Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cacat bawaan adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik
maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum
kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa perinatal. Cacat ini
dapat akibat penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan
(bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik).1,2
Bila cacat bawaan terutama malformasi multipel disertai dengan retardasi
mental memberikan kecurigaan kelainan genetik (kromosomal). Penyakit genetik
adalah penyakit yang terjadi akibat cacat bahan keturunan pada saat sebelum dan
sedang terjadi pembuahan. Penyakit genetik tidak selalu akibat pewarisan dan
diwariskan, dapat pula terjadi mutasi secara spontan yang dipengaruhi oleh
lingkungan. Penyakit infeksi dalam kandungan, pengaruh lingkungan seperti
radiasi sinar radioaktif dan kekurangan/kelebihan bahan nutrisi juga dapat
menyebabkan cacat bawaan.1
Kelainan bawaan pada neonatus dapat terjadi pada berbagai organ tubuh.
Salah satunya adalah meningoensefalokel. Meningoensefalokel merupakan
kelainan bawaan di mana terjadi pemburutan selaput otak dan isi kepala keluar
melalui lubang pada tengkorak.1
Meningoensefalokel dapat terjadi dimanapun diberbagai regio kepala. Pada
bagian ini terdapat kantong berisi cairan, jaringan saraf, atau sebagian otak.
Meningoensefalokel sering berkaitan dengan kelainan mental yang berat
meskipun sudah dilakukan operasi.

BAB II
ISI

2.1. Sejarah

1
Meningoensefalokel dalam banyak literatur disamakan dengan ensefalokel.
Dokumentasi yang ditulis pertama kali tentang ensefalokel dapat dijumpai pada
patung kuno dan seni abad pertengahan. Abnormalitas ini sering digambarkan
sebagai seorang iblis atau monster. Gambaran paling awal dibuat oleh Forestus
(1590). Satu setengah abad kemudian Friderici (1737) memperlihatkan
penemuannya dari otopsi seorang anak yang lahir mati dengan bentuk Robert’s
Syndrome yang berat dan berhubungan dengan ensefalokel anterior. Monografi
pertama tentang ensefalokel ditulis oleh Corvinus tahun 1749. Patogenesis
ensefalokel nasal frontal kontroversial selama bertahun-tahun. Banyak teori telah
diajukan untuk menjelaskan perkembangan dari anomali kongenital ini.1
Pada abad ke-19, Saint Hillaire (1827) mengemukakan teori berdasarkan
percobaan pada embrio ayam yang dikenal dengan “hernie du cerveau”. Ia
memprovokasi perlekatan, yang dilakukan dengan tekanan intrauterin, untuk
dibentuk antara otak dan membran germinal, yang memicu hambatan
perkembangan kubah kranial anterior (cranial vault). Herniasi otak kemudian
terjadi melalui celah patologis ini.1
Beberapa tahun kemudian, Himly (1829) dan Serres (1832) mengajukan
bahwa hernia terbentuk melalui celah di tulang. Pada 1854, Spring memberi
hipotesis bahwa ensefalokel terjadi sebagai akibat dari dilatasi ventrikel. Tahun
1850, Rokitansky menyatakan bahwa herniasi kongenital otak disebabkan oleh
peningkatan ekstrim organ dalam jumlah besar. tahun 1882, Ankerman
bependapat lesi ini sebagai status hidrosefalik. Schmidt tahun 1900 mengklaim
sisa-sisa bulbus olfaktorius sebagai penyebab utama dari ensefalokel.1

2.2.Definisi
Meningoensefalokel (Meningoencephalocele) merupakan suatu kelainan tabung
saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) diseratai
dengan jaringan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada
tulang tengkorak serta ditutupi kulit.1,2 Adanya jaringan otak pada kantung ini
yang membedakannya dengan meningokel.
Meningoensefalokel terjadi akibat kegagalan menutupnya pembuluh saraf
selama perkembangan janin di awal kehamilan. Akibatnya, terbentuk celah yang
dapat terjadi di sepanjang garis tengah kepala. Bisa di belakang kepala, puncak

2
kepala, atau di antara dahi dan hidung. Melalui celah inilah, sebagian struktur otak
dan selaput otak keluar.1

2.3. Klasifikasi
Beberapa pola klasifikasi telah diajukan oleh banyak penulis sejak masa
lampau, yang menyebabkan sedikit kebingungan dalam mengkategorikan jenis
lesi. Klasifikasi yang saat ini baik diterima adalah klasifikasi berdasarkan lokasi
anatomi dari defek tengkorak. Ensefalokel primer merujuk kepada lesi yang sudah
ada sejak lahir atau merupakan unsur kongenital. Ensefalokel sekunder
merupakan lesi yagn didapat yang mayoritas terjadi karenadefek pasca trauma
atau pasca pembedahan.

Tabel 2.1. Klasifikasi Ensefalokel (Meningoensefalokel)1


Primer
Cranial Vault
1. Oksipital
2. Servikooksipital
3. Interparietal
4. Temporal
5. Interfrontal
6. Fontanella Anterior
7. Fontanella posterior
Frontoethmoidal (Sincipital)
1. Nasofrontal
2. Nasoetmoidal
3. Nasoorbital
Basal
1. Transetmoidal
2. Transfenoidal
3. Sfenoetmoidal
4. Sfenomaksilari
5. Sfenoorbital
6. Sfenofaringeal
7. Temporal
Posteroinferior (Endaural)
Anteroinferior
Cranioschisis
1. Acrania-exencephaly
2. Cranial-upper facial cleft
3. Basal-lower facial cleft

Atretik ensefalokel membentuk fruste ensefalokel yang khas muncul


dengan bentuk lesi datar atau nodular nonkistik, kecil yang terdapat di midline

3
dekat vertex (tipe parietal) atau anterior dari inion (tipe oksipital). Insidensi
keseluruhan esefalokel adalah sekitar 0,8 sampai 3,0 per 10.000 kelahiran hidup
dan jika dibandingkan dengan di spinal, ensefalokel sekitar 10 sampai 20% dari
semua disrafisme kraniospinal. Ensefalokel sekitar 10-15% dari semua defek
tabung neural.1

2.4. Epidemiologi
Insidensi ensefalokel atau meningoensefalokel bervariasi diseluruh dunia
berdasarkan letak geografis dan ras. Oksipital ensefalokel mencakup 85% dari
seluruh tipe ensefalokel. Tujuh puluh persen oksipital ensefalokel terjadi pada
wanita dan 15-20% ditemukan berhubungan dengan defek tabung neural.
Sebaliknya, anterior ensefalokel terjadi dengan frekuensi yang lebih besar (1
dalam 3500 – 1 dalam 5000 kelahiran hidup) di Asia Tenggara (Thailand,
Indonesia, Burma, Filipina, Malaysia), bagian Rusia, di pusat Afrika. Insidensi
anterior ensefalokel di amerika utara diperkirakan 1 dalam 35000 kelahiran hidup.
Basal ensefalokel lebih jarang dan terdapat pada <10% ensefalokel. Temporal
ensefalokel lebih jarang lagi terjadi, hanya ,1% dari malformasi serebrospinal.
Insidensi yang sebenarnya dari ensefalokel sekunder yang disebabkan trauma atau
defek pasca bedah masih belum jelas.1

2.5. Anomali Lain yang Berhubungan


Ensefalokel dapat timbul sebagai anomali kongenital tunggal atau dengan
hubungan dengan anomali lain. Ensefalokel paling sering berhubungan dengan
Meckel’s Syndrome dan amniotic band syndrome. Meckel’s syndrome terdiri dari
oksipital ensefalokel, polidaktili, penyakit ginjal polikistik,, holoprosensefali,
mikrooftalmia, displasia retina, anomali jantung, orofacial clefting, dan anomali-
anomali lainnya. Oksipital ensefalokel ditemukan terjadi pada 39 kasus dari 49
kasus yang dirangkum oleh Mecke.1,3

Tabel 2.2. Sindrom yang berhubungan dengan Ensefalokel

4
2.6. Etiologi
Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi, faktor usia
ibu yang tertalu muda atau tua ketika hamil, mutasi genetik, serta pola makan
yang tidak tepat sehingga mengakibatkan kekurangan asam folat. Langkah
selanjutnya, sebelun hamil, ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam
jumlah cukup.3,4

Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf


selama perkembangan janin. Kegagalan penutupan tabung saraf ini disebabkan
oleh gangguan pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya
asupan asam folat selama kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama
infeksi TORCH, mutasi gen (terpapar bahan radiologi), obat–obatan yang
mengandung bahan yang terotegenik.4,5

2.7. Gejala Klinis

5
Gejala dari meningoensefalokel, antara lain berupa hidrosefalus, kelumpuhan
keempat anggota gerak (kuadriplegia spastik), gangguan perkembangan,
mikrosefalus, gangguan penglihatan, keterbelakangan mental dan pertumbuhan,
ataksia, serta kejang. Beberapa anak memiliki kecerdasan yang normal.1,3,4

Gambar 2.2. Bayi perempuan dengan parietal ensefalokel disertai cleft lip, palate

Gambar 2.6. MRI Berbagai Kondisi Ensefalokel3

6
Gambar 2.7. Anak laki-laki usia 2 tahun dengan Interfrontal Ensefalokel

2.7. Pemeriksaan dan Diagnosa


Pada saat pasien datang ke klinik atau rumah sakit, hal yang pertama kali
dilakukan adalah anamnesis lengkap. Hal ini sangat bermanfaat untuk
menentukan faktor-faktor resiko yang dimiliki oleh orangtua pasien sehingga
lebih mudah dalam mengarahkan diagnosis kepada suatu kelainan yang sifatnya
primer pad kasus kongenital atau sekunder pada kasus-kasus trauma lahir.
Anamnesis lengkap mencakup keluhan utama pasien, riwayat kehamilan ibu,
riwayat kelahiran pasien, riwayat sosial ekonomi dan faktor-faktor lain dalam
keluarga yang berpengaruh dalam penegakan diagnosis.
Pemeriksaan fisik kemudian dilakukan dari kepala sampai kaki untuk
melihat adanya anomali lain yang menyertai yang dapat teridentifikasi secara
langsung.
Pemeriksaan penunjang seperti darah rutin dapat dilakukan untuk menilai
status gizi anak.
Pemeriksaan baku emas preoperatif yang dilakukan untuk diagnosis adalah
MRI. CT scan juga dapat dilakukan. CT dan MRI merupakan diagnostik pilihan.
CT scan (aksial, koronal, dan sagittal reconstructed images) dapat menentukan
ekstensi dan lokasi dari defek kranial. Triplanar MRI merupakan baku emas untuk
melihat adanya herniasi neural. MRI scan dibutuhkan untuk visualisasi lengkap
dari basal ensefalokel, terkhusus yang berhubungan dengan herniasi hipotalamus

7
atau masssa diensefalok. MRI angiografi berfungsi untuk menilai vaskularisasi
yang berhubungan dengan bagian dalam meningoensefalokel.1,3

2.8. Penatalaksanaan
Jika kantong tidak ruptur dan tidak ada kebocoran cairan serebrospinal (CSF),
perbaikan secara pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Pada pasien-pasien
dengan oksipital ensefalokel, pasien diposisikan dengan posisi kepala yang
mengamankan bagian meningoensefalokel, yaitu diletakkan diatas bantal yang
lunak dan menyesuaikan dengan bentuk meningensefalokel untuk mencegah
kantong ruptur. Antibiotik dosis tunggal (sefalosporin generasi pertama)
diberikan. Bagian ensefalokel dirawat dengan cairan povidone iodine.1
Jika defek tulang kecil, tidak ada penanganan spesifik dari defek tulang.
Namun jika terdapat defek kalvaria yang besar, dilakukan ekstensi kulit ke bagian
parietal terdekat. Full-thickness craniotomy dapat dilakukan untuk membentuk
defek tengkorak. Metode lain yang dilakukan pada defek kalvaria yang besar
adalah dengan menutup ensefalokel terlebih dahulu, kemudian (usia 2 tahun)
dilakukan kranioplasti autolog menggunakan split thickness calvarial graft. Baru-
baru ini juga dapat dilakukan kranioplasti dengan tulang buatan.1

8
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sampai saat ini kelainan cacat bawaan salah satunya meningoensefalokel masih
ditemukan bahkan di Indonesia. Insidensi ensefalokel berhubungan dengan
infeksi, zat teratogenik.
Dalam praktik klinis, sebagai dokter umum, diperlukan kemampuan untuk
memberikan rujukan secara muldisiplin yang melibatkan kolaborasi berbagai ahli
dalam penanganan pasien dengan kecurigaan meningoensefalokel.

3.2. Saran
Dalam praktik umum, setiap pasien-pasien bayi dan anak dengan adanya gejala
benjolan di kulit kepala khususnya kasus kongenital harus disangkakan suatu
meningoensefalokel dan diperiksa secara komprehensif untuk menemukan
kemungkinan adanya anomali lain, yang diperlukan untuk keputusan merujuk
pasien serta edukasi pasien untuk tindakan yang diperlukan selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Jimenez, DF and Barone, CM. Encephaloceles, Meningoceles, and Dermal


Sinuses. In: Albright, AL., Pollack IF., and Adelson, PD. Principles and
Practice of Pediatric Neurosurgery. 2th Edition. New York: Thieme Medical
Publishers. 2008: p.233-247
2. Martinez-Jage LF and Perez-Espejo MA. Encephaloceles and Related
Malformations. In:Lumenta, CB, Rocco, CDi, Haase J. and Mooji, JJA.
Neurosurgery: European Manual of Medicine. Verlag Berlin Heidelberg:
Springer-2010:p.485-490
3. Osborn, AG, et al. Chiari 3. In: Diagnostic Imaging Brain. 1st Edition. Canada:
Amirsys. 2004: p.I-1-16
4. Center for Disease and Control (CDC). (1992). Recommendation for the use
of folic acid to reduce the number of cases of spina bifida and other neural
tube defects. Morbidity and Mortality Weekly Report, 41(RR-14): 1-7.
Retrieved on July 13, 2013 from
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00019479.htm
5. Deak, K. L. et al. (2008). Further evidence for a maternal genetic effect and a
sex-influenced effect contributing to risk for human neural tube defects. Birth
Defects Research Part A: Clinical and Molecular Teratology, 82(10): 662-
669.

10

Anda mungkin juga menyukai