Oleh :
Asuhan keperawatan pada Tn.M di RSD MANGUSADA BADUNG guna melengkapi tugas
PLKK
Mengetahui:
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah
ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika hipotensi
ini sangat parah dan menahun.
Sedangkan faktor resiko pada stroke antara lain :
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit kardiovaskuler (Embolisme serebral mungkin berasal dari jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark cerebral).
4. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas 35 tahun
dan kadar esterogen yang tinggi.
5. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan iskhemia serebral umum.
6. Penyalahgunaan obat tertentu pada remaja dan dewasa muda.
7. Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan darah,
merokok kretek dan obesitas.
8. Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke
adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat
dimanifestasikan oleh hal berikut:
a. Disartria (kesulitan berbicara): ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti
yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara.
b. Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama
ekspresif atau reseptif.
3. Gangguan persepsi
Gangguan persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual
spasial dan kehilangan sensori.
4. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi
masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
5. Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena
konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
4. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh daralidan
adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor
penyebab infark pad-a otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi
septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat.
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai; karena perdarahan yang luas
terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat
dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum
(Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus,
dan pons (Muttaqin, 2008). Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral: Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu
4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat
terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung (Muttaqin,
2008). Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak
akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi
otak serta gangguan drainase otak. Elernen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang
terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi (Muttaqin, 2008). Jumlah darah yang keluar
menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar
93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi
perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat
fatal (Misbach, 1999 dalam Muttaqin, 2008).
5. Pathway
Trombosis
Hipoksia; Hipertensi,
penyakit jantung,
obesitas, merokok
Adanya penyumbatan
aliran darah ke otak oleh
Trhombus, berkembang
menjadi Antherosklerosis
pada dinding pembuluh Penimbunan lemak
darah. Embolisme atau kolesterol yang
meningkat
Embolisme berjalan
Arteri tersumbat menuju ke otak melalui Pembuluh darah
arteri karotis
menjadi kaku
8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010) dalam Setyadi
(2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke otak, membantu lisis bekuan
darah dan mencegah trombosis lanjutan, melindungi jaringan otak yang masih aktif
dan mencegah cedera sekunder lain, beberapa terapinya adalah :
a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen activator
(rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan menguraikan bekuan
darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam waktu 3 jam sejak manifestasi klinis
stroke timbul dan hanya dilakukan setelah kemungkinan perdarahan atau
penyebab lain disingkirkan.
b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat resiko tinggi
kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi, atau fibrilasi atrial.
c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel dapat diberikan
untuk mengurangi pembentukan trombus dan memperpanjang waktu pembekuan.
d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke dengan
tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan oksigenasi, pemantauan
dan pengendalian tekanan darah untuk 13 mencegah perdarahan lebih lanjut,
pengendalian hiperglikemi pada pasien diabetes sangat penting karena kadar
glukosa yang menyimpang akan memperluas daerah infark.
2. Penalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik
merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien
yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk
hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan
oleh modifikasi diet dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011
dalam Agustina, 2014 ). Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau
berbunga terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi
Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam Agustian (2014) dan studi Nurses
Health (JAMA 1999;282:1233) dalam Agustina (2014), setiap peningkatan
konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet
rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan.
Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per hari) dapat
mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20% dalam 12 tahun (N
Engl J Med 1999;341:1557) dalam Agustina (2014), namun konsumsi alkohol
berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke.
2) Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara dengan
merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan
fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk
melakukan aktivitas aerobik sekitar 30- 45 menit setiap hari (Goldszmidt et al.,
2011 dalam Agustina, 2014). Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat
meningkatkan metabolisme karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi
kardiovaskular (jantung). Latihan juga merupakan komponen yang berguna
dalam memaksimalkan program penurunan berat badan, meskipun pengaturan
pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan pengendalian
metabolisme (Sweetman, 2009 dalam Agustina, 2014).
b. Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi
a) Pengertian rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan penderita stroke (Wang,
2014 dalam Fitriani, 2016). Rehabilitasi stroke merupakan sebuah program
komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan rehabilitasi yang bertujuan
untuk mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional yang ada (Stein,
2009 dalam Fitriani, 2016). Rehabilitasi dini diunit 21 penanganan stroke dapat
berpengaruh kepada keselamatan hidup penderita stroke (Ginsberg, 2007 dalam
Fitriani, 2016).
Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein (2009) dalam
Fitriani (2016) yaitu: a. Mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional
b. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu c.
Membantu melakukan kegiatan aktivitas sehari – hari d. Readaptasi sosial dan
mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan aktivitas sosial
Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi Menurut (Lingga, 2013)
program rehabilitasi mencakup berbagai macam kegiatan untuk melatih kembali
fungsi tubuh pasien yang lemah akibat stroke yang dialami. Kegiatan yang dapat
dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien stroke meliputi:
Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip Pengertian latihan rentang
gerak aktif asistif dengan cylindrical grip adalah latihan rentang gerak aktif
merupakan latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
pergerakkan sendi untuk meningkatkan masa otot dan kekuatan otot (Potter &
Perry, 2005 dalam Fitriani, 2016). Latihan cylindrical grip merupakan suatu bentuk
latihan fungsional tangan dengan cara untuk melakukan latihan neuromotor yang
melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan keseimbangan, latihan gerak,
koordinasi, dan gaya berjalan untuk meningkatkan fungsi fisik dengan frekuensi
dua sampai tiga kali perminggu, tiap sesi lebih dari 20-30 menit total lebih dari 60
menit latihan per minggu.
b. Terapi musik
Pengertian terapi musik adalah terapi yang menggunakan musik secara terapeutik
terhadap fungsi fisik, fisiologis, kognitif dan fungsi sosial (American Music Therapy
Association, 2011 dalam Fitriani, 2016). Musik merupakan seni mengatur
suara dalam waktu yang berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi melalui
melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna nada (Snyder, 2010 dalam Fitriani,
2016).
Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat dari terapi musik yaitu
untuk mengembalikan fungsi individu sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang
lebih baik, melakukan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi dengan pemberian
terapi karena musik dianggap mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan (Wigram,
2004 dalam Fitriani, 2016).
Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis musik yang diberikan
untuk pasien stroke adalah musik yang lembut dan getaran yang lambat (Forsblom,
2012 dalam Fitriani, 2016). Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses
motorik melalui sinkronisasi sensorimotorik dengan musik (Fujioka et al, 2012 dalam
Fitriani, 2016). Salah satu jenis musik yang lembut dan nada yang lambat adalah
musik instrumental (Gillen, 2009 dalam Fitriani, 2016).
Lama pemberian terapi musik Terapis dapat melakukan terapi musik selama
kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun waktu 10 menit dapat
diberikan karena selama waktu 10 menit telah membantu pikiran klien beristirahat
(Wigram, 2004 dalam Fitriani, 2016). Posisi pasien harus nyaman saat mendengarkan
musik, tempo sedikit lebih lambat 60-80 ketukan per menit dengan irama yang tenang
(Schou, 2008 dalam Fitriani, 2016). Salah satu contoh musik instrumental yang
memiliki tempo lambat 60-80 ketukan per menit yaitu musik ethnic bali seperti gus
teja. Pola sensori musik diorganisir dalam pola irama, tidak hanya membantu pasien
untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak sesuai ketukan, tetapi juga membantu
terapis dalam perencanaan program yang disesuaikan dengan pola gerak pasien
(Djohan, 2006 dalam Fitriani, 2016).
9. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah (Firdayanti, 2014):
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan,
konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas, terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non hemoragik
meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang (Jauch, 2016).
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi meskipun
agak jarang (10-20%).
2. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah
intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi
lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,
meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder.
Gejala Diagnosis
c. Rangsangan Meningeal
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis)
dilakukan pemeriksaan :
1) Kaku kuduk
Bila leher di tekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menempel pada dada --- Kaku kuduk positif (+)
2) Tanda Brudzunsky I
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala klien dan tangan lain di
dada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala
klien di fleksikan kedada secara pasif. Brudzinsky I positif (+)
3) Tanda Brudzinsky II
Tanda brudzinsky II positif (+) bila fleksi klien pada sendi panggul secara
pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut
.
4) Tanda kerniq
Fleksi tungkai atas tegak lurus,lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut normal-,bila tungkai membentuk sudut 1350 terhadap
tungkai atas. Kerniq + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa
sakit tibia ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.
5) Test lasegue
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang Mischiadicus.
3. Intervensi
Rencana Perawatan
No Tujuan Dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
2 SLKI : SIKI :
Mobilitas Fisik Dukungan Mobilisasi 1. Untuk
Setelah dilakukan asuhan Observasi mengetahui
keperawatan 1. Identifikasi toleransi fisik sejauh mana
selama….x24 jam. melakukan pergerakan pasien bisa
Diharapkan mobilitas 2. Monitor prekuensi jantung melakukan
fisik normal dengan dan tekanan darah sebelum pergerakan
kriteria hasil : memulai mobilisasi 2. Untuk
1. Pergerakan 3. Monitorkondisiumum memantau
Ekstremitas selama melakukan kondisi
meningkat mobilisasi tekanan darah
2. Kekuatan Otot pasien
Terapeutik
menurun 3. Untuk
3. Nyeri Menurun 4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi mengetahui
4. Kelemahan fisik dengan alat bantu (mis, keadaan umum
menurun pagar tempat tidur) pasien
5. Gerakan terbatas 5. Melibatkan keluarga untuk 4. Untuk
menurun membantu pasien dalam mempermudah
meningkatkan pergerakan pasien dalam
melakukan
Edukasi
mobilisasi
6. Jelaskan tujuan dan prosedur 5. Untuk
mobilisasi membantu
7. Ajarkan mobilisasi sederhana pasien dalam
yang harus dilakukan (misa, melakukan
duduk di tempat tidur, pindah mobilisasi
dari tempat tidur ke kursi, 6. Supaya pasien
berbaring kanan/kiri) mengerti dan
memahami
tujuan dari
mobilisasi
7. Memberikan
penyembuhan
untuk kondisi
pasien
3 SLKI SIKI
Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri 1. Untuk
Setelah dilakukan asuhan Observasi mengetahui
keperawatan 1. Identifikasi Kebiasaan kebiasan
selama….x24 jam. aktivitas sesuai usia pasien
Diharapkan perawatan 2. Monitor tingkat kemandirian 2. Untuk
diri pasien normal dengan mengetahui
Terapeutik
kriteria hasil : sejauh mana
1. Kemampuan 3. Sediakan lingkungan yang tingkat
mandi meningkat terapaeutik (mis, suasana kemandirian
2. Kemampuan hangat, rileks, privasi) pasien
mengenakan 4. Siapkan keperluan pribadi 3. Supaya
pakian meningkat (mis, sikat gigi, sabun memberikan
3. Kemampuan mandi, parfum) kenyamanan
makan meningkat 5. Damping dalam melakukan pada pasien
4. Kemampuanke perawatan diri sampai dan
toilet (BAB/BAK) mandiri 4. Untuk
6. Fasilitasi kemandirian, bantu memudahkan
jika tidak mampu pasien dalam
melakukan perawatan melakukan
perawatan diri
Edukasi
5. Untuk
7. Anjurkan melakukan memberikan
perawatan diri seacra semangat pada
konsisten sesuai pasien ketika
kemampuan meras ada
keluarga yang
mendampingin
ya
6. Untuk
mempermudah
pasien dalam
melakukan
perawatan diri
7. Untuk
memberikan
kebiasaan pada
pasien agar
rutin untuk
melakukan
perawatan diri
4 SLKI SIKI
Komunikasi Verbal Promosi komunikasi : Defisit 1. Untuk
Setelah dilakukan asuhan Bicara mengetahui
keperawatan Observasi sejauh mana
selama….x24 jam. 1. Monitor kecepatan, tekanan, kempuan
Diharapkan komunikasi kuantitas, volume dan diksi pasien dalam
verbal normal pada pasien bicara berkomunikasi
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi prilaku 2. Untuk
1. Kemampuan emosional dan fisik sebagai menegtahui
berbicara bentuk komunikasi apakah ada
meningkat prilaku prilaku
Terapeutik
2. Kemampuan yang tidak baik
mendengar 3. Gunakan metode komunikasi saat pasien
meningkat alternative (mis, menulis, berbicara
3. Kesesuaian mata berkedif, papan 3. Untuk
ekspresi komunikasi dengan gambar memudahkan
wajah/tubuh dan huruf, isyarat tangan, pasien untuk
4. Respon prilaku dan computer) memudahkan
meningkat 4. Modifikasi lingkungan untuk dalam
5. Pemahaman meminimalkan bantuan berbicara
komunikasi 4. Untuk
Edukasi
meningkat memberikan
5. Anjurkan berbicara perlahan kenyamanan
pada pasien
Kolaborasi
5. Untuk
6. Rujuk ke ahli patologi bicara mengetahui
atau terapis sejauh mana
pasien bisa
berkomunias
dengan baik
6. Untuk
mengejarkan
pasien agar
bisa berbicara
dengan baik
dan benar
5 SLKI SIKI
Pola Napas Manajemen jalan napas 1. Untuk
Setelah dilakukan asuhan Observasi mengetahui
keperawatan 1. Monitor pola napas kondisi pola
selama….x24 jam. (frekuensi, kedalaman, napas pasien
Diharapkan masalah pola usaha napas) 2. Untk
napas normal dengan 2. Monitor bunyi napas mengetahui
kriteria hasil : tambahan (mis, apakah ada
1. Frekuensi napas mengi,wheezing, ronkhi suara
normal kering) tambahan pada
pada saat
Terapeutik
2. Kedalaman napas pasien
normal 3. Posisiskn semi-fowler atau bernapas
3. Tidak ada dispnea fowler 3. Untuk
4. Tekanan ekspirasi 4. Berikan minum hangat memudahkan
membaik 5. Berikan oksigen pasien dalam
5. Tekanan inspirasi bernapas
Edukasi
membaik 4. Untuk
6. Anjurkan asupan cairan 2000 mengencerkan
ml/hari, jika tidak dahak pasien
kontraindikasi 5. Untuk
7. Ajarkan teknik batuk efektif menghilanglan
sesak pasien
Kolaborasi
dan
8. Kolabrasi pemebrian memberikan
bronkodilator,ekspektoran, penyembuhan
mukolitik, jika perlu pada pasien
6. Melengkapan
kebutuhan
asupan cairan
pasien
7. Untuk
mengeluarkan
secret
8. Untuk
memberikan
penyembuhan
pada pasien
4. Implamentasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat.
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan, yang dimulai setelah
perawat menyusun rencana keperawatan. Implementasi keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang telah dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik menggambarkan kriteria
hasil yang diharapkan (Dermawan, 2012: 118).
5. Evaluasi
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar
tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien yang
tampil. Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil atau perbuatan dengan standar untuk
tujuan pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai (Dermawan, 2012:
128). Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan menilai tindakan keperawatan yang
telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan
mengukur hasil dari proses keperawatan yang dilakukan dengan format SOAP.
S: Subyektif : hasil pemeriksaan terakhir yang dikeluhkan oleh pasien biasanya data ini
berhubungan dengan kriteria hasil.
O: Obyektif : hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukan oleh perawat biasanya data ini
juga berhubungan dengan kriteria hasil.
A: Analisa : pada tahap ini dijelaskan apakah masalah kebutuhan pasien telah terpenuhi
atau tidak.
P: Rencana : dijelaskan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan terhadap pasien
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA), 2015, Health Care Research: Coronary Heart Disease
Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2 Penerbit Jakarta:
EGC
Doengoes, Marilynn E, Jacobs, Ester Matasarrin. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. 2000. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja (1st ed.).
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Junaidi, Iskandar., 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta : ANDI.
Muttaqin, Arif. 2008 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa: Brahm
U. Pendit. Editor: Huriawati Hartanto. Edisi VI. Jakarta: EGC.
Rosjidi, C. H., & Nurhidayat, S. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial &
Gangguan Peredaran Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Smeltzer, Suzanne C . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth .
Jakarta: E G C.
Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan . Jakarta: Sagung
Seto.
William, Lippicont . 2008 . Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit . Jakarta: Indeks.
: Ny.R