Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Disusun Oleh:

dr. Gladys Suwant

Pembimbing :

dr. Ajiwijaya

RSUD DR H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR TANAH


BUMBU PROGRAM INTERNSIP DOKTER
INDONESIA

1
ANGKATAN IV TAHUN 2021
PROVINSI KALIMANTAN
SELATAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung kurang dari 15
menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang
mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC, dengan metode pengukuran
suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Tanpa adanya
infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lain. Kejang
demam nantinya dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Kejang demam sederhana (KDS) merupakan kejang demam
yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejangnya umum (tonik
dan atau klonik), dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.1,2,3
Kejang demam terjadi pada 2-5% populasi anak di seluruh dunia. Kejang
demam biasanya akan mengalami remisi sebelum usia 5 tahun. Yang ditakutkan
dari kejang demam adalah dampak jangka panjang akibat gangguan
perkembangan otak anak. Sebanyak 2-10% penderita kejang demam akan
berkembang menjadi epilepsi. Hipoksia otak saat kejang demam berlangsung
menginisiasi kaskade patologis yang berujung pada sklerosis temporal mesial
yang ditandai dengan hilangnya sel-sel neuron di cornu ammonis dan subregio
hilus hipokampus, yang memicu terjadinya epilepsi lobus temporal (temporal
lobe epilepsy).4
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4 % tahun
2008 dan terjadi pada anak antara usia 6 bulan dan 7 tahun, dan setengahnya yang

2
terjadi antara usia 1-2 tahun.4 Sekitar 80% penderita kejang demam ini disebabkan
oleh infeksi saluran pernapasan. Bila kejang demam terjadi pada usia kurang dari
6 bulan harus dipikirkan penyebab lain seperti infeksi susunan saraf pusat (SSP)
maupun epilepsi yang terjadi bersamaan dengan demam. Penelitian di RSUP RD
Kandou Manado menunjukkan rentang usia tersering mengalami kejang demam
adalah kurang dari 24 bulan, dimana 69,3% anak memiliki keluarga dengan
riwayat kejang demam, dan paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan (45,3%).5
Menurut American Academy of Pediatrics, anak-anak dengan kejang
demam memiliki 4 dampak potensial utama, yaitu penurunan IQ (intelegence
quotient), peningkatan risiko epilepsi, risiko kejang demam berulang, dan
kematian. Kejang demam sederhana berulang juga berkaitan dengan penurunan
IQ, kemampuan akademik, inatensi neurokognitif, dan abnormalitas perilaku.6

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Senin, 21 Januari 2022, pukul 17.00 WIB
dengan ibu kandung pasien (allo-anamnesis) di ruang perawatan kelas III RSUD
Husada Sepunggur.

2.1.1. Identitas
a. Identitas Pasien
 Nama penderita : An. GRS
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tempat, tanggal lahir : Banjarmasin 20 Mei 2017 (1 tahun 8 bulan)
 No. Rekam Medik : 31.30.11
 Pendidikan terakhir : Belum sekolah

b. Identitas Orang Tua


 Nama Ibu : Ny. M ▪ Nama Ayah : Tn. R
 Pendidikan : S1 ▪ Pendidikan : SLTP
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga ▪ Pekerjaan : Swasta
 Alamat : Jl. Gunug Tinggi ▪ Alamat : Jl.Gunung Tinggi

2.1.2. Keluhan Utama


Kejang ± 30 menit sebelum MRS.

2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang


 Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun diantar oleh orang tuanya ke IGD
karena kejang ±30 menit sebelum MRS. Kejang baru dialami pertama kali
oleh pasien dengan durasi kurang dari 5 menit, lengan dan tungkai menjadi
kaku dan mata melihat ke atas, dan anak tidak sadar saat kejang. Dalam 24

4
jam terakhir, kejang hanya dialami 1 kali dan tidak ada riwayat kejang
berulang. Sebelum dan sesudah kejang pasien sadar sepenuhnya. Sebelum
kejang pasien telah menderita demam.
 Demam dirasakan sejak ±1 hari sebelum MRS. Demam timbul mendadak
dan tinggi. Demam dirasakan terus-menerus walaupun sudah diberi obat
penurun panas, demam naik kembali dalam beberapa jam setelah meminum
obat. Riwayat berkeringat (-), menggigil (-). Tidak ada dominasi waktu
demam.
 Nafsu makan pasien menurun dalam ±1 hari terakhir. Riwayat muntah 1 kali
saat di rumah dalam ±1 hari terakhir, berisi makanan dan cairan kekuningan.
 Keluhan lainnya, seperti batuk dan pilek (-), nyeri menelan (-), nyeri
berkemih (-), nyeri telinga (-), nyeri otot (-), nyeri perut (-), mencret (-),
perdarahan (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), BAB hitam (-), keluar cairan
dari telinga (-), BAK berwarna kuning.

2.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit dahulu batuk dan pilek.

2.1.5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


 Riwayat antenatal : Ibu memeriksakan kandungannya selama hamil
lebih dari 4 kali, pernah pemeriksaan ultrasonografi
(USG) dan hasilnya kandungan dalam kondisi baik,
ibu sehat selama hamil.
 Riwayat natal : Bayi lahir spontan di praktek bidan, langsung
menangis, BBL 2.400 gram, PBL 50 cm LK/LD ibu
lupa.
 Riwayat neonatal : Bayi bergerak aktif, tidak pernah kuning, pemberian
imunisasi hepatitis (+).

2.1.6. Riwayat Perkembangan


Tahap perkembangan yang telah dilalui pasien adalah sebagai berikut.
a. Motorik kasar : dapat berdiri, membungkuk kemudian berdiri
kembali dan berjalan tanpa jatuh.

5
b. Motorik halus : mampu menggelindingkan bola ke arah sasaran dan
menyusun menara dari 2 kubus.
c. Bahasa : sudah memanggil mama atau papa dan
mengeluarkan suara gembira terhadap apa yang
diinginkan.
d. Sosial kemandirian : bertepuk tangan, melambaikan tangan, dan
memegang cangkir atau gelas.

Kesan perkembangan : Empat domain sesuai usia

2.1.7. Riwayat Imunisasi


Kesan imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

2.1.8. Riwayat Makanan


Tabel 2.1. Riwayat makanan pada pasien
Usia Makanan
0 – 6 bulan ASI diberikan setiap bayi mau menyusu (menangis)
7 – 12 ASI + bubur tim atau nasi lunak,sayuran, dan hati
bulan ayam/daging ikan yang dilunakkan 3 kali sehari, mangkok
kecil dihabiskan.
1 – saat ini ASI + menu makanan mengikuti makanan keluarga
sebanyak 3 kali sehari, habis, kadang-kadang disertai
dengan buah-buahan, anak tidak sering mengonsumsi
jajanan (snack)

2.1.9. Riwayat Sosial dan Lingkungan


 Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya dalam rumah berdinding kayu,
lantai terbuat dari kayu, dan beratapkan seng. Rumah memiliki 1 kamar
tidur, 1 kamar mandi, memiliki jendela yang selalu dibuka setiap harinya.
Sampai saat ini, anak selalu tidur bersama kedua orang tuanya.
 Sumber air yang digunakan berasal dari air galon untuk konsumsi sehari-
hari dan sumur bor untuk mandi dan memasak. Ibu pasien hanya
menggunakan sedikit garam setiap kali memasak. Makanan yang
dikonsumsi sehari-hari bervariasi.

6
 Ayah pasien merupakan perokok aktif, tidak mengonsumsi alkohol. Orang
tua pasien menggunakan kelambu dan obat nyamuk bakar.

2.2. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda-tanda vital
 Keadaan umum : tampak rewel
 Kesadaran : compos mentis (GCS : E4M6V5)
 Laju nadi : 138 x/menit, kuat angkat, tunggal, dan regular
 Laju napas (RR) : 26 x/menit, pernapasan thorako-abdominal
 Suhu : 37,8oC di axilla

b. Pemeriksaan Antropometri
 Berat badan : 9 kg
 Tinggi badan : 84 cm
 Lingkar kepala : -
 Status gizi : Gizi cukup

Indikator Perhitungan Antropometri Interpretasi


BB aktual
BB /U= ×100 %
BB ideal
BB/U Berat badan normal
9 kg
BB/U= × 100 %=84,90 %
10,6 kg
TB aktual
TB/U= ×100 %
TB ideal
TB/U Tinggi badan normal
84 cm
TB/U= ×100 %=101,20 %
83 cm

BB aktual
BB/TB= ×100 %
BB untuk TB ideal
BB/TB Gizi cukup
BB 9 kg
= × 100 %=82,56 %
TB 10,9 kg

7
Gambar 2.1. Hasil pengukuran antropometri BB/TB menurut kurva CDC 2000.

c. Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala : normosefal
2. Mata : mata cekung -/-, lakrimal cukup saat menangis,

8
konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
3. Hidung : sekret (-)
4. Telinga : nyeri tekan tragus (+), MEA tampak serumen seboroik
(+), dinding MEA tampak hiperemis (+)
5. Mulut : labium oris pucat (-), kesan dens tidak lengkap, faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1.
6. Leher : ■ Pembesaran kelenjar getah bening (-)
■ Pembesaran tiroid (-)

7. Thorax
Inspeksi Simetris kiri = kanan, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi  Fremitus vokal kanan = kiri
 Ictus cordis teraba di ICS V LMCS
Perkusi  Sonor di semua lapang paru
 Batas paru-hepar normal di ICS VI LMCD
 Batas paru-lambung normal di ICS V LMCS
Auskultasi  Vesicular basal sound +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
 S1-S2 tunggal dan regular, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen
Inspeksi Tampak datar
Auskultasi Bising usus 8x/menit
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi Timpani, pekak hepar terdengar

9. Genitalia : hiperemis (-)

10. Ekstremitas
Extremitas superior dextra Extremitas superior sinistra
 Akral hangat, CRT <2 detik  Akral hangat, CRT <2 detik
 Motorik : 5  Motorik : 5
Sensorik dalam batas normal Sensorik dalam batas normal

Extremitas inferior dextra Extremitas inferior sinistra


 Akral hangat, CRT <2 detik  Akral hangat, CRT <2 detik
 Motorik : 5  Motorik : 5
Sensorik dalam batas normal Sensorik dalam batas normal

9
d. Pemeriksaan Neurologis
Extremitas Superior Extremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Gerakan + + + +
Tonus normal normal normal normal
Trofi - - - -
Klonus - - - -
 Refleks  Refleks
Refleks
biseps (+) biseps (+) Refleks patella Refleks patella
Fisiologis
 Refleks  Refleks (+) (+)
triseps (+) triseps (+)
 Babinsky (-)  Babinsky (-)
Refleks  Refleks  Refleks
 Chaddock (-)  Chaddock (-)
patologis Hoffman (-) Hoffman (-)
 Oppenheim (-)  Oppenheim (-)
 Refleks  Refleks
 Schaeffer (-)  Schaeffer (-)
Tromner (-) Tromner (-)
 Gordon (-)  Gordon (-)
Sensibilitas + + + +

Tanda-tanda meningeal : - Kaku kuduk (-)


- Laseque sign (-)
- Kerniq sign (-)
- Brudzinsky I (-)
- Brudzinsky II (-)

2.3. Diagnosa Kerja


a. Diagnosa Banding
Otitis Eksterna
Infeksi Saluran
Telinga
Non Malaria Otitis Media
Demam Infeksi Virus

Malaria Kejang Demam


Sederhana
Ekstrakranial Kejang Demam
Infeksi Kompleks
Meningitis
KejangP
Intrakranial
Ensepalitis
Non infeksi Inbalance Elektrolit

10
b. Diagnosa Kerja
- Febris H-1 e.c. Kejang demam sederhana (KDS)
- Otitis eksterna ADS

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan darah lengkap
Tabel 2.1.Hasil pemeriksaan darah lengkap selama dirawat
Tanggal Pemeriksaan
Indikator Nilai Rujukan
(20 Januari 2022)
Hb 11,0 - 12,0 g/Dl 11,2 g/dL
Leukosit 4.000 - 10.000/μL 12.610/μL
Hematokrit 37-54% 35,3%
Trombosit 150.000 - 400.000/μL 341.000/μL
MCV 80 - 100 fL 64,5 fL
MCH 27 - 34 pg 20,5 pg
MCHC 32 – 36 g/dL 31,7 g/dL
Eosinofil 1 – 3% 1,4%
Basofil 0 – 1% 0,8%
Neutrofil batang 2 – 6% 7,98%
Neutrofil segmen 40 – 60% 63%
Limfosit 20 – 45% 19,7%
Monosit 3 – 12% 14,8%

b. Pemeriksaan kimia darah


Tabel 2.2. Hasil pemeriksaan kimia darah selama dirawat
Tanggal Pemeriksaan
Indikator Nilai Rujukan
(20 Januari 2022)
GDS <200 mg/dL 137 mg/dL

c. Pemeriksaan elektrolit darah


Tabel 2.3. Hasil pemeriksaan elektrolit serum selama dirawat
Tanggal Pemeriksaan
Indikator Nilai Rujukan
(20 Januari 2022)
Natrium 135 – 145 mmol/L 134 mmol/L
Kalium 3,5 – 5,0 mmol/L 3,5mmol/L
Klorida 98 – 109 mmol/L -
Kalsium 0,98 – 1,2 mmol/L 1,12 mmol/L

d. Pemeriksaan urinalisis selama dirawat

11
Hasil Pemeriksaan
Indikator Interpretasi
(21 Januari 2022)
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat jenis 1.020 1.000 – 1.030
Ph 5,0 5.0 – 9.0
Leukosit - 25 leu/µL = +1; 100 leu/µL = +2; 500
leu/ µL = 3+
Nitrit - Negatif
Protein - 25 mg/dL = +1; 75 mg/dL = 2+; 150
mg/dL = 3+; 500 mg/dL = 4+
Glukosa - 50 mg/dL = 1+; 100 mg/dL = +2; 300
mg/dL = +3; 1000 mg/dL = 4+
Keton - 5 mg/dL = 1+; 15 mg/dL = 1+
50 mg/dL = 2+ ; 150 mg/dL = 3+
Urobilinogen - 1 mg/dL = 1+; 4 mg/dL = 2+;
8 mg/dL = 3+; 12 mg/dL = 4+
Bilirubin - 1 mg/dL = 1+; 4 mg/dL = 2+;
6 mg/dL = 3+
Darah - 10 ery/µL = 1+; 25 ery/µL = 2+;
50 ery/µL = 3+; 250 ery/µL = 4+
Hemoglobin - Negatif
SEDIMEN URIN
Epitel Skuamosa + Positif
Leukosit 0-2 sel < 5/Lp 40x
Eritrosit 0-2 sel ≤ 3/ Lp 40x
Jamur - Negatif
Bakteri - Negatif / Positif 1
Kristal Patologis -
Kristal non Patologis - Negatif
Silinder Hialin - Negatif / Positif 1

2.5. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada pasien An. GRS di IGD adalah sebagai berikut.
 IVFD D5¼NS 10 tpm
 Injeksi :
- Fenobarbital 75 mg (IM)
- Cefotaxime 3 x 300 mg (IV)
- Gentamisin 3 x 15 mg (IV)
- Metilprednisolon 3 x 12,5 mg (IV)
- Fenobarbital 2 x 15 mg (PO)
 Peroral : Paracetamol 3 x 0,9 cc (PO)

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kejang Demam


3.1.1. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.4 Studi
percobaan pada hewan menyimpulkan bahwa suhu yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur,
tingginya suhu, serta percepatan peningkatan suhu. Faktor hereditas juga
mempunyai peranan penting. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian mengalami kejang demam tidak termasuk dalam kejang demam.7
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, harus dipertimbangkan
kemungkinan lainnya seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP) atau epilepsi yang
terjadi bersama demam.4

3.1.2. Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik, dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang
demam.2

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini, yaitu:2
a Kejang berlangsung selama lebih dari 15 menit.

13
b Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului
kejang parsial.
c Berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam.

3.1.3. Etiologi
Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab kejang demam, dua
diantaranya adalah karena dilepaskannya sitokin inflamasi (IL-1-beta) atau
hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak sehingga
terjadi kejang. Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi
neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik masih belum jelas, namun
beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti
19p dan 8q13-21, sementara penelitian lainnya menunjukkan pola penurunan secara
autosomal dominan.8
Demam yang memicu kejang demam berasal dari proses ekstrakranial. Jika
penyebab berasal dari intrakranial tidak dapat didiagnosis dengan kejang demam.
Penyebab tersering kejang demam adalah infeksi saluran napas atas, otitis media
akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.2,8

3.1.4. Diagnosis
a. Anamnesis9
 Adanya kejang (perlu diketahui jenis kejang, kesadaran saat kejang, dan
lama kejang).
 Suhu sebelum dan saat kejang terjadi, frekuensinya dalam 24 jam,
interval antar kejang, keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di
luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas atas
(ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA), atau
sebab lainnya)
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam, dan riwayat epilepsi
dalam keluarga.

14
 Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare atau muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

b. Pemeriksaan Fisik9
 Kesadaran anak (apakah terdapat penurunan kesadaran)
 Suhu tubuh (apakah terdapat demam sebelum dan saat kejang)
 Tanda-tanda rangsang meningeal, seperti kaku kuduk, Brudzinski I dan
II, Kernique’s sign, Laseque’s sign.
 Pemeriksaan nervus kranialis
 Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, meliputi ubun-ubun besar
(UUB) menonjol atau papil edema.
 Tanda-tanda infeksi di luar SSP, seperti ISPA, OMA, ISK.
 Pemeriksaan neurologis (tonus, kekuatan motorik, refleks fisiologis,
refleks patologis)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam atau keadaan lainnya, misalnya gastroenteritis akut
dengan dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan, misalnya pemeriksaan darah perifer, elektrolit serum, dan
kadar gula darah sewaktu.2,9
 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 - 6,7%.6 Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika diyakini etiologinya bukan

15
meningitis secara klinis, maka tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Pungsi lumbal dianjurkan pada keadaan berikut.2,9
a. Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan
b. Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan
c. Bayi usia >18 bulan : tidak rutin dilakukan
 Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal.2

3.1.5. Diagnosis Banding


Menghadapi seorang anak yang menderia demam dengan kejang, harus
memikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf
pusat (SSP). Kelainan di dalam SSP biasanya karena infeksi, misalnya meningitis,
ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu, perlu di waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di SSP. Kemudain, barulah
dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam atau epilepsi
yang diprovokasi oleh demam.9

3.1.6. Terapi
a. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritma
tatalaksana kejang. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis
intermiten pada saat demam sebagai berikut.2
 Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali pemberian, atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4
kali sehari.

16
 Anti kejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam atau
diazepam per rektal dengan dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
suhu tubuh >38,50C. Terdapat efek samping berupa ataksia, iritabel dan
sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.

Pengobatan jangka panjang (rumatan)


Pemberian obat ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan. Obat untuk pengobatan jangka panjang
adalah sebagai berikut.2
 Fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagikan dalam 1 – 2 dosis
 Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagikan dalam 2 – 3 dosis

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang, yaitu:2


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Mengendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam
mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal (tidak diberikan bila kejang telah berhenti).

3.2. Otitis Eksterna


3.2.1. Definisi
Pada bayi dua pertiga saluran telinga sebelah luar adalah kartilago dan
sepertiga bagian dalam adalah tulang, sedangkan pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa hanya sepertiga luar yang kartilago. Sekresi kelenjar sebasea pada
anak lebih berair, ditambah dengan sekresi kelenjar apokrin pada bagian luar

17
meatus acusticus externus bersamaan dengan sel-sel permukaan kulit yang
mengelupas membentuk lapisan tidak larut air (seperti lilin protektif). Flora
normal meatus acusticus externus terdiri dari Staphylococcus epidermidis,
Corynebacterium, Micrococus sp., dan terkadang Staphylococcus aureus dan
Streptococcus viridans.10
Otitis eksterna akut (OEA) adalah kondisi yang umum dialami oleh populasi
pediatrik yang ditandai dengan inflamasi yang tersebar di seluruh meatus
acusticus externus. Data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC)
tahun 2003 hingga 2007, insidensi OEA diperkirakan berkisar antara 8,1 per 1.000
populasi, dimana terjadi peningkatan selama musim panas pada anak usia 5
hingga 14 tahun.10

3.2.2. Etiologi
Kelembaban yang berlebihan (berenang, mandi, atau kenaikan kelembaban
lingkungan) atau kekeringan (infeksi sebelumnya, dermatosis, atau serumen) atau
trauma (digital atau benda asing) membuat kulit meatus acusticus externus rentan
terhadap infeksi bakteri endogen atau bakteri virulen eksogen. Otitis eksterna
paling sering disebabkan oleh Pseudomonas aerogenes, Proteus mirabilis,
Klabsiella pneumonia, Streptokokus, S. epidermidis, dan jamur seperti Candida
dan Aspergillus. Secara keseluruhan, 90% kasus otitis eksterna akut terjadi
unilateral dan di hampir 90% disebabkan oleh infeksi bakteri. Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus merupakan patogen tersering
menyebabkan OEA.10
Etiologi OEA sebenarnya multifaktorial. Membersihkan telinga dari
serumen yang terlalu sering dapat menghilangkan barrier pertama dalam melawan
infeksi dan mengganggu kelembapan MEA. Serumen membuat lingkungan MEA
menjadi lebih asam (pH asam) yang menghambat pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa. Tapi keadaan ini terganggu ketika terpapar air, irigasi telinga,
penggunaan alat bantu dengar. OEA lebih rentan terjadi di daerah dengan iklim
yang panas, kelembapan tinggi, atau terpapar air terus-menerus (perenang).11
3.2.3. Diagnosis

18
a. Anamnesis
Gejala yang dominan adalah nyeri telinga, diperkuat dengan manipulasi
pinna dan terutama oleh tekanan pada tragus. Gatal-gatal sering mendahului
nyeri dan biasanya lebih khas. Tuli konduktif dapat terjadi akibat edema
mukosa MEA dan membran timpani, sekresi serosa atau purulen, maupun
penebalan kulit akibat otitis eksterna yang berlangsung lama.10,11
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan otoskopi, dapat ditemukan nyeri saat tragus dibuka,
edema seluruh MEA, dan membran timpani yang sulit untuk dievaluasi,
sehingga pemeriksaan otoskopi menyeluruh harus ditunda sampai keadaan
akut berkurang. Jika membran timpani dapat terlihat, kemungkinan masih
normal atau apabila ternyata menebal, maka responsnya dapat berkurang
pada tekanan positif dan negatif telinga tengah. Edema periaurikuler dan
demam sering diakibatkan oleh infeksi konkomitan dari Pseudomonas dan
S. piogenes atau S. aureus.10,11
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah otoskopi pneumatik,
otomikroskopi, timpanometri, reflektometri akustik, dan pemeriksaan
telinga spesifik lainnya. Namun, gold standart untuk mengetahui
mikroorganisme kausatifnya adalah dengan kultur.11

3.2.4. Diagnosis Banding


Otitis eksterna difusa dapat salah diagnosis dengan furunkulosis, otitis
media, dan mastoiditis. Furunkel biasanya menyebabkan edema MEA yang
terlokalisasi dan terbatas pada satu kuadran. Pada otitis media, membran timpani
dapat mengalami perforasi, retraksi berat, atau cembung dan immobile, dan
pendengaran biasanya terganggu. Nyeri pada manipulasi aurikula dan limfadenitis
bukan merupakan tanda infeksi telinga tegah. Edema pada prosessus mastoideus
merupakan tanda dari mastoiditis, biasanya terdapat riwayat otitis media dan
gangguan pendengaran, serta nyeri ditemukan pada antrum mastoid.10,11
3.2.5. Tatalaksana

19
Antimikroba topikal merupakan lini pertama pengobatan otitis eksterna akut
(OEA), namun ada saatnya diperlukan antibiotik peroral. Sekitar 20-40% pasien
OEA mendapatkan antibiotik peroral, dengan atau tanpa terapi topikal. Antibiotik
peroral tidak direkomendasikan untuk pengobatan OEA karena Pseudomonas atau
S. Aureus karena tidak efektif dan distribusi sistemik tidak diperlukan.
Tatalaksana awal di fasilitas kesehatan adalah dengan ear toilet (suctioning, dry
mopping, irigasi, dan mengambil serumen obstruktif atau benda asing di telinga).
Pemberian antibiotik topikal yang didahului dengan terapi non-antibiotik (teteas
antiseptik atau tetes asidifikasi). Antibiotik topikal yang biasa digunakan adalah
Ciprofloxacin 0,2% atau 0,3%, Ofloxacin 0,3%, Neomycin-Polymyxin B, atau
Asam asetat 2,0%.11
Antibiotik topikal memberikan antibiotik konsentrasi sangat tinggi langsung
pada jaringan terinfeksi, seringkali 100 hingga 1.000 kali lipat lebih tercapai
dibandingkan antibiotik sistemik. Contohnya antibiotik topikal 0,3% memiliki
konsentrasi 3000 μg/mL. Karena biasanya terdapat 10-20 tetes/mL, maka setiap 3-
5 tetes mengandung 0,5-1,5 mg antibiotik.11

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan pasien An. GRS (1 tahun 8 bulan) dirawat inap di ruang Kelas
III RSUD Husada selama 2 hari dengan diagnosis kejang demam sederhana
(KDS). Dari anamnesis didapatkan anak kejang ±30 menit sebelum MRS, kejang
pertama kali dengan durasi kurang dari 5 menit, kejang bersifat umum (saat
kejang tangan dan kaki kaku dan gemetar serta mata melihat ke atas). Kejang
hanya sekali saja dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang dialami pertama kali
dan tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Sebelum dan sesudah kejang pasien
sadar. Pasien belum mendapatkan pengobatan apapun saat dan setelah kejang.
Sebelum kejang pasien menderita demam. Demam sejak 1 hari sebelum MRS,
timbul mendadak, terus-menerus walaupun telah diberi obat penurun panas.
Pasien didiagnosis dengan kejang demam sederhana (KDS) karena telah
memenuhi kriteria Livingstone, yaitu:
 Pasien berusia di antara 6 bulan sampai 5 tahun
 Kejang yang dialami bersifat umum, dimana tangan dan kaki pasien kaku
dan gemetar, serta mata melirik ke atas.
 Selama kejang pasien sadar dan setelahnya pasien sadar kembali
 Durasi kejang yang dialami pasien kurang dari 5 menit
 Penyebab kejang intrakranial dapat disingkirkan

Pada kasus ini, penyebab intrakranial seperti infeksi SSP (meningitis,


ensefalitis, abses serebri, dan infeksi lainnya) atau epilepsi harus disingkirkan.

21
Namun, dari pemeriksaan neurologis (pemeriksaan kesadaran, tanda-tanda
meningeal, refleks fisiologis dan patologis) tidak ditemukan kelainan apapun,
sehingga kecurigaan ke arah infeksi SSP dapat dikurangi. Berdasarkan
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam oleh IDAI tahun 2016, pungsi
lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan meningitis, dan lebih
diutamakan pada bayi usia kurang dari 12 bulan (sangat dianjurkan) atau usia 12-
18 bulan (dianjurkan) karena manifestasi meningitis yang tidak jelas. Oleh karena
An. GRS pada kasus berusia 20 bulan dan pemeriksaan neurologis menunjukkan
hasil normal, maka pungsi lumbal tidak dilakukan pada pemeriksaan ini.
Kecurigaan ke arah epilepsi juga dapat disingkirkan karena kejang yang
dialami baru pertama kali, tidak ada riwayat kejang tanpa disertai demam, dan
tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga. Oleh karena itu, pasien An. GRS
didiagnosis dengan kejang demam sederhana karena kecurigaan penyebab
intrakranial dapat disingkirkan.
Pada pasien An. GRS didapatkan tanda-tanda vital yang normal dan
pemeriksaan antropometri yang normal. Berdasarkan CDC 2000, status gizi
pasien berada dalam rentang normal (82,56%). Pemeriksaan neurologis
menunjukkan anak dalam keadaan sadar, pupil isokor, reflek cahaya positif, reflek
fisiologis normal, tidak didapatkan refleks patologis, dan tidak ada tanda rangsang
meningeal. Penyebab kejang demam pada pasien ini kemungkinan berasal dari
infeksi saluran telinga yaitu otitis eksterna. Hal ini dikarenakan pada pemeriksaan
telinga didapatkan nyeri tekan pada tragus, tampak serumen seboroik di meatus
acusticus externus, dan dinding meatus yang hiperemis. Tanda-tanda ini
merupakan tanda khas dari otitis eksterna akut, khususnya otitis eksterna difusa.
Pada kasus ini, penyebab kejang demam selain otitis eksterna akut tidak
ditemukan. Tidak ada keluhan atau masalah pada sistem respirasi, sistem
gastrointestinal, sistem genitourinari, maupun sistem organ lainnya. Pada anak-
anak biasanya sulit mendiagnosis infeksi saluran kemih (ISK) karena komunikasi
yang kurang jelas, namun kejadian ISK pada anak perempuan lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki. Namun, ISK dapat menjadi salah satu penyebab
demam pada anak ketika tidak ditemukan kecurigaan ke penyakit lainnya. Oleh

22
karena itu, dilakukan pemeriksaan urin (urinalisis) pada An.GRS dan hasilnya
dalam batas normal, sehingga diagnosis ISK dapat disingkirkan.
Sebanyak 90% otitis eksterna akut disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal ini
sesuai dengan hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien An.GRS, dimana
didapatkan leukositosis dengan neutrofilia. Hasil pemeriksaan darah lebih
mengarah ke infeksi bakteri dibandingkan infeksi virus atau jamur. Namun, gold
standart untuk menentukan mikroorganisme penyebab otitis eksterna adalah
kultur, dimana pada kasus ini tidak dilakukan.
Pemeriksaan penunjang juga dikerjakan untuk menunjang diagnosis antara
lain pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam. Pemeriksaan GDS tidak menunjukkan hipoglikemia dan pemeriksaan
elektrolit serum menunjukkan hiponatremia ringan (134 mmol/L). Namun,
hiponatremia ringan (125-135 mmol/L) jarang menyebabkan kejang ataupun
manifestasi klinis yang khas. Oleh karena itu, penyebab kejang dari sumber
metabolik dapat disingkirkan pada kasus ini.
Saat di IGD, pasien disarankan untuk dirawat inap karena telah memenuhi
indikasi rawat inap pada kasus kejang demam, dimana semua pasien kejang
demam pertama kali wajib dirawat inap baik kejang demam sederhana atau
kompleks. Saat di IGD, suhu tubuh pasien mencapai 38,1 oC, sehingga diberikan
antipiretik dari golongan asetaminofen, Paracetamol drops 0,9 cc. Terapi ini telah
sesuai, dimana dosis Paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kgBB/kali
pemberian dan diberikan sebanyak 4 kali sehari.
Dosis PCT =10 mg× 9 kg
Dosis PCT =90 mg/kali pemberian

Di IGD, pasien diberikan injeksi Fenobarbital 75 mg secara intramuskular


untuk mencegah kejang berulang. Pasien juga diberikan Fenobarbital peroral 2 x
15 mg secara peroral. Terapi ini telah sesuai, dimana dosis maintainance
Fenobarbital untuk kejang demam adalah 3-4 mg/kgBB/hari terbagi dalam 1-2
dosis.
Dosis Fenobarbital=3 mg−4 mg ×9 kg

23
Dosis Fenobarbital=27 mg−36 mg per hari

Pada kasus An.GRS, dosis maintainance Fenobarbital dalam 1 hari adalah


30 mg terbagi dalam 2 dosis. Pembagian tablet Fenobarbital (atau dalam bentuk
pulveres) ini lebih mudah karena sediaan Fenobarbital tablet yang tersedia di
rumah sakit adalah tablet 30 mg.
Pemberian Luminal (Fenobarbital) pada saat demam berguna untuk
mencegah kejang demam, tetapi berdasarkan Rekomendasi Tatalaksana Kejang
Demam oleh IDAI tahun 2016, pemberian Diazepam peroral lebih dianjurkan
daripada Fenobarbital untuk mencegah kejang demam. Dosis diazepam oral yang
dapat diberikan adalah 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam. Diazepam
peroral biasanya diberikan selama 2-3 hari. Hal ini dapat menurunkan risiko
kejang berulang. Fenobarbital kurang efektif dalam mencegah kejang demam
berulang dan dapat menurunkan fungsi kognitif pada anak yang diobati,
sedangkan efek samping Diazepam biasanya ringan, tetapi gejala kelesuan,
iritabilitas, dan ataksia dapat dikurangi dengan menyesuaikan dosis.
Pasien juga diberikan dual antibiotik parenteral, yaitu Cefotaxime 3 x 300
mg dan Gentamisin 3 x 15 mg. Cefotaxime berasal dari golongan sefalosporin
generasi III yang memiliki aktivitas broad-spectrum (bakteri Gram positif dan
Gram negatif), sedangkan Gentamisis berasal dari golongan aminoglikosida yang
menghambat sintesis protein bakteri.
Pada hari perawatan ke-1, didapatkan kebiasaan ibu yang sering mengorek
telinga anak. Selain itu, tidak didapatkan sumber infeksi pada pasien, sehingga
kecurigaan ke arah infeksi telinga meningkat. Oleh karena itu, pasien
dikonsultasikan ke dokter spesialis THT. Pada pemeriksaan telinga dan otoskopi,
didapatkan serumen seboroik dan hiperemis dinding meatus di auris dextra. Oleh
karena itu, pasien didiagnosis dengan otitis eksterna. Kebiasaan mengorek telinga
dapat mengganggu keasaman dan kelembapan meatus acusticus externus karena
sifat serumen yang lipofilik (seperti lilin) menghilang ketika serumen telinga
dikorek atau dikeluarkan secara reguler. Kebiasaan ini menyebabkan kemampuan
barrier pertama melawan infeksi telinga luar menurun. Flora normal yang

24
seharusnya tidak patogen dapat berkembang biak dan menginfeksi ketika barrier
telinga luar terganggu. Namun, penyebab otitis eksterna tersering adalah
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
Pemberian Gentamisin dari golongan aminoglikosa sudah tepat karena sifat
Gentamisin lebih dominan melawan infeksi Gram negatif, seperti Pseudomonas
walaupun tetap aktif melawan infeksi Gram positif. Gold standart untuk otitis
eksterna adalah kultur bakteri, namun tidak dilakukan pada kasus ini, sehingga
pemberian antibiotik broad-spectrum harus diberikan. Berdasarkan teori, terapi
antibiotik awal yang diberikan adalah golongan penisilin, yaitu Amoxicilin 25-50
mg/kgBB/kali setiap 6 jam, yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Namun, karena pemberian secara intravena lebih favorable dan
efektivitasnya lebih tinggi, maka dipertimbangkan pemberian terapi antibiotik
kombinasi. Dosis yang diberikan pada pasien ini sudah sesuai, yaitu dosis
Cefotaxime 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 3 kali pemberian. Dosis Gentamisin
3-5 mg/kgBB terbagi dalam 3 kali pemberian. Dalam pemberian antibiotik
diperlukan evaluasi ulang setelah 3 hari pemberian antibiotik.
Pasien diberikan infus D5¼NS 10 tpm. Hal ini telah sesuai dengan
kebutuhan cairan harian pasien, yaitu 900 cc/hari sesuai dengan penghitungan
berdasarkan Holiday-Segar. Jumlah cairan ini hanya yang diberikan secara
parenteral, sehingga pasien tetap dimotivasi untuk tetap makan dan minum seperti
biasanya. Pada anak yang demam, kebutuhan cairan akan meningkat. Pada anak
yang menderita infeksi, kebutuhan nutrisinya juga meningkat.
Kebutuhan cairan=100 cc ×9 kg
Kebutuhan cairan=900 cc /hari
Pasien didiagnosa dengan otitis eksterna, kemudian mendapatkan terapi
tambahan Otilan eardrops 2 x III gtt. Pemberian antibiotik topikal merupakan lini
pertama pengobatan otitis eksterna. Pada kasus ini, Ofloxacin 0,3% (Otilan)
berasal dari golongan kuinolon. Tetes telinga diberikan pada telinga kanan dengan
anjuran posisi posisi anak berbaring miring dengan telingan yang sakit berada di
atas, dan dibiarkan selama 15 menit setelah diteteskan tanpa berubah posisi.
Antibiotik topikal ini diberikan terus-menerus selama 7 hari walaupun keluhan

25
telah berkurang atau tidak ada. Pasien juga dinasehatkan untuk menghilangkan
kebiasaan mengorek telinga lagi.
Pada hari perawatan ke-2, terapi sebelumnya tetap dilanjutkan, yaitu
Parasetamol 3 x 0,9 cc untuk mengatasi demam, Fenobarbital 2 x 15 mg per oral,
dan terapi antibiotik kombinasi. Saat ini, pemberian Parasetamol hanya pada saat
demam. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah pasien dapat bebas demam
dalam 1 x 24 jam tanpa antipiretik, sebagai salah satu indikasi rawat jalan pada
pasien demam.
Pada pasien ini tidak diberikan terapi rumatan karena tidak memenuhi
kriteria. Pasien kejang demam perlu mendapat terapi rumatan apabila
menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut.
a Kejang berlangsung lebih dari 15 menit
b Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, atau
hidrosefalus.
c Kejang fokal
d Pengobatan rumatan dipertimbangkan apabila :
- Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
- Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
- Kejang demam ≥4 kali per tahun

Prognosis pada pasien An.GRS baik. Prognosis tergantung dari cepatnya


penegakan diagnosis, penanganan yang sesuai, dan kepatuhan minum obat dari
pasien. Semakin cepat kejang demam ditangani, semakin baik prognosisnya.
Selain itu, penyebab kejang demam pada pasien ini telah diketahui dan telah
diterapi.
Pada perawatan hari ke-3, pasien mengalami perbaikan dengan
berkurangnya gejala seperti bebas demam 1 x 24 jam dan tidak ada kejang
berulang, sehingga pasien diperbolehkan rawat jalan. Namun, dinasihatkan pada
pasien untuk kontrol ulang jika terjadi keluhan, serta pemeriksaan setiap bulan
untuk memeriksakan tumbuh kembangnya. Terapi rawat jalan pada pasien

26
An.GRS adalah Paracetamol 3 x 0,9 cc, Otilan eardrops 2 x III tetes, dan
Cetirizine syrup 1 x I sendok teh. Cetirizine diberikan dengan dosis 0,25
mg/kgBB, sehingga diberikan 1 cth (5 ml) yang mengandung 5 mg Cetirizine.
Sebelum pulang, orang tua pasien diberikan edukasi sebagai berikut.
a Mewaspadai jika anak mulai demam, segera mengukur suhu menggunakan
termometer dan memberikan obat penurun panas jika demam.
b Jika terjadi kejang di rumah, atasi dengan memberikan Diazepam per rektal,
kemudian segera bawa anak ke pelayanan kesehatan terdekat.
c Segera kontrol berobat jika anak memiliki keluhan atau tanda-tanda infeksi
kembali.
d Menjaga asupan nutrisi anak.
e Mengonsumsi air putih lebih banyak ketika demam.
f Menjaga kebersihan lingkungan.
g Menghindari polusi udara seperti asap rokok dan menasihatkan ayah pasien
untuk berhenti merokok.
h Tumbuh kembang anak dipantau dengan rutin kontrol ke fasilitas kesehatan
setiap bulannya.
i Imunisasi dilanjutkan seperti imunisasi ulangan.

27
BAB V
PENUTUP

Demikian telah dilaporkan kasus An.GRS (1 tahun 8 bulan) dengan kejang


demam sederhana (KDS) akibat otitis eksterna akut auris dextra yang dirawat di
ruang perawatan kelas III RSUD Husada Spunggur. Pasien masuk ke IGD dengan
keluhan utama kejang ±30 menit sebelum masuk rumah sakit.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan kriteria Livingstone, pasien didiagnosa
dengan Kejang Demam Sederhana (simple febrile seizure). Selama perawatan,
anak diberikan terapi cairan IVFD D5¼NS dan terapi medikamentosa berupa
antibiotik kombinasi, antipiretik, anti-kejang, dan tetes telinga antibiotik. Setelah
dirawat selama 2 hari, pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan (tidak ada
kejang, tidak ada demam dalam 24 jam tanpa antipiretik, dan tidak ada muntah),
sehingga pasien diizinkan untuk menjalani rawat jalan.
Orangtua pasien dinasehatkan untuk kontrol ke fasilitas kesehatan apabila
terdapat keluhan, serta kontrol rutin setiap bulan untuk memeriksakan tumbuh
kembangnya. Orangtua pasien diberikan edukasi sebelum pulang mengenai
penanganan pertama pada demam, cara penanganan kejang di rumah, dan pola
hidup bersih dan sehat (menjaga asupan nutrisi anak, menjaga kebersihan
lingkungan, menjauhkan anak dari asap rokok, memantau tumbuh kembang anak,
dan memberikan imunisasi lanjutan).

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H.A. Sistem Saraf dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2009.
2. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: IDAI; 2016.
doi:10.1109/JQE.2014.2330255.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
4. Chang YC, Huang CC, Huang SC. Long-term neuroplasticity effects of
febrile seizures in the developing brain. Chang Gung Med J.
2008;31(2):125-135. doi:3102/310202 [pii].
5. Kakalang JP, Masloman N, Manoppo JIC. Profil kejang demam di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. J e-Clinic.
2016;4(2):1-6.
6. Steering Committee on Quality Improvement and Management S on FS.
Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term
Management of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics.
2008;121(6):1281-1286. doi:10.1542/peds.2008-0939.
7. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007.
8. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: FKUI, 2007.
9. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 4,
Jilid I. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius; 2014.
10. McWilliams CJ, Smith CH, Goldman RD. Child Health Update: Acute
otitis externa in children. Le Medecin de Famille Canadien 2012:58: 1222-
1226.
11. Rosenfeld RM, Schwartz SR, Cannon CR, Roland PS, Simon GR, Kumar
KA, Huang WW, Heskell HW, Robertson PJ. Clinical Practice Guideline:
Acute Otitis Externa. Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2014:150(1):1-24.

29

Anda mungkin juga menyukai