Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN CVA INFARK

DEPARTEMENKEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH :

YULIYASTITA PAHRUN

202210461011031

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN CVA INFARK

DEPARTEMEN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KELOMPOK 2

NAMA: YULIYASTITA PAHRUN

NIM: 202210461011031

TGL PRAKTEK/MINGGU KE : 16 – 21 JANUARI 2023/ MINGGU 6

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik

( Eko Juli Krisdianto. S.Kep.Ns ) ( Edi Purwanto, S.Kep.Ns.,MN )


2.1 Konsep CVA Infark
2.1.1 Definisi
CVA infark atau biasa disebut dengan stroke iskemik (non hemoragic)
merupakan iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat
setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi
perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder (Daniati 2018).

CVA (Cerebro Vascular Accident) merupakan kelainan fungsi otak yang


timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah
otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja dengan gejala-gejala
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan
bentuk-bentuk kecacatan lain hingga menyebabkan kematian (Rahmat 2017).

Stroke adalah gangguan yang menyerang otak secara mendadak dan


berkembang cepat yang berlangsung lebih dari 24 jam ini disebabkan oleh
iskemia maupun hemoragik di otak sehingga pada keadaan tersebut suplai oksigen
ke otak terganggu dan dapat mempengaruhi kinerja saraf di otak, yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran. Penyakit stroke biasanya disertai dengan
adanya peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) yang ditandai dengan nyeri
kepala dan mengalami penurunan kesadaran (Daniati 2018).

2.1.2 Etiologi
Faktor resiko terjadinya stroke dibagi menjadi dua faktor yakni faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk faktor yang
tidak dapat dimodifikasi yakni keturunan, ras, usia, dan jenis kelamin. Sedangkan
untuk faktor yang dapat dimodifikasi yakni seperti penyakit hipertensi, diabetes
melitus, hiperkolesterolemia, stres, merokok, obesitas dan gaya hidup yang
kurang sehat (Daniati 2018).
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang menyebabkan tekanan darah
tinggi secara terus-menerus dimana tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg,
tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih. Hipertensi atau penyakit darah tinggi
merupakan suatu keadaan peredaran darah meningkat secara kronis. Hal ini terjadi
karena jantung bekerja lebih cepat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi didalam tubuh (Alfian 2017). Hipertensi juga merupakan
faktor utama terjadinya gangguan kardiovaskular. Apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mengakibatkan gagal ginjal, stroke, demensia, gagal jantung, infark
miokard, gangguan penglihatan dan hipertensi. Kejadian hipertensi bisa merusak
dinding pembuluh darah yang bisa dengan mudah akan menyebabkan
penyumbatan bahkan pecahnya pembuluh darah di otak (Andrian 2018).
Sedangkan penyebab lain dari stroke yakni diabetes melitus. Diabetes
mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak cukup dalam
memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin itu
sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah (Institute for
Health Metrics and Evaluation 2017). Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula
darah adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang
dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya pada
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi
kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal). Kadar gula darah yang terlalu tinggi
dalam darah dapat menyebabkan terbentuknya sumbatan dan deposit lemak di
pembuluh darah sehingga gula darah yang tidak terkontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya stroke iskemik (American Diabetes Association 2017).

Menurut (Rosidi 2019) penyebab stroke yakni sebagai berikut:


1. Trombosis serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan
kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang
tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia
serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk pada 48 jam
setelah trombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan
trombosis otak :
a. Aterosklerosis merupakan pembuluh darah arteri yang tersumbat akibat
plak dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain penyakit jantung
koroner, serangan jantung, dan stroke.
b. Hiperkoagulasi atau darah kental yang terdapat pada polisitemia yang
dimana dalam kondisi peningkatan abnormal sel darah terutama sel darah
merah.
c. Arteritis yakni lapisan arteri meradang dan membengkak
d. Emboli merupakan kondisi ketika pembuluh darah tersumbat oleh zat
asing, seperti gumpalan darah, gelembung udara, atau kolesterol

2.1.3 Epidemiologi
Kejadian penyakit stroke adalah penyebab utama kematian secara global.
Diperkirakan 17,9 juta orang meninggal karena CVD pada 2019, mewakili 32%
dari semua kematian global. Dari kematian tersebut, 85% disebabkan oleh
serangan jantung dan stroke. Lebih dari tiga perempat kematian akibat penyakit
kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Dari 17 juta kematian dini (di bawah usia 70) karena penyakit tidak menular pada
2019, 38% disebabkan oleh CVD (World Health Organization 2021).
Menurut (Riset Kesehatan Dasar 2018) prevalensi stroke di Indonesia
mencapai 10,9 per mil. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur
yakni 14,7 per mil, dan prevalensi terendah pada Provinsi Papua yakni 4,1 per
mil. Kejadian stroke semakin meningkat sesuai dengan pertambahan usia yakni
usia >75 tahun. Persentase terbanyak pada laki-laki yakni 11,0 dan pada
perempuan sebanyak 10,9. Pada perkotaan menyumbang kasus stroke terbanyak
yakni 12,6 dan pada pedesaan sebanyak 8,8.

2.1.4 Klasifikasi
Menurut (Fingiyah 2017), stroke iskemik dibagi menjadi dua lokasi
penggumpalan, yakni stroke iskemik trombotik dan stroke iskemik emboli.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Stroke Iskemik Trombotik


Stroke jenis ini terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah
ke otak. Dari 80% kasus stroke iskemik, 50% adalah stroke iskemik
trombotik. Serangan yang terjadi biasanya di malam hari dan dini hari.
Stroke iskemik trombotik secara klinis disebut juga sebagai serebral
trombosis. Serebral trombosis ini juga diuraikan lagi berdasarkan jenis
pembuluh darah tempat terjadinya penggumpalan (Fingiyah 2017).
a. Trombosis pembuluh darah besar
Trombosis pembuluh darah besar kerap terjadi di pembuluh arteri
besar otak. Trombosis pembuluh darah besar merupakan 70% kasus
stroke iskemik trombotik. Dalam banyak kasus, trombosis pembuluh
darah besar diakibatkan oleh aterosklerosis yang diikuti oleh
terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Juga ditopang oleh
tingginya kadar kolesterol jahat (LDL). Dampak dan kerusakan nya
cenderung dibesarkan karena sebenarnya otak juga diberi makan oleh
pembuluh darah kecil (Sutrisno 2017).
b. Trombosis pembuluh darah kecil
Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah ke
pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi
dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis (Yueniwati 2017).
2. Stroke Iskemik Emboli
Stroke iskemik emboli terjadi tidak di pembuluh darah otak, melainkan di
tempat lain, seperti di jantung. Penggumpalan darah terjadi di jantung,
sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak. Kelainan
pada jantung ini mengakibatkan curah jantung berkurang atau tekanan
perfusi yang menurun (Yueniwati 2017). Biasanya penyakit stroke jenis ini
muncul pada saat penderita menjalani aktivitas fisik, misalnya berolahraga.
Ketika tengah berolahraga, tiba-tiba tekanan darah jantung anjlok.
Akibatnya, jantung gagal memompa darah ke otak. Atau adanya embolus
yang terlepas dari jantung dan menyebabkan penyumbatan pembuluh darah
di otak (Georgios 2018).
2.1.5 Manifestasi Klinis
Menurut (Tarwoto 2016) manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau
bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi
kolateral. Pada stroke Iskemik, gejala klinis meliputi:

1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparese) atau


hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan terjadi
akibat adanya kerusakan pada area motorik di korteks bagian frontal,
kerusakan ini bersifat kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada
hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga
akan kehilangan kontrol otot volenter dan sensorik sehingga pasien tidak
dapat melakukan ekstensi maupun fleksi.
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan. Gangguan
sensibilitas terjadi karena kerusakan sistem saraf otonom dan gangguan
saraf sensorik.
3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma),
terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak
atau terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia.
4. Afasia (kesulitan dalam bicara) adalah defisit kemampuan komunikasi
bicara, termasuk dalam membaca, menulis dan memahami bahasa. Afasia
terjadi jika terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada
pada hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan
pada arteri middle sebelah kiri.
Afasia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Afasia motorik atau ekspresif terjadi jika area pada area broca, yang
terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan
dan kesulitan dalam mengungkapkan bicara.
b. Afasia sensorik terjadi karena kerusakan pada area wernicke, yang
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien tidak dapat
menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu
mengungkapkan pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien
tidak nyambung atau koheren.
c. Pada afasia global pasien dapat merespon pembicaraan baik
menerima maupun mengungkapkan pembicaraan (Harahap 2016).
5. Disartria (bicara cadel atau pelo) merupakan kesulitan bicara terutama
dalam artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Namun
demikian, pasien dapat memahami pembicaraan, menulis, mendengarkan
maupun membaca. Disartria terjadi karena kerusakan nervus cranial
sehingga terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah dan laring. Pasien juga
terdapat kesulitan dalam mengunyah dan menelan.
6. Gangguan penglihatan atau diplopia yakni keadaan dimana pasien dapat
kehilangan penglihatan atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan
lapang pandang pada salah satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan
pada lobus temporal atau parietal yang dapat menghambat serat saraf
optik pada korteks oksipital. Gangguan penglihatan juga dapat
disebabkan karena kerusakan pada saraf kranial III, IV dan VI.
7. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus kranial
IX. Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glotis menutup
kemudian makanan masuk ke esophagus.
8. Inkontinensia baik bowel maupun bladder sering terjadi karena
terganggunya saraf yang mensarafi bladder dan bowel.

Pada stroke iskemik, ada beberapa tanda dan gejala yang akan terjadi,
yakni sebagai berikut:
1. TIA (Transient Ischaemic Attack) atau serangan stroke sementara. Pada
TIA, kelainan neurologis yang timbul berlangsung hanya dalam hitungan
menit sampai sehari penuh. TIA biasanya disebabkan oleh sumbatan
karena trombus atau emboli. Gejala dan tanda-tandanya sesuai dengan
bagian yang terserang, apakah pada sistem karotis dan vertebrobasiler.
Gejala TIA yang disebabkan terserangnya sistem karotis adalah
gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri (amaurosis
fugax), terutama bila disertai dengan:
a. Kelumpuhan lengan, tungkai, atau keduanya pada sisi yang sama.
b. Defisit motorik dan sensorik pada wajah. Wajah dan lengan atau
tungkai saja secara unilateral.
c. Kesulitan untuk berbahasa, sulit mengerti atau berbicara,
pemakaian kata kata yang salah atau diubah.

Gejala TIA yang disebabkan terserangnya sistem vertebrobasiler sebagai


berikut:

a. Vertigo dengan atau tanpa nausea dan atau munta, terutama bila
disertai dengan diplopia, disfagia, dan disartria.
b. Mendadak tidak stabil.
c. Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral, atau bilateral
d. Hemianopsia homonym.
e. Serangan drop atau drop attack (Iskandar 2017)

Menurut (Satyanegara 2016) gambaran klinis stroke iskemik meliputi:


penurunan kesadaran, kelemahan dan atau kesemutan satu sisi tubuh, bicara
pelo, wajah mencong, sulit menelan, tiba-tiba tidak bisa melihat, dan dapat
menyebabkan kematian.

2.1.6 Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan local (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskuler) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung).
Aterosklerosis sering menjadi faktor penyebab infark pada otak. Trombus
dapat berasal dari plak aterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang
stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan.
Oleh karena itu trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema
dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau rupture. Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur
aterosklerosis dan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan
yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang
lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4
hingga 6 menit. Perubahan inversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena dan sekitarnya tertekan lagi (Bararah
2016a).
Penyebab peningkatan tekanan intrakranial pada stroke iskemik yakni
adanya edema sitotoksik. Edema sitotoksik ini muncul karena adanya gangguan
pada membran sel dan pembengkakan elemen sel otak (neuron, glia, dan sel
endotel) akibat kegagalan metabolisme energi seluler. Sehingga terjadi akumulasi
cairan intraseluler substansia grisea. Edema sitotoksik merupakan bentuk edema
yang pertama kali muncul pada stroke iskemik akut dan mendahului edema
vasogenik. Edema vasogenik bisa muncul saat setelah terjadinya edema sitotoksik
karena adanya gangguan pada sawar darah otak yang menyebabkan cairan
menumpuk di daerah intraseluler atau ekstraseluler dari otak. Proses edema ini
akan meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) yang terjadi pada stroke infark
yang luas.
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akan mengurangi perfusi serebral
dan dapat menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia tersebut dapat menyebabkan
vasodilatasi melalui mekanisme autoregulasi yang dalam rangka untuk
mengembalikan perfusi serebral. Dalam hal ini dapat dibuktikan dengan nyeri
kepala, muntah, kejang, perubahan status mental dan perubahan pada tingkat
kesadaran, terjadinya bradikardi, peningkatan tekanan darah, pernapasan yang
abnormal, bukti tambahan berupa kelainan gerakan mata, perubahan dan
ketidaksamaan ukuran pupil dan respon plantar ekstensor pada sisi lesi harus
menaikkan kecurigaan pada terjadinya edema otak.
Edema otak mulai berkembang segera setelah terjadinya iskemia dan
mencapai puncak dalam 24-96 jam. Biasanya kejadian ini terbatas pada daerah
iskemik dan tidak mempengaruhi otak yang berdekatan. Namun ketika kejadian
ini berkembang, edema ini akan menekan daerah otak yang berdekatan dengan
zona iskemik menyebabkan memburuknya status neurologi hingga mengalami
peningkatan pada tekanan intra kranial (TIK).
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan suatu fungsi nonlier dari fungsi otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan volume darah otak. Salah satu hal yang penting
dalam TIK yakni tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP
adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi
oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak. Tekanan intra kranial
banyak dipengaruhi oleh berbagai hal dan yang sangat mempengaruhi tekanan
tersebut adalah isi dalam intrakranial itu sendiri, yakni jaringan otak 80%, jumlah
darah ke area intrakranial 10% dan liquor cerebrospinal/LCS 10% dalam kondisi
normalnya. Perubahan TIK dipengaruhi oleh perubahan volume satu atau lebih
unsur-unsur yang ada dalam kranium tersebut.
Doktrin Monro Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium
selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang
jika ada penambahan volume. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini
atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematoma intrakranial),
akan menimbulkan kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya
untuk mempertahankan tekanan. Bila terdapat penambahan massa seperti
hematoma akan menyebabkan bergesernya LCS akan terdesak melalui foramen
magnum ke arah rongga subarachnoid spinalis dan vena akan segera
mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan intrakranial
melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial tersebut menyebabkan terjadinya
penambahan massa dalam tengkorak, perubahan sirkulasi cairan serebrospinal,
dan terbentuknya edema sekitar iskemik. Pada penambahan massa, perubahan
sirkulasi cairan serebrospinal tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi dari
peningkatan tekanan intrakranial. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung
sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini terlampaui
maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.
Normalnya otak dapat mengkompensasi adanya perubahan volume minimal yang
disebabkan oleh adanya kolaps sisterna, koma ventrikel, dan sistem pembuluh
darah dengan cara meningkatkan CSF (cerebrospinal fluid/cairan serebrospinal).
WOC CVA Infark
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: Faktor yang dapat dimodifikasi: Hipertensi, Hiperkolesterolemia,
umur, jenis kelamin, genetik. DM, Riwayat Penyakit Jantung, Life Style; obesitas, diet dan stress.

Terbentuknya trombus arterial dan emboli DM: gula darah hipertensi


MK.Resiko perfusi
serebral tidak efektif Penyumbatan pembuluh darah otak MK.
(D.0017) Ketidakstabilan
Suplai O2 ke otak menurun kadar glukosa
darah (D.0027) MK: Resiko perfusi
Iskemik jaringan pada otak perifer tidak efektif
(D.0015)
Hipoksia

CVA INFARK/
STROKE ISKEMIK
Mekanisme kompensasi
dari peningkatan TIK
Penumpukkan cairan intraseluler Kelumpuhan mekanisme pompa
pada neuron & glia & sel endotel natrium ATP dependen

Edema Sitotoksik Bertambahnya massa


dalam tengkorak Pembengkakan papila
saraf optikus
Peningkatan TIK
Perubahan sirkulasi Traksi & pergeseran
struktur dalam rongga Papilledema
MK.Resiko perfusi cairan serebrospinal
intrakranial
serebral tidak efektif
(D.0017)
MK.Gangguan
Herniasi unkus atau MK.Nyeri Akut persepsi sensori
serebelum (D.0077) penglihatan (D.0085)
MK.Penurunan
kapasitas adaprif
intrakranial (D.0066)
Herniasi menekan mensefalon Nausea, muntah Herniasi
proyektil pernapasan
Penurunan kesadaran & menekan
saraf otak

MK.Pola napas tidak


MK.Resiko defisit efektif (D.0005)
MK.Konfusi kronis nutrisi (D.0032)
(D.0065)

Iskemik pada arteri serebral anterior Iskemik pada arteri serebral medial Iskemik pada arteri serebral posterior

Gangguan visual area


Gangguan premotor area Gangguan Reflek
Gangguan
brocha’s guststory area batuk
Kerusakan neuromuskular motorspeech area Gangguan penglihatan atau
Diplopia pergerakan bola mata
Terjadi
Disfagia penumpukan
Hemiplagia Hemiparesis Distrasia afasia
sputum
MK: Gangguan persepsi
MK: MK: sensori (D.0085)
MK: Gangguan Bedrest total Gangguan Gangguan MK: Bersihan
mobilitas fisik komunikasi menelan jalan napas Gambar 2.1 WOC CVA Infark
(D.0054) verbal (D.0063) tidak efektif
MK.Konstipasi (D.0119) (D.0001)
(D.0049)
Gambar 2. 1 WOC CVA Infark

Sumber: (Bararah, 2016)


2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien stroke untuk mengetahui
penyebab dan daerah yang terkena menurut (Bararah 2016), sebagai berikut:
1. Angiografi serebral untuk membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik.
2. CT Scan untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan infark.
3. Fungsi lumbal untuk menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis
emboli serebral dan TIA.
4. MRI untuk menunjukkan adanya daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi
arteriovena.
5. Ultrasonografi Dopller untuk mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. EEG untuk mengidentifikasi masalah yang didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar X tengkorak untuk menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna dan parsial dinding
aneurisma.

2.1.8 Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami stroke infark
maka penatalaksanaan pada klien stroke infark terdiri dari penatalaksanaan medis atau
farmakologi, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diet.

1. Penatalaksanaan medis:
a. Membatasi atau memulihkan infark akut yang sedang berlangsung dengan
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-Plasminogen Activator).
b. Mencegah perburukan neurologis:
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark yaitu terapi dengan
manitol.
2) Ekstensi teritori infark yaitu dengan pemberian heparin.
3) Konversi hemoragik yaitu jangan memberikan antikoagulan.
c. Mencegah stroke berulang dini yaitu dengan heparin.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan stroke infark bertujuan untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk dan komplikasi yang dapat ditimbulkan. Untuk itu dalam
merawat pasien stroke perlu diperhatikan faktor-faktor kritis seperti mengkaji status
pernapasan, mengobservasi tanda-tanda vital, memantau fungsi usus dan kandung kemih,
melakukan kateterisasi kandung kemih, dan mempertahankan tirah baring.
3. Penatalaksanaan diet
Penatalaksanaan nutrisi yang dianjurkan pada klien dengan stroke infark yaitu dengan
memberikan makanan cair agar tidak terjadi aspirasi dan cairan hendaknya dibatasi dari
hari pertama setelah cedera serebrovaskuler (CVA) sebagai upaya untuk mencegah
edema otak, serta memberikan diet rendah garam dan hindari makanan tinggi lemak dan
kolesterol.

2.1.9 Komplikasi
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi medis,
adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi secara dini pada stroke, sering diperlihatkan
adanya gangguan kognitif, fungsional, dan defisit sensorik. Pada umumnya pasien pasca stroke
memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama
pemulihan stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam beberapa minggu pertama serangan
stroke.

Pencegahan, pengenalan dini, dan pengobatan terhadap komplikasi pasca stroke


merupakan aspek penting. Beberapa komplikasi stroke dapat terjadi akibat langsung stroke itu
sendiri, imobilisasi atau perawatan stroke. Hal ini memiliki pengaruh besar pada luaran pasien
stroke sehingga dapat menghambat proses pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari
rawat inap di rumah sakit. Komplikasi jantung, pneumonia, tromboemboli vena, demam, nyeri
pasca stroke, disfagia, inkontinensia, dan depresi adalah komplikasi sangat umum pada pasien
stroke (Badali 2017).

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Untuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien dengan stroke infark perlu dilakukan
pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari berbagai aspek yang ada sehingga dapat
ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien dengan stroke infark. Pengkajian pada stroke
infark menurut (Bararah 2016), adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas/Istirahat
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitas/istirahat, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: merasa kesulitan dalam melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi
atau paralisis (hemiplegi), merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat.
2. Sirkulasi
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami perubahan dalam sistem sirkulasi, hal ini
dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia.
3. Integritas ego
Pada klien dengan stroke infark akan merasakan suatu perubahan keadaan emosional
dalam dirinya, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: perasaan tidak berdaya dan putus asa.
Tanda: emosi yang labil, ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira dan kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami perubahan dalam kebutuhan eliminasinya,
baik kebutuhan BAK maupun BAB, hal ini dapat diketahui melalui gejala sebagai berikut:
Gejala: perubahan pola kemih, distensi abdomen, bising usus negatif.
5. Makan/minum
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
makan dan minum, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan sensasi pada lidah pipi dan
tenggorokan, disfagia, ada riwayat diabetes melitus, peningkatan lemak dalam darah.
6. Neurosensori
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami gangguan pada sistem neurosensorinya,
hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: pusing, sakit kepala, kelemahan/kesemutan, kebas, penglihatan menurun,
penglihatan ganda, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
7. Nyeri/ kenyamanan
Pada klien dengan stroke infark akan merasakan suatu keadaan ketidaknyamanan, hal ini
dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: sakit kepala.
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot.
8. Pernapasan
Pada klien dengan stroke infark biasanya akan mengalami masalah dalam sistem
pernapasannya, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala: merokok
Tanda: ketidakmampuan menelan/batuk/tambatan jalan napas, pernapasan sulit, suara
nafas terdengar ronchi.
9. Keamanan
Pada klien dengan stroke infark akan sangat rentan terhadap faktor keamanan, hal ini dapat
diketahui melalui tanda sebagai berikut:
Tanda: masalah dengan penglihatan, tidak mampu mengenali objek, gangguan regulasi
suhu tubuh, kesulitan dalam menelan, perhatian sedikit terhadap keamanan.
10. Interaksi sosial
Pada klien dengan stroke infark biasanya akan mengalami kesulitan dalam melakukan
sosial dengan lingkungan sekitarnya, hal ini dapat diketahui melalui tanda sebagai berikut:
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan/pembelajaran
Pada klien dengan stroke infark sangat diperlukan penyuluhan/pembelajaran untuk
mencegah masalah lebih lanjut, hal ini dapat diketahui melalui gejala sebagai berikut:
Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga dan stroke
12. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat Kesadaran
Tingkat Kesadaran (Bulechek Dkk 2016) mengatakan bahwa kualitas kesadaran
pasien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan pasien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
keawasan dan keterjagaan seperti tabel dibawah ini:
1) Metoda Tingkat Responsivitas
a.) Composmentis kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat
menjawab pertanyaan yang dinyatakan pemeriksa dengan baik
b.) Apatis yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya
c.) Delirium yaitu kondisi sesorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
serta meronta-ronta
d.) Somnolen yaitu kondisi sesorang yang mengantuk namun masih dapat sadar
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali
e.) Sopor yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan
dengan baik.
f.) Semi-koma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik
g.) Coma yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons
terhadap pernyataan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.

Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor yang didapat dari
penilaian GCS klien :
a. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14
b. Nilai GCS Apatis : 13 – 12
c. Nilai GCS Delirium : 11 – 10
d. Nilai GCS Somnolen : 9 – 7
e. Nilai GCS Semikoma : 4
f. Nilai GCS Coma : 3
2) Skala Koma Glasgow
Pada keadaan perawatan sesungguhnya dimana waktu untuk mengumpulkan
data sangat terbatas, skala koma glasgow dapat memberikan jalan pintas yang
sangat berguna (Indrawati et al. 2020).
Berikut adalah skala koma glasgow :

Tabel 2. 1 Glasgow Coma Scale

Respon Membuka Mata Nilai

Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1

Respon Verbal Nilai

Terorientasi 5
Percakapan yang membingungkan 4
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai 3
Suara menggumam 2
Tidak ada respon 1

Respon Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6
Menunjuk tempat rangsangan 5
Menghindar dari stimulus 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Sumber:
(Indra
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2 wati et al. 2020).
Tidak ada respon 1

b. Gerakan, Kekuatan dan Koordinir


Kelemahan otot merupakan tanda penting gangguan fungsi pada beberapa
gangguan neurologis. Perawat dapat menilai kekuatan ekstremitas dengan
memberikan tahanan pada berbagai otot, dengan menggunakan otot perawat sendiri
atau menggunakan gaya gravitasi. Hemiparesis dan hemiplegia adalah gangguan
fungsi unilateral yang diakibatkan oleh lesi kontralateral pada traktus kortikospinal.
Berikut merupakan tabel skala penilaian kekuatan otot :

Tabel 2. 2 Skala Penilaian Kekuatan Otot

0 Tidak ada kontraksi otot

1 Ada tanda dari kontraksi

2 Bergerak tapi tak mampu menahan gaya gravitasi

3 Bergerak melawan gaya gravitasi tetapi tidak dapat


melawan tahanan otot pemeriksa

4 Bergerak dengan lemah terhadap tahanan dari otot


pemeriksa

5 Kekuatan dan regangan yang normal

Sumber: (Indrawati et al. 2020).

c. Refleks
Reflek terjadi jika stimulasi sensori menimbulkan respon motorik. Kontrol
serebri dan kesadaran tidak dibutuhkan untuk terjadinya reflek. Reflek superfisial
dan reflek dalam dinilai pada sisi yang simetris dari tubuh dan dibandingkan dengan
menunjuk pada kekuatan yang ditimbulkannya. Sebagai contoh adalah reflek plantar.
Stimulus sensori diberikan dengan rabaan cepat pada pinggir luar telapak kaki dan
menyilang dari tumit kaki dengan menggunakan benda tumpul seperti kunci atau
spatel lidah. Respon motorik yang normal adalah ke bawah atau fleksi plantar jari-
jari kaki. Respon abnormal (babinski) adalah ibu jari dorsofleksi atau gerakan ke atas
ibu jari dengan atau tanpa melibatkan jari-jari kaki yang lain.
d. Perubahan Pupil
Pupil harus dapat dinilai ukuran dan bentuknya (sebaiknya dibuat dalam
milimeter). Suruh pasien berfokus pada titik yang jauh dalam ruangan. Pemeriksa
harus meletakkan ujung jari dari salah satu tangannya sejajar dengan hidung pasien.
Arahkan cahaya yang terang ke dalam salah satu mata dan perhatikan adanya
konstriksi pupil yang cepat (respon langsung). Perhatikan bahwa pupil yang lain juga
harus ikut konstriksi (respon konsensual). Anisokor (pupil yang tidak sama) dapat
normal pada populasi yang persentasenya kecil atau mungkin menjadi indikasi
adanya disfungsi neural.
e. Tanda-Tanda Vital
Tanda-tanda klasik dari peningkatan tekanan intrakranial meliputi kenaikan
tekanan sistolik dalam hubungan dengan tekanan nadi yang membesar, nadi lemah
atau lambat dan pernapasan tidak teratur (Arini, Adriatmoko, and Novita 2017).
f. Saraf Kranial
I. Olfaktorius: saraf kranial I berisi serabut sensorik untuk indera penghidu. Mata
pasien terpejam dan letakkan bahan-bahan aromatic dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II. Optikus: Akuitas visual kasar dinilai dengan menyuruh pasien membaca tulisan
cetak. Kebutuhan akan kacamata sebelum pasien sakit harus diperhatikan.
III. Okulomotorius: Menggerakkan sebagian besar otot mata
IV. Troklear: Menggerakkan beberapa otot mata
V. Trigeminal: Saraf trigeminal mempunyai 3 bagian: oftalmikus, maksilaris, dan
mandibularis. Bagian sensorik dari saraf ini mengontrol sensori pada wajah dan
kornea. Bagian motorik mengontrol otot mengunyah. Saraf ini secara parsial dinilai
dengan menilai reflek kornea; jika itu baik pasien akan berkedip ketika kornea
diusap kapas secara halus. Kemampuan untuk mengunyah dan mengatup rahang
harus diamati.
VI. Abdusen: Saraf kranial ini dinilai secara bersamaan karena ketiganya mempersarafi
otot ekstraokular. Saraf ini dinilai dengan menyuruh pasien untuk mengikuti
gerakan jari pemeriksa ke segala arah.
VII. Fasial: Bagian sensorik saraf ini berkaitan dengan pengecapan pada dua pertiga
anterior lidah. Bagian motorik dari saraf ini mengontrol otot ekspresi wajah. Tipe
yang paling umum dari paralisis fasial perifer adalah bell’s palsi.
VIII. Akustikus: Saraf ini dibagi menjadi cabang-cabang koklearis dan vestibularis, yang
secara berurutan mengontrol pendengaran dan keseimbangan. Saraf koklearis
diperiksa dengan konduksi tulang dan udara. Saraf vestibular mungkin tidak
diperiksa secara rutin namun perawat harus waspada, terhadap keluhan pusing atau
vertigo dari pasien.
IX. Glosofaringeal: Sensorik: Menerima rangsang dari bagian posterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi rasa. Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam
X. Vagus: Saraf kranial ini biasanya dinilai bersama-sama. Saraf Glosofaringeus
mempersarafi serabut sensori pada sepertiga lidah bagian posterior juga uvula dan
langit-langit lunak. Saraf vagus mempersarafi laring, faring dan langit-langit lunak
serta memperlihatkan respon otonom pada jantung, lambung, paru-paru dan usus
halus. Ketidakmampuan untuk batuk yang kuat, kesulitan menelan dan suara serak
dapat merupakan pertanda adanya kerusakan saraf ini.
XI. Aksesoris spinal: Saraf ini mengontrol otot-otot sternokleidomastoideus dan otot
trapesius. Pemeriksa menilai saraf ini dengan menyuruh pasien mengangkat bahu
atau memutar kepala dari satu sisi ke sisi lain terhadap tahanan, bisa juga di bagian
kaki dan tangan.
XII. Hipoglosus: Saraf ini mengontrol gerakan lidah. Saraf ini dinilai dengan menyuruh
pasien menjulurkan lidah. Nilai adanya deviasi garis tengah, tremor dan atropi. Jika
ada deviasi sekunder terhadap kerusakan saraf, maka akan mengarah pada sisi yang
terjadi lesi (Mutaqqin 2013).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan data pengkajian yang telah didapat atau terkaji, kemudian data
dikumpulkan maka dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa
keperawatan yang ada pada klien dengan stroke infark. Menurut (Bararah, 2016), diagnosa
keperawatan pada klien stroke adalah sebagai berikut:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai
darah serebral, gangguan oklusif, haemoragik, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, paralisis.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
kesulitan menelan dan menurunnya nafsu makan.
4. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sensorik, immobilisasi,
inkontinensia, perubahan status nutrisi.
5. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskular, kehilangan tonus/kekuatan otot, kelemahan/kelelahan umum.
6. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi, integritas, stres, psikologis.
7. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan dan ketahanan kerusakan kognitif, nyeri, depresi.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan yang berhubunagan dengan
keterbatasan pengetahuan, tidak mengenai sumber-sumber informasi.

2.2.3 Rencana Keperawatan


Setelah diagnosa keperawatan pada klien dengan stroke infark ditemukan, maka
dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi
prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi menurut (Bararah,
2016), sebagai berikut:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai
darah serebral, gangguan oklusif, haemoragik, vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan: Mempertahankan perfusi jaringan serebral adekuat.
Kriteria Evaluasi:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran
b. TTV stabil
c. Tidak ada peningkatan TIK
Intervensi:
a. Patau/catat status neurologis
b. Pantau TTV
c. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya
d. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan
e. Pertahankan keadaan tirah baring
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, paralisis.
Tujuan: Mampu mempertahankan kekuatan otot
Kriteria Evaluasi:
a. Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang
terkena/kompensasi
b. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
c. Mempertahankan integritas kulit
Intervensi:
a. Kaji kemampuan klien secara fungsional
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam
c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas
d. Tinggikan kepala dan tangan
e. Anjurkan untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas
yang tidak sakit
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
kesulitan menelan dan menurunnya nafsu makan.
Tujuan: Klien akan mempertahankan status nutrisi, pemasukkan cairan dan
keseimbangan cairan
Kriteria Evaluasi:
a. Berat badannya kurang lebih 10% dari berat badan ideal
b. Mentoleransi terhadap nutrisi parenteral, makanan cair dengan residu minimal, tidak
diarem elektrolit seimbang
c. Menelan makanan yang lunak tanpa aspirasi
Intervensi:
a. Observasi kemampuan menelan, fungsi sensorik dan motorik
b. Monitor pemasukan dan pengeluaran serta pemasukan diet
c. Berikan makanan nasogastrik dan minum
d. Bantu makanan oral bila ada indikasi
e. Observasi makanan yang disukai dan tidak disukai
f. Ukur berat badan
g. Konsultasi ke ahli gizi
4. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sensorik, immobilisasi,
inkontinensia, perubahan status nutrisi.
Tujuan: Klien akan mempertahankan integritas kulit, tonus, turgor dan sirkulasi
Kriteria Evaluasi:
a. Memiliki kulit yang utuh
b. Bebas dari kemerahan pada tulang yang menonjol
Intervensi:
a. Observasi keutuhan kulit klien, perubahan warna, temperatur, dan adanya edema
setiap 4 jam dan sesuai kebutuhan
b. Pertahankan kebersihan kulit dan sesuai kebutuhan
c. Tingkatkan sirkulasi dengan sesering mungkin melakukan alih posisi, dan lakukan
pemijatan
d. Gunakan alat-alat untuk mencegah penekanan
5. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskular, kehilangan tonus/kekuatan otot, kelemahan/kelelahan umum.
Tujuan: Mampu menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami
Kriteria Evaluasi:
a. Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi
b. Membuat metode komunikasi di mana kebutuhan dapat diekspresikan
c. Menggunakan sumber-sumber dengan tepat
Intervensi:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi
b. Berikan metode komunikasi alternatif seperti menulis dan gambar
c. Bicaralah dengan normal dan hindari percakapan yang cepat
6. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi, integritas, stres, psikologis.
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual
Kriteria Evaluasi:
a. Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual
b. mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasikan
Intervensi:
a. Kaji keadaan klien
b. Ciptakan lingkungan yang sederhana
c. Berikan stimulus terhadap rasa sentuhan
d. Observasi respons perilaku pasien
e. Bicara dengan tenang, perlahan dan pertahankan kontak mata
7. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan dan ketahanan kerusakan kognitif, nyeri, depresi.
Tujuan: Perawatan diri terpenuhi
Kriteria Evaluasi:
a. Mendemonstrasikan teknik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
b. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari
b. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan sendiri
c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan yang berhubunagn dengan
keterbatasan pengetahuan, tidak mengenai sumber-sumber informasi.
Tujuan: Pengetahuan meningkat
Kriteria Evaluasi:
a. Berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan aturan terapeutik
Intervensi:
a. Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan
b. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang
c. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan kontrol secara medis

Anda mungkin juga menyukai