PENDAHULUAN
BAB II
ISI
2.1. Sejarah
1
Meningoensefalokel dalam banyak literatur disamakan dengan ensefalokel.
Dokumentasi yang ditulis pertama kali tentang ensefalokel dapat dijumpai pada
patung kuno dan seni abad pertengahan. Abnormalitas ini sering digambarkan
sebagai seorang iblis atau monster. Gambaran paling awal dibuat oleh Forestus
(1590). Satu setengah abad kemudian Friderici (1737) memperlihatkan
penemuannya dari otopsi seorang anak yang lahir mati dengan bentuk Robert’s
Syndrome yang berat dan berhubungan dengan ensefalokel anterior. Monografi
pertama tentang ensefalokel ditulis oleh Corvinus tahun 1749. Patogenesis
ensefalokel nasal frontal kontroversial selama bertahun-tahun. Banyak teori telah
diajukan untuk menjelaskan perkembangan dari anomali kongenital ini.1
Pada abad ke-19, Saint Hillaire (1827) mengemukakan teori berdasarkan
percobaan pada embrio ayam yang dikenal dengan “hernie du cerveau”. Ia
memprovokasi perlekatan, yang dilakukan dengan tekanan intrauterin, untuk
dibentuk antara otak dan membran germinal, yang memicu hambatan
perkembangan kubah kranial anterior (cranial vault). Herniasi otak kemudian
terjadi melalui celah patologis ini.1
Beberapa tahun kemudian, Himly (1829) dan Serres (1832) mengajukan
bahwa hernia terbentuk melalui celah di tulang. Pada 1854, Spring memberi
hipotesis bahwa ensefalokel terjadi sebagai akibat dari dilatasi ventrikel. Tahun
1850, Rokitansky menyatakan bahwa herniasi kongenital otak disebabkan oleh
peningkatan ekstrim organ dalam jumlah besar. tahun 1882, Ankerman
bependapat lesi ini sebagai status hidrosefalik. Schmidt tahun 1900 mengklaim
sisa-sisa bulbus olfaktorius sebagai penyebab utama dari ensefalokel.1
2.2.Definisi
Meningoensefalokel (Meningoencephalocele) merupakan suatu kelainan tabung
saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) diseratai
dengan jaringan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada
tulang tengkorak serta ditutupi kulit.1,2 Adanya jaringan otak pada kantung ini
yang membedakannya dengan meningokel.
Meningoensefalokel terjadi akibat kegagalan menutupnya pembuluh saraf
selama perkembangan janin di awal kehamilan. Akibatnya, terbentuk celah yang
dapat terjadi di sepanjang garis tengah kepala. Bisa di belakang kepala, puncak
2
kepala, atau di antara dahi dan hidung. Melalui celah inilah, sebagian struktur otak
dan selaput otak keluar.1
2.3. Klasifikasi
Beberapa pola klasifikasi telah diajukan oleh banyak penulis sejak masa
lampau, yang menyebabkan sedikit kebingungan dalam mengkategorikan jenis
lesi. Klasifikasi yang saat ini baik diterima adalah klasifikasi berdasarkan lokasi
anatomi dari defek tengkorak. Ensefalokel primer merujuk kepada lesi yang sudah
ada sejak lahir atau merupakan unsur kongenital. Ensefalokel sekunder
merupakan lesi yagn didapat yang mayoritas terjadi karenadefek pasca trauma
atau pasca pembedahan.
3
dekat vertex (tipe parietal) atau anterior dari inion (tipe oksipital). Insidensi
keseluruhan esefalokel adalah sekitar 0,8 sampai 3,0 per 10.000 kelahiran hidup
dan jika dibandingkan dengan di spinal, ensefalokel sekitar 10 sampai 20% dari
semua disrafisme kraniospinal. Ensefalokel sekitar 10-15% dari semua defek
tabung neural.1
2.4. Epidemiologi
Insidensi ensefalokel atau meningoensefalokel bervariasi diseluruh dunia
berdasarkan letak geografis dan ras. Oksipital ensefalokel mencakup 85% dari
seluruh tipe ensefalokel. Tujuh puluh persen oksipital ensefalokel terjadi pada
wanita dan 15-20% ditemukan berhubungan dengan defek tabung neural.
Sebaliknya, anterior ensefalokel terjadi dengan frekuensi yang lebih besar (1
dalam 3500 – 1 dalam 5000 kelahiran hidup) di Asia Tenggara (Thailand,
Indonesia, Burma, Filipina, Malaysia), bagian Rusia, di pusat Afrika. Insidensi
anterior ensefalokel di amerika utara diperkirakan 1 dalam 35000 kelahiran hidup.
Basal ensefalokel lebih jarang dan terdapat pada <10% ensefalokel. Temporal
ensefalokel lebih jarang lagi terjadi, hanya ,1% dari malformasi serebrospinal.
Insidensi yang sebenarnya dari ensefalokel sekunder yang disebabkan trauma atau
defek pasca bedah masih belum jelas.1
4
2.6. Etiologi
Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi, faktor usia
ibu yang tertalu muda atau tua ketika hamil, mutasi genetik, serta pola makan
yang tidak tepat sehingga mengakibatkan kekurangan asam folat. Langkah
selanjutnya, sebelun hamil, ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam
jumlah cukup.3,4
5
Gejala dari meningoensefalokel, antara lain berupa hidrosefalus, kelumpuhan
keempat anggota gerak (kuadriplegia spastik), gangguan perkembangan,
mikrosefalus, gangguan penglihatan, keterbelakangan mental dan pertumbuhan,
ataksia, serta kejang. Beberapa anak memiliki kecerdasan yang normal.1,3,4
Gambar 2.2. Bayi perempuan dengan parietal ensefalokel disertai cleft lip, palate
6
Gambar 2.7. Anak laki-laki usia 2 tahun dengan Interfrontal Ensefalokel
7
atau masssa diensefalok. MRI angiografi berfungsi untuk menilai vaskularisasi
yang berhubungan dengan bagian dalam meningoensefalokel.1,3
2.8. Penatalaksanaan
Jika kantong tidak ruptur dan tidak ada kebocoran cairan serebrospinal (CSF),
perbaikan secara pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Pada pasien-pasien
dengan oksipital ensefalokel, pasien diposisikan dengan posisi kepala yang
mengamankan bagian meningoensefalokel, yaitu diletakkan diatas bantal yang
lunak dan menyesuaikan dengan bentuk meningensefalokel untuk mencegah
kantong ruptur. Antibiotik dosis tunggal (sefalosporin generasi pertama)
diberikan. Bagian ensefalokel dirawat dengan cairan povidone iodine.1
Jika defek tulang kecil, tidak ada penanganan spesifik dari defek tulang.
Namun jika terdapat defek kalvaria yang besar, dilakukan ekstensi kulit ke bagian
parietal terdekat. Full-thickness craniotomy dapat dilakukan untuk membentuk
defek tengkorak. Metode lain yang dilakukan pada defek kalvaria yang besar
adalah dengan menutup ensefalokel terlebih dahulu, kemudian (usia 2 tahun)
dilakukan kranioplasti autolog menggunakan split thickness calvarial graft. Baru-
baru ini juga dapat dilakukan kranioplasti dengan tulang buatan.1
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sampai saat ini kelainan cacat bawaan salah satunya meningoensefalokel masih
ditemukan bahkan di Indonesia. Insidensi ensefalokel berhubungan dengan
infeksi, zat teratogenik.
Dalam praktik klinis, sebagai dokter umum, diperlukan kemampuan untuk
memberikan rujukan secara muldisiplin yang melibatkan kolaborasi berbagai ahli
dalam penanganan pasien dengan kecurigaan meningoensefalokel.
3.2. Saran
Dalam praktik umum, setiap pasien-pasien bayi dan anak dengan adanya gejala
benjolan di kulit kepala khususnya kasus kongenital harus disangkakan suatu
meningoensefalokel dan diperiksa secara komprehensif untuk menemukan
kemungkinan adanya anomali lain, yang diperlukan untuk keputusan merujuk
pasien serta edukasi pasien untuk tindakan yang diperlukan selanjutnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
10