Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE HEMORAGIK

Di susun oleh:
SITI HADIJAH SYAM
14420212165

CI LAHAN CI INSTITUSI

(Nurwahidah, S. Kep., Ns.) (Nur Wahyuni Munir, S. Kep., Ns., M. Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR
2022
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Stroke hemoragik adalah suatu keadaan yang terjadi akibat pembuluh
darah yang menuju ke otak mengalami kebocoran (perdarahan).
Kebocoran tersebut diawali karena adanya tekanan yang tiba-tiba
meningkat ke otak sehingga pembuluh darah yang tersumbat tersebut tidak
dapat lagi menahan tekanan, akhirya pecah dan menyebabkan perdarahan.
(Lingga, 2018)
Stroke hemoragik yang terjadi karena perdarahan Sub arachnoid,
mungkin disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah
tertentu, biasanya terjadi saat pasien melakukan aktivitas atau saat aktif.
Namun bisa juga terjadi saat istirahat, kesadaran pasien umumnya
menurun (American Stroke Association, 2022).
Stroke hemoragik adalah jika suatu pembuluh darah di otak pecah
sehingga timbul iskemia di otak dan hipoksia disebelah hili (Hermanto,
2021)
2. Etiologi
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:
a. Perdarahan intraserebral primer (hipertensi)
b. Trauma kepala
c. Ruptur aneurisma: otak
d. Malforasi arteri vena
e. Penyalahgunaan obat (kokain) (Ropper & Brown, 2019).
3. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi. Arteria karotis
interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya
(Northwell Health, 2022).
Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama
15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu
diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di
daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa
mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses
yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri,
seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh,
atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran
darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah
akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau
pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak
atau ruang subaraknoid (Northwell Health, 2022).
Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA)
yang serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-
serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia
otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat
penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam. TIA mendahului
stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75% pasien (American Stroke
Association, 2022)
Secara patologi, stroke hemoragik sebagai berikut (American Stroke
Association, 2022):
a. Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi
vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA)
adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV).
Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan
perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid.
b. Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling
sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan
ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke
dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan.
otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk
secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam.
Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna.
c. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan
tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah
merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan
medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai
jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat
pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak.
4. Pathway/Penyimpangan KDM

Nyeri Akut

Risiko perfusi
serebral tidak
efektif

Gangguan
mobilitas fisik

Defisit Nutrisi
5. Manifestasi klinik
Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan
dan jumlah jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba,
tanpa peringatan, dan sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering
muncul dan menghilang, atau perlahan-lahan menjadi lebih buruk dari
waktu ke waktu (Maria, 2021).
Gejala stroke hemoragik bisa meliputi (Maria, 2021):
a. Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).
b. Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
c. Kesulitan menelan.
d. Kesulitan menulis atau membaca.
e. Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur,
membungkuk, batuk, atau kadang terjadi secara tiba-tiba.
f. Kehilangan koordinasi.
g. Kehilangan keseimbangan.
h. Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan
menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan
motorik.
i. Mual atau muntah.
j. Kejang.
k. Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan
sensasi, baal atau kesemutan.
l. Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
6. Komplikasi
Komplikasi stroke hemoragic antara lain bersifat (Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), 2021)
a. Berhubungan dengan immobilitasi: infeksi pernafasan, nyeri pada
pada daerah tertekan, konstipasi dan thromboflebitis
b. Berhubungan dengan paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi
sendi, deformitas dan terjatuh.
c. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsi dan sakit kepala
d. Hidrocephalus
e. Hipokisia serebral
f. Penurunan darah serebral
g. Luasnya area cidera.
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis
stroke antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia,
disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya
terjadi secara mendadak (Hurford et al., 2020).
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam
menentukan prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral
(Hurford et al., 2020).

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi


mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk
menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan
dihubungkan dengan keluaran pasien.
Sistem grading yang dipakai antara lain: Hunt & Hess Grading of
Sub-Arachnoid Hemorrhage
Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala
deselerasi awal
V Koma

-
WFNS SAH grade
WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -
Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya.
Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya
adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan
kadar serum glukosa (Lingga, 2018).
American Stroke Association (2022), mengungkapkan bahwa untu
pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam
basiskedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya
perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan
intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras
ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan. CT non
kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari
patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi
secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih
bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung.
Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan
dengan stroke (Hurford et al., 2020.
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas,
maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem
lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis
yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering
digunakan antara lain:
Siriraj Hospital Score (Poungvarin)
Versi orisinal: = (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit
kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan: = (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit
kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor > 1: Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark : 93.2%.
Ketepatan diagnostic : 90.3%.
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain
seperti: ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia,
stroke iskemik, perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan
hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).
(Nasisi, 2010)
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus,
dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus
diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan
sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan
darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian
dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum
300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-
25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat,
posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan
hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Penatalaksanaan umum sama
dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis
H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi
saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik
spektrum luas (American Stroke Association, 2022).
b. Terapi Khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu
pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan
serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan
intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan
lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan
antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi,
embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation,
AVM) (American Stroke Association, 2022).
Neuroprotektor merupakan obat yang dapat mengatur fungsi
serebral dengan meningkatkan kemampuan kognitif pada otak yang
menurun. Neuroprotektor ini telah banyak digunakan di berbagai
negara, terutama di Indonesia. Obat- obat yang sering digunakan,
yaitu pirasetam dan sitikolin. Namun, penggunaan kedua obat ini
masih menjadi perdebatan mengenai efektivitasnya. Berbagai
penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui efektivitas kedua
obat tersebut terhadap pasien stroke. Penelitian RCT (Randomized
Control Trial) pada pasien stroke menunjukkan bahwa pemberian
pirasetam tidak memberikan efek perbaikan neurologis pada pasien
stroke. Selain itu, hasil systematic reviews yang telah dilakukan
menyatakan bahwa bukti yang tersedia dari literatur yang diterbitkan
tidak mendukung penggunaan pirasetam dalam pengobatan demensia
atau gangguan kognitif, meskipun diperoleh kesan adanya perubahan
global tetapi tidak ada perubahan benefit yang spesifik. Sitikolin yang
penggunaannya sebagai neuroprotektor juga telah banyak dilakukan
penelitian terkait efektivitasnya.
Review dari 13 clinical trial menyatakan bahwa penggunaan
sitikolin pada stroke iskemik dan gangguan CNS meningkatkan fungsi
neurologis dan dapat mempercepat penyembuhan pasien. Analysis of
clinical trials yang telah dilakukan memperoleh hasil pada
pengobatan dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama setelah onset
serangan pada pasien moderat hingga stroke berat dapat
meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 bulan. Selain
itu, beberapa studi menilai efektivitas dan khasiat pengobatan sitikolin
dalam pencegahan penurunan kognitif pascastroke. Dari metanalysis
yang dilakukan pada salah satu domain fungsi kognitif, yaitu memori
dengan gejala mulai dari kerusakan kognitif vaskular ringan, VAD
(vascular alzheimer disease) hingga dementia. Hasil keseluruhan (884
pasien) menunjukkan bukti manfaat dari sitikolin pada memori dan
perilaku, tetapi tidak pada perhatian. Ada peningkatan yang signifikan
dalam perubahan kesan global dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Selain itu, diperoleh hasil bahwa efek obat kuat untuk
perbaikan memori dengan terapi yang teratur.
Hasil evaluasi neuropsikologi dalam kelompok dari 172 pasien yang
menerima sitikolin selama 6 bulan kemudian dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Kelompok kasus dan control diberikan sitikolin dalam
waktu 24 jam dari onset stroke selama 6 minggu. Perbaikan fungsi kognitif
yang bermakna secara statistik terlihat pada kelompok sitikolin yang
diterapi pada 6 bulan dan 1 tahun setelah stroke pada domain kognitif
perhatian, orientasi temporal, dan fungsi eksekutif (American Stroke
Association, 2022)
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Adapun pengkajian keperawatan pada pasien hemiparesis adalah sebagai
berikut (Kusyani & Khayudin, 2022):
a. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan
stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan kepercayaan, klien biasanya
jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak
stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi
toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area
yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02
kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor
kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke
mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
c. Pengkajian Tingkat Kesadaran
1) Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
2) Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
3) Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan
memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien
mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
4) Kemampuan Bahasa: Penurunan kemampuan bahasa tergantung
daerah lesi yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada
daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu
klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan
yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien
mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
5) Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan
kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi
umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien
terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga
umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustrasi, dendam, dan kurang kerja sama.
6) Pengkajian Saraf Kranial
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-X11.
a) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan
paralisis, padasatu sisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi
yang sakit.
d) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral,
serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
d. Pengkajian Sistem Motorik
1) Inspeksi Umum.
Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah
satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi.Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot.Didapatkan meningkat.
e. Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik b/d ganggua neuromuskular d/d mengeluh
sulit menggerakkan ekstermitas, kekuatan otot menurun, ROM
menurun.
b. Gangguan komunikasi verbal b/d gangguan neuromuskular d/d tidak
mampu berbicara, menunjukkan respon tidak sesuai, afasia, disfasia,
apraksia, disleksia, disatria, afonia, dislalia, pelo, gagap, sulit
mengungkapkan kata-kata, verbalisasu tidak tepat, sulit
mempertahankan komunikasi
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis d/d tampak meringis,
frekuensi nadi meningkat, gelisah, sulit tidur, bersikap protektif (mis.
Waspada, posisi menghindar nyeri).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan fakto
hipertensi, emboli, cidera kepala
e. Pola napas tidak efektif b/d gangguan neuromuskular
f. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan
g. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan
h. Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskular
i. Risiko aspirasi dibuktikan dengan faktor risiko: penurunan tingkat
kesadaran
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis Tujuan dan Intervensi
Rasional Tindakan
Keperawatan Kriteria Hasil Keperawatan
Gangguan Setelah Dukungan 1. Membantu
mobilitas fisik dilakukan Ambulasi menentukan
b/d gangguan intervensi Observasi: derajat kerusakan
neuromuskular keperawatan
1. Identifikasi dan kesulitan
selama
3x24jam maka adanya nyeri terhadap keadaan
mobilitas fisik atau keluhan yang dialami
meningkat fisik lainnya 2. Mengidentifikasi
dengan kriteria 2. Identifikasi kekuatan/kelemah
hasil toleransi fisik an dan dapat
- Pergerakan melakukan memberikan
ekstermitas ambulasi onformasi
meningkat Terapeutik: mengenai
- Kekuatan 3. Fasilitasi pemulihan
otot aktivitas 3. Membantu dalam
meningkat ambulasi, meningkatkan
- Rentak dengan alat aktivitas dengan
gerak bantu (mis, menggunakan alat
(ROM) tongkak, kruk) bantu
meningkat 4. Fasilitasi 4. Meminimalkan
melakukan atrofi otot,
mobilitasi fisik, meningkatkan
jika perlu sirkulasi,
Edukasi: mencegah
5. Jelaskan tujuan terjadinya
dan prosedur kontraktur
ambulasi 5. Memberikan
pemahaman
mengenai manfaat
tindakan yang
didahulukan

Gangguan Setelah Promosi 1. Kecepatan,


komunikasi dilakukan Komunikasi: tekanan, kuantitas
verbal b/d intervensi Devisit Bicara volume dan diksi
gangguan keperawatan Observasi
bicara yang baik
neuromuskular selama ….
maka 1. Monitor membuat lawan
komunikasi kecepatan, bicara lebih mudah
verbal tekanan, mengerti apa yang
meningkat
kuantitas disampaikan
dengan kriteria
hasil volume, dan 2. Membantu
- Kemampua diksi bicara menentukan
n berbicara 2. Monitor proses penyebab
meningkat kognitif, gangguan
- Kemampua anatomis, dan berbicara
n fisiologis yang 3. Membantu klien
mendengar berkaitan agar lebih mudah
meningkat dengan bicara menyampaikan
- Kesesuaian Terapeutik dan meneriman
ekspresi 3. Gunakan informasi
wajah/ metode 4. Gaya komunikasi
tubuh komunikasi dapat memberi
meningkat alternative tanda bagaimana
(menulis, arti yang
berkedip, sebenarnya harus
isyarat tangan) dipahami untuk
4. Sesuaikan gaya mendapatkan
komunikasi respon
(berdiri di 5. Mengkonfirmasi
depan pasien, apa yang
gunakan disampaikan
komunikasi pasien
tertulis) 6. Berbicara perlahan
5. Ulangi apa memberi kontrol
yang lebih baik atas
disampaikan suara dan
pasien pengucapan
Edukasi 7. Mengidentifikasi
6. Anjurlan kekurangan/
berbicara kebutuhan terapi
perlahan
Kolaborasi
7. Rujuk ke ahli
patologi bicara
atau terapis
Nyeri akut Setelah Manajemen Nyeri 1. Mengetahui
b/d agen dilakukan Observasi penyebab,
pencedera intervensi 1. Identifikasi kualitas, lokasi,
fisiologis keperawatan PQRST nyeri skala, dan periode
selama …. Terapeutik
maka tingkat nyeri pasien
2. Berikan teknik
nyeri menurun 2. Memberikan
nonfarmalogis
dengan kriteria ketenangan kepada
hasil untuk
pasien dan
- Keluhan mengurangi
mengurangi derjat
nyeri nyeri (mis.
nyeri
menurun Terapi musik,
3. Merilekskan tubuh
- Meringis kompres
dan mengurangi
menurun hangat/ dingin)
nyeri yang dialami
- Gelisah 3. Kontrol
4. Agar pasien dapat
menurun lingkungan
mengetahui
yang
penyebab, periode,
memperberat
dan pemicu nyeri
nyeri
5. Agar pasien dapat
Edukasi
dengan mandiri
4. Jelaskan
mengontrol nyeri
penyebab,
6. Terapi
periode, dan
farmakologi dapat
pemicu nyeri
meredakan nyeri
5. Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri
Kolaborasi
6. Kolaborasi
pemberian
analgetik
Risiko perfusi Setelah Pencegahan Syok 1. Pemeriksaan vital
serebral tidak dilakukan Observasi sign untuk
efektif b/d intervensi 1. Monitor TTV mengukur fungsi
hipertensi, keperawatan 2. Monitor status dasar tubuh
emboli, selama …. oksigenasi
cidera kepala maka perfusi 2. Untuk mengetahui
3. Monitor status adanya perubahan
perifer
meningkat cairan SaO2,
dengan kriteria 3. Untuk mengetahui
hasil: keseimbangan
Terapeutik
cairan
- Sensai 4. Berikan 4. Membantu paisen
meningkat oksigen untuk bernapas dan
- Kelemahan mempertahanka mendapatkan
otot n saturasi asupan oksigen
menurun oksigen >94% yang cukup
- pengisian 5. Pasang kateter 5. Dilakukan untuk
kapiler urine untuk pasien yang tidak
membaik menilai mampu BAK
- akral produksi urine secara mandiri
membaik 6. Lakukan skin dengan normal
- turgor kulit test untuk 6. Untuk melihat ada
membaik mencegah alergi obat
- Tekanan reaksi alergi 7. Agar pasien atau
darah Edukasi keluraga pasien
membaik 7. Jelaskan mengetahui
penyebab, penyebab, tanda
tanda dan dan gejala awal
gejala awal syok
syok 8. Agar penanganan
8. Anjurkan syok cepat
keluarga pasien ditangani
melapor jika 9. Untuk
menemukan/ memasukkan obat
merasakan atau vitamin
tanda dan melalu pembuluh
gejala awal darah vena
syok
Kolaborasi
9. Kolaborasi
pemberian
terapi IV
Risiko perfusi Setelah 1. Pantau adanya 1. Mencegah
serebral tidak dilakukan tanda-tanda terjadinya
efektif d/d intervensi penurunan penurunan perfuis
faktor risiko: keperawatan serebral lebih
perfusi serebral
hipertensi selama buruk
…xjam maka 2. Observasi tanda- 2. Deteksi dini
perfusi perifer tanda vital penurunan perfusi
meningkat 3. Pantau intake- serebral
dengan output, balance 3. Membantu
kriteria hasil: menstabilkan
perfusi jaringan
- Sensai cairan setiap 24 serebral
meningkat jam 4. membantu
- Kelemahan 4. Pertahankan drainage vena
untuk mengurangi
otot posisi tirah
kongesti vena
menurun baring pada 5. mengurangi
- pengisian posisi anatomis terjadinya
kapiler atau posisi peningkatan TIK
membaik semifowler 15- yang dapat
- akral 30 derajat memperburuk
membaik 5. Hindari valsava perfusi jaringan
serebral
- turgor kulit manuver sepei
1.
membaik batuk, atau
mengejan
Tekanan darah
membaik
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016; TIM POKJA SIKI PPNI, 2018; Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2018)
DAFTAR PUSTAKA
American Stroke Association. (2022). Hemiparesis.
https://www.stroke.org/en/about-stroke/effects-of-stroke/physical-effects-of-
stroke/physical-impact/hemiparesis
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Stroke: Signs and
Sympton. https://www.cdc.gov/stroke/signs_symptoms.htm
Hermanto. (2021). Terapi Cermin (Mirror Theraphy) Dalam Asuhan Keperawatan
Strok. Ahlimedia Press.
Kusyani, A., & Khayudin, B. A. (2022). Asuhan Keperawatan Stroke Untuk
Mahasiswa dan Perawat Profesional. Giepedia.
Lingga, L. (2018). All About Stroke "Hidup Sebelum dan Pasca Stroke". Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Maria, I. (2021). Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus dan Asuhan Keperawatan
Stroke. Deepublish Publisher.
Northwell Health. (2022). What is Hemiparesis? Institute for Neurology and
NeurosurgeryInstitute for Neurology and Neurosurgery.
https://www.northwell.edu/neurosciences/conditions/hemiparesis
Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2019). Adams and Victor’s: Principles of
Neurology Eighth Edition. USA: McGraw-Hill.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik (1 ed.). DPP PPNI.
TIM POKJA SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawtan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI.

Anda mungkin juga menyukai