Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN DASAR PROFESI


“Stroke Hemoragik ”

\\

CI :
Marianto, S.Kep,. Ners

Disusun Oleh:
Iva Anggreini Putri (891221061)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES YARSI) PONTIANAK
TAHUN AJARAN
2022/2023
A. Pengertian
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah di otak. Sementara yang menjadi faktor penyebab pecahnya
pembuluh darah adalah hipertensi alias tekanan darah tinggi. Stroke
hemoragik terbagi menjadi dua yaitu, hemoragik intraserebral (pendarahan
yang terjadi didalam jaringan otak) dan hemoragik atau ruangan sempit antara
permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutup otak) (Aizid, 2017).
Stroke hemoragik terjadi karena ruptur pembuluh darah yang
menyebabkan perdarahan ke dalam jari ngan otak yang disebut stroke
intraserebral atau per darahan ke ruang subarakhnoid yang disebut stroke
hemoragik subarakhnoid atau disingkat subarachnoid hemorrhage ( SAH ).
Umumnya perdarahan terjadi akibat ruptur aneurisma atau arteriovenous
malforma tion oleh karena hipertensi berat ( Hickey, 2003) dalam (Sembiring,
2022). Kejadian stroke mdapat didahului oleh banyak faktor dan seringkali
berhubungan dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus. Hpertensi dan
penyakit kardiovaskular, stress, serta gaya hidup yang dapat menyebabkan
masalah vascular (Sembiring, 2022).
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah diotak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada
penderita hipertensi (Sudarsini, 2017).
B. Penyebab dan Faktor Predisposisi
Penyebab dari stroke hemoragik menurut (Gofir, 2021), yaitu sebagai
berikut:
1. Primer
a. Idiopatik (tidak diketahui adanya malformasi vaskuler atau penyakit
yang dapat menyebabkan stroke.
b. Antiokoagulan.
2. Sekunder
a. Malformasi vaskuler yang terindentifikasi.
b. Keadaan media atau neurologis yang mengganggu keadaan koagulasi
atau menyebabkan rupture vaksular (contohnya infark serebrri atau
tumor, penggunaan obat-obatan simpatomimetik, dan keganasan
hematologis).
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala stroke hemoragik menurut (Tanajaya, 2018), sebagai
berikut:
1. Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang terjadi pada
saat istirahat atau bangun pagi.
2. Kadang tidak terjadi penurunan kesadaran.
3. Terjadi terutama pada usia >50 tahun.
4. Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya.
D. Patofisiologi
Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih sebesar 20 %
adalah stroke hemoragik dan masing - masing 10 % untuk perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000) dalam (Yueniwati,
2018).
Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini
diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat
hipertensi kronis. Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen,
serebellum, dan batang otak. Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena
kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan (Liebeskind, 2014)
dalam (Yueniwati, 2018 ).
ICH memiliki tiga fase yaitu, perdarahan awal, ekspansi hematoma
dan edema peri – hematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh faktor - faktor
risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi oleh kedua fase berikutnya.
Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam beberapa jam setelah fase perdarahan
awal terjadi akan meningkatkan TIK yang pada gilirannya akan merusak
BBB (Blood Brain Barrier). Peningkatan TIK berpotensi menyebabkan
herniasi. Kerusakan BBB ini menyebabkan fase berikutnya yaitu
pembentukan edema peri - hematoma . Fase terakhir ini dapat terjadi dalam
beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan merupakan penyebab utama
perburukan neurologis, akibat penekanan bagian otak normal (Magistris,
2013) dalam (Yueniwati, 2018).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter
100-400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh
darah tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan
darah yang tiba - tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri yang kecil.
Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada
arteriola dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan,
2000) dalam (Yueniwati, 2018).
Elemen - elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia
akibat menurunnya tekanan perfusi , menyebabkan neuron - neuron di daerah
yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi . Gejala neurologik
timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan
nekrosis.
Pendarahan subarachnoid terjadi akibat pembulu darah di sekitar
permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah keruang
subaracnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya
aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation. SAH
mengakibatkan banyak hal. Selain peningkatan TIK, SAH mengakibatkan
vasokontriksi akut, agregasi platelet, dan kerusakan mikrovaskular.

E. Patway Keperawatan
STROKE HEMORAGIK
Perubahan Penurunan Kinerja Gangguan
metabolisme Ventrikel Kiri Muskuloskeletal

Ketidakbugaran
Cedera kepala Kelemahan
Fisik

Penurunan
Infark Miokard Penurunan kekuatan
kendalai otot
Akut otot

Penurunan
massa otot
Resiko Perfusi Kebersihan diri
Serebral Tidak dibantu
Efektif
Penurunan
kekuatan otot

Defisit Perawatan
Diri

Kekakuan
sendi

Gangguan
Mobilitas fisik
F. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan stroke hemoragik menurut (Riyanto, 2017),
sebagai berikut:
1. Terapi medis
a. Pemebedahan
Dilakukan jika pendarahan serebrum diameter lebih dari 3 cm
atau volume dari 50 ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan
ventrikulo peritoneal bila ada hidrosefanus.
b. Terapi obat-obatan
Terapi pengobatan dari stroke hemoragik yaitu:
1) Antihipertensi: captropil, antagonis kalsium.
2) Diuretic: mannitol 20%, furotolin.
2. Keperawatan mmm
a. Pada fase akut
1) Pertahankan jalan napas, pemberian oksigen, penggunaan ventilator
2) Monitor peningkatan tekanan intracranial.
3) Monitor fungsi pernapasan: analisa gas darah
4) Monitor jantung dan tanda - tanda vital, pemeriksaan EKG.
5) Evaluasi status cairan dan elektrolit.
6) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan , dan cegah
resiko injuri.
7) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung
dan pemberian makanan.
8) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
9) Monitor tanda - tanda neurologi seperti tingkat kesadaran , keadaan
pupil, fungsi sensorik dan motoric, nervus kranial, dan reflex.
c. Fase rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat.
2) Program management bladder dan bowel .
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dengan rentang gerak sendi
(ROM).
4) Pertahankan integritas kulit.
5) Pertahankan komunikasi yang efektif.
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
7) Persiapan pulang.
G. Pemerikasaan Penunjang
Pemeriksaaan penunjang stroke hemoragik menurut (Sudarsini, 2017),
1. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
2. CT scan
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
3. Lumbal pungsi.
Tekanan yang menngkat dan di sertai bercak darah pada cairan
lumbal menunjukan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan
pada intrakranial
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya di dapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
5. USG Doppler
Mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis).
6. EKG
Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark
sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak
7. Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat
pada trombosis serebral, kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subaraknoid.
H. Pengkajian Fokus
Pengkajian keperawatan pada klien stroke hemoragik sebagai berikut:
1. Idetintas Klien
a. Umur
Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai pada
populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, risikonya berlipat ganda
setiap kurun waktu sepuluh tahun. Pada stroke hemoragik dengan
perdarahan intraserebral lebih sering ditemukan pada usia 45-60
tahun,sedangkan stroke hemoragik dengan perdarahan subarachnoid
lebih sering ditemukan pada usia 20-40 tahun.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung terkena stroke lebih tinggi dibandingkan
wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki
dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang berumur 45 tahun bila
bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%,
sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki cenderung
terkena stroke iskemik sedangkan wanita lebih sering menderita stroke
hemoragik subaracnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi disbanding
laki-laki.
c. Pekerjaan
Stroke dapat menyerang jenis pekerjaan lainnya dan beberapa ahli
menyebutkan bahwa stroke cenderung diderita oleh golongan dengan
sosial ekonomi yang tinggi karena berhubungan dengan pola hidup,
pola makan, istirahat dan aktivitas. Hasil penelitian menunjukkan
sebagaian besar (50%) berpendidikan sarjana, yang memiliki
kecenderungan adanya perubahan gaya dan pola hidup yang dapat
memicu terjadinya stroke.
2. Keluhan utama
Keluhan yang didapat biasanya gangguan motoric kelemahan anggota
gerak sebelah badan, bicara pelo, dab tidak dapat berkomunikasi, nyeri
kepala, gangguan sensorik, kejang, penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung,
anemia trauma kepala, kontrasepsi oral lama, penggunaan obat
antikoagulan, aspirin, vasolidator, obat-obat adiktif, kegemukan, selain itu,
pada riwayat penyakit dahulu juga ditemukan riwayat tinggi kolestrol,
merokok, riwayat pemakaian kontrasepsi yang disertai hipertensi dan
meningkatnyakadar estrogen, dan riwayat komsumsi alkohol.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Berkaitan dengan fungsi peran yang tergambar dari penyesuaian atau
pencerminan diri yang tidak adekuat terhadap peran baru setelah stroke
serta masih menerapkan pola tidak sehat yang dapat memicu serangan
stroke berulang. Pengkajian perilaku adaptasi interdependen pada
pasien paska stroke antara lain identifikasi sistem dukungan sosial
pasien baik dari keluarga, teman, maupun masyarakat.

b. Pola Nutrisi Dan Metabolisme


Pasien stroke sering mengalami disfagia yang menyebabkan gangguan
intake dan pola nutisi. Respons adaptasi tidak efektif yang sering
ditunjukkan pasien antara lain mual, muntah, penurunan asupan nutrisi
dan perubahan pola nutrisi. Stimulus fokal yang sering menyebabkan
respons adaptasi tidak efektif pada pola nutrisi pasien stroke yaitu
disfagia dan penurunan kemampuan mencerna makanan. Stimulus
konstekstual yaitu kelumpuhan saraf kranial, faktor usia dan kurangnya
pengetahuan tentang cara pemberian makanan pada pasien stroke yang
mengalami disfagia. Stimulus residual yaitu faktor budaya serta
pemahaman pasien dan keluarga tentang manfaat nutrisi bagi tubuh.
c. Pola Eliminasi
Pengakajian eliminasi meliputi BAB dan BAK, konsintensi feses,
jumlah dan warna urin, inkontinensia urin, inkontinesia bowel, dan
konstipasi. Selama periode ini, dilakukan keterisasi intermitte dengan
teknik stril.inkotinesia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot,
gangguan tingkat kesadaran.
e. Pola Tidur dan Istirahat
Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot)
f. Pola Hubungan dan Peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karenan klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi.

g. Pola Persepsi dan Konsep Diri


Konsep diri merupakan pandangan individu tentang dirinya yang
terbentuk
dari persepsi internal dan persepsi berdasarkan reaksi orang lain
terhadap dirinya. Konsep diri terbagai menjadi dua aspek yaitu fisik
diri dan personal
diri. Fisik diri adalah pandangan individu tentang kondisi fisiknya yang
meliputi atribut fisik, fungsi tubuh, seksual, status sehat dan sakit, dan
gambaran diri. Personal diri adalah pandangan individu tentang
karakteristik diri, ekspresi, nilai yang meliputi konsistensi diri, ideal
diri, dan moral etika spiritual diri.
h. Pola Sensori dan Kongnitif
Singkop atau pinsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan berkurang atau
ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil
tidak sama.
i. Pola Penangulangan Stress
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke, keadaan stress dapat
memproduksi hormone kortisol dan adrenalin yang berkonstribusi pada
proses aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon tadi
meningkat jumlah trombosit dan produksi kolestrol. Kortisol dan
adrenalin juga dapat merusak sel yang melapisi arteri, sehingga lebih
mudah bagi jaringan lemak untuk tertimbun di dalam dinding arteri.
j. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang
tidak stabil, kelemahan atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Tingkat kesadaran menurun karena terjadinya perdarahan yang
menyebabkan kerusakan otak kemudian menekan batang otal.evaluasi
tingkat kesadaran secara sederhana dapat dibagi atas:
a) Compos mentis: kesadaran baik.
b) Apatis: perhatian kurang.
c) Samnolen: kesadaran mengantuk.
d) Stupor: katuk yang didalam dibangunkan dengan rangsangan
nyeri yang kuat.
e) Soparokomatus: keadaan tidak ada respon verbal
f) Tidak ada respon sama sekali.
b. Tanda-Tanda Vital
a) Tekanan darah: klien stroke hemoragik memiliki riwayat
teknanan darah dengan tekanan systole > 140 dan diastole > 80
mmHg.
b) Nadi: klien stroke nadi terhitung normal.
c) Pernapasan: klien stroke mengalami nafas cepat dan terdapat
gangguan pada besihan jalan nafas.
d) Suhu tubuh: pada klien stroke tidak ada masalah suhu pada pasien
dengan stroke hemoragik.
c. Pemerikasaan Head To Toe
a) Pemeriksaan kepala
1) Kepala: pada umumnya bentuk kepala pada pasien stroke
normocehalik.
2) mRambut: pada umumnya tidak ada kelainan pada rambut
pasien.
3) Wajah: biasanya pada wajah klien stroke terlihat miring
kesalah satu sisi.

b) Pemeriksaan Intergumen
1) Kulit : Biasanya pada klien yang kekurangan O2 kulit akan
tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit
kan jelek.
2) Kuku : Biasanya pada pasien stroke hemoragik ini capilarry
refill timenya < 3 detik bila ditangani secara cepat dan baik.
c) Pemeriksaan dada
Pada inspeksi biasanya didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan
frekuensi pernafasan. Pada auskultasi biasanya terdengar bunyi
nafas tambahan seperti ronchi pada klien dengan peningkatan
produksi secret dan kemampuan batuk menurun yang sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma. Pada klien dengan tingkat kesdaran compos mentis, pada
pengkajian inspeksi biasanya pernafasan tidak ada kelainan.
Palpasi thoraks didapatkan fremitus kiri dan kanan, dan pada
ausklutasi tidak didapatkan bunyi nafas tambahan.
d) Pemeriksaan Abdomen
Biasanya pada klien stroke didapatkan distensi pada abdomen,
dapatkan penurunan peristaltik usus, dan kadang-kadang perut
klien terasa kembung.
e) Pemeriksaan Genitalia
Biasanya klien stroke dapat mengalami inkontinensia urinarius
sementara karena konfusi dan ketidakmampuan mengungkapkan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang- kadang
kontrol sfingmter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril, inkontenesia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
f) Pemeriksaan Genitalia
1) Ekstrimitas Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra / sinistra. CRT
biasanya
normal yaitu < 2 detik.Pada pemeriksaan nervus XI
(aksesorius):
biasanya pasien stroke hemoragik tidak dapat melawan
tahanan pada bahu yang diberikan perawat. Pada
pemeriksaan reflek, biasanya saat siku diketuk tidak ada
respon apa-apa dari siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek
bicep (-)) dan pada pemmeriksaan tricep respon tidak ada
fleksi dan supinasi (reflek bicep (-)). Sedangkan pada
pemeriksaanreflek hoffman tromer biasanya jari tidak
mengembang ketika diberi reflek (reflek Hoffman tromer
(+)).
2) Ekstrimitas Bawah
Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat pemeriksaan
bluedzensky I kaki kiri pasien fleksi ( bluedzensky (+)). Pada
saat telapak kaki
digores biasanya jari tidak mengembang (reflek babinsky
(+)). Pada saat dorsum pedis digores biasanya jari kaki juga
tidak beresponn
(reflek caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut dari atas
ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau ekstensi
(reflek openheim (+)) dan pada saat betis diremas dengan
kuat biasanya pasien tidak
merasakan apa-apa (reflek gordon (+)). Pada saat dilakukan
reflek
patella biasanya femur tidak bereaksi saat di ketukkan (reflek
patella (+)).
g) Pemeriksaan Neurologis
1) Pemerikasaan Nervus Cranialis
(a) Nervus I (Olfaktorius). Biasanya pada klien stroke tidak
ada kelainan pada fungsi penciuman.
(b) Nervus II (Optikus). Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks
visual. Gangguan hubungan visual-spasial biasanya
sering terlihat pada klien hemiplegia kiri. Klien mungkin
tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian
tubuh.m
(c) Nervus III (Okulomotoris), IV(Troklearis), dan VI
(Abdusen). Pemeriksaan ini diperiksa secara bersamaan,
karena saraf ini bekerjasama dalam mengatur otot-otot
ekstraokular. Jika akibat stroke menyebabkan paralisis,
pada satu sisi okularis biasanaya didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral disisi yang sakit.
(d) Nervus V (Trigeminus). Pada beberapa keadaan stroke
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta
kelumpuhan satu sisi pterigoideus internus dan eksternus.
(e) Nervus VII (Fasialis). Pada keadaan stroke biasanya
persepsi pengecapan dalam batas normal, namun wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik kebagian sisi yang
sehat.
(f) Nervus VIII (Vestibulokoklearis/Akustikus). Biasanya
tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
(g) Nervus IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus). Secara
anatomi dan fisisologi berhubungan erat karena
glosofaringeus mempunyai bagian sensori yang
mengantarkan rangsangan pengecapan, mempersyarafi
sinus karotikus dan korpus karotikus, dan mengatur
sensasi faring. Bagian dari faring dipersarafi oleh saraf
vagus. Biasanya pada klien stroke mengalami penurunan
kemampuan menelan dan kesulitan membuka mulut.
(h) Nervus XI (Aksesoris). Biasanya tidak ada atrofi otot
sternokleisomastoideus dan trapezius.
(i) Nervus XII (hipoglosus). Biasanya lidah simetris,
terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi serta indra
pengecapan normal.
2) Pemerikasaan Motorik
Biasanya didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparise
atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
Juga biasanya mengalami gangguan keseimbangan dan
koordinasi karena hemiplegia dan hemiparese. Pada
penilaian dengan menggunakan kekuatan otot,
tingkat kekuatan otot pada sisi yang sakit
3) Pemerikasaan Refleks
Pada pemerikasaan refleks patologis. Biasanya pada fase
akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan reflek patologis.
8. Pemerikasaan pola penderita koma
a. Gerakan penduler tungkai
Pasien tetap duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung,
kemudian kaki diangkat ke depan dan dilepas. Pada waktu dilepas akan
ada gerakan penduler yang maikn lama makin kecil dan biasanya
berhenti 6 atau 7 gerakan. Beda pada rigiditas ekstrapiramidal akan ada
pengurangan waktu, tetapi tidak teratur atau tersendat-sendat.
b. Menjatuhkan tangan
Tangan pasien diangkat kemudian dijatuhkan. Pada kenaikan tonus
(hipertoni) terdapat penundaan jatuhnya lengan ke bawah. Sementara
pada hipotomisitas jatuhnya cepat.
c. Tes menjatuhkan kepala
Pasien berbaring tanpa bantal, pasien dalam keadaan relaksasi, mata
terpejam. Tangan pemeriksa yang satu dilektakkan di bawah kepala
pasien, tangan yang lain mengangkat kepala dan menjatuhkan kepala
lambat. Pada kaku kuduk (nuchal rigidity) karena iritasi meningeal
terdapat hambatan dan nyeri pada fleksi leher.
9. Pemerikasaan Penunjang
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. CT scan
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
c. Lumbal pungsi.
Tekanan yang menngkat dan di sertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial
d. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemmeriksaan biasanya di dapatkan area yang mengalami lesi dan
infark akibmat dari hemoragik.

1. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan neuromuskuler dan
kelemahan anggota gerak.
2. Resiko perkusi tidak efektif berhubungan dengan penurunan kinerja
ventrikel kiri,infard miokad.
3. Defisit keperawatan diri berhubungan dengan neuromuskuler dan
kelemahan.
2. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan


Indoneisa Indonesia
(SLKI) (SIKI)

1 Gangguan mobilitas fisik b/d Setelah dilakukan tindakan asuhan Dukungan mobilisasi
gangguan dan kelmemahan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan Observasi
anggota gerak mobilitas fisik tidak terganggu dengan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
kriteria hasil: keluhan fisik lainnya.
1. Pergerakan ekrimitas meningkat. 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
2. Kekuatan otot meningkat. pergerakan.
3. Rentang gerak (ROM) meningkat. 3. Monitor frekuensi jantung dan
4. Kelemahan fisik menurun. tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi.
4. Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi.
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu( mis; duduk diatas tempat
tidur).
2. Fasilitasi melakukan pergerakan.
3. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi.
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini.
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis: duduk diatas
tempat tidur).
Pemantauan Neurologis
Observasi :
1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan,
dan reaktifitas pupil.
2. Monitor tingkat kesadaran.
3. Monitor tanda-tanda vital.
4. Monitor status pernapasan : analisa
gas darah, oksimetri nadi, kedalaman
napas, pola napas, dan usaha napas.
5. Monitor refleks kornea.
6. Monitor kesimetrisan wajah
7. Monitor respons Babinski
8. Monitor respons terhadap
pengobatan.
Terapeutik
1. Tingkatkan frekuensi pemantauan
neurologis, jika perlu.
2. Hindari aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan intracranial
3. Atur interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
4. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan.

2 Resiko perfusi serebal tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan Tekanan
keperawatan 3 x 24 jam diharapkan Intrakranial
efektif b/d hipertensi
perfusi jaringan serebal pasien Observasi
menjadi efektif dengan kriterial hasil: 1. Identikasi penyebab peningkatan TIK.
1. Tingkatan kesedaran kongnitif 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
meningkat. 3. Monitor MAP, CVP, PAWP, PAP,
2. Gelisah menurun. ICP, dan CPP, jika perlu.
3. Tekanan intraknial menurun. 4. Monitor gelombang ICP.
4. Kesadaran membaik. 5. Monitor status pernapasan.
6. Monitor intake dan output cairan.
7. Monitor cairan serebro-spinal.
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang.
2. Berikan posisi semi fowler.
3. Hindari manuver Valsava.
4. Cegah terjadinya kejang.
5. Hindari penggunaan PEEP.
6. Atur ventilator agar PaCO2 optimal.
7. Pertahankan suhu tubuh normal.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu.
2. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis.
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja.
4. Pemantauan Neurologis.
Observasi:
1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan,
dan
2. reaktifitas pupil.
3. Monitor tingkat kesadaran.
4. Monitor tanda-tanda vital.Monitor
status pernapasan : analisa gas darah,
5. oksimetri nadi, kedalaman napas, pola
napas, dan usaha napas.
6. Monitor refleks kornea.
7. Monitor kesimetrisan wajah.
8. Monitor respons Babinski.
9. Monitor respons terhadap pengobatan.
Terapeutik
1. Tingkatkan frekuensi pemantauan
neurologis, jika perlu.
2. Hindari aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan intracranial.
3. Atur interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien.
4. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan.

3 Defisit perawat diri b/d gangguan Kriteria Hasil: Dukungan perawatan diri
neuromuskuler dan kelemahan. 1. Kemampuan mandi meningkat. Observasi
2. Kemampuan mengenakan pakaian 1. Monitor tingkat kemandirian.
meningkat.
2. Identifikasi kebutuhan alat bantu
3. Kemampuan makan meningkat
4. Verbalisasi keinginan melakukan kebersihan diri, berpakaian, berhias,
perawatan diri meningkat
dan makan.
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang terapeutik (
mis: suasana rileks, privasi)
2. Siapkan keperluan pribadi (mis: sikat
gigi, sabun mandi)
3. Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri.
4. Fasilitasi kemandirian, bantu jika
tidak mampu melakukan perawatan
diri.
5. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
1. Anjurkan melakukan perawatan diri
secara konsisten sesuai kemampuan.

Anda mungkin juga menyukai