STROKE HEMORAGIK
Di susun oleh:
SITI HADIJAH SYAM
14420212165
CI LAHAN CI INSTITUSI
Nyeri Akut
Risiko perfusi
serebral tidak
efektif
Gangguan
mobilitas fisik
Defisit Nutrisi
5. Manifestasi klinik
Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan
dan jumlah jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba,
tanpa peringatan, dan sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering
muncul dan menghilang, atau perlahan-lahan menjadi lebih buruk dari
waktu ke waktu (Maria, 2021).
Gejala stroke hemoragik bisa meliputi (Maria, 2021):
a. Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).
b. Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
c. Kesulitan menelan.
d. Kesulitan menulis atau membaca.
e. Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur,
membungkuk, batuk, atau kadang terjadi secara tiba-tiba.
f. Kehilangan koordinasi.
g. Kehilangan keseimbangan.
h. Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan
menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan
motorik.
i. Mual atau muntah.
j. Kejang.
k. Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan
sensasi, baal atau kesemutan.
l. Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
6. Komplikasi
Komplikasi stroke hemoragic antara lain bersifat (Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), 2021)
a. Berhubungan dengan immobilitasi: infeksi pernafasan, nyeri pada
pada daerah tertekan, konstipasi dan thromboflebitis
b. Berhubungan dengan paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi
sendi, deformitas dan terjatuh.
c. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsi dan sakit kepala
d. Hidrocephalus
e. Hipokisia serebral
f. Penurunan darah serebral
g. Luasnya area cidera.
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis
stroke antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia,
disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya
terjadi secara mendadak (Hurford et al., 2020).
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam
menentukan prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral
(Hurford et al., 2020).
-
WFNS SAH grade
WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -
Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya.
Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya
adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan
kadar serum glukosa (Lingga, 2018).
American Stroke Association (2022), mengungkapkan bahwa untu
pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam
basiskedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya
perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan
intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras
ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan. CT non
kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari
patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi
secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih
bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung.
Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan
dengan stroke (Hurford et al., 2020.
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas,
maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem
lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis
yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering
digunakan antara lain:
Siriraj Hospital Score (Poungvarin)
Versi orisinal: = (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit
kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan: = (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit
kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor > 1: Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark : 93.2%.
Ketepatan diagnostic : 90.3%.
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain
seperti: ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia,
stroke iskemik, perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan
hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).
(Nasisi, 2010)
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus,
dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus
diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan
sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan
darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian
dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum
300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-
25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat,
posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan
hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Penatalaksanaan umum sama
dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis
H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi
saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik
spektrum luas (American Stroke Association, 2022).
b. Terapi Khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu
pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan
serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan
intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan
lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan
antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi,
embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation,
AVM) (American Stroke Association, 2022).
Neuroprotektor merupakan obat yang dapat mengatur fungsi
serebral dengan meningkatkan kemampuan kognitif pada otak yang
menurun. Neuroprotektor ini telah banyak digunakan di berbagai
negara, terutama di Indonesia. Obat- obat yang sering digunakan,
yaitu pirasetam dan sitikolin. Namun, penggunaan kedua obat ini
masih menjadi perdebatan mengenai efektivitasnya. Berbagai
penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui efektivitas kedua
obat tersebut terhadap pasien stroke. Penelitian RCT (Randomized
Control Trial) pada pasien stroke menunjukkan bahwa pemberian
pirasetam tidak memberikan efek perbaikan neurologis pada pasien
stroke. Selain itu, hasil systematic reviews yang telah dilakukan
menyatakan bahwa bukti yang tersedia dari literatur yang diterbitkan
tidak mendukung penggunaan pirasetam dalam pengobatan demensia
atau gangguan kognitif, meskipun diperoleh kesan adanya perubahan
global tetapi tidak ada perubahan benefit yang spesifik. Sitikolin yang
penggunaannya sebagai neuroprotektor juga telah banyak dilakukan
penelitian terkait efektivitasnya.
Review dari 13 clinical trial menyatakan bahwa penggunaan
sitikolin pada stroke iskemik dan gangguan CNS meningkatkan fungsi
neurologis dan dapat mempercepat penyembuhan pasien. Analysis of
clinical trials yang telah dilakukan memperoleh hasil pada
pengobatan dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama setelah onset
serangan pada pasien moderat hingga stroke berat dapat
meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 bulan. Selain
itu, beberapa studi menilai efektivitas dan khasiat pengobatan sitikolin
dalam pencegahan penurunan kognitif pascastroke. Dari metanalysis
yang dilakukan pada salah satu domain fungsi kognitif, yaitu memori
dengan gejala mulai dari kerusakan kognitif vaskular ringan, VAD
(vascular alzheimer disease) hingga dementia. Hasil keseluruhan (884
pasien) menunjukkan bukti manfaat dari sitikolin pada memori dan
perilaku, tetapi tidak pada perhatian. Ada peningkatan yang signifikan
dalam perubahan kesan global dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Selain itu, diperoleh hasil bahwa efek obat kuat untuk
perbaikan memori dengan terapi yang teratur.
Hasil evaluasi neuropsikologi dalam kelompok dari 172 pasien yang
menerima sitikolin selama 6 bulan kemudian dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Kelompok kasus dan control diberikan sitikolin dalam
waktu 24 jam dari onset stroke selama 6 minggu. Perbaikan fungsi kognitif
yang bermakna secara statistik terlihat pada kelompok sitikolin yang
diterapi pada 6 bulan dan 1 tahun setelah stroke pada domain kognitif
perhatian, orientasi temporal, dan fungsi eksekutif (American Stroke
Association, 2022)
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Adapun pengkajian keperawatan pada pasien hemiparesis adalah sebagai
berikut (Kusyani & Khayudin, 2022):
a. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan
stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan kepercayaan, klien biasanya
jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak
stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik
pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi
toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area
yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02
kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor
kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke
mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
c. Pengkajian Tingkat Kesadaran
1) Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
2) Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
3) Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan
memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien
mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
4) Kemampuan Bahasa: Penurunan kemampuan bahasa tergantung
daerah lesi yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada
daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu
klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan
yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien
mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
5) Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan
kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi
umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien
terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga
umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustrasi, dendam, dan kurang kerja sama.
6) Pengkajian Saraf Kranial
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-X11.
a) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan
paralisis, padasatu sisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi
yang sakit.
d) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral,
serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
d. Pengkajian Sistem Motorik
1) Inspeksi Umum.
Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah
satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi.Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot.Didapatkan meningkat.
e. Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik b/d ganggua neuromuskular d/d mengeluh
sulit menggerakkan ekstermitas, kekuatan otot menurun, ROM
menurun.
b. Gangguan komunikasi verbal b/d gangguan neuromuskular d/d tidak
mampu berbicara, menunjukkan respon tidak sesuai, afasia, disfasia,
apraksia, disleksia, disatria, afonia, dislalia, pelo, gagap, sulit
mengungkapkan kata-kata, verbalisasu tidak tepat, sulit
mempertahankan komunikasi
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis d/d tampak meringis,
frekuensi nadi meningkat, gelisah, sulit tidur, bersikap protektif (mis.
Waspada, posisi menghindar nyeri).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan fakto
hipertensi, emboli, cidera kepala
e. Pola napas tidak efektif b/d gangguan neuromuskular
f. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan
g. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan
h. Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskular
i. Risiko aspirasi dibuktikan dengan faktor risiko: penurunan tingkat
kesadaran
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis Tujuan dan Intervensi
Rasional Tindakan
Keperawatan Kriteria Hasil Keperawatan
Gangguan Setelah Dukungan 1. Membantu
mobilitas fisik dilakukan Ambulasi menentukan
b/d gangguan intervensi Observasi: derajat kerusakan
neuromuskular keperawatan
1. Identifikasi dan kesulitan
selama
3x24jam maka adanya nyeri terhadap keadaan
mobilitas fisik atau keluhan yang dialami
meningkat fisik lainnya 2. Mengidentifikasi
dengan kriteria 2. Identifikasi kekuatan/kelemah
hasil toleransi fisik an dan dapat
- Pergerakan melakukan memberikan
ekstermitas ambulasi onformasi
meningkat Terapeutik: mengenai
- Kekuatan 3. Fasilitasi pemulihan
otot aktivitas 3. Membantu dalam
meningkat ambulasi, meningkatkan
- Rentak dengan alat aktivitas dengan
gerak bantu (mis, menggunakan alat
(ROM) tongkak, kruk) bantu
meningkat 4. Fasilitasi 4. Meminimalkan
melakukan atrofi otot,
mobilitasi fisik, meningkatkan
jika perlu sirkulasi,
Edukasi: mencegah
5. Jelaskan tujuan terjadinya
dan prosedur kontraktur
ambulasi 5. Memberikan
pemahaman
mengenai manfaat
tindakan yang
didahulukan