Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut pada saluran
pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah
penyakit sejenis yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C.
Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi
klinis paratifoid lebih ringan. Kedua penyakit diatas disebut tifoid.
Terminologi lain yang sering digunakan adalah typhoid fever, paratyphoid
fever, typus, dan paratyphus abdominalis atau demam enterik.1
Sejarah tifoid dimulai saat ilmuwan Prancis bernama Pierre Louis
memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau thphus
berasal dari bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam dengan
gangguan kesadaran. Kemudian Graffky menyatakan bahwa penularan
penyakit ini melalui air dan bukan udara. Graffky juga berhasil membiakkan
Salmonella typhi dalam media kultur pada tahun 1884. Pada tahun 1896
Widal akhirnya menemukan pemeriksaan yang masih digunakan sampai saat
ini.1
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian
tiap tahunnya. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia
5-19 tahun.2 Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada
populasi yang berusia 3 – 19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan
riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati

1
urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit
Indonesia (41.081 kasus).3
Demam tifoid memiliki gejala klinis demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, batuk, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan
meningkat, sifat demam adalah perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma,
delirium. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 3

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengetahui dan
memahami setiap kasus demam tifoid.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus demam tifoid ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus demam tifoid terkait pada
kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan
ilmu mengenai kasus demam tifoid.

1.3.2. Manfaaat Praktis


Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan
yang diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan
kesehatan) kepada pasien dan keluarganya mengenai kegawatan
pada pasien dengan demam tifoid.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
 Nama : An. A P
 Umur : 5 Tahun 11 bulan
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Jln. Aiptu Wahap
 Agama : Islam
 Pekerjaan Ayah : Buruh
 Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
 Masuk RS : 28 Februari 2020
 No RM : 11.95.23

II. ANAMNESIS
Tanggal 1 Maret 2020 dengan alloanamnesis (ibu Os)
A. Keluhan Utama
Demam 1 minggu SMRS
B. Keluhan Tambahan
Pucat dan lemas
C. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Os datang dengan keluhan demam. Demam dirasakan sejak 10
hari sebelum masuk RS. Demam dirasakan naik turun. Demam naik
pada sore dan malam hari, pada saat demam tidak diukur suhunya dan
Os mengaku panas tidak disertai menggigil. Sebelum masuk RS Os
mengeluh adanya BAB dengan frekuensi 4x/sehari dengan feses cair,
sekali mengeluarkan feses sedikit, feses tidak berdarah dan tidak
berlendir, BAK normal dengan warna sedikit kuning dan tidak ada

3
nyeri saat BAK, nafsu makan menurun, mual (+), muntah (-), batuk (+)
dengan batuk disertai dahak berwarna sedikit kekuningan, pilek (-),
sakit kepala (+), pucat (+), lemas (+), mimisan (-), bintik merah (-)
gusi berdarah (-).
Sejak 1 minggu sebelum masuk RS ibu Os memberikan obat
paracetamol dan obat batuk (ibu Os lupa namanya) namun setelah nya
Os tidak minum obat lagi. Tiga hari kemudian Os mengeluh demam
lagi, dengan demam pada Os berangsur-angsur tinggi tiap harinya.
Pada saat masuk RS, Os masih mengeluh demam, BAB dengan
frekuensi 1x/hari, BAK normal, sakit kepala, lemas, sedikit pucat dan
lemas, serta batuk berkurang, nafsu makan mulai membaik.
Ibu Os mengatakan keluhan ini baru pertama kali dirasa. Os
mengaku setiap hari suka makan jajanan di lingkungan Os tinggal. Ibu
Os juga mengatakan tidak ada riwayat berpergian ke daerah endemis
malaria dan mengatakan bahwa Os tidak pernah makan daging karena
Os tidak suka makan daging.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan ini dialami os untuk pertama kali.
 Pasien tidak pernah mengalami diare sebelumnya
 Pasien tidak pernah mengalami batuk lama sebelumnya
 Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, dingin dan debu.
 Tidak ada riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari
 Tidak ada riwayat kejang

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu os mengatakan bahwa di keluarga tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama, serta mengatakan bahwa di keluarga tidak ada
penyakit seperti hipertensi, jantung, diabetes, dan asma bronchial
namun pada ibu Os adanya hipotensi.

4
F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Anak
 Hamil cukup bulan, riwayat demam tinggi selama kehamilan dan
menjelang persalinan (-), kejang selama kehamilan (-), KPSW (-),
ketuban hijau (-), berbau (-), kental (-).
 Riwayat persalinan: ditolong bidan, lahir spontan, langsung
menangis. BBL 3700 gram, PB dan LK orang tua os lupa berapa
cm.

G. Riwayat Makanan
 ASI : 0-1 tahun 8 bulan
 Susu formula : Pernah diberi, namun setelahnya os diare
 Bubur susu : 7 bulan - 1 tahun, frekuensi 3x/hari
 Nasi tim : 7 bulan – 1 tahun, frekuensi 2x/hari
 Nasi biasa : 12 bulan, frekuensi 3x/hari
 Sayuran : tidak suka sayur
 Ikan : jarang, frekuensi 2x/bulan
 Ayam : jarang, frekuensi 1x/bulan
 Daging : tidak pernah
 Tempe : setiap hari
 Tahu : hampir setiap hari, frekuensi 12x/bulan
 Telur : hampir setiap hari, frekuensi 20x/bulan
 Susu : sering
 Buah : jarang, frekuensi 2x/bulan
Kesan :
Secara kualitas asupan gizi kurang baik dan secara kuantitas asupan
tidak memenuhi gizi seimbang.

H. Riwayat Imunisasi
 BCG : 1 kali pada usia 1 bulan

5
 DPT : 3 kali pada usia 2 bulan, dan 3 bulan, 4 bulan
 Polio : 4 kali pada usia 0 bulan, 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan
 Hepatitis B : 3 kali pada usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
 Campak : 1 kali usia 9 bulan
 Hib : 3 kali pada 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Kesan:
Imunisasi dasar lengkap namun imunisasi lanjutan tidak dilakukan

I. Riwayat Perkembangan
 Gigi pertama : 8 bulan
 Berbalik : 3 bulan
 Tengkurap : 3 bulan
 Menegakkan kepala : 4 bulan
 Merangkak : 9 bulan
 Berdiri : 12 bulan
 Berjalan : 13 bulan
 Bicara : 12 bulan
Kesan :
Perkembangan dalam batas normal

J. Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga


Ayah os bekerja sebagai buruh dan ibu os sebagai ibu rumah
tangga. Os tinggal di kawasan padat penduduk. Rumah os beratap
genteng, dinding semen, dan lantai keramik. Kesan: Status sosial
ekonomi tergolong menengah ke bawah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal 2 Maret 2020
1. Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : composmentis

6
 HR : 96 ×/menit
 RR : 31 ×/menit
 Suhu : 36,8o C
 Berat Badan : 14 kg
 Tinggi badan : 103 cm

2. Status Gizi
 BB/U
14kg/21kg x 100% = 66% (gizi kurang)
 TB/U
103cm/115cm x 100% = 89,5% (tinggi badan kurang)
 BB/TB
14kg/17kg x 100% = 82,5% (gizi kurang)

3. Pemeriksaan Khusus
 Kulit : kuning langsat, kulit pucat (+), sianosis (-)
 Kepala : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-).
 Telinga : Deformitas (-), sekret (-).
 Hidung : Deformitas (-),sekret (+).
 Oral : typhoid tongue (+)
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-), T1/T1.
 Leher : Tidak ada massa dan kelenjar getah bening
tidak membesar.
 Dada
 Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi dada(-)
- Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri normal
- Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+) Normal, ronki (-),
wheezing (-)

7
 Jantung
- Inspeksi : simetris (+/+), iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
- Perkusi : batas atas kanan ICS-2 parasternalis
batas bawah kanan ICS-4 parasternalis
batas atas kiri ICS-2 parasternalis
batas bawah kiri ICS-5 midclavicula
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-)
murmur (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Cembung (-), cekung (-), datar lemas (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani, Shifting dullnes (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Hepar : tidak teraba dan tidak nyeri
- Lien : Tidak teraba dan tidak nyeri
- Ginjal : Ballotement (-)
 Genital : laki-laki, testis (-), scrotum (-) phimosis (-)
 Status pubertas : belum pubertas
 Anggota gerak
Ekstremitas superior: Gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut
(-/-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-)/(-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-)
CRT <2".
Ekstremitas inferior : Gerakan bebas, akral hangat, pitting
edema(-/-),jaringan parut (-/-), pigmentasi
normal, telapak kaki pucat (-/-), jari tabuh
(-/-), sianosis (-/-)

8
Status neurologikus
- Fungsi motorik
Lengan Tungkai
Pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks fisiologis (+) normal (+) normal (+) normal (+) normal
Refleks patologis (-) (-) (-) (-)
- Fungsi sensorik : dalam batas normal
- Nn. Cranialis : dalam batas normal
- Reflek Primitif : tidak ada

IV. Pemeriksaan Penunjang


28 Februari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,3g/dl 11 – 14 g/dl Hb menurun
Leukosit 12.700 / ul 5.000 – 10.000 /ul Leukositosis
Trombosit 334.000 / ul 150.000 – 400.000 /ul Normal
Hematokrit 33% 37 – 43 % Normal
Diffcount
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 1% 1–3%
Batang 2% 2–6% Normal
Segmen 70 % 50 – 70 %
Limfosit 19% 20 – 40 %
Monosit 8% 2–8%

Widal Test
O
S. Typhus O 1/320 Positif
S. Paratyphus A O 1/80

9
S. Paratyphus B O 1/320 Positif
S. Paratyphus C O 1/80
S. Typhus H 1/80
S. Paratyphus A H 1/160
S Paratyphus B H 1/80
S. Paratyphus C H 1/80

V. Diagnosis Banding
- Demam tifoid
- ISK

VI. Diagnosis Kerja


Demam tifoid

VII. Tatalaksana
Pemeriksaan Anjuran
 Urin rutin
 Gall culture
Nonfarmakologis
 Tirah baring
 Diet makanan lunak yang mudah dicerna dan rendah serat
Farmakologis
 IVFD D 5% ½ NS 48 cc/jam
 Paracetamol syr 3 x 11/2 cth
 Inj ceftriaxon 1 x 1100 gr

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

IX. Follow Up

10
Tanggal Keterangan
02 Maret S: Demam ada perbaikan
2020 Batuk kadang-kadang
06.30 Lesu dan lemas
O: Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sense : E4M6V5 (komposmentis)
RR : 30 x/menit Sp O2 : 98 %
N : 93 x/menit T : 36,6oC
TD : 90/60 mmHg
Tipe pernafasan : torakoabdominal
Isi/kualitas : cukup
Regularitas : regular
Keadaan spesifik
Kepala : Normocepali
Mata : Konjungtiva anemi (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : NCH (-) berdarah (-)
Mulut : Sianosis (-) gusi berdarah (-)
Leher : Tidak ada perbesaran KGB
Thoraks : Simetris (+/+), retraksi (-)
Cor : Bunyi Jantung I/II normal, gallop (-) murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU
(+) normal, turgor kembali cepat
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat (+), CRT < 2”

A: Demam tifoid dengan perbaikan


P:
- IVFD RL 50 cc/jam
- Inj ceftriaxone 1x1120 mg
- PCT Syr 3x 1 1/2 th
- Diet makanan lunak mudah dicerna dan rendah serat

11
Monitoring:
- KU
- TTV
3 Maret 2020 S: Lemas dan lesu
06.40 O: Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sense : E4M6V5 (komposmentis)
RR : 29 x/menit Sp O2 : 98 %
N : 76 x/menit T : 36,4oC
TD : 90/60 mmHg
Tipe pernafasan : torakoabdominal
Isi/kualitas : cukup
Regularitas : regular
Keadaan spesifik
Kepala : Normocepali
Mata : Konjungtiva anemi (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : NCH (-) berdarah (-)
Mulut : Sianosis (-) gusi berdarah (-)
Leher : Tidak ada perbesaran KGB
Thoraks : simetris (+/+), retraksi (-)
Cor : Bunyi Jantung I/II normal, gallop (-) murmur (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU
(+) normal, turgor kembali cepat
Ekstremitas : edema (-), akral hangat (+), CRT < 2”

A: Demam tifoid dengan perbaikan


P:
- IVFD RL 50 cc/jam
- Inj ceftriaxone 1x1120 mg
- PCT Syr 3x 1 1/2 th
- Diet makanan lunak mudah dicerna dan rendah serat

12
- Indikasi pulang
Monitoring:
- KU
- TTV

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Demam Tifoid
3.1 Definisi

13
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar
Salmonella enterica termasuk S. typhi dan S.paratyphi A. Walaupun secara
global S. typhi merupakan penyebab utama, infeksi S. paratyphi A juga
terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung turis.
Namun demikian, S. paratyphi B dan C jarang ditemukan. 4 Demam tifoid
atau yang lebih dikenal dengan nama tifus merupakan penyakit yang sering
diderita oleh masyarakat di negara berkembang di seluruh dunia. Demam
tifoid adalah life-threating systemic infection yang disebabkan oleh bakteri
gram negative Salmonella typhi. Penularan demam tifoid kontaminasi
makanan dan minuman.4
3.2 Epidemiologi
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan
Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan
yang baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara
berkembang.Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah
Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.3

3.3 Etiologi
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella

paratyphi dari genus Salmonella. Basil ini adalah bakteri gram negatif,
bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbriae
bersifat aerob dan anaerob fakultatif berukuran (2-4) x 0,6 μm, suhu optimum
untuk tubuh 37oC dengan pH antara 6-8.5 Salmonella tidak
memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H2S (yang dapat
digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium). Salmonella,

14
seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam pada fermentasi glukosa,
mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase. Demam Tifoid
adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A,
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).5
Salmonella typhi mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri polisakarida. Salmonellatyphi memiliki tiga antigen
utama:
1. Antigen Somatik ( O )
Antigen O (antigen somatik), yaitu berada pada lapisan luar tubuh
bakteri. Bagian ini memiliki struktur kimia lipopolisakarida
(endotoksin). Antigen ini tahan dengan suhu panas dan alkohol tetapi
tidak tahan dengan formaldehid.6
2. Antigen Flagel ( H )
Antigen H (antigen flagela), yakni terletak pada flagela, fimbriae atau fili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan dengan panas diatas 60oC,
asam serta alkohol. 6
3. Vi
Antigen Vi adalah polimer polisakarida bersifat asam yang berada pada
kapsul dari bakteri sebagai pelindung bagi bakteri salmonella terhadap
7
fagositosis. Kapsul ini memiliki agen proteksi melawan sifat
bakterisidal dari serum pasien yang terinfeksi dan menjadi dasar untuk
membuat salah satu vaksin yang tersedia secara komersial. Antigen Vi
ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak sama persis secara
genetik.5

15
Gambar 1. Salmonella Typhii
sumber: Mahandaru, R.2013.7

3.5 Patogenesis
Perjalanan penyakit S. typhi melalui beberapa proses, diawali dengan
masuknya kuman melalui makanan dan minuman yang tercemar melalui jalur
oral-fekal. Yang kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan
melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun sistemik, spesifik
dan non-spesifik serta humoral dan seluler.8

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella


Paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembangbiak. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria, mikroorganisme ini akan berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Salmonella dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama

16
dimana makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian
dibawa ke kelenjar getah bening mesenterika.3
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat didalam
makrofag ini masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak memiliki atau hanya
sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di organ-organ retikuloendotelial,
Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan
mental dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.3

17
Gambar 1. Patofisiologi demam tifoid
sumber: Widodo, J. 2017.3

3.6 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi dari S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga
berjarak 3-21 hari.Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari

18
ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala yang serupa dengan penyakit
infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam terus-
menerus, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan 1oC tidak
diikuti peningkatan nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor
ditengah, tepi dan diujung lidah merah serta tremor), hepatomegali,
spelnomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma,
delirium, atau psikosis, raseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.3
Minggu ketiga, pasien masuk ketahap thypoid state, ditandai dengan
disoriented, bingung, insomnia, dapat pula delirium. Sewaktu-waktu dapat
timbul komplikasi perdarahan atau perforasi pada akhir minggu ke-3 suhu
mulai turun dan normal diminggu berikutnya.9
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom
demam tifoid. Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam
tifoid, diantaranya adalah:5
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya turun pada
pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu
ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.5

2. Gangguan Saluran Pencernaan


Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena
demam yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah (ragaden).

19
Lidah kelihatan kotor dan ditutupi oleh selaput putih. Ujung dan tepi
lidah kemerahan dan tremor tetapi pada penderita anak jarang
ditemukan. Penderita umumnya sering mengeluh nyeri perut, terutama di
regio epigastrik, disertai mual dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang
juga timbul diare. Beberapa pasien mengalami diare encer yang buruk
berwarna hijau kekuningan (pea soup diarrhea).5
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada
kondisi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic
Brain Syndrome). Pada penderita dengan tifoid toksik, gejala delirium
lebih menonjol.10
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.10
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (ruam makulopapular
yang berwarna merah, dengan ukuran 1-5mm, yang seringkali dijumpai
didaerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung) yang biasanya
ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala-gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini
biasanya muncul pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan
menghilang tanpajejak setelah 2-5 hari. Pada anak, rose spot jarang
ditemukan.10

3.7 Diagnosis
Ada dua cara utama untuk mendiagnosis demam tifoid yaitu secara klinis
dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat,

20
karena gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Oleh karena
itu, untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Hematologi
Diagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan darah tepi akan
mendapatkan gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan
aneosinofilia pada permulaan sakit. Di samping itu, pemeriksaan ini
kemungkinan anemia. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah
dikerjakan di laboratorium sederhana, akan tetapi berguna untuk
diagnosis.11
Leukopenia adalah penurunan jumlah sel darah putih,
leukopenia dengan jumlah leukosit kurang dari 5000 mm 3.12 Hal ini
diakibatkan depresi sumsum tulang oleh penghancuran leukosit,
endotoksin dan mediator endogen yang ada. Namun kebanyakan
pada kasus demam tifoid, leukopenia dan leukositosis tidaklah
sering dijumpai. Jumlah leukosit pada sediaan darah tepi bisa saja
berada dalam batas normal walaupun tidak ada komplikasi atau
infeksi sekunder.13
Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi kurang
dari 1%, eosinofil menghilang pada permulaan penyakit dan muncul
kembali pada stadium penyembuhan. Bagaimana mekanisme
terjadinya belum diketahui. Jumlah eosinofil normal 1-3%.12
Eosinofil mampu melakukan fagositosis, eosinofil mengandung
enzim yang mengaktifkan mediator-mediator peradangan. Peran
biologik eosinofil adalah memodulasi aktivitas sel dan kimiawi pada
peradangan yang diperantarai oleh sistem imun. Sel-sel ini
berproliferasi di sumsum tulang dibawah pengaruh granulocyte-
macrofage colony stimulating factor, interleukin-3 dan interleukin-
5. IL-5 dapat mempengaruhi fungsi dan migrasi eosinophil. Pada
keadaan normal eosinophil kembali dari jaringan ke darah dan dari
darah ke sumsum tulang.14

21
Limfositosis umumnya meningkat akibat rangsangan
endotoksin. Nilai normal limfosit 20-40%, limfositosis relatif,
artinya jumlah total tidak meningkat, tetapi persentase meninggi. 14
Anemia normositik normokromik dapat terjadi walaupun pada
kasus-kasus yang tidak mengalami komplikasi. Keadaan ini dapat
diperburuk oleh kehilangan darah dalam usus. Anemia ini dapat
disebabkan intake makanan yang terbatas, gangguan absorbsi,
hambatan pembentukan darah dalam sumsum tulang dan
penghancuran sel darah merah adalam perdarahan.13

b. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu pemeriksaan laboratorium guna
mendeteksi ada atau tidaknya antibodi penderita tersangka terhadap
antigen Salmonella typhi yaitu antibodi terhadap antigen O (dari
tubuh kuman), antigen H (flagel kuman), dan antigen Vi (kapsul
kuman). Dari ketiga antibodi, hanya antibodi terhadap antigen H
dan O yang mempunyai nilai diagnostik demam tifoid.15
Diagnosis demam tifoid di Indonesia belum didapatkan
kesepakatan tetapi beberapa peneliti menyebutkan uji Widal
dikatakan positif apabila didapatkan titer ≥1:160 untuk aglutinin O
maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal ataupun gabungan.
Jika memakai kriteria diagnostik tunggal, maka aglutinin O lebih
bernilai diagnostik dibandingkan H. Kepustakaan lain menyebutkan
bahwa uji Widal tunggal memiliki kriteria interpretatif apabila
didapatkan titer O >1:320 dan H>1:640. Kriteria positif tes widal
berbeda-beda di tiap daerah tiap negara.15

c. Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)

22
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.16
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes

TUBEX ® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan


bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 16
Ada 3 interpretasi hasil :

- Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan


infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang
3-5 hari kemudian.
- Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
- Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid.

d. Kultur Darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses,
sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.17
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
a) Telah mendapat terapi antibiotik
b) Volume darah yang kurang

23
c) Riwayat vaksinasi
d) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin menigkat.

3.8 Diagnosa Banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu
dipikirkan.Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan
penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.18

3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian, yaitu perawatan, diet dan
obat.
a. Perawatan
Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serata
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah
sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit, dan nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyakit penyulit dapat dilakukan dengan seksama.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Pasien demam tifoid perlu dirawat di
rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau ± 14 hari. Tirah
baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.19
Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus
diubah pada waktu – waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
decubitus.Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan.12

24
b. Diet
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:
 Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
 Tidak mengandung banyak serat.
 Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.19
c. Obat – obatan
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti
demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi >
3 hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat
laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
perdarahan maupun perforasi usus.19
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan
penderita seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan
keseimbangan cairan.Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan
pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau
demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan
adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan
deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit
sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48
jam. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:19

 Antibiotik
a. Lini pertama :
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral
atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari

25
kontraindikasi pada leukosit <2000/µl, dosis maksimal
2g/hari
- Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14
hari
- Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali selama 10 hari
b. Lini kedua/ multidrug resisten S. typhi
- Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5-7 hari
- Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per
oral selama 10 hari
Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama, dinilai tidak
efektif, dapat diganti dengan anti mikroba lain atau dipilih
antimikroba lini kedua
Karier S.typhi (S.typhi tetap ada apad feses selama lebih dari 6-12
bulan):
- Ampicillin 100 mg/kg/hari, 4x/hari atau
- Trimetoprim-sulfametoxazol 4-20 mg/kg/hari selama 6-12
minggu
- Lakukan pemeriksaan kandung empedu untuk emenetukan ada
tidaknya kolelitiasisatau disfungsi kandung empedu
 Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat dengan
perubahan status mental (ensefalopati tifoid) atau syok, yaitu
dengan dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV. Dialanjutkan
1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai dengan 48 jam
 Antipiretik bila suhu tubuh >38,5˚C
d. Edukasi
 Demam tifoid ringan dapat dirwat di rumah
 Indikasi rawat:
- Demam tifoid klinis apabila ada hiperpireksia, dehidrasi atau
KU lemah
- Semua ensefalopati tifoid
- Semua demam tifoid denagn komplikasi

26
 Imunisasi
- Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide) usia 2
tahun atau lebih (IM) diulang tiap 3 tahun
- Vaksin tifoid oral, diberikan pasa anak usia 6 tahun dengan
interval selang sehari (1,3,5) ulangan setiap 3-5 tahun.
Belum beredar di Indonesia.
 Tirah baring
 Isolasi memadai
 Kebutuhan kalori dan cairan dipenuhi
 Hygiene perorangan dan lingkungan, karena penularan melaui
fecal oral
Indikasi pulang pada pasien apabila:
 Bebas demam 24 jam tanpa antipiretik
 Nafsu makan membaik
 Perbaikan klinis
 Tidak dijumpai komplikasi

3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:3
a. Intestinal
- Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak.Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah, terjadi perdarahan.Jika tukak menembus dinding
usus, terjadi perforasi.Perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (DIC).Sekitar 25% penderita mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi
darah.Namun, perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Jika transfusi dapat mengimbangi perdarahan
yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan suatu proses self
limiting yang tidak perlu bedah.3

27
- Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.Biasanya
timbul pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke .
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut
hebat terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh
perut dan disertai tanda ileus.Peristaltik melemah pada 50%
penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya
udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan syok.3
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong
adanya perforasi.Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan
udara pada rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. 3
- Ileus paralitik
- Pankreatitis
b. Ekstraintestinal
- Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,
dan tromboflebitis.
- Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
- Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
- Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
- Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Neuropsikiatrik atau toksik tifoid.

3.11 Prognosis
Prognosis pada pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%.Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,

28
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi.12 Relaps dapat timbul beberapa kali. Risiko menjadi karier pada
anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-
5% dari seluruh pasien demam tifoid. 19

BAB IV
ANALISIS KASUS

Os datang dengan keluhan demam. Demam dirasakan sejak 10 hari


sebelum masuk RS. Demam dirasakan naik turun. Demam naik pada sore dan
malam hari, pada saat demam tidak diukur suhunya dan Os mengaku panas tidak
disertai menggigil. Sebelum masuk RS Os mengeluh adanya BAB dengan
frekuensi 4x/sehari dengan feses cair, sekali mengeluarkan feses sedikit, feses
tidak berdarah dan tidak berlendir, BAK normal dengan warna sedikit kuning dan
tidak ada nyeri saat BAK, nafsu makan menurun, mual (+), muntah (-), batuk (+)
dengan batuk disertai dahak berwarna sedikit kekuningan, pilek (-), sakit kepala
(+), pucat (+), lemas (+). Pada saat masuk RS, Os masih mengeluh demam, BAB
dengan frekuensi 1x/hari, BAK normal, sakit kepala, lemas, sedikit pucat dan
lemas, serta batuk berkurang dan nafsu makan mulai membaik.
Pada pemeriksaan fisik, pada bagian kepala hingga ekstremitas inferior
semuanya dalam batas normal atau tidak ada kelainan. Hasil pemeriksaan
laboratorium, diketahui bahwa diff count: 0/1/2/70/19/8 dan hasil widal didapat
typhus O: 1/320, paratyphus AO: 1/80, paratyphus BO: 1/320, paratyphus CO:

29
1/80, Typhus H: 1/80, paratyphus AH: 1/160, paratyphus BH: 1/80, paratyphus
CH: 1/80. Hal ini menandakan telah terjadi infeksi tifoid.
Menurut teori pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan
keluhan dan gejala yang serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama
pada sore hingga malam hari dan dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih
jelas berupa demam terus-menerus, bradikardia relative (bradikardia relative
adalah peningkatan 1oC tidak diikuti peningkatan nadi 8 kali per menit), lidah
yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan diujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, spelnomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
sopor, koma, delirium, atau psikosis, raseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia. Namun pada kasus ini pada minggu pertama pada Os tidak ada gejala
nyeri otot, tidak enak diperut, muntah, sedangkan pada minggu kedua hanya
memiliki gejala klinis demam secara terus-menerus.
Menurut teori diagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan darah tepi akan
mendapatkan gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Di samping itu, pemeriksaan ini kemungkinan anemia. Namun
pada kasus ini pada pemeriksaan darah tepi tidak didapatkan gambaran
leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada pemeriksaan darah tepi dan
pada kasus ini hanya dapat dikatakan adanya anemia pada OS karena didapatkan
kadar hemoglobik pada Os yaitu 10.3 g/dL dan eritrosit juta/uL hal ini
kemungkinan disebabkan oleh intake makanan yang terbatas dan gangguan
absorbsi.
Pada pemeriksaan uji Widal menurut teori uji Widal dapat dikatakan positif
apabila didapatkan titer ≥1:160 untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria
diagnostik tunggal ataupun gabungan, sedangkan pada Os didapatkan titer typhus
O: 1/320 dan titer thypus H: 1/80 hal ini dikatan positif tifoid pada pemeriksaan
uji Widal pada Os.

30
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium diagnosis
berupa demam tifoid karena berdasarkan anamnesis didapat keluhan dengan
gejala berupa demam yang datang menjelang sore sampai malam hilang ketika
pagi dan terdapat keluhan diare, mual dan muntah, sakit kepala,batuk dan juga
pucat serta dari hasil pemeriksaan penunjang didapat widal yang posisif.
Pada Os juga dipikirkan beberapa diagnosis banding yaitu malaria, demam
berdarah dengue, dan juga infeksi saluran kemih, namun pada kasus ini dapat
disingkirkan melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik dan
juga melalui pemeriksaan laboratorium.
a) Pada Os tidak ada demam disertai mengigil dan riwayat berpergian
ke wilayah endemis untuk menyingkirkan terjadinya malaria
b) Pada Os demam lebih dari satu minggu, bintik merah (-) gusi
berdarah (-) mimisan (-), dan melalui pemeriksaan hematologi
didapatkan trombosit 334 ribu/mm3 untuk menyingkirkan terjadinya
demam berdarah dengue pada OS
c) Pada Os didapatkan BAK normal dengan warna sedikit kuning dan
tidak ada nyeri saat BAK untuk menyingkirkan kemungkinan terjadi
infeksi saluran kemih, namun untuk mengetahui lebih pasti dapat
dilakukan pemeriksaan urin rutin.

Pada os diberikan injeksi ceftriaxon 1 x 1120 gr drip dalam D5% 100 CC


diberikan sebagai terapi terhadap bakteri salmonella typhi. Hal ini sesuai dengan
teori dimana ceftriaxon merupakan terapi lini kedua pada demam tifoid dengan
dosis 80mg/kg/hari IV 5-7 hari. Pemberian IVFD RL 50 cc/jam bertujuan untuk
cairan suportif sementara karena pada Os belum begitu nafsu makan. Adanya
diare pada Os namun terapi sudah diberikan maka diare juga akan tertatalaksana
namun sebaiknya pada diare dapat diberikan zink elemental 20 mg . Paracetamol
syr 3 x 1 1/2 cth diberikan untuk menurunkan demam hal ini sesuai dengan teori
bahwa antipiretik bahwa paracetamol menjadi pilihan utama dalam pemilihan obat
dengan dosis 10-15 mg/kg/kali tiap 4-6 jam.

31
Indikasi pulang pada Os yaitu pada Os bebas demam 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, adanya perbaikan klinis, dan tidak dijumpai
komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Widoyono. Penyakit Tropis; Epidemiologi Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2008. Hal 35
2. Pramitasari, OP. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid
Pada Penderita Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal 2013, Volume 2,
Nomor 1 tahun 2013. (Diakses pada tanggal 26 Januari 2020). Tersedia
dari http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
3. Widodo, D., . Demam Tifoid. In: Siti, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing, 2017. pp. 549-558.
4. Loka, N.N., Putu, W.s., Lestari,W. Karakteristik Penderita Tifoid dengan
hasil Pemeriksaan darah Lengkap dan Uji Widal di RSIA Bunda Periode
Oktober 2013-2014. Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana. 2014. Hal:
3

32
5. Alatas, Husein, dkk.Tifus Abdominalis dalam Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak, edisi keempat jilid 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI.2012. hal.593
6. Nelwan, R.H.H. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W.
et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2007.
7. Mahandaru,Raffi..TifoidpadaAnak.
[online]Tersediadi:https://www.slideshare .net/rafimahandaru/tifoid-pada-
anak. 2013. [Diunduh 13 Mei 2017].
8. Tumbelaka, A.R. Tatalaksana Demam Tifoid pada Anak. Dalam: Tribono
PP, Paraboni A. Penyunting Pediatric Update. Jakarta: Balai Penerbitan
Ikatan Dokter Indonesia.2003. Hal: 37-43
9. Indonesian Doctor’s Compendium. Demam Tifoid. Jakarta : Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. 2011. Hal: 33-34
10. Kepmenkes No.346/2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta : Menteri Kesehatan Indonesia. 2006.
11. World Health Organization. Background Document: The Diagnosis,
treatment, dan Prevention of Typhoid Fever.2003
12. Ismoedijanto, dkk. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Divisi
Tropik dan Penyakit Infeksi/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK
UNAIR.2004. hal:3-6
13. Setiabudi, D. dan Madiapermana,K. Demam Tifoid pada Anak Usia
dibawah 5 Tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anakan RS Hasan Sadikin,
Bandung. Bandung: Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP.2005.hal:
5-10
14. Sancher, R.A dan Mcpherson. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, E/11. Terjemahan oleh: dr. Herriawati Hartono. Jakarta:
EGC.2004. Hal: 15-38
15. Velina, V.R., Hanif, A.m., Efrida. Gambaran Hasil Uji Widal Berdasarkan
Lama Demam pada Pasien Suspek Demam Tifoid. Padang : Fakultas
Kedokteran Andalas. Hal: 688-690

33
16. Rahman M, Siddique, dkk. Rapid detection of early typhoid fever in
endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagn
Microbiol Infect Dis 3: 275–81. 2003
17. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2013: p.1186-1190.
18. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid.
Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta : 2013. h. 2-20.
19. Iriani, yulia. Demam Tifoid Dalam: Buku Panduan Praktik Klinik RSMH.
Palembang: SMF Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. 2017

34

Anda mungkin juga menyukai