Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Disusun oleh:
Dita Alvietdiar
01.209.5878
Pembimbing :
dr. Sri Priyantini, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi virus dengue merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia,
ditularkan melalui gigitan sserangga dengan peningkatan angka kejadian di
daerah tropis. Kasus DHF di dunia rata rata setiap tahunnya dilaporkan ada
925.896 kasus, sedangkan di Indonesia telah mencapai lebih dari 160.000 (15
20% kasus dunia). Diantara negara WHO, selama 3 tahun berturut turut (tahun
2006, 2007, 2008) laporan kasus di Indonesia merupakan yang tertinggi
(Hapsari, et al., 2010).
Tahun 2004 kasus DHF terus meningkat dan meluas sampai lebih dari 350
kabupaten / kota. Tahun 2008, angka kematian akibat DHF mencapai 1.187
orang, sekitar 100 orang/bulan. Hasil dari RISKESDAS 2007 melaporkan
bahwa DHF merupakan penyebab kematian no. 5 pada balita dan anak, setelah
diare, pneumonia, Necrotizing Enterocolitis (NEC) dan Meningitis. Kasus
kematian karena DHF mencapai 6,8 % (Hapsari, et al., 2010).
Peta insidensi DHF di Indonesia pada tahun 2009 memperlihatkan seluruh
wilayah Jawa insidennya lebih dari 3,5% per 100.000 dan di Jawa Tengah
sebesar 5,6 %. Insiden rate di Jawa Tengah dari tahun 1980 sampai 2009 bila
ditarik garis trend kasus tersebut terlihat terus meningkat. Sepuluh kabupaten /
kota dengan insidensi tinggi tahun 2009 adalah kota Semarang, Magelang,
Jepara, Surakarta, Tegal, Pati, Kudus, Purbalingga, Sragen, Tegal, dan Salatiga
(Hapsari, et al., 2010).
Tahun 2009, 35 kabupaten / kota seluruhnya sudah dilaporkan adanya
kasus DHF (tidak ada yang bebas). Pada tahun 2010 sampai dengan bulan Mei
sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Tengah bagian Timur insidensinya sudah
lebih dari 2 % per 10.000 penduduk. Dilihat dari angka kematian sejak tahun
2007 sudah dibawah 2 % namun masih diatas 1 %, yang menjadi indikator
nasional (Hapsari, et al., 2010).
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
1. Nama penderita
2. Umur/tgl lahir
: An. A
: 6tahun 4 bulan
3. Jenis kelamin
: Perempuan
4. Alamat
: daleman II RT 02/RW 04
5. Nama ayah
: Tn. A Y
6. Umur
: 43 tahun
7. Pendidikan
: SMU
8. Agama
9. Pekerjaan
: Islam
: Swasta
10. Alamat
: daleman II RT 02/RW 04
: Ny. F
12. Umur
: 42 tahun
13. Pendidikan
: SMU
14. Agama
: Islam
15. Pekerjaan
16. Alamat
: daleman II RT 02/RW 04
B. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan ibu penderita pada tanggal 16 September 2014 jam 14.00
WIB di Bangsal Baitunnisa I
Keluhan Utama : Demam
tidak nyeri sendi, nyeri pada daerah ulu hati. namun tidak mual dan muntah, tidak
nyeri telan, tidak mimisan, gusi tidak berdarah, terdapat bintik-bintik merah pada
kulit di tangan dan kaki, kaki dan tangan pasien tidak dingin, batuk (-), pilek (-),
BAB (+) tidak ada keluhan, BAK (+) lancar seperti biasa, jumlah masih seperti
biasanya, warna kuning bening. nafsu makan pasien di rasa semakin menurun
semenjak sakit, minum juga sedikit. karena kondisi pasien yang tidak berangsur
membaik dan semakin lemah, maka pasien di bawa keluarganya ke IGD RSI
sultan agung, dan oleh dokter di sarankan untuk rawat inap.
Pasien tidak pernah pergi ke daerah endemis malaria. di lingkungan tempat
tinggal ada yang sakit demam berdarah juga
Faringitis/Tonsilitis
: disangkal.
Enteritis
: disangkal
Bronkitis
: disangkal
Disentri basiler
: disangkal
Pnemonia
: disangkal
Disentri amoeba
: disangkal
Morbili
: disangkal
Typh.abdominalis
: disangkal
Pertusis
: disangkal
Cacing
: disangkal
Varisela
: disangkal
Operasi
: disangkal
Difteri
: disangkal
Trauma
: disangkal
Malaria
: disangkal
Reaksi obat/alergi
: disangkal
Polio
: disangkal
C. DATA KHUSUS
1. Riwayat Kehamilan
Ibu memeriksakan kehamilan di bidan secara teratur, sejak mengetahui
kehamilan hingga usia kehamilan kurang lebih 38 minggu. Pemeriksaan
dilakukan 1////x sebulan dan mendapat imunisasi tetanus toksoid 1x. Ibu tidak
pernah menderita penyakit selama hamil. Riwayat perdarahan saat hamil
disangkal. Riwayat trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa
resep dokter ataupun minum jamu disangkal. Obat-obat yang diminum selama
kehamilan adalah vitamin dan tablet tambah darah.
2. Riwayat Kelahiran
Lahir spontan, aterm, dengan dibantu bidan, Berat Badan 3200 gram, panjang
Badan 50 cm, langsung menangis dan kemerahan.
3. Riwayat makan-minum
Minum ASI sampai usia 6 bulan. Makanan pendamping ASI (nasi lumat)
mulai usia 6 bulan. Umur 1 tahun di berikan makanan keluarga ( nasi, sayur,
telur, tempe/ tahu) dan buah-buahan. Makan 3 X sehari, porsi piring.
Kesan: Kualitas dan kuantitas cukup.
4. Riwayat Imunisasi dasar dan ulang
N Imunisasi
Berapa Kali
o
1. BCG
1x
Umur
1 bulan
2.
DPT
3x
2,4,6 bulan
3.
Polio
4x
0,2,4,6, bulan
4.
Hepatitis B
3x
0,1,6 bulan
5.
Campak
1x
9 bulan
Tersenyum
: 2 bulan
: 3 bulan
: 7 bulan
Berdiri berpegangan
: 9 bulan
Berjalan
: 14 bulan
16-20,2
2,4
= -1,75 (N)
HAZ = 107-116,6
5,1
(TB/U)
= -1,88 (N)
WHZ =
(BB/TB)
= -1,13 (N)
16-17,7
1,5
: 120/80 mmHg
Nadi
Frekuensi nafas
: 28 x / menit
Suhu
: 39 C
Keadaan umum
Rambut
Kepala
Kulit
Mata
Hidung
Telinga
: discharge (-/-)
Mulut
Tenggorok
Leher
Dinding thorax
Paru
:
Inspeksi : Hemithorax dextra sama dengan sinistra
Auskultasi : SD Vesikuler, Wheezing (-),Ronkhi (-)
Palpasi
: Strem femitus dextra dan sinistra simetris
Perkusi
: sonor di seluruh lapang paru
Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis tidak kuat angkat
perkusi
: dalam batas normal
Auskultasi
: BJ I-II regular, bising (-)
Kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: timpani
Palpasi
Hepar
Lien
: tidak teraba
Alat kelamin
Anggota Gerak :
Atas (ka/ki)
Bawah (ka/ki)
Capilary refill
< 2
< 2
Akral dingin
-/-
-/-
R. Fisiologis
+/+
+/+
R. Patologis
-/-
-/-
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 16-sept-2014 :
DARAH
Hb
: 12,7 g/dl
Hematokrit : 35,4 %
Lekosit
: 7,4 ribu/ul
: O/positif
ASSESMENT
1. febris 5 hari
2. Gizi baik
INITIAL PLAN
1. Assesment : febris 5 hari
DD :
Demam Dengue
Demam Chikungunya
demam berdarah dengue grade II
infus 2A N
kebutuhan cairan per hari : (10 x 100) + (6 x 50)
: 1000 + 300
: 1300 cc
: 515,4 kkal
: 300,65 kkal
: 42,95 kkal
Ip Mx :
-
Follow Up
Tanggal dan TTV
Keluhan
Px fisik
Pf penunjang
terapi
17/sept/2014
HR : 112x/menit
RR : 24x/menit
T: 37,6C
TD : 90/60 mmHg
Panas (+)
KU: lemah
Kepala : mesochepal
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Telinga : discharge (-)
Hidung : discharge (-)
Hb : 12,9 g/dl
Ht : 33,0 %
Leu : 7,4ribu/ul
Trombosit : 92
ribu/ul
Infus RL 25 tpm
Inj ceftriaxone
2x600 mg
Inj.
Dexamethasone
BB : 16 kg
18/sept/2014
HR : 118x/menit
RR : 20x/menit
T: 37,1C
TD : 90/60 mmHg
BB : 16 kg
19/sept/2014
HR : 120x/menit
RR : 28x/menit
T: 36,6C
TD : 100/60 mmHg
BB : 16 kg
Panas (+)
Sudah tidak
panas
Gol. Darah : O
3x1/2 Amp
Inj. Ondancentron
3x1,5 mg
Paracetamol syr
3x1 cth
Hb : 13,0 g/dl
Ht : 33,4 %
Leu : 9,2 ribu/ul
Trombosit : 96
ribu/ul
Infus RL 25 tpm
Inj ceftriaxone
2x600 mg
Inj.
Dexamethasone
3x1/2 Amp
Inj. Ondancentron
3x1,5 mg
Paracetamol syr
3x1 cth
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 35,6 %
Leu : 9,7 ribu/ul
Trombosit : 125
ribu/ul
Infus RL 25 tpm
Inj ceftriaxone
2x600 mg
Inj.
Dexamethasone
3x1/2 Amp
Inj. Ondancentron
3x1,5 mg
Paracetamol syr
3x1 cth
BAB II
Tinjauan Pustaka
Demam Berdarah Dengue Grade II
2.1. DEFINISI
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic
Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue mempunyai 4
serotipe, yaitu Den 1, 2,3 dan 4. Virus Dengue dapat menyebabkan manifestasi
klinis yang bermacam macam dari asimptomatik sampai berakibat fatal yaitu
kematian (Hadinegoro, et al., 1999).
2.2 PATOGENESIS DHF
Terdapat dua teori yang paling banyak dianut dalam patogenesis DBD dan
SSD adalah hipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologus
(secondary heterologous infection). Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien
yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita DBD dan
DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain
yang menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog, maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang berakibat terjadinya peningkatan permiabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue, dapat mengalami
perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulrensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah.
1. Virulensi virus
Virus dengue merupakankeluarga dari Flaviviridae dengan empat
serotipe (Dengue/DEN 1, 2, 3 dan 4).
Sebagai mikroorganisme intraseluler, virus dengue memerlukan asam
nuklet untuk bereplikasi sehingga menganggu sintesis protein sel pejamu,
dan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel pejamu. Kapasitas virus
untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Perbedaan
manifestasi klinis demem dengue, DBD dan SSD mungkin disebabkan oleh
varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda.
Serotipe DEN 2 lebih banyak menyebabkan syok dan DEN 3 sering
dapat diisolasi pada DBD berat dibandingkan dengan serotipe DEN 1 dan
DEN 4.
2. Makrofag/monosit
Berdasarkan hipotesis ADE maka monosit atau makrofag berperan
sebagai sel target.
Secara in vivo, antibodi pada infeksi dengue mempunyai peran yang
berbeda, yaitu enhancing antibody dan neutralizing antibody. Enhancing
antibody merupakan kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai
sifat menetralisasi, tetapi memacu replikasi virus yang diduga berperan
dalam patogenesis DBD atau SSD. Antibodi non neutralisasi yang dibentuk
pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada
infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe
yang berbeda cenderung mengakibatkan manifestasi berat. Dasar utama
3
1
c. Pembesaran hati.
d. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin dan pasien tampak gelisah.
2
Kriteria Laboratoris
1
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, adan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
Pemeriksaan laboratorium
Darah. Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining
pasien demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
vaskular. Uji ini juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus selain
virus dengue. Pemeriksaan dilakukan dengan membendung lengan atas
menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi 2 selama
5 menit. Hasil positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2,5 cm2 atau 1
inchi.
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Selain hemokonsentrasi
juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.
Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan
biasanya memanjang. Pada pemeriksaan kimia darah tampak hipoproteinemia,
hiponatremia serta hipokloremia pada kebocoran plasma. Serum alaninaminotransferase (SGOT/SGPT), ureum dan pH darah mungkin meningkat.
IgM terdeteksi pada hari ke-5, meningkat sampai minggu III,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada
hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder mulai hari ke-2. Interpretasi
pemeriksaan IgM dan IgG :
Ig
Interpretasi
M
+
-
Infeksi primer
Kemungkinan infeksi
sekunder
Infeksi sekunder
Serologi.
1. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan gold standard WHO untuk
mendiagnosis infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan namun apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah
kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.5
2.5 KOMPLIKASI
1. Ensefalopati Dengue
Ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosit
pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular
yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar
darah otak, tetapi sangat jarang dapat menginfeksi jaringan otak. Dikatakan
pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal
maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular.
Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 m/kg berat
badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada syok berat
sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin
dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
3. Oedem Paru
Oedem paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima biasanya tiak akan menyebabkan udem paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma
dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi
bila hanya melihat penurunan Hb dan Ht tanpa memperlihatkan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab kelopak mata dan
ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada (Hadinegoro,
et al., 1999).
2.6 Penatalaksanaan
Prinsip utama penatalaksanaan DBD adalah terapi suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat pendarahan. Asupan cairan harus dijaga terutama
cairan oral. Jika asupan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka
dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi. 1,2,3,11
Cairan awal
RL/NaCL 0,9 % atau RLD5/NaCl 0,9% + D5
BB < 15 kg : 6 7 ml/kgBB/jam
BB 15 40 kg : 5 ml/kgBB/jam
BB > 40 kg : 3 4 ml/kgBB/jam
Pantau tanda tanda vital tiap 3 jam, Ht dan Trombosit tiap 4 jam
Perbaikan
Tanpa tanda tanda syok
Tidak gelisah
Ht tetap tinggi / naik
Nadi kuat
Tekanan darah stabil
Diuresis cukup ( 12 ml/kgBB/jam)
Ht turun (2 kali pernafasan)
Tetesan dikurangi
Tetesan dikurangi
Tetesan
dipertahankan
Tetesan
dipertahankan
Perburukan
- Gelisah
- Distress pernafasan
- Frekuensi nadi naik
- Hipotensi /tek.nadi
20 mmHg
TidakadaPengisian
kapiler
> 2 detik
Ht tetap tinggi
Masuk ke Protokol
syok
Masuk ke Protokol
syok
Dapat
diulang 3x
2. Oksigenasi adekuat
teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian cairan intravena
Syok tidak teratasi
Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak nafas/asidosis
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
Kesadaran menurun
Nadi lembut / tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernafasan / sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstremitas dingin
Periksa kadar gula darah
Lanjutkan cairan
20 ml/kgBB/jam
Tambahkan koloid/plasma
Dekstran / FPP
10 20 (max 30) ml/kgBB/jam
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi Ketat
Tanda vital,Tanda perdarahan
Diuresis, Hb, Ht, trombosit
Koreksi Asidosis
Evaluasi 1 jam
Ht turun
Ht tetap tinggi/naik
Koloid 20
ml/kgBB
Apabila kadar hematokrit >40 vol%, maka berikan darah dalam volume
kecil
- Hematokrit stabil
14. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya
penanganan diberikan,
umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II
umumnya baik. DBD derajat II dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka
pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar
40-50% tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2%.
Tanda-tanda prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran urin yang
cukup dan kembalinya nafsu makan.5,6
Mekanisme terjadinya perdarahan pada DBD
Pada pasien DBD penyebab terjadinya perdarahan adalah vaskulopati,
trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular
yang menyeluruh. Bagan yang ditunjukkan pada gambar 2.3. menunjukkan
bahwa komplek virus antibodi mengakibatkan trombositopenia dan juga
gangguan fungsi trombosit. Selain itu komplek virus antibodi ini mengaktifkan
faktor Hageman (faktor XIIa) sehingga terjadi gangguan sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan sistem kinin
dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas pembuluh
darah dan kebocoran plasma serta meningkatkan risiko terjadinya KID yang
juga memperberat perdarahan yang terjadi.
Perdarahan kulit seperti torniquet (uji Rumple Leede, uji bendung)
positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva merupakan
jenis perdarahan yang terbanyak. Petekie muncul pada hari-hari pertama
demam dan merupakan tanda yang tersering ditemukan. Epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan melena merupakan tanda perdarahan lain
yang bisa terjadi pada pasien DBD. Kadang-kadang dijumpai pula hematuri
atau perdarahan subkonjungtiva.
Tidak semua tanda perdarahan tersebut terjadi pada penderita DBD.
Perdarahan yang paling ringan adalah uji torniquet positif. Hal ini berarti
bahwa telah terjadi peningkatan fragilitas kapiler. Hal ini juga dapat dijumpai
pada penyakit yang disebabkan oleh virus lain seperti juga seperti campak,
demam chikungunya, infeksi bakteri seperti pada tifus abdominalis. Uji
torniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie dalam diameter
2,5 cm di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa
cubiti).2,3
BAB III
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis berdasarkan WHO, pada anamnesis didapatkan demam tinggi
mendadak 5 hari dan terdapat tanda perdarahan spontan (ptekie), disertai dengan
temuan laboratorium trombositopenia 90.000.
Pada pasien anak A yang berusia 6 tahun didiagnosa DHF grade II adalah
tepat, karena dari anamnesa awal ditemukan data-data yang dapat mengarah pada
diagnosa DHF grade II , antara lain : 5 hari panas, panas tinggi mendadak terus
menerus, turun dengan obat penurun panas dan naik lagi setelah beberapa jam. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan tensi 120/80 mmHg, frekuensi nadi 110 x/menit, laju
nafas 28 x/menit, temperature 39C, ditemukan ptekie pada tangan dan kaki, Rumple
leed (+).
Pada
pemeriksaan
penunjang,
pemeriksaan
darah
rutin
hemoglobin,
hematokrit dan trombosit. Hasil yang didapat pada tanggal 16 september 2014 yaitu
hemoglobin 12,7 g/dl, hematokrit 35,4 % , trombositnya 90.000 /ml (N = 150000450000), Pada pasien ini terjadi peningkatan Kadar hematokrit artinya terjadi
hemokonsentrasi dan trombositnya terjadi penurunan (trombositopenia). Berdasarkan
kriteria WHO :
1. tanda klinis
pembesaran hati
syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak
gelisah
2. laboratoris
jika terdapat dua tanda klinis atau lebih ditambah satu kriteria laboratoris,
sudah cukup untuk menegakkan diagnosa sementara DHF. Pada pasien ini
ditemukan tanda klinis (panas tinggi mendadak berlangsung terus menerus
dan
dua kriteria
laboratoris
(trombositopenia
dan
hematokritnya
KESIMPULAN
Penegakkan diagnosis DHF pada pasien ini berdasarkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang semuanya mengarah pada DHF
grade II. Penatalaksanaan DHF pada pasein ini meliputi: Terapi suportif untuk
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Terapi lain diberikan berdasarkan keadaan pasien .
Saran dianjurkan untuk menjaga higiene dan sanitasi lingkungan, gunakan
kelambu saat tidur, canangkan gerakan 3M plus dan pemberian bubuk abate.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro,Nainggolan L. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III. Edisi ketiga. Jakarta;Balai Penerbit FKUI;1996.p.1709-1721
2. Hadinegoro Srh. Satari HI. Demam Berdarah dengue .naskah lengkap pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus
DBD.Jakarta :Balai Penerbit FKUI :2000.
3. Hadinegoro, Sri Rejeki. Soegijanto, Soegeng. Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. Jakarta ; Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Republik Indonesia ; 2001
4. Widodo D. Sindrom renjatan dengue pada orang dewasa. In : Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta ; Pusat Informasi dan Penerbitan
Penyakit Dalam FKUI ; 2000
5. Merati, Tuti Parwati. Demam Berdarah Dengue. In : Pedoman Diagnosis Dan
Terapi Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar ; Lab/SMF Penyakit Dalam FK
UNUD/RS Sanglah ; 1994. p.215-220.
6. Rani, A. Azis. Demam Berdarah Dengue. In : Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta ; Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.
7. Mansjoer Arif, Suprohaita, Ika Wardhani Wahyu, Setiowulan Wiwiek. Kapita
Selekta Kedokteran FK UI edisi III jilid 2 th.2000. h. 430-431.
8. Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Dengue Fever. in : N Engl J
Med;2002.p.1770-73.
9. Suseno U, Rosita R, Lebang Y. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia. In:
Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Jakarta ; Departemen Kesehatan ; 2005.
10. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophysiology and management of
dengue hemorrhagic fever. Journal Compilation. Transfusion Alternatives in
Transfusion Medicine. 2006;8(suppl 1);pp3-11.
11. Zein U. Divisi Penyakit Tropik & Infeksi Fakultas Kedokteran USU Medan, In:
Pedoman Penatalaksanaan ODC Pasien DBD Dewasa. Medan ; 2004.