Anda di halaman 1dari 74

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218042 / Desember 2018


** Pembimbing / dr. Hj. Elfiani, Sp.PD, FINASIM

MELENA E.C SUSP. GASTRITIS EROSIF + ANEMIA E.C


PERDARAHAN SALURAN CERNA ATAS

M. Fahmi Ibnu Tsaqif, S.Ked *

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

MELENA E.C SUSP. GASTRITIS EROSIF + ANEMIA E.C


PERDARAHAN SALURAN BAGIAN ATAS

Disusun Oleh :
M. Fahmi Ibnu Tsaqif, S.Ked
G1A1218042

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Desember 2018

Pembimbing

dr. Hj. Elfiani, Sp.PD, FINASI


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Report Session(CRS) yang berjudul
“ MELENA E.C SUSP. GASTRITIS EROSIF + ANEMIA E.C P
PERDARAHAN SALURAN CERNA ATAS” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Elfiani, Sp.PD,


FINASIM yang telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga Laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Melena atau berak darah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh


perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA). Hematemesis melena adalah salah
satu penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit.
Sebahagian besar pasien datang dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya
datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan
tepat.1,2

Ada empat penyebab SCBA yang paling sering ditemukan, yaitu ulkus
peptikum, gastritis erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika.
Semua keadaan ini meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan
gastrointestinal atas dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti.1,3

Penegakan pasti etiologi hematemetis melena dilakukan dengan


pemeriksaan endoskopi, sehingga diketahui letak perdarahan dan keparahannya.4,

Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per


100.000 penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita.Insidensi ini
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang
sebenarnya di populasi tidak diketahui.5

Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tuka k peptik


menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena rupture varises
gastroesofageal merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60 %, gastritis
erosiva hemoragika sekitar 25-30 %, tukak peptik sekitar 10-15 %, dan karena
sebab lainnya < 5 %.3,5

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Tn. LBP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 57 tahun
Alamat : RT 05 Sindang Marga
Pekerjaan : Buruh
Status Perkawinan : Menikah
MRS : 28 Oktober 2018

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama :
BAB berwarna hitam ± 4 hari SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


 ± 4 hari SMRS Os mengeluh BAB berwarna hitam lengket seperti
kecap, frekuensi BAB 5-7 kali sehari, konsistensi tinja lunak, berbau
amis, tidak terdapat lendir, tidak disertai darah berwarna merah segar.
Os juga mengeluh nyeri ulu hati yang hilang timbul namun tidak
menjalar, nyeri tidak hilang walaupun beristirahat, mual dan muntah,
muntah 3-5 kali sehari, muntah berisi makanan yang dimakan,
sebanyak ±1 gelas belimbing. BAK dalam batas normal, keluhan tidak
disertai demam.
 ± 5 bulan SMRS, pasien mengeluh terdapat luka yang tidak sembuh
pada kaki kiri, luka dialami karena tertimpa papan, lama kelamaan
luka dirasakan semakin meluas, pasien berobat ke puskesmas dan luka

4
mengering. ±2 bulan SMRS, luka dikaki kembali muncul yang hingga
sekarang belum sembuh
 ±1 tahun SMRS os di diagnosa DM dan rutin mengkonsumsi obat
metformin 3 kali sehari.

3. Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat sakit maag (+),  riwayat sakit rematik (+),
 riwayat sakit  riwayat penyakit jantung
kuning/liver(-) atau paru (-),
 riwayat hipertensi (-),  riwayat operasi (-).

4. Riwayat penyakit dalam keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti os.

5. Riwayat social ekonomi dan kebiasaan sehari-hari


 Os bekerja sebagai buruh bangunan. Os rutin mengkonsumsi obat
penghilang nyeri Antalgin 3 bulan terakhir, dan Metformin 3x/hari.
Riwayat minum alcohol (+), riwayat minum jamu-jamuan (-), riwayat
merokok (+) sejak muda sebanyak 2 bungkus sehari, dan baru berhenti
saat pasien mulai sakit.

2.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15 (E4, M5, V6)
Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Nadi : 115 x/menit
 Pernapasan : 24 x/menit
 Suhu : 36,5 °C
 Tinggi/BB : TB : 157, BB : 45 kg
45
(1,57) 2
5
BB 54
 Status gizi : : : : IMT : 18,2  BB
TB ( m ) 2 ( 1,54 m ) 2
normal
 Sianosis (-), dispeneu (-), edema umum (-)
 Cara berbaring : Posisi berbaring telentang, aktif.

Status Generalis

 Kulit :
o Warna : sawo matang
o Eflorensensi : (-)
o Pigmentasi : hiperpigmentasi (+), hipopigmentasi (-)
o Jaringan parut/koloid : (-)
o Pertumbuhan rambut : normal
o Kelembapan : kering (+)
o Turgor : < 2 detik (baik)
o Edema : Tidak ada (-)

 Kepala dan Leher :


o Rambut : Warna putih, tipis, lurus, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
o Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar
o Mata : Konjungtiva anemis (+/+), skera ikterik (-/-), reflek
cahaya (+/+), edema pelpebra (-/-), pupil isokor θ: 3mm,
pergerakan bola mata baik kanan dan kiri
o Hidung : Nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), sekret (-),
defiasi septum (-)
o Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), mukosa anemis (-)
o Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1

6
o Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP
(5 – 2) cmH2O, pulsasi vena jugularis (-), kaku kuduk (-)

 Kelenjar
o Pembesaran kelenjar submandibula (-), submental (-), jugularis
superior (-), jugularis interna (-)

 Paru-paru
- Inspeksi : Simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal
- Palpasi : Vocal Fremitus, simetris kanan dan kiri, nyeri (-)
- Perkusi : Sonor kanan dan kiri, batas paru hati ICS VI
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal di kedua lapangan paru
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari ICS V linea midclavicula
sinistra, intensitas tidak kuat angkat, thrill (-).
- Perkusi : Dengan batas
Kanan : Linea parasternalis dextra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Atas : ICS II, Linea parasternalis sinistra
- Auskultasi  : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
- Inspeksi : Supel, cembung, sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) meningkat

7
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hepar,
lien dan ginjal tidak teraba, nyeri ketok CVA (-)
- Perkusi : Timpani di keempat kuadran

 Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik (N),
clubbing finger (-/-), palmar eritem (-/-), jaringan parut (-/-),
refleks fisiologis (+) normal, refleks patologis (-), motorik 5/5
- Inferior kiri : Tampak gangrene digiti 4, nyeri (+), bengkak (+),
kemerahan (+), kulit menghitam (+), pus (+), pulsasi A. Dorsalis
pedis (menurun), pulsasi A. Tibialis posterior (menurun), rambut
kaki (-), kulit kering (+), charcot foot (+)
- Inferior kanan : Akral hangat, CRT < 2 detik, bengkak (-), pulsasi
A. Dorsalis pedis (+), pulsasi A. Tibialis posterior (+), rambut kaki
(-), kulit kering (+)

Klasifikasi kaki Diabetik menurut Wagner


Tingkat Lesi
0 Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.
2 Ulkus menyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam
tanpa adanya abses atau osteomyelitis
3 Ulkus disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi
4 Gangrene yang terlokalisir pada jari, bagian depan
kaki atau tumit
5 Gangrene yang membesar meliputi kematian semua
jaringan

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Penunjang tanggal 28-10-2018 (IGD)


1. Hematologi rutin
WBC : 9,61 103/mm3(4,0-10,0) MCV : 77,5 fl (80-99)
RBC : 3,46 106/mm3 (3,50-5,50) MCH : 24,4 pg (26,0-32,0)
HGB : 4,9 g/dl (11,0-16,0) MCHC: 322 g/dl (320-360)
HCT : 16,3 % (36,0-48,0) PLT : 273 103/mm3 (150-400)
GDS : 212 mg/dl

KESAN : Anemia mikrositik hipokromik, Hiperglikemia

2. Faal Ginjal
Ureum : 39 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 1,1 mg/dl (L: 0,9-1,3. P: 0,6-1,1)

3. Pemeriksaan Elektrolit
Natrium : 140,14 mmol/L (135-148)
Kalium : 3,61 mmol/L (3,5-5,3)
Chlorida : 104,19 mmol/L (98-110)
Kalsium : 1,23 mmol/L (1,12-1,23)

4. Pemeriksaan Feses
Warna : hitam seperti aspal
Konsistensi : lunak
Parasit : (-)
Lendir : (-)

9
Telur Cacing : (-)

2.5 Diagnosis Kerja

 Melena et causa Suspek Gastritis Erosif

Diagnosa Sekunder
 Anemia Hipokromik Mikrositer e.c. Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas
 Diabetes Melitus tipe II normoweight tidak terkontrol dengan ulkus
diabetik

2.6 Diagnosis Banding

- Melena et causa Gastritis erosive


- Melena et causa Ulkus peptikum
- Melena et causa Karsinoma lambung
- Varises esophagus

2.7 Tatalaksana

1. Non-medikamentosa
- Tirah baring
- Diet 1700 kal:
Kebutuhan kalori per basal : 30 kal x BB
: 30 kal x 50 kg
: 1500 kal

Kebutuhan stres metabolik, ulkus ditambah 10-30%


Kebutuhan stres metabolik : 10% x 1500 kal
: 150 kal

10
Kebutuhan kalori total/hari : 1500 kal + 150 kal
: 1650 kal : 1700 kal
- Menjaga kebersihan kaki
- Cek GDN/PP perhari
- Rawat
- Edukasi,
 Stop konsumsi obat NSAID
 Hindari terlambat makan
 Hindari makanan yang merangsang asam lambung

2. Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
- Inj Asam Tranexsamat 3x1g (kalnex)
- Vitamin K 3x1
- Tranfusi PRC (360cc) sampai dengan target Hb 10g/dl
- Inj Omeprazole 40 mg 2x1 amp
- PO Sukralfat 1 gr 2x1 (ac)/Mucogard syr 3 x 1 cth (ac)
- Inj Novorapid 3x1 10 unit
- Inj Ceftriaxone 1x2 gr

2.8 Pemeriksaan yang Dianjurkan

- Periksa Darah Rutin, Ureum, Kratinin, SGOT, SGPT  setelah transfuse


2 Kolf
- SADT  Sediaan apusan darah tepi (SADT)  untuk melihat jenis
anemia yang terjadi. ( Pada kasus anemia mikrositik hipokromik dapat
terjadi karena defisiensi besi ataupun penyakit kronis yang dialami oleh
pasien. Namun perlu juga diperiksa SADT untuk menentukan apakah
pasien juga mengalami defisiensi besi yang memperberat anemianya.)
- Endoskopi  untuk melihat keaadaan patologis lambung
- Rontgen Cruris sinistra

11
2.9 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
2.10 Follow Up
Tanggal Perkembangan Terapi
29 Oktober S: nyeri ulu hati, badan lemas, - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2018 BAB warna hitam - PO Omeprazole 1 x 40
H-2 O: mg/drip omeprazole
- KU : Sedang 8mg/jam
- Kesadaran : CM - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- TD : 100/60 mmHG - Inj Asam tranexamat
- N : 89 x/mnt 3x500mg
- RR : 22 x/mnt - Vit B Komplek 3 x 1
- T : 37,3°C - transfusi PRC 1 kolf
- GDN : 166 mg/dl - Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- GDPP : 156 mg/dl - PO Clindamisin 2x1 tab
- GDS :128 mg/dl - Diet 1700 kalori
A : 1. Melena e.c gastritis erosive - Inj novorapid 3x1 5 unit
dd/ulkus peptikum - Inj Levemir 1x1 10 unit
2.Anemia Mikrositik
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak terkontrol
dengan ulkus diabetik

30 Oktober S : mual (-), muntah (-), - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i

12
2018 nyeri ulu hati, badan terasa - PO Omeprazole 1 x 40
H-3 lemas, mg/drip omeprazole
O: 8mg/jam
- KU : Sedang - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- Kesadaran : CM - Asam Tranexsamat 3 x
- TD : 100/60 mmHG 500 mg
- N : 88 x/mnt - Vit B Komplek 3 x 1
- RR : 21 x/mnt - Transfusi PRC kolf ke 2
- T : 37,4°C Cek Hb ulang
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- GDS :188
- PO Clindamisin 2x1 tab
- Rencana USG tgl
A : 1. Melena e.c gastritis erosive
1/11/2018
dd/ulkus peptikum
- Diet 1700 kalori
2.Anemia Mikrositik
- Inj novorapid 3x1 5 unit
Hipokromik e.c perdarahan
- Inj Levemir 1x1 10 unit
saluran cerna
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak terkontrol
dengan ulkus diabetik

31 Oktober S : nyeri ulu hati (-),badan - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i


2018 terasa lemas, - PO Omeprazole 1 x 40
H-4 O: mg/drip omeprazole
- KU : Sedang 8mg/jam
- Kesadaran : CM - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)

13
- TD : 100/60 mmHG - Asam Tranexsamat 3 x
- N : 96 x/mnt 500 mg
- RR : 20 x/mnt - Vit B Komplek 3 x 1
- T : 36,4°C - Transfusi PRC kolf ke 3
Darah Rutin - Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- WBC : 12,39 - PO Clindamisin 2x1 tab
- RBC : 3,32
- Diet 1700 kalori
- HB : 5,5
- HT : 18,2 - Inj novorapid 3x1 5 unit
- PLT : 333
- Inj Levemir 1x1 10 unit
- MCV : 77.4
- MCH : 28,3
- MCHC : 362
- GDS :179

A : 1. Melena e.c gastritis erosive


dd/ulkus peptikum
2. .Anemia Mikrositik
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak
terkontrol dengan ulkus
diabetik

1 November S : badan terasa lemas, bab - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i


2018 warna hitam - PO Omeprazole 1 x 40 mg
H-5 O: - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- KU : Sedang - Asam Tranexsamat 3 x
- Kesadaran : CM 500 mg
- TD : 100/60 mmHG - Vit B Komplek 3 x 1
- N : 102 x/mnt - Transfusi PRC kolf ke 4
- RR : 24 x/mnt Cek Hb ulang
- T : 36,9°C - Inj. Ceftriaxone 1x2gr

14
Darah Rutin - PO Clindamisin 2x1 tab
- WBC : 20,59
- Diet 1700 kalori
- RBC : 3,45
- HB : 6,7 - Inj novorapid 3x1 10 unit
- HT : 22,9
- Ekg jika hb>9
- PLT : 38
- MCV : 76.4
- MCH : 28,3
- MCHC : 370
- GDS : 139 mg/dl

A : 1. Melena e.c gastritis erosive


dd/ulkus peptikum
2. Anemia Mikrositik
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak
terkontrol dengan ulkus
diabetik

2 November S : badan terasa lemas - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i


2018 O: - PO Omeprazole 1 x 40 mg
H-6 - KU : Sedang - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- Kesadaran : CM - Asam Tranexsamat 3 x
- TD : 100/60 mmHG 500 mg
- N : 102 x/mnt - Vit B Komplek 3 x 1
- RR : 24 x/mnt - Transfusi PRC kolf ke 5
- T : 36,9°C Cek Hb ulang
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- PO Clindamisin 2x1 tab
A : 1. Melena e.c gastritis erosive
- Diet 1700 kalori
dd/ulkus peptikum
- Inj novorapid 3x1 5 unit
2. Anemia Mikrositik
- Inj Levemir 1x1 10 unit

15
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak

3 November S : os mengaku tidak ada - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i


2018 keluhan lagi - Inj omeprazole 1 x 1 amp
H-7 O: - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- KU : Sedang - Asam Tranexsamat 3 x
- Kesadaran : CM 500 mg
- TD : 110/60 mmHG - Vit B Komplek 3 x 1
- N : 80 x/mnt - Transfusi PRC kolf ke 6
- RR : 20 x/mnt Cek Hb ulang
- T : 36,4°C - Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- GDS : 189 mg/dl - PO Clindamisin 2x1 tab
- Diet 1700 kalori
Darah Rutin - Inj novorapid 3x1 5 unit
- WBC : 11,06
- Inj Levemir 1x1 10 unit
- RBC : 3,78
- HB : 10,4
- HT : 28,7
- PLT : 473
- MCV : 76.5
- MCH : 28,2
- MCHC : 375

A : 1. Melena e.c gastritis erosive


dd/ulkus peptikum
2. Anemia Mikrositik
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna

16
3. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak
4 November S : os mengaku tidak ada - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2018 keluhan lagi - Inj omeprazole 1 x 1 amp
H-8 O: - Mucogard syr 3 x 1 c (ac)
- KU : Sedang - Asam Tranexsamat 3 x
- Kesadaran : CM 500 mg
- TD : 120/70 mmHG - Vit B Komplek 3 x 1
- N : 62 x/mnt - Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- RR : 22 x/mnt - PO Clindamisin 2x1 tab
- T : 36,5°C - Diet 1700 kalori
- GDS : 99 mg/dl - Inj novorapid 3x1 5 unit
- Inj Levemir 1x1 10 unit
A : 1. Melena e.c gastritis erosive
dd/ulkus peptikum
4. Anemia Mikrositik
Hipokromik e.c perdarahan
saluran cerna
5. Diabetes Melitus tipe II
normoweight tidak

17
BAB III

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis diperoleh data bahwa sejak 4 hari SMRS os mengeluh BAB
berwarna hitam lengket seperti kecap, frekuensi BAB 5-7 hari sekali, konsistensi
tinja lunak, berbau amis, tidak terdapat lendir, tidak disertai darah berwarna merah
segar. Os juga mengeluh nyeri ulu hati yang hilang timbul namun tidak menjalar,
nyeri tidak hilang walaupun beristirahat, mual dan muntah, muntah 3-5 kali
sehari, muntah berisi makanan yang dimakan, sebanyak ±1 gelas belimbing. BAK
dalam batas normal, keluhan tidak disertai demam. Sejak 3 bulan SMRS, os rutin
mengkonsumsi obat-obatan pegel linu, dan masih dikonsumsi hingga sekarang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada mata konjungtiva anemis, kulit
hiperpigmentasi, nyeri tekan epigastrium, ekstremitas inferior kiri gangrene pada
digiti 4. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hemoglobin (Hb) 4,9 g/dl,
Hematokrit (Ht) 16,3%, leukosit 9.610/uL, trombosit 273.000/uL, GDS 212
mg/dl.
Diagnosis pada kasus ini sesuai dengan melena. Melena yaitu
keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau khas,
yang menunjukkan perdarahan SCBA serta dicernanya darah pada usus
halus. Dimana penyebab kelainan diatas dapat berasal dari kelainan
esofagus, kelainan lambung, dan kelainan duodenum.4,5
Pada kasus ini mengarah pada kelainan di lambung yaitu adanya
gastritis erosif atas dasar riwayat kebiasaan pasien mengkonsumsi obat
NSAID sejak 3 bulan yang lalu. Dimana salah satu penyebab dari gastritis
erosif adalah obat NSIAD yang mengiritasi mukosa lambung akibat dari
efek anti – inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan melalui
penghambatan siklo – oksigenase sehingga menghambat sintesis
prostaglandin (dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak
diinginkan adalah obat ini menghambat sintesis prostaglandin secara
sistemik, termasuk di epitel lambung dan duodenum, serta menurunkan

18
sekresi HCO3- sehingga memperlemah perlindungan lapisan mukosa dan
juga menghentikan penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini juga
merusak mukosa secara lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel
mukosa. Efek penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan
meningkatkan bahaya perdarahan ulkus. Gastritis erosif hemoragika
merupakan urutan kedua penyebab perdarahan saluran cerna atas. Akibat
perdarahan tersebut pada pasien ini ditemukan Hb 4,9 g/dL ketika datang
ke rumah sakit dan meningkat hingga 10,4 g/dL setelah transfusi darah
packed red cells 6 kolf, diberikan untuk mengembalikan kebutuhan darah
dalam tubuh.
Penatalaksanaan pada kasus ini dibagi menjadi dua yaitu non-
medikamentosa dan medikamentosa.
Penatalaksanaan non-medikamentosa antara lain bed rest, puasa
hingga perdarahan berhenti dan diet cair. Dan penatalaksanaan
medikamentosa antara lain cairan infus normal saline (NaCl 20
tetes/menit, pemasangan Nasogastric tube (NGT), omeprazole 2x40mg
tablet, sukralfat 2x500 mg intravena, dan tranfusi. Pemasangan NGT
dilakukan untuk mengevaluasi perdarahan yang sedang berlangsung.
Namun pada kasus ini pasien menolak untuk dipasangkan NGT.
Diberikan juga Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu omeprazole
dimana obat-obat golongan PPI mengurangi sekresi asam lambung dengan
jalan menghambat enzim H+, K+, Adenosine Triphosphatase (ATPase)
(enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel
parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH+ ATP yang kemudian
akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif
obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya
penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan
terhentinya produksi asam lambung.8
Pemberian sukralfat pada kasus ini didasari mekanisme kerja
sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat diperkirakan melibatkan ikatan

19
selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai
sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek
perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa.
Selain itu, sukralfat dapat langsung mengabsorpsi garam-garam empedu.
Aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh kompleks molekul dan
bukan hasil kerja ion aluminium saja. Obat ini juga memerlukan pH asam
untuk aktif sehingga tidak boleh diberikan bersama antasid atau antagonis
reseptor H2.7,8
Pada kasus perdarahan saluran cerna, prognosis yang buruk dapat
dijumpai pada kasus-kasus di mana usia pasien >60 tahun, terdapat
penyakit penyerta lain, adanya kebutuhan transfusi, perdarahan yang
berulang, perdarahan yang tetap terjadi walaupun pasien telah dirawat di
rumah sakit, perdarahan yang berasal dari ruptur varises, dan terbukti
terdapat perdarahan dalam waktu dekat melalui endoskopi (terlihat
pembuluh darah di dasar ulkus).3,4
Pada kasus ini, pasien berusia 57 tahun, datang dalam kondisi stabil,
namun pasien belum menjalani pemeriksaan endoskopi sehingga belum
diketahui etiologi dari perdarahan saluran cerna. Tidak terdapatnya tanda-
tanda syok atau instabilitas hemodinamik mengarahkan pemikiran akan
kondisi pasien yang lebih baik. Secara fungsional aktivitas pasien dapat
mengalami gangguan karena anemia yang dialami. Tetapi pemeriksaan
endoskopi tetap menjadi pilihan yang baik untuk mengetahui etiologi
penyakit sehingga dapat dilakukan terapi definitive atau empiris yang
sesuai dan mencegah kekambuhan ataupun komplikasi yang mungkin
dapat terjadi.

20
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 MELENA
3.1.1 Definisi
Melena merupakan buang air besar berwarna hitam ter yang berasal
dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian
atas adalah saluran cerna di atas (proksimal) dari ligamentum Treitz, mulai
dari jejenum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus.
3.1.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan keadaan
gawat darurat yang sering dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Perdarahan dapat terjadi antara lain karena pecahnya
varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. Delapan puluh persen
dari angka kematian akibat perdarahan SCBA di bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM berasal dari pecahnya varises esofagus akibat penyakit
sirosis hati dan hepatoma. Berdasarkan laporan di SMF Penyakit Dalam
RSU dr. Sutomo Surabaya, dari 1673 kasus perdarahan SCBA, penyebab
terbanyak adalah 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis erosif,
1,0% tukak peptikum, 0,6% kanker lambung dan 2,6% karena sebab-sebab
lain. Laporan dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta
urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr.

21
Sutomo. Sedangkan laporan dari RS Pemerintah di Ujung Pandang
menyebutkan tukak peptikum menempati urutan pertama penyebab SCBA.
Laporan kasus di RS Swasta yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena
tukak peptikum 51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%,
keganasan 9,8%, esofagitis 5,3%, sindrom Mallori-Weiss 1,4%, tidak
diketahui 7%, dan penyebab penyebab lain 2,7%. 16 Di negara barat tukak
peptikum menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA dengan
frekuensi sekitar 50%.

3.1.3 Kelainan Esofagus


a. Varises Esofagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan
pecahnya varises esofagus, tidak   pernah mengeluh rasa nyeri
atau pedih di epigastrum. Pada umumnya sifat perdarahan
timbulspontan dan masif. Darah yang dimuntahkan berwarna
kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah bercampur
dengan asam lambung.
b. Karsinoma Esofagus
Karsinoma esofagus sering memberikan keluhan melena dari pada
hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan
anemis, hanya sesekali penderita muntah darah dan itu pun tidak
masif. Pada pemeriksaan endoskopi jelas terlihat gmabaran karsinoma
yang hampir menutup esofagus dan mudah berdaharah yang terletak di
sepertiga bawah esofagus.
c. Esofagus Korosiva
Pada sebuah penelitian ditemukan seorang penderita wanita dan seorang
pria muntah darah setelah minum air keras untuk patri. Dari hasil
analisis air keras tersebut ternyata mengandung asam sitrat dan
asam HCI, yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esofagus
dan lambung. Disamping muntah darah penderita juga mengeluh rasa
nyeri dan panas seperti terbakar di mulut. Dada dan epigastrum.

22
d. Esofagitis dan Tukak Esofagus
Esofagitis bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat
intermittem atau kronis d a n b i a s a n y a r i n g a n , s e h i n g g a l e b i h
sering timbul melena dari pada hematemesis.Tukak
d i esofagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika dibandingkan
dengan tukak lambung dan duodenum.
3.1.4 Kelainan di Lambunga. Gastritis Erisova Hemoragika
a. Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita
minum obat-obatan yang m e n y e b a b k a n i r i t a s i l a m b u n g .
Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati.
P e r l u ditanyakan juga apakah penderita sedang atau sering
menggunakan obat rematik (NSAID +steroid) atau kah sering
minum alkohol atau jamu-jamuan.
b. Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah, nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sesaat sebelum timbul
hematemesis karena rasa nyeri dan pedih dirasakan semakin
hebat. Setelah muntah darah rasa nyeri dan pedih berkurang.
Sifat hematemesis tidak begitu masif dan melena lebih dominan dari
hematemesis.
c. Karsinoma lambung

Insidensi karsinoma lambung di negara kita tergolong sangat


jarang dan pada umumnyadatang berobat sudah dalam fase lanjut,
dan sering mengeluh rasa pedih, nyeri di daerah ulu hatisering mengeluh
merasa lekas kenyang dan badan menjadi lemah. Lebih sering mengeluh
karenamelena.

3.1.5 Diagnosis

23
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi sebagai
hematemesis, melena atau keduanya. Dalam anamnesis yang perlu
ditekankan adalah :
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang
keluar
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarg
4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
5. Riwayat penggunaan obat-obatan NSAIDs dan anti koagulan
6. Kebiasaan minum alcohol
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,
demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi
obat-obatan
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan stigmata penyebab perdarahan,
seperti stigmata sirosis, anemia, akral dingin dan sebagainya. Status
hemodinamik saat masuk ditentukan dan dipantau karena hal ini akan
mempengaruhi prognosis. Untuk keperluan klinik, maka harus dibedakan
apakah perdarahan beeasal dari varises esofagus dan non-varises, karena
antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan
prognosisnya. Untuk membedakan apakah perdarahan yang terjadi berasal
dari saluran cerna bagian atas atau bawah dapat dilakukan cara praktis yaitu
sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan perdarahan SMB dan SMBB
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/melena Hematokesia
umumnya
Aspirasi nasogastric Berdarah Jernih
Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Aukultasi usus Hiperaktif Normal

3.1.6 Sarana Diagnostik

24
Sarana diagnostik yang biasa digunakan pada kasus perdarahan saluran
cerna ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium,
radionuklid, dan anguografi. Pada semua pasien dengan tanda-tanda
perdarahan saluran cerna bagian atas atau yang asal perdarahannya masih
meragukan pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan prosedur pilihan.
Dengan pemeriksan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan
bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa juga dilakukan upaya
terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit
dididentifikasi perlu pertimbangan pemeriksaan dengan radionuklid atau
angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat
klasifikasi perdarahan tukak peptikum atas dasar temuan endoskopi yang
bernmanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.3
Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan tukak Peptik Menurut
Forest
Aktivitas Perdarahan Kriteri Endoskopis
Forest 1a : perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest 1b : perdarhan aktif Perdarahan merembes
Forest 1c : perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar
masih terdapat sisa-sisa perdarahan tukak atau terlihat pembuluh
darah
Forest 1d : perdarahan berhenti tanpa Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
sisa-sisa perdarahan

Terapi endoskopi dibagi atas modalitas, yaitu terapi topikal, terapi mekanik,
terapi injeksi, dan terapi termal. Pada terapi mekanik digunakan hemoklip
untuk menjepit tempat perdarahan atau melalui kabel elektrokauter. Teknik
18 pengikatan dengan rubber band banyak digunakan dalam proses
pengikatan varises.

3.1.7 Penatalaksanaan

25
Langkah resusitasi berupa pemasangan jalur intravena dengan cairan
fisiologis, bila perlu transfusi PRC, darah lengkap (whole blood), mpacked
cell, dan FFP.
Tindakan yang paling sederhana untuk menghentikan perdarahan saluran
cerna bagian atas adalah bilas lambung dengan air es melalui pipa
nasogastrik. Pemasangan pipa nasogastrik dikerjakan melalui lubang hidung
pasien, kemudian dilakukan aspirasi isi lambung. Bila pada aspirasi terdapat
darah, selanjutnya dulakukan bilas lambung dengan air es sampai isi
lambung tampak bersih dari darah atau tampak lebih jernih warnanya.
Tindakan tersebut disebut gastric spooling. Ada 5 manfaat dari tindakan ini,
yaitu :
1. Tindakan diagnostik dan pemantauan apakah perdarahn masih
berlangsung terus atau tidak.
2. Menghentikan perdarahan (efek vasokontriksi dari es)
3. Memudahkan pemberian obat-obatan oral ke dalam lambung.
4. Membersihkan darah dari lambung untuk mencegah koma hepatik.
5. Persiapan endoskopi.
Bilas lambung juga dapat dilakukan dengan menggunakan air suhu kamar.
Berdasarkan percobaan pada hewan, kumbah lambung dengan air es kurang
menguntungkan, waktu perdarahan jadi memanjang, perfusi dinding
lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
Pada perdarahan saluran cerna ini dianggap terdapat gangguan hemostasis
berupa defisiensi kompleks protrombin sehingga diberikan vitamin K
parenteral dan bila diduga terdapat fibrinolisis sekunder dapat diberikan
asam traneksmat parenteral.
Produksi asam lambung yang meningkat karena stress fisik maupun psikis
ditekan dengan pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 (ranitidine,
famotidine, atau roksatidine). Antasid diharapkan bermanfaat untuk
menekan 19 asam lambung yang sudah berada di lambung sedangkan
antagonis reseptor H2 untuk menekan produksi asam lambung. Selain itu
dengan pertimbangan bahwa proses koagulasi atau pembentukan fibrin akan

26
terganggu oleh suasana asam, maka diberikan antisekresi asam lambung,
mulai dari antagonis reseptor H2 sampai penghambat pompa proton
(omeprazole, lansoprazole, pantoprazole). Di samping itu terdapat obat-
obatan yang bersifat meningkatkan defense mukosa (sukralfat) yang dapat
dipakai sebagai regimen alternatif.
Pemberian obat yang bersifat vasoaktif akan mengurangi aliran darah
splanknikus sehingga diharapkan proses perdarahan berkurang atau
berhenti. Dapat dipakai vasipresin, somatostatin, atau okreotid. Vasopresin
bekerja sebagai vasokonstriktor pembuluh splanknik, sedangkan
somatostatin dan okreotid melalui efek menghambat sekresi asam lambung
dan pepsin, menurunkan aliran darah di lambung, dan merangsang sekresi
mukus lambung.2
Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB tube) dapat dikerjakan pada
kasus yang diduga terdapat varises esofagus. SB tube terdiri dari 2 balon
(lambung dan esopfagus). Balon lambung berfungsi sebagai jangkar agar
SB tube tidak keluar saat balon esofagus dikembangkan. Balon esofagus
tersebut secara mekanik menekan langsung pembuluh darah varises yang
robek dan berdarah. Balon SB tube memiliki 3 lumen, yaitu untuk balon
lambung, balon esifagus, dn untuk memasukkan obat-obatan atau makann
ke dalam lambung atau untuk membilas lambung dengan air es. Komplikasi
yang dapt terjadi adalah pneumonis aspirasi, kerusakan esofagus, dan
obstruksi jalan napas.

3.2 GASTRITIS
3.2.1 Definisi
Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung. Lapisan lambung
menahan iritasi dan biasanya tahan terhadap asam yang kuat. Tetapi lapisan
lambung dapat mengalami iritasi dan peradangan karena beberapa
penyebab, diantaranya:

1. Gastritis bakterialis

27
Biasanya merupakan akibat dari infeksi oleh Helicobacter
pylori (bakteri yang tumbuh didalam sel penghasil lendir di
lapisan lambung). Tidak ada bakteri lainnya yang dalam
keadaannormal tumbuh di dalam lambung yang bersifat asam,
tetapi jika lambung tidak menghasilkan asam, berbagai bakteri bisa
tumbuh di lambung. Bakteri ini bisa menyebabkan gastritis menetapatau
gastritis sementara.
2. Gastritis karena stres akut
Merupakan jenis gastritis yang paling berat, yang disebabkan oleh
penyakit berat atau trauma(cedera) yang terjadi secara tiba-tiba.
Cederanya sendiri mungkin tidak mengenai lambung,seperti
yang terjadi pada luka bakar yang luas atau cedera yang menyebabkan
perdarahan hebat.
3. Gastritis erosif kronis
Bisa merupakan akibat dari:- bahan iritan seperti obat-obatan, terutama
aspirin dan obat anti peradangan non-steroid lainnya- penyakit Crohn-
infeksi virus dan bakteri.Gastritis ini terjadi secara perlahan pada
orang-orang yang sehat, bisa disertai dengan  perdarahan atau
pembentukan ulkus (borok, luka terbuka). Paling sering terjadi pada
alkoholik
4. Gastritis karena virus atau jamur Bisa terjadi pada penderita
penyakit menahun atau penderita yang mengalami
gangguansistem kekebalan.
5. Gastritis eosinofilik bisa terjadi sebagai akibat dari reaksi
alergi terhadap infestasi cacing gelang. Eosinofil (sel darah putih)
terkumpul di dinding lambung.
6. Gastritis atrofik 
Terjadi jika antibodi menyerang lapisan lambung, sehingga lapisan
lambung menjadi sangattipis dan kehilangan sebagian atau seluruh
selnya yang menghasilkan asam dan enzim. Keadaan ini biasanya terjadi
pada usia lanjut. Gastritis ini juga cenderung terjadi pada orang-

28
orangyang sebagian  lambungnya  telah  diangkat  (menjalani 
pembedahan gastrektomi parsial).  Gastritisatrofik bisa
menyebabkan anemia pernisiosa karena mempengaruhi penyerapan
vitamin B12 darimakanan.
7. Penyakit Meniere
Merupakan jenis gastritis yang penyebabnya tidak diketahui. Dinding
lambung menjadi tebal,lipatannya melebar, kelenjarnya membesar
dan memiliki kista yang terisi cairan. Sekitar 10%  penderita
penyakit ini menderita kanker lambung.
8. Gastritis Sel PlasmaMerupakan gastritis yang penyebabnya tidak
diketahui. Sel plasma (salah satu jenis sel darah putih) terkumpul di
dalam dinding lambung dan organ lainnya. Gastritis juga bisa
terjadi jikaseseorang menelan bahan korosif atau menerima terapi
penyinaran kadar tinggi.
Secara garis besar, Gastritis di bagi menjadi dua subbagian, diantaranya:

1. Gastritis akut
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus
merupakan penyakit yang ringan d a n s e m b u h s e m p u r n a . S a l a h
satu bentuk Gastritis akut yang manifestasi klinisnya
d a p a t  berbentuk penyakit yang berat adalah Gastritis erosit atau
Gastritis hemoragik.
Disebut Gastritis hemoragik karena pada penyakit ini dijumpai
perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi erosi
yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada mukosa
lambung tersebut.

Gastritis (inflamasi mukosa lambung) sering


diakibatkan diet yang sembrono. Individu inimakan terlalu
banyak atau terlalu cepat atau makan makanan yang terlalu
berbumbu atau yangmengandung mikroorganisme penyebab

29
penyakit. Penyakit lain dari Gastritis akut mencakup alkohol,
aspirin, refluk, empedu, atau terapi radiasi.

Bentuk terberat dari penyakit Gastritis akut disebabkan oleh


mencerna asam atau alkali kuat,yang menyebabkan mukosa menjadi
ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut
dapatterjadi, yang mengakibatkan obstruksi piloris. Gastritis
juga merupakan tanda pertama dariinfeksi sistemik akut.

Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan,


biasanya bersifat jinak merupakanrespon mukosa lambung
terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri (setelah
menelanmakanan terkontaminasi), kafein, alkohol dan aspirin
merupakan agen pencetus yang lazim.
2. Gastritis Kronis
Disebut Gastritis kronis apabila infiltrasi sel-sel radang
yang terjadi pada lamina propria dandaerah intra epitelial terutama
terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan
neutrofil padadaerah tersebut menandakan adanya aktivitas.
Gastritis kronis ditandai oleh atropi progresif epitel kelenjar
disertai kehilangan sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi
tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang nyata. Gastritis kronis
digolongkan menjadi dua kategori yaitu gastritis Tipe A (Atropik atau
Fundal) dan gastritis Tipe B (Antral).
Gastritis kronis adalah inflamasi yang lama yang disebabkan
oleh ulkus benigna atau malignadari lambung atau oleh bakteri
Helicobacter Pylory (H. Fylory).

3.2.2 Manifestasi Klinis

Gejalanya bermacam-macam, tergantung kepada jenis gastritisnya.


Biasanya penderita gastritis mengalami gangguan pencernaan (indigesti)
dan rasa tidak nyaman di perut sebelah atas. Pada gastritis karena stress

30
akut, penyebabnya misalnya penyakit berat, luka bakar atau cedera
biasanya menutupi gejala-gejala lambung, tetapi perut sebelah atas terasa
tidak enak.

Bila penderita tetap sakit, ulkus bias menyebar dan mulai mengalami
perdarahan, biasanya dalam waktu 2-5 hari setelah terjadinya cedera.
Perdarahan menyebabkan tinja berwarna kehitaman seperti aspal, cairan
lambung menjadi kemerahan dan jika sangat berat, tekanan darah bisa turun.
Perdarahan bisa meluas dan berakibat fatal.

Gejala dari gastritis erosif kronis berupa mual ringan dan nyeri
di perut sebelah atas. Tetapi banyak penderita (misalnya
pemakai aspirin jangka panjang) tidak merasakan nyeri.Penderita
lainnya merasakan gejala yang mirip ulkus, yaitu nyeri ketika
perut kosong. Jika gastritis menyebabkan perdarahan dari ulkus lambung,
gejalanya bisa berupa:

 Tinja berwarna kehitaman seperti aspal (melena)


 Muntah darah (hematemesis) atau makanan yang sebagian
sudah dicerna, yang menyerupai endapan kopi.
Pada gastritis eosinofilik, nyeri perut dan muntah bias disebabkan oleh
penyempitan atau penyumbatan ujung saluran lambung yang menuju ke
usus dua belas jari. Pada penyakit Meniere, gejala yang paling sering
ditemukan adalah nyeri lambung. Hilangnya nafsu makan, mual, muntah
dan penurunan berat badan, lebih jarng terjadi. Tidak pernah terjadi
perdarahan lambung.

Penimbunan cairan dan pembengkakan jaringan (edema)


bisa disebabkan karena hilangnya protein dari lapisan lambung
yang meradang. Protein yang hilang ini bercampur dengan
isilambung dan dibuang dari tubuh.

31
Pada gastritis sel plasma, nyeri perut dan muntah bias
terjadi bersamaan dengan timbulnya ruam di kuulit dan diare.
Gastritis akut terapi penyinaran menyebabkan nyeri, mual dan
heart burn ( rasa hangat atau rasa terbakar di belakang tulang dada
), yang terjadi karena adanya peradangan dan kadang karena
adanya tukak di lambung . Tukak bias menembus dinding
lambung, sehingga isi lambung tumpah ke dalam rongga perut,
menyebabkan pertitonitis (peradangan lapisan perut) dan nyeri
yang luar biasa. Perut tampak kaku dan keadaan ini memerlukan
tindakan pembedahan darurat.

Kadang setelah terapi penyinaran, terbentuk jaringan parut yang


menyebabkan menyempitnyasaluran lambung yang menuju ke usus dua
belas jari, sehingga terjadi nyeri perut dan muntah.Penyinaran bisa
merusak lapisan pelindung lambung, sehingga bakteri bisa masuk
ke dalamdinding lambung dan menyebabkan nyeri hebat yang muncul
secara tiba-tiba.

3.2.3 Diagnosis
a. Gastritis Akut
Tiga cara menegakkan diagnosis, yaitu gambaran klinis, gambaran
lesi, mukosa akut dimukosa lambung berupa erosi atau ulkus
dangkal dengan rata pada endoskopi dan gambaranradiologi.
Dengan kontras tunggal sukar untuk melihat lesi permukaan yang
superfisial karenaitu sebaiknya digunakan kontras ganda. Secara
umum peranan endoskopi saluran cerna bagian atas lebih sensitif dan
spesifik untuk diagnosis kelainan akut lambung.Gastritis akut harus
selalu diwaspadai pada saat pasien pada keadaan kronis yang berat
atau penggunaan aspirin dan anti inflamasi nonsteroid. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan gastroskopi. Pada pemeriksaan
gastroskopi akan tampak mukosa yang sembab, merah muda

32
berdarah atau terdapat perdarahan spontan, erosi mukosa yang
bervariasi dari penyembuhan sampai tertutup oleh tekanan darah
dan kadang-kadang ulserasi. Lesi-lesi tersebut biasanya terdapat
pada fundus dan korpus lambung secara endoskopi gastritis akut
dapat berupa gastritis eksudatif atau eritematus, gastritis erosive
flat, gastritis reised, gastritis hemoragik dan memberikan manfaat
yang berarti untuk menegakkan gastritis akut.
b. Gastritis Kronis

Evaluasi diagnosis untuk gastritis kronis di lakukan dengan : pada


Tie A dihubungkan dengan tidak adanya atau rendahnya kadar assam
hidroklorida, Tipe B dihubungkan dengan hipoklarhidria dan gastritis pada
gastrointestinal atas, seri sinar X dan pemeriksaan histologis.

Diagnosis gastritis kronik ditegakkan berdasarkan pemeriksaan


endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaaan histopatologi biopsy
mukosa lambung, perlu pua dilakukan kultur untuk membuktikan adanya
infeksi Helicobacter Pylory apalagi jika ditemukan ulkus baik pada
lambung ataupun pada duodenum. Meningkat angka kejadian yang cukup
tinggi yaitu hamper mencapai 100% . Dilakukan pula Rapid Ureum Test
(CLO). Kriteria minimal yang ditegakkan diagnosis Helicobacter Pylory
jika hasil Ureum Test (CLO) dan ataupun positif dilakukan pula
pemeriksaan serologi untuk Helicobacter Pylory sebagai diagnosis awal.

Kebanyakan gastritis kronik tanpa gejala. Mereka yang mempuya


keluhan biasanya keluhanya tidak jelas. Keluhan yang sering dihubungkan
dengan gastritis adanya nyeri tumpul di epigastrium, disertai dengan
mual/kadang muntah-muntah, cepat kenyang. Keluhan – keluhan ini tidak
dapat digunakan untuk evaluasi keberhasilan pengobatan, pemeriksaan fisik
tidak memberikan informasi apapun juga.

33
Diagnosis ditegakkan berdasarkan endoskopi dan histopatologi
untuk pemeriksaan histopatologi sebaiknya dilkukan biopsy dan dan semua
segmen lambung.

3.2.4 Penatalaksanaan Gastritis

a. Gastritis Akut
Faktor utama adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet
lambung dengan porsi kecil dan sering. Obat-obatan ditunjukan untuk
mengatur sekresi asam lambung berupa antargonis reseptor H2 Inhibition
pompa proton, antikolinergik dan antacid juga ditunjukan sebagai sifo
protector berupa sukralfat dan prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap
pasien dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari
dan menghentikan obat yang dapat menjadi kuasadan pengobatan suportif.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida dan antagonisH2
sehingga mencapai PH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi
perdebatan, tetapi padaumumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita
penyakit dengan keadaan klinis yang  berat. Untuk pengguna
aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik
adalahdengan Misaprostol, atau Devivat Prostaglandin Mukosa.
Dahulu sering dilakukan kuras lambung dengan air es untuk
menghentikan perdarahan saluran cernabagian atas, karena tidak ada bukti
klinis yang dapat menunjuka manfaat tindakan terrsebut untuk
menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas, pemberian antasida,
antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek teraupetiknya
massih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan
sipasien akan membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada
sebagian pasien biasa mengancam jiwa. Tindakan-tinda itu misalnya dengan
endoskpi skleroterapi, embolisasi arteri gastrrika kiri atau gastrektomi.
Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar absolut.

34
Penatalaksanaan medical untuk gastritis akut dilakuka dengan
menghindari alkohol dan makanan samppai gejala dilanjutkan diet tidak
mengiritassi. Bila gejala menetap diperlukan cairan intravena. Bila terdapat
perdarahan, penatalaksanaan serupa dengan pada hemoragi saluran
gastrointestinal atas. Bila gastritis dihubungkan dengan alkali kuat, gunakan
jus karena adanya bahaya perforasi

b. Gastritis kronis
Faktor utama adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar disertai sel
parietal dan chief cell  Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa
mempunyai permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan
menjadi dua kategori Tipe A (Altrofik atau Fundal) dan tipe B (Antral).
Gastritiskronis Tipe A disebut juga Gastritis altrofik atau fundal,
karena mempunyai fundus pada lambung Gastritis kronis Tipe A
merupakan suatu penyakit auto imun yang disebabkan adanya auto
antibody terhadap sel. Parietak kelenjar lambung da factor
intrinsic yang berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan Chef
Cell, yang merupakan sekresi asam dan menyebabkan tingginya
kadar gastrin.
Gastritis kronis Tipe B disebut juga sebagai Gastritis antral karena
umunya mengenai daerahatrium lambung dan lebih sering terjadi
dibandingkan dengan Gastritis kronis Tipe A.
Jadi penyebab utama Gastritis Tipe B adalah infeksi kronis oleh
Helicobacter Pylory. Faktor etiologi Gastritis kronis lainnya adalah
asupan alkohol yang berlebihan, merokok, dan refluks dapat
mencetuskan terjadinya ulkus peptikum dan karsinoma.
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit
yang dicurigai. Bila terdapat ulkus dedenum. Dapat diberikan antibiotik
untuk membatasi Helicobacter  Pylory, namun demikian lesi tidak selalu
muncul dengan gastritis kronis alcohol dan obat yang diketahui mengiritasi
lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia devisiensi besi (yang

35
disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyait ini harus diobati, pada
anemia pernisiosa harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang
sesuai.
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet pasien,
meningkatkan istirahat mengurangidan memulai farmakoterapi.
Helicobacter  Pylory dapat diatasi dengan antibiotic ( seperti
tetrasiklin atau Amoxiicillin) dan garam bismuth (Pepto bismuth).
Pasien dengan gastritis tie A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin
B.12.
Pengaruh Obat Antiinflamasi Nonsteroid terhadap Lambung
Umunya OAINS bekerja dengan menghambat enzim cyclooxigenase 1 dan
cyclooxigenase 2.Enzim Cyclooxygenase berfungsi sebagai pemecah asam
arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin adalah
molekul perantara peradangan. Selain itu prostaglandin adalah
molekul protektif untuk mukosa lambung. Pengaruh prostaglandin
terhadap lambung adalah menurunkan sekresi asam lambung dan
meningkatkan sekresi mukus pada mukosa lambung. Jika terjadi
hambatan dalam produksi prostaglandin, maka memperbesar
terjadinya kerusakan pada mukosa lambung. Karena mukus yang
berkurang dan asam lambung yang banyak diproduksi. Dan hal ini
terjadi pada pasien yang menggunakan obat-obatan anti inflamasi non
steroid.

3.3 ANEMIA
3.3.1 Definisi
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan dimana
jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen)
dalam sel darah merah berada dibawah normal. Sel darah merah
mengandung hemoglobin, yang memungkinkan mereka mengangkut
oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah me rah atau jumlah

36
hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut
oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh.1
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit.
Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Pada keadaan
tertentu seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan, ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Kriteria anemia
menurut WHO laki-laki dewasa < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil < 12
g/dl, wanita hamil < 11 g/dl.1
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam-macam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
karena:
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2. Kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
3.3.2 Klasifikasi
Salah satu klasifikasi untuk menentukan anemia adalah berdasarkan
gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah
tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:1
1. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg) :
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia mayor
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer (MCV 80-90 fl dan MCH 27-34 pg):
a. Anemia pasca perdarahan
b. Anemia aplastika
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik

37
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom myelodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer (MCV > 95 fl) :
a. Bentuk megaloblastik
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom myelodisplastik

3.3.3 Patofisiologi dan Gejala Anemia


Gejala umum anemia timbul karena anoksia organ dan mekanisme
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala
umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah
7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada :
1. Derajat penurunan hemoglobin
2. Kecepatan penurunan hemoglobin
3. Usia
4. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala :


1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul setelah penurunan hemoglobin sampai <
7 g/dl. Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak
napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan

38
jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena
dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb < 7 g/dl)
2. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia
a. Anemia defisiensi besi
Disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis dan kuku sendok
(koilonychia)
b. Anemia megaloblastik
Glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
c. Anemia hemolitik
Ikterus, splenomegali dan hepatomegali
d. Anemia aplastik
Perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang : sakit perut,
pembengkakan parotitis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis
rheumatoid.1
3.3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
1. Pemeriksaan penyaring (screening test)
Untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks
eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna
untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
2. Pemeriksaan darah seri anemia

39
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit dan laju endap darah.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia
aplastik, anemia megaloplastik, serta kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.
4. Pemeriksaan khusus
 Anemia defisiensi besi : Serum iron. TIBC (Total iron binding
capacity), saturasi transferin, protoporfin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferindan pengecatan besi pada sumsum tulang.
 Anemia megaloblastik : Folat serum, vitamin B12 serum, tes
superasi deoksiuridin dan tes schiling
 Anemia hemolitik : Bilirubin serum, tes coomb, elekroforesis
hemoglobin dll
 Anemia aplastik : Biopsi sumsum tulang.1
3.3.5 Anemia akibat penyakit kronis
Cartwright dan Wintrobe menyebutkan b ahwa peneliti-peneliti di
Prancis tahun 1842 membuktikan bahwa bahwa pasien tifoid dan cacar
mengandung masa eritrosit yang lebih rendah dibandingkan orang normal.
Belaksngan ini diketahui bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia, sifilis,
HIV-AIDS dan juga penyakit lainnya seperti reumatoid artritis, gout artritis,
limfoma hodgkin, kanker sering disertai anemia dan introduksi sebagai
anemia penyakit kronis.
Anemia pada penyakit kronis ditandai cengan pemendekan masa
hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit
akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin.

Pemendekan Masa Hidup Eritrosit


Diduga mekanisme anemia merupakan bagian dari sindrom stress
hematologik dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi dan kanker. Sitokin tersebut

40
dapat menyebabkan sekuesterasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak
zat besi, meningkat destruksi eritrosit dilimpa, dan menekan produksi
eritropoetin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat
pada eritropoesis disumsum tulang. Lebih lanjut malnutrisi dapat
menyebabkan ;penurunan transformasi T. (tetra-iodothyronine) menjadi T3
(tri-iodothyronine) menyebabkan hipotiroid fungsional dimana terjadi
penurunan kebutuhan hemoglobin yang mengakut oksigen sehingga sintesis
eritropoetin akhirnya berkurang.1
Gangguan Metabolisme Zat Besi
Terdapat kadar besi yang rendah meskipun cadfangan besi cukup
menunukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis.
Hal ini memberikan konsep bahwa anemianya disebabkan karena penurunan
kemampuan Fe dalam sintesis hemoglobin.1
Normal Anemia Anemia
defisiensi penyakit
Fe kronis
Fe plasma 70-90 30 30
(mg/L)
TIBC 250-400 >450 <200
Persen 30 7 15
saturasi
Kandungan ++ - +++
Fe di
makrofag
Feritin 20-200 10 150
serum
Reseptor 8-28 >28 8-28
transferin
serum
Tabel perbedaan Fe pada lorang normal, Anemia defisiensi Fe, dan
anemia penyakit kronis.

41
Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh saluran cerna pada
beberapa kasus dengan kelainan kronis memberikan hasil yang sangat
bervariasi, sehingga tidak dapat disimpulkan, walaupun ringan. Uptake zat
besi ke sel-sel usus dan pengikat oleh apoferitin intrasel masih
dipertahankan normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan Fe
dari makrofag dan sel-sel hepar pada penyakit kronis.

Fungsi Sumsum Tulang


Karena sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi suatu
penurunan sedang dari masa hidup eritrosit, ia memerlukan stimulasi
eritropoetin oleh hipoksia karena anemianya. Pada penyakit kronis diduga
respon terhadap eritropoetin berkurang, sehingga terjadi anemia.
Mekanisme ini masih kontroversial, karena pada beberapa penelitian
ternyata kadar eritropoetin tidak berbeda bermakna pada pasien anemia
tanpa kelainan kronis. Sedangkan penelitian lain menyebutkan adanya
penurunan produksi eritropoetin. Agaknya sitokin, seperti IL-1 dan TNF-α,
yang dikeluarkan oleh sel-sel yang rusak bertanggung jawab dalam hal
respons ini.
Ada 3 sitokin, yaitu TNF-α, IL-I,IFN , semua sitokin ini ada dalam
plasma pasien inflamasi dan kaner serta didapatkan hubungan langsung
antara kadarnya dan beratnya anemia. TNF-α dihasilkan oleh makrofag aktif
dan bila disuntukan pada tikus menyebabkan anemia ringan dengan
gambaran khas seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang
manusia ini akan menekan eritropoeisis pada pembentukan BFU-E dan
CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa efek TNF-α ini melalui IFN
yang diinduksi oleh TNF dari sel stroma.1
IL-I yang dikeluarkan dari beberapa sel yang teraktivasi dan
bertanggung jawab untuk berbagai manifestasi inflamasi, juga terdapat
dalam serum pasien penyakit kronis. IL-I seperti halnya TNF akan
menginduksi anemia pada rodentia dan menekan pembentukan CFU-E pada

42
kultur sum-sum tulang manusia. Perbedaan efek IL-I melalui mediator INF
yang dihasilkan oleh limfosit T yang teraktivasi.
Kedua interferon tadi diduga dapat berlangsung menghambat CFU-E
tanpa melalui efek TNF-α, serta dapat menekan progenitor non-erotroid.
Walaupun demikian, bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia
secara pasti belum dapat dijelaskan karena masih banyak faktor-faktor lain
yang tak terduga yang mungkin berperanpenting dalam patogenesis anemia
jenis ini.1

3.3.6 Pendekatan Terapi


Hal yang perlu diperhatikan pada terapi Anemia adalah:
1. Pengobatan hendaknya diberikan sesuai dengan diagnosa definitif
yang telah ditegakkan lebih dulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3. Pengobatan dapat berupa : terapi pada keadaan darurat misal
perdarahan, terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing
anemia, terapi kausal untuk mengobati penyakit dasarnya
4. tranfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dan ada tanda-
tanda gangguan hemodinamik.1
Terapi utama untuk penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapan pilihan dalam mengobati anemia jenis ini,
antara lain :
 Transfusi
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin
berapa kita harus memberi transfusi. Pada pasien anemia akibat
kanker sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dl.
 Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus
dalam perdebatan. Sebagian pakar memberikan preparat besi dengan
alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-alfa. Alasan lain pada

43
penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal. Preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra.
Sampai saaty ini pemberian masih belum direkomendasikan untuk
diberikan pada anemia penyakit kronis.
 Eritropoetin
Pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah disepakati untuk
diberikan pada pasien akibat kanker,gagal ginjal, mieloma multiple,
artritis reumatoid, artritis gout dan pasien HIV.
Saat ioni terdapat tiga jenis eritropoetin yaitu eritropoetin alfa,
eritropoetin beta dan darbopoetin. Masing-masing berbeda struktur
kimiawi, afnitas terhadap reseptor dan waktu paruhnya sehingga
memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.
Selain itu dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya,
pemberian eritropoetin mempunyai beberapa keuntunga, yakni :
mempunyai efek antiinflamasi dengan cara menekan produksi TNF-
alfa dan interferon-gamma. Pemberian eritropoetin akan menambah
proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada
kanker kepala dan leher.
Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis
merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan
transfusi, preparat besi maupun eritropoetin.1

3.4 Diabetes Melitus

3.4.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah

3.4.2 Epidemiologi

44
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013 melakukan
wawancara untuk menghitung proporsi DM pada usia 15 tahun keatas.
Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis
oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh
dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala sering lapar, sering
haus, sering buang air kecil dengan jumlah banyak dan berat badan turun.
Hasil wawancara tersebut mendapatkan bahwa proporsi DM pada Riskesdas
2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Menurut
hasil penelitian Riskesdas 2013, prevalensi DM di Indonesia berdasarkan
diagnosis dokter/gejala adalah sebesar 2,1% dan diagnosis dokter sebesar
1,5%. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan
Kalimantan Timur (2,3%). Berdasarkan karakteristik kelompok umur, dari
hasil diagnosis dokter, usia 55-64 tahun menempati urutan pertama sebesar
4,8% disusul dengan 65-74 tahun di urutan kedua sebesar 4,2%. [9]

3.4.3 Faktor Risiko dan Klasifikasi DM [10]

Pada tahun 2016, American Diabetes Association telah merekomendasikan


untuk melakukan pemeriksaan diabetes terhadap individu yang
asimptomatik yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 Pemeriksaan dianjurkan untuk semua individu yang memiliki BMI ≥ 23


kg/m2 (overweight) dan memiliki faktor risiko tambahan:
- Inaktivitas fisik
- Ras / etnis dengan risiko tinggi; Afrika-Amerika, Asia-Amerika
- Wanita yang melaahirkan bayi > 4000 gram atau telah terdiagnosa DM
gestasional - Hipertensi
- Tingkat kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau tingkat trigliserida > 250
mg/dL
- Riwayat penyakit kardiovaskular

45
 Pemeriksaan dianjurkan untuk dilakukan pada seluruh pasien yang berusia >
45 tahun.
 Jika hasil normal, pemeriksaan dapat diulang pada interval 3 tahun atau
tergantung dari risko yang dimiliki pasien.

Klasifikasi etiologis DM (American Diabetes Association, 2016):

Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke


defisiensi insulin absolut)

- Proses imunologik
- Idiopatik
Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi; predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif dan predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin)

Diabetes Tipe lain


- Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas; pankreatitis
- Endokrinopati; hipertiroidisme
- Karena obat/zat kimia; glukokortikoid
- Infeksi; rubella kongenital, CMV
- Imunologi (jarang); sindrom Stiffman
- Sindroma genetik lain; sindrom Down

Diabetes Kehamilan

3.4.4 Diagnosis

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar


berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari
poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang
jelas. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka
yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus
vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal. [2]

46
Penilaian kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan mengukur kadar gula
darah puasa/fasting plasma glucose (GDP/FPG), atau nilai glukosa plasma 2
jam setelah pemberian beban glukosa 75 gram per oral (oral glucose
tolerance test / OGTT). Selain itu, International Expert Committee
menambahkan kadar A1C (dengan nilai ambang ≥ 6,5%) sebagai kriteria
untuk diagnosis DM.

47
3.4.5 Faktor Risiko

Faktor risiko Diabetes Melitus Secara umum, diabetes melitus dapat


disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1.Genetika

Seseorang yang memiliki penyakit diabetes miletus dapat menurunkan


penyakit tersebut kepada anak-anaknya. Anak penderita diabetes tipe 2
memiliki peluang menderita DM 2 sebanyak 15%-30% risiko
ketidakmampuan metabolisme karbohidrat secara normal.

2. Obesitas

(berat badan ≥ 20% dari berat ideal) Obesitas yang terjadi pada seseorang
dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat
bekerja dalam sel pada otot skeletal dan jaringan lemak. Dengan terjadinya
obesitas maka akan merusak sel beta dalam memproduksi dan melepaskan
insulin, sehingga terjadi penumpukan gula darah.

3. Usia

Semakin bertambah umur seseorang maka prevalensi DM semakin


meninggi. Biasanya DM dialami oleh orang-orang yang telah berusia 30

48
tahun, yang mana telah mengalami perubahan fisiologis, anatomi, dan
biokimia. Salah satu yang mengalami perubahan adalah sel beta

3.4.6 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar
HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila
kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang
diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang
ditentukan.

Tabel Sasaran Pengendalian DM

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.

49
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Pilar penatalaksanaan DM : Edukasi, Terapi Nutrisi Medis, Latihan Jasmani,
Intervensi Farmakologis

1. Edukasi
Terapi pasien DM tipe II diawali dengan edukasi, pada pasien ini telah
dilakukan edukasi rutin dengan tujuan promosi hidup sehat, mengenai
pengertian, perjalanan, pengendalian dan pemantauan DM tipe II serta
berbagai penyulitnya baik yang akut atau kronik.
Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
- Materi tentang perjalanan penyakit DM.
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
- Penyulit DM dan risikonya.
- Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
- Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
- Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
- Pentingnya perawatan kaki.
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau
Tersier, yang meliputi:

50
- Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
- Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
- Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
- Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
- Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
- Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
- Pemeliharaan/perawatan kaki.

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)


TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien
dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan
sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan

51
kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
- Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
- Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori
sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% totalasupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:
- lemak jenuh < 7 % kebutuhankalori.
- lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
- selebihnya dari lemak tidak jenuhtunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream.
- Konsumsi kolesterol dianjurkan< 200 mg/hari.
Protein
- Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

52
- Sumber protein yang baik adalah ikan,udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan
65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM
yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg
BB perhari.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <2300 mg perhari.
- Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
- Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacangkacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
- Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
Pemanis Alternatif
- Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman
- Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan
pemanis tak berkalori.
- Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
- Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,sorbitol
dan xylitol.

53
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari
makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
- Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame

B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan
kaloribasal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.Jumlah kebutuhan tersebut
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara
perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang


dimodifikasi:
- Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
- Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
- Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal ± 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung denganrumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
o BB Kurang <18,5
o BB Normal 18,5-22,9
o BB Lebih ≥23,0
◊ Dengan risiko 23,0-24,9

54
◊ Obes I 25,0-29,9
◊ Obes II ≥30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25 kal/kgBB
sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
- Umur
 Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk setiap decade antara 40 dan 59 tahun.
 Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
 Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
 Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik.
 Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat.
 Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan:
pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
 Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai
industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
 Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh,
atlet, militer dalam keadaan latihan.
 Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang
becak, tukang gali.
- Stres Metabolik
 Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi,trauma).
- Berat Badan
 Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi
sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.

55
 Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-
30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
 Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal
perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung
dan komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-
15%) di antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah
dan jenis makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
DM yang mengidap penyakit lain,pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyerta.

3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2
apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan
latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa
darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu
dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan
sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam latihan jasmani
meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal)(A) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi angka 220 dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa
kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol,

56
retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan
beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang
relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan
masing-masing individu.
4. Terapi Farmakologis
Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
• Sulfonilurea
• Glinid
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin
• Tiazolidindion (TZD).
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran Pencernaa:
• Penghambat Alfa Glukosidase.
• Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
• Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat Antihiperglikemia Suntik.
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

57
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Penatalaksanaan pada pasien dengan ulkus DM adalah mengendalikan


kadar gula darah dan penanganan ulkus DM secara komprehensif.

3.5 Ulkus Diabetik

58
3.5.1 Definisi
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir
disertai kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus
diabetikum adalah salah satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka
pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan
setempat.18
3.5.2 Epidemiologi
Menurut pendidikan epidemiologi, pasien Ulkus dengan Diabetes Melitus
meningkat sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985, 117 juta pada tahun
2000, pada tahun 2010, 285 kasus dan diperkirakan akan lebih dari 360
kasus pada tahun 2030 yang mengalami Ulkus Diabetikum.19
Ulkus diabetikum adalah merupakan komplikasi dari Diabetes yang
terlihat dari peningkatan kasus setiap decade. Secara keseluruhan
diperkirakan 15% pada pasien Diabetes akan terkena ulkus diabetikum
selama hidupnya. Saat ini Ulkus Diabetikum merupakan ,sekitar 50-70%
anggota gerak bagian bawah yang terkena ulkus akan mengalami
amputasi.

3.5.3 Patogenesis20
Kaki diabetik disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut Trias
yaitu: Iskemik, Neuropati, dan Infeksi. Pada penderita DM apabila kadar
glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu
neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya
penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek
otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila
diabetisi tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi ulkus
diabetika. Terjadinya masalah ulkus kaki diabetik diawali adanya
hiperglikemi pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik yang neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomikakan mengakibatkan berbagai

59
perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kakidiabetik. Perubahan patofisiologi pada tingkat
biomolekuler menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer
dan penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses
penyembuhan luka. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut
maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik,
sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan
kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus,
pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama
dengan adanya neuropati memudahkanterbentuknya kalus. Kerusakan
serabut sensoris yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin
mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya
ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi
simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura
kulit dan edema kaki.Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom
memudahkan terjadinya artropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik
akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang
bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan
tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit
prosespenyembuhan ulkus kaki Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika
dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu ulkus diabetika neuropati, iskemia
dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor
neuropati (82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat
iskemia.

60
Gambar
3.5.4 Klasifikasi Kaki Diabetik 21
Penilaian dan klasifikasi ulkus diabetes sangat penting untuk
membantu perencanaan terapi dari berbagai pendekatan dan membantu
memprediksi hasil. Beberapa sistem klasifikasi ulkus telah dibuat yang
didasarkan pada beberapa parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati,
iskemia, kedalaman atau luasnya luka, dan lokasi.
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diabetikum dibagi
menjadi enam derajat menurut Wagner, yaitu :
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"
2. Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang
4. Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas
5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa
selulitas

61
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai10

3.5.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki
saat istirahat., sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis),
penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering.22

3.5.6 Diagnosis Kaki Diabetik


Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki
diabetik ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki
diabetes melitus dapat ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan
sebagai berikut : a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga Riwayat
kesehatan pasien dan keluarga meliputi:
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alcohol

Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,
pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas, gejala
neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah
adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman,
penampakan ulkus, temperatur dan bau.
b. Pemeriksaan fisik

62
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit, pecah
pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya kalus atau bula;
bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap
dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe
atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan
kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128- Hz, pinprick sensation, reflek kaki
untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi
pada arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kulit dan
kuku dan pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis


pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau
sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain.

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan


pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

e. Pemeriksaan sederhana

Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki diabetik


adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu pemeriksaan
sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling
tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai.
Nilai normalnya adalah O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah
pasien penderita diabetes melitus memiliki penyakit kaki diabetik dengan
melihat gangguan aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang digunakan

63
ultrasonic doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan manset
pneumatic standar untuk mengukur tekanan darah ekstremitas bawah.

3.5.7 Perawatan Kaki Diabetes

Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang

dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease

1 Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air

2 Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit

terkeluapas, kemerahan, atau luka

3 Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya

4 Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan

mengoleskan krim pelembab ke kulit yang kering

5 Potong kuku secara teratur

6 Keringkan kaki, sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar

mandi

7 Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan

lipatan pada ujung-ujung jari kaki

8 Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur

9 Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang

dibuat khusus

10 Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan

hak tinggi

11 Jangan gunakan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk

Kaki

64
3.5.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan ulkus DM adalah mengendalikan
kadar gula darah dan penanganan ulkus DM secara komprehensif.
1) Pengendalian Diabetes
a) Terapi non farmakologis:
Langkah awal penanganan pasien dengan kaki diabetik adalah dengan
melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara
sistemik.Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes, salah
satunya adalah terjadinya gangren diabetik. Jika kadar glukosa darah dapat
selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua komplikasi yang akan
terjadi dapat dicegah, paling sedikit dihambat. Dalam mengelola diabetes
melitus langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non
farmakologis, Perubahan gaya hidup, dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis dan meningkatkan aktivitas
jasmani berupaolah raga ringan. Perencanaan makanan pada penderita
diabetes melitus juga merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan
diabetes melitus.Perencanaan makanan yang memenuhi standar untuk
diabetes umumnya berdasarkan dua hal, yaitu; a).Tinggi karbohidrat,
rendah lemak, tinggi serat, atau b).Tinggi karbohidrat, tinggi asam lemak
tidak jenuh berikatan tunggal. Edukasi kepada keluarga juga sangat
berpengaruh akan keadaan pasien. Peran keluarga sendiri adalah
mengkontrol asupan makanan, obat-obat gula yang dikonsumsi setiap hari
serta mencegah semaksimal mungkin agar penderita tidak mengalami luka
yang dapat memicu timbulnya infeksi.
b) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi
non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Terapi farmakologis yang

65
diberikan adalah pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
Terdapat enam golongan obat anti diabetes oral yaitu:  Golongan
sulfonilurea  Glinid  Tiazolidindion  Penghambat Glukosidase α 
Biguanid  Obat-obat kombinasi dari golongan-golangan diatas

2) Penanganan Ulkus Diabetikum


Penanganan pada ulkus diabetikumdilakukan secara komprehensif.
Penanganan luka merupakan salah satu terapi yang sangat penting dan
dapat berpengaruh besar akan kesembuhan luka dan pencegahan infeksi
lebih lanjut. Penanganan luka pada ulkus diabetikum dapat melalui
beberapa cara yaitu: menghilangkan atau mengurangi tekanan beban
(offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan
infeksi, debridemen, revaskularisasi dan skin graft
a) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting padakasus ulkus
diabetika.Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan
benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh
apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau
rongga yang memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan
debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau
pembersih lain dandilakukan dressing (kompres).
b) Perawatan Luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing atau
menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Lingkungan luka yang
seimbang kelembabannya memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi
kolagen didalam matrik non-selular yang sehat. Luka akan menjadi cepat
sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan
lembab, luka tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi
dan permeabel terhadap gas.Tindakan dressing merupakan salah satu
komponen penting dalam mempercepat penyembuhan lesi.Prinsip
dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan lembab

66
sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi. Ada beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih dressing yang akan
digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada tidaknya
infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis dressing yang
sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel,
calcium alginate, foam, kompres anti mikroba.
c) Pengendalian infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada infeksi
berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.Pada
beberapa penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang dominan pada
infeksi ulkus diabetik diantaranya adalah s.aureus kemudian diikuti
dengan streotococcus ,staphylococcus koagulase negative, Enterococcus,
corynebacterium dan pseudomonas. Pada ulkus diabetika ringan atau
sedang antibiotika yang diberikan di fokuskan pada patogen gram
positif.Pada ulkus terinfeksi yang berat kuman lebih bersifat polimikrobial
(mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk
batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat broadspektrum,
diberikan secara injeksi.
Adapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik pada kaki diabetik :
- Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri-bakteri
ditempatyang dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).
- Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap
bakteri-bakteri tertentu. Antibiotik yang mempunyai potensi baik,
memungkinkan pemberian dosis yang kecil khususnya pada infeksi yang
ringan — sedang.
- Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa
biasanya penyebabnyapolymicrobial. Sehingga gunakanantibiotik yang
melawan aerob gram positif, aerob gram negatif, dan anaerob
Pemberian antibiotika didasarkan pada :
1. Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang
diberikan difokuskan pada patogen Gram positif.

67
2. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri
Gram positif berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan
bakteri anaerob). Antibiotika harus bersifat broadspectrum dan diberikan
secara injeksi.

Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan
beberapa alternatif antibiotika seperti : ampicillin/sulbactam,
ticarcillin/clavulanate, piperacillin/ tazobactam, Cefotaxime atau
ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin. Sementara
pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat diberikan
beberapa alternatif antibiotika seperti berikut : ampicillin/sulbactam +
aztreonam, piperacillin/tazobactam + vancomycin, vancomycin +
metronbidazole + ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone +
vancomycin + metronidazole. Pada infeksi berat pemberian antibitoika
diberikan selama 2 minggu atau lebih.
Pada kaki diabetik dengan infeksi superfisial, dapat dimulai
dengan antibiotik per oral seperti kombinasi amoxycillin-clavulanat atau
cyprofloxacine yang dikombinasi dengan clindamycin.Keuntungan
clindamycine oleh karena mempunyai daya penetrasi jaringan yang baik.
Pemakaian cyprofloxacine atau fluoroquinolon lainnya saja tidak
dianjurkan, mengingat sebagian kuman gram positive dan kuman anerob
tidak mempan dengan obat ini.
Pada keadaan infeksi berat terutama disertai sepsis penggunaan
antibiotik harus dilakukan semaksimal mungkin, sebaiknya menggunakan
obat parenteral. Dengan pemikiran bahwa infeks berat umumnya
disebabkan oleh lebih dari satu jenis disamping itu sering juga disertai
kuman anerob, maka Edmond dkk menganjurkan pemberian tiga jenis
obat yaitu cefalosporin i.v 1 gram/8 jam, flucloxacillin 500 mg i.v/6 jam
dan metronidazole 1 gram /8 jam. Pengalaman di klinik kami kombinasi
cefalosporin i.v, aminoglicoside dan metronidazole sangat baik pada

68
kaki diabetik dengan infeksi berat. Perlu diingat penderita dengan kaki
diabetik mungkin disertai gangguan ginjal, sehingga pemakaian
aminoglikoside harus berhati-hati, Dengansendirinya biakkan kuman
dan tes kepekaan sangat penting untuk menentukan pilihan antibiotik
yang paling tepat pada tiap infeksi kaki diabetic
d) Skin Graft
Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari
lokasi donor dan ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam skin
graft yaitu full thickness dan split thickness. Skin graft merupakan salah
satu cara rekonstruksi dari defek kulit, yang diakibatkan oleh berbagai
hal. Tujuan skin graft digunakan pada rekonstruksi setelah operasi
pengangkatan keganasan kulit, mempercepat penyembuhan luka,
mencegah kontraktur, mengurangi lamanya perawatan, memperbaiki defek
yang terjadi akibat eksisi tumor kulit, menutup daerah kulit yang
terkelupas dan menutup luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup
menutupinya(4). Selain itu skin graft juga digunakan untuk menutup ulkus
kulit yang kronik dan sulit sembuh. Terdapat 3 fase dari skin graft yaitu:
imbibition, inosculation, dan revascularization. Pada fase imbibition
terjadi proses absorpsi nutrient ke dalam graft yang nantinya akan menjadi
sumber nutrisi pada graft selama 24-48 jam pertama. Fase kedua yaitu
inosculation yang merupakan proses dimana pembuluh darah donor dan
resipien saling berhubungan. Selama kedua fase ini, graft saling
menempel ke jaringan resipien dengan adanya deposisi fibrosa pada
permukaannya. Pada fase ketiga yaitu revascularization terjadi
diferensiasi dari pembuluh darah pada arteriola dan venula
e) Tindakan Amputasi
Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren,
jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat
bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.Komplikasi berat dari infeksi
kaki pada pasien DM adalah fasciitis nekrotika dan gas gangren.Pada
keadaan demikian diperlukan tindakan bedah emergensi berupa

69
amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan kondisi
patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau
menghilangkan penyebab yang didapat.

Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa


tingkatan sesuai dengan pembagian menurut wanger, yaitu:
- Tingkat 0 : Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas
kaki khusus dan pelengkap alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal
yang dibuat secara khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila
pada kaki terdapat tulang yang menonjol atau adanya deformitas,
biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan pengguna-an alas kaki buatan
umumnya memerlukan tindakan pemotongan tulang yang menonjol
(exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.
- Tingkat I : Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang
infeksius, perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
- Tingkat II : Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil
kultur, perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih
berarti.
- Tingkat III : Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi
gangren, amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian
antibiotik parenteral yang sesuai dengan kultur.
- Tingkat IV : Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi
sebagian atau amputasi seluruh kaki.

70
BAB V
KESIMPULAN

Hematemesis adalah muntah darah berwarna merah kehitaman


menyerupai endapan bubuk air kopi. Melena adalah buang air besar
dengan kotoran seperti ter atau aspal, lengket bercampur dengan darah.
Keduanya ini sebagai akibat perdarahan saluran makan bagian atas seperti
varises esofagus, karsinoma esofagus, sindroma mallory-weiss, gastritis
erisova hemoragika, tukak lambung, karsinoma lambung. Gastritis erosifa
merupakan kelainan yang salah satu penyebabnya adalah penggunaan,
tingginya dosis, ataupun penggunaan secara bersamaan 2 jenis OAINS.

Efek terapi dari OAINS dapat menghambat penghambatan COX-1


sehingga prostaglandin terrganggu untuk memproduksi mukus pelindung pada
mukosa gaster, maka mukosa gaster mengalami radang dan menyebabkan
terjadinya erosi.penegakan diagnosa pada gastritis erosif ditegakkan dari
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dimana dari anamesis
pasien akan mengeluhkan adanya hematemesis melena, sindrom dispepsia, dan
gejala dari anemia seperti lemas, mudah lelah, mata berkunang-kunang, pusing.
Penetalaksanaan yang dapat kita lakukan adalah pemberian analog prostaglandin
seperti misoprostol, PPI untuk menekan produksi asam lambung, RAH2, Reseptor
H2 Antagonis, sitoproktetif yakni sukralfat untuk melindungoi mukosa lambung
dari asam lambung.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2006, hal.289-292
2. Almani SA. Chirrosis of liver: etiology, complication, and prognosis. lackwell
publishing; 2009. hlm. 65-79.
3. PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: PB PAPDI; 2005.
4. Moradpour D, Blum HE. Chronic or recurring abdominal pain. In: Siegenthaler
W, ed. Differential diagnosis in internal medicine, from symptom to diagnosis,
1st ed. Thieme: New York; 2007: 273-99.
5. Bickley LS. The abdomen. In: Bickley LS, ed. Bates’ guide to physical
examination and history taking, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins: New
York; 2002: 317-66.
6. Sepe PS, Yachimski PS, Friedman LS. Gastroenterology. In: Sabatine MS, ed.
Pocket medicine, 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2008:
3.1-25.
7. Longo DL. Gastrointestinal bleeding. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
et al, eds. Harrison’s manual of medicine, 17th ed. McGraw Hill: New York;
2009: 259-62.
8. Kementrian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI 2014: 1-3.
9. Sastroamoro, S dkk., Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam
RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo., Jakarta, 2007
10. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes2016.
Diabetes Care 2016;39(1):13-45
11.Arif M dkk. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. ISO Farmakoterapi., PT.ISFI :
Jakarta. 2008
12.Mubin, AH. Diagnosis dan Terapi, Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 2. EGC : Jakarta, 2006

72
13.Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC . Farmakologi Ulasan Bergambar.
Edisi 2., Widya Medika : Jakarta, 2001
14. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, Heine RJ, Holman RR, Sherwin R, et al.
Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes: A Consensus Algorithm
for the Initiation and Adjustment of Therapy. Diabetes Care 2006;29(8):1963-
8
15. Younk LM, Mikeladze M, Tate D, Davis SN. Exercise-related hypoglycemia
in diabetes mellitus. Expert Rev Endocrinol Metab 2011;6(1): 93–108.
16. Handelsman Y, Bloomgarden ZT, Grunberger G, Umpierrez G, Zimmerman
RS. AACE/ACE Diabetes Guidelines. Endocr Pract 2015;21(1):31-2.
17.HamdyO.Hypoglycemia.Availableat:http://emedicine.medscape.com/articl
e/122122-overview#a7. Accessed on September 10 2018.
18. Misnadiarly. Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer
Obor, Jakarta, 2006.
19. Riyanto B. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam : Darmono, dkk, editors.
Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit
dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.15-30.
20. Djokomoeljanto. Tinjauan Umum tentang Kaki Diabetes. Dalam:
Djokomoeljanto dkk, editor, Kaki Diabetik Patogenesis dan
Penatalaksanaannya, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,
1997.

73

Anda mungkin juga menyukai