Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSI PADA


STROKE ISKEMIK

Disusun Oleh :
Febrian Muhammad
1820221114

Pembimbing:
dr. Andi Darwis, Sp.Rad(K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 13 JANUARI 2020 – 14 JANUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Radiologi Diagnostik dan Intervensi pada Stroke Iskemik

Diajukan untuk memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik di bagian Radiologi


Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta

Disusun oleh :
Febrian Muhammad
1820221114

Telah dipresentasikan pada


Jakarta, Februari 2020

Pembimbing

dr. Andi Darwis, Sp.Rad(K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Radiologi Diagnostik dan Intervensi pada Stroke Iskemik”. Referat ini
disusun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik bagian Radiologi di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Andi Darwis, Sp.Rad(K)
selaku pembimbing referat yang telah membimbing dan membantu saya dalam
melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima untuk
melengkapi dan menyempurnakan referat ini. Akhir kata, saya berharap referat
ini dapat berguna bagi rekan-rekan semua.

Jakarta, Februari 2020

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Stroke sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia.


Stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak, dengan gejala klinis baik fokal maupun global yang dapat
menyebabkan kematian. Stroke terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu stroke iskemik
dan stroke hemoragik.
Stroke menempati urutan ketiga penyebab utama kematian dan urutan
pertama penyebab disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas
yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan
stroke iskemik. Hanya 20% pasien yang mendapatkan kembali kemandirian
fungsionalnya. Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu
500.000 pertahunnya. Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian
utama pada masyarakat Indonesia diatas usia lima puluh tahun, yaitu sebanyak
15,4% dari seluruh kematian, terdapat 99/100,000 kematian dan 685/100,000
kecacatan.
Pemeriksaan radiologi sampai saat ini masih menjadi diagnosis utama
untuk menegakan stroke, kecuali di daerah yang tidak terdapat fasilitas
kesehatan yang memadai anamnesis dan sistem skoring menjadi cara diagnosis
utama. Oleh karena itu pentingnya pengetahuan mengenai radiologi pada
stroke penting dipahami. Referat ini berisi tentang bagaimana cara
mendiagnosis stroke melalui pemeriksaan radiologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Stroke merupakan sindrom yang ditandai dengan gejala atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat berupa gangguan fungsional otak fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain selain penyebab vaskuler. Kondisi ini juga disebut
cerebrovascular accident (CVA) atau apoplexy. Stroke akut merupakan
serangan yang terjadi pada 24 jam pertama.
Stroke dibagi menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan etiologinya yaitu
stroke iskemik (non-hemoragik) dan stroke hemoragik. Stroke iskemik terjadi
akibat obstruksi arteri serebral sedangkan ruptur spontan pembuluh darah otak
atau aneurisma maupun trauma dapat menyebabkan stroke hemoragik.

II.2 Pembuluh Darah Otak


Menurut American Heart Association (AHA) dalam Family Guide to
Stroke, otak adalah organ manusia yang kompleks. Setiap bagian dari otak
mempunyai fungsi khusus. Bila bagian-bagian dari otak ini terganggu,
misalnya suplai darah berkurang, maka tugasnya pun dapat terganggu. Otak
juga terdiri dari 3 lapisan penting (meninges), yaitu duramater, arakhnoid, dan
pia mater (Gambar 1).

Gambar 1. Meninges

Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2,5% dari berat
badan seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20% dari
kebutuhan badan seluruhnya. Oksigen ini diperoleh dari darah. Pada keadaan
normal, darah yang mengalir ke otak (CBF = cerebro blood flow) adalah 50-60
ml/100 g otak/menit.

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri karotis interna,
setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga
tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum,
mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya
bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak,
sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian
lobus temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan
kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui
kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium
melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang
arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya
bersatu arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri,
pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang:
arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian
medial lobus temporalis. Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang
menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-
cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling
berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya.
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3
sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu: Sirkulus
Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri
media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua
arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri
komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan
posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah
orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri
maksilaris eksterna. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis
ekterna (pembuluh darah ekstrakranial). Selain itu masih terdapat lagi
hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga menurut Buskrik tak
ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena
interna, yang mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan
kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan
mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales,
dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.

Gambar 2. Sirkulus

II.3 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan
penyebab kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di negara
berkembang. Pada masyarakat barat, 87% penderita mengalami stroke iskemik
dan 13% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring
pertambahan usia.
Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian utama pada
masyarakat Indonesia diatas usia lima puluh tahun, yaitu sebanyak 15,4% dari
seluruh kematian, terdapat 99/100,000 kematian dan 685/100,000 kecacatan.
Insidensi stroke sebanyak 25% lebih tinggi pada pria dibanding wanita. 1 dari 5
stroke bersifat fatal, stroke menyebabkan sebesar 7% kematian pada pria, dan
10% pada wanita. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat
dari pada stroke iskemik.

II.4 Etiologi
Stroke iskemik terjadi akibat adanya trombus (50%), embolus (25%)
atau dan oklusi mikroarteri atau “lacunar stroke” (25%). Trombus merupakan
gumpalan darah pada arteri di otak yang memblok aliran darah ke otak.
Trombus biasanya terbentuk karena kerusakan dinding pembuluh darah karena
plak. Embolus merupakan gumpalan darah yang terbentuk di sirkulasi tubuh
(biasanya dari jantung atau arteri pada leher). Gumpalan ini akan beredar dan
dapat memblok pembuluh darah di otak.
Aterosklerosis merupakan penyebab trombus tersering dari stroke
iskemik, presentasenya mencapai 80% dari semua penyebab stroke iskemik.
Penyebab embolus tersering adalah pasien dengan fibrilasi atrium (80%), selain
itu dapat juga disebabkan infark miokard, prosthetic valves, penyakit jantung
rematik dan aterom arteri besar. Embolus dapat berupa multifocal dan
menyebabkan perdarahan minimal di sekitar obstruksi. Menurut WHO (2010),
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stroke, ada yang dapat
dimodifikasi dan ada yang tidak dapat dimodifikasi (Tabel 1).

Tabel 1. Faktor Risiko Stroke

Modifikasi Tidak bisa dimodifikasi


Hiperkolesterolemia Usia
Hipertensi Jenis kelamin
Diabetes melitus Ras
Penyakit jantung Etnis
Riwayat stroke Genetik
Stenosis karotis Riwayat migrain
Gaya hidup: alkohol, Displasia fibromuscular
merokok, zat psikoaktif, Herediter: riwayat keluarga dengan
aktivitas rendah stroke atau TIA
Obesitas
Oral kontrasepsi

II.5 Klasifikasi
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas:
1. Transient Ischaemic Attack (TIA): defisit neurologis yang terjadi
kurang dari 24 jam (5-20 menit).
2. Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND): defisit neurologis
membaik kurang dari 1 minggu
3. Stroke In Evolution (SIE)/Progressing Stroke
4. Completed Stroke.

II.6 Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 2) yaitu arteria
karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya.
Oklusi dari arteri serebral menyebabkan penurunan aliran darah dan iskemia.
Misalnya pada aterosklerosis, plak aterom pada arteri serebral akan memicu
agregasi trombosit dan koagulasi fibrin untuk membentuk thrombus yang dapat
menyebabkan obstruksi. Jika itu terjadi hanya beberapa detik atau satu menit,
penyembuhan dapat berlangsung cepat dan sempurna. Infark atau kematian sel
dapat terjadi jika aliran darah terputus dalam 15-30 menit, hal imi yang
menyebabkan kerusakan irreversible bahkan setelah aliran darah membaik. Hal
ini yang disebut sebagai “core”, di sekelilingnya terdapat jaringan yang secara
fungsionsl menurun karena sirkulasi berkurang atau disebut “ischaemic
penumbra”. Jaringan ini bersifat reversible atau dapat sembuh kembali jika
aliran darah diperbaiki.
Gambar 3. Ischaemic Penumbra

Iskemia menyebabkan perubahan struktur dari pembuluh darah dan


parenkim, aliran tidak akan membaik jika obstruksi tidak diatasi (“no-reflow
phenomenon”). Edema dapat muncul pada semua jaringan nekrotik, pada area
nekrosis yang lebih luas edema dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial yang mengakibtakan herniasi pada otak. Perlu diingat bahwa oklusi
di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi
oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi
kolateral yang memadai ke daerah tersebut.

II.7 Gejala Klinis


Gejala neurologis dan tanda stroke iskemik biasanya muncul tiba-tiba,
tapi pada kasus yang jarang dapat juga menjadi progresif (stroke-in-progress).
Tanda dan gejala bervariasi tergantung dari area vaskular yang mengalami
oklusi. Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi kelemahan
anggota gerak (hemiparese, monoparese, atau tetraparese), hilangnya
penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo,
afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Kejang terjadi pada 3-5% kasus,
lebih sering pada kondisi embolus dibandingkan thrombus. Proporsi yang sama
pada pasien dapat berkembang menjadi epilepsi dari 6 sampai 18 bulan setelah
stroke. Epilepsi idiopatik pada serangan awal mungkin merupakan hasil dari
infark di daerah kortikal. Meskipun gejala- gejala tersebut dapat muncul sendiri
namun umumnya muncul secara bersamaan.
Jika infark total sirkulasi anterior (karotis) dapat terjadi hemiplegia
(kerusakan pada bagian atas traktus kortikospinal), hemianopia (kerusakan
pada radiasio optikus), defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan),
hilangnya fungsi visuospasial (hemisfer nondominan). Infark parsial pada
sirkulasi anterior dapat menyebabkan hemiplegia dan hemianopia, hanya
defisit kortikal saja. Infark lacunar biasanya terjadi karena penyakit intrinsik
(lipohialinosis) pada arteri kecil profunda menyebabkan sindrom yang
karakteristik. Tanda-tanda lesi batang otak dan hemianopia homonym dapat
terjadi pada infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar).

II.8 Diagnosis
Diagnosis pasien dengan stroke iskemik akut harus dilakukan secepat
mungkin. Hal ini sangat penting karena berguna untuk menentukan terapi yang
efektif selanjutnya. Riwayat gejala neurologis bersamaan dengan brain
imaging, memberikan informasi penting mengenai etiologi dan kontraindikasi
untuk terapi agen trombolitik. Brain imaging wajib dilakukan untuk menjadi
pedoman tindakan intervensi.
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami
defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat
kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang spesifik untuk membedakan
stroke hemoragik dan iskemik meskipun gejala seperti muntah, sakit kepala
dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA)
memperkenalkan algoritma “FAST” (Facial droop, Arm weakness, Slurred
speech, Time of onset) dapat mempermudah untuk mengenali gejala stroke atau
TIA sebelum sampai ke rumah sakit. Metode lain yang dapat digunakan adalah
6S atau BEFAST. Untuk diagnosis yang lebih lengkap dapat menggunakan
The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS). Skoring ini digunakan
untuk menilai derajat stroke dan sebagai indikator prognosis (Tabel 1). NIHSS
berisi penilaian mengenai kognitif, emosi, fungsi motorik dan sensorik. Jumlah
skor yang didapatkan akan diakumulasi dan digolongkan kedalam 3 (tiga)
derajat yaitu ringan (<5), sedang (5-10), dan berat (>10).

Tabel 2. The NIH Stroke Scale (2012)


Item Deskripsi Poin

1a Level of consciousness – general 3


1b Level of consciousness – questions 2
1c Level of consciousness – commands 2
2 Gaze 2
3 Visual fields 3
4 Facial palsy 3
5 Motor – arm 8
6 Motor – legs 8
7 Ataxia 2
8 Sensory 2
9 Language (dysphasia) 3
10 Dysarthria 2
11 Inattention (neglect) 2
Total 42

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan beratnya defisit


neurologi yang dialami dan membedakan stroke dengan kelainan lain yang
menyerupai stroke. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala
dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi meninges.
Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor risiko stroke seperti obesitas,
hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain.
Algoritma skor Gajah Mada merupakan suatu cara klinik untuk
membedakan stroke hemoragik dengan iskemik. Penurunan kesadaran, nyeri
kepala, dan refleks babinsky adalah variabel-variabel yang digunakan dalam
penilaian.
Gambar 4. Algoritma Stroke Gajah Mada

Siriraj Stroke Score digunakan sebagai metode dalam mendiagnosis


stroke akut. Skor ini pertama kali dikembangkan oleh Siriraj hospital, Thailand

( 2,5xS ) + ( 2xM ) + ( 2xN ) + ( 0,1xD ) – ( 3xA ) – 12

Keterangan:
S: kesadaran 0 = kompos mentis
1 = somnolen
2 = stupor/koma
M: muntah 0 = tidak ada
1 = ada
D: tekanan diastolik
A: ateroma 0 = tidak ada
1 = salah satu atau lebih (DM, angina, penyakit vaskular

Skor dengan nilai >1 menunjukkan perdarahan intraserebral


supratentorial, sementara itu skor <-1 menunjukkan adanya stroke infark. Skor
diantara -1 dan 1 menandakan ragu-ragu dan membutuhkan pemeriksaan CT
scan.
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat
menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti
anemia.
Computerised tomography (CT) adalah metode pencitraan yang
sangat berguna untuk mengindentifikasi atau membedakan stroke hemoragik
dengan iskemik. Walaupun dalam beberapa jam pertama stroke iskemik, CT
mungkin hanya menunjukan perubahan kecil atau bahkan tidak ada. Metode
lain seperti magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang
lebih baik untuk stroke iskemik dan TIA. Namun MRI belum tersedia di
seluruh fasilitas kesehatan dan membutuhkan waktu untuk proses
pengerjaannya.

II.9 Tatalaksana
Faktor utama dalam manajemen stroke iskemik akut adalah waktu.
Pasien dengan stroke iskemik kehilangan 190.000 sel otak dalam setiap menit,
sekitar 14.000.000.000 koneksi saraf rusak setiap menitnya dan 12 km serabut
saraf hilang setiap menitnya. Terdapat dua modalitas terapi untuk stroke
iskemik yaitu intravenous thrombolysis (IVT) dan mechanical thrombectomy.
Setelah diagnosis ditegakkan klinisi harus melakukan beberapa langkah yaitu
pastikan pasien dalam keadaan stabil, evaluasi penyebab reversible dari gejala
neurologis, membedakan jenis stroke (iskemik atau hemoragik), dan
melakukan terapi terhadap stroke.
Stabilitas pasien harus diperhatikan sebelum memulai manajemen
stroke. Airway, breathing, dan circulation (ABC) harus dievaluasi seperti pada
setiap kasus emergensi. Stroke yang luas, perdarahan intrakranial, stroke yang
melibatkan sirkulasi posterior dapat menimbulkan kehilangan kesadaran dan
kadang distres pernafasan. Hipoksia dapat terjadi pada semua kasus dan
intubasi dapat dipertimbangkan jika jalan napas terganggu atau pasien
membutuhkan ventilator. Beberapa pemeriksaan seperti EKG, darah lengkap,
troponin, PT-APTT dapat dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan
kondisi tertentu seperti riwayat gangguan perdarahan, konsumsi antikoagulan
atau memiliki riwayat trombositopenia.
AHA/ASA merekomendasikan infus intravena tPA sebagai terapi
utama untuk pasien stroke terutama dalam 3 jam pertama gejala. Terapi ini
dapat diperpanjang sampai 4,5 jam. Meskipun terapi ini efektif, IV tPA tidak
dapat digunakan lebih dari 4,5 jam dan efikasi terbatas pada pasien dengan
oklusi yang luas. Kini telah berkembang metode intervensi endovascular
seperti intra-arterial tPA, trombektomi dan stent retriever technology.
Trombektomi merupakan intervensi yang bertujuan membersihkan thrombus
dengan kateter aspirasi atau mechanical thrombectomy.
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dilakukan antara lain
yaitu mengendalikan faktor risiko dan rehabilitasi medik sedini mungkin
dengan tujuan memperbaiki fungsi motorik, mencegah kontraktur sendi agar
pasien dapat mandiri, serta rehabilitasi sosial.

II. 10 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,
disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis
tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar
aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut
harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG,
saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24
jam setelah serangan stroke.
Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional stroke
pada infark lakuner cukup baik karena tingkat ketergantungan dalam activity
daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan meningkat sedikit (20
%) sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000) mengatakan bahwa sekitar
30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam
beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan
fungsi neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut
waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling
cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan
pasca stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan
yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur
diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality
of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang
setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan
dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit
arteri karotis yang menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih
baik dibandingkan pasien dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif
pasien dalam penelitian ini sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat
menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.
BAB III
PERAN RADIOLOGI TERHADAP STROKE

Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang


yang sangat penting pada pasien stroke karena dapat memastikan jenis stroke,
mengidentifikasi penyebab utama dan penyakit terkait lainnya, menentukan
manajemen terapi, serta sebagai evaluasi dalam pengobatan. Secara umum
pemeriksaan radiologi pada stroke dibagi menjadi 2 (dua) yaitu radiologi
diagnostik dan radiologi intervensi.
III. 1 Radiologi Diagnostik
Radiologi diagnostik merupakan pemeriksaan radiologi yang
bertujuan untuk membantu klinisi untuk melihat atau mengamati struktur
yang ada di dalam tubuh dalam mendiagnosis suatu kelainan. Radiologi
diagnostik yang dilakukan pada stroke iskemik seperti CT scan, MRI,
digital substraction angiography (DSA), CT angiography, MR
angiography, dan transcranial color doppler.
III. 1. 1 CT Scan
CT scan adalah suatu pemeriksaan pencitraan menggunakan
sinar-X yang dapat mengevaluasi kondisi otak. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat serta peka dalam membedakan jenis stroke
yang dialami pasien. Pengetahuan mengenai tanda-tanda klasik
iskemia awal pada CT tanpa kontras diperlukan sebagai modalitas
awal pada pasien stroke. Pemeriksaan CT yang modern harus
mencakup CT perfusi dan CT angiografi.
CT tanpa kontras harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien
stroke. Pada stadium awal sampai 6 jam pertama, tak tampak kelainan
pada CT scan. Kadang kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran
yang jelas. Sesudah 4 hari tampak gambaran lesi hipodens (warna
hitam), batas tidak tegas. Pada fase lanjut, densitas akan semakin
menurun, batas juga akan semakin tegas, dan bentuk semakin sesuai
dengan area arteri yang tersumbat. Sehingga pada fase akhir, terlihat
sebagai daerah hipodens dengan batas tegas.

Gambar
5. Hasil
CT Scan Tanpa Kontras Pasien Normal dengan Stroke Iskemik

Penelitian dari Lev et al menunjukkan bahwa CT kepala tanpa


kontras dengan menggunakan pengaturan window standar memiliki
sensitifitas dan spesifisitas sebanyak 57% dan 100% (width 80 HU;
center 20 HU). Sensitifitas dapat meningkat sampai 71% dengan
perubahan window menjadi width 8 HU dan center 32 HU, tanpa
penurunan spesifisitas. Oleh karena itu deteksi awal dari stroke
iskemik aku dapat lebih baik pada gambaran CT kepala tanpa kontras
dengan pengaturan window untuk meningkatkan kontras antara
jaringan yang normal dan jaringan yang mengalami edema.
CT perfusi merupakan pemeriksaan lanjutan pada pasien stroke
iskemik. Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan perbedaan
jaringan otak yang mengalami kerusak reversible (penumbra) dan
irreversible (core) yang nantinya penting untuk menentukan terapi
yang tepat. Terdapat 3 parameter yang dipakai dalam menilai hasil CT
perfusi yaitu cerebral blood volume (CBV), cerebral blood flow
(CBF), mean transit time (MTT), dan time to peak enhancement
(TTP).
Gambar 6. A. CT scan tanpa kontras tidak menunjukan adanya infark
akut, B-D. CT perfusi menunjukkan CBF (B), CBV (C), dan MTT (D)
menggambarkan area kecocokan yang besar dari menurunnya CBV
dan MTT (tanda panah) mengindikasikan sebagai pusat infark di
daerah arteri cerebri media kiri.

CT perfusi dapat membantu membedakan antara daerah


penumbra dengan jaringan yang mengalami infark pada pasien stroke
iskemik akut. Diagnosis dari stroke iskemik akut dapat ditegakkan
pada CT perfusi dengan mengidektifikasi dari area penurunan CBF
dan CBV, dan peningkatan MTT dan TTP. Kecocokan pada pemetaan
perfusi CBV dan MTT yang abormal menunjukkan area jaringan otak
yang tidak dapat diselamatkan dan kematian neuron, yang dikenal
sebagai “pusat infark”.
Ketidakcocokan dari area perfusi abnormal yaitu area yang
mengalami pemajangan MTT dan pengurangan CBF, dimana CBV
masih relatif sama menunjukkan area jaringan yang masih dapat
diselamatkan. Pada area yang juga dikenal sebagai “penumbra
iskemik”, penurunan pada CBV hanya terjadi secara ringan. Karena
adanya mekanisme kompensasi serebrovaskuler, banyak pasien masih
dapat mempertahankan CBV di dalam area yang beresiko untuk
iskemik segera setelah awal kejadian. Pasien dengan area
ketidakcocokan CBV-MTT yang besar atau yang meliputi area yang
masih baik merupakan kandidat yang baik untuk terapi reperfusi.
CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri intracranial dan
dengan demikian dapat membantu menentukan letak oklusi,
menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit
aterosklerosis. Informasi ini membantu secara akurat untuk
memprediksi tingkat dan lokasi infark dan sangat berguna dalam
memberikan bimbingan untuk neuroradiologi intervensi sebelum
melakukan trombolisis intraarterial jika tersedia. CT angiografi sangat
penting untuk mendeteksi thrombosis dari sistem vertenrobasiler
karena daerah ini sangat sulit untuk dideteksi oleh nonenhanched CT
dan batang otak sering tidak termasuk dalam cakupan CT perfusi.CT
angiografi dapat membantu mendeteksi adanya filling defect yang
mengisi pembuluh darah yang disebabkan oleh thrombosis arteri besar
dengan sensitivitas 89% dibandingkan dengan angiografi

konvensional.

Gambar 7. CT angiografi stroke akut


Gambar (a) merupakan lanjutan dari nonenhanched CT setelah
36 jam evolusi, tanda panah putih menunjukan otak tengah
hypoattenuating dan tanda panah hitam menunjukan arteri basiler
hyperattenuating. Gambar (b) CT angiografi membantu
mengkonfirmasi filling defect arteri basiler (tanda panah) terkait
dengan pons infark dan obstruksi arteri basiler.

III. 1. 2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI menggunakan gelombang-gelombang magnet daripada x-
ray untuk mencitrakan otak. MRI dapat digunakan untuk membedakan
tumor dengan abses otak, serta menilai adanya perfusi. Gambar-
gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detil daripada CT scan,
namun MRI bukan pemeriksaan awal pada stroke karena
menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk diselesaikan. Beberapa
metode yang dapat dilakukan yaitu MRI konvensional, FLAIR
imaging, diffusion-weighted imaging (DWI), dan perfusion-weighted
imaging (PWI).
Temuan pada MRI konvensional pasien stroke iskemia
(terutama subakut dan kronis) dalam perkembangan infark dapat
dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan yang
terlihat pada CT scan. Pada fase akut terdapat low signal
(hypointense) pada area T1, high signal (hyperintense) pada spin
density dan/atau T2. Diikuti distribusi vaskular. Massa parenkim
berubah. Pada fase sub akut didapatkan low signal pada T1, high
signal pada T2, diikuti distribusi vascular, revaskularisasi dan
rusaknya blood-brain barrier dan fase kronis low signal pada T1, high
signal pada T2, infark yang luas.

Gambar 8. Hasil MRI pada Stroke Iskemik

FLAIR imaging digunakan untuk menguatkan hasil MRI


konvensional T1 dan T2-weighted imaging. FLAIR telah terbukti
lebih sensitif untuk mendeteksi infark bila dibandingkan dengan
pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Pencitraan ini digunakan
dalam evaluasi fase hiperakut stroke (<6 jam setelah timbulnya
gejala).

Gambar 9. Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan


(hari ke-3). A. T2WI, B. FLAIR

Dengan munculnya DWI MRI maka teknologi ini dapat


digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam
setelah onset gejala. DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap
awal atau infark hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap
infark dinyatakan tidak tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan
rutin pada pasien stroke.
Gambar 10. Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam
setelah serangan iskemia)

Jika diperhatikan gambar terlihat T2WI (a), T1WI (b) dan DWI
(c) menunjukkan fokus perubahan sinyal. Pergeseran ringan dan
kompresi anterior horn dari ventrikel lateral kanan terlihat. Infark
lakunarlama terlihat dalam kapsul interna kanan. Studi difusi (c)
menunjukan karakteristik hiperintens yang menyingkirkan
kemungkinan tumor.
Pencitraan perfusi (PWI) menggunakan agen kontras
paramagnetik saat ini lebih banyak digunakan. Gambar yang diperoleh
setelah injeksi bolus dari agen kontras akan mendeteksi perubahan
intensitas gambar saat melewati pembuluh darah kapiler. Meskipun
PWI secara luas dianggap penting untuk triase stroke terapi, harus
disadari bahwa PWI yang dilakukan dengan teknik berbeda dapat
menunjukan volume berbeda pula secara signifikan dari jaringan yang
terkena. Oleh karena itu, perbandingan ukuran lesi pada PWI dengan
DWI mungkin berbeda secara signifikan dengan mengubah metode
perfusi.

Gambar 11. Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri
tengah 12 jam setelah onset
Berdasarkan gambar di atas terlihat pencitraan T2WI (a), DWI
(b) menunjukan perubahan sinyal di area lobus pariettalis kiri (panah).
DWI menggambarkan volume lesi yang lebih baik. Gambar OWI
(c,d).
Teknik lain yang bisa digunakan untuk menggambarkan
pembuluh darah adalah MR angiography (MRA). MRA digunakan
untuk menghasilkan gmbar arteri untuk mengevaluasi adanya stenosis,
oklusi, aneurisma, atau kelainan lainnya. Metode untuk MRA
didasarkan pada aliran darah sehingga dapat membedakan pembuluh
darah dari jaringan statis lainnya. Arus MRA dibagi 2 (dua) yaitu PC-
MRA dan TOF-MRA.

Gambar 12. Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF MRA

Gambar di atas merupakan 3D TOF MRA: rekonstruksi MIP di


aksial (a) dan proyeksi koronal (b) dan rekonstruksi 3D (c)
menunujkan bahwa arteri serebri tidak divisualisasikan dalam setiap
segmen dari seluruh panjang arteri.
III. 1. 3 DSA
Pemeriksaan ini tetap menjadi gold standard untuk
memvisualisasikan anatomi serebrovaskular. Namun, dengan
meningkatnya ketersediaan CTA dan MRA, DSA lebih jarang
digunakan untuk diagnostic murni dan lebih sering untuk intervensi.
Tujuan awal evaluasi angiografi pada pasien dengan stroke iskemia
yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi dan adanya kolateral ke
daerah yang terkena. Selain itu DSA lebih sensitif dibandingkan
dengan metode non-invasif dalam mengidentifikasi penyempitan arteri
di lokasi tertentu, misalnya asal arteri vertebralis dan karotis siphon.
Gambar 13. Gambaran DSA pada stroke iskemik

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) yaitu oklusi pada


arteri serebri media segmen M2 kanan (panah) dan bagian (B) yaitu
reperfusi setelah terapi endovaskular.
III. 1. 4 TCD
TCD secara luas digunakan di beberapa negara untuk
mendeteksi stenosis intracranial yang biasanya disebabkan oleh
penyakit aterosklerosis. Stenosis didentifikasi dengan tingginya
kecepatan/velocity jet yang mayoritas terdeteksi pada arteri serebri
media. Stenosis ringan akan meningkatkan peak velocity yang
seringkalitanpa perubahan lain dari pola doppler. Stenosis sedang
sampai berat menyebabkan peningkatan peak velocity yang lebih
besar, disertai spectral broadening, peningkatan kecepatan diastolic,
dan terbentuk aliran turbulen.
Gambar 14. Stenosis MCA: velocity meningkat dengan “musical
murmur” yang mengindikasikan stenosis berat, pada depth 45 mm
pada MCA kiri

III. 2 Radiologi Intervensi


Radiologi intervensi adalah sub-spesialisasi radiologi yang
memanfaatkan prosedur minimal invasif untuk penegakkan diagnosis dan
tatalaksana penyakit pada hampir semua organ tubuh dengan menggunakan
panduan gambar yang dihasilkan dari alat-alat radiologi (USG, CT Scan, MRI,
Fluoroskopi).
Trombektomi merupakan metode intervensi yang dilakukan untuk
membersihkan thrombus (blood clot) yang memblok aliran darah di otak.
Metode ini dilakukan oleh radiolog intervensi dengan bantuan pencitraan
pembuluh darah berupa angiografi. Trombektomi dapat dilakukan dengan
menggunakan vakum (catheter aspiration thrombectomy), mechanical
thrombectomy, atau menggunakan stent retriever technology.

Gambar 15. Metode


Trombektomi
Gambar 16. Trombektomi dan DSA

Gambar di atas merupakan gambaran DSA sebelum (a) dan selama (b)
dilakukannya mechanical thrombectomy pada oklusi ICA/MCA kiri. Ketika
stent retriever dikembangkan (panah), MCA telah direkanalisasi (b) dan aliran
kembali normal. Stent retriever selanjutnya dilepaskan bersamaan dengan clot,
reperfusi kembali normal (c) atau complete recanalization. Pasien ini setelah
dilakukan tindakan tersebut menjadi sadar dan dapat berjalan serta
penglihatannya membaik.
BAB IV
KESIMPULAN

Stroke masih menjadi kegawatdaruratan neurologi penyebab kematian


tertinggi di dunia. Penyakit ini merupakan penyakit yang bisa dicegah dengan
cara mengendalikan faktor risiko yang ada pada diri pasien. Pengenalan
penyakit ini pada awal serangan sangat penting untuk menentukan pemeriksaan
selanjutnya yang berguna untuk diagnosis. Sampai saat ini pemeriksaan
radiologi masih merupakan gold standar untuk pasien stroke, karena
ketersediannya yang sudah banyak bahkan sampai ke fasilitas kesehatan di
daerah. Skoring pada pasien stroke digunakan sebagai skrining awal atau hanya
dipakai jika fasilitas kesehatan tidak tersedia di tempat tersebut.
Pemeriksaan radiologi terutama pemeriksaan CT scan berperan sangat
penting karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi serta mudah dan
cepat untuk dilakukan. CT scan dapat membedakan tipe stroke (iskemik atau
hemoragik) dan juga membantu menentukan terapi selanjutnya. Pencitraan
lainnya diperlukan jika dibutuhkan gambaran oklusi pada vaskuler. Tindakan
radiologi intervensi dilakukan setelah tidak ditemukan adanya perbaikan
setelah terapi IVT dan didapatkan oklusi yang luas pada pembuluh darah.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute for Health and Care Excellence  Surveillance report 2017


– Stroke and transient ischaemic attach in over 16s: diagnosis and
management (2008) NICE guideline CG68. London: NICE; 2017.

2. Intercollegiate Stroke Working Party  National clinical guideline for


stroke. 5th. London: Royal College of Physicians; 2016.

3. National Institute for Health and Care Excellence  Acute stroke.London:


NICE; 2017. https://pathways.nice.org.uk/pathways/stroke/acute-stroke.
[Accessed 10 August 2017]

4. Barber PA. Demchuk AM. Zhang J. Buchan AM. Validity and reliability of
a quantitative computed tomography score in predicting outcome of
hyperacute stroke before thrombolytic therapy. ASPECTS Study Group.
Alberta Stroke Programme Early CT Score. Lancet. 2000;355:1670–4. 

5. Finlayson O. John V. Yeung R, et al. Interobserver agreement of ASPECT


score distribution for noncontrast CT, CT angiography, and CT perfusion in
acute stroke. Stroke. 2013;44:234–6.

6. Wardlaw JM. Murray V. Berge E. del Zoppo GJ. Thrombolysis for acute
ischaemic stroke. The Cochrane Database Syst Rev. 2014;(7):CD000213.
7. White PM. Bhalla A. Dinsmore J, et al. Standards for providing safe acute
ischaemic stroke thrombectomy services (September 2015) Clin
Radiol. 2017;72(175):e1–175.e9.

8. Menon BK. Qazi E. Nambiar V, et al. Differential effect of baseline CTA


Collaterals on Clinical Outcome in patients enrolled in the IMS-III
trial. Stroke. 2015;46:1239–44.

Anda mungkin juga menyukai