Anda di halaman 1dari 62

Laporan Kasus

STROKE

ISKEMIK

Disusun oleh
dr. Gladys Suwanti

Pembimbing
dr. Ajiwijaya

RSUD DR H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR TANAH BUMBU


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
ANGKATAN IV TAHUN 2021
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2
2.1 Anatomi Vaskularisasi Otak.............................................................................2
2.2 Definisi............................................................................................................6
2.3 Epidemiologi...................................................................................................6
2.4 Klasifikasi........................................................................................................7
2.5 Etiologi dan Patofisiologi.................................................................................7
2.6 Faktor Resiko................................................................................................12
2.7 Gejala Klinis...................................................................................................16
2.7.1 Gejala Umum Stroke............................................................................16
2.7.2 Gejala Stroke Iskemik..........................................................................17
2.8 Diagnosis........................................................................................................20
2.8.1 Anamnesis.............................................................................................20
2.8.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................22
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................................24
2.9 Penatalaksanaan.............................................................................................27
2.7.1 Umum...................................................................................................27
2.7.2 Khusus...................................................................................................29
2.10 Prognosis dan Komplikasi............................................................................30
2.9 Pencegahan.....................................................................................................31
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................34
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................46
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia setelah penyakit
jantung dan merupakan penyebab utama dari disabilitas. World Health Organization
(WHO) mengestimasikan ada sekitar 15 juta kasus stroke setiap tahunnya, dan sekitar
5 juta diantaranya meninggal akibat stroke serta 5 juta hidup dengan kecatatan seumur
hidup. Mayoritas stroke adalah infark cerebral.1 Di Indonesia sendiri, prevalensi
stroke berdasarkan Riskesdas 2018 adalah sebesar 10,9 per 1.000 penduduk.2
Stroke merupakan kumpulan gejala klinis yang berkembang dengan cepat akibat
gangguan fungsi serebral fokal maupun global, menetap selama 24 jam atau lebih,
bahkan bisa menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain gangguan
vaskuler.3
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyakit monopoli orang tua. Dulu,
stroke hanya terjadi pada usia tua mulai 60 tahun, namun sekarang mulai usia 40
tahun seseorang sudah memiliki risiko stroke, meningkatnya penderita stroke usia
muda lebih disebabkan pola hidup. Oleh sebab itu pentingnya kita sebagai tenaga
kesehatan untuk dapat mendiagnosis secara cepat agar penanganan menjadi efektif,
serta mengedukasi pasien serta masyarakat tentang pencegahan stroke. Berikut ini
akan dilaporkan kasus pada seorang wanita usia 48 tahun dengan Stroke Iskemik
(Second Attack) yang dirawat di bagian Neurologi RSUD dr. H. Andi Abdurrahman
Noor.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI VASKULARISASI OTAK4


Anatomi vaskuler otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior (carotid system)
dan posterior (vertebrobasilar system).
a) Sistem anterior (Sistem Carotid)
Arteri Carotis Communis (ACC) sinistra dipercabangkan langsung dari arkus
aorta sebelah kiri, sedangkan arteri carotis communis dekstra dipercabangkan dari
arteri innominata (Brachiocephalica). Di leher setinggi kartilago tiroid, ACC
bercabang menjadi arteri carotis interna (ACI) dan arteri carotis eksterna (ACE), yang
mana ACI terletak lebih posterior dari ACE. Percabangan arteri carotis communis ini
sering disebut sebagai bifurkasio karotis mengandung carotid body yang berespon
terhadap kenaikan tekanan partial oksigen arterial (PaO2), aliran darah, pH arterial,
dan penurunan PaCO2 serta suhu tubuh.
Arteri karotis komunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis asceden, oleh
karena itu lesi pada ACC (trauma, diseksi arteri atau kadang oklusi thrombus) mampu
menyebabkan paralisis okulosimpatik sudomotor ke daerah wajah.
Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yaitu bagian ekstrakranial
dan intrakranial. Bagian ekstrakranial arteri karotis interna setelah dipercabangkan
didaerah bifurkasio akan melalui kanalis karotikus untuk memvaskularisasi kavum
timpani dan akan beranastomisis dengan arteri maksilaris interna, salah satu cabang
ACE.
Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus cavernosus mempercabangkan arteri ophtalmika untuk nervus
optikus dan retina kemudian akhirnya bercabang menjadi arteri serebri anterior dan
arteri serebri media. Keduanya bertanggungjawab memvaskularisasi lobus frontalis,
parietal, dan sebagian temporal. Arteri ini sebelum bercabang menjadi arteri serebri
anterior dan arteri serebri media akan bercabang menjadi arteri choroid anterior
2
(AChA). AChA mempunyai fungsi memvaskularisasi pleksus choroid, juga

3
memberikan cabangnya ke globus pallidus, hipokampus anterior, uncus kapsula
interna bagian posterior serta mesensefalon bagian anterior. AChA ini akan
beranastomisis dengan arteri choroid posterior (cabang dari arteri cerebri posterior).

Arteri Serebri Anterior


Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial ACI di daerah prosesus
klinoideus anterior, arteri ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian proksimal arteri
serebri anterior kanan dan kiri dihubungkan oleh arteri communican anterior, bagian
medial dan distal arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi arteri pericallosum
anterior dan arteri callosomarginal. Arteri serebri anterior mempunyai cabang-cabang
kecil yang berupa arteri-arteri perforantes profunda, arteri-arteri ini sering disebut
sebagai arteri medial striata yang bertanggungjawab terhadap vaskularisasi corpus
striatum anterior, capsula interna bagian anterior limb, comisura anterior dan juga
memvaskularisasi traktus serta kiasma optika. Oklusi arteri-arteri medial striata ini
menyebabkan kelemahan wajah dan lengan.

Arteri Serebri Media


Arteri sereberi media setelah dipercabangkan oleh ACI akan dibagi menjadi
beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara atap lobus medial
dan lantai lobus frontalis hingga mencapai fissure lateralis Sylvian. Arteri-arteri
lenticulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini.
Arteri Lenticulostriata merupakan arteri-arteri perforasi profunda yang
merupakan cabang arteri cerebri media, arteri ini berjumlah antara 6 dan 12 arteri.
Arteri ini berfungsi memvaskularisasi nukleus lentifromis, nukleus caudatus bagian
caput lateral, globus pallidus dan kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu
arteri lenticulostriata akan menimbulkan infark lakuner karena tidak adanya
anastomosis fungsional antara arteri-arteri perforasi yang berdekatan.
Di daerah fissure lateralis, bagian kedua arteri serebri media akan bercabang
menjadi devisi superior dan anterior. Devisi superior akan memberikan suplai ke
lobus
4
frontal dan lobus parietal, sedangkan devisi inferior akan memsuplai ke lobus
temporal. Bagian terakhir dari arteri serebri media atau arteri-arteri perforantes
medullaris akan dipercabangkan di permukaan hemisfer cerebri, yang akan
memvaskularisasi substansia alba subkortek.

Gambar 1. Vaskularisasi otak


b) Sistem posterior (Sistem Vertebro Basiler)
Sistem ini berasal dari arteri basilaris yang dibentuk oleh arteri vertebralis kanan
dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia. Dia berjalan menuju dasar kranium
melalui kanalis transversalis di columna vertebralis servikalis, kemudian masuk ke
rongga kranium akan melalui foramen magnum, lalu masing-masing akan
mempercabangkan sepasang arteri cerebelli inferior.
Pada batas medulla oblongata dan pons, arteri vertebralis kanan dan kiri tadi akan
bersatu menjadi arteri basilaris. Arteri basilaris pada tingkat mesencephalon akan
mempercabangkan arteri labyrintis, aa. pontis, dan aa. Mesenchepalica, kemudian
yang terakhir akan menjadi sepasang cabang arteri serebri posterior yang
memvaskularisasi lobus oksipitalis dan bagian medial lobus temporalis.

Arteri Cerebri Posterior


Arteri Cerebri Posterior (ACP) merupakan cabang akhir dari arteri basilaris.

5
Bagian proksimal ACP atau bagian precommunican (sebelum arteri Communican
Posterior (ACoP) akan bercabang menjadi arteri mesencephali paramedian dan arteri
thalamik-subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Setelah ACoP, arteri
serebri posterior akan mempercabangkan arteri thalamogeniculatum dan arteri choroid
posterior, yang mana juga akan memvaskularisasi thalamus. ACP ini setelah berjalan
kebelakang, di daerah tentorium serebella akan bercabang menjadi devisi anterior
(memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis) dan devisi posterior
(memvaskularisasi fissure calcarina dan daerah parieto-occipitalis).

c) Arteri yang memvaskularisasi Cerebellum


Cerebellum divaskularisasi oleh tiga pasang arteri panjang, yang mana arteri-
arteri ini berjalan melingkupi cerebellum. Arteri-arteri tersebut adalah:
 Arteri Cerebellaris Superior (ACS): memvaskularisasi permukaan atas
cerebellum, dipercabangkan oleh arteri basilaris tepat sebelum bercabang
menjadi arteri serebri posterior.
 Arteri Cerebellaris Inferior Anterior (ACIS): memvaskularisasi permukaan
anterior, dipercabangkan oleh arteri basilaris bagian proksimal, atau
dipercabangkan oleh arteri basilaris tepat setelah dibentuk oleh arteri
vertebralis kanan dan kiri.
 Arteri Cerebellaris Inferior Posterior (ACIP): memvaskularisasi permukaan
inferior, dipercabangkan oleh arteri vertebralis tepat sebelum bergabung
menjadi arteri basilaris.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, setidaknya ada 3 sistem kolateral
antara sitem carotis dan sistem vertebrobasiler, yaitu:
i. Sirkulus Wilisi, merupakan anyaman arteri di dasar otak yang dibentuk oleh arteri
serebri media kanan dan kiri yang dihubungkan dengan arteri serebri posterior
kanan dan kiri oleh arteri communicant posterior, sedangkan arteri serebri
anterior kanan dengan kiri akan dihubungkan oleh arteri communican anterior.
ii. Anastomosis arteri carotis interna dan arteri carotis externa di daerah orbital.

6
iii. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri carotis externa.

II. DEFINISI
World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai kumpulan
gejala klinis yang berkembang dengan cepat akibat gangguan fungsi serebral fokal
maupun global, menetap selama 24 jam atau lebih, bahkan bisa menyebabkan
kematian, tanpa adanya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Sedangkan gejala
stroke yang berlangsung kurang dari 24 jam, bukan diakibatkan oleh perdarahan
subdural, tumor, keracunan ataupun trauma, didefinisikan sebagai Transient Ischemic
Attack (TIA).3
Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat gangguan di
daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya kelemahan unilateral
akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non fokal/global misalnya adalah
terjadinya gangguan kesadaran sampai koma. Gangguan neurologi non fokal tidak
selalu disebabkan oleh stroke. Ada banyak penyebab lain yang mungkin
menyebabkannya. Oleh karena itu gejala non fokal tidak seharusnya diinterpretasikan
sebagai akibat stroke kecuali bila disertai gangguan neurologis fokal.3

III. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia setelah penyakit
jantung dan merupakan penyebab utama dari disabilitas. Angka morbiditas lebih berat
dan angka mortalitas lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke

7
iskemik. Hanya 20% pasien yang dapat melakukan kegiatan mandirinya lagi. Angka

8
mortalitas dalam bulan pertama pada stroke hemoragik mencapai 40-80%. Dan 50%
kematian terjadi dalam 48 jam pertama. World Health Organization (WHO)
mengestimasikan ada sekitar 15 juta kasus stroke setiap tahunnya, dan sekitar 5 juta
diantaranya meninggal akibat stroke serta 5 juta hidup dengan kecatatan seumur
hidup. Mayoritas stroke adalah infark cerebral.1
Dari data South East Asian Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui
bahwa angka kematian stroke terbesar di Asia Tenggara terjadi di Indonesia yang
kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan
Thailand.5 Di Indonesia sendiri, prevalensi stroke berdasarkan Riskesdas 2018 adalah
sebesar 10,9 per 1.000 penduduk. Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di
Kalimantan Timur (14,7 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (4,1 per 1.000
penduduk). Sedangkan Kalimantan Selatan sendiri menempati urutan ke 6 terbanyak,
setelah Kaltim, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Riau, dan Kalimantan Utara.2

IV. KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat dibagi menjadi 2, yaitu
Stroke Iskemik dan Stroke Perdarahan/Hemoragik.6
1. Stroke Hemoragik, merupakan kerusakan atau “ledakan” dari pembuluh darah di
otak. Perdarahan dapat disebabkan karena lamanya tekanan darah tinggi dan
aneurisma otak. Ada dua jenis stroke hemoragik, yaitu subaraknoid dan
intraserebral.
2. Stroke Iskemik, disebut juga stroke infark atau stroke non-hemoragik, disebabkan
oleh gumpalan atau penyumbatan dalam arteri yang menuju ke otak, yang
sebelumnya telah mengalami proses aterosklerosis. Stroke iskemik terdiri dari
tiga macam mekanisme, yaitu embolic stroke, thrombotic stroke dan hipoperfusi
stroke.

V. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Stroke iskemik disebut juga stroke sumbatan atau stroke infark dikarenakan
adanya kejadian yang menyebabkan aliran darah menurun atau bahkan terhenti
9
sama sekali

10
pada area tertentu di otak. Ada tiga mekanisme yang dapat menyebabkan
iskemia,yaitu: trombosis, emboli ataupun hipoperfusi.7
a) Trombosis7
Trombosis merupakan terjadinya suatu penyumbatan aliran darah akibat
oklusi lokal dari satu pembuluh darah atau lebih. Hal ini bisa diakibatkan
oleh bekuan darah ataupun plak ateroslerosis. Lumen dari pembuluh darah
akan menyempit atau bahkan tersumbat. Pada aterosklerosis, jaringan fibrous
dan jaringan otot di lapisan subintima akan menebal, kemudian material
seperti lemak akan membentuk plak yang dapat menembus lumen.
Selanjutnya platelet akan menempel pada sela-sela plak dan membentuk
gumpalan yang akan menjadi tempat menempelnya fibrin, thrombin dan

Gambaran pembuluh darah normal Plak Aterosklerosis


bekuan darah.

Arteri intrakranial yang lebih kecil atau arteriol biasanya lebih sering
mengalami kerusakan akibat hipertensi dibandingkan proses arteriosklerotik.
Peningkatan tekanan arterial dapat menyebabkan hipertrofi tunika media dan
deposisi materi fibrinoid ke dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
penyempitan lumen pembuluh darah.
Terkadang sumbatan pada pembuluh darah juga dapat diakibatkan oleh
gangguan hematologi primer seperti polisitemia, trombositosis, atau kondisi
hiperkoagulasi sistemik. Selain itu penyebab trombosis lainnya yang lebih
jarang terjadi adalah dysplasia fibromuscular, arteritis (Takayasu atau giant-
cell type), diseksi dinding pembuluh darah.
b) Emboli7

11
Pada kasus emboli, materi/trombus yang berasal dari tempat lain

12
sepanjang sistem vaskular dapat terlepas dan menutup aliran darah pada
pembuluh darah yang lebih kecil. Obstruksi ini dapat bersifat sementara atau
dapat menetap hingga beberapa jam atau hari sebelum berpindah ke daerah
yang lebih distal. Biasanya trombus tersebut berasal dari pembuluh darah
yang lebih proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri besar seperti aorta,
karotis dan arteri vertebral. Stroke karena emboli memberikan karakteristik
dimana defisit neurologis langsung mencapai taraf maksimal sejak awal
(onset) gejala muncul.
Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di
dalam darah yang kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis
dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena
adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung
atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral, yang paling
sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan
penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama
fibrilasi atrium). Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang
yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di
dalam sebuah arteri.
c) Hipoperfusi7
Berkurangnya aliran darah menuju ke jaringan otak menjadi pemicu
rendahnya tekanan perfusi sistemik. Penyebab paling umum yang terjadi
adalah akibat kegagalan pompa jantung, seperti pada kasus infark miokardial
atau aritmia, ataupun akibat dari hipotensi sistemik, seperti pada kasus
hipovolemia. Pada kasus hipoperfusi, kerusakan yang terjadi umumnya
bersifat general, tidak seperti emboli ataupun trombosis yang terlokalisasi.
Namun, efek asimetris dapat terjadi apabila ada lesi vaskuler terdahulu
sehingga mengakibatkan hipoperfusi yang terjadi tidak terdistribusi dengan
rata.

13
Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak disebut sebagai cerebral blood flow (CBF) dan
dinyatakan dalam satuan cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan
perfusi otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan resistensi
serebrovaskular/cerebrovascular resistance (CVR). Dalam keadaan normal dan sehat,
rata-rata aliran darah otak adalah 50,9 cc/100 gram otak/menit. Hubungan antara
ketiga variabel ini dinyatakan dalam persamaan berikut:8
𝐶𝑃𝑃
𝐶𝐵𝐹 = = 𝑀𝐴𝐵𝑃 − 𝐼𝐶𝑃
𝐶𝑉𝑅 𝐶𝑉𝑅
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik / mean arterial blood
pressure (MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial/intracranial pressure (ICP),
sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus pembuluh
darah otak, struktur dinding pembuluh darah, viskositas darah yang melewati
pembuluh darah otak.8 Ambang batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:9
a) Ambang fungsional: batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila
tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi
integritas sel-sel saraf masih utuh.
b) Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100
gram/menit, yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik
neuronal berhenti. Ini berarti sebagian struktur intrasel telah berada dalam
proses disintegrasi.
c) Ambang kematian sel: yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi
akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak (CBF dibawah 15 cc/100
gram/menit).

Pada iskemia yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan
tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:7
1. Lapisan inti yang sangat iskemia (ischemic core) terlihat sangat pucat karena
CBFnya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah
tanpa aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi dengan PO2 yang
14
rendah.

15
Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih
tinggi daripada CBF di ischemic core. Walaupun sel-sel neuron tidak sampai mati,
fungsi sel terhenti dan menjadi functional paralysis. Pada daerah ini PO2 rendah,
PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron
dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi
pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Keadaan ini disebut ischemic
penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan
manajemen yang tepat.

Gambar 2. Inti dan Penumbra dari Otak yang mengalami Iskemik

3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.


Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi, dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat tinggi sehingga disebut sebagai
daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).

Konsep “ischemic penumbra” merupakan sandaran dasar pada pengobatan stroke,


karena masih terdapatnya struktur selular neuron yang masih hidup dan reversibel
apabila dilakukan pengobatan yang cepat. Usaha pemulihan daerah penumbra
dilakukan dengan reperfusi yang harus tepat waktu supaya aliran darah kembali ke
daerah iskemia tidak terlambat. Komponen waktu ini disebut sebagai jendela
terapeutik (therapeutic window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron

16
penumbra.7

17
VI. FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor resiko yang terbukti meningkatkan insiden stroke. Faktor
resiko tersebut bisa di kelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor yang
tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi
a) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
 Usia
Semakin tua usia, semakin meningkat pula resiko terjadinya stroke.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa setelah usia 55 tahun, resiko
terjadinya stroke akan meningkat dua kali lipat setiap dekadenya.10 Hal
ini berhubungan dengan adanya proses degenerasi (penuaan) yang terjadi
secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh
darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis).1
 Jenis Kelamin
Secara umum, stroke lebih banyak ditemukkan pada laki-laki. Salah satu
penyebabnya adalah hormone estrogen. Meskipun belum dapat
sepenuhnya dimengerti, namun beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa estrogen memiliki fungsi protektif terhadap pembuluh darah di
otak, termasuk vasodilatasi, supresi inflamasi dan peningkatan efisiensi
dari mitokondria. Namun pada kategori usia lanjut (≥85 tahun), insiden
stroke pada wanita lebih tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena wanita
biasanya memiliki rentang usia yang lebih lama.11
 Suku/Ras
Beberapa studi kohort telah meneliti efek dari suku/ras terhadap resiko
terjadinya stroke. Di Amerika serikat sendiri, beberapa studi
memperlihatkan bahwa resiko terjadinya stroke paling tinggi dialami
oleh ras Afrika-Amerika, lalu diikuti oleh ras Asia, Hispanik/Latin dan
Kaukasian. Ras Asia-Amerika memiliki resiko mengalami stroke
iskemik yang lebih rendah, namun resiko stroke perdarahan lebih tinggi.
Hal ini disebabkan karena rendahnya kolesterol HDL pada populasi Asia
yang
18
dikaitkan dengan meningkatnya resiko stroke perdarahan.1
 Genetik
Studi terhadap saudara kembar dan keluarga dengan stroke
menunjukkan bahwa faktor genetik menjadi salah satu komponen
meningkatnya resiko stroke. Beberapa gen polimorfisme telah di
identifikasikan sebagai salah satu faktor yang berkaitan dengan
peningkatan resiko terjadinya stroke iskemik, dan stroke perdarahan.
Cerebral autosomal-dominant arteriopathy with subcortical infarcts
and leukoencephalopathy (CADASIL) merupakan salah satu sindrom
terkait stroke herediter yang paling umum terjadi. Penyakit ini
disebabkan oleh mutase gen NOTCH3, yang akan menimbulkan gejala
klinis seperti migrain, perubahan mood serta stroke subkortikal pada usia
muda. Selain itu, penyakit Fabry yang bersifat resesif autosomal (x-
linked), dimana terjadi defisiensi β-galactosidase A dan menyebabkan
terjadi akumulasi dari trihexosylceramide pada pembuluh darah, system
saraf, ginjal dan kulit yang dapat meningkatkan resiko stroke serta
serangan jantung.1
b) Faktor yang dapat dimodifikasi
 Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbanyak kejadian
stroke. Dari studi observasional, memperlihatkan bahwa resiko kematian
akibat penyakit jantung iskemik dan stroke meningkat dua kali lipat
seiring dengan kenaikan tekanan sistolik sebanyak 20 mmHg, dimulai
dari tekanan sistolik 115mmHg. Hal ini berkaitan juga dengan
peningkatan resiko terjadinya aterosklerosis, salah satu penyebab utama
terjadinya trombus pada pembuluhdarah.10 Hipertensi akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sehingga
terjadi perubahan pada endothelial yang memicu
terjadinya aterosklerosis, pembetukan mikrotrombus
serta perubahan structural pada blood-brain barrier. Remodeling
19
struktural juga akan terjadi apabila hipertensi terus berlanjut

20
kronis, sehingga diameter eksternal dari arteriol di otak menyempit
akibat penebalan lapisan media, penipisan lumen serta meningkatnya
matriks ekstraseluler.11
 Diabetes
Pasien dengan diabetes dan peningkatan kadar glukosa
meningkatkan resiko terjadinya stroke serta memperparah akibat yang
ditimbulkan dari stroke tersebut. Hal ini disebabkan karena beberapa
teori. Yang pertama, diabetes akan meningkatkan resiko penyakit
aterosklerosis di berbagai lokasi termasuk pembuluh darah koroner,
perifer, serta pembuluh darah di otak. Aterosklerosis jika digabungkan
dengan hipertensi akan meningkatkan resiko terjadinya stroke pada
pasien diabetes.1 Selain itu, hiperglikemia dapat menganggu proses
rekanalisasi arteri dengan cara mengganggu terjadinya fibrinolisis serta
menyebabkan kelainan dari kaskade koagulasi, yang dimediasi melalui
tingginya kadar PAI-1 dan tissue-type plasminogen activator antigen.
Hiperglikemia kronis akan menyebabkan penurunan efektivitas kerja
obat fibrinolysis, perubahan pola aliran darah. Mekanisme lainnya yang
dapat memperburuk efek yang ditimbulkan dari stroke tersebut, salah
satunya adalah karena meningkatnya kemungkinan terjadi reperfusion
injury dan peningkatan resiko terjadinya komplikasi perdarahan setelah
trombolisis. Diabetes juga seringkali di asosiasikan dengan resiko
terjadinya atrial fibrilasi.11
 Merokok
Perokok memiliki resiko mengalami stroke iskemik lebih besar
daripada non-perokok. Rokok dapat mengakibatkan kerusakan dinding
arteri, mempercepat terjadinya aterosklerosis, meningkatkan kadar
fibrinogen, menaikkan tekanan darah dan memicu vasokonstriksi serta
efek-efek proinflamasi yang dihasilkan rokok dapat meningkatkan resiko
terjadinya stroke iskemik. Beberapa studi memperlihatkan bahwa resiko

21
stroke dapat menurun setelah perokok berhenti merokok selama 5 tahun,
bahkan resiko terjadinya stroke bisa sama besar dengan non-perokok.
Sehingga sangat disarankan pasien-pasien dengan resiko tinggi
terjadinya stroke untuk berhenti merokok. Namun perlu diketahui, tidak
hanya perokok saja yang memiliki resiko terkena stroke, namun perokok
pasif / orang-orang yang terpapar asap rokok juga memiliki resiko yang
sama dengan perokok.1
 Dislipidemia
Peningkatan kolesterol sangat berhubungan dengan resiko terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Kolesterol yang berlebih terutama jenis LDL
akan mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pembuluh darah,
yang akan semakin banyak dan menumpuk sehingga dapat mengganggu
aliran darah.
Menurunkan kadar LDL-C dapat menurunkan resiko terjadi stroke,
terutama stroke iskemik. Meskipun ada beberapa studi pula yang
mengatakan bahwa LDL-C yang rendah dapat meningkatkan resiko
perdarahan intrakranial. Statin merupakan obat yang saat ini
direkomendasikan untuk pencegahan primer dan sekunder dari stroke.11
 Pengunaan alkohol berlebihan
Segala sesuatu yang berlebihan tentunya tidak baik, demikian pula
dengan konsumsi alkohol. Pengunaan alkohol berlebihan dapat
meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik maupun stroke
perdarahan. Hal ini disebabkan karena alkohol berlebih dapat memicu
hipertensi maupun kardiomiopati.
Namun konsumsi alkohol tidaklah berbahaya sepenuhnya. Beberapa
studi meneliti bahwa konsumsi alkohol dalam batas wajar / sedikit dapat
menurunkan resiko stroke iskemik. Meskipun mekanismenya belum
sepenuhnya diketahui, namun beberapa teori yang mendukung hal ini
adalah karena alkohol meningkatkan HDL serta apolipoprotein A1,

22
menurunkan agregasi platelet serta kadar fibrinogen. Efek tersebutlah
yang menjadi faktor proteksi terhadap stroke iskemik.1

VII. GEJALA KLINIS


A. Gejala Umum Stroke
Pada tingkat awal, masyarakat, keluarga dan setiap orang harus memperoleh
informasi yang jelas dan meyakinkan bahwa stroke adalah serangan otak yang secara
sederhana mempunyai lima tanda-tanda utama yang harus dimengerti dan sangat
dipahami. Hal ini penting agar semua orang mempunyai kewaspadaan yang tinggi
terhadap bahaya serangan stroke. Secara umum gejala stroke antara lain adalah:4
 Kelemahan atau kelumpuhan dari anggota badan yang dipersarafi
 Kesulitan menelan
 Kehilangan kesadaran (Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh)
 Nyeri kepala
 Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
 Penglihatan ganda.
 Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
 Pergerakan yang tidak biasa.
 Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.
 Ketidakseimbangan dan terjatuh.
 Pingsan.
 Rasa mual, panas dan sangat sering muntah-muntah.

23
B. Gejala Stroke Iskemik
Gejala klinis stroke iskemik dapat terjadi pada lokasi yang berbeda tergantung
neuroanatomi dan vaskularisasi yang diserang, antara lain:12
i. Sirkulasi Anterior
Sirkulasi Anterior mengacu pada daerah di otak yang mendapat suplai dari arteri
karotis, terdiri dari arteri serebral media, arteri serebral anterior dan arteri komunikans
anterior yang menghubungkan kedua arteri serebral anterior.
a) Arteri Serebral Media12
Arteri Serebral Media merupakan daerah yang paling banyak mengalami
iskemia pada stroke akut (sekitar 2/3 dari seluruh kasus stroke). Infark pada
daerah ini dapat menimbulkan gejala yang ringan maupun sangat berat,
tergantung lokasi oklusi, derajat iskemia yang terjadi, etiologi/penyebab stroke.
Secara klinis, pasien dengan infark total pada arteri serebral media dapat
mengalami gejala berupa hemiparesis, hemihipestesia, serta hemianopsia
kontralateral, kemudian deviasi mata dan kepala ke ipsilateral. Pasien biasanya
sadar penuh atau mungkin dapat sedikit mengantuk atau agitasi, terutama pada
pasien dengan infark sebelah kanan. Pada pasien dengan lesi di sebelah kiri, dapat
mengalami afasia ataupun ideomotor apraxia. Pada lesi kanan, dapat
menyebabkan kontralateral hemineglect,
24
anosognosia, anosodiaphoria, asomatognosia (tidak menyadari bagian tubuhnya
sendiri).

b) Arteri Serebral Anterior12


Gejala klinis dari infark pada arteri serebral anterior adalah kelemahan tubuh
terutama pada ekstremitas bagian bawah dan bisa juga ekstremitas atas namun
dengan derajat keparahan yang lebih ringan. Selain itu dapat juga terjadi motor
hemineglect, afasia motorik transkortikal, serta gangguan perilaku. Disfungsi
sfingter, mutism, amnesia anterograde serta gangguan perilaku sering terjadi pada
iskemia dari deep perforating artery serta raH.
ii. Sirkulasi Posterior
a) Arteri Serebral Posterior12
Arteri serebri posterior merupakan cabang dari arteri basilaris yang
memberikan aliran darah ke korteks oksipital serebri, lobus temporalis medialis,
talamus, dan bagian rostral dari mesensefalon. Gejala sensorik lebih sering terjadi
pada infark arteri serebral posterior dibandingkan gejala motorik. Contohnya
hemianopsia ataupun kehilangan penglihatan. Infark pada arteri serebral posterior
bilateral dapat menyebabkan diskromatofsia, visual agnosia, alexia tanpa agrafia,
topographagnosia (disorientasi spasial), palinopsia, amusia, sindrom Balint
(asimultanognosia atau ketidakmampuan untuk melihat suatu kejadian secara
25
utuh,

26
ocular apraxia atau koordinasi mata-tangan yang buruk), metamorphosia dan
prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah yang sebenarnya sudah
dikenali).
b) Cabang vertebrobasilar Sirkumferensial4
Cabang sirkumferesial dari arteri vertebralis dan basilaris adalah arteri
sereberalis inferior posterior, sereberalis inferior anterior, dan sereberalis
superior. Gejala yang terjadi akibat oklusi arteri sereberalis inferior posterior
mengakibatkan sindrom medular lateral (Wallenberg’s syndrome). Sindrom ini
dapat disertai ataksia sereberalis ipsilateral, sindrom Horner, defisif sensoris
wajah, hemihipertesi alternan, nistagmus, vertigo, mual muntah, disfagia,
disartria, dan cegukan. Oklusi arteri sereberalis inferior anterior akan
mengakibatkan infark sisi lateral dari kaudal pons dan menimbulkan sindrom
klinis seperti paresis otot wajah, kelumpuhan pandangan, ketulian, dan tinitus.
Oklusi arteri sereberalis superior akan mengakibatkan sindrom lateral rostral
pons yang menyerupai lesi dengan
disertai adanya optokinetik nistagmus atau skew deviation.
c) Cabang vertebrobasiler paramedian4
Cabang arteri paramedian memberi aliran darah sisi medial batang otak
mulai dari permukaan ventral hingga dasar ventrikel IV. Struktur pada regio ini
meliputi sisi medial pedunkulus sereberi, jaras sensorik, nukleus rubra, formasio
retikularis, nukleus kranialis (N.III, N. IV, N.VI, N.XII).
Gejala yang diakibatkan oleh oklusi arteri ini tergantung dimana oklusi
terjadi. Oklusi pada mesensefalon menimbulkan paresis nervus okulomotor
(N.III) ipsilateral disertai ataksia. Paresis nervus abdusen (N.VI) dan nervus
fasialis (N.VII) ipsilateral terjadi pada lesi daerah pons, sedang paresis nervus
hipoglosus (N.XII) terjadi jika letak lesi setinggi medula oblongata. Manifestasi
klinis dapat berupa koma apabila lesi melibatkan kedua sisi batang otak.
d) Cabang vertebrobasilar basalis4
Percabangan ini berasal dari arteri sirkumferensial yang memasuki sisi
vertebral batang otak dan memberi aliran darah jaras motorik batang otak. Gejala
27
yang ditimbulkan akibat oklusi arteri basilaris yaitu hemiparesis kontralateral,
dan apabila nervus kranialis (N.III, N.VI, N.VII) terkena terjadilah paresis nervus
kranialis ipsilateral.

VIII. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pasien dengan stroke sangat berpengaruh pada onset gejala
tersebut, karena hal itu mempengaruhi goal terapi/pengobatannya. Apabila onset
dalam waktu 3-8 jam sejak keluhan muncul (atau sampai 24 jam pada kasus oklusi
arteri basiler), maka tujuan diagnosis, serta mengetahui dimana letak sumbatan adalah
untuk mengetahui apakah terapi reperfusi atau antiplatelet di indikasikan. Apabila
pasien baru diketahui stroke lebih dari waktu yang di tentukan, maka tujuan utama
terapi bukan untuk reperfusi, namun untuk memperkecil resiko terjadinya stroke
kembali serta mencegah sekuele atau komplikasi yang lebih parah akibat stroke.
Waktu penegakan diagnosis juga dapat mempengaruhi keakuratan diagnosis; gejala
neurologis fokal dapat membaik seiring waktu, oleh sebab itu penegakan diagnosis
dapat lebih sulit ketika gejala sudah tidak ada. Namun, pada kasus-kasus gejala
neurologis berupa disfasia atau penurunan kesadaran yang membaik, penegakan
diagnosis menjadi lebih mudah karena lebih banyak riwayat pasien yang bisa digali
atau ditanyakan.13

Anamnesis
Ketika pasien datang dengan suspek TIA atau stroke, hal pertama yang harus
dicari tahu adalah apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaskuler atau tidak.
Oleh sebab itu, perlu ditanyakan riwayat penyakitnya dengan jelas. Pertanyaan awal
yang bisa ditanyakan ke pasien adalah:13
 Kapan gejala tersebut muncul?
 Dimana pasien saat kejadian tersebut muncul?
 Apa yang sedang dilakukan pasien saat itu?
Pasien dapat diminta untuk menjelaskan dengan rinci gejala yang mereka alami,
terutama ketika istilah yang pasien gunakan sedikit ambigu (misalnya istilah “pusing”
28
atau “kepala terasa berat”). Selain itu, penting juga untuk menanyakan ke pasien,
apakah pasien dapat melakukan suatu gerakan/tugas tertentu ketika gejala tersebut
muncul; contohnya ketika pasien mengatakan tangannya terasa lemah, tanyakan ke
pasien apakah pasien masih dapat mengangkat tangannya ke atas kepala.13
Anamnesis terhadap pasien harus memperoleh informasi tentang berikut ini:13
1. Karakteristik gejala dan tanda:
 Modalitas mana yang terlibat (motorik, sensoris, visual)?
 Daerah anatomi mana yang terlibat (wajah, lengan, tangan, kaki, kemudian
tanyakan apakah seluruh atau sebagian anggota tubuh, satu atau kedua mata)?
 Apakah gejala-gejala tersebut bersifat fokal atau non fokal?
 Bagaimana kualitas gejala (apakah “gejala negatif” misalnya hilang
kemampuan sensoris, hilangnya kemampuan motorik atau visual atau “gejala
positif” misalnya menyebabkan sentakan tungkai (limb jerking), kesemutan,
halusinasi)?
 Apa konsekuensi fungsional yang dialami (misalnya tidak bisa berdiri, tidak
bisa mengangkat tangan)?
2. Kecepatan onset dan perjalanan gejala neurologi:
 Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)?
 Pada kasus stroke sesaat setelah bangun tidur, perlu ditanyakan “kapan
terakhir kali pasien terlihat normal?”
 Apakah onsetnya mendadak?
 Bagaimana derajat keparahan gejala pada saat onset; apakah gejala menyebar
atau bersifat progresif, hilang timbul, ada fluktuasi antara fungsi normal dan
abnormal?
3. Apakah ada kemungkinan presipitasi?
 Apa yang pasien sedang lakukan pada saat dan tidak lama sebelum onset
muncul?
4. Apakah ada gejala-gejala penyerta, misalnya:
 Nyeri kepala, kejang epileptik, serangan panik atau ansietas, muntah, nyeri

29
dada.
5. Apakah ada riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga yang
relevan.
 Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu?
 Apakah ada riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus,
angina, infark miokard, atrial fibrilasi, intermittent claudicatio, atau arteritis?
 Apakah ada riwayat penyakit vaskuler atau kelainan trombotik pada keluarga
pasien?
6. Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang dapat mempengaruhi?
 Merokok, konsumsi alcohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan (khusus obat
kontrasepsi oral, obat antitrombotik, antikoagulan, dan obat-obatan
rekreasional seperti amfetamin atau kokain).

Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi
meningens. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko stroke seperti
obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
adalah pemeriksaan fisik secara general dan pemeriksaan neurologis. Pada saat
melakukan anamnesis terhadap pasien, saat itu merupakan kesempatan yang baik
untuk dokter mengobservasi pasien tersebut dan melakukan pemeriksaan neurologis.
Apabila seorang pasien dapat menceritakan kejadian, serta bercerita dan
berkomunikasi dengan baik, tentu saja dapat disimpulkan bahwa pasien tidak
memiliki afasia. Kemudian contoh lainnya, pasien yang mengeluhkan defisit motorik
pada anggota geraknya, tentu saja tidak memiliki anosognosia (suatu keadaan ketika
seseorang yang mengalami kecacatan tampak tidak sadar akan keberadaan
kecacatannya). Ataupun pasien yang dapat menggerakkan tangan dan kakinya pada
saat berubah posisi, meskipun pasien
30
tersebut mengeluhkan kelemahan tubuh, bisa saja memiliki penyakit konversi.1
i. Pemeriksaan Fisik Secara Umum
Pemeriksaan fisik dilakukan seperti pada umumnya, yakni tanda-tanda vital serta
pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki (head to toe). Pada pemeriksaan jantung,
perlu diperhatikan pada regularitas nadi, tanda atrial fibrilasi, serta apakah ada
murmur jantung yang dapat mengarah pada endocarditis ataupun edema perifer yang
menandakan gagal jantung kongestif, yang merupakan predisposisi dari emboli. Pada
pemeriksaan paru, perlu di cari tanda-tanda edema paru serta tanda disfungsi ventrikel
kiri. Pada kulit juga harus diperhatikan tanda stigmata dari endocarditis (nodul Osler,
lesi Janeway serta perdarahan splinter), serta ruam yang dapat menandakan penyakit
autoimun atau keadaan hiperkoagulasi (contohnya livedo reticularis). Yang terakhir,
tanda-tanda trauma atau kejang juga harus diperhatikan, seperti laserasi, lebam, nyeri
pada panggul, lutut atau siku, luka gigitan pada lidah.1,13

ii. Pemeriksaan Neurologis


Komponen pertama dalam pemeriksaan neurologi adalah pemeriksaan status
mental dan tingkat kesadaran, kemudian perlu diperiksa apakah pasien memiliki
afasia atau tidak. Tingkat kesadaran pasien dapat diperiksa dengan mengobservasi
aktivitas spontan pasien serta respon mereka terhadap verbal, rangsangan nyeri
ataupun stimulus lainnya. Glasgow Coma Scale adalah salah satu alat yang dapat
membantu penentuan tingkat kesadaran. Kemudian afasia dapat disingkirkan ketika
pasien dapat merespon pertanyaan-pertanyaan dokter dengan baik selama dilakukan
anamnesis.
Kemudian komponen berikutnya adalah pemeriksaan nervus kranialis serta fungsi
motorik dan sensorik. Pemeriksaan nervus kranialis termasuk pemeriksaan lapang
pandang, pemeriksaan gerakan bola mata, sensasi wajah/fasial, kekuatan serta
simetris/tidak, pemeriksaan lidah saat di julurkan. Fungsi motorik dapat diperiksa
dengan memeriksa Gerakan pronator (pronator drift), kekuatan, tonus serta kekuatan
gerakan jari tangan atau jari kaki dan membandingkan antara ekstremitas kanan dan
kiri apakah sama. Sedangkan fungsi sensoris dapat diperiksa dengan memeriksa
31
kemampuan pasien untuk mendeteksi sensoris dengan jarum, benda yang dingin,
rabaan, vibrasi dan posis (tingkat level gangguan sensibilitas pada bagian tubuh sesuai
dengan lesi patologis di medulla spinalis, sesuai dermatomnya). Pada pasien yang
tidak ada kelemahan, pemeriksaan koordinasi juga harus dilakukan pada keempat
ekstremitas serta disdiadokokinesis untuk menilai fungsi serebelum. Yang terakhir,
penting pula dilakukan pemeriksaan reflek tendon dalam, plantar reflex serta reflek
patologis.1,13

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium perlu dilakukan untuk mencari penyebab dasar dari stroke
iskemik serta menyingkirkan penyakit lain yang menyerupai gejala stroke.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan:7
 Darah Lengkap
Kelainan seperti sickle cell disease dan hemoglobinopati lainnya dapat
menyebabkan hiperkoagulasi. Peningkatan kadar hematocrit juga
diasosiasikan dengan resiko terjadinya gumpalan darah/clotting pada orang
dewasa. Anemia berat juga meningkatkan resiko hiperkoagulabilitas serta
dapat memicu iskemia otak.
Peningkatan sel darah putih seringkali berhubungan dengan infark
miokardial serta pada pasien infark otak, seringkali leukosit juga sedikit
meningkat. Leukosit yang tinggi juga menjadi marker dari aktivitas inflamasi
yang terjadi dalam tubuh, dan inflamasi merupakan salah satu penyebab
penting terjadinya kerusakan pembuluh darah.
Platelet merupakan salah satu struktur penting dalam inisiasi koagulasi
darah. Trombositosis, terutama dengan jumlah trombosit > 1 juta, dapat
menyebabkan hiperkoagulabilitas serta oklusi vaskuler dan infark otak.
 Fibrinogen
Fibrinogen merupakan salah satu faktor penting dalam koagulasi, selain itu
juga berkontribusi dalam viskositas darah. Tingginya kadar fibrinogen juga
32
akan menurunkan efektivitas reperfusi setelah trombosis.
 Lipid
Tingginya titer lipoprotein juga dapat menjadi penyebab hiperviskositas,
meskipun tidak umum. Tingginya trigliserida, kilomikron, LDL dan VLDL
juga dapat meningkatkan viskositas darah. Pengukuran lipid darah harus
dilakukan pada setiap pasien dengan iskemia otak dan pasien yang memiliki
riwayat hiperlipidemia untuk mengevaluasi resiko stroke. Beberapa studi
juga memperlihatkan bahwa kenaikan kadar lipoprotein a (Lp (a)) merupakan
salah satu faktor resiko dan kondisi-kondisi kardiovaskular
 Faktor Koagulasi
Prothrombin time (PT) serta international normalized ratio (INR) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT) adalah salah satu tes skiring
yang baik untuk melihat fungsi koagulasi. Pengukuran PT (atau INR) dan
aPTT perlu dilakukan sebagai salah satu tes untuk mengevaluasi stroke
 Gula Darah
Peningkatan kadar gula darah dapat dipicu oleh kerusakan jaringan yang
melepaskan katekolamin dan mobilisasi glukosa. Infark yang besar serta
perdarahan seringkali di asosiasikan dengan kenaikan gula darah, karena gula
darah merupakan metabolit penting bagi otak. Peningkatan gula darah juga
seringkali berhubungan dengan peningkatan resiko kerusakan otak pada
pasien dengan iskemia dan perdarahan otak, hal ini mungkin berhubungan
dengan peningkatan produksi laktat yang terjadi.
 Elektrolit
Pasien dengan hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme memiliki frekuensi
stroke yang cukup tinggi, hal ini berhubungan dengan efek vascular dan
platelet dari kalsium. Kemudian rendahnya magnesium juga memiliki efek
yang mirip dengan hiperkalsemia. Pengukuran BUN dan elektrolit penting
untuk menentukan apakah ada dehidrasi atau ketidakseimbangan elektrolit.
Dehidrasi dapat menurunkan volume darah, sehingga menurunkan aliran
darah.
33
Radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi pada pasien dengan klinis defisit neurologis
akut dan suspek stroke iskemia adalah untuk mengeksklusi stroke perdarahan serta
mengkonfirmasi stroke iskemik dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain yang
menyerupai stroke. Tujuan lainnya adalah untuk menentukan apakah jaringan otak
masih layak dan masih bisa mendapatkan terapi reperfusi, serta menentukan lokasi
oklusi vaskular dan kapan terapi intervensi dapat dipertimbangkan.14
Non-contrast CT Scan menjadi pilihan imaging pertama yang dilakukan pada
pasien stroke akut karena harganya yang lebih terjangkau daripada MRI. CT Scan
sangat efektif untuk melihat adanya perdarahan intraserebral, namun kurang sensitif
pada stroke iskemik akut.12 Dalam 6 jam pertama dari onset, CT Scan bisa saja
mempelihatkan hasil yang normal atau bisa memperlihatkan lesi densitas rendah. CT
Scan generasi yang lebih baru memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk
mendeteksi iskemik akut pada onset awal. Setelah 6-12 jam, umumnya CT Scan
sudah memperlihatkan gambaran yang lebih jelas. Secara umum, gambaran yang
dapat ditemukan pada pasien iskemia akut adalah intravascular thrombus dan edema
otak. Trombus intravaskuler memperlihatkan gambaran hyperattenuating/hiperdense,
sedangkan edema otak akan memperlihatkan gambaran penipisan sulkus, hilangnya
batas substansia alba dan grisea, serta hipondensitas pada parenkim.1,7

34
CT Angiografi dapat dilakukan untuk mengindentifikasi lokasi oklusi arterial
pada pasien stroke iskemik akut, dengan tingkat keakuratan yang cukup sama dengan
Digital Subtractive Angiography (DSA) dan mungkin lebih baik daripada MR
Angiography.12 Modalitas lain yang bisa digunakkan untuk mendeteksi iskemia otak
adalah MRI. Namun harganya lebih mahal dan terbatas di beberapa tempat saja. MRI
lebih sensitif dibandingkan CT Scan dalam mendeteksi perubahan awal pada
iskemik akut. Diffusion-weighted imaging (DWI) sangat sensitif untuk mendeteksi
infark otak akut karena dapat mendeteksi pergeseran cairan dari ekstraseluler ke
intraseluler pada edema
sitotoksik, dalam beberapa menit setelah onset stroke.7
Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Selain itu dapat
mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.15

IX. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum16
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien
dengan defisit neurologis yang nyata. Terapi oksigen diberikan pada pasien
hipoksia. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas. Intubasi ETT (Endo
Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien
dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang
35
tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka
dianjurkan dilakukan

36
trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa). Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah
sistolik
<120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat
diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg. Pemantauan
jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah
serangan stroke iskernik. Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera
atasi (konsultasi Kardiologi). Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari
penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan saline normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus
dikoreksi
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada
hari-hari pertama setelah serangan stroke. Penatalaksanaan penderita dengan
peningkatan tekanan intrakranial meliputi: tinggikan posisi kepala 20o – 30o,
posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular. Hindari pemberian
cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari hipertermia, osmoterapi atas indikasi
dengan menggunakan Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2
kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Kalau perlu berikan furosemide
dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
d. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
e. Pengendalian Suhu Tubuh
37
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika
dan diatasi penyebabnya

Terapi Khusus16
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Akut
Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik
(TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien
stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah
diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg. Obat antihipertensi yang
digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem
intravena

Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut


Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu
150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.

Terapi Trombolisis
Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari
lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik
merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam
pemberian intraarterial). Terapi trombolisis rTPA dapat diberikana kepada pasien
dengan usia > 18tahun, dengan diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang
jelas, serta tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT Scan. Sedangkan kriteria
eksklusi dari terapi ini adalah pasien dengan usia tua (>80 tahun), terdapat gambaran
perdarahan intrakranial, riwayat trauma kepala/stroke 3 bulan terakhir, kejang pada
38
saat onset stroke, riwayat trauma/perdarahan/pembedahan mayor 2 minggu
sebelumnya,

39
jumlah platelet <100.000/mm3, wanita hamil, serta tidak mengonsumsi antikoagulan
oral.
Secara umum, pemberian antikoagulan seperti heparin, LMWH atau heparinoid
setelah stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut dengan
risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat arteri karotis
sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar
>50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang
luas.
Pemberian antiplatelet yaitu aspirin dengan dosis awal 325 dalam 24-48 jam
setelah awitan dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Namun aspirin tidak boleh
digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian
rTPA intravena. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan

Pemberian Neuroprotektor
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin sampai saat ini masih
memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut
dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg
selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in
Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI
secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit
pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa
perbaikan motorik, score MRS dan Barthel index.

X. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Komplikasi dari stroke dapat terjadi pada masa perawatan di RS selama stroke
akut atau bisa berkembang selama masa rehabilitasi dan pemulihan neurologis.
Komplikasi yang terjadi dapat bersifat serius dan bahkan menyebabkan kematian.
Edema otak, kelainan kardiologis, emboli paru dapat terjadi di minggu-minggu
40
pertama dan dapat

41
menyebabkan kematian. Komplikasi lain yang dapat terjadi di minggu-minggu awal
antara lain pneumonia, infeksi saluran kencing, plebotrombosis, perdarahan
gastrointestinal, osteopenia serta depresi. Komplikasi tersebut bisa saja berlanjut
selama masa pemulihan dan ketika pasien sudah pulang ke rumah.7
Penurunan fungsi neurologis, termasuk penurunan tingkat kesadaran atau progresi
gejala neurologis fokal, dapat muncul pada 25% pasien stroke. Biasanya perburukan
tersebut muncul selama 24-72 jam pertama, dan lebih jarang terjadi pada onset
setelahnya. Perburukan dari iskemia otak dapat terjadi pada pasien dengan oklusi
arteri ekstrakranial dan intrakranial besar dan pada pasien dengan infark lacunar. Pada
pasien stroke iskemik, biasanya proses terjadinya iskemia otak berhubungan dengan
penyebaran trombus, emboli serta kegagalan sirkulasi kolateral.7
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkat keparahan stroke dan lokasi serta
luas lesi. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Selain itu, prognosis pasien yang
lebih muda lebih baik dibandingkan pasien tua/lansia. Faktor resiko stroke seperti
hipertensi, hyperlipidemia, penyakit jantung memperburuk prognosis prognosis pasien
serta meningkatkan resiko terjadi stroke berulang.

XI. PENCEGAHAN
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun
kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan adalah:32
⚫ Mengatur pola makan yang sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan
risiko terkena serangan stroke, sebaliknya risiko konsumsi makanan rendah
lemak dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke.
⚫ Melakukan olah raga yang teratur
Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobik (jalan cepat,

42
bersepeda, berenang, dll) secara teratur akan dapat menurunkan tekanan
darah, memperbaiki kontrol diabetes, memperbaiki kebiasaan makan,
menurunkan berat badan dan meningktkan kadar kolesterol HDL.
⚫ Menghentikan rokok
⚫ Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat seperti heroin, kokain, fenilpropanolamin, dan
konsumsi alkohol (alcohol abuse) akan menyebabkan tekanan darah
menigkat, menyebabkan terjadinya stroke hemoragik.
⚫ Memelihara berat badan yang layak
Obesitas memudahkan terjadinya penyakit jantung, stroke dan DM.
Angka obesitas pada anak-anak dan dewasa muda pada dekade terakhir ini
menglami peningkatan. Dengan demikian, angka kejadian stroke dan
penyakit jantung pada usia muda meningkat. Obesitas dapat dicegah dengan
mengkonsumsi makanan sehat dan melakukan olahraga teratur.
Penurunan berat badan sebaiknya dilakukan dengan target body mass
index (BMI) <25 kg/m2, garis lingkar pinggang <80 cm untuk wanita dan
<90 cm untuk laki-laki.
⚫ Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
Pemakaian kontrasepsi oral terutama pada wanita perokok atau disertai
dengan faktor risiko lain atau pernah mengalami kejadian tromboemboli
sebelumnya, mempunyai resiko tinggi mendapat serangan stroke. Oleh
karena itu, pemakaian kontrasepsi oral sebaiknya dihentikan dan mencari
alternatif lain untuk KB (Keluarga Berencana).
⚫ Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
⚫ Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
⚫ Pemakaian antiplatelet
Pemakaian aspirin untuk pencegahan kejadian kardiovaskuler, termasuk
stroke, direkomendasikan pada seseorang dengan risiko cukup tinggi
dibanding dengan risiko pengobatan, dengan nilai risiko kejadian dalam 10

43
tahun ke depan sebesar 6% sampai 10%

Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian


faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan
sebagainya.31

44
BAB III

LAPORAN KASUS

Data Pasien
Nama : Tn. J
Usia : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cantung, Kab. Kotabaru
Pendidikan terakhir : SLTP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Kristen
No. RM : 16.59.22
Tanggal Masuk : 14 Januari 2022
Tanggal Keluar : 21 Februari 2020

A. Anamnesa Pasien
1. Keluhan utama: Kelemahan tubuh sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kelemahan tubuh sebelah kiri sejak sore pukul 17.00
WITA. Pasien terjatuh dijalan, kepala membentur aspal. Tiba-tiba pasien
merasa lemas, pandangan gelap, serta pusing. Lalu pasien merasa separuh
badannya lemah, sehingga harus dipapah. Tidak ada penurunan kesadaran.
Nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), kejang (-). Pasien dikatakan bicaranya
menjadi tidak jelas/pelo
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat keluhan serupa pada bulan April 2018. Pasien
saat itu mengalami kelemahan tubuh sebelah kiri. Setelah pulang dari RS,
pasien dikatakan bisa beraktivitas seperti biasa, namun dibantu tongkat. Pasien
kontrol
45
post stroke sebanyak 3x, namun setelah itu tidak kontrol lagi karena dikatakan
tidak ada kendaraan untuk mengantar pasien kontrol.
Riwayat Hipertensi diketahui sejak 2 tahun SMRS, waktu masuk RS.
Riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun SMRS. Obat hipertensi dan diabetes
melitus diminum hanya setelah pasien keluar dari Rumah Sakit bulan April
2018. Setelah obat habis, pasien dikatakan tidak meminum obat lagi.
4. Riwayat keluarga
Ayah pasien dikatakan memiliki riwayat HT dan stroke
5. Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Sejak sakit bulan April 2018, pasien
sudah tidak bekerja lagi. Riwayat merokok (-), konsumsi alkohol (-).

B. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
- Tanda vital
TD : 130/90 mmHg
HR : 64x/menit
RR : 20x/menit

T : 36,7°𝐶

- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya


(+/+), pupil isokor 3mm/3mm
- Hidung : Deviasi septum (-), Sekret (-/-)
- Telinga : Normotia, Sekret (-/-)
- Mulut : Terlihat mencong kesebelah kanan , sianosis (-),
- Lidah : asimetris – deviasi kekanan, tremor (-)
- Leher : JVP tidak meningkat, tidak terlihat pembesaran KGB.

46
- Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi intercostal (-/-),
penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-/-) , tidak teraba massa, vokal fremitus dextra-
sinistra sama.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/- , murmur (-), gallop (-)

- Abdomen
Inspeksi : Soepel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballottement (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) N
- Ekstremitas : Akral hangat, nadi kuat, oedem tungkai (-)

C. Pemeriksaan
Neurologis Nervus
Kranialis
- N. I (olfaktorius) : tidak dievaluasi
- N. II (optikus) : tidak dievaluasi
- N. III (oculomotor) :
ptosis (-), gerak bola mata (+) normal ke segala arah, pupil isokor
3mm/3mm, reflek cahaya +/+
- N. IV (troklearis) : gerak bola mata (+) normal
- N. V (trigeminus) : kekuatan mengunyah/menggigit normal
- N. VI (abdusen) : gerak bola mata normal ke arah lateral (+)
- N. VII (fasialis) :
kerutan dahi, mengangkat alis dbn, bibir asimetris
- N. VIII (vestibulo-koklearis) : tidak dievaluasi
47
- N. IX (glosofaringeus) : tidak dievaluasi
- N. X (vagus) : tidak dievaluasi
- N. XI (aksesorius) : tidak dievaluasi
- N. XII (hipoglosus) : lidah asimetris, artikulasi terganggu (disartria)

Fungsi Motorik
Kekuatan Otot 5555 2222

5555 2222

Tonus N N
N N

Atropi - -
- -

Klonus -/-

Reflek Fisiologis Refleks Patologis


Reflek bisep : ++/++ Babinski : -/-
Reflek trisep : ++/++ Chaddock : -/-
Reflek brachioradialis : ++/++ Oppenheim : -/-
Reflek patella : ++/++ Gordon : -/-
Reflek Achilles : ++/++ Hoffman Trommer : -/-

Rangsang Meningeal
Kaku kuduk :-
Kernig sign :-
Brudzinski 1 :-
Brudzinski 2 :-

48
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 14/01/2022)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 14,9 12 – 16 gr%
Hematokrit 42 37 – 43 %
Eritrosit 4,89 3,9 – 6,0 Juta/mm3
MCV 85 80 – 94 μ3
MCH 30 28 – 32 pg
MCHC 36 32 – 36 %
Leukosit 9540 4000 – 11000 / mm3
Trombosit 211 150 – 400 Ribu / mm3
Kimia Darah
SGOT 15 10 – 37 U/L
SGPT 11 10 – 42 U/L
Ureum 16 15 – 39 mg/dl
Creatinin 0,7 0,6 – 1,1 mg/dl
Gula Darah Sewaktu 108 70 – 199 mg/dl
Elektrolit
Natrium 137,7 136 – 145 mmol / L
Kalium 3,11 3,5 – 5,1 mmol / L
Chloride 114,5 98 – 107 mmol / L

Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 21/03/2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kimia Darah
Asam Urat 4,58 2,4 – 6,6 mg/dl
Kolesterol Total 239 Up to – 200 mg/dl

49
Trigliserida 152 Up to – 150 mg/dl
HDL-C 67,0  35 mg/dl
LDL-C 141,6 Up to – 160 mg/dl
Gula Darah Puasa 351 70 – 100 mg/dl
Gula Darah 2 jam PP 400 < 140 mg/dl
HbA1C >12,5 2–6%
Urine
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Ph 6,0 4,5 – 8,0
Protein Positif 2 Negatif
Reduksi Positif 4 Negatif
Jamur Positif 1 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit 50 – 70 0 – 5 / LPB
Eritrosit 5–7 0 – 3 / LPB
Kristal Ca Oksalat : Positif Negatif
Silinder 1 Granula Halus : 0 - 1 Negatif
Silinder 2 Granula Kasar : 0 - 1 Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif

50
EKG

CT-Scan

Infark pada sentrium semiovale kanan kiri, corona radiata kanan dan cerebellum kiri

E. Diagnosa
Diagnosa klinis : hemiparesis sinistra, hipertensi, diabetes melitus tipe 2
51
Diagnosa topik : infark sentrum semiovale dextra sinistra, corona radiata dextra,
cerebellum sinistra
Diagnosa etiologi : Stroke infark (second attack)

F. Penatalaksanaa
n IGD
- O2 NK 2-4 lpm
- IVFD Nacl 0,9% 20tpm
- Inj. Citicolin 500 mg
- Novorapid 3 x 10 IU
- Amlodipin 1x10mg
- ASA
80mg

Rawat Inap

- IVFD Aminofluid 500cc / 24 jam


- Inj. Citicoline 500mg/ 12 jam
- ASA 1x80mg
- Simvastatin 0-0-20mg
- Amlodipin 10mg-0-0
- Candesartan 0-0-16mg

G. FOLLOW UP
20 Februari 2020 21 februari 2020

S Disartria Mobilisasi duduk (+)

Hemiparese sinistra

O KU : sedang KU : membaik

GCS : 456 GCS : 456

TD : 140/100 TD : 130/90

HR : 90x/i HR : 84x/i

52
RR : 24x/i RR : 26x/i

T : 36,8 C T : 36,5 C

Pupil : isokor, RC (+/+), RK (+/+) Pupil : isokor, RC (+/+), RK (+/+)

Motorik : Motorik :

5555 3333 5555 3333

5555 3333 5555 3333

A Post Stroke infark (H-4) Post Stroke infark (H-5)

Hipertensi Hipertensi

Hemiparese sinistra Diabetes Melitus tipe 2

Hiperglikemia Dislipidemia

P Aminofluid 500cc/24jam ASA 1x80mg

Citicoline 500mg/12jam Simvastatin 0-0-20mg

ASA 1x80mg Amlodipin 10mg-0-0

Simvastatin 0-0-20mg Candsesartan 0-0-16mg

Amlodipin 10mg-0-0 Novorapid 3 x 14 IU

Candesartan 0-0-10mg KRS

Novorapid 3 x 10 IU Kontrol Poli Neuro

Cek UL, Lipid profile, asam urat, GDP,

G2PP, HbA1c

Konsul Interna untuk terapi DM tipe 2

Konsul sp. KFR

53
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus didapatkan seorang wanita, usia 48 tahun, datang ke RS dengan


keluhan kelemahan tubuh sebelah kiri, yang dialami secara tiba-tiba 3 hari SMRS.
Awalnya pasien merasa lemas, pandangan gelap serta pusing. Pasien memiliki
riwayat Stroke sekitar 10 bulan yang lalu, dengan kelemahan tubuh sebelah kiri juga.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus yang baru diketahui
sejak 10 bulan lalu.
Pada anamnesis didapatkan defisit neurologis yang merupakan gejala dari stroke.
Salah satunya adalah kelemahan tubuh sebelah kiri / hemiparesis sinistra, serta
beberapa gejala paresis nervus kranialis, yaitu bibir asimetris (terlihat lebih turun pada
bagian kanan), kemudia bicara tidak jelas/pelo atau yang disebut disarthria.
Salah satu faktor resiko dari pasien ini adalah riwayat hipertensi. Tekanan darah
pasien saat masuk RS adalah 140/100 mmHg. Riwayat hipertensi kronis yang tidak
terkontrol akan menyebabkan perubahan endothelial yang memicu aterosklerosis,
mikrotrombus dan perubahan struktural pada blood-brain barrier. Selain itu, juga akan
menyebabkan penyempitan arteriol di otak
Yang kedua, faktor resiko yang mendukung terjadinya stroke pada pasien ini
adalah riwayat diabetes melitus. Saat di IGD, gula darah sewaktu pasien mencapai 387
mg/dl. Diabetes akan meningkatkan resiko penyakit aterosklerosis di berbagai
pembuluh darah. Aterosklerosis jika digabungkan dengan hipertensi akan
meningkatkan resiko terjadinya stroke pada pasien diabetes.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada pasien ini untuk mengetahui faktor
resiko, penyebab dasar dan menyingkirkan penyakit lain yang menyerupai stroke.
Pada pasien ini didapatkan gula darah pasien sangat tinggi. Pada saat di IGD, gula
darah sewaktu pasien adalah 387 mg/dl. Kemudian dilakukan juga pemeriksaan GDP,
G2PP serta HbA1c dan didapatkan GDP mencapai 351 mg/dl, G2PP 400 mg/dl serta
HbA1c >12,5 %. Sehingga pasien ini didiagnosis pula dengan diabetes melitus tipe 2.
54
Pada saat perawatan, dilakukan juga pemeriksaan lipid profile. Pada pasien ini
didapatkan peningkatan pada kolesterol total yaitu mencapai 239 mg/dl, serta
trigliserida juga sedikit meningkat yaitu 152 mg/dl. Hal ini juga yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya stroke pada pasien ini karena kolesterol tinggi
mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pembuluh darah, yang akan semakin
banyak dan menumpuk sehingga dapat mengganggu aliran darah.
Pemeriksaan CT Scan juga dilakukan pada pasien ini, dan didapatkan gambaran
infark pada sentrum semiovale dextra sinistra, corona radiata dextra serta cerebellum
sinistra. Infark pada daerah sentrum semiovale dan corona radiata seringkali disebut
watershed infarct/borderzone karena daerah ini melibatkan persimpangan daerah-
daerah distal dari dua sistem arteri, yaitu arteri serebri media dan arteri lentikulostriata
(percabangan dari arteri serebri media). Arteri ini merupakan cabang dari arteri
karotis interna yang paling distal, sehingga memiliki tekanan perfusi yang paling
rendah. Hal ini yang memicu daerah ini lebih rentan terjadi iskemia dari daerah
lainnya.
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas
dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Filosofi yang
harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour. Pada pasien stroke infark,
pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin
setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian
intravena dalam 6 jam pemberian intraarterial). Namun pada pasien ini, onset stroke
sudah 3 hari SMRS, sehingga sudah melewati golden hours dan tidak efektif lagi
untuk diberikan fibrinolitik.
Pasien juga mendapat terapi antiplatelet, yaitu aspirin 80 mg/24 jam. Pemberian
aspirin dengan dosis awal 325mg dalam 24-48 jam setelah awitan dianjurkan untuk
setiap stroke iskemik akut. Namun pada pasien ini tidak diberikan, karena telah
melewati 48 jam setelah onset. Pemberian aspirin dosis rendah diketahui bermanfaat
bagi pencegahan penyakit vaskuler berulang, seperti TIA, stroke iskemik maupun
infark miokard. Pemberian aspirin 75-150 mg per hari diketahui merupakan dosis
yang paling sesuai untuk pencegahan berulang serta meminimalisir efek samping,
55
yaitu

56
perdarahan.
Neuroprotektor berupa citicoline 2 x 500 mg juga diberikan selama perawatan.
Meskipun neuroprokector tidak memberikan hasil yang signifikan, namun beberapa
studi masih memperlihatkan bahwa pemberian citicoline dapat memberikan manfaat
pada stroke akut berupa perbaikan motorik, score MRS (untuk mengukur derajat
disabilitas) dan Barthel index (mengukur kemandirian fungsional).
Terapi lain yang diberikan ke pasien merupakan antihipertensi berupa candesartan
16 mg dan amlodipine 10 mg. Pada pasien stroke akut (onset hingga 72 jam),
antihipertensi intravena (bukan oral) baru boleh diberikan jika tekanan darah diatas
220/120 mmHg, dengan penurunan MAP 15-25%, tidak boleh melebihi 25%.
Penurunan tekanan darah yang terlalu drastis akan membuat iskemik yang lebih
parah, terutama pada kasus oklusi arteri intracranial atau oklusi karotis ekstrakranial.
Peningkatan tekanan darah pada stroke akut merupakan salah satu reaksi protektif,
untuk meningkatkan perfusi serebral. Oleh sebab itu, ketika kita menurunkan tekanan
darah tersebut, iskemia yang terjadi bisa menjadi lebih parah. Namun pada kasus ini,
pasien sudah melewati masa akut stroke, oleh sebab itu terapi antihipertensi perlu
diberikan agar target tekanan darah <140/90 mmHg.
Pasien juga mendapat terapi untuk mengatasi hiperglikemi dan hiperkolesterol,
dengan menggunakan insulin Novorapid 3 x 14 IU serta simvastatin 20 mg.
Tujuannya adalah untuk mengontrol faktor resiko agar tidak terjadi stroke berulang,
meningat pasien ini sudah mengalami stroke yang kedua kali (second attack). Perlu
pencegahan yang lebih lagi agar kejadian stroke tidak berulang dan semakin
bertambah parah.

57
DAFTAR PUSTAKA

1 Bendok B, Naidech A, Walker M, Batjer H. Hemorrhagic and ischemic


stroke. New York: Thieme; 2012.
2 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Hasil
Utama Riskesdas 2018 [Internet]. Depkes.go.id. 2018 [Diakses tanggal 28
February 2020]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_20
18/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf
3 Truelsen T, Begg S, Mathers C. The global burden of cerebrovascular disease
[Internet]. Who.int. 2006 [diakses tanggal 27 February 2020]. Available
from:
https://www.who.int/healthinfo/statistics/bod_cerebrovasculardiseasestroke.pdf
4 Hauser S, Josephson S. Harrison's neurology in clinical medicine. 4th ed.
United States: McGraw-Hill Education; 2017.
5 Putri N, Islam M, Subadi I. Perbandingan Luaran Fungsional Pasien Stroke
Iskemik Akut pada Perokok dan Bukan Perokok yang Diukur Dengan
Canadian Neurologic Scale (CNS) Dan NIHSS. MNJ (Malang Neurology
Journal). 2018;4(2):65-71.
6 Arifianto AS, Sarosa Moechammad, Setyawati Onny. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan Kelainan Patologis dengan Learning Vector Quantization. Jurnal
EECCIS. 2014; 8(2):117-122
7 Caplan L. Caplan's stroke. 5th ed. United Kingdom: Cambridge University
Press; 2016.
8 Ngoerah IGNG. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Denpasar: Udayana
University Press; 2017.
9 Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
10 Grysiewicz R, Thomas K, Pandey D. Epidemiology of Ischemic and
58
Hemorrhagic Stroke: Incidence, Prevalence, Mortality, and Risk
Factors.

59
Neurologic Clinics. 2008;26(4):871-895.
11 Seshari S, Debette S. Risk Factors for Cerebrovascular Disease and
Stroke. New York: Oxford University Press; 2016.
12 Brainin M, Heiss W. Textbook of stroke medicine. 3rd ed. United
Kingdom: Cambridge University Press; 2010.
13 Hankey G, Macleod M, Gorelick P, Chen C, Caprio F, Mattle H. Warlow's
stroke. 4th ed. Oxford: John Wiley & Sons Ltd; 2019.
14 Vo K, Lin W, Lee J, Ford A. Evidence-based neuroimaging in acute
ischemic stroke. Neuroimaging Clinics of North America. 2003;13(2):167-
183.
15 Powers W, Ackerson T, Bambakidis N, Brown M, Hoh B, Leslie-Mazwi T et al.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke:
2019 Update to the 2018 Guidelines for the Early Management of Acute
Ischemic Stroke. American Heart Association, Inc. 2019;50:344-418.
16 Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia; 2011.

60

Anda mungkin juga menyukai