OLEH :
YULIYASTITA PAHRUN
202210461011031
2023
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN
KELOMPOK 2
NIM: 202210461011031
2.1.2 Etiologi
Faktor resiko terjadinya stroke dibagi menjadi dua faktor yakni faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk faktor yang
tidak dapat dimodifikasi yakni keturunan, ras, usia, dan jenis kelamin. Sedangkan
untuk faktor yang dapat dimodifikasi yakni seperti penyakit hipertensi, diabetes
melitus, hiperkolesterolemia, stres, merokok, obesitas dan gaya hidup yang
kurang sehat (Daniati 2018).
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang menyebabkan tekanan darah
tinggi secara terus-menerus dimana tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg,
tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih. Hipertensi atau penyakit darah tinggi
merupakan suatu keadaan peredaran darah meningkat secara kronis. Hal ini terjadi
karena jantung bekerja lebih cepat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi didalam tubuh (Alfian 2017). Hipertensi juga merupakan
faktor utama terjadinya gangguan kardiovaskular. Apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mengakibatkan gagal ginjal, stroke, demensia, gagal jantung, infark
miokard, gangguan penglihatan dan hipertensi. Kejadian hipertensi bisa merusak
dinding pembuluh darah yang bisa dengan mudah akan menyebabkan
penyumbatan bahkan pecahnya pembuluh darah di otak (Andrian 2018).
Sedangkan penyebab lain dari stroke yakni diabetes melitus. Diabetes
mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak cukup dalam
memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin itu
sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah (Institute for
Health Metrics and Evaluation 2017). Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula
darah adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang
dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya pada
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi
kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal). Kadar gula darah yang terlalu tinggi
dalam darah dapat menyebabkan terbentuknya sumbatan dan deposit lemak di
pembuluh darah sehingga gula darah yang tidak terkontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya stroke iskemik (American Diabetes Association 2017).
2.1.3 Epidemiologi
Kejadian penyakit stroke adalah penyebab utama kematian secara global.
Diperkirakan 17,9 juta orang meninggal karena CVD pada 2019, mewakili 32%
dari semua kematian global. Dari kematian tersebut, 85% disebabkan oleh
serangan jantung dan stroke. Lebih dari tiga perempat kematian akibat penyakit
kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Dari 17 juta kematian dini (di bawah usia 70) karena penyakit tidak menular pada
2019, 38% disebabkan oleh CVD (World Health Organization 2021).
Menurut (Riset Kesehatan Dasar 2018) prevalensi stroke di Indonesia
mencapai 10,9 per mil. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur
yakni 14,7 per mil, dan prevalensi terendah pada Provinsi Papua yakni 4,1 per
mil. Kejadian stroke semakin meningkat sesuai dengan pertambahan usia yakni
usia >75 tahun. Persentase terbanyak pada laki-laki yakni 11,0 dan pada
perempuan sebanyak 10,9. Pada perkotaan menyumbang kasus stroke terbanyak
yakni 12,6 dan pada pedesaan sebanyak 8,8.
2.1.4 Klasifikasi
Menurut (Fingiyah 2017), stroke iskemik dibagi menjadi dua lokasi
penggumpalan, yakni stroke iskemik trombotik dan stroke iskemik emboli.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
Pada stroke iskemik, ada beberapa tanda dan gejala yang akan terjadi,
yakni sebagai berikut:
1. TIA (Transient Ischaemic Attack) atau serangan stroke sementara. Pada
TIA, kelainan neurologis yang timbul berlangsung hanya dalam hitungan
menit sampai sehari penuh. TIA biasanya disebabkan oleh sumbatan
karena trombus atau emboli. Gejala dan tanda-tandanya sesuai dengan
bagian yang terserang, apakah pada sistem karotis dan vertebrobasiler.
Gejala TIA yang disebabkan terserangnya sistem karotis adalah
gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri (amaurosis
fugax), terutama bila disertai dengan:
a. Kelumpuhan lengan, tungkai, atau keduanya pada sisi yang sama.
b. Defisit motorik dan sensorik pada wajah. Wajah dan lengan atau
tungkai saja secara unilateral.
c. Kesulitan untuk berbahasa, sulit mengerti atau berbicara,
pemakaian kata kata yang salah atau diubah.
a. Vertigo dengan atau tanpa nausea dan atau munta, terutama bila
disertai dengan diplopia, disfagia, dan disartria.
b. Mendadak tidak stabil.
c. Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral, atau bilateral
d. Hemianopsia homonym.
e. Serangan drop atau drop attack (Iskandar 2017)
2.1.6 Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan local (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskuler) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung).
Aterosklerosis sering menjadi faktor penyebab infark pada otak. Trombus
dapat berasal dari plak aterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang
stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan.
Oleh karena itu trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema
dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau rupture. Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur
aterosklerosis dan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan
yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang
lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4
hingga 6 menit. Perubahan inversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena dan sekitarnya tertekan lagi (Bararah
2016a).
Penyebab peningkatan tekanan intrakranial pada stroke iskemik yakni
adanya edema sitotoksik. Edema sitotoksik ini muncul karena adanya gangguan
pada membran sel dan pembengkakan elemen sel otak (neuron, glia, dan sel
endotel) akibat kegagalan metabolisme energi seluler. Sehingga terjadi akumulasi
cairan intraseluler substansia grisea. Edema sitotoksik merupakan bentuk edema
yang pertama kali muncul pada stroke iskemik akut dan mendahului edema
vasogenik. Edema vasogenik bisa muncul saat setelah terjadinya edema sitotoksik
karena adanya gangguan pada sawar darah otak yang menyebabkan cairan
menumpuk di daerah intraseluler atau ekstraseluler dari otak. Proses edema ini
akan meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) yang terjadi pada stroke infark
yang luas.
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akan mengurangi perfusi serebral
dan dapat menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia tersebut dapat menyebabkan
vasodilatasi melalui mekanisme autoregulasi yang dalam rangka untuk
mengembalikan perfusi serebral. Dalam hal ini dapat dibuktikan dengan nyeri
kepala, muntah, kejang, perubahan status mental dan perubahan pada tingkat
kesadaran, terjadinya bradikardi, peningkatan tekanan darah, pernapasan yang
abnormal, bukti tambahan berupa kelainan gerakan mata, perubahan dan
ketidaksamaan ukuran pupil dan respon plantar ekstensor pada sisi lesi harus
menaikkan kecurigaan pada terjadinya edema otak.
Edema otak mulai berkembang segera setelah terjadinya iskemia dan
mencapai puncak dalam 24-96 jam. Biasanya kejadian ini terbatas pada daerah
iskemik dan tidak mempengaruhi otak yang berdekatan. Namun ketika kejadian
ini berkembang, edema ini akan menekan daerah otak yang berdekatan dengan
zona iskemik menyebabkan memburuknya status neurologi hingga mengalami
peningkatan pada tekanan intra kranial (TIK).
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan suatu fungsi nonlier dari fungsi otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan volume darah otak. Salah satu hal yang penting
dalam TIK yakni tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP
adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi
oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak. Tekanan intra kranial
banyak dipengaruhi oleh berbagai hal dan yang sangat mempengaruhi tekanan
tersebut adalah isi dalam intrakranial itu sendiri, yakni jaringan otak 80%, jumlah
darah ke area intrakranial 10% dan liquor cerebrospinal/LCS 10% dalam kondisi
normalnya. Perubahan TIK dipengaruhi oleh perubahan volume satu atau lebih
unsur-unsur yang ada dalam kranium tersebut.
Doktrin Monro Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium
selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang
jika ada penambahan volume. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini
atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematoma intrakranial),
akan menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya
untuk mempertahankan tekanan. Bila terdapat penambahan massa seperti
hematoma akan menyebabkan bergesernya LCS akan terdesak melalui foramen
magnum ke arah rongga subarachnoid spinalis dan vena akan segera
mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan intrakranial
melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial tersebut menyebabkan terjadinya
penambahan massa dalam tengkorak, perubahan sirkulasi cairan serebrospinal,
dan terbentuknya edema sekitar iskemik. Pada penambahan massa, perubahan
sirkulasi cairan serebrospinal tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi dari
peningkatan tekanan intrakranial. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung
sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini terlampaui
maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.
Normalnya otak dapat mengkompensasi adanya perubahan volume minimal yang
disebabkan oleh adanya kolaps sisterna, koma ventrikel, dan sistem pembuluh
darah dengan cara meningkatkan CSF (cerebrospinal fluid/cairan serebrospinal).
WOC CVA Infark
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: Faktor yang dapat dimodifikasi: Hipertensi, Hiperkolesterolemia,
umur, jenis kelamin, genetik. DM, Riwayat Penyakit Jantung, Life Style; obesitas, diet dan stress.
CVA INFARK/
STROKE ISKEMIK
Mekanisme kompensasi
dari peningkatan TIK
Penumpukkan cairan intraseluler Kelumpuhan mekanisme pompa
pada neuron & glia & sel endotel natrium ATP dependen
Iskemik pada arteri serebral anterior Iskemik pada arteri serebral medial Iskemik pada arteri serebral posterior
2.1.8 Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami stroke infark
maka penatalaksanaan pada klien stroke infark terdiri dari penatalaksanaan medis atau
farmakologi, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diet.
1. Penatalaksanaan medis:
a. Membatasi atau memulihkan infark akut yang sedang berlangsung dengan
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-Plasminogen Activator).
b. Mencegah perburukan neurologis:
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark yaitu terapi dengan
manitol.
2) Ekstensi teritori infark yaitu dengan pemberian heparin.
3) Konversi hemoragik yaitu jangan memberikan antikoagulan.
c. Mencegah stroke berulang dini yaitu dengan heparin.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan stroke infark bertujuan untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk dan komplikasi yang dapat ditimbulkan. Untuk itu dalam
merawat pasien stroke perlu diperhatikan faktor-faktor kritis seperti mengkaji status
pernapasan, mengobservasi tanda-tanda vital, memantau fungsi usus dan kandung kemih,
melakukan kateterisasi kandung kemih, dan mempertahankan tirah baring.
3. Penatalaksanaan diet
Penatalaksanaan nutrisi yang dianjurkan pada klien dengan stroke infark yaitu dengan
memberikan makanan cair agar tidak terjadi aspirasi dan cairan hendaknya dibatasi dari
hari pertama setelah cedera serebrovaskuler (CVA) sebagai upaya untuk mencegah
edema otak, serta memberikan diet rendah garam dan hindari makanan tinggi lemak dan
kolesterol.
2.1.9 Komplikasi
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi medis,
adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi secara dini pada stroke, sering diperlihatkan
adanya gangguan kognitif, fungsional, dan defisit sensorik. Pada umumnya pasien pasca stroke
memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama
pemulihan stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam beberapa minggu pertama serangan
stroke.
Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor yang didapat dari
penilaian GCS klien :
a. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14
b. Nilai GCS Apatis : 13 – 12
c. Nilai GCS Delirium : 11 – 10
d. Nilai GCS Somnolen : 9 – 7
e. Nilai GCS Semikoma : 4
f. Nilai GCS Coma : 3
2) Skala Koma Glasgow
Pada keadaan perawatan sesungguhnya dimana waktu untuk mengumpulkan
data sangat terbatas, skala koma glasgow dapat memberikan jalan pintas yang
sangat berguna (Indrawati et al. 2020).
Berikut adalah skala koma glasgow :
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1
Terorientasi 5
Percakapan yang membingungkan 4
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai 3
Suara menggumam 2
Tidak ada respon 1
Mengikuti perintah 6
Menunjuk tempat rangsangan 5
Menghindar dari stimulus 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Sumber:
(Indra
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2 wati et al. 2020).
Tidak ada respon 1
c. Refleks
Reflek terjadi jika stimulasi sensori menimbulkan respon motorik. Kontrol
serebri dan kesadaran tidak dibutuhkan untuk terjadinya reflek. Reflek superfisial
dan reflek dalam dinilai pada sisi yang simetris dari tubuh dan dibandingkan dengan
menunjuk pada kekuatan yang ditimbulkannya. Sebagai contoh adalah reflek plantar.
Stimulus sensori diberikan dengan rabaan cepat pada pinggir luar telapak kaki dan
menyilang dari tumit kaki dengan menggunakan benda tumpul seperti kunci atau
spatel lidah. Respon motorik yang normal adalah ke bawah atau fleksi plantar jari-
jari kaki. Respon abnormal (babinski) adalah ibu jari dorsofleksi atau gerakan ke atas
ibu jari dengan atau tanpa melibatkan jari-jari kaki yang lain.
d. Perubahan Pupil
Pupil harus dapat dinilai ukuran dan bentuknya (sebaiknya dibuat dalam
milimeter). Suruh pasien berfokus pada titik yang jauh dalam ruangan. Pemeriksa
harus meletakkan ujung jari dari salah satu tangannya sejajar dengan hidung pasien.
Arahkan cahaya yang terang ke dalam salah satu mata dan perhatikan adanya
konstriksi pupil yang cepat (respon langsung). Perhatikan bahwa pupil yang lain juga
harus ikut konstriksi (respon konsensual). Anisokor (pupil yang tidak sama) dapat
normal pada populasi yang persentasenya kecil atau mungkin menjadi indikasi
adanya disfungsi neural.
e. Tanda-Tanda Vital
Tanda-tanda klasik dari peningkatan tekanan intrakranial meliputi kenaikan
tekanan sistolik dalam hubungan dengan tekanan nadi yang membesar, nadi lemah
atau lambat dan pernapasan tidak teratur (Arini, Adriatmoko, and Novita 2017).
f. Saraf Kranial
I. Olfaktorius: saraf kranial I berisi serabut sensorik untuk indera penghidu. Mata
pasien terpejam dan letakkan bahan-bahan aromatic dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II. Optikus: Akuitas visual kasar dinilai dengan menyuruh pasien membaca tulisan
cetak. Kebutuhan akan kacamata sebelum pasien sakit harus diperhatikan.
III. Okulomotorius: Menggerakkan sebagian besar otot mata
IV. Troklear: Menggerakkan beberapa otot mata
V. Trigeminal: Saraf trigeminal mempunyai 3 bagian: oftalmikus, maksilaris, dan
mandibularis. Bagian sensorik dari saraf ini mengontrol sensori pada wajah dan
kornea. Bagian motorik mengontrol otot mengunyah. Saraf ini secara parsial dinilai
dengan menilai reflek kornea; jika itu baik pasien akan berkedip ketika kornea
diusap kapas secara halus. Kemampuan untuk mengunyah dan mengatup rahang
harus diamati.
VI. Abdusen: Saraf kranial ini dinilai secara bersamaan karena ketiganya mempersarafi
otot ekstraokular. Saraf ini dinilai dengan menyuruh pasien untuk mengikuti
gerakan jari pemeriksa ke segala arah.
VII. Fasial: Bagian sensorik saraf ini berkaitan dengan pengecapan pada dua pertiga
anterior lidah. Bagian motorik dari saraf ini mengontrol otot ekspresi wajah. Tipe
yang paling umum dari paralisis fasial perifer adalah bell’s palsi.
VIII. Akustikus: Saraf ini dibagi menjadi cabang-cabang koklearis dan vestibularis, yang
secara berurutan mengontrol pendengaran dan keseimbangan. Saraf koklearis
diperiksa dengan konduksi tulang dan udara. Saraf vestibular mungkin tidak
diperiksa secara rutin namun perawat harus waspada, terhadap keluhan pusing atau
vertigo dari pasien.
IX. Glosofaringeal: Sensorik: Menerima rangsang dari bagian posterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi rasa. Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam
X. Vagus: Saraf kranial ini biasanya dinilai bersama-sama. Saraf Glosofaringeus
mempersarafi serabut sensori pada sepertiga lidah bagian posterior juga uvula dan
langit-langit lunak. Saraf vagus mempersarafi laring, faring dan langit-langit lunak
serta memperlihatkan respon otonom pada jantung, lambung, paru-paru dan usus
halus. Ketidakmampuan untuk batuk yang kuat, kesulitan menelan dan suara serak
dapat merupakan pertanda adanya kerusakan saraf ini.
XI. Aksesoris spinal: Saraf ini mengontrol otot-otot sternokleidomastoideus dan otot
trapesius. Pemeriksa menilai saraf ini dengan menyuruh pasien mengangkat bahu
atau memutar kepala dari satu sisi ke sisi lain terhadap tahanan, bisa juga di bagian
kaki dan tangan.
XII. Hipoglosus: Saraf ini mengontrol gerakan lidah. Saraf ini dinilai dengan menyuruh
pasien menjulurkan lidah. Nilai adanya deviasi garis tengah, tremor dan atropi. Jika
ada deviasi sekunder terhadap kerusakan saraf, maka akan mengarah pada sisi yang
terjadi lesi (Mutaqqin 2013).
1. Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai
darah serebral, gangguan oklusif, haemoragik, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, paralisis.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
kesulitan menelan dan menurunnya nafsu makan.
4. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sensorik, immobilisasi,
inkontinensia, perubahan status nutrisi.
5. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskular, kehilangan tonus/kekuatan otot, kelemahan/kelelahan umum.
6. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi, integritas, stres, psikologis.
7. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan dan ketahanan kerusakan kognitif, nyeri, depresi.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan yang berhubunagan dengan
keterbatasan pengetahuan, tidak mengenai sumber-sumber informasi.
1. Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai
darah serebral, gangguan oklusif, haemoragik, vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan: Mempertahankan perfusi jaringan serebral adekuat.
Kriteria Evaluasi:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran
b. TTV stabil
c. Tidak ada peningkatan TIK
Intervensi:
a. Patau/catat status neurologis
b. Pantau TTV
c. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya
d. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan
e. Pertahankan keadaan tirah baring
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, paralisis.
Tujuan: Mampu mempertahankan kekuatan otot
Kriteria Evaluasi:
a. Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang
terkena/kompensasi
b. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
c. Mempertahankan integritas kulit
Intervensi:
a. Kaji kemampuan klien secara fungsional
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam
c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas
d. Tinggikan kepala dan tangan
e. Anjurkan untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas
yang tidak sakit
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
kesulitan menelan dan menurunnya nafsu makan.
Tujuan: Klien akan mempertahankan status nutrisi, pemasukkan cairan dan
keseimbangan cairan
Kriteria Evaluasi:
a. Berat badannya kurang lebih 10% dari berat badan ideal
b. Mentoleransi terhadap nutrisi parenteral, makanan cair dengan residu minimal, tidak
diarem elektrolit seimbang
c. Menelan makanan yang lunak tanpa aspirasi
Intervensi:
a. Observasi kemampuan menelan, fungsi sensorik dan motorik
b. Monitor pemasukan dan pengeluaran serta pemasukan diet
c. Berikan makanan nasogastrik dan minum
d. Bantu makanan oral bila ada indikasi
e. Observasi makanan yang disukai dan tidak disukai
f. Ukur berat badan
g. Konsultasi ke ahli gizi
4. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sensorik, immobilisasi,
inkontinensia, perubahan status nutrisi.
Tujuan: Klien akan mempertahankan integritas kulit, tonus, turgor dan sirkulasi
Kriteria Evaluasi:
a. Memiliki kulit yang utuh
b. Bebas dari kemerahan pada tulang yang menonjol
Intervensi:
a. Observasi keutuhan kulit klien, perubahan warna, temperatur, dan adanya edema
setiap 4 jam dan sesuai kebutuhan
b. Pertahankan kebersihan kulit dan sesuai kebutuhan
c. Tingkatkan sirkulasi dengan sesering mungkin melakukan alih posisi, dan lakukan
pemijatan
d. Gunakan alat-alat untuk mencegah penekanan
5. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskular, kehilangan tonus/kekuatan otot, kelemahan/kelelahan umum.
Tujuan: Mampu menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami
Kriteria Evaluasi:
a. Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi
b. Membuat metode komunikasi di mana kebutuhan dapat diekspresikan
c. Menggunakan sumber-sumber dengan tepat
Intervensi:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi
b. Berikan metode komunikasi alternatif seperti menulis dan gambar
c. Bicaralah dengan normal dan hindari percakapan yang cepat
6. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi, integritas, stres, psikologis.
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual
Kriteria Evaluasi:
a. Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual
b. mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasikan
Intervensi:
a. Kaji keadaan klien
b. Ciptakan lingkungan yang sederhana
c. Berikan stimulus terhadap rasa sentuhan
d. Observasi respons perilaku pasien
e. Bicara dengan tenang, perlahan dan pertahankan kontak mata
7. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan dan ketahanan kerusakan kognitif, nyeri, depresi.
Tujuan: Perawatan diri terpenuhi
Kriteria Evaluasi:
a. Mendemonstrasikan teknik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
b. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari
b. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan sendiri
c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan yang berhubunagn dengan
keterbatasan pengetahuan, tidak mengenai sumber-sumber informasi.
Tujuan: Pengetahuan meningkat
Kriteria Evaluasi:
a. Berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan aturan terapeutik
Intervensi:
a. Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan
b. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang
c. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan kontrol secara medis