Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

PARESE NERVUS VII DEXTRA LOWER MOTOR NEURON

Disusun oleh:

Lukman C111 14 308


Istiyuni Puteri C111 14 811
Andi Nuzul Jumhari C111 13 501

Supervisor
dr. Imran Safei, M.Kes, Sp. KFR

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK


DAN REHABILITASI MEDIK
KEPANITERAAN KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. A
Umur : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Mangga III
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 03 Oktober 2018
Tanggal Periksa : 03 Oktober 2018
No RM : 035096

B. Keluhan Utama
Wajah mencong ke kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Rehabilitasi Medik di RS Tajuddin Chalid dengan keluhan
wajah mencong ke kiri sejak 2 tahun yang lalu. Dirasakan tiba-tiba setelah pasien
melakukan operasi pengangkatan tumor.
Selain merasakan mulut mencong ke kiri, pasien juga mengeluhkan wajah sebelah
kanan dirasakan agak tebal, mulut pada bagian wajah sebelah kanan tidak dapat
tersenyum, menyeringai, serta mencucu, tidak bisa mengangkat alis, mengerutkan
dahi (tidak simetris antara wajah kiri dan kanan), kelopak mata tidak dapat menutup
penuh. Pasien juga pernah mengeluhkan apabila menangis, air mata tidak keluar
dari mata kanannya dan mata kanannya terasa kering, namun sekarang keluhan
tersebut berkurang. Mata perih tidak ada, gangguan merasakan manis atau asam
tidak ada.

1
Mual muntah tidak ada, badan panas tidak ada, nyeri telinga tidak ada, hidung
tersumbat tidak ada, nyeri kepala tidak ada dan kelemahan pada anggota gerak tidak
ada.
Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat berat badan turun tidak ada.
Awalnya, pasien sering mengeluhkan nyeri kepala pada bagian dahi yang dirasakan
sejak pasien berumur 14 tahun. nyeri kepala dirasakan berdenyut-denyut dan hilang
timbul. Nyeri kepala tidak dipengaruhi aktivitas. Pasien juga selalu pingsan
terutama saat mengikuti upacara di sekolahnya dulu. Keluhan makin bertambah
ketika pasien berumur 17 tahun dan saat itu pasien kerumah sakit dan disarankan
untuk melakukan pemeriksaan CT Scan Kepala. Akhirnya pasien memeriksa kan
dirinya ke awal bros dan menurut pasien hasil dari Pemeriksaan Ct scan kepala
menunjukkan adanya massa pada otak pasien. Akhirnya pasien di rujuk ke RSUP
Wahidin untuk dilakukan operasi. Setelah beberapa jam pasca operasi pasien
awalnya sulit berbicara dan tidak lama kemudian pasien merasa mulut pasien
mencong ke kiri, wajah sebelah kanan dirasakan agak tebal, sulit tersenyum serta
sulit untuk minum menggunakan sedotan. Pasien akhirnya dikonsul ke bagian
Rehabilitas medik dan telah melakukan serangkaian terapi selama 1 bulan pasca
operasi dengan jadwal 1 minggu 3 kali. Namun pasien tidak melanjutkan terapi
tersebut. Dari hasil terapi 1 bulan tersebut pasien sudah bisa mencucu serta minum
menggunakan sedotan. Dan pada tahun 2018 pasien datang ke RS Tajuddin Chalid
untuk melanjutkan teapi atas keinginginan sendiri.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat gejala serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat trauma : tidak ada
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keganasan : (+) Tumor Otak

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
2
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat keganasan : (+) saudara ayah

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alcohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang berolahraga

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum sedang, compos mentis E4V5M6, gizi baik.

B. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 19 kali/menit
Suhu : 36,5o Celcius

C. Kepala dan Sistem Indera


a. Kepala : Nyeri kepala (-)
b. Sistem Indera
a) Mata : pandangan dobel (-/-), penglihatan kabur (-/-), kelopak mata
dapat menutup (-/+), air mata keluar (+/+), mata perih (-/-), mata kering
(+/-)
b) Hidung : mimisan (-), hidung tersembut (-)
c) Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-)
nyeri telinga (-)
d) Tenggorakan : sulit menelan (-), suara serak (-)
D. Thoraks
a. Retraksi : (-)
b. Jantung
3
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular, bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

E. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-),
Perkusi : nyeri ketok costovertebra (-)
Tanda Patrick : (-/-)
Tanda Contrapatrick : (-/-)
Tanda Lasseque : (-/-)

F. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

G. Ekstremitas
Oedem : Akral dingin
- - - -
- - - -

H. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : normal
Fungsi Sensorik : normal
Fungsi Motorik dan Refleks
4
Kekuatan Tonus
5 5 N N
5 5 N N

Refleks Fisiologis Refleks Patologis

N N Neg Neg
N N Neg Neg

Meningeal sign : Kaku kuduk (-)


Nervi Cranialis :
N. II, III : pupil isokor, 2.5mm/2.5mm, reflek cahaya +/+
N. III,IV,VI : pergerakan bola mata dalam batas normal
N. V : reflex kornea +/+, sesorik wajah +/+
N. VII : Inspeksi : lipatan nasolabial kanan turun, sudut mulut kanan
turun
Mengerutkan dahi -/+
Menutup mata -/+
Tersenyum -/+
Mencucu -/+
Mengembangkan pipi +/+
Mengangkat dahi mencong ke kiri
Skala UGO Fish
Posisi Nilai Persentase (%) skor
0,30,70,100
Istirahat 20 70 14
Mengerutkan dahi 10 30 3
Menutup mata 30 70 21
Tersenyum 30 30 9
bersiul 10 30 3
total 50

N. VIII : Fungsi pendengaran +/+


N IX, X : dalam batas normal

5
N. XI : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal

I. Barthel Index

No Kriteria Score

1 Makan 10
2 Aktivitas toilet 10
Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan
3 10
sebaliknya, termasuk duduk di tempat tidur
Kebersihan diri mencuci muka menyisir rambut
4 10
menggosok gigi
5 Mandi 10
6 Berjalan di permukaan datar 10
7 Naik turun tangga 10
8 Berpakaian 10
9 Mengontrol defekasi 10
10 Mengontrol berkemih 10
Total 100

Penilaian :
0-20 Ketergantungan
21-61 Ketergantungan berat (sangat tergantung)
62-90 Ketergantungan berat
91-99 Ketergantungan ringan
100 mandiri

J. Manual Muscle Testing (MMT) otot-otot wajah


M. Frontalis : 0/5

M. Sourcilier : 1/5

M. Piramidalis : 1/5

M. Orbikularis Okuli : 2/5

6
Zigomatikus : 0/5

M. Relever Komunis : 1/5

M. Businator : 2/5

M. Orbikularis Oris : 1/5

M. Mentalis : 0/5

PENILAIAN :

1. Nilai 0 (zero) : Tidak ada kontraksi yang tampak

2. Nilai 1 (trace) : Kontraksi minimal

3. Nilai 3 (fair) : Kontraksi sampai dengan simetris sisi normal dengan maksimal

4. Nilai 5 (normal ) : Kontraksi penuh, terkontrol simetris.

III. DIAGNOSIS
Klinis : Parese N. VII dextra
Topis : Nervus VII (Fascialis) Dextra
Etiologis : Idiopatik

Diagnosis Fungsional :
• Impairment : Parese Nervus Fascialis dextra
• Disability : penurunan fungsi otot wajah
• Handicap : kesulitan berbicara dan berekspresi

IV. DAFTAR MASALAH


a. Problem medis : Parese N VII (Fascialis) Dextra
b. Problem Rehabilitasi medik
1. Fisioterapi : sudut mulut tertarik ke kiri dan kelopak mata kanan tidak
bisa menutup rapat dengan baik
2. Terapi wicara : tidak ada

7
3. Okupasi terapi : pada saat makan, terkadang makanan berkumpul ke sisi
kiri.
4. Sosiomedik : tidak ada
5. Ortesa-protesa : tidak ada
6. Psikologi : Pasien merasa malu dengan keadaannya

V. PERENCANAAN
• Perencanaan diagnostik : EMG-NCV (Electromyography-Nerve Conduction
Velocity)
• Perencanaan terapi
Ortesa-Protesa (OP) : Tidak dilakukan
Fisioterapi (FT) :
1. Short Wave Diatermi (SWD) pada foramen Stilomastoideus sinistra
2. Deep Kneading Massage sebelum latihan grak volunteer otot wajah
3. Electrical Stimulation (ES)
4. latihan gerak wajah sebelah kanan (mengerutkan dahi,menutup mata,
tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut)
Terapi Okupasi (OT) :
1. Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata,
mengerutkan dahi, meniup tissue atau lilin, tersenyum, meringis
2. Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan
makan dengan mengunyah disisi kanan, minum dengan sedotan
Perawatan mata :
1. Memberikan obat tetes mata atau air putih pada mata
2. Memakai kacamata hitam saat berergian disiang hari
• Perencanaan pengawasan : ADL
• Perencanaan edukasi : Penjelasan kondisi pasien
Home exercise program

VI. RESUME
Perempuan umur 21 datang ke Poli Rehabilitasi RSTC dengan keluhan wajah
mencong ke kiri sejak 2 tahun yang lalu. Dirasakan tiba-tiba setelah pasien melakukan
operasi pengangkatan tumor.Selain merasakan mulut mencong ke kiri, pasien juga

8
mengeluhkan wajah sebelah kanan dirasakan agak tebal, mulut pada bagian wajah sebelah
kanan tidak dapat tersenyum, menyeringai, serta mencucu, tidak bisa mengangkat alis,
mengerutkan dahi (tidak simetris antara wajah kiri dan kanan), kelopak mata tidak dapat
menutup penuh. Pasien juga pernah mengeluhkan apabila menangis, air mata tidak keluar
dari mata kanannya dan mata kanannya terasa kering, namun sekarang keluhan tersebut
berkurang. Mata perih tidak ada, gangguan merasakan manis atau asam tidak ada. Mual
muntah tidak ada, badan panas tidak ada, nyeri telinga tidak ada, hidung tersumbat tidak
ada, nyeri kepala tidak ada dan kelemahan pada anggota gerak tidak ada.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6,
gizi kesan baik. Pemeriksaan panca indera pandangan dobel (-/-), penglihatan kabur (-/-),
kelopak mata dapat menutup (-/+), air mata keluar (+/+), mata perih (-/-), mata kering (+/-).
Pada pemeriksaan nervus cranialis yang bermakna adalah Inspeksi : lipatan nasolabial kanan
turun, sudut mulut kananturun Mengerutkan dahi -/+, Menutup mata -/+, Tersenyum -/+,
Mencucu -/+, Mengembangkan pipi +/+, Mengangkat dahi mencong ke kiri.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kelumpuhan nervus fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah, tidak atau

kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah pasien tidak simetris. Hal ini

tampak sekali ketika pasien diminta untuk menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi.1

2.2. EPIDEMIOLOGI

Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari 3907 kasus (3%) dari

seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan Merit menemukan sekitar 7 dari

430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan saraf fasialis yang tidak diketahui

penyebabnya (Bell’s Palsy) sekitar 20-30 kasus per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-

75% dari semua kasus merupakan paralysis nervus fasialis unilateral. Insiden pada laki-laki

dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada usia 40 tahun meskipun penyakit ini

dapat timbul di semua umur. Insiden terendah adalah pada anak di bawah 10 tahun,

meningkat pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri

sama. Kausa tumor merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus

kelumpuhan saraf fasialis.2

10
2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI NERVUS FASIALIS

Gambar 1. Divisi Nervus Fasialis

Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:3,4

Nervus fasialis yang sebenarnya: yaitu nervus fasialis yang murni untuk mempersarafi otot-

otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di

telinga tengah. Saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih

tipis yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.

Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan lidah. Sensasi

pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan

kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatorius superior. Terletak di

kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini, berpisah dari saraf fasilalis pada

tingkat ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula

lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal

dan menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana,

impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis, dimana impuls merangsang

salivasi.

11
Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah

kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh

lebih dari satu saraf atau tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus

eksterna, dan bagian luar membran timpani.

Gambar 2. Letak nucleus nervus fasialis dibatang otak dilihat dari dorsal

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di

bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons di antara nervus

VII dan nervus VIII. Ketiga nervus ini bersama-sama memasuki meatus akustikus internus.

Di dalam meatus ini, saraf fasialis dan intermediet berpisah dari saraf VIII dan terus ke

lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat ganglion genikulatum. Pada ujung

akhir kanalis, saraf fasialis meninggalkan kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari

titik ini,serat motorik menyebar di atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa

melubangi glandula parotis.3,4

12
Gambar 3. Jaras Motorik Nervus Fasialis

Gambar 4. Jaras Eferen.

Sewaktu meninggalkan pons, nervus fasialis beserta nervus intermedius dan nervus VIII

masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus. Dalam perjalanan di

dalam tulang temporal, nervus VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segman

13
timpani dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan

ganglion genikulatum . panjang segmen ini 2-4 milimeter. Segmen timpani (segmen

vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior

telinga tengah , kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu

turun kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini

kira-kira 12 milimeter.5 Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan

superior kavum timpani. perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen mastoid,

disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling

posterior dari nervus VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya

segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid. Panjang segmen ini 15-20

milimeter.5 Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan yang

mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Juga ada hubungan dengan

gangglion basalis. Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem piramidal menderita penyakit

14
penyakit, mungkin terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi wajah (hipomimia atau

amimi).

Gambar 6. Tempat keluar nervus fasialis.

2.4 ETIOLOGI

Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi,

tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.4,5

1) Kongenital

Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( kongenital ) bersifat irreversible dan terdapat

bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada parese

nervus fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus

fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).

2) Infeksi

Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan

kelumpuhan nervus fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini

seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus.3 Infeksi Telinga tengah yang

dapat menimbulkan parese nervus fasialis adalah otitis media supuratif kronik (

15
OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat

menyebabkan terjadinya paresis nervus fasialis. Terdapat dua mekanisme yang dapat

menyebabkan paralisis nervus fasialis yaitu : 1. Hasil toksin bakteri di daerah

tersebut 2. Dari tekanan langsung terhadap saraf oleh kolesteatoma atau jaringan

granulasi. Pada otitis media akut, penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis

khususnya pada anak terjadi ketika kanalis nervus fasialis padatelinga tengah

mengalami congenital dehiscent atau saraf terkena akibat kontak langsung dengan

materi purulen sehingga dapat menimbulkan inflamasi dan edema pada saraf dan

menyebabkan paresis.Pada otitis media kronik bisa mengikis kanal nervus fasialis

atau sarafnya dapat dilibatkan dengan osteitis, kolesteatom dan jaringan granulasi,

disusul oleh infeksi ke dalam kanalis fasialis. Manifestasi klinik yang tampak yaitu

paralisis nervus fasialis bagian bawah, ipsilateral terhadap telinga yang sakit.5

3) Tumor

Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling

sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.

Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,

kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang

akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat

kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri

karotis dapat

mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.6 Selain itu parese

nervus fasialis juga dapat terjadi pada karsinoma nasofaring, mekanisme tidak

langsung dari pembesaran tumor yakni oklusi tuba eustachius karena letaknya di

fossa rosenmuller berdekatan sehingga mengakibatkan tekanan negatif dalam kavum

timpani, yang jika berlangsung lama dapat terjadi otitis media dan jika tidak

16
tertangani menjadi masoiditis. Namun, dikatakan bahwa perluasan tumor ini

jaranglangsung mengenai dari nucleus nervus. VII dan VIII karena letaknya yang

tinggi.2

4) Trauma

Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur

basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka

tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Nervus fasialis

pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia

trigeminal dan operasi kelenjar parotis.6 Kapasitas kembalinya fungsi dari paralisis

nervus karena manipulasi bedah adalah hal yang sangat penting. Contoh nyata

paralisis nervus fasialis disebabkan oleh pembedahan yang mengakibatkan

perpindahan posisi nervus. Sebagai contoh setelah operasi fossa infratemporal yang

memerlukan ekstensi transposisi dari nervus fasialis ekstratemporal, dalam 4- 6

minggu paralisis fasial sering terlihat. Hal ini merupakan manifestasi adanya iskemia

nervus dan manipulasi nervus secara mekanik. Penyembuhan yang memerlukan

waktu lama dapat disertai dengan asimmetri dan sinkinesis.2

5) Gangguan Pembuluh Darah

Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan parese nervus fasialis

diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.

6) Idiopatik ( Bell’s Palsy )

Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau

tidak menyertai penyakit lain.Pada parese Bell terjadi edema nervus fasialis. Karena

terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN

yang disebut sebagai Bell’s Palsy.

17
7) Penyakti-penyakit tertentu

Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,

hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom

Guillian Barre.

2.5 PATOFISIOLOGI DAN GAMBARAN KLINIS

Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat

perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan

sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh ; yang

lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada

di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga

termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama

N. Fasialis.3

Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari

korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat

persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada upper

motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan

mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya

tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata

(persarafan bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai,

memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih

dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.3

18
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter maupun yang

involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering merupakan

bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang (space

occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, mesensefalon

dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak

terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada

paralisis pseudobulber.3

Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi.2,4

a. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan

kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka

air mata akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan

lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya

pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus

19
menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus

fasialis di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti (a) dan (b) di tambah dengan hiperakusis.

d. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda kilinik seperti pada (a),(b),(c) disertai dengan nyeri di belakang dan

didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di

membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis perifer yang

berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes

zoster

otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang

aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan

pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.

e. Lesi di meatus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus

akustikus.

f. Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus

trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang juga nervus abdusen, nervus aksesorius

dan nervus hipoglossus.

20
2.6 DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi nervus fasialis. Tujuan

pemeriksaan fungsi nervus fasialis adalah untuk menentukan letak lesi dan menentukan

derajat kelumpuhannya.5

a. Pemeriksaan fungsi saraf motorik

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan

ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah

sebagai berikut:

M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.

M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat

Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi

M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil

memperlihatkan gigi

M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi

M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul

M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah

M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :

21
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )

b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )

c. Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )

d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh

(30).5

b. Tonus

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap

kesempurnaan mimic/ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus

sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada

setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran

prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya

terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus

maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (2) pada setiap tingkatan

tergantung dari gradasinya.5

c. Gustometri

Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani, salah satu

cabang nervus fasialis.5 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda timpani dapat

menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).6

Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian

pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini

dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh

22
menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisis lidah

lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita

disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk

rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.6

Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan

dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.5

d. Salivasi

Kelenjar saliva mayor terdiri atas kelenjar parotis, submandibula, dan sublingual.

Kelenjar parotid merupakan sepasang kelenjar saliva terbesar yang berada di sekitar ramus

mandibula kanan dan kiri. Kelenjar submandibular berada di bawah mandibula dengan

ukuran sedang. Duktusnya dinamakan duktus Wharton yang keluar dari sisi-sisi frenulum

lidah. Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar

submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam duktus

Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam

mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat

dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal.

Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya

ditransmisi oleh saraf korda timpani.6

e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut

pada simpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis

mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus mayor

23
dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata. Tes Schimer dilakukan untuk menilai

fungsi lakrimasi dari mata.3,7 Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus

lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari

bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan

bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.5,6

f. Refleks Stapedius

Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu

dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk

mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

g. Uji audiologik

Setiap pasien yang menderita paralisis nervus fasialis perlu menjalani pemeriksaan

audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri

dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji

respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi

patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu

kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada

daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi parese saraf ketujuh

pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian

reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu

nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius.

Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan impedansi

rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan

reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen

saraf kranialis.6

24
h. Sinkinesis

Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari parese nervus fasialis yang sering kita

jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut 5

a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat

pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua sisi

dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan

dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.

b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita

melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).

c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan

memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal.

Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.

i. Hemispasme

Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan

parese fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita diminta untuk melakukan

gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-ngedipkan mata berulang-ulang maka bibir

akan jelas tampak gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada

penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.

Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka (-1). Fungsi motorik otot-otot tiap

sisi wajah orang normal seluruhnya berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis

fasialis dibandingkan dengan nilai tersebut dikalikan dua untuk persentasenya.5

2.7 DIAGNOSIS BANDING

1) Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrom)

25
Ramsay hunt syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam

yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala RHS meliputi :

- Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang

telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-

langit) atau lidah.

- Kelemahan (kelumpuhan) pada sisis yang sama seperti telinga yang

terinfeksi

- Kesulitan menutup mata

- Sakit telinga

- Pendengaran berkurang

- Dering di telinga (tinnitus)

- Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)

- Perubahan dalam presepsi rasa

2) Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrome adalah varian dari Gullain Barre syndrome yang jarang

dijumpai. Miller fisher syndrome atau acute disseminated

Encephalomyelocardiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa

opthalmoplegi , ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller fisher syndrome

didapatkan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan

kelemahan otot-otot mata. Selain itu kelemahan nervus fascialis menyebabkan

kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus fascialis tipe perifer pada

Miller Fisher syndrome menyerang otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus

fascialis tipe perifer pada Miller fisher syndrome menyerang otot wajah bilateral.

Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.

26
3) Bell’s Palsy

Merupakan kelumpuhan fascialis perifer akibat proses non-supuratif, non

neoplasmik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada

bagian nervus facsialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari

foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan

total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan

nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air

menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra

melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan

matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut

lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari

Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang

berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan

epifora.9 Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak

mengembung.6 Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi

sisi yang lumpuh.9 Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati

gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s

Palsy”7,8

2.8 KOMPLIKASI

Setelah kelumpuhan fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak, terutama serat

otonom dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang terlindung mungkin

memberikan akson baru yang tumbuh ke dalam bagian yang rusak. Persarafan baru yang

27
abnormal ini, dapat menjelaskan kontraktur atau sinkinesis (gerakan yang berhubungan)

dalam otot-otot mimik wajah. 6

Sindrom air mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya

didasarkan oleh persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris untuk

kelenjar air liur tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera yang

berdegenerasi dan pada asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk glandula lakrimalis.6

2.9 TERAPI

Pengobatan terhadap parese nervus VII dapat dikelompokkan dalam 3 bagian :4,5,10

1. Pengobatan terhadap parese nervus fasialis

a. Fisioterapi

Heat Theraphy, Face Massage, Facial Excercise

Basahkan handuk dengan air panas, setelah itu handuk diperas dan diletakkan dimuka

hingga handuk mendingin. Kemudian pasien diminta untuk memasase otot-otot wajah

yang lumpuh terutama daerah sekitar mata, mulut dan daerah tengah wajah.Masase

dilakukan dengan menggunakan krim wajah dan idealnya juga dengan menggunakan alat

penggetar listrik. Setelah itu pasien diminta untuk berdiri didepan cermin dan melakukan

beberapa latihan wajah seperti mengangkat alis mata, memejamkan kedua mata kuat-

kuat, mengangkat dan mengerutkan hidung, bersiul, menggembungkan pipi dan

menyeringai.4,11 Kegiatan ini dilakukan selama 5 menit 2 kali sehari.4

Electrical Stimulation

28
Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.5 Tindakan ini bertujuan

untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang lumpuh dan juga berfungsi untuk

mempertahankan aliran darah serta tonus otot.11

b. Farmakologi

Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan parese nervus fasialis antara lain
11
:

1) Asam Nikotinik

Pada parese nervus fasialis yang dikarenakan iskemiaAsam nikotinik dan obat-

obatan yang bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan untuk

memicu vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke nervus fasialis.

2) Vasokonstriktor, Antimikroba

Obat ini diberikan pada kelumpuhan nervus fasialis yang disebabkan oleh kompresi

nervus fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan,

pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan diatas.

3) Steroid

Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan Bell’s

Palsy.

4) Sodium Kromoglikat

Diberikan pada parese nervus fasialis jika dipikirkan adanya reaksi alergi.

5) Antivirus

Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan prednisone secara

simultan.

29
c. Pengobatan Psikofisikal

Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan dapat membantu

pentembuhan Bell’s Palsy.11

1) Pengobatan Sekuele ( Gejala Sisa )

Pengobatan terhadap gejala sisa yang dapat dilakukan antara lain:11

2) Depresi

Pasien dengan parese nervus fasialis memiliki ketakutan bahwa mereka

memiliki penyakit yang mengancam jiwa ataupun penyakit yang melibatkan

pembuluh darah otak. Konseling dan terapi kelompok yang melibatkan

penderita dengan usia yang sama terbukti efektif untuk mengatasi depresi

tersebut.

3) Nyeri

sebagian pasien dengan Bell’s Palsy dan hampir seluruh pasien dengan

Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan

analgesic non-narkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg

BB/ hari dan tapering off setelah 10 hari penggunaan.

4) Perawatan Mata

Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban mata

agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk

meengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat

tetes mata.

d. Indikasi Untuk Operasi

Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total,

tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi nervus fasialis

transmastoid.5

30
Pada otitis media akut, operasi dekompresi kanalis fasialis tidak diperlukan. Hanya perlu

diberikan antibiotic dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya, serta menghilangkan tekanan

di kavum timpani dengan drainase. Jika terjadi congenital dehiscent, maka perlu dilakukan

miringotomi dengan aspirasi pus dari telinga tengah diikuti dengan pemberian antibiotic

yang kebanyakan resolusi parese yang singkat. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada

perbaikan setelah diukur dengan elektrodiagnostik, baru dipikirkan untuk melakukan

dekompresi. Pada otitis media kronik, diindikasikan operasi eksplorasi mastoid. Tindakan

dekompresi kanalis n. fasialis harus segeradilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan

elektrodiagnostik.

2.10 REHABILITASI MEDIK

Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan

dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah

semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta

meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial. Tujuan rehabilitasi

medik adalah : 12

a. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

b. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

c. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan

apa yang tertinggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka

diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis,

ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.

31
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik,

sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk

mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial

serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari.

Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,

psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak

banyak berperan.

a. Program Fisioterapi

1. Pemanasan 12

a) Pemanasan superfisial dengan infra red.

b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy

2. Stimulasi listrik 12,13

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya

adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,

meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2

minggu setelah onset.

3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa

mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat

sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi

32
penuh). Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan

maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage

secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,

memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.

Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak

volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap

pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam

laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan

meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.

Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua

gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

b. Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan

dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan

secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan

dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan

meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.13

c. Program Sosial Medik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem

sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat

membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu

dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah

biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga.

33
Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang

merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.13

d. Program Psikologik

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas

sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang

mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan

seorang psikolog sangat diperlukan.13

e. Program Ortotik – Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak

jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit

yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada

perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah

teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.13

2.11 PROGNOSIS

Prognosis pasien tergantung dari tergantung pada kemampuan neuroplastisitas

derajat kedalaman lesi pada saraf tersebut. Neuroplastisitas adalah konsepneurosains yang

merujuk kepada kemampuan otak dan sistem syaraf semua spesies untuk berubah secara

struktural dan fungsional sebagai akibat dari input lingkungan. Plastisitas terjadi dalam

berbagai tingkatan, dari perubahan seluler yang terlibat dalam pembelajaran, hingga

perubahan bersakal besar yang terlibat dalam pemetaan ulang kortikalsebagai tanggapan

kepada luka. Bentuk plastisitas yang paling umum diakui adalah pembelajaran, memori, dan

pemulihan dari luka otak.

34
Neuropatologi dan penyembuhan yang berkaitan dengan derajat kerusakan saraf

derajat patologi Penyembuhan Waktu Penyembuhan


neuron penyembuhan spontan setelah
1 tahun
I Penekanan Tidak ada 1-4 minggu Sesuai House-
akson. Tidak ada perubahan Brackmann (HB)
perubahan morfologi 1 : sembuh total
morfologi tanpa regenerasi
(neuropraksia) yang salah
II Penekanan Akson menyusuri 1 -2 bulan HB II :
menetap. endoneurium Penyembuhan
Tekanan yang masih utuh sedang (tampak
intraneural dengan perbedaan
meningkat. kecepatan 1 gerakan disadari
Akson hilang tapi mm/hari atau spontan)
endoneurium
utuh
(aksonotmisis)
III Tekanan Akson mungkin 2 – 4 bulan HB III – IV :
intraneural tumbuh penyembuhan
makin menyimpang sedang buruk
meningkat, jalurnya karena (tampak jelas
endoneurium endoneurium terjadi
rusak terbuka sehingga penyembuhan
(neurotmesis) dapat terjadi tidak sempurna
sinkinesis atau deformitas,
sinkinesis
sedang-berat)
IV Seperti derajat III Proses 4 – 18 bulan HB V : tampak
tapi disertai regenerasi jelas sekali
kerusakan terhambat oleh kelemahan
perineurium adanya jaringan wajah. Sinkinesis,
(putuh parsial) ikat spasme jarang
atau tidak ada
V Seperti derajat III Terdapat gap Tidak terjadi Sesuai HB VI :
& IV disertai yang terisi tidak ada
putusnya jaringan ikat penyembuhan
epineurium menghambat (tonus hilang)
(putus total) pertumbuhan
akson dan
inervasi otot.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. DR. Mahar Mardjono dan Prof. DR. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis
Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.
2. K.J.Lee. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. III Edition, Chapter
10 : Facial Nerve Paralysis, 2006
3. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FK-UI, 2006.
4. Peter Duus. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta :
Balai Pustaka.1996.
5. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. In :
Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI. 2007
6. Maisel R, Levine S, 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit
THT edisi 6. Jakarta : EGC
7. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
8. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
10. May, Mark and Barry M. Schaizkin. The Facial Nerve. New York : Thieme. 2000.
11. John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari
www.emedicine.com/plastic/topic522.htm. 26 Oktober 2014
12. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3th ed. Baltimore :
William & Wilkins, 1983 : 235-48
13. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK
UNAIR, 1991 : 1-7

36

Anda mungkin juga menyukai