Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

1. Konsep Dasar Stroke

a. Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang

diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam

atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk

diklasifikasikan (Sacco et al., 2013).

Stroke dapat diartikan sebagai ditemukannya manifestasi

klinik dan gejala terjadinya gangguan fungsi otak sebagian atau

menyeluruh yang berkembang secara cepat selama 24 jam atau lebih

akibat adanya gangguan peredaran darah di otak (Brainin & Heiss,

2010).

Stroke merupakan penyakit cerebrovascular yang terjadi

karena adanya gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan

penyakit pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak (Wardhani &

Martini, 2015).

b. Faktor risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai

faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap

timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke (Nasution, 2010;

Howard & Howard, 2009):

10
11

1) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a) Perilaku

Merokok, diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan,

asam urat, kolesterol, kurang buah, alkoholik, obat-obatan:

narkoba (kokain), anti koagupasien, antim platelet, amfetamin,

pil kontrasepsi, kurang gerak badan

b) Fisiologis

Penyakit hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,

infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus, gangguan ginjal,

kegemukan (obesitas), polisitemia, viskositas darah meninggi/

penyakit perdarahan, kelainan anatomi pembuluh darah,

stenosis karotis asimtomatik

2) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi yaitu

faktor yang berupa karakteristik atau sifat pasien yang tidak dapat

diubah yaitu usia, jenis kelamin, berat badan lahir rendah, ras,

suku, dan faktor genetik (Williams et al., 2010).

c. Klasifikasi

Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu:

1) Stroke Iskemik

Sindrom yang berkembang pesat dengan onset yang tiba-

tiba atau akut, yang dikaitkan dengan defisit neurologi dengan

batas gumpalan infark yang jelas pada jaringan otak di dalam area

pembuluh darah yang berlainan (Williams et al., 2010).


12

Stroke iskemik mendominasi terjadinya stroke yaitu sekitar

80%. Stroke iskemik terjadi karena terganggunya suplai darah ke

otak yang biasanya disebabkan karena adanya sumbatan pembuluh

darah arteri yang menuju otak (Silva et al, 2014).

2) Stroke Hemoragik

Merupakan stroke yang disebabkan oleh perdarahan intra

serebral atau perdarahan subarakhniod karena pecahnya pembuluh

darah otak pada area tertentu sehingga darah memenuhi jaringan

otak (AHA, 2018). Stroke hemoragik jarang terjadi dan dapat

dibagi menjadi dua kategori, yaitu Intracerebral Hemorrhage

(ICH) dan Subarachnoid Hemorrhage (SAH) (National Stroke

Association, 2016).

Selain dari dua klasifikasi di atas, terdapat jenis stroke lain

yaitu Transient Ischemic Attacks (TIA). TIA yang biasa disebut

dengan mini strokes merupakan gangguan neurologis lokal yang

terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja dan

gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna

dalam waktu kurang dari 24 jam (Silva et al., 2014).

d. Manifestasi klinik

Menurut WHO (2016) gejala umum yang terjadi pada stroke

yaitu wajah, tangan atau kaki yang tiba-tiba kaku atau mati rasa dan

lemah pada satu sisi tubuh. Gejala lainnya yaitu pusing, kesulitan

melihat baik dengan satu mata maupun kedua mata, sulit berjalan,

kehilangan koordinasi dan keseimbangan, sakit kepala yang berat


13

dengan penyebab yang tidak diketahui, dan kehilangan kesadaran atau

pingsan.

Menurut Irish Heart Foundation (2014) pasien stroke bisa

mengalami serangkaian perubahan dan reaksi emosional. Perubahan

emosional ini sering merupakan respons yang diharapkan terhadap

peristiwa kehidupan yang signifikan dan mengecewakan. Terkadang

perubahan emosional disebabkan oleh perubahan pada otak sebagai

akibat dari stroke.

e. Patofisiologi

Oksigen sangat penting untuk otak, jika terjadi hipoksia seperti

yang terjadi pada stroke, otak akan mengalami perubahan metabolik,

kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai

dengan 10 menit (AHA, 2018). Adanya gangguan pada peredaran

darah otak dapat mengakibatkan cedera pada otak melalui beberapa

mekanisme, yaitu 1) Penebalan dinding pembuluh darah (arteri

serebral) yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah tidak

adekuat yang selanjutnya akan terjadi iskemik. 2) Pecahnya dinding

pembuluh darah yang menyebabkan hemoragi. 3) Pembesaran satu

atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak. 4)

Edema serebral yang merupakan pengumpulan cairan pada ruang

interstitial jaringan otak (Smeltzer & Bare, 2017).

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering

disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di

intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran


14

darah otak menyebabkan hipoksia daerah regional otak dan

menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel sel

otak dan unsur-unsur pendukungnya (Becker, Wira, & Arnold, 2010;

Misbach, 2011). Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu

aliran darah ke otak yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak

dan infark otak (Becker, Wira, & Arnold, 2010). Iskemia dapat dibagi

lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis, emboli, dan

penurunan perfusi sistemik (Caplan, 2016).

Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan

tetapi fungsi-fungsinya sangat berkurang dan menyebabkan defisit

neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan.

Daerah penumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh daerah

hiperemik. Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran

terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak

berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan

jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur

mengalami kematian (Misbach, 2011).

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya

mikroaneurisma (berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini

paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak

(Misbach, 2011). Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola

berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada

dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis

fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard (Caplan, 2016).


15

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade

iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-

neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi

(Caplan, 2016). Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah

terdapat di dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada

perdarahan subrakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang

subarakhnoid, disekitar sirkulus arteriosus Willisi (Misbach, 2011).

f. Penatalaksanaan

Dimulai dari penatalaksanaan umum; memperbaiki jalan napas

dan mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien, elevasi kepala

pasien 30º yang bermanfaat untuk memperbaiki drainase vena, perfusi

serebral dan menurunkan tekanan intrakranial, atasi syok, mengontrol

tekanan rerata arterial, pengaturan cairan dan elektroklit, monitor

tanda-tanda vital, monitor tekanan tinggi intrakranial, dan

pemeriksaan Computerized Tomography untuk mendapatkan

gambaran lesi dan pilihan pengobatan (Affandi & Panggabean, 2016).

Menurut Smeltzer & Bare (2017) penatalaksanaan stroke pada

fase akut yaitu fase akut stroke berakhir 48 sampai 72 jam. Pasien

yang koma pada saat masuk dipertimbangkan memiliki prognosis

buruk. Prioritas dalam fase akut ini adalah mempertahankan jalan

nafas dan ventilasi yang baik.

1) Terapi Farmakologi

Pemberian cairan hipertonis jika terjadi peningkatan TIK

akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-brain Barrier),


16

diuretika (asetazolamid/furosemid), dan steroid (deksametason,

prednison, dan metilprednisolon) (Affandi & Panggabean, 2016).

2) Tindakan Bedah

Penatalaksanaan pembedahan endosterektomi karotis,

revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis komunis di leher

khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2011).

3) Penatalaksanaan Medis Lain

Rehabilitasi, terapi psikologi jika gelisah, pemantauan

kadar glukosa darah, pemberian anti muntah dan analgesik,

pemberian H2 antagonis jika ada indikasi perdarahan lambung,

mobilisasi bertahap dan pernapasan stabil, pengosongan kandung

kemih dengan katerisasi intermitten, dan discharge planning.

4) Tindakan Keperawatan

Perawatan stroke berfokus kepada kebutuhan holistik dari

pasien dan keluarga yang meliputi perawatan fisik, psikologi,

emosional, kognitif, spritual, dan sosial. Perawat berperan

memberikan pelayanan keperawatan pasca stroke seperti mengkaji

kebutuhan pasien dan keluarga untuk discharge planning;

menyediakan informasi dan latihan untuk keluarga terkait

perawatan pasien di rumah seperti manajemen dysphagia,

manajemen nutrisi, manajemen latihan dan gerak, dan manajemen

pengendalian diri; kemudian perawat juga memfasilitasi pasien dan

keluarga untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi; dan


17

memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga

(Firmawati et al., 2015).

g. Komplikasi

Menurut Junaidi (2011) komplikasi yang sering terjadi yaitu:

1) Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuhan

dapat mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan

saat berbaring, seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka

dekubitus jika dibiarkan akan menyebabkan infeksi.

2) Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari

berkurangnya densitas mineral pada tulang. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap sinar

matahari.

3) Gangguan neuropsikiatri, seperti gangguan mood, kecemasan,

depresi dan efek psikologis pasca stroke. Gangguan kecemasan ini

berhubungan dengan gejala-gejala somatik, seperti ketegangan otot,

iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan, sehingga menyebabkan

gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan

4) Inkontinensia dan konstipasi penyebab umumnya adalah imobilitas,

kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian obat.

5) Kelemahan otot pada beberapa bagian tubuh, kekakuan dan

perubahan sensasi. Pada kondisi kelemahan atau kelumpuhan di

satu sisi tubuh pasca stroke, biasanya menimbulkan rasa nyeri pada

bahu. Selanjutnya juga muncul kontraktur, yaitu pemendekan otot

pada anggota gerak.


18

2. Konsep Dasar Nyeri Bahu

a. Definisi

Nyeri seringkali dikeluhakan pada pasien stroke, tercatat

dalam kurun 2 tahun pasca stroke rasa nyeri dapat timbul 15-49%.

Nyeri pasca stroke dapat timbul di otot, persendian, organ dalam,

ataupun dari sistem saraf pusat maupun perifer. Tipe nyeri pasca

stroke yang paling sering yaitu nyeri bahu hemiplegi, nyeri akibat

spasme atau spastisitas (ketegangan otot), sakit kepala pasca stroke,

dan nyeri sentral pasca stroke (Klit et al., 2015).

Nyeri nosiseptif sering mempengaruhi bahu dan berhubungan

dengan perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi

yang terkena (Widar et al., 2002). Bentuk chronic pain syndrome

setelah stroke yang paling umum adalah nyeri bahu, nyeri spastisitas

dan nyeri kepala (Klit et al., 2015). Spasitas terjadi ketika terdapat

kerusakan pada bagian otak yang mengontrol otot-otot, dan spasitas

meningkatkan tonus otot. Spasitas akan menekan otot-otot dan

bergerak abnormal, akibat spasme akan menyebabkan nyeri.

Nyeri bahu hemiplegia adalah dampak klinis umum dari stroke

dan dapat mengakibatkan kecacatan yang signifikan. Patogenesis

nyeri bahu hemiplegia bersifat multifaktorial dan mencakup faktor

neurologis dan mekanis, sering dalam kombinasi, yang bervariasi

diantara individu pasca stroke (Wiener et al., 2018).


19

b. Etiologi

Beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri pasca stroke

(Boivie, 2006):

1) Stroke (yang melibatkan talamus)

2) Sklerosis multiple

3) Karsinoma (ketika merusak serabut sensorik pada SSP/talamus)

4) Cedera tulang belakang

5) Trauma fisik (pembedahan, jatuh, kecelakaan lalu lintas, dll).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri bahu

Faktor risiko untuk nyeri pasca stroke meliputi (Klit et al.,

2015):

1) Usia muda,

2) Jenis kelamin: mayoritas wanita,

3) Tingkat keparahan stroke,

4) Gangguan sensorik,

5) Depresi, dan

6) Nyeri sebelum timbulnya stroke.

d. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya nyeri kronis pada pasien setelah stroke

masih belum sepenuhnya dipahami. Beberapa mekanisme yang

diajukan antara lain ialah sensitisasi sentral, perubahan fungsi traktus

spinotalamikus, teori disinhibisi dan perubahan thalamus (Klit et al.,

2015). Meskipun lesi terletak sama di otak, mekanisme patofisiologis

dapat berbeda tergantung pada lokasi lesi di SSP (Klit et al., 2015).
20

Gambar 2.1
Ilustrasi skematik Teori
Pengendalian Gerbang
Sumber: (Kozier & Erb,
2010)

Nyeri pasca stroke dapat timbul di otot, persendian, ataupun

pada sisi tubuh yang mengalami kelemahan. Hal ini dapat disebabkan

karena terganggunya bagian otak yang berfungsi sebagai pengatur

nyeri. Selanjutnya, karena aliran darah ke jaringan menurun,

pengiriman oksigen dan nutrien berkurang (Guyton & Hall, 2014).

Hal ini akan mengakibatkan pasien merasa nyeri pada tubuhnya yang

lumpuh meskipun tidak ada luka pada tubuh yang nyeri tersebut. Hal

ini dapat menyebabkan gangguan pada otot dan sendi sehingga

menimbulkan nyeri.

Hemiplegic Shoulder Pain (HSP) terjadi pada sisi hemiplegia

setelah stroke tanpa hubungan langsung dengan trauma atau cedera.

HSP ini berhubungan dengan berkurangnya pemakaian fungsi lengan

yang menyebabkan imobilitas menurun dan dapat menyebabkan

peradangan, otot atrofi akibat adhesi sehingga terjadi nyeri.

Terjadinya nyeri bahu berhubungan dengan spasme otot pada pasien

stroke terutama pada sendi bahu (Polie et al., 2020), berhubungan juga
21

dengan terbatasnya gerakan eksternal rotasi disebabkan adanya

stiffness joint. Pada bahu hemiplegia, kepala humerus digantikan

secara inferior dan anterior oleh hilangnya aktivitas otot bahu yang

normal, khususnya otot supraspinatus dan deltoid posterior, dan

ekstremitas atas meregangkan kapsul sendi, otot, tendon, dan ligamen

yang menyebabkan iskemia yang menyakitkan di jaringan

periartikular sendi bahu (Lee et al., 2018).

e. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah domain hasil umum yang dinilai dalam

uji klinis nyeri Aicher, Peil, Peil, & Diener (2012) dan paling sering

ditargetkan dalam penanganan nyeri (Sullivan & Ballantyne, 2015).

Pengukuran nyeri adalah elemen penting dalam pemantauan

perkembangan penyakit. Karena rasa nyeri adalah pengalaman pribadi

yang tidak dapat dilihat atau dirasakan oleh orang lain (Eliav &

Gracely, 2008).

Intensitas nyeri umumnya dinilai menggunakan langkah-

langkah seperti Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating

Scale (NRS), Verbal Rating Scale (VRS), dan Faces Pain Scale-

Revised (FPSR) (Jensen et al., 2015; Jensen, Karoly, & Braver, 1986).

1) Faces Pain Rating Scale (FPRS)

FPSR adalah skala gambar yang terdiri dari 6 wajah yang

menunjukkan peningkatan tingkat rasa nyeri. Pasien diminta

untuk memilih wajah yang paling mewakili tingkat rasa nyeri.

Wajah dari kiri ke kanan diberi skor 0, 2, 4, 6, 8, dan 10. FPSR


22

diadaptasi dari FPS asli yang dikembangkan oleh Bieri et al

(1990) yang terdiri dari 7 wajah (Pathak et al., 2018).

Gambar 2.2
Skala Nyeri Dengan Gambar Wajah

2) Verbal Rating Scale (VRS)

VRS disebut sebagai skala deskriptor verbal, terdiri dari

kata sifat atau frasa yang menggambarkan peningkatan intensitas

rasa nyeri. Skala VRS terdiri dari 6 poin yang digunakan oleh

Peters, Patijn, & Lamé (2007) dengan deskriptor “tanpa rasa

nyeri,” “sangat ringan,” “ringan,” “sedang,” “parah,” dan “sangat

parah.” Pasien diminta untuk memilih deskriptor atau frasa yang

paling mewakili intensitas nyeri mereka, dan angka yang sesuai

digunakan sebagai skor VRS (Jensen et al., 2015).

Gambar 2.3
Skala Nyeri Dengan Verbal

3) Numerical Rating Scale (NRS)

NRS adalah skala numerik 11 poin tunggal (Downie et al.,

1978; Hawker et al., 2011). Konten NRS adalah versi numerik


23

tersegmentasi dari VAS dimana pasien memilih bilangan bulat (0-

10 bilangan bulat) yang paling mencerminkan intensitas rasa nyeri

(Rodriguez, 2001). Format umum adalah garis horizontal. NRS

dapat diberikan secara verbal (melalui telepon) atau secara grafis

untuk penyelesaian sendiri (Hawker et al., 2011).

Gambar 2.4
Skala Nyeri Dengan Angka

4) Visual Analogue Scale (VAS)

VAS adalah garis 10 cm dengan status di sebelah kiri

(tanpa rasa nyeri) dan di sebelah kanan (rasa nyeri yang ekstrem).

Skala biasanya horisontal (Joyce, Zutshi, Hrubes, & Mason,

1975). Responden diminta untuk menempatkan garis tegak lurus

terhadap garis VAS pada titik yang mewakili intensitas nyeri

(Huskisson, 1974; Hawker et al., 2011). Pemeriksa menilai VAS

dengan mengukur jarak dalam cm (0 hingga 10) atau mm (0

hingga 100) dari titik jangkar “tidak nyeri” (Halfaker et al., 2011).

Gambar 2.5
Skala Nyeri Dengan Analogi Visual
24

3. Konsep Dasar Ketegangan Otot

a. Definisi

Ketegangan otot adalah kondisi yang umum, tetapi bukan

kondisi yang tak terhindarkan, pada pasien stroke. Ketegangan otot

setelah stroke sering dikaitkan dengan nyeri, kekakuan jaringan lunak,

dan kontraktur sendi, dan dapat menyebabkan postur tungkai yang

abnormal, penurunan kualitas hidup, peningkatan biaya perawatan,

dan peningkatan beban pengasuh. Deteksi dini dan manajemen

ketegangan oto pasca stroke dapat tidak hanya mengurangi komplikasi

tersebut, tetapi juga dapat meningkatkan fungsi dan meningkatkan

kemandirian pasien (Kuo & Hu, 2018).

Ketegangan otot adalah gangguan pada sistem motorik sensor

yang ditandai dengan peningkatan refleks regangan tonik yang

bergantung pada kecepatan (tonus otot) dengan refleks tendon yang

berlebihan, akibat hipereksitabilitas dari refleks regangan, sebagai

salah satu komponen sindrom otot neuron bagian atas (Li &

Francisco, 2015).

Ketegangan otot merupakan kelainan motorik yang ditandai

dengan peningkatan kecepatan refleks regang otot dan peningkatan

hentakan tendon yang dihasilkan dari hipereksitabilitas sebagai suatu

sindrom upper motor neuron (UMN) (Urban et al., 2010).

c. Patofisiologi

Ketegangan otot diinduksi oleh disosiasi atau disintegrasi

respon motorik dari masukan sensorik, yang menyebabkan


25

hipereksitabilitas sistem saraf pusat segmental (SSP). Ini berkorelasi

dengan intensitas input sensorik (misalnya, derajat peregangan) dan

mungkin tergantung pada lokasi lesi SSP. Ketika keseimbangan antara

serat penghambat dan rangsang terganggu, hal itu dapat menyebabkan

berbagai aspek sindrom ekstremitas atas, seperti hipotonia, tardive,

atau spastisitas (ketegangan otot). Tiga lokasi lesi telah disarankan

untuk menginduksi spastisitas: batang otak, korteks serebral (di area

motorik primer, sekunder dan tambahan; SMA) dan sumsum tulang

belakang (saluran piramidal). Setelah stroke, hanya korteks atau,

dalam kasus yang jarang terjadi, batang otak, yang awalnya terluka

dan lesi ini sering kali menyebabkan spastisitas, hiperrefleksia, dan

kadang-kadang klonus. Awitan spastisitas dapat dijelaskan dengan

reorganisasi neuronal anarkis setelah lesi otak. Hasil dari reorganisasi

neuronal patologis ini dapat meningkatkan aktivitas di otot dan

respons refleks yang berlebihan terhadap stimulasi perifer.

Hiperaktivitas ini dapat dikaitkan dengan penghambatan

aktivitas refleks normal (refleks tendon dalam dan refleks penarikan

fleksor), (ii) pelepasan refleks primitif (misalnya, tanda Babinski) dan

(iii) refleks regangan tonik aktif. Eksitasi yang kuat dari neuron

motorik quadriceps kelompok heteronim II (otot kedutan cepat) dapat

berkontribusi pada spastisitas pada pasien hemiplegia. Fasilitasi

refleks H refleks otot yang muncul setelah rangsangan listrik dari serat

sensorik di sisi spastik dari paha depan, jika dibandingkan dengan sisi

yang tidak terpengaruh dan dengan populasi kontrol yang sehat.


26

Peningkatan transmisi pada jalur inter-neuronal yang diaktivasi

bersama oleh dua kelompok, I (oksidatif rendah) dan II (kedutan

cepat), dapat terjadi akibat perubahan jalur kontrol menurun pada

pasien hemiplegia spastik. Hasil ini mendukung hipotesis bahwa

hiperaktivitas refleks spinal menyebabkan spastisitas (ketegangan

otot) (Thibaut et al., 2013).

d. Pengukuran ketegangan otot

Pada tahun 1964, Bryan Ashworth menerbitkan Skala

Ashworth sebagai metode penilaian spastisitas saat menangani pasien

sklerosis ganda. Skala Ashworth asli adalah skala numerik 5 poin

yang menilai kelenturan dari 0 sampai 4. Pada tahun 1987 Bohannon

dan Smith memodifikasi skala Ashworth dengan menambahkan 1+ ke

skala untuk meningkatkan sensitivitas. Sejak modifikasinya, skala

Ashworth yang dimodifikasi Modified Ashworth Scale (MAS), telah

diterapkan dalam praktik klinis dan penelitian sebagai ukuran

spastisitas. Skalanya adalah sebagai berikut:

0 : Tidak ada peningkatan tonus otot

1 : Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya

tahanan minimal (catch and release) pada akhir ROM pada

waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

1+ : Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya

pemberhentian gerakan (catch) dan diikuti dengan adanya

tahanan minimal sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi

tetap mudah digerakkan


27

2 : Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar

ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan

3 : Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan

4 : Sendi atau ekstremitas kaku pada gerakan fleksi atau ekstensi

Spastisitas (ketegangan otot) didefinisikan sebagai skor MAS

≥ 1 untuk setiap gerakan pasif yang dilakukan, sesuai dengan

kebanyakan penelitian sebelumnya tentang spastisitas setelah stroke

(Lundström et al., 2010).

e. Pengobatan

Intervensi terapeutik meliputi terapi fisik, terapi okupasi,

rehabilitasi diri, peralatan ortosis dan alat bantu, pengobatan

farmakologis, bedah ortopedi, dan bedah saraf. Studi ini menjelaskan

berbagai terapi rehabilitasi pasien nonfarmakologis serta perawatan

farmakologis dan intervensi pembedahan yang paling umum (Thibaut

et al., 2013).

4. Konsep Dasar Kecemasan

a. Definisi

Kecemasan atau dalam bahasa inggrisnya “anxiety” berasal

dari bahasa latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang

berarti mencekik. Freud (1954) menyebutkan kecemasan merupakan

perasaan subyektif yang dialami oleh individu. Hal ini disebabkan

oleh situasi-situasi yang mengancam sehingga menyebabkan

ketidakberdayaan individu (Asih & Pratiwi, 2010).


28

Kecemasan adalah keadaan emosional yang terdiri dari

perasaan tegang, gelisah, dan gugup (Spielberger et al., 1983;

Vitasari, Wahab, Herawan, Othman, & Sinnadurai, 2011). Menurut

Taylor-Clift, Morris, Rottenberg, & Kovacs (2011) Kecemasan

merupakan reaktivitas emosional berlebihan, depresi yang tumpul,

atau konteks sensitif, respon emosional.

Kecemasan adalah perasaan samar-samar yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan kekhawatiran dan rasa

bahaya yang akan terjadi. Ini dapat dikaitkan dengan serangkaian

gejala fisiologis yang dapat memperburuk gejala penyakit yang

mendasarinya, terutama di antara pasien dengan kondisi kronis

(Dziubek et al., 2016).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Ada beberapa teori yang telah dikembangkan untuk

menjelaskan faktor yang mempengaruhi kecemasan (Stuart, 2013b):

a. Teori Psikoanalitik

Menurut pandangan psikoanalitik kecemasan terjadi karena

adanya konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian,

yaitu id dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili

hati nurani, sedangkan ego berperan menengahi konflik yang

tejadi antara dua elemen yang bertentangan (Videbeck, 2011).

b. Teori Interpersonal

Kecemasan timbul dari masalah-masalah dalam hubungan

interpersonal takut terhadap penolakan dan tidak adanya


29

penerimaan, dan berkaitan erat dengan kemampuan seseorang

untuk berkomunikasi (Videbeck, 2011).

c. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan

produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan.

d. Teori Prespektif Keluarga

Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi

dalam keluarga. Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi

yang mal adaptif dalam sistem keluarga.

e. Teori Perspektif Biologis

Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung

reseptor khususnya yang mengatur kecemasan.

Sementara itu, Stuart & Laraia (2013) juga menyebutkan

faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan, antara lain:

a. Faktor Eksternal

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi penurunan

kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas,

harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

b. Faktor Internal

1) Usia

Usia erat kaitannya dengan tingkat perkembangan

seseorang dan kemampuan koping terhadap stres.


30

2) Jenis Kelamin

Secara umum, gangguan psikis dapat dialami oleh

perempuan dan laki-laki secara seimbang.

3) Tingkat Pengetahuan

Dengan pengetahuan yang dimiliki, akan membantu

seseorang dalam mempersepsikan suatu hal, sehingga

seseorang dapat menurunkan perasaan cemas yang dialami.

Pengetahuan diperoleh dari informasi yang didapat.

4) Tipe Kepribadian

Orang dengan tipe kepribadian A dengan ciri-ciri tidak

sabar, kompetitif, ambisius, dan ingin serba sempurna lebih

mudah mengalami gangguan kecemasan daripada orang

dengan tipe kepribadian B.

5) Lingkungan dan Situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata

lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan bila dia

berada di lingkungan yang biasa dia tempati.

c. Klasifikasi Kecemasan

Klasifikasi menurut Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder IV (DSM IV) Gangguan Cemas terbagi atas

(Maramis, 2011):

1) Gangguan Panik dengan atau tanpa agorafobia

2) Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik

3) Fobia Spesifik
31

4) Fobia Sosial

5) Obsesi kompulsif

6) Gangguan stres pasca trauma

7) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)

8) Gangguan Cemas karena kondisi Medis Umum (Anxiety Disorder

Due To Medical Condition)

9) Gangguan cemas yang disebabkan oleh subtansi zat (Subtance

Induced Anxiety Disorder).

d. Tingkatan Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya. Menurut Peplau (1952) dalam Yusuf, Fitryasari PK, &

Nihayati (2015) ada empat tingkatan yaitu:

1) Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.

Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas,

menajamkan indera.

2) Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat

melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

3) Kecemasan Berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat

perhatiannya pada detil yang kecil dan spesifik dan tidak dapat

berfikir hal-hal lain.


32

4) Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang.

Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun

meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik,

berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain,

penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak

mampu berfungsi secara efektif.

e. Rentang respon kecemasan

Rentang respon kecemasan terdiri dari respon adaptif dan

maladaptif. Respon adaptif seseorang menggunakan koping yang

bersifat membangun (konstruktif) dalam mengatasi kecemasan berupa

antisipasi. Respon maladaptif merupakan koping yang bersifat

merusak (destruktif) dan disfungional seperti individu menghindari

kontak dengan orang lain atau mengurung diri, tidak mau mengurus

diri Suliswati (2005) dalam (Sayogi, 2011).

Adaptif Maladaptif

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 2.6
Rentang Respon Kecemasan
Sumber: (Stuart, 2013a)
33

f. Gejala kecemasan

Keluhan dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan

dapat dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis (Hawari, 2011):

1) Gejala Somatik

a) Keringat berlebih, b) ketegangan pada otot skelet, c) sindrom

hiperventilasi, d) gangguan fungsi gastrointestinal, e) iritabilitas

kardiovaskuler.

2) Gejala Psikologis

a) Gangguan mood, b) kesulitan tidur, c) kelelahan, d) kehilangan

motivasi dan minat, e) perasaan yang tidak nyata, f) sangat sensitif

terhadap suara, g) tidak mampu berkonsentrasi, h) canggung,

koordinasi buruk, i) gelisah, tidak bisa diam, j) kehilangan

kepercayaan diri, k) kecenderungan untuk melakukan segala

sesuatu berulang, l) keraguan dan ketakutan yang mengganggu,

m) terus-menerus memeriksa semua yang telah dilakukan.

g. Dampak kecemasan

Menurut Stuart & Laraia (2013) ada 2 macam dampak yang

dialami seseorag ketika mengalami kecemasan:

1) Dampak Fisiologis

a) Kardiovaskuler; peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung

berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun,

syock dan lain-lain. Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa

tertekan pada dada, rasa tercekik.


34

b) Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat,

berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak

tangan berkeringat, gatal-gatal.

c) Gastrointestinal; anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa

terbakar di epigastrium, nausea, diare.

d) Neuromuskuler; reflek meningkat, reaksi kejutan, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang,

gerakan lambat.

2) Dampak Psikologis

a) Perilaku; gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada

koordinasi, menarik diri, menghindar.

b) Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah

lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi

menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang

berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati

dan lain-lain.

c) Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang

luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

h. Alat ukur kecemasan

Penilaian kecemasan yang telah sering digunakan yaitu the

State Trait Anxiety Index (STAI), the Beck Anxiety Inventory (BAI),

and the anxiety subscale of the Hospital Anxiety and Depression Scale

(HADS) (Julian, 2011). Menurut Lazor et al (2017) dari dua puluh


35

tujuh instrumen, 14 multi-item dan 13 single-item, digunakan antara

78 studi.

5. Konsep Dasar Terapi Massage

a. Definisi

Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk

menunjukkan manipulasi tertentu dari jaringan lunak tubuh.

Manipulasi tersebut sebagian besar efektif dibentuk dengan tangan

diatur guna tujuan untuk mempengaruhi saraf, otot, sistem pernapasan,

peredaran darah dan limphe yang bersifat setempat dan menyeluruh

(Alimah, 2012).

Massage dapat didefinisikan sebagai manipulasi jaringan lunak

dengan sentuhan, gerakan, dan/atau memberikan tekanan pada tubuh.

Terapi pijat adalah praktik pijat oleh profesional terakreditasi untuk

mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang positif (fisik, fungsional,

dan hasil psikologis) pada klien (Ng, 2011).

b. Teknik Massage

Massage adalah teknik pijatan yang dilakukan untuk

membantu mempercepat proses pemulihan nyeri dengan menggunakan

sentuhan tangan untuk menimbulkan efek relaksasi. Massage

Effleurage merupakan manipulasi gosokan yang halus dengan tekanan

relatif ringan sampai kuat, gosokan ini mempergunakan seluruh

permukaan tangan satu atau permukaan kedua belah tangan, sentuhan

yang sempurna dan arah gosokan selalu menuju ke jantung atau searah
36

dengan jalannya aliran pembulu darah balik, maka mempunyai

pengaruh terhadap peredaran darah atau membantu mengalirnya

pembulu darah balik kembali ke jantung karena adanya tekanan dan

dorongan gosokan tersebut. Effleurage adalah suatu pergerakan

stroking dalam atau dangkal, Effleurage pada umumnya digunakan

untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan

pembuluh darah di dalam ekstremitas tersebut. Effleurage juga

digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan

ketidakteraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok otot yang

spesifik (Alimah, 2012).

c. Efek Massage

Menurut (Ng, 2011), ada beberapa efek Massage yaitu:

1) Efek terhadap peredaran darah dan lymphe

Massage menimbulkan efek memperlancar peredaran

darah. Manipulasi yang dikerjakan dengan gerakan atau menuju

kearah jantung, secara mekanis akan membantu mendorong

pengaliran darah dalam pembulu vena menuju ke jantung. Massage

juga membantu pengaliran cairan limphe menjadi lebih cepat, ini

berarti membantu penyerapan sisa-sisa pembakaran yang tidak

digunakan lagi.

2) Efek terhadap otot

Massage memberikan efek memperlancar proses

penyerapan sisa-sisa pembakaran yang berada di dalam jaringan

otot yang dapat menimbulkan kelelahan. Dengan manipulasi yang


37

memberikan penekanan kepada jaringan otot maka darah yang ada

di dalam jaringan otot, yang mengandung zat-zat sisa pembakaran

yang tidak diperlukan lagi terlepas keluar dari jaringan otot dan

masuk kedalam pembuluh vena. Kemudian saat penekanan kendor

maka darah yang mengandung bahan bakar baru mengalirkan

bahan tersebut ke jaringan, sehingga kelelahan dapat dikurangi.

Selain itu massage juga memberi efek bagi otot yang mengalami

ketegangan atau pemendekan karena massage pada otot berfungsi

mendorong keluarnya sisa-sasa metabolisme, merangsang saraf

secara halus dan lembut agar mengurangi atau melemahkan

rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat menimbulkan

ketegangan.

3) Efek Massage terhadap kulit

Massage memberikan efek melonggarkan perlekatan dan

menghilangkan penebalan-penebalan kecil yang terjadi pada

jaringan di bawah kulit, dengan demikian memperbaiki

penyerapan.

4) Efek Massage terhadap saraf

Sistem saraf perifer adalah bagian dari sistem saraf yang di

dalam sarafnya terdiri dari sel-sel saraf motorik yang terletak di

luar otak dan susmsum tulang belakang. Sel-sel sistem saraf

sensorik mengirimkan informasi ke sistem saraf pusat dari organ-

organ internal atau dari rangsangan eksternal. Sel sistem saraf

motorik tersebut membawa informasi dari sistem saraf pusat (SSP)


38

ke organ, otot, dan kelenjar. Sistem saraf perifer dibagi menjadi

dua cabang yaitu sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom.

Sistem saraf somatic terutama merupakan sistem saraf motorik,

yang semua sistem saraf ke otot, sedangkan sistem saraf otonom

adalah sistem saraf yang mewakili persarafan motorik dari otot

polos, otot jantung dan sel-sel kelenjar. Sistem otonom ini terdiri

dari dua komponen fisiologis dan anatomis yang berbeda, yang

saling bertentangan yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik,

dapat melancarkan sistem saraf dan meningkatkan kinerja saraf

sehingga tubuh dapat lebih baik.

5) Efek Massage terhadap respon nyeri

Prosedur tindakan Massage dengan teknik Effleurage

efektif dilakukan 10 menit untuk mengurangi nyeri. Stimulasi

Massage Effleurage dapat merangsang tubuh melepaskan senyawa

endorphin yang merupakan pereda sakit alami dan merangsang

serat saraf yang menutup gerbang sinap sehingga transmisi impuls

nyeri ke medulla spinalis dan otak di hambat. Selain itu teori gate

control mengatakan bahwa Massage Effleurage mengaktifkan

transmisi serabut saraf sensori A – beta yang lebih besar dan lebih

cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan

delta A berdiameter kecil.

d. Indikasi dan Kontraindikasi Massage

Menurut American Massage Therapy Association (AMTA)

(2012a) masase merupakan salah satu pendekatan yang dapat


39

digunakan untuk menghilangkan nyeri otot atau sebagai sarana untuk

relaksasi.

1) Indikasi

a) Kelelahan yang sangat

b) Otot kaku, lengket, tebal dan nyeri

c) Ganggguan atau ketegangan saraf

d) Kelayuhan atau kelemahan otot

e) Stres dan kecemasan

2) Kontraindikasi

a) Cidera yang bersifat akut

b) Demam

c) Edema

d) Penyakit kulit

e) Pengapuran pembuluh darah arteri

f) Luka bakar

g) Patah tulang (fraktur)

(Alimah, 2012).

e. Jenis-jenis Massage

Jenis terapi pijat yang termasuk dalam tinjauan yaitu terapi pijat

yang dilakukan secara satu jenis atau kombinasi, dan melibatkan

kontak fisik langsung tanpa penggunaan mesin, perangkat, peralatan

atau perkakas termasuk. Teknik terapi manual yang biasa digunakan

oleh terapis pijat termasuk terapi titik pemicu, pelepasan myofascial,

gesekan transversal dalam juga disertakan (Ng, 2011).


40

1) Deep Tissue Massage (DTM)

Teknik pijat yang terutama digunakan untuk mengobati

masalah muskuloskeletal, seperti otot yang tegang dan cedera

olahraga. DTM melibatkan penerapan tekanan berkelanjutan

menggunakan gerakan lambat dan dalam untuk menargetkan

lapisan dalam otot dan jaringan ikat. DTM membantu memecah

jaringan parut yang terbentuk setelah cedera dan mengurangi

ketegangan pada otot dan jaringan. DTM juga dapat mempercepat

penyembuhan dengan meningkatkan aliran darah dan mengurangi

peradangan (Koren & Kalichman, 2018).

2) Soft Tissue Massage (STM),

Pijat jaringan lunak melibatkan tindakan fisik langsung

pada otot dan jaringan lunak lain dari tubuh. Teknik STM

menargetkan otot, tendon, ligamen, atau jaringan ikat lainnya.

STM adalah pijat yang paling terkenal dari teknik jaringan lunak.

STM mencakup berbagai macam kedalaman, tekanan, dan durasi

pijat yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, nyeri, dan cedera

(Van Den Dolder et al., 2014).

3) Slow Stroke Back Massage (SSBM),

Stimulasi SSBM adalah stimulasi kulit yang dilakukan

untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong

pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri.

Cara lainnya adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut saraf

sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga


41

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta

berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi

impuls nyeri. Slow-Stroke Back Massage (SSBM) adalah tindakan

masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 10 menit

(Potter et al., 2019).

4) Swedish (includes effleurage/petrissage),

Pijatan yang dilakukan seseorang untuk membantu

mempercepat proses pemulihan dengan menggunakan sentuhan

tangan dan tanpa memasukkan obat ke dalam tubuh yang bertujuan

untuk meringankan atau mengurangi keluhan atau gejala pada

beberapa macam penyakit yang memiliki indikasi untuk dipijat.

Tujuan lainnya yaitu untuk rileksasi otot, perbaikan fleksibilitas,

pengurangan nyeri, dan perbaikan sirkulasi darah (Wiyoto, 2011).

5) Ayurvedic Massage,

Pijat Ayurveda merupakan teknik pemijatan yang

diadaptasi dari cara pengobatan umat Hindu di India. Ayurveda

sendiri berasal dari bahasa Sansekerta Ayur yang memiliki arti

kehidupan, dan Vedic yang memiliki arti pengetahuan. Teknik

tersebut kemudian diadaptasi sebagai salah satu teknik pijat yang

berfokus pada beberapa titik utama pada tubuh, yang mana bila

dilakukan relaksasi pada titik tersebut, tubuh akan merasakan

beberapa manfaat besar. Teknik pijat Ayurveda juga memiliki

beberapa perbedaan dengan teknik pijat biasa. Selain berfokus pada

titik chakra, pemijatan dengan teknik Ayurveda juga berfokus pada


42

beberapa titik energi yang kaku atau bermasalah. Seperti, bagian

punggung, pundak, dan pinggang (Sankaran et al., 2019).

6) Traditional Chinese Medicine (TCM) including Tuina/Qigong

Terapi pijat Cina (Tui Na) adalah intervensi yang relatif

sederhana, murah dan non-invasif, dan telah digunakan untuk

merawat pasien stroke selama bertahun-tahun di Cina. Pengamatan

klinis menunjukkan bahwa Tui Na merupakan pengobatan yang

aman dan efektif untuk spastisitas pasca stroke. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, kami mengajukan hipotesis bahwa Tui Na

akan mengurangi keparahan spastisitas pasca stroke dan

meningkatkan fungsi motorik dan kemampuan perawatan diri

sehari-hari untuk pasien dengan spastisitas pasca stroke dengan

aman dan efisien (Yang et al., 2017).

f. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Menurut Stockert & Hall (2019) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan pada tindakan massage, yaitu:

1) Menanyakan kepada pasien apakah pasien menyukai massage

dikarenakan beberapa pasien tidak menyukai kontak secara fisik.

2) Perlu diperhatikan kemungkinan adanya alergi pada lotion.

3) Mengidentifikasi faktor atau kondisi pasien.

4) Hindari untuk melakukan masase pada area kemerahan, kecuali

bila kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase.

5) Memperhatikan tanda-tanda tidak nyaman selama tindakan.

Anda mungkin juga menyukai