DISUSUN OLEH:
dr Aryanda Widya T S
PEMBIMBING :
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : An. GMN
Tanggal Lahir/ Usia : 20/10/2010/ 7 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mojosongo, Boyolali
Nomor Rekam Medik : 16522984
Tanggal Masuk RS : 9 Januari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 9 Januari 2018
II. Anamnesis
Anamnesis diperoleh melalui alloanamnesis terhadap ibu pasien.
A. Keluhan Utama
Kejang
3
2 tahun SMRS pasien juga pernah mengalami satu kali kejang.
Dikatakan ibu pasien kejang saat itu tidak disertai dengan demam.
Kejang serupa dengan yang dialami saat ini, namun bedanya kejang
sebelumnya setelah berhenti pasien langsung sadar. Saat itu pasien juga
di bawa ke RS namun bukan di RS Pandan Arang. Mondok kurang lebih
3 hari, tidak diberi obat ruitn dan belum pernah melakukan rekam otak.
Oleh keluarga, karena kondisi pasien tersebut pasien segera di bawa
ke IGD RS Pandan Arang Boyolali. Saat di IGD pasien masih tidak
sadarkan diri, tidak berespon saat ditanya nama, hanya seperti
berkumur. Mata membuka spontan melirik kiri atas. Saat diberi
rangsang nyeri pasien hanya mengencangkan suara berkumurnya dan
mengangkat tangannya untuk menghindari nyeri. Demam disangkal,
mual muntah disangkal, diare disangkal. BAB terakhir 1 hari SMRS,
BAK terakhir kurang lebih 2 jam SMRS.
4
F. Riwayat Kehamilan dan Antenatal
Ketika hamil, ibu pasien rajin melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan. Pada usia kehamilan trimester pertama dan kedua ibu pasien
melakukan kontrol sebanyak 1 kali dalam 1 bulan. Pada usia kehamilan
trimester ketiga ibu pasien melakukan kontrol 2 kali tiap bulan. Tidak
ada keluhan saat dalam masa kehamilan. Obat-obatan yang diminum
selama masa kehamilan meliputi vitamin dan tablet penambah darah.
Kesan : Kehamilan dalam batas normal.
G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu dengan umur kehamilan 39 minggu secara
spontan ditolong bidan dengan berat badan lahir 3000 gram dan panjang
50 cm, langsung menangis kuat segera setelah lahir dan tidak ada
kebiruan.
Kesan : Riwayat kelahiran tidak ada kelainan.
H. Riwayat Imunisasi
a. 0 bulan : HB 0
b. 1 bulan : BCG, Polio 1
c. 2 bulan : DPT 1, HB 1, Polio 2
d. 3 bulan : DPT 2, HB 2, Polio 3
e. 4 bulan : DPT 3, HB 3, Polio 4
f. 9 bulan : Campak
Kesan: Imunisasi sudah lengkap menurut jadwal imunisasi Depkes
2010.
5
dan panjang badan 50 cm. Saat ini berat badan pasien 20 kg dan
tinggi badan 122 cm.
Kesan : Pertumbuhan sesuai usia.
b. Perkembangan
Saat pasien berusia 7 tahun, pasien dapat memakai pakaian
tanpa bantuan, meniru tingkah laku lingkungan sekitar, dan
berkomunikasi dengan keluarga. Pasien menempati bangku kelas 2
SD, dapat mengikuti pelajaran yang diberikan, dan dapat
berinteraksi baik dengan teman sekelasnya.
Kesan : Perkembangan pasien sesuai usia.
K. Pohon Keluarga
6
(An. GMN, 7 tahun 2 bulan)
III. PEMERIKSAAN FISIK (9/1/2018)
A. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, GCS E4V2M4, gizi kesan
baik
b. Tanda Vital
Laju nadi : 96 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan
cukup
Laju pernapasan : 24 x/menit, vesikuler, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,0°C per aksila
Saturasi O2 : 96%
c. Kepala : Mesocephal (Nellhaus)
d. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
reflek cahaya (+/+)
e. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-)
f. Telinga : Discharge (-)
g. Mulut : Mukosa mulut basah, sianosis (-), faring tidak
Hiperemis, gurgling
h. Leher : Kelenjar getah bening membesar (-)
i. Thorax : Dinding dada simetris, retraksi (-)
1) Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
2) Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan dan kiri
simetris
Palpasi : Fremitus dada kanan dan kiri sulit dievaluasi
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
j. Abdomen
7
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani diseluruh lapang perut
Palpasi : Supel, hepar lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat
k. Ekstremitas
Akral hangat Edema CRT < 2 detik ADP kuat
K. Status Neurologis
a. Meningeal sign
Kaku kuduk : (-)
Kernig : > 135o / > 135o
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
b. Pemeriksaan Nervus Craniales
I : Tidak dilakukan
II : Visus: tidak diperiksa
Lapang pandang: tidak diilakukan
Warna: tidak diperiksa
III, IV, : Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks
VI cahaya tidak langsung +/+, nistagmus tidak ada
Gerak bola mata: sulit dievaluasi
V : Motorik: baik, Refleks kornea: +/+
VII : Angkat alis, kerut dahi: tidak dilakukan
Tutup mata : baik, simetris
Kembung pipi: tidak dilakukan
Rasa 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan
8
VIII : Rinne, Webber, Schwabach: tidak dilakukan
Nistagmus: tidak ada
Berdiri dengan mata terbuka: tidak dilakukan
Berdiri dengan mata tertutup: tidak dilakukan
IX, X : Arkus faring: simetris
Uvula: terletak di tengah, simetris
XI : Menoleh kanan-kiri: tidak dilakukan
Angkat bahu: tidak dilakukan
XII : Lidah di dalam mulut: tidak ada deviasi,
fasikulasi, atrofi, maupun tremor
Menjulurkan lidah: tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Motorik
Eksterimitas atas : atrofi (-), normotonus dekstra et sinistra
Kekuatan: sulit dievaluasi
Eksterimitas bawah : atrofi (-), normotonus dekstra et sinistra
Kekuatan: sulit dievaluasi
d. Reflek Fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2
e. Reflek Patologis
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Oppenheim : -/-
f. Fungsi koordinasi
Tes tunjuk hidung : tidak dilakukan
Tes timit lutut : tidak dilakukan
g. Fungsi otonom
Miksi : normal
9
Defekasi : normal
Sekresi keringat : normal
L. Status Gizi
Berat badan (BB) : 20 kg
Tinggi badan (TB) : 122 cm
Umur : 7 tahun 2 bulan
a. BB/U : 20/23.5 x 100% = 85.11%
P10 < BB/U < P25 (normoweight)
b. TB/U : 122/123 x 100% = 99.18%
P25 < TB/U < P50 (normoheight)
c. BB/TB : 20/23 x 100% = 86.95%
P10 < BB/U < P25 (gizi baik)
Kesan : normoweight, normoheight, gizi baik
10
HITUNG JENIS
Eosinofil 8.5 % 1–3
Basofil 0.20 % 0–1
Netrofil batang - % 1–6
Netrofil Segmen 63.3 % 50 – 70
Limfosit 22.2 % 20 – 40
Monosit 5.8 % 2–8
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 102
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 135 – 148
Kalium darah 2.9 mmol/L 3.5 – 5.3
Klorida darah 108 mmol/L 98 – 107
V. RESUME
Pasien datang ke IGD RS Pandan Arang Boyolali dengan keluhan kejang
kurang lebih 30 menit SMRS. Dari alloanamnesis kepada ibu pasien
dikatakan kejang timbul mendadak saat pasien bermain, durasi kejang
kurang lebih 5 menit dengan mata mendelik ke kiri atas, kedua kaki dan
tangan kaku disertai kelonjatan. Setelah kejang, pasien belum sadarkan diri
sehingga oleh keluarga dibawa ke RSPA. Selama perjalanan ke RSPA
pasien tidak mengalami kejang. Setibanya di RSPA pasien masih belum
sadarkan diri, hanya melirik ke kiri atas dan bersuara seperti orang
berkumur. Demam (-), mual muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien memiliki riwayat kejang 2 tahun SMRS. Kejang tidak disertai
demam, hanya timbul 1 kali, pola kejang sama seperti saat ini namun
bedanya pada kejang terdahulu setelah selesai kejang pasien sadarkan diri.
Mondok di RS selama kurang lebih 3 hari. Tidak mendapatkan obat rutin
dan belum pernah melakukan rekam otak. Keluarga pasien tidak
mempunyai riwayat kejang tanpa/dengan sebelumnya.
11
Saat dilakukan pemeriksaan fisik 9/1/2018 didapatkan kesadaran
E4V2M4. Pada mulut pasien terdengar gurgling. Beberapa pemeriksaan
neurologi sulit dievaluasi karena pasien tidak sadar penuh, seperti gerakan
bola mata, dan fungsi motorik.
Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dalam batas normal pada
hematologi rutin, hitung jenis dan kimia darah. Namun pada pemeriksaan
elektrolit didapatkan hipokalemia ringan (2.9 mmol/L).
12
Epilepsi
Encephalitis viral
Encephalitis bakterial
Imbalance elektrolit
IX. TATALAKSANA
a. Inf. D5 ½ NS 15tpm
b. O2 3lpm
c. Suction -> clear airway
d. Diazepam per rectal k/p
e. Inj. Sibital (loading dose) 200mg IV
f. Inj. Sibital (maintenance 5 mg/kgBB/hari) -> 20 mg/12 jam IV
g. KCL 500mg/8 jam p.o.
X. MONITORING
Subject
30 menit di IGD, timbul kejang serupa dengan durasi kurang lebih 2
menit. Setelah itu kesadaran pasien lebih baik namun gelisah.
Object
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, GCS E4V4M5, gizi kesan
baik
b. Tanda Vital
Laju nadi : 92 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan
cukup
Laju pernapasan : 22 x/menit, vesikuler, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,0°C per aksila
13
Saturasi O2 : 97%
Assesment
Status epileptikus et causa simptomatik dd idiopatik
Hipokalemia ringan
Gizi baik, normoweight, normoheight
Plan
Lanjut
XII. EDUKASI
a. Edukasi keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien serta
bagaimana pengobatannya
b. Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk
mengetahui tanda-tanda awal kejang, pencetus, dan mengetahui
bentuk dan durasi kejang
c. Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien kejang
(lapor bila ada kejang berulang).
XIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
14
FOLLOW UP
10/1/2018
Subject
Kejang (-), demam (-), BAB (-), BAK (+), mual (-), muntah (-), makan (+) nasi,
minum (+) susu, gelisah (+)
Object
A. Status generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, GCS E4V4M6, gizi kesan baik
b. Tanda Vital
Laju nadi : 94 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan
cukup
Laju pernapasan : 22 x/menit, vesikuler, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 36,5°C per aksila
c. Kepala : Mesocephal (Nellhaus)
d. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
reflek cahaya (+/+)
e. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-)
f. Telinga : Discharge (-)
g. Mulut : Mukosa mulut basah, sianosis (-), faring tidak
hiperemis
h. Leher : Kelenjar getah bening membesar (-)
i. Thorax : Dinding dada simetris, retraksi (-)
1) Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
2) Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan dan kiri
simetris
Palpasi : Fremitus dada kanan dan kiri sulit dievaluasi
15
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
j. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani diseluruh lapang perut
Palpasi : Supel, hepar lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat
k. Ekstremitas
Akral hangat Edema CRT < 2 detik ADP kuat
B. Status Neurologis
a. Meningeal sign
Kaku kuduk : (-)
Kernig : > 135o / > 135o
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
b. Pemeriksaan Nervus Craniales
I : Tidak dilakukan
II : Visus: tidak diperiksa
Lapang pandang: tidak diilakukan
Warna: tidak diperiksa
III, IV, : Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks
VI cahaya tidak langsung +/+, nistagmus tidak ada
Gerak bola mata: dalam batas normal
V : Motorik: baik, Refleks kornea: +/+
VII : Angkat alis, kerut dahi: tidak dilakukan
Tutup mata : baik, simetris
Kembung pipi: tidak dilakukan
16
Rasa 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan
17
Tes timit lutut : tidak dilakukan
g. Fungsi otonom
Miksi : normal
Defekasi : normal
Sekresi keringat : normal
Assesment
Epilepsi umum simptomatik dd encephalitis viral
Plan
a. Inf. D5 ½ NS 15tpm
b. O2 3lpm
c. Inj. Sibital (maintenance 5 mg/kgBB/hari) -> 20 mg/12 jam IV
d. Inj. Diazepam 5mg (jika kejang)
e. Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
f. Inj. Dexametasone 3mg/6 jam
g. EEG (10/1/2018)
h. Urinalisa (10/1/2018)
URINE LENGKAP
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Bau Khas Khas
Blood - -
Bilirubin - -
Urobilinogen Normal Normal
Benda Keton - -
Reduksi - -
Protein - -
Nitrit - -
Leukosit - 1+/LBP
Reaksi/pH 7.5 4.6-8.5
18
Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.030
Epitel 1(+) 1+/LBP
Leukosit 1(+) 1+/LBP
Eritrosit 1(+) 1+/LBP
Silinder - -
Kristal -
Lain-lain -
19
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Status Epileptikus
A. Definisi
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status
epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya
menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara
kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama
kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat
kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih (Goldstein
dan Chung, 2013; Lowenstein et al., 1999).
B. Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari
1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi (Goldstein dan Chung, 2013;
Hersdoffer et al., 1998).
C. Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi (Goldstein dan Chung, 2013):
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan
elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak
kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik,
otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui
D. Faktor risiko
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus (Goldstein dan Chung, 2013; Shinnar, 1996; Singh dan Stephen,
2010):
1. Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami
satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain
21
itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12%
pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-
iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati
hipertensi.
E. Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang
berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif.
Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin,
sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA)
(Hanhan dan Fialoos, 2001; Wasterlain et al., 1993).
F. Tata laksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC)
harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan
jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi
antar institusi. Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status
epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2016.
22
Gambar 3.1 Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
Keterangan:
- Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit,
kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu
dihabiskan.
- Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan
kecepatan yang sama
- Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil
sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah
dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis
midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
5 mg (usia 1 – 5 tahun)
7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
10 mg (usia ≥ 10 tahun)
23
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam
setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat
diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat
dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
- Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU,
namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
G. Komplikasi
1. Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron
dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik,
perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel
neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan
metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan
komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada
SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis,
bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan
metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan
perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi,
gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya
terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya
kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi
akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat
proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-
otak (Goldstein dan Chung, 2013).
2. Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah
propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis
metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati
hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan,
efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli
paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan
pernapasan harus diperhatikan (Goldstein dan Chung, 2013).
24
H. Mortalitas
Angka kematian terkait SE pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari
10%. Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit
yang mendasarinya, bukan akibat langsung dari status epileptikus (Raspall-
Chaure et al., 2006).
I. Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status
epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang
adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom
epilepsi(Raspall-Chaure et al., 2006; Shinnar, 1996; De Lorenzo, 1992).
Epilepsi
A. Definisi
1. Definisi konseptual (Fisher et al., 2014):
- Epilepsi: Kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini
mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.
- Bangkitan epileptik: Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat
aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
2. Definisi operasional/definisi praktis (Fisher et al., 2014):
Epilepsi adalah suatu penyakt otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
a. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24
jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/
bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan
25
setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan epileptiform dischargers)
c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
B. Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi (Commission on
Classification and Terminology of International Leage Against Epilepsi, 1981)
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
26
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
27
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
- Ensefalopati mioklonik dini
- Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
- Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
28
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
C. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut
(Panayitopoulus, 2005): 1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau
deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan
umumnya berhubungan dengan usia. 2. Kriptogenik: dianggap simtomatis
tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West,
sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus. 3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh
kelainan/lesi structural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
D. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah
dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:
- Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic
- Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE
1981
- Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
- Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
29
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-
lain.
- Selama bangkitan/ iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi, gerakan
pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan
lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan
gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur,
saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lainlain.
- Pasca bangkitan/ post- iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
- Jenis obat antiepilepsi
- Dosis OAE
- Jadwal minum OAE
- Kepatuhan minum OAE
- Kadar OAE dalam plasma
- Kombinasi terapi OAE
30
- Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
- Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
- Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
- Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
- Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
dll.
b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi,
seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
31
3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
Membantu menunjang diagnosis
Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
Membatu menentukanmenentukan prognosis
Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
- Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi
tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (
dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss.
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam
memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan
metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan.4 Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan
kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang
unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan
neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi
structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat.
Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif.
Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi structural,
maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.
4. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan hematologis.
32
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE
Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping
OAE
Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
- Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.
- Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
Punksi lumbal
EKG
E. Tatalaksana
Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan
sesuai jenis dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak
IDAI terapi dimulai jika interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan.
Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan dosis yang bisa
memberantas kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih dahulu, naikkan secara
bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat dinaikkan sampai
dosis maksimal, jika dengan dosis maksimal masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian OAE kedua. Jika dengan 2 OAE kejang sudah
terkontrol OAE pertama dapat dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan
monoterapi kedua kejang kembali ada maka tetap diberikan politerapi dengan
2 OAE. Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang, EEG ulang
dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal OAE dapat diturunkan
33
bertahap selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dilanjutkan sampai 3
tahun bebas kejang, setelah itu dilakukan evaluasi EEG ulang.
Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE
atau menambah OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor
pencetus kejang.
Tabel 3.1 Pilihan OAE pertama
Nama obat Indikasi Kontraindikasi Dosis
Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kg/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi fokal
Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kg/hari dibagi 2 dosis
Epilepsi umum Absans
Asam Epilepsi umum - 15-40 mg/kg/hari dibagi 2 dosis
valproat Epilepsi fokal Target awal: 15-25 mg/kg/hari
Mioklonik
Karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3
Absans dosis
Mulai dengan dosis 5-10
mg/kg/hari
Dinaikkan setiap 5-7 hari, 5
mg/kg/hari
Target awal: 15-20 mg/kg/har
34
Absans Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari
Mioklonik hingga dosis 30 mg/kg/hari
Oxcarbazepine Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Benign Rolandic Mulai dengan dosis 5-10
epilepsy mg/kg/hari
Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari
hingga dosis 30 mg/kg/hari
Lamotrigine Epilepsi umum 0.5-5 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis
Epilepsi fokal Mulai dengan dosis 0.5 mg/kg/hari
Absans Dapat inaikkan setiap 2 minggu
Mioklonik hingga dosis 5 mg/kg/hari
F. Medikamentosa
- Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera
dilakukan tanpa menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
- Bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi
antikonvulsan sesuai jenis epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai
pasien bebas kejang selama 2 tahun.
G. Edukasi
- Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan
minum obat dan efek samping obat
- Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya,
termasuk berolahraga
Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang, sebaiknya pasien
ditemani orang lain.
- Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stres psikis sebaiknya dihindari
35
H. Pemantauan
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respons
terhadap obat, dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati). Juga perlu dilakukan evaluasi
neurologik ulang secara berkala.
36
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut ditegakkan diagnosis dengan epilepsi umum
dan status gizi baik
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2015 dan Management Status
Epileptikus IDAI 2016.
B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk mengetahui tanda kejang dan
rutin memberikan obat rumatan pada pasien tersebut.
37
DAFTAR PUSTAKA
38