Anda di halaman 1dari 102

CASE REPORT STUDY

BANGSAL NEURO
“STROKE ISKEMIK, HAP dengan SEPSIS DAN STRESS
ULCER ”
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA
Periode 28 Desember – 20 Februari 2021

Oleh:
KELOMPOK I

INDAH SARI NATALIA , S.Farm 3105001

RAMA FERISKA PUTRA, S.Farm 3105009

NAZIVA ANNISA, S.Farm 3105017

MITA WINDIANA, S.Farm 3105023

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum warrahmatullahi wabbarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Bangsal

Neuro mengenai penyakit Stroke Iskemik dan Stress Ulcer yang dilakukan di

Rumah Sakit Otak DR. Drs. M. Hatta Bukittinggi pada tanggal 08 Februari 2021 -

20 Februari 2021. Laporan ini dibuat untuk melengkapi tugas-tugas bagi mahasiswa

Profesi Apoteker Universitas Perintis Indonesia Yayasan Perintis Padang dan

ditulis berdasarkan teori serta hasil pengamatan selama melakukan Praktek Kerja

Profesi Apoteker (PKPA).

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan,

serta masukan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan

laporan studi kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik

dalam segi penyusunan maupun tata bahasanya sehingga penulis berharap saran,

kritikan dan masukannya demi kesempurnaan laporan studi kasus ini. Semoga

laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bukittinggi, Februari 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-


tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke
merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah
dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara
cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah
yang terganggu sebagai hasil dari infark cerebri (stroke iskemik), perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid (Mardjono, 2009)
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena
serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat
ringan maupun berat. Secara umum, dapat dikatakan angka kejadian stroke adalah
200 per 100.000 penduduk. Dalam satu tahun, di antara 100.000 penduduk, maka
200 orang akan menderita stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2012). Pada penelitian
berskala cukup besar yang dilakukan oleh survey ASNA (Asean Neurologic
Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia, pada penderita stroke akut
yang dirawat di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki-
laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak
yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan diatas usia 65 tahun sebanyak
33,5% (Misbach, 2001).
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita
kelumpuhan sebagian atau total. Hanya15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan (Khairunnisa, 2014).
Stroke iskemik terjadi apabila terdapat oklusi atau penyempitan aliran darah
ke otak. Otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai sumber energi agar
fungsinya tetap baik. Di otak sendiri hampir tidak ada cadangan oksigen, dengan
demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Aliran darah
otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada kecepatan konstan antara 50-15
mmHg (Harsono, 2007)
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis (Mumenthaler, 2006)
: 1) Serangan iskemik spintas/Transient Ischemic Attack
2) Defisit neuorologik iskemik sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Defisit (RIND)
3) Stroke progesif (Progessive Stroke/Stroke in evolution)
4) Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent stroke)
Iskemik otak terjadi akibat gangguan aliran darah ke otak, secara patologik
suatu infark dapat terjadi karena trombosis, embolisme, artritis, dan obat-obatan
(Junaidi, 2011). Faktor risiko stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan 3
kemungkinannya untuk dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan (Goldstein,
2006).
Salah satu terapi yang digunakan untuk penderita stroke iskemik adalah
antiplatelet. Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri (Fagan&Hess, 2008). Penggunaan antiplatelet penting
untuk stroke iskemik akut. Pemberian terapi antiplatelet bisa menurunkan 2 angka
kejadian stroke berulang dari 68% menjadi 24% (Karuniawati dkk, 2015). Selain
itu, tekanan darah yang tinggi (sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg)
akan meningkatkan risiko terjadinya rekurensi atau stroke berulang (PERDOSSI,
2011).
Kerasionalan terapi stroke dapat dilihat dari pemberian antiplatelet serta
obat – obat untuk stroke sudah tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat
dosis. Hal tersebut menunjukkan, apabila suatu terapi tidak memenuhi empat
kriterita tersebut maka terapi obat dikatakan tidak rasional. Pada pengobatan suatu
penyakit harus dilakukan secara rasional, karena pada pengobatan dapat
menimbulkan dampak negatif diantaranya: dampak pada mutu pengobatan dan
pelayanan, mutu ketersediaan obat dan psikososial, biaya pengobatan,
meningkatnya mortalitas dan morbiditas (Roveny, 2015), kemungkinan efek lain
yang tidak diharapkan pada pemberian antiplatelet seperti pendarahan (Depkes RI,
2011)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke Iskemik

2.1.1 Definisi Stroke Iskemik

Stroke adalah penurunan fungsi sistem syaraf secara tiba-tiba yang

berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah. Stroke

dapat dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke

iskemik) (Sukandar, dkk., 2013).

Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

- Stroke Iskemik yaitu suatu keadaan dimana terjadinya sumbatan trombotik atau

tromboembolik pada arteri serebral, sehingga aliran darah ke otak

sebagian/keselurahannya terhenti.Stroke iskemik dibagi menjadi

atetotrombosis arteri besar, emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi

sistemik

- Stroke Hemoragik yaitu suatu keadaan pecahnya pembuluh darah dalam otak

yang memicu pendarahan disekitar organ tersebut sehingga aliran darah pada

sebagian otak berkurang atau terputus (Hanum dkk, 2018).

2.1.2 Etiologi stroke iskemik

Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer, termasuk

aterosklerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi dan penyakit jantung struktural.

Namun trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merupakan penyebab pada

sebagian besar kasus stroke trombolitik, dan embolus dari pembuluh besar atau
jantung merupakan penyebab yang paling sering stroke embolik (Price dan Wilson,

2003).

Beberapa penyebab stroke iskemik (Price dan Wilson, 2003) :

1. Trombosis

a. Atersklerosis (terbanyak)

b. Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa

c. Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik) Gangguan

darah: polisistenia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit)

2. Embolisme

a. Sumber di jantung : fibrilasi atrium (terbanyak), infark miokardium,

penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung, katup prostetik,

kardiomiopati iskemik.

b. Sumber trombo emboli aterosklerotik di arteri : bifurkatio karotis

komunis, arteri vertebralis distal

c. Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma

3.Vasokonstriksi

a. Vasospasme serebrum setelah pendarahan subaraknoid

2.1.3 Patofisiologi Stroke Iskemik

Menurut Dipiro, et al (2015), patofisiologi stroke iskemik antara lain :

- Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan trombus atau emboli yang

menghambat arteri serebral.Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab

dalam kebanyakan masalah stroke iskemik. Emboli dapat muncul dari arteri

intra dan extra kranial. Dua puluh persen stroke emboli muncul dari jantung.
- Pada arterosklerosis karotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen, agregasi

platelet, dan pembentukan terombus. bekuan dapat menyebabkan hambatan

sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada akhirnya akan

menghambat pembuluh serebral.

- Dalam masalah embolisme kardiogen, aliran darah yang berhenti dalam atrium

atau ventrikel mengarah ke pembentukan bekuan lokal yang pelepasan

bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral.

- Hasil akhir, baik pembentukan trombus dan embolisme adalah hambatan arteri,

penurunan aliran darah serebral, dan penyebab iskemik dan akhirnya infark

distal mengarah hambatan.

2.1.4 Faktor Resiko Stroke Iskemik

Faktor resiko untuk terjadinya stroke iskemik dibagi menjadi faktor resiko

Nonmodifiable dan Modifiable (PERDOSSI, 2011)

1. Faktor resiko Nonmodifiable yaitu :

Usia

Ras

Jenis Kelamin

Etnis

Genetik/keturunan

2. Faktor resiko modifiable yaitu:

Hipertensi

Diabetes Melitus

Penyakit jantung

Hiperkolesterolemia
Transient Ischemic Attack (TIA)

Stenosis karotis

Hiperhomosisteinemia

Alkohol, merokok, obat-obatan, obesitas, inaktivitas

2.1.5 Gejala dan tanda stroke (Price dan Wilson, 2003)

Gejala klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin

berkaitan dengan pengelompokkan gejala dan tanda berikut yang tercantum

dibawah ini :

1. Arteria karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)

Lokasi tersering lesi adalah bifurkasio arteria karotis komunis ke

dalam arteria karotis interna dan eksterna. Cabang-cabang arteri karotis

interna adalah arteria oftalmika, arteria komunikans posterior, arteria

koroidalis anterior, arteri serebri anterior, dan arteri serebri media.

- Dapat terjadi kebutaan satu mata (episodik dan disebut amaurosis

fugaks), akibat insufisiensi arteria renalis

- Gejala sensorik dan motorik di ekstermitas kontralateral

karena insufisiensi arteria serebri media

- Lesi dapat terjadi di daerah antara serebri anterior dan media atau

arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstermitas atas

(misalnya tangan lemah, baal) dan mungkin mengenai wajah

(kelumpuhan tipe supranukleus). Apabila lesi di hemisfer

dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah

bicara motorik Broca.

2. Arteria serebri media (tersering)


- Hemiparesis atau monoparesi kontralateral (biasanya mengenai

lengan)

- Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral

- Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena) : gangguan semua

fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)

- Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tngkai: lengan

proksimal juga mungkin terkena; gerakan volunter tungkai yang

bersangkutan terganggu

- Defisit sensorik kontralateral

- Demensia, gerakan menggenggam, refleks patologis (disfungsi

lobus frontalis)

4. Sistem vertebro-basiler (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya

bilateral)

- Kelumpuhan di satu sampai ke empat ekstermitas

- Meningkatnya refleks tendon

- Ataksia

- Tanda babinski bilateral

- Gejala-gejala serebelum seperti tremor intention, vertigo

- Disfagia

- Disartri

- Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi

- Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis satu

gerakan mata, hemianopsia homonim)


- Tinitus, gangguan pendengaran

- Rasa baal di wajah, mulut atau lidah

5. Arteria serebri posterior

- Koma

-Hemiparesis kontralateral

- Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis

Anamnesis yang cermat tentang gejala-gejala di sekitar serangan stroke

dapat membantu mengidentifikasi apakah gangguan aliran darah terjadi di sirkulasi

anterior otak (distribusi arteria karotis interna) atau di sirkulasi posterior (distribusi

arteria vertebrobasiler). Gejala-gejala tertentu bersifat khas untuk gangguan

sirkulasi di bagian anterior sirkulus wilisi. Gejala-gejala ini adalah kebutaan satu

mata (Amaurosis fugaks) dan afasia. Gejala khas gangguan di bagian posterior

sirkulus Wilisi adalah diplopia (penglihatan ganda), hemianopsia homonim,

ataksia, vertigo, dan kelumpuhan saraf kranialis.


2.1.6 Kriteria Diagnosis (PERDOSSI, 2011)

Terdapat gejala defisit neurologis global atau salah satu/beberapa defisit

neurologis fokal yang terjadi mendadak dengan bukti gambaran neuroimaging

(CT-Scan atau MRI)

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang (PERDOSSI, 2011)

a. CT Scan+ CT angiografi/ MRI + MRA otak

b. EKG

c. Doppler carotis

d. Transcranial Doppler

e. TCD bubble contrast & VMR

f. Lab: hematologi rutin, gula darah sewaktu, fungsi ginjal (ureum , kreatinin),

Actived Partial Thrombin Time (APTI) , waktu prothrombin protein (CRP).

Laju endap darah dan pemeriksaan atas indikasi seperti: enzimjantung

(Troponin/CKMB), serum elektrolit, analisis hepatic dan pemeriksaan

elektrolit .

g. Throax foto

h. Urinalisa

i. Echocardiografi (TTE/TEE)

j. Pemeriksaan neurobehavior (Fungsi Luhur)

k. DSA serebral
2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan stroke iskemik akut menurut PERDOSSI (Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia) 2011 :

l. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut

Berbagai guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan

penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan

secara hati- hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini :

a. Ada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan

sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama

setelah awitan apabila TDS > 220 mmHg atau TDD > 120

mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi

trombolitik (rtPA ), tekanan darah diturunkan hingga TDS ,185

mmHg dan TDD ,110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B). Selanjutnya tekanan darah harus dipantau hingga

TDS <180 mmHg dan TDD < 105 mmHg selama 24 jam setelah

pemberian rtPA 0.6-0.9 mg/kgBB. Obat antihipertensi yang

digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin

atau diltiazem secara intravena.

b. Penggunann ACEI (angiotenssin converting enzym inhibitor)

dan/ diuretik tiazid untuk prevensi sekunder pada pasien yang

pernah mengalami TIA atau stroke. Obat gologan ARB

(angiotensin receptor blocker) atau CCB (calsium channel

blocker) juga dapat diberikan. Obat golongan beta blocker

diberikan jika pasien memiliki riwayat infark miokard, resiko


tinggi arteri koroner atau gagal jantung kongestif. Obat yang

termasuk antihipertensi adalah captopril (ACE inhibitor),

hidroklortiazid (diuretik), losartan (ARB) dan diltiazem atau

amlodipin .

c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai

dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial,

dilakukan pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan darah

diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi instravena

secara kontiniu atau intermiten dengan pemantau tekanan

perfusi serebral ≥ 60 mmHg.

d. Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa

disertai gejalan dan tanda peningkatan tekanan intrakranial,

tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan

obat antihipertensi intravena kontiniu dengan pemantau tekanan

darah setiap 15 menit hingga tekanan darah 160/90 mmHg.

e. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan

tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral

f. Hidralsin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan

karena mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial,

meskipun bukan kontraindikasi mutlak

g. Penurukan TD pada stroke akut dipertimbangkan hingga lebih

rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam

target organ lainnya misalnya infark miocard akut, edema paru,


gagal ginjal akut. Target penurunan tersebut adalah 15-25%

pada jam pertama dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak

direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik.

2. Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet :aspirin, clopidogrel,

cilostazol atau antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban).

- Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)

- Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)

- Perawatan di Unit Stroke

- Neurorestorasi / Neurorehabilitasi

- Hiperlipidemia meningkatkan resiko stroke akibat adanya

aterosklerosis.

3. American Heart Association (ASA) merekomendasikan penggunaan

obat golongan statin kepada seluruh pasien stroke aterosklerosis atau

Transient Ischemic Attack (TIA) tanpa riwayat penyakit jantung koroner

sebagai prevensi sekunder. Target terapi adalah kolesterol

LDL<100mg/dl dan HDL>50mg/dl. Obat golongan statin yang biasa

digunakan adalah simvastatin. Simvastatin adalah penghambat

kompetitif HMG-KoA reduktase. Penghambat reduktas nyata

menyebabkan peningkatan afinitas reseptor LDL. Efek ini

meningkatkan kecepatan katabolisme LDL dan ekstraksi prekusor LDL

hati, sehingga dapat mengurangi persediaan LDL plasma. Selain statin,

pada pasien dengan HDL rendah dapat digunakan gemfibrozil. Obat


ini juga dapat digunakan pada pasien yang tidak toleran dengan obat

golongan statin.

Penatalaksanaan Stroke iskemik (Dipiro, 2008)

Rekomendasi Bukti*

Penanganan akut t-PA 0.9 mg/kg intravena (maksimum 90 IA

kg) selama
tertentu 1 jam
dalam pada
onset pasien-pasien
3 jam

Aspirin 160 – 325 mg setiap hari dimulai IA


dalam onset 48 jam

Pencegahan sekunder
Nonkardioembolik Terapi antiplatelet IA

Aspirin 50 – 325 mg IIa A

Clopidogrel 75 mg setiap hari IIb B

Aspirin 25 mg + dipiridamol dengan IIa A


pelepasan diperlambat 200 mg dua kali
Sehari

Kardioembolik (terutama Warfarin (INR=2.5) IA


fibrilasi atrium)

Semua Pengobatan antihipertensif IA


Hipertensi terdahulu ACE inhibitor + diuretic IA

Normotensif terdahulu ACE inhibitor + diuretic IIa B

Dislipidemia Statin IA
Lipid normal Statin IIa B

Penggolongan kelas dan tingkatan bukti: I—bukti atau persetujuan umum

yang berguna dan efektif; II—bukti yang masih diperdebatkan kegunaannya; IIa—
bobot bukti dalam mendukung penanganan; IIb— kegunaan masih belum

dibuktikan dengan baik; III—tidak berguna dan bahkan merugikan. Tingkatan

bukti: A— uji klinik secara acak banyak; B—percobaan acak tunggal atau studi

tanpa pengacakan; C—opini ahli atau studi kasus.

Terapi aspirin terdahulu dapat mengurangi mortalitas jangka lama dan

cacat, namun pemberian t-PA tidak pernah dilakukan dalam 24 jam karena dapat

meningkatkan risiko pendarahan pada beberapa pasien. Hal ini sangat jelas bahwa

terapi antiplatelet merupakan landasan terapi antitrombotik untuk pencegahan

sekunder untuk stroke iskemik dan harus digunakan pada stroke nonkardioembolik.

Tiga obat yang kini digunakan, yaitu aspirin, clopidogrel, dan dipiridamole dengan

pelepasan diperlambat disertai aspirin (ERDP-ASA), merupakan antiplatelet first

line yang disetujui oleh American College of Chest Physicians (ACCP). Pada

pasien dengan fibrilasi atrium dan emboli, warfarin merupakan antitrombotik

pilihan pertama. Farmakoterapi lain yang direkomendasikan untuk stroke adalah

penurun tekanan darah dan statin (Dipiro,2008).


2.2 Stress Ulcer

2.2.1 Definisi Stress Ulcer

Stress ulcer merupakan ulser pada lambung dan atau duodenum yang biasanya

muncul dalam konteks trauma atau penyakit sistemik atau SSP yang hebat

(Goodman & Gilman, 2008).

Menurut Dorland Illustrated Medical Dictionary, Ulcer adalah kerusakan lokal

atau cekungan pada permukaan suatu jaringan/organ yang ditimbulkan oleh

pengelupasan jaringan imflamasi yang nekrosis.

Stress ulcer adalah suatu lesi inflamasi superfisial dari mukosa gaster

disebabkan peningkatan tuntutan fisiologis yang abnormal pada tubuh.

2.2.2 Etiologi stress ulcer (Goodman and Gilman, 2008)

1. Hypersekresi asam lambung

2. Infeksi virus (cyomegaovirus)

3. Insufisiensi vaskuar

4. Radiasi

5. Kemoterapi

6. Subtipe genetik jarang

7. Ideopatik

2.2.3 Patofisiologi stress ulcer

Patofisiologi dari lesi gaster terkait stress masih belum dipahami sepenuhnya.

Stimulasi terhadap hipotalamus anterior dan destruksi pada bagian posterior

menyebabkan peningkatan keasaman lambung dan dapat menyebabkan terbentuk

nya ulkus. Asam disekresikan oleh sel parietal pada mukosa gaster dibawah

pengaturan beberapa agen biologis seperti histamin, gastrin serta rangsangan nervus
vagus. Mukosa dilindungi oleh lapisan mukus jel, yang dipengaruhi oleh

prostaglandin, nitrik oxide, protein trefoil, dan rangsangan nervus vagus. Lapisan

mukus ini membentuk suatu lapisan yang memisahkan epitel gaster dengan asam

lambung. Adanya agen iritan pada kondisi tertentu dapat merusak lapisan pelindung

ini dimana jika hal ini terjadi maka asam lambung dapat masuk kembali ke dalam

epitel dan menyebabkan kerusakan mukosa.

Dua hal yang diduga memegang peranan penting pada kerusakan pelindung

mukosa adalah sekresi asam serta gangguan mekanisme pertahanan. Pada gastritis

stres terjadi kondisi jumlah asam lambung yang bervariasi bisa normal, rendah atau

tinggi. Oleh karena itu hipersekresi asam bukanlah satu-satunya faktor penyebab.

Mekanisme pertahanan khususnya sekresi mukus cenderung menyebabkan

penurunan konsentrasi bikarbonat sehingga tidak dapat menetralisir asam di

lambung. Stres menyebabkan penurunan aliran darah ke mukosa sehingga

menyebabkan iskemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan dinding mukosa.

Setelah suatu acute brain injury, stress ulcer dapat terjadi akibat hiperaktifitas

vagal yang menghasilkan peningkatan sekresi asam lambung dan iskemik mukosa.

Suatu model eksperimental menunjukkan bahwa suatu stress mengaktivasi

hipotalamus, menghasilkan stimulasi kolinergik ke abdomen. Substansi iseperti

asetilkolin, histamin, dan tirotropin releasing hormone endogen meningkatkan

kerentanan mukosa.

Kejadian yang menyebabkan suatu situasi stressful berat bagi tubuh – operasi

major, perdarahan, luka bakar – dapat membuat lesi pada mukosa gaster. Iskemia

mukosa pada keadaan stress menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung.

Selain itu, diduga bahwa iskemia mukosa lambung menyebabkan peningkatan


permeabilitas mukosa terhadap H+ dan menyebabkan difusi balik asam ke jaringan

mukosa. Selain itu, “energy-deficit hypothesis” terkait iskemia dan nekrosis

mukosa menyebabkan gangguan metabolisme mukosa lambung. (Goodman and

Gilman, 2008)

2.2.4 Faktor Resiko stress ulcer

Menurut Menurut ASHP (American Society of Health-System

Pharmacists guidelines) terdapat beberapa faktor resiko dapat terjadinya stress

ulcer.

Table. Risk factors associated with stress-related

mucosal disease*
Type Risk factor

Independent 1. Coagulopathy (including medication-induced coagulopathy):

platelet count <50,000 mm3, INR >1.5, or PTT >2× control value

2. Respiratory failure: mechanical ventilation ≥48 hours

Other 1. Spinal cord injuries

2. Multiple trauma†: trauma sustained to more than one body

region

3. Hepatic failure†: total bilirubin level >5 mg/dL, AST >150

U/L (3× ULN), or ALT >150 U/L (3× ULN).

4. Thermal injuries >35% of body surface area

5. Partial hepatectomy

6. Head injury with Glasgow coma score of ≤10 or inability to obey simple

commands

7. Hepatic or renal transplantation

8. History of gastric ulceration or bleeding during year before

admission

9. Sepsis/septic shock†: vasopressor support and/or positive

microbiologic cultures/suspected
2.2.5 Penatalaksanaan (Perdossi, 2011)

1. Prevensi pada pasien stroke

Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke,

sitoprotektor atau penghambat reseptor H2 perlu diberikan.Tidak ada

perbedaan hasil antara pemberian penghambat reseptor H2, sitoprotektor

agen ataupun inhibitor pompa proton (PPI).

Penghambat reseptor Histamin 2 (H2 bloker) (ranitidine,famotidin)

telah juga digunakan untuk profilaksis. Aktivitasnya secara selektif

memblok reseptor H2 pada sel parietal sehingga menurunkan produksi ion

Hidrogen. H2 bloker tersedia luas dan dapat digunakan secara intravena.

Pada perdarahan aktif penggunaan infus H2 bloker selama 24 jam dapat

digunakan karena dapat membuat konsentrasi yang stabil dari H2 bloker di

mukosa gaster sehingga meningkatkan kesembuhan. Efek samping utama

obat ini adalah terjadinya Pneumonia Nosokomial yang diduga terjadi

karena supresi asam lambung sehingga menyebabkan kolonisasi bakteri

sekunder dan selanjutnya menyebabkan Pneumonia aspirasi.

Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti

NSAID dan kortikosteroid, serta makanan.minuman yang bersifat iritatif

terhadap lambung perlu dihindari.

2. Tatalaksana stress ulcer pada pasien stroke

a. Pasien dipuasakan

b. Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC

adekuat.
c. Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi),

penggantian dengan transfusi darah perlu diberikan. Untuk mengganti

kehilangan volume sirkulasi cairan pengganti berupa koloid atau

kristaloid dapat diberikan sebelum transfusi.

d. Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam

sampai darah berhenti.

e. Pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazole atau

pantoprazole diberikan secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,

diikuti pemberian infus 8mg/jam selama 72 jam berikutnya.

f. Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat

membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer. Nutrisi harus

dengan kadar serat tinggi dan dihindarkan dari makanan yang

merangsang atau mengiritasi lambung.

3. Pencegahan

Pencegahan daam kasus sress ulcer iaah:

1. Permberian obat proviasis

2. Pemberian anagonis hisamin-2(H2), conohnya ranitidine, cimeidine,

panoprazole.

3. Menjaga PH lambung tetap normal dengan konsumsi makanan yang

sehat

4. Menghindari paparan radiasi dan proses kemoterpi yang salah.


2.3 Pneumonia

2.3.1 Definisi Pneumonia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016).

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan

dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung

jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan

penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi

infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi

karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung

dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.

Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia sering kali disertai batuk

berdahak, sputum kehijauan atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan

menggigil. Disertai nafas yang pendek, nyeri dada seperti pada pleuritis , nyeri

tajam atau seperti ditusuk, demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi sinar-x

dan pemeriksaan sputum. Pengobatan tergantung penyebab dari pneumonia;

pneumonia kerena bakteri diobati dengan antibiotika. Pneumonia merupakan

penyakit yang umumnya terjadi pada semua kelompok umur, dan menunjukan

penyebab kematian pada orang tua dan orang dengan penyakit kronik. Tersedia

vaksin tertentu untuk pencegahan terhadap jenis pnuemonia. Prognosis untuk tiap

orang berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat, ada

tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut. Orang dengan pneumonia, batuk

dapat disertai dengan adanya darah, sakit kepala, atau mengeluarkan banyak

keringat dan kulit lembab. Gejala lain berupa hilang nafsu makan, kelelahan, kulit

menjadi pucat, mual, muntah, nyeri sendi atau otot. Tidak jarang bentuk penyebab

pneumonia mempunyai variasi gejala yang lain. Misalnya pneumonia yang


disebabkan oleh Legionella dapat menyebabkan nyeri perut dan diare,pneumonia

karena tuberkulosis atau Pneumocystis hanya menyebabkan penurunan berat badan

dan berkeringat pada malam hari. Pada orang tua manifestasi dari pneumonia

mungkin tidak khas. Bayi dengan pneumonia lebih banyak gejala,tetapi pada

banyak kasus, mereka hanya tidur atau kehilangan nafsu makan.

2.3.2 Hospital Aquired Pneumonia (HAP)

Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah

pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi

sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah

pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.

VAP merupakan bagian dari Hospital Acquired Pneumonia (HAP) (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2016).

2.3.2. Etiologi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016)

Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug

resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive

Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas

aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram

positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Patogen

yang paling banyak menyebabkan Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah

bacilli gram-negative dan Staphylococcus aureus,terutama organisme yang resisten

terhadap obat. Secara umum aerobic enteric gram negatif bacillus diperkirakan

sampai sepertiga dari semua kuman patogen yang bertanggung jawab terhadap

terjadinya pneumonia.Pada pasien yang menggunakan ventilator, resiko terkena

kuman gram negatif bacillus diperkirakan sekitar 58 - 83 %, sedangkan gram positif


coccus hanya 14 - 38 %, dan anaerob hanya 1 - 3 %.Infeksi poli mikrobial tercatat

kejadiannya mencapai 26 - 53 %. Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur,

kuman anaerob dan virus jarang terjadi.

Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak

diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya

berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat

bervariasi. Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil

dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi

aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea.

2.3.3 Epidemiologi Hospital Acquired Pneumonia

HAP atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP) merupakan infeksi kedua

terbanyak di Amerika. Terdapat 300.000 kasus HAP pertahun, dan itu

menyebabkan kematian 30 % hingga 70 %. Sulit untuk menentukan pasien dengan

HAP yang meninggal karena disebabkan langsung oleh pneumonia yang

dideritanya,tetapi diperkirakan kematian yang disebabkan langsung oleh

pneumonia antara 27 % hingga 50%. Ini berarti 25 % hingga 50% dari penderita

HAP meninggal karena HAP dan sisaya 50% hingga 75% pasien penderita HAP

meninggal karena penyakit lain yang dideritanya. HAP memperpanjang masa

perawatan di rumah sakit hingga 7 sampai 9 hari, sehingga meningkatkan pula biaya

perawatan yang harus dibayar oleh pasien.

Faktor resiko dari HAP umumnya adalah pasien dengan umur lebih dari 70

tahun, komorbiditas yang serius, malnutrisi, gangguan kesadaran, dirawat di rumah

sakit dalam waktu yang lama, dan pasien dengan PPOK.


2.3.4 HAP

Merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien yang berada di

ICU dan jumlahnya hampir 25% dari semua pasien infeksi nosokomial yang ada

di ICU, dengan tingkat insiden berkisar antara 6 % hingga 52%. Insiden ini

meningkat karena pasien yang berada di ICU sering mendapatkan mekanikal

ventilasi, dan pasien yang terpasang mekanikal ventilasi 6 sampai 21 kali lebih

beresiko menderita HAP dari pada pasien yang tidak terpasang mekanikal ventilasi.

Ventilasi mekanik berhubungan dengan kejadian HAP karena endotracheal tube

mengganggu mekanisme pertahanan saluran pernapas bagian atas, sehingga dapat

menyebabkan penumpukan atau genangan sekresi orofaringeal, mencegah batuk

efektif, dan dapat menyebabkan infeksi. Perkembangan HAP pada pasien dengan

ventilasi mekanik menandakan prognosis yang buruk, dengan tingkat kematian 2

sampai 10 kali lebih tinggi daripada kelompok pasien dengan mekanik ventilasi

tanpa HAP (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016).

2.3.5 Patofisiologi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016).

Pada kejadian infeksi saluran pernapasan, setidaknya harus ada satu dari tiga

kondisi berikut : pertahanan host terganggu, masuknya organisme ke dalam saluran

pernapasan bawah yang jumlahnya cukup untuk menginfeksi dan mengalahkan

pertahanan host, atau tingginya jumlah organisme patogen yang ada disekitar.

Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan

pneumonia komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas

bagian bawah. Ada tiga rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas

bagian bawah yaitu :


1. Aspirasi

Merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus

neurologis dan usia lanjut. Tidak semua jalan efektif untuk masuknya

bakteri sehingga dapat menginfeksi. Jalan yang paling potensial untuk

masuknya bakteri patogen ke dalam saluran pernapasan bawah adalah

melalui mikroaspirasi dari sedikit sekresi orofaringeal yang sebelumnya

sudah terdapat koloni bakteri patogen.

Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi

mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah

bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian

bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan

inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi

pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari

luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran

napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia

nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang

merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian

atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting

untuk terjadi pneumonia.

Pada pasien yang menderita penyakit sistemik yang parah, kejadian

kolonisasi bakteri patogen orofaringeal oleh enteric gram-negative bacilli

meningkat hingga 35 % pada pasien dengan keparahan yang sedang dan

meningkat 75% pada pasien yang kritis. Kejadian aspirasi meningkat ketika

terdapat gangguan pada refleks muntah, gangguan kesadaran, dan ketika


adanya penggunaan alat seperti nasogastrik atau endotracheal tubes, atau

jika terdapat penyakit esofageal.

2. Inhalasi

Jalan melalui inhalasi merupakan metode efektif untuk penyebaran

Legionella spp., virus terentu, Mycobacterium tuberculosis, dan jamur,

serta melalui kontaminasi alat bantu nafas yang digunakan pasien.

3. Hematogenik

Penyebaran melalui darah terutama terjadi pada pasien postoperative

dan pada pasien dengan kronik intravenus atau pasien dengan

pemasangan kateter pada genito-urinary.

2.3.6 Faktor Resiko Pneumonia Nosokomial

Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:

1) Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh

Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes,

alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma,

pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi,

umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu

operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru

dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis

2) Faktor eksogen adalah :

a. Pembedahan

Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung

pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi

abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%).


b. Penggunaan antibiotic

Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama

antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan

bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh,

pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora

normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana

diketahui Streptococcus merupakan flora normal di

orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat

pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis

tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan

meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c. Peralatan terapi pernapasan

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri

Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya

sering terjadi.

d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan

alimentasi enteral.

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di

lambung karena asam lambung dengan pH < 3 mampu

dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian

antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4

menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif

aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai

pH netral 6,4 - 7,0.


e. Lingkungan rumah sakit

- Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai

dengan prosedur

- Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak

sesuai prosedur, seperti alat bantu napas, selang

makanan, selang infus, kateter dll.

- Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang

isolasi

Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)

 Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

 Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari.

 Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah

sakit tersebut.

 Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

2.3.7 Diagnosa Pneumonia Nosokomial

Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-

Atlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :

1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah

sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi

pada waktu masuk rumah sakit

2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

3. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif

4. Ditambah 2 diantara kriteria berikut:


- suhu tubuh > 38oC

- sekret purulen

- leukositosis

Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS

1. Dirawat di ruang rawat intensif

2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau

membutuhkan O2 > 35 % untuk mempertahankan

saturasi O2 > 90 %

3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia

multilobar atau kaviti dari infiltrat paru

4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai

dengan hipotensi dan atau disfungsi organ yaitu :

• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60

mmHg)

• Memerlukan vasopresor > 4jam

• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80

ml/4 jam

• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis

2.3.7 Penatalaksanaan (ATS / IDSA 2004)

1. Terapi Antibiotik

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik

yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen

yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat


2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan

dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang

maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi

pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran

cerna yang baik.

3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah

ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan

respons klinis.

4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan

terinfeksi kuman MDR

5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis

memburuk

6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan

empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi

pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak

akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil

yang memuaskan.

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien

tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu

ATS / IDSA 2004).

Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan


• Streptocoocus pneumoniae Betalaktam + antibetalaktamase
• Haemophilus influenzae (Amoksisilin klavulanat)
•Metisilin-sensitif Staphylocoocus aureus atau
•Antibiotik sensitif basil Gram negatif Sefalosporin G3 nonpseudomonal
enterik (Seftriakson, sefotaksim)
- Escherichia coli atau
- Klebsiella pneumoniae Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
- Enterobacter spp Moksifloksasin)
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Tabel 3. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua

derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen

MDR (mengacu ATS / IDSA 2004).

Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi

• Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal

patogen pada Tabel 1 (Sefepim, seftasidim, sefpirom)

atau

Pseudomonas aeruginosa Karbapenem antipseudomonal

Klebsiella pneumoniae (Meropenem, imipenem)

(ESBL) atau

Acinetobacter sp β-laktam / penghambat β laktamase

Methicillin resisten (Piperasilin – tasobaktam)

Staphylococcus aureus ditambah

(MRSA) Fluorokuinolon antipseudomonal


(Siprofloksasin atau levofloksasin)

atau

Aminoglikosida

(Amikasin, gentamisin atau tobramisin)

ditambah

Linesolid atau vankomisin atau teikoplanin

Tabel 4. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada

pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada

ATS/IDSA 2004)

Antibiotik Dosis

Sefalosporin antipseudomonal 1-2 gr setiap 8 – 12 jam

Sefepim 2 gr setiap 8 jam

Seftasidim 1 gr setiap 8 jam

Karbapenem 1 gr setiap 8 jam

Meropenem 500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8

jam

βlaktam / penghambat β 4,5 gr setiap 6 jam

laktamase

Aminoglikosida 7 mg/kg BB/hr

Gentamisin 7 mg/kg BB/hr

Tobramisin 20 mg/kg BB/hr

Kuinolon antipseudomonal 750 mg setiap hari

Levofloksasin 400 mg setiap 8 jam


Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam

Linesolid 600 mg setiap 12 jam

Teikoplanin 400 / hari

2. Pencegahan Pneumonia Nosokomial

1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung

a. Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat

menyebabkan berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini

akan memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)

b. Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk

antibiotik parenteral dan topikal menurut beberapa penelitian sangat

efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia nosokomial, tetapi hal

ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien

misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima

donor organ tetapi hal ini masih membutuhkan survailans

mikrobiologi

c. Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan

karena sangat melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH.

Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia nosokomial

tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.

d. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum

misalnya metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan

bilirubin dan kolonisasi bakteri di lambung.


e. Anjurkan untuk berhenti merokok

f. Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza

2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah

g. Letakkan pasien pada posisi kepala lebih (30-45o) tinggi untuk

mencegah aspirasi isi lambung

h. Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis

i. Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian

refluks gastro esofageal

j. Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang

masuk ke dalam saluran napas bawah

k. Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah

sedikit melalui selang makanan ke usus halus

3. Pencegahan inokulasi eksogen

a. Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang

benar, untuk menghindari infeksi silang

b. Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang

digunakan pasien misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll

c. Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur

d. Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi

e. Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala

misalnya selang makanan , jarum infus dll

4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien

a. Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi

b. Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya


c. Mobilisasi sedini mungkin

5. Enternal Feeding

Enternal feeding merupakan pemasukan nutrisi yang lengkap, yang

terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air, mineral, dan vitamin, yang secara

langsung masuk kedalam lambung, duodenum, atau jejunum.

a. Kriteria Pasien

Pemberian enternal feeding harus dipertimbangkan untuk pasien yang

mengalami malnutrisi, atau yang beresiko mengalami malnutrisi,namun

saluran gastrointestinalnya masih berfungsi dengan baik , tetapi tidak dapat

mempertahankan intake makanan yang adekuat secara oral. Walaupun

enternal feeding dapat mengatasi malnutrisi, tetap berdampak pada kualitas

hidup pasien.

Enternal feeding sebaiknya diberikan kepada:

- Pasien yang memiliki penyakit yang kritis, dimana enternal feeding

akan menjaga barier usus dan mengurangi tingkat infeksi dan kematian

- Pasien postoperasi dengan oral intake yang terbatas. Pemberian

enternal feeding secara dini setelah pembedahan dapat mengurangi

komplikasi dan durasi perawatan di rumah sakit.

- Pasien dengan pangkreasitis yang parah, tanpa komplikasi pseudokista

atau fistula. Enternal feeding membantu penyembuhan inflamasi dan

mengurangi infeksi.

b. Jenis Makanan Enteral

Makanan enteral terdiri dari 2 jenis, yaitu:

- Standars enteral feeds:


Jenis ini terdiri dari karbohidrat,protein, lemak, air, elektrolit,

mikronutrien (vitamin dan elemen minor) dan serat yang dibutuhkan

oleh pasien yang stabil.

- ‘Predigested’ feeds:

Jenis ini terdiri dari nitrogen sebagai peptida pendek atau asam amino

bebas dan bertujuan untuk meningkatkan penyerapan nutrisi pada

pasien yang mengalami pancreatic insufficiency atau inflammatory

bowel disease. Kandungan seratnya berubah-ubah dan dilengkapi

dengan beberapa vitamin K, yang dapat berinteraksi dengan obat lain.

c. Komplikasi dari enternal feeding

1. Tube Complication

a. Nasogastric tube : menyebabkan ketidaknyamanan nasofaring, erosi

hidung, abses, dan sinusitis. Selain itu juga dapat menyebabkan

komplikasi akut seperti perforasi faring atau esofagus, insersi

intrakranial atau bronkial, meskipun ini jarang terjadi tetapi

komplikasi – komplikasi ini dapat berakibat fatal. Penggunaan

dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan esofagitis, ulserasi

dan penyempitan esofagus.

b. Percutaneous gastrostomy atau jejunostomy tube: dapat

menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan endoskopi

pada perforasi usus dan pendarahan dinding abdominal atau

intraperotoneal.

c. Semua feeding tube seharusnya disiram dengan menggunakan air

sebelum dan sesudah digunakan,karena mereka mudah tersumbat.


Penyumbatan terkadang dapat diatasi dengan menyiramnya

menggunakan air hangat atau enzim solution tetapi beberapa tube

mungkin membutuhkan penggantian.

2. Infeksi

Kontaminasi bakteri pada enteral feed dapat menyebabkan infeksi yang

serius. Penatalaksanaan dan alat alat yang digunakan seharusnya

dikeluarkan setiap 24 jam untuk meminimalisir resiko infeksi. Makanan

seharusnya tidak tumpah atau keluar dari tube dan peralatan tidak

tersentuh langsung oleh tangan.

3. Gastro-esofageal reflux dan aspirasi

Reflux dapat sering terjadi pada enteral feding, terutama pada pasien

yang mengalami gangguan kesadaran, memiliki reflek muntah yang

lemah dan ketika makan dalam posisi supinasi. Pasien seharusnya

ditinggikan setidaknya 30 derajat ketika pemberian makanan dan harus

tetap dalam posisi tersebut untuk kira kira selama 30 menit untuk

meminimalisasi aspirasi. Post-pyloric tube harus digunakan pada pasien

yang tidak sadar yang perlu diposisikan datar. Reflux lebih seperti

akumulasi dari residu gastrik. Aspirasi gastrik seharusnya diukur secara

teratur dan perubahan feeding regimen atau pemberian prokinetik dapat

mengurangi residu atau penumpukan makanan atau cairan pada gastrik.

2.4 Sepsis

2.4.1. Defenisi Sepsis

Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen

atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini

digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American

College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992

yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic

inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik

(Chen et.al,2009).

Tabel 5. Terminologi dan Definisi Sepsis

2.4.2 Etiologi

Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil

kultur darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram

negatif dan gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan

sisanya jamur atau gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien yang kultur

darahnya negatif, penyebab infeksi tersebut biasanya diperiksa dengan

menggunakan kultur lainnya atau pemeriksaan mikroskopis. Penelitian terbaru

mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan sumber lokasi saluran pernapasan dan

urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis (Shapiro, 2010).


Tabel 6 . Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat

Tabel 6. .Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang Dirawat


2.4.3 Tanda dan Gejala

Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan

tandatanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda

dan gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala

pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis

adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada

neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme

(Munford, 2008).

Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi,

dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat

bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam

makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan

meningococcemia),danartritis(8%).

Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang

tanda-tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea

menjadi satu-satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih

lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan

kreatinin plasma, intoleransi glukosa dan lainnya .

2.4.4 Diagnosis (Shapiro et al., 2010).


Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai

sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk

mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan

infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010).

Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik

dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu

untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi),

sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan

inisiasi cepat resusita. Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga

beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis.

Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien

sepsis. Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas,

masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia dan

temuan takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi kematian pada

pasien dengan sepsis. Pemeriksaan fisik juga harus mencakup evaluasi rinci untuk

infeksi fokal, misalnya tonsilitis eksudatif, nyeri pada sinus, injeksi membran

timpani, dan ronki atau dullness pada auskultasi paru.

Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis. Sebuah

riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor pemberat harus

dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya mual, muntah, dan diare harus dicatat.

Pemeriksaan fisik yang cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal, nyeri perut,

dan bising usus , sangat penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis perut.

Perhatian khusus harus diberikan temuan fisik memberi kesan sumber umum

infeksi atau penyakit tanda Murphy menunjukkan kolesistitis, nyeri pada titik
McBurney menunjukkan usus buntu, nyeri kuadran kiri bawah menunjukkan

divertikulitis, dan pemeriksaan rektal mengungkapkan abses rektum atau

prostatitis.

Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda meningitis,

termasuk kaku kuduk, demam, dan perubahan kesadaran. Pemeriksaan neurologis

terperinci adalah penting. Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan

penyakit neurologis primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari keadaan

shock.

Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya nyeri pinggang,

disuria, poliuria, discharge, pemasangan kateter, dan instrumentasi urogenital.

Riwayat seksual untuk menilai resiko penyakit menular seksual. Alat kelamin juga

harus diperiksa untuk melihat apakah ada bisul, discharge, dan lesi penis atau vulva.

Pemeriksaan dubur harus dilakukan, menentukan ada nyeri, pembesaran prostat,

konsisten dengan prostatitis. Nyeri adneksa pada wanita berpotensi abses tuba-

ovarium.

Riwayat muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu. Kemerahan,

pembengkakan, dan sendi terasa hangat, terutama jika ada berbagai penurunan

kemampuan gerak sendi, mungkin tanda-tanda sepsis arthritis dan mungkin

arthrocentesis. Pasien harus benar-benar terbuka dan kulit diperiksa untuk melihat

selulitis, abses, infeksi luka, atau trauma. Luka yang mendalam, benda asing sulit

untuk mengidentifikasi secara klinis. Petechiae dan purpura merupakan infeksi

Neisseria meningitidis atau DIC. Ruam seluruh tubuh merupakan eksotoksin dari

pathogen seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes (Shapiro

et.al, 2010).
Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis.Pada tabel dibawah

dijelaskan hal-hal yang menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis.

Tabel 6. Indikator Laboratorium Penderita Sepsis

Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan

prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi

primer (Opal, 2012).

2.4.5 Penatalaksanaan

Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi

menjadi :
1. Nonfarmakologi Mempertahankan oksigenasi ke jaringan dengan

saturasi >70% dengan melakukan ventilasi mekanik dan drainase

infeksi fokal.

2. Sepsis Akut Menjaga tekanan darah dengan memberikan resusitasi

cairan IV dan vasopressor yang bertujuan pencapaian kembali

tekanan darah >65 mmHg, menurunkan serum laktat dan mengobati

sumber infeksi.

a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai

resusitasi cairan.

b. Terapi dengan vasopresor (mis., dopamin, norepinefrin,

vasopressin) bila rata-rata tekanan darah 70 sampai 75 mm Hg

tidak dapat dipertahankan oleh hidrasi saja. Penelitian baru-baru

ini membandingkan vasopresin dosis rendah dengan

norepinefrin menunjukkan bahwa vasopresin dosis rendah tidak

mengurangi angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin

antara pasien dengan syok sepsis.

c. Memperbaiki keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi

jaringan dilakukan ventilasi mekanik ,bukan dengan

memberikan bikarbonat.

d. Antibiotik diberikan menurut sumber infeksi yang paling sering

sebagai rekomendasi antibotik awal pasien sepsis. Sebaiknya

diberikan antibiotik spektrum luas dari bakteri gram positif dan

gram negative.cakupan yang luas bakteri gram positif dan gram

negative (atau jamur jika terindikasi secara klinis).


e. Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk

rekayasa genetika aktifasi protein C, telah disetujui untuk

digunakan di pasien dengan sepsis berat dengan multiorgan

disfungsi (atau APACHE II skor >24); bila dikombinasikan

dengan terapi konvensional, dapat menurunkan angka

mortalitas.

3. Sepsis kronis Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan

umumnya terapi dilanjutkan minimal selama 2 minggu.


BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Mawardi Beni

Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jln. XXX

Tanggal masuk : 08 Februari 2021

Tanggal Keluar :-

No. RM : 0013xxxx

DPJP : Dr. Marfri Andy. Sp. N

3.2 Anamnesa

Seorang pasien dewasa berinisial Tn. M rujukan dari RS Yarsi Bukit Tinggi

datang masuk IGD pada pukul 20.25 WIB tanggal 08 Februari 2021 dengan keluhan

utama lemah anggota gerak sebelah kiri 3 hari SMRS.

3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang

 Pasien tidak dapat berbicara dikarenakan kondisi lemah anggota gerak yang

dialami pasien

 Pasien tidak dapat menelan dikarenakan kondisi pasien yang dipakai selang

NGT diindikasikan pasien mengalami perdarahan lambung


 Untuk BAB dan BAK pasien normal namun menggunakan pampers

 Pasien tidak mengeluhkan sakit kepala SMRS

3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga

3.3 Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan Fisik tanggal 20 januari 2021 :

a. Pemeriksaan Fisik

 Kondisi umum : Sedang

 Kesadaran : Compos Mentis

 Frekuensi Nadi : 81 x /menit

 Frekuensi Nafas : 20 x /menit

 Suhu : 36 ºC

 Tekanan Darah : 160/100 mmHg

 Berat Badan :-

 Tinggi Badan :-

b. Umum

Kepala : Tidak ditemukan kelainan

Mata : Konjungtiva anemis, sclera ikterik

Thorax : Bising jantung (-)

Abdomen : Bising usus (+)

Extremitas : Hangat
3.4 Pemeriksaan penunjang

 Tanggal 08 Februari 2021 Hematologi :

- Natrium : 142 (136-145mmol/L)

- Kalium : 3,8 (3,5-5,1mmol/L)

- Klorida : 104 (97-111mmol/L)

 Tanggal 09 Februari 2021 Hematologi :

- Kadar Gula Darah Nukther : 268 (<70-110mg/dl)

- Kadar Gula Darah Random : 226 (<200mg/dl)

- Ureum : 64 (10-50mg/dl)

- Kreatinin : 1,2 (0,6-1,1mg/dl)

- Asam Urat : 7,4 (3-7mg/dl)

- Kolesterol total : 308 (<220mg/dl)

- HDL : 51 (>65mg/dl)

- LDL : 223 (<150mg/dl)

- Trigliserida : 168 (<150mg/dl)

3.5 Diagnosa

 Diagnosa Utama : Stroke Iskemik

 Diagnosa Sekunder : Hemiparesis Sinistra

 Diagnosa Sekunder : HAP dengan Sepsis

 Diagnosa Sekunder : Stress Ulcer

3.6 Penatalaksanaan

3.6.1 Terapi atau Tindakan yang diberikan di RS Yarsi BukitTinggi

- IVFD Nacl 0,9 % / 12 jam

- Inf. Mannitol 125cc/6jam


- Inj. Citicoline 40mg/12jam

- Inj. Paracetamol 1000mg/6jam

- Inj. Diazepam

- Betahistin 3x6mg

3.6.2 Terapi atau tindakan yang diberikan di IGD RS Otak BukitTinggi

- O2 3L/menit

- IVFD NaCl 0,9%/12jam

- Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV

- Inj. Citicolin 500mg/12jam IV

- Simvastatin 1x20mg

- Amlodipin 1x10mg

3.6.3 Terapi atau tindakan yang diberikan di Rawat Inap RS Otak Bukit

Tinggi

- O2 3L/menit

- IVFD NaCl 0,9%/12jam

- Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV

- Inj. Citicolin 500mg/12jam IV

- Simvastatin 1x20mg

- Amlodipin 1x10mg

3.6.4 Terapi atau tindakan yang diberikan di ICU RS Otak BukitTinggi

- O2 3L/menit

- IVFD NaCl 0,9%/12jam

- Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV


- Inj. Citicolin 500mg/12jam IV

- Simvastatin 1x20mg

- Amlodipin 1x5mg

- Omeprazole Inj 40mg/12jam


- RL

- Inj Gentamicin 1x160mg

- Inj Levofloxacin 1x750mg

- Inj Paracetamol 3x1000mg

- Insulin 50 IU dalam 50 cc NaCl 0,9% (0,5cc/jam)


3.7 Daftar Penggunaan Obat

08 Februarii 2021 09 Februarii 2021 10 Februarii 2021 11 Februarii 2021


Nama obat Reg 8 12 18 24 8 12 18 24 8 12 18 24 8 12 18 24
am am pm pm am am pm pm am am pm pm am am pm pm
Simvastatin 1x1

(20mg) P.O
Amlodipin 1x1

(5 mg) P.O
Omeprazole 1x1
( 40mg) P.O
Inj
1x1
Gentamicin 20
IV
(160mg)
Inj
1x1
Levofloxacin 20
IV
(750mg)
NaCl 2x1
√ √ √
0,9%/12 jam IV
Inj
3x1
Paracetamol √ √ √ √ √
IV
(1000mg)
Inj Citicolin 2x1
√ √ √ √
(2x500mg) IV
Inj
2x1
Ranitidine √ √ √
IV
(50mg)
3.8 Follow up SOAP

Tanggal SOAP Keterangan


Senin S Pasien mengeluhkan Lemah sebelah kiri tidak bisa berbicara dan
08/02 tidak bisa menelan sejak 3 hari yang lalu
2021 O Gcs :E4 M6 Vx
(Perawat) Ataksia (+)
Disfagia (+)
TD : 160/100 mmHg
RPD HT(+)
A Ketidak efektifan perifer jaringan serebral

P Perfusi jaringan secara adekuat


Kontrol TTV
Atur posisi 15-30˚
Elevasi kepala
Kolaborasi
 Ivfd NaCl 0,9 %/12 jam
 O2 3L/menit

S Penurunan kesadaran sejak tadi malam


O KU : sedang
Kes : sekunder
Selasa GCS : E3M4Vx
09 /02 A Absorbsi penurunan kesadaran ec SNH
2021 P  Amlodipine 1 x 5mg tab
(Dokter)  Pindah rawat HCU / ICU
 Amlodipine 10mg stop
 Terapi lanjut
S Keluarga mengatakan pasien mengeluh sakit kepala 3 hari yang
lalu,sebelumnya pasien dirawat di RS YARSI Payakumbuh.
Sejak subuh pasien mengalami penurunan kesadaran
Mual / Muntah (-)
Demam (+)
RPD : Sakit kepala lama
O  GCS : E1V1M1
 KU : Coma
 TD : 150/76 mmHg
 RR : 48 x i
 HR : 143 x i
 T : 38,3 C
 SpO2 : 75%
ICU 09-  Cairan lambung bersih
Februari- A Ketidakefektifan perifer jaringan cerebral
2021 pukul P Perfusi jaringan cerebral efektif
07.15 WIB Monitor TTV
(Perawat) Atur posisi 15-30˚
Awasi tanda tanda penurunan kesadaran
Terapi:
 O2 3L/menit
 IVFD NaCl 0,9%/12jam
 Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV
 Inj. Citicolin 500mg/12jam IV
 Simvastatin 1x20mg
 Amlodipin 1x5mg
 Omeprazole Inj 40mg/12jam
 RL
 Inj Gentamicin 1x160mg
 Inj Levofloxacin 1x750mg
 Inj Paracetamol 3x1000mg
ICU 09- S Lemah anggota gerak kiri, sakit kepala (+)
Februari- O  GCS : E1V1M3
2021 09.00  KU : Coma
WIB  nafas ngorok
(Dokter)  muntah hitam (+)
 demam (+)
 cairan lambung hitam(+) ± 600cc
 TD : 113/71 mmHg
 RR : 32 x i
 HR : 159x i
 T : 38,3 C
 SpO2 : -
A  Ketidak efektifan jalan nafas
Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral
P Managemen berikan jalan nafas
Penyaluran presisi
Penghisapan secret
Managemen peningkatan
Monitoring ttv
Terapi lanjut:
 O2 3L/menit
 IVFD NaCl 0,9%/12jam
 Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV
 Inj. Citicolin 500mg/12jam IV
 Simvastatin 1x20mg
 Amlodipin 1x5mg
 Omeprazole Inj 40mg/12jam
 RL
 Inj Gentamicin 1x160mg
 Inj Levofloxacin 1x750mg
 Inj Paracetamol 3x1000mg
ICU 09- S Lemah anggota gerak kiri
Februari- O  GCS : E1M4V1
2021 09.50  TD : 100/65 mmHg
WIB  RR : 26 x i
(perawat)  HR : 151x i
A Stroke Non Hemoragik
P Konsul penyakit dalam
Terapi lanjut:
 O2 3L/menit
 IVFD NaCl 0,9%/12jam
 Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV
 Inj. Citicolin 500mg/12jam IV
 Simvastatin 1x20mg
 Amlodipin 1x5mg
 Omeprazole Inj 40mg/12jam
 RL
 Inj Gentamicin 1x160mg
 Inj Levofloxacin 1x750mg
 Inj Paracetamol 3x1000mg
ICU 09- S Keadaan klinis pasien belum membaik
Februari- O  TD : 100/65 mmHg
2021 09.50  RR : 26x/menit
WIB
(Farmasi) A Stroke Iskemik
P Tidak terjadi masalah dalam pemberian obat, namun harus
dilakukan monitoring TTV
ICU 09- S Keadaan klinis pasien semakin memburuk
Februari- O KU : jelek
2021 pukul TD : 112/78 mmHg
13.15 WIB N : 78x i
(Perawat) SpO2 : 60x/i
Nafas dangkal dan dalam
Pasien apnoe lakukan suction RR naik 30x/i
A Masalah belum teratasi
P Intervensi dilanjutkan
 Monitor TTV
 Beri O2 10 ui NRM
 Head up kepala 15-30 ˚

ICU 09- S Pasien dengan syok sepsis lapor dengan dr. Ardiles ,jika TD <
Februari- 90 mmHg
2021 pukul O -
13.50 WIB A -
(Dokter) P Norephineprin 1 ampul dalam 50cc Nacl 0,9% kecepatan awal
3,7
ICU 09- S Penurunan kesadaran
Februari- O GDP 268mg/dl
2021 pukul A -
14.10 WIB P Siringe pump insulin 50 iu dalam 50cc kecepatan 0,5 cc,tapi
(Dokter) besok pagi cek ulang gula darah
ICU 09- S -
Februari- O  GCS : E1M1V1
2021 pukul  Pat apnoe
14.45 WIB  TD : 91/46 mmHg
(Perawat)  RR : 9 x i
HR : 111x i
A -
P  Pantau
 Beri O2
 Bagging
S -
ICU 09- O  TD : 81/32 mmHg
Februari-  RR : apnoe
2021 pukul HR : 90x i
14.50 WIB A -
(Perawat) P  Pendampingan jelang ajal
ICU 09- S Pasien dilaporkan apnoe
Februari- O  TD : tidak teratur
2021 pukul  Nadi : asystole
14.55 WIB RR: apnoe
(Perawat) Pupil dilatasi maksimal
A -
P Pemenuhan kebutuhan jelang ajal
RJP dan Bagging
ICU 09- S Pasien dinyatakan meninggal dunia dihadapan petugas dan
Februari- keluarga
2021 pukul O -
15.00 WIB A -
(Perawat) P -
BAB IV

DISKUSI

4.1 Analisis DRP

Tabel Drug Related Problem (DRP)


DRUG RELATED PROBLEM
No. Drug Therapy Problem Check Keterangan Rekomendasi/ Komentar
List
1. Terapi Obat Yang Tidak
Diperlukan
Terdapat terapi tanpa - Pasien telah mendapatkan terapi -
indikasi medis yang sesuai dengan kondisi medis.
1. Ranitidine injeksi sebagai
bentuk meringankan gejala
kelebihan asam lambung pasien
dan juga sebagai stress ulcer
profilaksis (gastritis).
2. Amlodipin injeksi untuk
menurunkan tekanan darah
pasien.
3. Simvastatin injeksi sebagai
terapi stroke iskemik untuk
mencegah agregasi platelet
yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh
darah.
4. Citicolin injeksi sebagai terapi
neuroprotektor stroke iskemik
untuk mencegah serangan
berulang.
5. Omeprazole injeksi untuk
menurukan asam lambung dan
pepsin
6. Gentamisin injeksi digunakan
mengurangi infeksi yang terjadi
di paru paru ditandai dengan
menurunnya kadar leukosit.
7. Levofloxacin injeksi digunakan
sebagai antibiotik untuk
mengatasi infeksi bakteri
8. Parasetamol injeksi diberikan
untuk menurunkan demam
akibat infeksi bakteri
9. IVFD NaCl 0,9% digunakan
untuk memperbaiki cairan
elektrolit tubuh
10.IVFD RL untuk memperbaiki
cairan tubuh.
Pasien mendapatkan - Pasien tidak mendapatkan terapi
terapi tambahan yang tambahan yang tidak di perlukan. -
tidak di perlukan

Pasien masih - Pasien diiringi terapi non -


memungkinkan menjalani farmakologi dengan cara Diet
terapi non farmakologi rendah gula dan karbohidrat

Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi -

Pasien mendapatkan - Pasien tidak mendapatkan


penanganan terhadap efek penanganan terhadap efek samping. -
samping yang seharusnya
dapat di cegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan sudah disesuaikan
dengan kondisi pasien -
1. IVFD NaCl 0,9%
2. Ranitidine injeksi
3. Citicolin injeksi
4. Simvastatin pulv
5. Amlodipine pulv
6. Omeprazole injeksi
7. Gentamicin injeksi
8. Levofloxacin injeksi
9. Parasetamol Injeksi
10. IVFD Ringer Lactat
Terdapat kontraindikasi - Tidak terdapat kontraindikasi antar -
obat dan kondisi pasien.
Kondisi pasien tidak dapat - Obat yang digunakan tidak bisa .
disembuhkan oleh obat menyembuhkan pasien ditandai
dengan penurunan kesadaran pasien
secara drastis hingga menyebabkan
pasien meninggal dunia.
Obat tidak diindikasi - Tidak ada obat yang tidak -
untuk kondisi pasien diindikasikan untuk pasien. Semua
obat diindikasikan untuk kondisi
pasien
Terdapat obat lain yang - Obat yang diberikan sudah tidak
efektif efektif dalam proses penyembuhan.
Dimana pasien meninggal dunia. -
3. Dosis Tidak Tepat
Dosis terlalu rendah - Tidak ditemukan dosis yang terlalu -Penjelasan dosis :
rendah. 1. Dosis ranitidine injeksi
adalah 2-4 mg/kg/hari tiap
6-8 jam,tidak melebihi
50mg/tiap 1x pemberian
atau 200mg /hari. Pasien : 2
x 50mg.
2. Dosis citicoline injeksi
adalah 1000 mg /hari tiap 12
jam. Pasien :2 x 500mg.
3. Simvastatin dosis
usualnya yaitu 20-40 mg
hari. Dosis yang digunakan
1x 20mg
4. Amlodipine dosis usual
yaitu 5-10 mg/hari. Dosis
yang digunakan pasien 1x 5
mg
5. Omeprazole injeksi dosis
usual yaitu 80 mg/hari.
Dosis yang digunakan
pasien 2x 40 mg
6. Gentamicin injeksi dosis
usual yaitu 7 mg/kg/hari.
Dosis yang digunakan
pasien 1x 160 mg
8. Levofloxacin injeksi dosis
usual yaitu 400 mg/8 jam.
Dosis yang digunakan
pasien 1x 750 mg
9. Parasetamol Injeksi dosis
usual yaitu 4000 mg/hari.
Dosis yang digunakan
pasien 1x 3000 mg
Dosis terlalu tinggi - Tidak ditemukan dosis yang terlalu -
tinggi
Frekuensi pengguna tidak - Frekuensi obat yang diberikan telah
tepat tepat :
1. IVFD NaCl 0,9% / 12 jam
2. Ranitidine injeksi 2x 1 sehari
3. Citicolin injeksi 2x1 sehari
4. Simvastatin pulv 1x1 sehari
5. Amlodipine pulv 1x1sehari
6. Omeprazole injeksi 2x1 sehari
7. Gentamicin injeksi 1x1 sehari
8. Levofloxacin injeksi 1x1 sehari
9. Parasetamol Injeksi 3x1 sehari
10. IVFD Ringer Lactat / 8 jam
Durasi penggunaan tidak - Durasi penggunaan sudah tepat:
tepat
Penyimpanan tidak tepat - Penyimpanan obat sudah tepat,
dimana obat disimpan didalam
tempat obat pasien,menurut AHFS :
1. Ranitidine injeksi dibawah suhu
30˚ C dan terlindung dari
cahaya
2. Amlodipin injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya
3. Simvastatin injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya
4. Citicolin injeksi dibawah suhu
30˚ C dan terlindung dari
cahaya
5. Omeprazole injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya
6. Gentamisin injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya.
7. Levofloxacin injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya
8. Parasetamol injeksi dibawah
suhu 30˚ C dan terlindung dari
cahaya
9. IVFD NaCl 0,9% dibawah suhu
30˚ C dan terlindung dari
cahaya
10.IVFD RL dibawah suhu 30˚ C
dan terlindung dari cahaya
Terdapat interaksi obat - Tidak terdapat interaksi obat : Pada pasien ini dosis
Amlodipin dapat meningkatkan simvastatin yang digunakan
kadar simvastatin.manfaat tidak lebih dari 20mg/
kombinasi terapi harus hari,namun perlu dilakukan
dipertimbangkan dengan hati hati monitoring terhadap gejala
terhadap resiko kombinasi.yaitu miopati dan dan
potensi untuk peningkatan resiko rhabdomiolisis pada pasien
miopati/Rhabdomiolisis.Batasi karena obat digunakan
dosis simvastatin hingga tidak lebih jangka panjang.
dari 20 mg/ hari saat digunakan -
secara bersamaan.
4. Reaksi Yang Tidak
Diinginkan -
Obat tidak aman untuk - Semua obat yang dirterima pasien -
pasien aman untuk digunakan pasien

Terjadi reaksi alergi - Tidak terjadi reaksi alergi, pasien -


tidak memiliki riwayat alergi
sehingga obat aman digunakan
Terjadi interaksi obat - Tidak terjadi interaksi obat yang
terlihat dari pasien.
Dosis obat dinaikan atau - Tidak ada dosis obat yang dinaikkan -
diturunkan terlalu cepat / diturunkan
Muncul efek yang tidak - Tidak muncul efek yang tidak
diinginkan diinginkan

Administrasi obat yang - Administrasi obat yang diberikan


tidak tepat sudah tepat.

5. Ketidaksesuaian Pasien tidak mampu


Kepatuhan Pasien menyediakan obat sendiri
dikarenakan kondisi pasien
yang koma
Obat tidak tersedia - Obat yang direncanakan telah Karena kondisi pasien
tersedia menggunakan NGT dan
pasien yang mengalami
stress ulcer
Pasien tidak mampu ya Karena keadaan pasien yang
menyediakan obat dalam keadaan koma
Pasien tidak bisa menelan ya Karena keadaan pasien
obat atau menggunakan masih koma
obat
Pasien tidak mengerti - Keluarga Pasien mengerti instruksi
intruksi penggunanan obat penggunaan obat
Pasien tidak patuh atau - Pasien patuh dalam menggunakan -
memilih untuk tidak obat, obat-obat untuk pasien rawat
menggunakan obat inap disediakan dalam bentuk UDD
untuk satu kali pakai, sehingga
ketidakpatuhan pasien dapat
teratasi.
6. Pasien Membutuhkan -
Terapi Tambahan
Terdapat kondisi yang - Tidak ada kondisi yang tidak
tidak diterapi mendapatkan terapi

Pasien membutuhkan obat - Pasien tidak membutuhkan obat lain


lain yang sinergis yang sinergis
Pasien membutuhkan - Pasien tidak membutuhkan terapi
terapi profilaksis profilaksis
4.2 Assesment (Rekomendasi)

Nama Penyakit Nama Obat Mekanisme Kerja Dosis


Stroke Non Penangan Akut:  trPa Obat ini bekerja memecah  trPA 0,9 mg/kg
Hemoregik(Stroke  trPA ( Recombinant trombus dengan mengaktivasi intravena (Maksimum
Iskemik) Tissue Plasminogen plasminogen yang terikat pada fibrin. 90 kg) selama 1jam
Activator ) pada pasien-pasien
contoh : Alteplase tertentu dalam onset 3
jam.
 Aspirin menghambat agregasi platelet  Aspirin
melalui jalur agregasi tromboxan. 160-325 mg setiap hari
 Aspirin dimulai dalam onset
48 Jam.

 Aspirin menghambat agregasi platelet


melalui jalur agregasi tromboxan.  Aspirin 50-325 mg
Pencegahan Sekunder:  Clopidogrel yang merupakan derivate  Clopidogrel 75 mg
 Nonkardioembolik thienopyridine, yang memiliki efek setiap hari
Terapi Antiplatelet anti inflamasi selain menghambat
1. Aspirin ADP-yang menginduksi terjadinya  Aspirin 25 mg +
2. Clopidogrel agregasi platelet. Clopidogrel Dipiridamol dengan
3. Aspirin + Dipirimadol merupakan prodrug yang harus pelepasan diperlambat
dikonversi ke bentuk aktif di hepar. 200 mg dua kali sehari
Setelah clopidogrel diabsorpsi di
dalam usus, dimana penyerapan
dibatasi oleh P-glikoprotein yang
dikodekan oleh gen ABCB1.
Sebagian besar obat (sekitar 85%)
dimetabolisme oleh esterase menjadi
bentuk yang tidak aktif, sedangkan
sisanya dikonversi dari prodrug ke
bentuk aktif oleh enzim sitokrom
P450 (CYP) oleh isoform aktif. Ikatan
permanen metabolit aktif tersebut
dengan reseptor P2Y12 menghasilkan
blokade efektif terhadap aktivasi
platelet yang diinduksi ADP serta
agregasi platelet. Clopidogrel secara
ireversibel menghambat reseptor
ADP, dikodekan oleh gen P2RY12
yang bertanggung jawab untuk
menonaktifkan reseptor febrinogen,
glikoprotein IIb / IIIa, untuk agregasi
platelet. Langkah oksidatif CYP
dependen sangat penting untuk
konversi prodrug ke bentuk aktifnya,
juga pengangkutan alel CYP2C19 dan
CYP3A4 tertentu, misalnya, dapat
dikaitkan dengan respons terhadap
clopidogrel karena metabolisme
clopidogrel yang bergantung pada
terjadinya oksidasi. Polimorfisme gen
CYP2C19 terdiri dari kehilangan
fungsi alel dari isoform fungsi 1 dan
*2 dan *3. Metabolisme yang buruk
dapat berasal dari kerusakan kedua
fungsi alel, jika salah satu yang rusak
maka disebut kerusakan intermediate.
Selain itu, terdapat gen CYP2C19 *17
yang berfungsi sebagai jalur cepat
konversi clopidogrel ke bentuk
aktifnya.

 Dipirimidol
Menghambat ambilan dan
metabolisme adenosisn oleh eritrosit
dan sel endotel pembuluh darah,
dengan demikian meningkatkan
kadarnya dalam plasma. Adenosin
menghambat fungsi trombosit dengan
merangsang adenilat siklase dan
merupakan vasodilator. Dipirimidol
juga memperbesar efek antiagresi
platelet prostasiklin. Efek samping
yang paling sering yaitu sakit kepala.
Bila
digunakan untuk pasien angina
pectoris, dipiridamol kadang-kadang
memperberat gejala karena terjadinya
fenomena coronary steal.

 Mekanisme kerja warfarin yaitu


dengan cara menghambat sintesis
vitamin K di hati, sehingga
memengaruhi faktor-faktor
pembekuan II, VII, IX dan X., dengan
mengubah residu asam glutamate
menjadi residu asam gama-
karboksiglutamat.
 Dosis Awal Warfarin
4-5 mg/hari, dosis
 Kardioembolik (Terutama pemeliharaan harus
fibrilasi atrium) disesuaikan melalui
1. Warfarin pemantauan bekala
dengan indicator aktu
protombin.
Stress Ulcer Golongan Mekanisme kerja memblokir histamine pada Ranitidin
1. Antagonis H2 reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal IV : 2 x 50mg
 Ranitidin tidak terangsang mengeluarkan asam 1x 50 mg
lambung.
Dosis Rekomendasi ASHP:
50mg setiap 6-12 jam (IV)
Dosis Maksimal:
400 mg/ hari.
PO: 3x150mg
2x150mg
Dosis Rekomendasi ASHP:
150mg 2x/hari (PO)

2. PPI (Proton Pum Mekanisme PPI Memblokir kerja enzim Omeprazole:


Inhibitor) K+H+ATP-ase yang akan memecah IV: 1x40mg/ml
 Omeprazol K+H+ATP. Pemecahan K+H+ATP akan 2x40mg/ml
 Lansoprazole menghasilkan energy yang digunakan untuk Dosis rekomendasi ASHP:
mengeluarkan asam dan kanalkuli sel parietal 20-40 mg per hari PO atau
kedalam lumen lambung. NG.
PO: 2x20mg/ml
3x20 mg/ml
Dosis rekomendasi ASHP:
Hipersekresi asam lambung;
dosis > 80 mg dapat diberikan
dalam dosis terbagi .
Dosis Maksimal; 360mg/Hari.
Lansoprazole:
PO: 1x 30 mg
Dosis rekomendasi ASHP:
30mg/hari.

PO: 3x1g/10ml
Mekanisme sitoprotektif, adalah membentuk 3x1,5g/15ml
kompleks ulser adheren dengan eksudat 3x3g/30ml
3. Golongan obat protein seperti albumin dan fibrinogen pada 4x1,5g/15ml
Sitoprotektif sisi ulser dan melindunginya dari serangan 4x3g/30ml
 Sucralfat asam, membentuk barrier viskos pada Dosis Rekomendasi ASHP:
permukaan mukosa dilambung dan 1g, 4x perhari Po(Pada saat
duodenum , serta menghambat aktivitas perut kosong).
pepsin dan membentuk ikatan garam dengan Dosis maksimum:
empedu. 8g/hari.
HAP (Hospital Antibiotik Beta laktam mekanisme menganggu sintesis
Acquired Beta Laktam: dinding sel bakteri, dengan menghambat Sefalosforin
Pneumonia. Blaktam/ penghambat B langkah terakhir dalam sintesis antipseudomonal: 1-2gr
laktamase peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang setiap 8-12 jam.
Sefalosforin antipseidominal, memberikan stabilitas mekanik pada dinding Sefepim: 2 gr setiap 8 jam.
sefepim, seftasidim. sel bakteri. Seftasidim: 1gr setiap 8 ja,.

Karbapenem: 1gr setiap 8jam


Karabapenem, meropenem. Meropenem: 500 mg setiap

6 jam/ 1gr setiap 8jam.


Aminoglikosida
4,5 gr setiap 6 jam.
Gentamisin
7mg/kgBB/hr
Tobramisin
7mg/KgBB/hr
Kuinolon antipseudomonal
20 mg/KgBB/ hr
Levoflaksasin
750 mg setiap hari
Vankomisin
400 mg setiap 8jam
Linesolid
15mg/kgBB/12jam
Teikoplanin
600mg setiap 12 jam
400/hari
Sepsis Menurut Opal ( 2012 ) ,
penatalaksanaan pada pasien
sepsis dapat dibagi menjadi :
1. Nonfarmakologi
Mempertahankan oksigenasi ke
jaringan dengan saturasi >70%
dengan melakukan ventilasi
mekanik dan drainase infeksi
fokal.
2. Sepsis Akut Menjaga tekanan
darah dengan memberikan
resusitasi cairan IV dan
vasopressor yang bertujuan
pencapaian kembali tekanan
darah >65 mmHg, menurunkan
serum laktat dan mengobati
sumber infeksi.
f. Hidrasi IV, kristaloid sama
efektifnya dengan koloid
sebagai resusitasi cairan.
g. Terapi dengan vasopresor
(mis., dopamin, norepinefrin,
vasopressin) bila rata-rata
tekanan darah 70 sampai 75
mm Hg tidak dapat
dipertahankan oleh hidrasi
saja. Penelitian baru-baru ini
membandingkan vasopresin
dosis rendah dengan
norepinefrin menunjukkan
bahwa vasopresin dosis
rendah tidak mengurangi
angka kematian
dibandingkan dengan
norepinefrin antara pasien
dengan syok sepsis.
h. Memperbaiki keadaan
asidosis dengan memperbaiki
perfusi jaringan dilakukan
ventilasi mekanik ,bukan
dengan memberikan
bikarbonat.
i. Antibiotik diberikan menurut
sumber infeksi yang paling
sering sebagai rekomendasi
antibotik awal pasien sepsis.
Sebaiknya diberikan
antibiotik spektrum luas dari
bakteri gram positif dan gram
negative.cakupan yang luas
bakteri gram positif dan gram
negative (atau jamur jika
terindikasi secara klinis).
j. Pengobatan biologi
Drotrecogin alfa (Xigris),
suatu bentuk rekayasa
genetika aktifasi protein C,
telah disetujui untuk
digunakan di pasien dengan
sepsis berat dengan
multiorgan disfungsi (atau
APACHE II skor >24); bila
dikombinasikan dengan
terapi konvensional, dapat
menurunkan angka
mortalitas.
3. Sepsis kronis Terapi antibiotik
berdasarkan hasil kultur dan
umumnya terapi dilanjutkan
minimal 2 minggu
4.3 Rencana Asuhan Kefarmasian

4.3.1 Pemantauan Efek Terapi pada Pasien Stroke Iskemik

No Masalah Medis Rekomendasi Terapi Parameter Pemantauan Nilai Frekuensi


Pemantauan
1. Stroke Iskemik Statin: Menurunkan kadar Kadar kolesterol Setiap 2 hari sekali
(menurunkan Simvastatin 20mg kolesterol total dari hasil total <220mg/dl dilakukan
kolesterol) pemeriksaan hematologi pemeriksaan
308mg/dl Hematologi untuk
memantau kadar
kolesterol
Stroke Iskemik Citicoline 500mg/12 jam IV Tidak terjadinya Dapat dilihat dari Pemeriksaan
(neuroprotektor) (2x1) perburukan neurologi hasil CT Scan dilakukan
yaitu infark yang semakin menggunakan alat
meluas dan dapat dilihat CT Scan dan
dari hasil CT Scan angiografi serta
apabila sudah
terjadi penurunan
kesadaran maka
pengobatan dapat
ditambah dosis atau
ganti obat
2. Hipertensi CCB: Tekanan darah <160/90mmHg 3 kali sehari
Amlodipine
3. Stress Ulcer H2 Reseptor Inhibitor: Menurunkan sekresi - Dilihat dari kondisi
Inj Ranitidine 50mg/12jam asam lambung dan pepsin selang NGT apakah
darah sudah bersih
PPI (Proton Pump
Inhibitors):
Inj Omeprazole 40mg/12jam
4. Nyeri Analgesik: Kondisi pasien pada TD 3x sehari
Paracetamol 3x1000mg Meringankan rasa nyeri saat di ICU
mengalami koma Hematologi 2 hari
namun nyeri dapat sekali
dilihat dari nilai Suhu 3x sehari
Leukosit, Tekanan Frekuensi nadi 1x
Darah, Frekuensi sehari
Nadi dan Suhu
5. Pneumonia Antibiotik: - Mengurangi infeksi Leukosit <(3,37- Pemeriksaan
Inj Levofloxacin 1x750mg yang terjadi diparu- 10x103/mm3) hematologi 2 hari
Inj Gentamicin 1x160mg paru dimana nilai T 36,5ºC-37ºC sekali
leukosit menurun Pemeriksaan suhu
- Frekuensi batuk sudah tubuh setiap hari
berkurang
- Warna sputum sudah
bening
- Suhu sudah normal
6. Stabilisasi kadar O2 3L/menit Ditandai dengan kadar Kadar oksigen Pemeriksaan
oksigen oksigen dalam darah dalam darah 75-100 dilakukan apabila
normal mmHg sehari 2 kali
7. Penyeimbang Cairan IVFD NaCl 0,9%/12 jam Kadar natrium dalam 136-145mmol/L Pemeriksaan
elektrolit keadaan normal hematologi
dilakukan 2 hari
sekali

4.3.2 Monitoring Efek Samping Obat

No Nama Manifestasi Regime Cara Mengatasi ESO Evaluasi


Obat ESO n Dosis Tgl Uraian
1 NaCl Kerusakan 0,9% / Jika pasien mengalami retensi cairan diberikan 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
Infus ginjal 12 jam diuretic hemat kalium sembari dilakukan – samping ini
monitoring nilai kalium 09/02/21
Retensi cairan
2 Ranitidin Diare 2 x 50 Jika pasien mengalami diare, anjurkan kepada 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
Injeksi mg/hari pasien untuk meminum teh pahit – samping
09/02/21
Mual dan Jika pasien mengalami mual dan muntah,
muntah anjurkan kepada pasien untuk minum air
hangat

Sakit kepala Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan


kepada pasien untuk beristirahat
3 Citicolin Diare 2 x 500 Jika pasien mengalami diare, anjurkan kepada 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
Injeksi mg/hari pasien untuk meminum the pahit – samping
09/02/21
Jika pasien mengalami konstipasi, anjurkan
Konstipasi kepada pasien untuk minum air putih dan
makan makanan kaya serat

Sakit kepala Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan


kepada pasien untuk beristirahat
4 Simvasta Ruam dan 1 x 20 Jika pasien mengalami ruam dan reaksi alergi 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
tin reaksi alergi mg lainnya, anjurkan pemberian bedak salisil talk – samping ini
09/02/21
Pusing
Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan
kepada pasien untuk beristirahat
5 Amlodip Sakit kepala 1x5 Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
in mg kepada pasien untuk beristirahat – samping ini
09/02/21

6 Omepraz Mual, Jika pasien mengalami mual dan muntah, 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
ole muntah, anjurkan kepada pasien untuk minum air – samping ini
hangat 09/02/21

Diare, Jika pasien mengalami diare, anjurkan kepada


pasien untuk meminum teh pahit

Sakit kepala, Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan


pusing, kepada pasien untuk beristirahat

7 Paraceta Ruam kulit Jika pasien mengalami ruam anjurkan 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
mol pemberian bedak salisil talk – samping ini
09/02/21
Mual, muntah Jika pasien mengalami mual dan muntah,
anjurkan kepada pasien untuk minum air
hangat
8 Levoflox Diare Jika pasien mengalami diare, anjurkan kepada 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
acin pasien untuk meminum teh pahit – samping ini
09/02/21
Mual, muntah Jika pasien mengalami mual dan muntah,
anjurkan kepada pasien untuk minum air
hangat
Sakit kepala Jika pasien mengalami sakit kepala, anjurkan
pusing kepada pasien untuk beristirahat

Reaksi alergi Jika pasien mengalami reaksi alergi anjurkan


pemberian bedak salisil talk

Gangguan Jika mengalami gangguan tidur pasien


tidur disarankan untuk mengatur pola tidur,
mengurangi konsumsi caffein jika belum
teratasi bisa dikonsultasikan ke dokter untuk
mendapatkan terapi obat-obatan
9 Gentami Diare Jika pasien mengalami diare, anjurkan kepada 08/02/21 Pasien tidak mengalami efek
cin pasien untuk meminum teh pahit – samping ini
09/02/21
Mual, Jika pasien mengalami mulut kering dapat
muntah, dianjurkan pasien untuk banyak minum air
mulut kering putih hangat

Lelah Jika pasien kelelahan pasien disarankan


banyak istirahat
4.4 Pembahasan

Seorang pasien berinisial Tn. M rujukan dari RS Yarsi Bukit Tinggi datang

masuk IGD pada pukul 20.25 WIB tanggal 08 Februari 2021 dengan keluhan utama

lemah anggota gerak sebelah kiri 3 hari SMRS. Kondisi awal pasien tidak dapat

berbicara dikarenakan lemah anggota gerak yang dialami pasien, pasien juga tidak

dapat menelan dimana pasien mengeluhkan sakit pada lambung, buang air besar

dan buang air kecil pasien masih normal. Pada saat di RS Yarsi pasien memiliki

keluhan berupa lemah anggota gerak sebelah kiri, mual muntah, nyeri kepala hebat,

pusing berputar kemudian dokter mendiagnosa pasien mengalami multiple cranial

nerves palsy, vertigo sentral dan Hemiparesis sinistra serta Hipertensi lalu pasien

mendapat terapi berupa IVFD NS/12 jam, Inj. Mannitol 125cc/6jam, Inj. Citicoline

500mg/12jam, Inj. Paracetamol 1000/6jam, Inj. Diazepam 5mg, Codein 3x1C,

Betahistin 3x6mg, dan Farmacrol. Setelah pemberian pengobatan di RS Yarsi Bukit

Tinggi nyeri yang dialami pasien sudah mulai berkurang namun kesadaran pasien

semakin memburuk dan lemah anggota gerak sebelah kiri tidak kunjung membaik,

maka pada tanggal 08 Februari 2021 pukul 20.26 WIB dengan keluhan yang

hamper sama namun, sakit kepala sudah (-), mual (-), muntah (-), namun tidak dapat

berbicara dan sulit menelan atau keadaan pasien menggunakan selang NGT.

Diketahui pemeriksaan fisik dilakukan pada pasien yaitu KU: sedang, TD:

160/100mmHg, Nadi: 81x/menit, Pernafasan: 20x/menit, T:36ºC, tidak ditemukan

kelainan pada jantung dan kepala, serta bising usus (+) dan ekstremitas hangat. Pada

saat di IGD RS Otak Bukit Tinggi terapi yang diberikan berupa O2 3L/menit, IVFD

NaCl 0,9%/12jam, Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV, Inj. Citicolin 500mg/12jam IV,

Simvastatin 1x20mg, dan Amlodipin 1x10mg. Kemudian karena kondisi kesadaran


pasien yang semakin memburuk maka pasien di rujuk keruangan ICU untuk

mendapatkan perawatan yang lebih intensif.

Terapi yang diberikan kepada pasien pada saat di ICU adalah O2 3L/menit,

IVFD NaCl 0,9%/12jam, Inj. Ranitidine 50mg/12jam IV, Inj. Citicolin

500mg/12jam IV, Simvastatin, 1x20mg, Amlodipin 1x5mg, Omeprazole Inj, RL,

Inj Gentamicin 1x160mg, Inj, Levofloxacin 1x750mg, Inj Paracetamol 3x1000mg.

pada saat pasien di ICU diketahui pasien sudah didiagnosa stroke iskemik,

hemiparesis sinistra, HAP dengan sepsis serta stress ulcer. Pasien diberikan obat

simvastatin untuk menurunkan KGD random pasien yang tinggi yaitu 226mg/dl dan

KGD nukther 268mg/dl, kemudian pasien juga diberikan obat amlodipine untuk

mengurangi tekanan darah pasien, serta diberikan obat ranitidine dan omeprazole

untuk mengatasi gangguan lambung yang dialami pasien. Pasien diberikan terapi

oksigen untuk stabilisasi jalan nafas agar pasien tidak mengalami hipoksia, pasien

juga diberikan NaCl 0,9% sebagai sumber cairan elektrolit tubuh pasien dan

menjaga perfusi serebral dan menjaga euvolemia. Euvolemia adalah status volume

normal cairan tubuh yang menghasilkan pengisian ruang jantung secara adekuat

dan memungkinkan jantung menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan

oksigen tubuh.

Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau

berkurang akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah

(stroke hemoragik). Stroke adalah penurunan sistem saraf pusat utama secara tiba

tiba yang berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah.

Serangan iskemia sementara atau transient ischemia attacks (TIAs) adalah iskemia

sistem saraf utama menurun selama kurang dari 24 jam dan biasanya kurang 30
menit. Tujuan dari penatalaksanaan terapi stroke adalah untuk mengurangi luka

sistem saraf yang sedang berlangsung dan menurunkan kematian dan cacat jangka

panjang, mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem

saraf dan mencegah kekambuhan stroke. Penatalaksanaan untuk stroke iskemik

dengan onset 3 jam diberikan alteplase 0,9mg/kgBB IV (Dipiro) atau dapat

diberikan aspirin 160mg-325mg dengan onset 48 jam. Namun pada pasien dikasus

ini tidak diberikan karena onsetnya sudah lebih dari 3 jam yaitu 3 hari. Pasien juga

diberikan injeksi ranitidine serta injeksi omeprazole sebagai terapi profilaksis stress

ulcer namun dikondisi ini pasien juga mengalami stress ulcer pada saat di RS Yarsi

Bukit Tinggi. Keadaan stress pada pasien dapat memicu sekresi asam lambung yang

berlebihan mengakibatkan stress ulcer muncul. Pasien juga diberikan simvastatin

20mg (1x) saat di IGD, rawat inap dan juga ICU. Simvastatin diberikan sebagai

terapi profilaksis sekunder stroke iskemik untuk mencegah agregasi platelet yang

dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah dengan mekanisme kerja

yaitu inhibitor reduktase HMG-CoA, menghambat langkah pembatasan kadar

dalam biosintesis kolesterol dengan cara kompetitif menghambat HMG-CoA

reduktase. Dosis Usual simvastatin yaitu 20-40mg/hari. Dosis yang digunakan

adalah 1x20mg.

Pasien sebelum masuk RS Yarsi mengeluhkan mengalami sakit kepala

hebat sehingga pasien diberikan obat paracetamol 3x1000mg untuk mengatasi nyeri

tersebut. Paracetamol tetap diberikan kepada pasien meskipun suhu pasien tidak

tinggi. Pemberian paracetamol bertujuan sebagai analgesic untuk pasien. Walaupun

pasien tidak sadar dapat diamati dari peningkatan darah denyut nadi dan laju

pernafasan.
Pasien juga mengalami hipertensi pada saat diawal masuk RS Otak bukit

tinggi dimana tekanan darah pasien sebesar 160/100mmHg, maka dari itu diberikan

pemberian amlodipine 1x10mg pada awalnya dan diturunkan menjadi 1x5mg.

Pemberian obat antihipertensi ini untuk menurunkan tekanan darah sehingga tidak

memperparah keadaan stroke yang sudah dialami pasien. Semakin tinggi tekanan

darah, semakin besar risiko stroke karena saat tekanan darah sedang tinggi, akan

menekan pembuluh darah dan memaksa jantung bekerja lebih keras, menyebabkan

pembuluh menyempit. Saat pembuluh darah menyempit inilah penyumbatan lebih

mungkin terjadi yang bisa menyebabkan terjadinya stroke.

Pada pasien juga mengalami sepsis, sepsis merupakan respon sistemik

pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi

darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis termasuk komplikasi

berbahaya akibat infeksi. Komplikasi infeksi tersebut dapat menimbulkan tekanan

darah turun drastis serta kerusakan pada banyak organ. Kedua hal ini dapat

menimbulkan kematian. Pada kasus ini pasien pasien mengalami penurunan

kesadaran disertai dengan suhu yang meningkata serta tekanan yang menurun

secara drastic dalam waktu 6 jam. Pada saat pasien dipindahkan ke ICU pukul 07.15

WIB pasien mengalami peningkatan suhu yaitu 38,3ºC hal ini diduga disebabkan

infeksi atau sepsis yang dialami pasien, TD pasien masih 150/76mmHg, denyut

nadi sudah mencapai 143x/menit sementara normalnya adalah 70-80x/menit maka

dapat dikatakan pasien mengalami takikardia (percepatan denyut jantung),

kemudian laju pernafasan pasien sudah mencapai 48x/menit dan hal ini sudah

melebihi batas normal yaitu 16-20x/menit dapat disebut sebagai tachypnea. Pada

pukul 09.00 WIB denyut nadi pasien sudah mencapai 159x/menit dan laju
pernafasan 32x/menit sementara itu keadaan pasien masih koma, nafas seperti

mengorok, pasien masih mengalami demam serta cairan lambung pasien keluar

berwarna hitam, serta tekanan darah pasien sudah menurun yaitu 113/71mmHg.

Pada pukul 13.50 pasien dilaporkan mengalami syok sepsis dan diberikan

pengobatan norephineprin 1 ampul dalam 50 cc NaCl 0,9% melalui siringe pump.

Pemberian obat norephineprine sebagai terapi syok sepsis memang dianjurkan,

bahkan pasien mengalami penurunan tekanan darah secara konsisten yang diduga

disebabkan oleh sepsis yang sudah menginfeksi berbagai organ. Norepinefrin, yang

saat ini menjadi standar tatalaksana syok sepsis, sangat efektif dalam menaikkan

tekanan darah arteri dan dapat dititrasi untuk mencapai mean arterial pressure

(MAP) yang diinginkan. norepinefrin biasanya digunakan untuk mengobati pasien

dengan kondisi mengalami hipotensi vasopress, maka dari itu hal ini sesuai dengan

kondisi pasien yang mengalami hipotensi.

Pada kasus ini pasien juga menggunakan alat syringe pump yang berguna

Untuk menjaga pemberian medikasi intravena sesuai kebutuhan klien dan Untuk

memberikan medikasi dengan dosis kecil dan waktu pemberian yang lama. Konsep

dasar mengoperasikan syringe/infus pump adalah concentrate (konsentrasi dalam

meq/cc) , dosis dan speed (kecepatan dalam ml/jam).

a. concentrate

Hal yang perlu diperhatikan dalam konsentrasi larutan adalah kandungan

obat dalam sediaan (ampul atau vial) yang dapat dilihat di kemasan obat.
b. Pengenceran

Setelah mengetahui kandungan obat dalam 1 ampul ,maka langkah

selanjutnya adalah Pengenceran dan penentuan konsentrasi obat dalam

syringe. Misal:

c. Dosis

Dosis obat pada tiap individu dapat berbeda bergantung pada berbagai

faktor misalnya segi penyebab (syok kardio, syok septik dsb).


d. speed

Ada beberapa alat yang menggunakan 2 angka di belakang koma atau hanya

1 angka di belakang koma. Biasanya SPEED dinaikkan berhubungan

dengan kenaikan dosis tiap beberapa menit. Adapun rumus untuk penentuan

speed adalah:

(dosis x kgBB x 60)/Konsentrasi.

e. Contoh Soal:

Diketahui : Pasien berat badan 50kg dengan syok septik membutuhkan

terapi Norepinefrin menggunakan syringe pump mulai pukul 08.00. Dosis

dinaikkan 0.01 tiap 15 menit dilanjutkan dengan pemeriksaan TTV hingga

Mean Arterial Pressure (MAP) pasien ≥ 70 mmHg

a. Konsentrasi

1 SYRINGE = 0 – 50 cc

Jika mengencerkan 1 AMPUL dengan 40 cc maka: 40 cc atau 40 ml =

4.000meq

1ml = 100 meq

b. Dosis

Dosis awal pukul 08.00 = 0,05 dinaikkan 0.01/15menit

c. Speed
DAFTAR PUSTAKA

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2004. Surveillance Summaries.

May 21, 2004. MMWR 2004:53 (No. SS-2)

AHA/ASA Guideline. Guideline for the early management of adults with ischemic

stroke. Stroke 2007.

AHFS, 2011, AHFS Drug Information, Bethesda : American Society of Health

System Pharmacists

American Thoracic Society (ATS) and The Infection Diseases Society of America

(IDSA), 2005. Guidline of The Management of Adults with

HospitalAcquired, Ventilator-Assosiated Pneumonia and Healtcare-

Assosiated Pneumonia, Am J Respir Crit Care Med, America. America.

Diakses Juli 2017. Sumber: http//cid.oxfordjournals.org

ASHP statement on pharmaceutical care in medication therapy and patient care:

organization and delivery of service-statements. Retrieved

fromhttp://www.ashp.org/doclibrary/bestpractices /orgstpharmcare.aspx

Broderick J, Sander C, Edward F, Daniel H, Carlos K, Derk K., et al. 2007.


Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage in
adults. J of American Heart Association. (1): 2005-17.
Chen, K., and Pohan, H.T., 2009. Penatalaksanaan Syok Septik. In: Sudoyo, A.W.,

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 252-256.

Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: preventing recurrent stroke. In Cohen
SN.
Dasenbrook, E., and Merlo, C., 2008. Critical Care. In: Le, T., Hong, P.C., and

Baudendistel, T.E., ed. First Aid for The Internal Medicine Boards. 2nd ed.

USA: Mc Graw Hill,pg. 157-159.

Dipiro, Joseph T., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer. 2015. Pharmacotherapy

HandbookNinth Edition. USA: McGraw-Hill Education.

Dipiro, Joseph, T, et all. 2008. Pharmacoteraphy a Phatophysiologi

Approach.Edition: Mc. Grow Hill Companies.

Goodman and Gilman, 2008, Manual Farmakologi dan Terapi, Buku Kedokteran

EGC, Jakarta.

Hanum P, Lubis R, Rasmaliah. Hubungan Karakteristik dan Dukungan Keluarga

Lansia dengan Kejadian Stroke pada Lansia Hipertensi di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. JUMANTIK. 2017;3(1).

Khairunnisa N. 2014. Hemiparese sinistra, parese nervus vii, ix, x, xii e.c stroke
LaRosa, S.P., 2010. Sepsis. In: Gordon, S., ed. Current Clinical Medicine. 2nd ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier, 720-725.

Management of Ischemic Stroke. Mc Graw-Hill. Pp. 89-109.


Mardjono, M. 2009. Mekanisme gangguan vascular susunan saraf dalam Neurologi
klinis dasar edisi kesebelas. Dian Rakyat.
Moss, P.J., Langmead, L., Preston, S.L., Hinds, C.J., Watson, D., Pearse, R.M.,

2012. Kumar and Clark’s Clinical Medicine. 8th ed. Spanyol: Saunders

Elsevier.

Munford, R.S., 2008. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Fauci et al., ed. Harrison,s

Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: Mc Graw Hill, 1695-1702.

Nonhemorrhagic. JUKE Unila. 2(3): 53.


Opal, S.M., 2012. Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor 2012: 5

Books in 1. Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925.

PDPI. Pneumonia Nosokomial. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di

Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2016

Perdossi.2011.Guideine Stroke. Jakarta : Pokdi Stroke

Price, Wilson. 2003. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. edisi

6.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z., 2010. Sepsis Syndromes. In: Marx

et al., ed. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th

ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 1869-1879.

Sukandar, Elin Yulinah., R. Andrajati., J.I. Sigit., I.K. Adnyana., A.P. Setiadi dan

Kusnandar. 2013. Iso Farmakoterapi Buku 1. Jakarta: ISFI Penerbitan.

Anda mungkin juga menyukai