam 20% dari Penyebab genetik yang tidak terlalu jelas pada awal masa
mereka yang tanpa tanda-tanda kanak-kanak, misalnya Sindrom Fragile X, Sindrom Velo-
neurologis, kelainan dismorfik, atau cardio-facial (delesi 22q11), Sindrom Angelman, Sindrom Soto,
riwayat keluarga Sindrom Rett, fenilketonuria maternal, dll
Metabolik Skrining universal secara nasional neonates untuk
Teridentifikasi dalam 1% dari fenilketonuria (PKU) dan defisiensi acyl-Co A Dehidrogenase
mereka yang tanpa tanda-tanda rantai sedang.
neurologis, kelainan dismorfik, atau Misalnya, kelainan siklus/daur urea
riwayat keluarga
Endokrin Terdapat skrining universal neonatus untuk hipotiroidisme
congenital
Traumatik Cedera otak yang didapat
Lingkungan Anak-anak memerlukan kebutuhan dasarnya seperti makanan,
pakaian, kehangatan, cinta, dan stimulasi untuk dapat
berkembang secara normal
Anak-anak tanpa perhatian, diasuh dengan kekerasan, penuh
ketakutan, dibawah stimulasi lingkungan mungkin tidak
menunjukkan perkembangan yang normal
Ini mungkin merupakan faktor yang berkontribusi dan ada
bersamaan dengan patologi lain dan merupakan kondisi yaitu
ketika kebutuhan anak diluar kapasitas orangtua untuk dapat
menyediakan/memenuhinya
Malformasi Serebral Misalnya, kelainan migrasi neuron
Palsi Serebral dan Kelainan Kelainan motorik dapat mengganggu perkembangan secara
Perkembangan Koordinasi umum
(Dispraksia)
Infeksi Infeksi perinatal, misalnya TORCH
Meningitis neonatal
Toksin Fetus: Alkohol maternal atau obat-obatan saat masa kehamilan
Anak: Keracunan timbale
34

3.2.3. Tahap Perkembangan pada Anak


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tumbuh Kembang Anak
Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan normal
yang merupakan hasil interaksi banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor faktor
tersebut antara lain faktor Internal, diantaranya ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur,
jenis kelamin, genetik, dan kelainan kromosom; faktor eksternal, diantaranya faktor
prenatal (gizi, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, kelainan
imunologi, anoksia embrio, dan psikologi ibu), faktor persalinan, faktor pasca
persalinan (gizi, penyakit kronis/kelainan kongenital, lingkungan fisis dan kimia,
psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi, dan obat-
obatan).16,17

Aspek-aspek Perkembangan yang Dipantau


Aspek-aspek perkembangan yang dipantau meliputi:17
1. Motorik kasar, adalah aspek yang berhubungan dnegna kemampuan
anakmelakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar
seperti duduk, berdiri, dan sebagainya.
2. Motorik halus, adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak
untuk melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat
seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis, dan sebagainya.
3. Kemampuan bicara dan bahasa, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya.
4. Sosialisasi dan kemandirian, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya, dan sebagainya.

Deteksi dini merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara komprehensif


untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal
faktor resiko pada anak usia dini. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan
tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi,
penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa
35

proses tumbuh kembang. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal
pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan.17,18
Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi dini
gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau panduan
skala khusus, misalnya: menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test
II), Child Development Inventory untuk menilai kemampuan motorik kasar dan
motorik halus, Ages and Stages Questionnaire, Parents Evaluations of Developmental
Status. Serta dapat menggunakan alat-alat skrining yang lebih Spesifik dan khusus
yaitu ELMS (Early Language Milestone Scale) dan CLAMS (Clinical Linguistic and
Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai kemampuan bahasa ekspresif, reseptif,
dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.19,20
Secara umum, keterlambatan perkembangan umum pada anak dapat dilihat
dari milestones perkembangan dan beberapa tanda bahaya (red flags) perkembangan
anak sederhana.18,19

3.2.4. Milestone Perkembangan Motorik Kasar dan Red Flag

Tabel 3.12. Milestone Perkembangan Motorik Kasar dan Red Flag18,19


Kemampuan Motorik Kasar Umur Rata-Rata Red Flag
Berguling dari telungkup dan terlentang 3,6 bulan 6-8 bulan
Berguling dari terlentang ke telungkup 4,8 bulan 9 bulan
Duduk disokong 5,3 bulan 6 bulan
Duduk tanpa disokong 6,3 bulan 8-10 bulan
Merayap 6,7 bulan
Duduk dari posisi berbaring 7,5 bulan
Merangkak 7,8 bulan 12 bulan
Berdiri berpegangan dari posisi duduk 8,1 bulan 12 bulan
Berjalan pegangan meja (merambat) 8,8 bulan
Jalan tanpa berpegangan 11,7 bulan 15-18 bulan
Jalan ke belakang 14,3 bulan
Berlari 14,8 bulan 21-24 bulan
36

Tabel 3.13. Milestone Perkembangan Motorik Kasar berdasarkan Umur18,19


Usia 0-3 bulan
Mengangkat kepala setinggi 45o dan dada ditumpu lengan pada waktu tengurap
Menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah
Usia 3-6 bulan
Berbalik dari telungkup ke telentang
Mengangkat kepala setinggi 90o
Mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil
Usia 6-9 bulan
Duduk sendiri (dalam sikap bersila)
Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
Usia 9-12 bulan
Mengangkat badannya ke posisi berdiri
Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan kursi
Dapat berjalan dengan dituntun
Usia 12-18 bulan
Berdiri sendri tanpa berpegangan
Membungkuk untuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
Berjalan mundur 5 langkah
Usia 18-24 bulan
Berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik
Berjalan tanpa terhuyung-huyung
Usia 24-36 bulan
Jalan menaiki tangga sendiri
Dapat bermain dan menendang bola kecil
Usia 36-48 bulan
Berdiri pada satu kaki selama 2 detik
Melompat dengan kedua kaki diangkat
Mengayuh sepeda roda tiga
Usia 48-60 bulan
Berdiri pada satu kaki selama 6 detik
Melompat lompat dengan satu kaki
Menari
Usia 60-72 bulan
Berjalan lurus
Berdiri dengan satu kaki selama 11 detik
37

Tanda Bahaya (Red Flag) Perkembangan Motorik Kasar18,19


1. Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota tubuh
bagian kiri dan kanan.
2. Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga lebih dari
usia 6 bulan
3. Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot
4. Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh
5. Adanya gerakan yang tidak terkontrol

3.2.5. Milestone Perkembangan Bicara-Bahasa dan Red Flag


Tabel 3.14. Milestone Perkembangan Bicara-Bahasa dan Red Flag18,19
Umur
Umur
Keterampilan Bahasa dikatakan Red Flag
Perolehan
Terlambat
Baru lahir Respon terhadap suara Segera setelah Tidak ada respon terhadap suara
lahir
Baru lahir Ketertarikan sosial terhadap Segera setelah Tidak tertarik untuk berinteraksi
wajah dan orang lahir dengan orang
2-4 bulan Cooing, menoleh kea rah 4 bulan Tidak ada respon terhadap setiap
pembicara usaha untuk berkomunikasi setelah
umur 4 bulan
4-9 bulan Babbling (mengulang 9 bulan Kehilangan kemampuan untuk
konsonan atau kombinasi Babbling
fokal)
6 bulan Respon terhadap suara 9 bulan Lokalisasi terhadap arah suara lemah
atau tidak responsive
9-12 bulan Memahami perintah verbal 15 bulan Pemahaman yang lemah terhadap
perintah verbal rutin seperti da da
9-12 bulan Menunjuk 15 bulan Sekali-kali bisa menunjuk untuk
menyatakan keinginannya, tetapi tidak
bisa menunjuk benda yang menarik
perhatiannya
10-16 bulan Memproduksi kata-kata 18 bulan Gagal menggunakan kata-kata, gagal
tunggal menambah kata-kata baru, kehilangan
kata-kata yang sebelumnya didapat
10-16 bulan Menunjuk bagian-bagian 18 bulan Tidak bisa menunjuk bagian bagian
ubuh, atau memahami kata- tubuh, atau tidak bisa mengikuti
kata tunggal perintah sederhana
38

18-24 bulan Memahami kalimat 24 bulan Pemahaman minimal dan bermain


sederhana symbol yang terbatas
18-24 bulan Perbendaharaan kata 30 bulan Kurang dari 30 kata pada umur 24
meningkat pesat bulan atau kurang dari 50 kata pada
umur 30 bulan
18-24 bulan Mengucapkan kalimat yang 30 bulan Gagal membuat kalimat yang terdiri
terdiri dari 2 kata/lebih dari 2 kata-kata, keika perbendaharaan
kata >50 kata
24-36 bulan Pengertiannya bagus 36 bulan Lebih setengah dari percakapan
terhadap percakapan yang keluarga yang di mengerti, setelah
sudah familiar pada keluarga anak umur lebih dari 2 tahun
30-36 bulan Percakapan melalui tanya 36 bulan Sering menirukan terhadap apa yang
jawab dikatakan orang (echolalia)
30-42 bulan Mampu bercerita pendek 48 bulan Tidak sepenuhnya bisa menceritakan
atau mampu bertanya kembali
mengapa
36-48 bulan Pengertiannya bagus 48 bulan Lebih dari seperempat kata-katanya
terhadap kata-kata yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain
familiar setelah umur 4 tahun
36-48 bulan Mampu membuat kalimat 48 bulan Hanya mampu menggunakan kalimat
yang sempurna pendek dan sederhana
5 tahun Mampu memproduksi 5 tahun Salah melafalkan konsonan
konsonan dasar dengan
benar
7 tahun Mampu memproduksi semua 7 tahun Kurang mampu mengucapkan
bunyi kombinasi huruf

Tanda Bahaya Bicara dan Bahasa (ekspresif) 18,19


1. Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan
terhadap suatu benda pada usia 20 bulan
2. Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan
3. Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan

Tanda Bahaya Gangguan Motorik Halus18,19


1. Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan
2. Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun
39

3. Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih sangat


dominan setelah usia 14 bulan
4. Perhatian penglihatan yang inkonsisten

Tanda Bahaya Gangguan Sosio-Emosional18,19


1. 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain
2. 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah
3. 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya
4. 15 bulan: belum ada kata
5. 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura
6. 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berarti
7. Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi /
interaksi

Tanda Bahaya Gangguan Kognitif18,19


1. 2 bulan: kurangnya fixation
2. 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda
3. 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara
4. 9 bulan: belum babbling seperti mama, baba
5. 24 bulan: belum ada kata berarti
6. 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata

3.2.6. Manifestasi Klinis


Mengetahui adanya GDD memerlukan usaha karena memerlukan perhatian
dalam beberapa hal. Padahal beberapa pasien seringkali merasa tidak nyaman bila di
perhatikan. Akhirnya membuat orang tua sekaligus dokter untuk agar lebih jeli dalam
melihat gejala dan hal yang dilakukan oleh pasien tersebut. Skrining prosedur yang
dilakukan dokter, dapat membantu menggali gejala dan akan berbeda jika skrining
dilakukan dalam sekali kunjungan dengan skrining dengan beberapa kali kunjungan
karena data mengenai panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas dan berat
badan. Mengacu pada pengertian GDD yang berpatokan pada kegagalan
perkembangan dua atau lebih domain motorik kasar, motorik halus, bicara, bahasa,
kognitif, sosial, personal dan kebiasaan sehari-hari dimana belum diketahui penyebab
dari kegagalan perkembangan ini. Terdapat hal spesifik yang dapat mengarahkan
40

kepada diagnosa klinik KPG terkait ketidakmampuan anak dalam perkembangan


milestones yang seharusnya, yaitu: 19,20
1. Anak tidak dapat duduk di lantai tanpa bantuan pada umur 8 bulan
2. Anak tidak dapat merangkak pada 12 bulan
3. Anak memiliki kemampuan bersosial yang buruk
4. Anak tidak dapat berguling pada umur 6 bulan
5. Anak memiliki masalah komunikasi
6. Anak memiliki masalah pada perkembangan motorik kasar dan halus

3.2.7. Diagnosis
1) Anamnesis
Dokter memulai anamnesis dengan mendengarkan penjelasan orangtua secara
seksama tentang perkembangan anaknya. Orang tua dapat mencatat setiap
keterlambatan perkembangan, perubahan tubuh dan kurang responsifnya anak
tersebut, sehingga perlu perhatian khusus. Tiap orangtua tentunya memiliki daerah
perhatian yang berbeda. Penggalian anamnesis secara sistematis meliputi, resiko
biologi akibat dari gangguan prenatal atau perinatal, perubahan lingkungan akibat
salah asuh, dan akibat dari penyakit primer yang sudah secara jelas terdiagnosis saat
infant. 19

Tabel 3.15. Anamnesis Keterlambatan Perkembangan Global19


Faktor Prenatal-Maternal
Penyakit akut/kronis (HIV, dll)
Penggunaan obat/alcohol
Toksemia
Riwayat abortus
Faktor Perinatal
Komplikasi obstetric
Prematuritas
Berat badan lahir rendah
Multipara
Faktor Neonatus
Kejadian neurologis (kejang, perdarahan intraventrikuler, dll)
Sepsis / meningitis
Hiperbilirubinemia berat
Hipoksia akibat distress pernafasan
41

Faktor Postnatal
Kejang
Sepsis / meningitis
Otitis media berulang
Gizi buruk
Terpapar racun toksik
Faktor dari Riwayat Keluarga
Perkembangan terlambat
Tuli
Buta
Abnormalitas kromosom
Faktor Sosial Keluarga
Gangguan mental
Sosioekonomi rendah
Kejadian traumatic

2) Pemeriksaan fisik
Faktor risiko untuk keterlambatan dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik.
Pengukuran lingkar kepala (yang mengindikasikan mikrosefali atau makrosefali)
adalah bagian penting dalam pemeriksaan fisik. Perubahan bentuk tubuh sering
dihubungkan dengan kelainan kromosom, atau faktor penyakit genetik lain sulit dilihat
dalam pemeriksaan yang cepat.19 Sebagai tambahan, pemeriksaan secara terstruktur
dari mata, yaitu fungsi penglihatan dapat dilakukan saat infant, dengan menggunakan
pemeriksaan sederhana seperti meminta mengikuti arah cahaya lampu. Saat anak
sudah memasuki usia pre-school, pemeriksaan yang lebih mendalam diperlukan
seperti visus, selain itu pemeriksaan saat mata istirahat ditemukan adanya strabismus.
Pada pendengaran, dapat pula dilakukan test dengan menggunakan brain-stem evoked
potentials pada infant. Saat umur memasuki 6 bulan, kemampuan pendengaran dapat
dites dengan menggunakan peralatan audiometri. Pada usia 3-4 tahun, pendengaran
dapat diperiksa menggunakan audiometer portable. Pemeriksaan telinga untuk mencari
tanda dari infeksi otitis media menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena bila
terjadi secara kontinyu akan menyebabkan gangguan pendengaran ringan.
Pemeriksaan kulit secara menyeluruh dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit
ektodermal seperti tuberous sklerosis atau neurofibromatosis yang dihubungkan
dengan delay. Pemeriksaan fisik juga harus meliputi pemeriksaan neurologi yang
42

berhubungan dengan perkembangan seperti adanya primitive reflek, yaitu moro reflex,
hipertonia atau hipotonia, atau adanya gangguan tonus.19,20

3) Pemeriksaan Penunjang
Secara umum, pemeriksaan laboratorium untuk anak dengan kemungkinan
gangguan perkembangan tidak dibedakan dengan tes skrining yang dilakukan pada
anak yang sehat. Hal ini penting dan dilakukan dengan periodik. Adapun beberapa
pemeriksaan penunjangnya antara lain adalah skrining metabolik, tes sitogenetik,
skrining tiroid, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG), dan Imaging.20,21

3.2.8. Penatalaksanaan
Pengobatan bagi anak-anak dengan KPG hingga saat ini masih belum
ditemukan. Hal itu disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik, dimana anak anak
belajar dan berkembang dengan cara mereka sendiri berdasarkan kemampuan dan
kelemahan masing-masing. Sehingga penanganan KPG dilakukan sebagai suatu
intervensi awal disertai penanganan pada faktor-faktor yang beresiko
menyebabkannya. Intervensi yang dilakukan, antara lain: 17,18,21

A. Speech and Language Therapy


Speech and Language Therapy dilakukan pada anak-anak dengan
kondisi Cerebral Palsy, autism, kehilangan pendengaran, dan KPG. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, berbahasa dan oral
motoric abilities. Metode yang dilakukan bervariasi tergantung dengan kondisi
dari anak tersebut. Salah satunya, metode menggunakan jari, siulan, sedotan
atau barang yang dapat membantu anak-anak untuk belajar mengendalikan otot
pada mulut, lidah dan tenggorokan. Metode tersebut digunakan pada anak-anak
dengan gangguan pengucapan. Dalam terapi ini, terapis menggunakan alat-alat
yang membuat anak-anak tertarik untuk terus belajar dan mengikuti terapi
tersebut. 17,18,21

B. Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi lebih
mandiri dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak, tugas
mereka antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti
43

mandi, memakai pakaian, makan, dan lain-lain. Sehingga anak-anak yang


mengalami kemunduran pada kemampuan kognitif, terapi ini dapat membantu
mereka meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi permasalahannya.
17,18,21

C. Physical Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar
dan halus, keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya tahannya.
Kemampuan motorik kasar yakni kemampuan untuk menggunakan otot yang
besar seperti berguling, merangkak, berjalan, berlari, atau melompat.
Kemampuan motorik halus yakni menggunakan otot yang lebih kecil seperti
kemampuan mengambil barang. Dalam terapi, terapis akan memantau
perkembangan dari anak dilihat dari fungsi, kekuatan, daya tahan otot dan
sendi, dan kemampuan motorik oralnya. Pada pelaksanaannya, terapi ini
dilakukan oleh terapi dan orang-orang yang berada dekat dengan anak tersebut.
Sehingga terapi ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 17,18,21

D. Behavioral Therapy
Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada
dirinya dan memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan bersikap
agresif atau buruk seperti melempar barang-barang, menggigit, menarik
rambut, dan lainlain. Behavioral therapy merupakan psikoterapi yang berfokus
untuk mengurangi masalah sikap dan meningkatkan kemampuan untuk
beradaptasi. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain dalam
pelaksanaanya. Namun, terapi ini bertolak belakang dengan terapi kognitif. Hal
itu terlihat pada terapi kognitif yang lebih fokus terhadap pikiran dan
emosional yang mempengaruhi sikap tertentu, sedangkan behavioural therapy
dilakukan dengan mengubah dan mengurangi sikap-sikap yang tidak
diinginkan. Beberapa terapis mengkombinasikan kedua terapi tersebut, yang
disebut cognitive-behavioural therapy. 17,18,21
44

3.2.9. Prognosis
Prognosis GDD pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan
penegakkan diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan
pemberian terapi yang tepat, sebagian besar anak-anak memberikan respon yang baik
terhadap perkembangannya. Walau beberapa anak tetap menjalani terapi hingga
dewasa. Hal tersebut karena kemampuan anak itu sendiri dalam menanggapi
terapinya. Beberapa anak yang mengalami kondisi yang progresif (faktor-faktor yang
dapat merusak sistem saraf seiring berjalannya waktu), akan menunjukkan
perkembangan yang tidak berubah dari sebelumnya atau mengalami kemunduran.
Sehingga terapi yang dilakukan yakni meningkatkan kemampuan dari anak tersebut
untuk menjalani kesehariannya. 17,18
45

BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, berdasarkan alloanamnesis dengan orang tua pasien, pasien dibawa ke
rumah sakit dengan keluhan kejang + 1 jam yang lalu (SMRS); kejang tanpa provokasi
sebanyak satu kali, kejang tonik umum yang didahului kejang fokal dan kejang berlangsung
selama + 15-30 menit, mata mendelik keatas, postictal sadar. Kejang yang sama terjadi 5-6
kali dalam 1 bulan terakhir.
Diagnosis epilepsy dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode kejang
tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih. Kejang tanpa provokasi adalah kejang
yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma atau
kelainan intracranial akut lainnya. Diagnosis epilepsy merupakan diagnosis klinis yang
terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.1
Pasien memiliki riwayat kejang demam sejak usia 8 bulan hingga saat ini 2 bulan
terakhir. Kejang demam terjadi 1-2 kali per tahun. Pasien sejak saat itu mendapat pengobatan
anti kejang. Riwayat penyakit non-kejang disangkal. Paman pasien memiliki penyakit
epilepsi. Pasien berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah. Pada riwayat
kelahiran dan kehamilan, pasien lahir dengan asfiksia dan sianosis. Riwayat imunisasi
lengkap dan riwayat gizi berserta status gizi baik.
Berdasarkan riwayat sebelumnya, diketahui bahwa riwayat penyakit non-kejang
disangkal dan pasien tidak sedang mengidap penyakit selain kejang atau kondisi medis
abnormal lainnya yang dapat memprovokasi timbulnya kejang. Hal ini membantu dalam
penegakkan diagnosis kerja utama pada pasien adalah epilepsi.1
Berdasarkan riwayat sebelumnya, etiologi dan faktor risiko yang berpotensi untuk
menyebabkan epilepsy dapat ditentukan. Etiologi kejang umum dapat berupa idiopatik, faktor
genetik, dll.1,6 Kondisi antenatal dengan asfiksia dan adanya kejang demam pada kondisi
postnatal dapat berisiko untuk terjadinya bangkitan kejang epileptik/epilepsy.1,7 Tidak
ditemukan hubungan yang pasti mengenai kelengkapan imunisasi dan status gizi baik pada
kasus dengan diagnosis epilepsi.
Berdasarkan alloanamnesis riwayat perkembangan, pasien berusia 42 bulan. Pasien
bisa menegakkan kepala pada usia 4 bulan, tengkurap pada usia 5 bulan, duduk pada usia 10
bulan, berdiri pada usia 24 bulan, belum dapat berjalan, dan bisa berbicara pada usia 30 bulan
dan mengerti lawan bicara dengan kosa kata seedikit dan mengucapkan 1 kata untuk
mengutarakan keinginan hingga saat ini.
46

Berdasarkan milestones perkembangan, anak sudah dapat duduk pada rata-rata usia 5-
9 bulan. Rata-rata anak sudah dapat berdiri pada usia 12-18 bulan dan berjalan 18-24 bulan.
Pada rentang usia 36-48 bulan, anak dengan perkembangan yang normal mampu membuat
kalimat yang sempurna.18,19 Pasien mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisik
berupa perkembangan fungsi motorik kasar dan fungsi bicara.
Pada pasien (42 bulan) didapatkan keterlambatan perkembangan yang signifikan pada
fungsi motorik kasar dan fungsi bicara. Keterlambatan perkembangan yang signifikan pada
dua atau lebih domain perkembangan anak (motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif,
personal atau sosial aktivitas hidup sehari-hari) merupakan Keterlambatan Perkembangan
Global (KPG). Istilah KPG dipakai pada anak berumur kurang dari 5 tahun. KPG juga dikenal
dengan istilah Global Developmental Delay (GDD). 12,13,14
Faktor eksternal berupa faktor antenatal (sianosis dan asfiksia) serta faktor postnatal
(riwayat kejang berulang; epilepsy, dll) berpengaruh terhadap pertumbuhan otak
(unilateral/bilateral). Hal tersebut mempengaruhi tumbuh kembang anak pada kondisi normal
dan dapat menyebabkan Global Development Delay (GDD).9,16,17
Pada hasil pemeriksaan fisik umum, pasien sedang tidak mengalami bangkitan kejang.
Pasien tampak sakit sedang, dengan suhu axilla 36,9oC. Pemeriksaan fisik spesifik dan
pemeriksaan neurologis tidak menunjukkan adanya kelainan (abnormalitas). Pemeriksaan
penunjang laboratorium hematologi tidak menunjukkan adanya hasil yang signifikan selain
hemoglobin (10,8 g/dl) dan hematokrit (33%) yang sedikit berada dibawah batas ambang
normal. Pada pasien direncanakan pemeriksaan EEG namun tidak dilakukan karena masalah
teknis peralatan EEG di rumah sakit.
Tidak adanya kelainan (abnormalitas) dari pemeriksaan fisik, neurologis serta tidak
adanya peningkatan suhu signifikan yang berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang
menunjukkan bahwa pada kasus benar adanya kejang terjadi tanpa provokasi dan membantu
penegakkan diagnosis epilepsi.1,6,7,9 Pemeriksaan laboratorium hematologi pada kasus tidak
menunjukkan hal signifikan yang berhubungan dengan epilepsy ataupun kelainan lain yang
berpotensi untuk timbul..
Pada kasus sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). EEG
merupakan pemeriksaan penunjang standar untuk diagnosis epilepsi walaupun bukan baku
emas pemeriksaan. EEG dapat menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.1,10
Selain EEG, pemeriksaan pencitraan MRI juga dapat dilakukan pada kasus epilepsi. Pada
kasus ini pencitraan MRI kurang diperlukan karena tidak memenuhi indikasi pencitraan MRI
pada dugaan kasus epilepsi.10
47

Berdasarkan analisa tersebut, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik-neurologis, dan


rencana pemeriksaan penunjang, penegakkan diagnosis kerja Epilepsi yang disertai Global
Developmental Delay (GDD) pada kasus sudah tepat.
Berdasarkan hasil alloanamnesis, pasien dibawah orang tua ke rumah sakit dengan
kondisi tidak kejang. Pada kejang tanpa provokasi yang terjadi di rumah (+ 1 jam SMRS)
pasien diberikan stesolid 10 mg melalui anus sebagai tatalaksana awal.
Penatalaksanaan saat kejang (fase akut) dimulai dengan pemberian diazepam per
rectal/suppositoria (seperti: stesolid) sesuai dengan berat badan (BB>12kg; stesolid 10 mg).
Diazepam rektal dapat diberikan di rumah maksimal 2 kali (1 kali dalam jarak waktu 5
menit); jika kejang berlanjut, anak diharapkan dibawa ke rumah sakit.11 Orang tua pasien
sudah melakukan tindakan yang tepat.
Terapi medikamentosa awal yang diberikan di rumah sakit adalah rehidrasi cairan
dengan IVFD D5% NS gtt XII x/menit, Injeksi Dexamethasone 3x4 mg, dan Depakene oral
2x2 cc. Diazepam 4 mg di injeksi apabila terjadi bangkitan kejang kembali. Terapi tersebut
dilanjutkan hingga hari terakhir pasien dipulangkan dari rumah sakit.
Terapi cairan pada kasus bangkitan kejang/epilepsi diberikan cairan glukosa dan
rendah natrium untuk maintenance dan mencegah eksitasi muatan listrik berulang pada otak
dan menimbulkan kejang kembali.1,11 Jika terjadi bangkitan kejang kembali, Diazepam dapat
diberikan secara intravena dengan dosis 0,2 0,5 mg/kgBB11 (BB: 14,8 kg; dosis 2,96 7,4
mg IV). Pertimbangan pemberian dosis diazepam intravena sudah tepat.
Kortikosteroid dapat diberikan jika terdapat kemungkinan kerusakan/edema otak,
khususnya jika kejang lebih dari 30 menit. Namun, pada kasus kejang yang sering dan
berulang, termasuk epilepsi, kerusakan neuron otak dapat terjadi dan kortikosteroid (seperti
Dexamethasone) dapat diberikan sebagai NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs).
Dexamethasone IV dapat diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kgBB/kali pemberian,
diberikan 3 kali sehari. Pemberian Dexamethasone injeksi 3x4 mg pada kasus sudah tepat
(BB: 14,8 kg; dosis 2,96 4,44 mg/kali pemberian).
Dalam pengobatan epilepsi, pemilihan obat anti epilepsi (OAE) perlu
dipertimbangkan. Asam valproat efektif untuk tatalaksana beberapa epilepsi umum idiopatik.1
Asam valproat selain dapat menghambat sodium chanel juga dapat meningkatkan GABA
dengan menghambat degradasinya atau mengaktivasi sintesis GABA.22 Tidak ada
kontraindikasi tertentu berdasarkan tipe kejang dibandingkan OAE lini pertama lainnya.
Depakene (Asam Valproat) dapat diberikan dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari dibagi 2
48

dosis. Pemberian Depakene oral 2x2 cc pada kasus sudah tepat (BB: 14,8 kg; dosis 222
592 mg dibagi 2 dosis; sediaan Depakene sirup oral 250 mg/5 cc; 2x2 cc = 2x125 mg).
Berdasarkan analisa tersebut, tatalaksana berupa terapi cairan dan medikamentosa,
output akhir dari tatalaksana pada kasus ini yaitu epilepsi sudah tepat.
Selama pengobatan epilepsi, baik di rumah maupun di rumah sakit, sebaiknya
dilakukan edukasi umum tentang epilepsy pada pasien (anak) dan orang tuanya. Edukasi
dapat berupa penjelasan mengenai anak dengan epilepsi, jenis epilepsi, rencana terapi, efek
samping dan interaksi obat OAE (obat anti epilepsi), aktifitas yang diperbolehkan serta
pengaruh epilepsi dalam kehidupan sehari-hari. Edukasi juga meliputi manajemen risiko dan
perlunya menghindari faktor pencetus kejang.1
Pada kasus ini, selain pasien mengalami epilepsi, terdapat juga kondisi medis lain
yaitu Global Developmental Delay (GDD). Pada pasien ini terjadi keterlambatan
perkembangan fungsi motorik kasar dan fungsi bicara. Pengobatan bagi anak dengan GDD
hingga saat ini masih belum ditemukan. Sehingga penanganan GDD dilakukan sebagai suatu
intervensi awal disertai penanganan pada faktor risiko. Intervensi yang dapat dilakukan pada
kasus ini antara lain adalah dengan Speech and Language Therapy dan Physical Therapy.
17,18,21
49

BAB V
PENUTUP

Epilepsi adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih episode kejang tanpa provokasi
dengan interval 24 jam atau lebih. Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang
terutama ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.
Beberapa jenis epilepsy memiliki prognosis baik, dalam arti menghilang seiring
bertambahnya usia. Epilepsi dalam prognosis buruk dalam arti tidak pernah mencapai periode
bebas kejang.
Global Developmental Delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan anak,
diantaranya motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif, personal atau sosial aktivitas hidup
sehari-hari yang terjadi pada anak berumur kurang dari 5 tahun.
Prognosis GDD pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan penegakkan
diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan pemberian terapi yang tepat,
sebagian besar anak-anak memberikan respon yang baik terhadap perkembangannya.
50

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawan M, Setyo H, Nelly AR. Epilepsi pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
2. McAbee GN, Wark JE. A practical approach to uncomplicated seizures in children. Am
Fam Physician 2000;62(5):1109-16.
3. Annegers JF, Rocca WA, Hauser WA. Cause of epilepsy: contributions of the Rochester
epidemiology project. Mayo Clin Proc. 1996;71(6):570-575.
4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Gangguan kejang pada bayi dan anak. In :
Rudolph AM, Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta :
EGC; 2007.p.2134-40.
5. Shorvon S. Epilepsy. In : Shorvon S, editors. Handbook of Epilepsy Treatment.
Blackwell science Ltd. 2000 :1-4
6. Robert F, Maslah S. Etiologies of Seizures. In: Overview of Epilepsy. 3rd ed. Stanford
Neurology. 2010: 8-10.
7. Wiknjosastro. Kehamilan dan Janin dengan Risiko Tinggi dalam Ilmu Kebidanan. Edisi
ketiga, Cetakan keempat. Yayasan Bina Pustaka Jakarta. 1997: 33-9.
8. Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 1990; 336:291-295.
9. Wyler AR. Modern management of epilepsy. Postgrad Med. 1993. 94(3):97-108
10. Moshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostic evaluation. In: Engel J, Pedley TA, editors.
Epilepsy: A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol One. Philadelphia : Lippincott
Wiliams & Wilkins ; 2008 : 785 89.
11. Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A. Penatalaksanaan Kejang. In : Sareharto TP,
Bahtera T, Putranti AH, editors. Buku Ajar llmu Kesehatan Anak. Semarang: Balai
Penerbit UNDIP; 2011.p.138-39.
12. Shevell MI. The evaluation of the child with a global developmental delay. Seminar
Pediatric Neurology. 1998;5:2126.
13. Fenichel GM. Psychomotor retardation and regression. Dalam: Clinical Pediatric
Neurology: A signs and symptoms approach. Edisi ke-4.Philadelphia: WB Saunders;
2001.h.11747.
51

14. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirzt D, dkk. Practice parameter:
Evaluation of the quality standards subcommittee of the American Academy of
Neurology and the practice committee of the child neurology society. Neurology
2003;60:67-80.
15. Melati D, Windiani IGAT, Soetjiningsih. Karakteristik Klinis Keterlambatan
Perkembangan Global Pada Pasien di Poliklinik Anak RSUP Sanglah Denpasar. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
16. Walters AV. Development Delay: Causes and Identification. ACNR 2010; 10(2);32-4.
17. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak
di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan RI. 2005.
18. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Indonesia. [Diakses pada 15 November 2017]. http //idai.or.id/public-
articles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-perkembangan-umum-pada-
anak.html.
19. First LR, Palrey JS. Current Concepts: The Infant or Young Child with Developmental
Delay. The New England Journal of Medicine 1994; 7478-483.
20. Srour M, Mazer B, Shevell MI. Analysis of clinical features predicting etiologic yield in
the Assessment of global development delay. Pediatrics 2006;118:139-45.
21. Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1990;
306-311.
22. Sulistia GG, Rianto SN, Elysabeth. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. BP FKUI.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai