STROKE
ISKEMIK
Disusun oleh
dr. Gladys Suwanti
Pembimbing
dr. Ajiwijaya
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2
2.1 Anatomi Vaskularisasi Otak.............................................................................2
2.2 Definisi............................................................................................................6
2.3 Epidemiologi...................................................................................................6
2.4 Klasifikasi........................................................................................................7
2.5 Etiologi dan Patofisiologi.................................................................................7
2.6 Faktor Resiko................................................................................................12
2.7 Gejala Klinis...................................................................................................16
2.7.1 Gejala Umum Stroke............................................................................16
2.7.2 Gejala Stroke Iskemik..........................................................................17
2.8 Diagnosis........................................................................................................20
2.8.1 Anamnesis.............................................................................................20
2.8.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................22
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................................24
2.9 Penatalaksanaan.............................................................................................27
2.7.1 Umum...................................................................................................27
2.7.2 Khusus...................................................................................................29
2.10 Prognosis dan Komplikasi............................................................................30
2.9 Pencegahan.....................................................................................................31
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................34
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................46
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
memberikan cabangnya ke globus pallidus, hipokampus anterior, uncus kapsula
interna bagian posterior serta mesensefalon bagian anterior. AChA ini akan
beranastomisis dengan arteri choroid posterior (cabang dari arteri cerebri posterior).
5
Bagian proksimal ACP atau bagian precommunican (sebelum arteri Communican
Posterior (ACoP) akan bercabang menjadi arteri mesencephali paramedian dan arteri
thalamik-subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Setelah ACoP, arteri
serebri posterior akan mempercabangkan arteri thalamogeniculatum dan arteri choroid
posterior, yang mana juga akan memvaskularisasi thalamus. ACP ini setelah berjalan
kebelakang, di daerah tentorium serebella akan bercabang menjadi devisi anterior
(memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis) dan devisi posterior
(memvaskularisasi fissure calcarina dan daerah parieto-occipitalis).
6
iii. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri carotis externa.
II. DEFINISI
World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai kumpulan
gejala klinis yang berkembang dengan cepat akibat gangguan fungsi serebral fokal
maupun global, menetap selama 24 jam atau lebih, bahkan bisa menyebabkan
kematian, tanpa adanya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Sedangkan gejala
stroke yang berlangsung kurang dari 24 jam, bukan diakibatkan oleh perdarahan
subdural, tumor, keracunan ataupun trauma, didefinisikan sebagai Transient Ischemic
Attack (TIA).3
Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat gangguan di
daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya kelemahan unilateral
akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non fokal/global misalnya adalah
terjadinya gangguan kesadaran sampai koma. Gangguan neurologi non fokal tidak
selalu disebabkan oleh stroke. Ada banyak penyebab lain yang mungkin
menyebabkannya. Oleh karena itu gejala non fokal tidak seharusnya diinterpretasikan
sebagai akibat stroke kecuali bila disertai gangguan neurologis fokal.3
III. EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia setelah penyakit
jantung dan merupakan penyebab utama dari disabilitas. Angka morbiditas lebih berat
dan angka mortalitas lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke
7
iskemik. Hanya 20% pasien yang dapat melakukan kegiatan mandirinya lagi. Angka
8
mortalitas dalam bulan pertama pada stroke hemoragik mencapai 40-80%. Dan 50%
kematian terjadi dalam 48 jam pertama. World Health Organization (WHO)
mengestimasikan ada sekitar 15 juta kasus stroke setiap tahunnya, dan sekitar 5 juta
diantaranya meninggal akibat stroke serta 5 juta hidup dengan kecatatan seumur
hidup. Mayoritas stroke adalah infark cerebral.1
Dari data South East Asian Medical Information Centre (SEAMIC) diketahui
bahwa angka kematian stroke terbesar di Asia Tenggara terjadi di Indonesia yang
kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan
Thailand.5 Di Indonesia sendiri, prevalensi stroke berdasarkan Riskesdas 2018 adalah
sebesar 10,9 per 1.000 penduduk. Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di
Kalimantan Timur (14,7 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (4,1 per 1.000
penduduk). Sedangkan Kalimantan Selatan sendiri menempati urutan ke 6 terbanyak,
setelah Kaltim, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Riau, dan Kalimantan Utara.2
IV. KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat dibagi menjadi 2, yaitu
Stroke Iskemik dan Stroke Perdarahan/Hemoragik.6
1. Stroke Hemoragik, merupakan kerusakan atau “ledakan” dari pembuluh darah di
otak. Perdarahan dapat disebabkan karena lamanya tekanan darah tinggi dan
aneurisma otak. Ada dua jenis stroke hemoragik, yaitu subaraknoid dan
intraserebral.
2. Stroke Iskemik, disebut juga stroke infark atau stroke non-hemoragik, disebabkan
oleh gumpalan atau penyumbatan dalam arteri yang menuju ke otak, yang
sebelumnya telah mengalami proses aterosklerosis. Stroke iskemik terdiri dari
tiga macam mekanisme, yaitu embolic stroke, thrombotic stroke dan hipoperfusi
stroke.
10
pada area tertentu di otak. Ada tiga mekanisme yang dapat menyebabkan
iskemia,yaitu: trombosis, emboli ataupun hipoperfusi.7
a) Trombosis7
Trombosis merupakan terjadinya suatu penyumbatan aliran darah akibat
oklusi lokal dari satu pembuluh darah atau lebih. Hal ini bisa diakibatkan
oleh bekuan darah ataupun plak ateroslerosis. Lumen dari pembuluh darah
akan menyempit atau bahkan tersumbat. Pada aterosklerosis, jaringan fibrous
dan jaringan otot di lapisan subintima akan menebal, kemudian material
seperti lemak akan membentuk plak yang dapat menembus lumen.
Selanjutnya platelet akan menempel pada sela-sela plak dan membentuk
gumpalan yang akan menjadi tempat menempelnya fibrin, thrombin dan
Arteri intrakranial yang lebih kecil atau arteriol biasanya lebih sering
mengalami kerusakan akibat hipertensi dibandingkan proses arteriosklerotik.
Peningkatan tekanan arterial dapat menyebabkan hipertrofi tunika media dan
deposisi materi fibrinoid ke dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
penyempitan lumen pembuluh darah.
Terkadang sumbatan pada pembuluh darah juga dapat diakibatkan oleh
gangguan hematologi primer seperti polisitemia, trombositosis, atau kondisi
hiperkoagulasi sistemik. Selain itu penyebab trombosis lainnya yang lebih
jarang terjadi adalah dysplasia fibromuscular, arteritis (Takayasu atau giant-
cell type), diseksi dinding pembuluh darah.
b) Emboli7
11
Pada kasus emboli, materi/trombus yang berasal dari tempat lain
12
sepanjang sistem vaskular dapat terlepas dan menutup aliran darah pada
pembuluh darah yang lebih kecil. Obstruksi ini dapat bersifat sementara atau
dapat menetap hingga beberapa jam atau hari sebelum berpindah ke daerah
yang lebih distal. Biasanya trombus tersebut berasal dari pembuluh darah
yang lebih proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri besar seperti aorta,
karotis dan arteri vertebral. Stroke karena emboli memberikan karakteristik
dimana defisit neurologis langsung mencapai taraf maksimal sejak awal
(onset) gejala muncul.
Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di
dalam darah yang kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis
dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena
adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung
atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral, yang paling
sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan
penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama
fibrilasi atrium). Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang
yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di
dalam sebuah arteri.
c) Hipoperfusi7
Berkurangnya aliran darah menuju ke jaringan otak menjadi pemicu
rendahnya tekanan perfusi sistemik. Penyebab paling umum yang terjadi
adalah akibat kegagalan pompa jantung, seperti pada kasus infark miokardial
atau aritmia, ataupun akibat dari hipotensi sistemik, seperti pada kasus
hipovolemia. Pada kasus hipoperfusi, kerusakan yang terjadi umumnya
bersifat general, tidak seperti emboli ataupun trombosis yang terlokalisasi.
Namun, efek asimetris dapat terjadi apabila ada lesi vaskuler terdahulu
sehingga mengakibatkan hipoperfusi yang terjadi tidak terdistribusi dengan
rata.
13
Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak disebut sebagai cerebral blood flow (CBF) dan
dinyatakan dalam satuan cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan
perfusi otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan resistensi
serebrovaskular/cerebrovascular resistance (CVR). Dalam keadaan normal dan sehat,
rata-rata aliran darah otak adalah 50,9 cc/100 gram otak/menit. Hubungan antara
ketiga variabel ini dinyatakan dalam persamaan berikut:8
𝐶𝑃𝑃
𝐶𝐵𝐹 = = 𝑀𝐴𝐵𝑃 − 𝐼𝐶𝑃
𝐶𝑉𝑅 𝐶𝑉𝑅
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik / mean arterial blood
pressure (MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial/intracranial pressure (ICP),
sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus pembuluh
darah otak, struktur dinding pembuluh darah, viskositas darah yang melewati
pembuluh darah otak.8 Ambang batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:9
a) Ambang fungsional: batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila
tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi
integritas sel-sel saraf masih utuh.
b) Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100
gram/menit, yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik
neuronal berhenti. Ini berarti sebagian struktur intrasel telah berada dalam
proses disintegrasi.
c) Ambang kematian sel: yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi
akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak (CBF dibawah 15 cc/100
gram/menit).
Pada iskemia yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan
tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:7
1. Lapisan inti yang sangat iskemia (ischemic core) terlihat sangat pucat karena
CBFnya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah
tanpa aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi dengan PO2 yang
14
rendah.
15
Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih
tinggi daripada CBF di ischemic core. Walaupun sel-sel neuron tidak sampai mati,
fungsi sel terhenti dan menjadi functional paralysis. Pada daerah ini PO2 rendah,
PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron
dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi
pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Keadaan ini disebut ischemic
penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan
manajemen yang tepat.
16
penumbra.7
17
VI. FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor resiko yang terbukti meningkatkan insiden stroke. Faktor
resiko tersebut bisa di kelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor yang
tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi
a) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
Usia
Semakin tua usia, semakin meningkat pula resiko terjadinya stroke.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa setelah usia 55 tahun, resiko
terjadinya stroke akan meningkat dua kali lipat setiap dekadenya.10 Hal
ini berhubungan dengan adanya proses degenerasi (penuaan) yang terjadi
secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh
darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis).1
Jenis Kelamin
Secara umum, stroke lebih banyak ditemukkan pada laki-laki. Salah satu
penyebabnya adalah hormone estrogen. Meskipun belum dapat
sepenuhnya dimengerti, namun beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa estrogen memiliki fungsi protektif terhadap pembuluh darah di
otak, termasuk vasodilatasi, supresi inflamasi dan peningkatan efisiensi
dari mitokondria. Namun pada kategori usia lanjut (≥85 tahun), insiden
stroke pada wanita lebih tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena wanita
biasanya memiliki rentang usia yang lebih lama.11
Suku/Ras
Beberapa studi kohort telah meneliti efek dari suku/ras terhadap resiko
terjadinya stroke. Di Amerika serikat sendiri, beberapa studi
memperlihatkan bahwa resiko terjadinya stroke paling tinggi dialami
oleh ras Afrika-Amerika, lalu diikuti oleh ras Asia, Hispanik/Latin dan
Kaukasian. Ras Asia-Amerika memiliki resiko mengalami stroke
iskemik yang lebih rendah, namun resiko stroke perdarahan lebih tinggi.
Hal ini disebabkan karena rendahnya kolesterol HDL pada populasi Asia
yang
18
dikaitkan dengan meningkatnya resiko stroke perdarahan.1
Genetik
Studi terhadap saudara kembar dan keluarga dengan stroke
menunjukkan bahwa faktor genetik menjadi salah satu komponen
meningkatnya resiko stroke. Beberapa gen polimorfisme telah di
identifikasikan sebagai salah satu faktor yang berkaitan dengan
peningkatan resiko terjadinya stroke iskemik, dan stroke perdarahan.
Cerebral autosomal-dominant arteriopathy with subcortical infarcts
and leukoencephalopathy (CADASIL) merupakan salah satu sindrom
terkait stroke herediter yang paling umum terjadi. Penyakit ini
disebabkan oleh mutase gen NOTCH3, yang akan menimbulkan gejala
klinis seperti migrain, perubahan mood serta stroke subkortikal pada usia
muda. Selain itu, penyakit Fabry yang bersifat resesif autosomal (x-
linked), dimana terjadi defisiensi β-galactosidase A dan menyebabkan
terjadi akumulasi dari trihexosylceramide pada pembuluh darah, system
saraf, ginjal dan kulit yang dapat meningkatkan resiko stroke serta
serangan jantung.1
b) Faktor yang dapat dimodifikasi
Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbanyak kejadian
stroke. Dari studi observasional, memperlihatkan bahwa resiko kematian
akibat penyakit jantung iskemik dan stroke meningkat dua kali lipat
seiring dengan kenaikan tekanan sistolik sebanyak 20 mmHg, dimulai
dari tekanan sistolik 115mmHg. Hal ini berkaitan juga dengan
peningkatan resiko terjadinya aterosklerosis, salah satu penyebab utama
terjadinya trombus pada pembuluhdarah.10 Hipertensi akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sehingga
terjadi perubahan pada endothelial yang memicu
terjadinya aterosklerosis, pembetukan mikrotrombus
serta perubahan structural pada blood-brain barrier. Remodeling
19
struktural juga akan terjadi apabila hipertensi terus berlanjut
20
kronis, sehingga diameter eksternal dari arteriol di otak menyempit
akibat penebalan lapisan media, penipisan lumen serta meningkatnya
matriks ekstraseluler.11
Diabetes
Pasien dengan diabetes dan peningkatan kadar glukosa
meningkatkan resiko terjadinya stroke serta memperparah akibat yang
ditimbulkan dari stroke tersebut. Hal ini disebabkan karena beberapa
teori. Yang pertama, diabetes akan meningkatkan resiko penyakit
aterosklerosis di berbagai lokasi termasuk pembuluh darah koroner,
perifer, serta pembuluh darah di otak. Aterosklerosis jika digabungkan
dengan hipertensi akan meningkatkan resiko terjadinya stroke pada
pasien diabetes.1 Selain itu, hiperglikemia dapat menganggu proses
rekanalisasi arteri dengan cara mengganggu terjadinya fibrinolisis serta
menyebabkan kelainan dari kaskade koagulasi, yang dimediasi melalui
tingginya kadar PAI-1 dan tissue-type plasminogen activator antigen.
Hiperglikemia kronis akan menyebabkan penurunan efektivitas kerja
obat fibrinolysis, perubahan pola aliran darah. Mekanisme lainnya yang
dapat memperburuk efek yang ditimbulkan dari stroke tersebut, salah
satunya adalah karena meningkatnya kemungkinan terjadi reperfusion
injury dan peningkatan resiko terjadinya komplikasi perdarahan setelah
trombolisis. Diabetes juga seringkali di asosiasikan dengan resiko
terjadinya atrial fibrilasi.11
Merokok
Perokok memiliki resiko mengalami stroke iskemik lebih besar
daripada non-perokok. Rokok dapat mengakibatkan kerusakan dinding
arteri, mempercepat terjadinya aterosklerosis, meningkatkan kadar
fibrinogen, menaikkan tekanan darah dan memicu vasokonstriksi serta
efek-efek proinflamasi yang dihasilkan rokok dapat meningkatkan resiko
terjadinya stroke iskemik. Beberapa studi memperlihatkan bahwa resiko
21
stroke dapat menurun setelah perokok berhenti merokok selama 5 tahun,
bahkan resiko terjadinya stroke bisa sama besar dengan non-perokok.
Sehingga sangat disarankan pasien-pasien dengan resiko tinggi
terjadinya stroke untuk berhenti merokok. Namun perlu diketahui, tidak
hanya perokok saja yang memiliki resiko terkena stroke, namun perokok
pasif / orang-orang yang terpapar asap rokok juga memiliki resiko yang
sama dengan perokok.1
Dislipidemia
Peningkatan kolesterol sangat berhubungan dengan resiko terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Kolesterol yang berlebih terutama jenis LDL
akan mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pembuluh darah,
yang akan semakin banyak dan menumpuk sehingga dapat mengganggu
aliran darah.
Menurunkan kadar LDL-C dapat menurunkan resiko terjadi stroke,
terutama stroke iskemik. Meskipun ada beberapa studi pula yang
mengatakan bahwa LDL-C yang rendah dapat meningkatkan resiko
perdarahan intrakranial. Statin merupakan obat yang saat ini
direkomendasikan untuk pencegahan primer dan sekunder dari stroke.11
Pengunaan alkohol berlebihan
Segala sesuatu yang berlebihan tentunya tidak baik, demikian pula
dengan konsumsi alkohol. Pengunaan alkohol berlebihan dapat
meningkatkan resiko terjadinya stroke iskemik maupun stroke
perdarahan. Hal ini disebabkan karena alkohol berlebih dapat memicu
hipertensi maupun kardiomiopati.
Namun konsumsi alkohol tidaklah berbahaya sepenuhnya. Beberapa
studi meneliti bahwa konsumsi alkohol dalam batas wajar / sedikit dapat
menurunkan resiko stroke iskemik. Meskipun mekanismenya belum
sepenuhnya diketahui, namun beberapa teori yang mendukung hal ini
adalah karena alkohol meningkatkan HDL serta apolipoprotein A1,
22
menurunkan agregasi platelet serta kadar fibrinogen. Efek tersebutlah
yang menjadi faktor proteksi terhadap stroke iskemik.1
23
B. Gejala Stroke Iskemik
Gejala klinis stroke iskemik dapat terjadi pada lokasi yang berbeda tergantung
neuroanatomi dan vaskularisasi yang diserang, antara lain:12
i. Sirkulasi Anterior
Sirkulasi Anterior mengacu pada daerah di otak yang mendapat suplai dari arteri
karotis, terdiri dari arteri serebral media, arteri serebral anterior dan arteri komunikans
anterior yang menghubungkan kedua arteri serebral anterior.
a) Arteri Serebral Media12
Arteri Serebral Media merupakan daerah yang paling banyak mengalami
iskemia pada stroke akut (sekitar 2/3 dari seluruh kasus stroke). Infark pada
daerah ini dapat menimbulkan gejala yang ringan maupun sangat berat,
tergantung lokasi oklusi, derajat iskemia yang terjadi, etiologi/penyebab stroke.
Secara klinis, pasien dengan infark total pada arteri serebral media dapat
mengalami gejala berupa hemiparesis, hemihipestesia, serta hemianopsia
kontralateral, kemudian deviasi mata dan kepala ke ipsilateral. Pasien biasanya
sadar penuh atau mungkin dapat sedikit mengantuk atau agitasi, terutama pada
pasien dengan infark sebelah kanan. Pada pasien dengan lesi di sebelah kiri, dapat
mengalami afasia ataupun ideomotor apraxia. Pada lesi kanan, dapat
menyebabkan kontralateral hemineglect,
24
anosognosia, anosodiaphoria, asomatognosia (tidak menyadari bagian tubuhnya
sendiri).
26
ocular apraxia atau koordinasi mata-tangan yang buruk), metamorphosia dan
prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah yang sebenarnya sudah
dikenali).
b) Cabang vertebrobasilar Sirkumferensial4
Cabang sirkumferesial dari arteri vertebralis dan basilaris adalah arteri
sereberalis inferior posterior, sereberalis inferior anterior, dan sereberalis
superior. Gejala yang terjadi akibat oklusi arteri sereberalis inferior posterior
mengakibatkan sindrom medular lateral (Wallenberg’s syndrome). Sindrom ini
dapat disertai ataksia sereberalis ipsilateral, sindrom Horner, defisif sensoris
wajah, hemihipertesi alternan, nistagmus, vertigo, mual muntah, disfagia,
disartria, dan cegukan. Oklusi arteri sereberalis inferior anterior akan
mengakibatkan infark sisi lateral dari kaudal pons dan menimbulkan sindrom
klinis seperti paresis otot wajah, kelumpuhan pandangan, ketulian, dan tinitus.
Oklusi arteri sereberalis superior akan mengakibatkan sindrom lateral rostral
pons yang menyerupai lesi dengan
disertai adanya optokinetik nistagmus atau skew deviation.
c) Cabang vertebrobasiler paramedian4
Cabang arteri paramedian memberi aliran darah sisi medial batang otak
mulai dari permukaan ventral hingga dasar ventrikel IV. Struktur pada regio ini
meliputi sisi medial pedunkulus sereberi, jaras sensorik, nukleus rubra, formasio
retikularis, nukleus kranialis (N.III, N. IV, N.VI, N.XII).
Gejala yang diakibatkan oleh oklusi arteri ini tergantung dimana oklusi
terjadi. Oklusi pada mesensefalon menimbulkan paresis nervus okulomotor
(N.III) ipsilateral disertai ataksia. Paresis nervus abdusen (N.VI) dan nervus
fasialis (N.VII) ipsilateral terjadi pada lesi daerah pons, sedang paresis nervus
hipoglosus (N.XII) terjadi jika letak lesi setinggi medula oblongata. Manifestasi
klinis dapat berupa koma apabila lesi melibatkan kedua sisi batang otak.
d) Cabang vertebrobasilar basalis4
Percabangan ini berasal dari arteri sirkumferensial yang memasuki sisi
vertebral batang otak dan memberi aliran darah jaras motorik batang otak. Gejala
27
yang ditimbulkan akibat oklusi arteri basilaris yaitu hemiparesis kontralateral,
dan apabila nervus kranialis (N.III, N.VI, N.VII) terkena terjadilah paresis nervus
kranialis ipsilateral.
VIII. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pasien dengan stroke sangat berpengaruh pada onset gejala
tersebut, karena hal itu mempengaruhi goal terapi/pengobatannya. Apabila onset
dalam waktu 3-8 jam sejak keluhan muncul (atau sampai 24 jam pada kasus oklusi
arteri basiler), maka tujuan diagnosis, serta mengetahui dimana letak sumbatan adalah
untuk mengetahui apakah terapi reperfusi atau antiplatelet di indikasikan. Apabila
pasien baru diketahui stroke lebih dari waktu yang di tentukan, maka tujuan utama
terapi bukan untuk reperfusi, namun untuk memperkecil resiko terjadinya stroke
kembali serta mencegah sekuele atau komplikasi yang lebih parah akibat stroke.
Waktu penegakan diagnosis juga dapat mempengaruhi keakuratan diagnosis; gejala
neurologis fokal dapat membaik seiring waktu, oleh sebab itu penegakan diagnosis
dapat lebih sulit ketika gejala sudah tidak ada. Namun, pada kasus-kasus gejala
neurologis berupa disfasia atau penurunan kesadaran yang membaik, penegakan
diagnosis menjadi lebih mudah karena lebih banyak riwayat pasien yang bisa digali
atau ditanyakan.13
Anamnesis
Ketika pasien datang dengan suspek TIA atau stroke, hal pertama yang harus
dicari tahu adalah apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaskuler atau tidak.
Oleh sebab itu, perlu ditanyakan riwayat penyakitnya dengan jelas. Pertanyaan awal
yang bisa ditanyakan ke pasien adalah:13
Kapan gejala tersebut muncul?
Dimana pasien saat kejadian tersebut muncul?
Apa yang sedang dilakukan pasien saat itu?
Pasien dapat diminta untuk menjelaskan dengan rinci gejala yang mereka alami,
terutama ketika istilah yang pasien gunakan sedikit ambigu (misalnya istilah “pusing”
28
atau “kepala terasa berat”). Selain itu, penting juga untuk menanyakan ke pasien,
apakah pasien dapat melakukan suatu gerakan/tugas tertentu ketika gejala tersebut
muncul; contohnya ketika pasien mengatakan tangannya terasa lemah, tanyakan ke
pasien apakah pasien masih dapat mengangkat tangannya ke atas kepala.13
Anamnesis terhadap pasien harus memperoleh informasi tentang berikut ini:13
1. Karakteristik gejala dan tanda:
Modalitas mana yang terlibat (motorik, sensoris, visual)?
Daerah anatomi mana yang terlibat (wajah, lengan, tangan, kaki, kemudian
tanyakan apakah seluruh atau sebagian anggota tubuh, satu atau kedua mata)?
Apakah gejala-gejala tersebut bersifat fokal atau non fokal?
Bagaimana kualitas gejala (apakah “gejala negatif” misalnya hilang
kemampuan sensoris, hilangnya kemampuan motorik atau visual atau “gejala
positif” misalnya menyebabkan sentakan tungkai (limb jerking), kesemutan,
halusinasi)?
Apa konsekuensi fungsional yang dialami (misalnya tidak bisa berdiri, tidak
bisa mengangkat tangan)?
2. Kecepatan onset dan perjalanan gejala neurologi:
Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)?
Pada kasus stroke sesaat setelah bangun tidur, perlu ditanyakan “kapan
terakhir kali pasien terlihat normal?”
Apakah onsetnya mendadak?
Bagaimana derajat keparahan gejala pada saat onset; apakah gejala menyebar
atau bersifat progresif, hilang timbul, ada fluktuasi antara fungsi normal dan
abnormal?
3. Apakah ada kemungkinan presipitasi?
Apa yang pasien sedang lakukan pada saat dan tidak lama sebelum onset
muncul?
4. Apakah ada gejala-gejala penyerta, misalnya:
Nyeri kepala, kejang epileptik, serangan panik atau ansietas, muntah, nyeri
29
dada.
5. Apakah ada riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga yang
relevan.
Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu?
Apakah ada riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus,
angina, infark miokard, atrial fibrilasi, intermittent claudicatio, atau arteritis?
Apakah ada riwayat penyakit vaskuler atau kelainan trombotik pada keluarga
pasien?
6. Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang dapat mempengaruhi?
Merokok, konsumsi alcohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan (khusus obat
kontrasepsi oral, obat antitrombotik, antikoagulan, dan obat-obatan
rekreasional seperti amfetamin atau kokain).
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi
meningens. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko stroke seperti
obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
adalah pemeriksaan fisik secara general dan pemeriksaan neurologis. Pada saat
melakukan anamnesis terhadap pasien, saat itu merupakan kesempatan yang baik
untuk dokter mengobservasi pasien tersebut dan melakukan pemeriksaan neurologis.
Apabila seorang pasien dapat menceritakan kejadian, serta bercerita dan
berkomunikasi dengan baik, tentu saja dapat disimpulkan bahwa pasien tidak
memiliki afasia. Kemudian contoh lainnya, pasien yang mengeluhkan defisit motorik
pada anggota geraknya, tentu saja tidak memiliki anosognosia (suatu keadaan ketika
seseorang yang mengalami kecacatan tampak tidak sadar akan keberadaan
kecacatannya). Ataupun pasien yang dapat menggerakkan tangan dan kakinya pada
saat berubah posisi, meskipun pasien
30
tersebut mengeluhkan kelemahan tubuh, bisa saja memiliki penyakit konversi.1
i. Pemeriksaan Fisik Secara Umum
Pemeriksaan fisik dilakukan seperti pada umumnya, yakni tanda-tanda vital serta
pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki (head to toe). Pada pemeriksaan jantung,
perlu diperhatikan pada regularitas nadi, tanda atrial fibrilasi, serta apakah ada
murmur jantung yang dapat mengarah pada endocarditis ataupun edema perifer yang
menandakan gagal jantung kongestif, yang merupakan predisposisi dari emboli. Pada
pemeriksaan paru, perlu di cari tanda-tanda edema paru serta tanda disfungsi ventrikel
kiri. Pada kulit juga harus diperhatikan tanda stigmata dari endocarditis (nodul Osler,
lesi Janeway serta perdarahan splinter), serta ruam yang dapat menandakan penyakit
autoimun atau keadaan hiperkoagulasi (contohnya livedo reticularis). Yang terakhir,
tanda-tanda trauma atau kejang juga harus diperhatikan, seperti laserasi, lebam, nyeri
pada panggul, lutut atau siku, luka gigitan pada lidah.1,13
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium perlu dilakukan untuk mencari penyebab dasar dari stroke
iskemik serta menyingkirkan penyakit lain yang menyerupai gejala stroke.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan:7
Darah Lengkap
Kelainan seperti sickle cell disease dan hemoglobinopati lainnya dapat
menyebabkan hiperkoagulasi. Peningkatan kadar hematocrit juga
diasosiasikan dengan resiko terjadinya gumpalan darah/clotting pada orang
dewasa. Anemia berat juga meningkatkan resiko hiperkoagulabilitas serta
dapat memicu iskemia otak.
Peningkatan sel darah putih seringkali berhubungan dengan infark
miokardial serta pada pasien infark otak, seringkali leukosit juga sedikit
meningkat. Leukosit yang tinggi juga menjadi marker dari aktivitas inflamasi
yang terjadi dalam tubuh, dan inflamasi merupakan salah satu penyebab
penting terjadinya kerusakan pembuluh darah.
Platelet merupakan salah satu struktur penting dalam inisiasi koagulasi
darah. Trombositosis, terutama dengan jumlah trombosit > 1 juta, dapat
menyebabkan hiperkoagulabilitas serta oklusi vaskuler dan infark otak.
Fibrinogen
Fibrinogen merupakan salah satu faktor penting dalam koagulasi, selain itu
juga berkontribusi dalam viskositas darah. Tingginya kadar fibrinogen juga
32
akan menurunkan efektivitas reperfusi setelah trombosis.
Lipid
Tingginya titer lipoprotein juga dapat menjadi penyebab hiperviskositas,
meskipun tidak umum. Tingginya trigliserida, kilomikron, LDL dan VLDL
juga dapat meningkatkan viskositas darah. Pengukuran lipid darah harus
dilakukan pada setiap pasien dengan iskemia otak dan pasien yang memiliki
riwayat hiperlipidemia untuk mengevaluasi resiko stroke. Beberapa studi
juga memperlihatkan bahwa kenaikan kadar lipoprotein a (Lp (a)) merupakan
salah satu faktor resiko dan kondisi-kondisi kardiovaskular
Faktor Koagulasi
Prothrombin time (PT) serta international normalized ratio (INR) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT) adalah salah satu tes skiring
yang baik untuk melihat fungsi koagulasi. Pengukuran PT (atau INR) dan
aPTT perlu dilakukan sebagai salah satu tes untuk mengevaluasi stroke
Gula Darah
Peningkatan kadar gula darah dapat dipicu oleh kerusakan jaringan yang
melepaskan katekolamin dan mobilisasi glukosa. Infark yang besar serta
perdarahan seringkali di asosiasikan dengan kenaikan gula darah, karena gula
darah merupakan metabolit penting bagi otak. Peningkatan gula darah juga
seringkali berhubungan dengan peningkatan resiko kerusakan otak pada
pasien dengan iskemia dan perdarahan otak, hal ini mungkin berhubungan
dengan peningkatan produksi laktat yang terjadi.
Elektrolit
Pasien dengan hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme memiliki frekuensi
stroke yang cukup tinggi, hal ini berhubungan dengan efek vascular dan
platelet dari kalsium. Kemudian rendahnya magnesium juga memiliki efek
yang mirip dengan hiperkalsemia. Pengukuran BUN dan elektrolit penting
untuk menentukan apakah ada dehidrasi atau ketidakseimbangan elektrolit.
Dehidrasi dapat menurunkan volume darah, sehingga menurunkan aliran
darah.
33
Radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi pada pasien dengan klinis defisit neurologis
akut dan suspek stroke iskemia adalah untuk mengeksklusi stroke perdarahan serta
mengkonfirmasi stroke iskemik dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain yang
menyerupai stroke. Tujuan lainnya adalah untuk menentukan apakah jaringan otak
masih layak dan masih bisa mendapatkan terapi reperfusi, serta menentukan lokasi
oklusi vaskular dan kapan terapi intervensi dapat dipertimbangkan.14
Non-contrast CT Scan menjadi pilihan imaging pertama yang dilakukan pada
pasien stroke akut karena harganya yang lebih terjangkau daripada MRI. CT Scan
sangat efektif untuk melihat adanya perdarahan intraserebral, namun kurang sensitif
pada stroke iskemik akut.12 Dalam 6 jam pertama dari onset, CT Scan bisa saja
mempelihatkan hasil yang normal atau bisa memperlihatkan lesi densitas rendah. CT
Scan generasi yang lebih baru memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk
mendeteksi iskemik akut pada onset awal. Setelah 6-12 jam, umumnya CT Scan
sudah memperlihatkan gambaran yang lebih jelas. Secara umum, gambaran yang
dapat ditemukan pada pasien iskemia akut adalah intravascular thrombus dan edema
otak. Trombus intravaskuler memperlihatkan gambaran hyperattenuating/hiperdense,
sedangkan edema otak akan memperlihatkan gambaran penipisan sulkus, hilangnya
batas substansia alba dan grisea, serta hipondensitas pada parenkim.1,7
34
CT Angiografi dapat dilakukan untuk mengindentifikasi lokasi oklusi arterial
pada pasien stroke iskemik akut, dengan tingkat keakuratan yang cukup sama dengan
Digital Subtractive Angiography (DSA) dan mungkin lebih baik daripada MR
Angiography.12 Modalitas lain yang bisa digunakkan untuk mendeteksi iskemia otak
adalah MRI. Namun harganya lebih mahal dan terbatas di beberapa tempat saja. MRI
lebih sensitif dibandingkan CT Scan dalam mendeteksi perubahan awal pada
iskemik akut. Diffusion-weighted imaging (DWI) sangat sensitif untuk mendeteksi
infark otak akut karena dapat mendeteksi pergeseran cairan dari ekstraseluler ke
intraseluler pada edema
sitotoksik, dalam beberapa menit setelah onset stroke.7
Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Selain itu dapat
mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.15
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum16
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien
dengan defisit neurologis yang nyata. Terapi oksigen diberikan pada pasien
hipoksia. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas. Intubasi ETT (Endo
Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien
dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang
35
tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka
dianjurkan dilakukan
36
trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa). Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah
sistolik
<120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat
diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg. Pemantauan
jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah
serangan stroke iskernik. Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera
atasi (konsultasi Kardiologi). Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari
penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan saline normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus
dikoreksi
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada
hari-hari pertama setelah serangan stroke. Penatalaksanaan penderita dengan
peningkatan tekanan intrakranial meliputi: tinggikan posisi kepala 20o – 30o,
posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular. Hindari pemberian
cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari hipertermia, osmoterapi atas indikasi
dengan menggunakan Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2
kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Kalau perlu berikan furosemide
dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
d. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
e. Pengendalian Suhu Tubuh
37
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika
dan diatasi penyebabnya
Terapi Khusus16
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Akut
Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik
maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik
(TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien
stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah
diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg. Obat antihipertensi yang
digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem
intravena
Terapi Trombolisis
Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari
lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik
merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam
pemberian intraarterial). Terapi trombolisis rTPA dapat diberikana kepada pasien
dengan usia > 18tahun, dengan diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang
jelas, serta tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT Scan. Sedangkan kriteria
eksklusi dari terapi ini adalah pasien dengan usia tua (>80 tahun), terdapat gambaran
perdarahan intrakranial, riwayat trauma kepala/stroke 3 bulan terakhir, kejang pada
38
saat onset stroke, riwayat trauma/perdarahan/pembedahan mayor 2 minggu
sebelumnya,
39
jumlah platelet <100.000/mm3, wanita hamil, serta tidak mengonsumsi antikoagulan
oral.
Secara umum, pemberian antikoagulan seperti heparin, LMWH atau heparinoid
setelah stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut dengan
risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat arteri karotis
sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar
>50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang
luas.
Pemberian antiplatelet yaitu aspirin dengan dosis awal 325 dalam 24-48 jam
setelah awitan dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Namun aspirin tidak boleh
digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian
rTPA intravena. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
Pemberian Neuroprotektor
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin sampai saat ini masih
memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut
dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg
selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in
Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI
secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit
pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa
perbaikan motorik, score MRS dan Barthel index.
41
menyebabkan kematian. Komplikasi lain yang dapat terjadi di minggu-minggu awal
antara lain pneumonia, infeksi saluran kencing, plebotrombosis, perdarahan
gastrointestinal, osteopenia serta depresi. Komplikasi tersebut bisa saja berlanjut
selama masa pemulihan dan ketika pasien sudah pulang ke rumah.7
Penurunan fungsi neurologis, termasuk penurunan tingkat kesadaran atau progresi
gejala neurologis fokal, dapat muncul pada 25% pasien stroke. Biasanya perburukan
tersebut muncul selama 24-72 jam pertama, dan lebih jarang terjadi pada onset
setelahnya. Perburukan dari iskemia otak dapat terjadi pada pasien dengan oklusi
arteri ekstrakranial dan intrakranial besar dan pada pasien dengan infark lacunar. Pada
pasien stroke iskemik, biasanya proses terjadinya iskemia otak berhubungan dengan
penyebaran trombus, emboli serta kegagalan sirkulasi kolateral.7
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkat keparahan stroke dan lokasi serta
luas lesi. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Selain itu, prognosis pasien yang
lebih muda lebih baik dibandingkan pasien tua/lansia. Faktor resiko stroke seperti
hipertensi, hyperlipidemia, penyakit jantung memperburuk prognosis prognosis pasien
serta meningkatkan resiko terjadi stroke berulang.
XI. PENCEGAHAN
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun
kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan adalah:32
⚫ Mengatur pola makan yang sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan
risiko terkena serangan stroke, sebaliknya risiko konsumsi makanan rendah
lemak dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke.
⚫ Melakukan olah raga yang teratur
Melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobik (jalan cepat,
42
bersepeda, berenang, dll) secara teratur akan dapat menurunkan tekanan
darah, memperbaiki kontrol diabetes, memperbaiki kebiasaan makan,
menurunkan berat badan dan meningktkan kadar kolesterol HDL.
⚫ Menghentikan rokok
⚫ Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat seperti heroin, kokain, fenilpropanolamin, dan
konsumsi alkohol (alcohol abuse) akan menyebabkan tekanan darah
menigkat, menyebabkan terjadinya stroke hemoragik.
⚫ Memelihara berat badan yang layak
Obesitas memudahkan terjadinya penyakit jantung, stroke dan DM.
Angka obesitas pada anak-anak dan dewasa muda pada dekade terakhir ini
menglami peningkatan. Dengan demikian, angka kejadian stroke dan
penyakit jantung pada usia muda meningkat. Obesitas dapat dicegah dengan
mengkonsumsi makanan sehat dan melakukan olahraga teratur.
Penurunan berat badan sebaiknya dilakukan dengan target body mass
index (BMI) <25 kg/m2, garis lingkar pinggang <80 cm untuk wanita dan
<90 cm untuk laki-laki.
⚫ Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
Pemakaian kontrasepsi oral terutama pada wanita perokok atau disertai
dengan faktor risiko lain atau pernah mengalami kejadian tromboemboli
sebelumnya, mempunyai resiko tinggi mendapat serangan stroke. Oleh
karena itu, pemakaian kontrasepsi oral sebaiknya dihentikan dan mencari
alternatif lain untuk KB (Keluarga Berencana).
⚫ Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
⚫ Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
⚫ Pemakaian antiplatelet
Pemakaian aspirin untuk pencegahan kejadian kardiovaskuler, termasuk
stroke, direkomendasikan pada seseorang dengan risiko cukup tinggi
dibanding dengan risiko pengobatan, dengan nilai risiko kejadian dalam 10
43
tahun ke depan sebesar 6% sampai 10%
44
BAB III
LAPORAN KASUS
Data Pasien
Nama : Tn. J
Usia : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cantung, Kab. Kotabaru
Pendidikan terakhir : SLTP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Kristen
No. RM : 16.59.22
Tanggal Masuk : 14 Januari 2022
Tanggal Keluar : 21 Februari 2020
A. Anamnesa Pasien
1. Keluhan utama: Kelemahan tubuh sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kelemahan tubuh sebelah kiri sejak sore pukul 17.00
WITA. Pasien terjatuh dijalan, kepala membentur aspal. Tiba-tiba pasien
merasa lemas, pandangan gelap, serta pusing. Lalu pasien merasa separuh
badannya lemah, sehingga harus dipapah. Tidak ada penurunan kesadaran.
Nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), kejang (-). Pasien dikatakan bicaranya
menjadi tidak jelas/pelo
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat keluhan serupa pada bulan April 2018. Pasien
saat itu mengalami kelemahan tubuh sebelah kiri. Setelah pulang dari RS,
pasien dikatakan bisa beraktivitas seperti biasa, namun dibantu tongkat. Pasien
kontrol
45
post stroke sebanyak 3x, namun setelah itu tidak kontrol lagi karena dikatakan
tidak ada kendaraan untuk mengantar pasien kontrol.
Riwayat Hipertensi diketahui sejak 2 tahun SMRS, waktu masuk RS.
Riwayat Diabetes Melitus sejak 2 tahun SMRS. Obat hipertensi dan diabetes
melitus diminum hanya setelah pasien keluar dari Rumah Sakit bulan April
2018. Setelah obat habis, pasien dikatakan tidak meminum obat lagi.
4. Riwayat keluarga
Ayah pasien dikatakan memiliki riwayat HT dan stroke
5. Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Sejak sakit bulan April 2018, pasien
sudah tidak bekerja lagi. Riwayat merokok (-), konsumsi alkohol (-).
B. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
- Tanda vital
TD : 130/90 mmHg
HR : 64x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7°𝐶
46
- Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi intercostal (-/-),
penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-/-) , tidak teraba massa, vokal fremitus dextra-
sinistra sama.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/- , murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Soepel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, ballottement (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) N
- Ekstremitas : Akral hangat, nadi kuat, oedem tungkai (-)
C. Pemeriksaan
Neurologis Nervus
Kranialis
- N. I (olfaktorius) : tidak dievaluasi
- N. II (optikus) : tidak dievaluasi
- N. III (oculomotor) :
ptosis (-), gerak bola mata (+) normal ke segala arah, pupil isokor
3mm/3mm, reflek cahaya +/+
- N. IV (troklearis) : gerak bola mata (+) normal
- N. V (trigeminus) : kekuatan mengunyah/menggigit normal
- N. VI (abdusen) : gerak bola mata normal ke arah lateral (+)
- N. VII (fasialis) :
kerutan dahi, mengangkat alis dbn, bibir asimetris
- N. VIII (vestibulo-koklearis) : tidak dievaluasi
47
- N. IX (glosofaringeus) : tidak dievaluasi
- N. X (vagus) : tidak dievaluasi
- N. XI (aksesorius) : tidak dievaluasi
- N. XII (hipoglosus) : lidah asimetris, artikulasi terganggu (disartria)
Fungsi Motorik
Kekuatan Otot 5555 2222
5555 2222
Tonus N N
N N
Atropi - -
- -
Klonus -/-
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk :-
Kernig sign :-
Brudzinski 1 :-
Brudzinski 2 :-
48
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 14/01/2022)
49
Trigliserida 152 Up to – 150 mg/dl
HDL-C 67,0 35 mg/dl
LDL-C 141,6 Up to – 160 mg/dl
Gula Darah Puasa 351 70 – 100 mg/dl
Gula Darah 2 jam PP 400 < 140 mg/dl
HbA1C >12,5 2–6%
Urine
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Ph 6,0 4,5 – 8,0
Protein Positif 2 Negatif
Reduksi Positif 4 Negatif
Jamur Positif 1 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit 50 – 70 0 – 5 / LPB
Eritrosit 5–7 0 – 3 / LPB
Kristal Ca Oksalat : Positif Negatif
Silinder 1 Granula Halus : 0 - 1 Negatif
Silinder 2 Granula Kasar : 0 - 1 Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
50
EKG
CT-Scan
Infark pada sentrium semiovale kanan kiri, corona radiata kanan dan cerebellum kiri
E. Diagnosa
Diagnosa klinis : hemiparesis sinistra, hipertensi, diabetes melitus tipe 2
51
Diagnosa topik : infark sentrum semiovale dextra sinistra, corona radiata dextra,
cerebellum sinistra
Diagnosa etiologi : Stroke infark (second attack)
F. Penatalaksanaa
n IGD
- O2 NK 2-4 lpm
- IVFD Nacl 0,9% 20tpm
- Inj. Citicolin 500 mg
- Novorapid 3 x 10 IU
- Amlodipin 1x10mg
- ASA
80mg
Rawat Inap
G. FOLLOW UP
20 Februari 2020 21 februari 2020
Hemiparese sinistra
O KU : sedang KU : membaik
TD : 140/100 TD : 130/90
HR : 90x/i HR : 84x/i
52
RR : 24x/i RR : 26x/i
T : 36,8 C T : 36,5 C
Motorik : Motorik :
Hipertensi Hipertensi
Hiperglikemia Dislipidemia
G2PP, HbA1c
53
BAB IV
PEMBAHASAN
56
perdarahan.
Neuroprotektor berupa citicoline 2 x 500 mg juga diberikan selama perawatan.
Meskipun neuroprokector tidak memberikan hasil yang signifikan, namun beberapa
studi masih memperlihatkan bahwa pemberian citicoline dapat memberikan manfaat
pada stroke akut berupa perbaikan motorik, score MRS (untuk mengukur derajat
disabilitas) dan Barthel index (mengukur kemandirian fungsional).
Terapi lain yang diberikan ke pasien merupakan antihipertensi berupa candesartan
16 mg dan amlodipine 10 mg. Pada pasien stroke akut (onset hingga 72 jam),
antihipertensi intravena (bukan oral) baru boleh diberikan jika tekanan darah diatas
220/120 mmHg, dengan penurunan MAP 15-25%, tidak boleh melebihi 25%.
Penurunan tekanan darah yang terlalu drastis akan membuat iskemik yang lebih
parah, terutama pada kasus oklusi arteri intracranial atau oklusi karotis ekstrakranial.
Peningkatan tekanan darah pada stroke akut merupakan salah satu reaksi protektif,
untuk meningkatkan perfusi serebral. Oleh sebab itu, ketika kita menurunkan tekanan
darah tersebut, iskemia yang terjadi bisa menjadi lebih parah. Namun pada kasus ini,
pasien sudah melewati masa akut stroke, oleh sebab itu terapi antihipertensi perlu
diberikan agar target tekanan darah <140/90 mmHg.
Pasien juga mendapat terapi untuk mengatasi hiperglikemi dan hiperkolesterol,
dengan menggunakan insulin Novorapid 3 x 14 IU serta simvastatin 20 mg.
Tujuannya adalah untuk mengontrol faktor resiko agar tidak terjadi stroke berulang,
meningat pasien ini sudah mengalami stroke yang kedua kali (second attack). Perlu
pencegahan yang lebih lagi agar kejadian stroke tidak berulang dan semakin
bertambah parah.
57
DAFTAR PUSTAKA
59
Neurologic Clinics. 2008;26(4):871-895.
11 Seshari S, Debette S. Risk Factors for Cerebrovascular Disease and
Stroke. New York: Oxford University Press; 2016.
12 Brainin M, Heiss W. Textbook of stroke medicine. 3rd ed. United
Kingdom: Cambridge University Press; 2010.
13 Hankey G, Macleod M, Gorelick P, Chen C, Caprio F, Mattle H. Warlow's
stroke. 4th ed. Oxford: John Wiley & Sons Ltd; 2019.
14 Vo K, Lin W, Lee J, Ford A. Evidence-based neuroimaging in acute
ischemic stroke. Neuroimaging Clinics of North America. 2003;13(2):167-
183.
15 Powers W, Ackerson T, Bambakidis N, Brown M, Hoh B, Leslie-Mazwi T et al.
Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke:
2019 Update to the 2018 Guidelines for the Early Management of Acute
Ischemic Stroke. American Heart Association, Inc. 2019;50:344-418.
16 Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia; 2011.
60