Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendarahan Subarakhnoid

2.1.1 Definisi

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada

rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan

subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid

yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arachnoid matter)

yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).

2.1.2 Etiologi

Etiologi yang paling sering menyebabkan pendarahan subarakhnoid adalah

ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak (70-80%) dan adanya malformasi

arteriovenosa (5-10%) (Setyopranoto, 2012).

Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak:

a. Aneurisma sakuler (berry)

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial dengan wujud

seperti kumpulan buah berry. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri

komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%),

dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau

arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat

menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan

sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat

4
menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien

mengalami dipopia)3 .

b. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut

aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen

intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri

basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau

hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan

batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat

pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini

biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan

pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur

patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada

suplai darah serebral (Baehr dan Frotcsher, 2012).

c. Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya

terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan

oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan;

struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid (Baehr dan Frotcsher,

2012).

Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari

jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau

lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui

5
kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung

tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang

dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari

arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah

sama halnya seperti yang terjadi pada aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi

dua yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat trombosis

sinus, trauma atau kraniotomi (Baehr dan Frotcsher, 2012).

2.1.3 Epidemiologi

Terdapat variasi jumlah kasus SAH setiap tahun di berbagai belahan dunia.

WHO menemukan variasi insiden tahunan mencapai sepuluh kali lipat di berbagai

negara di Eropa dan Asia, mulai dari 2 per 100.000 populasi di Cina hingga 22,5

per 100.000 di Finlandia. Berdasarkan tinjauan sistematik terhadp studi populasi,

didapati angka kejadian SAH berkisar antara 2-16 per 100.000 orang, dengan

faktor resiko dewasa onset usia ≥ 50 tahun, kaum menengah ke bawah dan jenis

kelamin wanita menunjukkan prevalensi yang lebih besar. Jumlah kematian akibat

SAH sebelum perawatan ke rumah sakit mencapai 12-15%, namun sesungguhnya

jumlah keseluruhan insiden bisa saja lebih besar. Meski begitu, studi populasi

menunjukkan insiden SAH cenderung stabil selama 4 tahun, bahan terjadi

penuruna angka kejadian antara tahun 1950-2005 di negara-negara selain Jepang,

Amerika Tengah dan Selatan serta Finlandia (AHA, 2012).

2.1.4 Patofisiologi

Arteri normal mengandung tiga lapisan: Intima, yaitu lapisan endotelium

paling dalam; Media, yang tersusun dari otot polos; dan Adventitia, lapisan terluar

6
yang terdiri dari jaringan konektif. Aneurisma arteri hanya memiliki lapisan intima

dan adventitia dengan elatisitas membran berkurang; lapisan media berakhir pada

pertemuan leher aneurisma dengan pembuluh darah lain (Baehr dan Frotcsher,

2012). Ruptur terjadi disebabkan peningkatan tekanan di dinding aneurisma.

Hukum La Place menyatakan tensi dipengauhi radius aneurisma dan gradien

tekanan yang melewati dinding aneurisma, sehingga onset ruptur tergantung pada

ukuran aneurisma. Berdasarkan diagnosis, aneurisma dengan diameter 5 mm

memiliki 2% resiko mengalami ruptur dan meningkat menjadi 40% bila diameter

6-10 mm (Medscape, 2016).

Meski hipertensi merupakan faktor pemicu terbentuknya aneurisma, masih

terjadi perdebatan apakah hipertensi juga menyebabkan ruptur. Meski begitu

beberapa stimulan seperti kokain dan lainnya jelas menginduksi pembentukan dan

ruptur aneurisma lebih cepat dari data yang tersedia. Aneurisma yang tidak

berakhir dengan ruptur akan mengakibatkan peningkatan kompresi sehingga

cedera pada jaringan di sekitarnya dan kompensasi pada distal blood supply

(Medscape, 2016).

Ketika terjadi ruptur, darah kemudian berekstravasasi di bawah tekanan

arteri ke dalam ruang subarakhnoid dan dengan cepat menuju cairan serebrospinal

di antara otak dan sumsum tulang belakang. Darah yang keluar dengan tekanan

yang tinggi dapat menyebabkan kematian jaringan lokal, meningkatkan tekanan

intrakranial dan iritasi lapisan meninges. Selain itu, pendarahan tersebut dapat

mengakibatkan beberapa komplikasi, seperti hidrosefalus, pendarahan berulang,

iskemik serebral yang sebelum tertunda akibat vasospasme, pendarahan

7
intraserebral, pendarahan intraventrikular, disfungsi sistolik ventrikular kiri,

hematoma subdural, kejang, dan infark miokard (Medscape, 2016).

Pendarahan subaraknoid dipicu oleh beberapa faktor resiko. Faktor resiko

yang dapat dimodifikasi antara lain :

- Hipertensi

- Perokok (masih atau riwayat)

- Konsumsi alkohol

- Tingkat pendidikan rendah

- Body mass index rendah

- Konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya

- Bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam sebelum onset

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

- Riwayat pernah menderita perdarahan subaraknoid

- Riwayat keluarga perdarahan subaraknoid atau aneurisma

- Penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit

jaringan ikat (sindrom EhlersDanlos, sindrom Marfan dan pseudoxanthoma

elasticum) (Setyopranoto, 2012).

8
9
Gambar 2.1. Skema patofisiologi pendarahan subarakhnoid

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klasik adalah keluhan tiba-tiba nyeri kepala berat, sering

digambarkan oleh pasien sebagai ”nyeri kepala yang paling berat dalam

kehidupannya”. Sering disertai mual, muntah, fotofobia, dan gejala neurologis akut

fokal maupun global, misalnya timbulnya bangkitan, perubahan memori atau

perubahan kemampuan konsentrasi, dan juga meningismus. Pasien mungkin akan

mengalami penurunan kesadaran setelah kejadian, baik sesaat karena adanya

peningkatan tekanan intrakranial atau ireversibel pada kasus-kasus parah.

Beberapa tanda dan geala lain yang sering dijumpai pada pasien pendarahan

subarakhnoid:

- onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,

berlangsung dalam 1 atau 2 detik sampai 1 menit, kurang lebih 25% pasien

didahului nyeri kepala hebat,

- vertigo, mual, muntah, banyak keringat, menggigil, mudah terangsang,

gelisah dan kejang,

- penurunan kesadaran, kemudian sadar dalam beberapa menit sampai

beberapa jam, - gejala-gejala meningeal,

- pada funduskopi, didapatkan 10% pasien mengalami edema papil beberapa

jam setelah perdarahan dan perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid

(10%), yang merupakan gejala karakteristik karena pecahnya aneurisma di

arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna,

10
- gangguan fungsi autonom berupa bradikardia atau takikardia, hipotensi

atau hipertensi, dan

- banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernapasan

(Setyopranoto, 2012).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis pendarahan subarakhnoid umumnya tergantung pada tingginya

indeks gejalan klinis yang dicurigai ditambah pemeriksaan radiologi CT Scan

tanpa kontras. Pemeriksaan fisik cermat pada kasus nyeri kepala sangat penting

untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma, sinusitis,

atau arteritis temporalis. Kaku kuduk dijumpai pada sekitar 70% kasus.

Aneurisma di daerah persimpangan antara arteri komunikans posterior dan arteri

karotis interna dapat menyebabkan paresis nervus III, yaitu gerak bola mata

terbatas, dilatasi pupil, dan/atau deviasi inferolateral. Aneurisma di sinus

kavernosus yang luas dapat menyebabkan paresis pada nervus VI. Pemeriksaan

funduskopi dapat memperlihatkan adanya perdarahan retina atau edema papil

karena peningkatan tekanan intracranial. Adanya fenomena embolik distal harus

dicurigai mengarah ke unruptured intracranial giant aneurysm (Setyopranoto,

2012).

Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras adalah pilihan utama

karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih

akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama

setelah serangan, tetapi akan turun 50% pada 1 minggu setelah serangan. Dengan

11
demikian, pemeriksaan CT scan harus dilakukan sesegera mungkin.

Dibandingkan dengan magnetic resonance imaging (MRI), CT scan unggul karena

biayanya lebih murah, aksesnya lebih mudah, dan interpretasinya lebih mudah

(Setyopranoto, 2012).

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik

selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting

untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang

mendukung diagnosis perdarahan subaraknoid adalah adanya eritrosit, peningkatan

tekanan saat pembukaan, dan/ atau xantokromia. Jumlah eritrosit meningkat,

bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar

10.000 sel/ mL. Xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya

degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan

serebrospinal (Setyopranoto, 2012).

Cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma

serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta

sensitivitas dan spesifi sitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh

pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma

multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset

pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus

dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak

maupun batang otak (Setyopranoto, 2012).

Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran (outcome) dapat

dijadikan panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis, misalnya skala

12
Hunt dan Hess; skala ini mudah dan paling banyak digunakan dalam praktik klinis

Nilai tinggi pada skala Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan luaran.

Skala ini juga mempunyai beberapa keterbatasan, seperti beberapa gambaran klinis

teridentifikasi samar, sehingga sulit menentukan nilai gradasi, dan tidak

mempertimbangkan kondisi komorbiditas pasien (Setyopranoto, 2012).

Tabel 2.1 Skala Hunt dan Hess

Skala Gambaran Klinis


0 Unruptured
I Nyeri kepala minimal atau asimtomatik, kaku kuduk ringan
II Nyeri kepala sedang/berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis,
kecuali paresis nervi kranialis
III Mengantuk, bingung, defisit neurologis fokal sedang
IV Stupor, hemiparesis sedang/ berat, mungkin terjadi rigiditas deserebrasi
dini
V Koma dalam, rigiditas deserebrasi, munculnya tanda-tanda end state

Skala Fisher digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subaraknoid

berdasarkan munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan; penilaian ini

hanya berdasarkan gambaran radiologik. Pasien dengan skor Skala Fisher 3 atau 4

mempunyai risiko luaran klinis yang lebih buruk. Skala ini sangat dipengaruhi oleh

variabilitas inter ras, serta kurang mempertimbangkan keseluruhan kondisi klinis

pasien (Setyopranoto, 2012).

Tabel 2.2 Skor Fischer

Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan pemeriksaan CT scan kepala


1 Tidak terdeteksi adanya darah
2 Deposit darah difus atau lapisan vertikal terdapat darah ukuran >1 mm,
tidak ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertikal terdapat darah tebal dengan
ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus
atau tidak ada darah

13
Sistem Ogilvy dan Carter menggabungkan data klinis, demografi dan

radiologik, serta mudah digunakan dan komprehensif untuk menentukan prognosis

pasien yang mendapatkan intervensi bedah (Catatan: Besarnya nilai ditentukan

oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5 mempunyai prognosis

buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik) (Setyopranoto, 2012).

Tabel 2.3 Sistem Ogilvy dan Carter

Skor Keterangan
1 Nilai Hunt dan Hess >III
1 Skor skala Fisher >2
1 Ukuran Aneurisma >10 mm
1 Usia pasien >50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥25 mm)

Sistem evaluasi terkini adalah dengan menggabungkan Skala Hunt dan

Hess dengan skor Skala Fisher; penggabungan ini mempunyai rentang nilai lebih

luas sehingga bisa memengaruhi luaran klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai luaran

baik atau sangat baik pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu, jika nilainya

lebih dari 1, secara signifi kan mempunyai luaran buruk; kematian kurang lebih

10% pada nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta 50% pada nilai 4. Pasien dengan nilai

5 tidak dapat dioperasi (Setyopranoto, 2012).

Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan diagnostik laboratorium,

meliputi darah lengkap, serum kimia, Prothrombin Time (PT) dan Activated

Partial Thromboplastin Time (aPTT), skrining golongan darah dan gas darah

(Medscape, 2016).

14
2.1.7 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum

a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H)

adalah sebagai berikut :

 Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin

 Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30 odan nyaman,

bila perlu berikan O2 2-3 L/menit

 Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat

kesadaran).

 Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor

ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul

b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan harus

lebih intensif:

 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien di

ruang gawat darurat

 Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif

 Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat

perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati

terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial

 Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan

menyulitkan penialaian status neurologi

15
2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA

a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan

ulang. Hipertensi berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang

b. Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam

rangka pencegahan perdarahan ulang pada PSA.

c. Istirahat total di tempat tidur.

d. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV

kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau

biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah perdarahan ulang

direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Terapi antifobrinolitik

dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat infark

miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.

Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah

terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan penundaan

operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan

tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak

menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu,

studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan

lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.

e. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan

ulang.

16
f. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian

lebih lanjut masih diperlukan.

3. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur

a. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk

mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA

b. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko

perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan

bahwasecara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang

ditunda. Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien

dengan derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit.

Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda

direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke

pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien

aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian besar kasus.

c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and

clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan

endovaskuler coiling lebih bermanfaat.

d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi untuk

perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan

kapan saja bila memungkinkan.

4. Pencegahan dan tatalaksana vasospasme

17
a. Pencegahan dengan nimodipin dimulai dari dosis 1-2 mg/jam IV pada hari

ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. Pemakaian

nimodipin oral terbukti meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh

vasospasme. Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau

intravena tidak bermakna

b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma

yang ruptur, dengan mepertahankan volume darah sirkulasi yang normal

(euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia

c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi

hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-

Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan mepertahankan

tekanan perfusi serebral. Dengan demikian, angka kejadian iskemik

serebral akibat vasospasme dapat dikurangi. Hati-hati terhadap

kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak

dilakukan embolisasi atau Clipping.

d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan antiinflamasi tidak tidak

bermakna.

e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional , angioplasti

transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme.

f. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai berikut

 Pencegahan vasospasme

I. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari

18
II. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap

timbulnya komplikasi berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM)

III. Jaga keseimbangan elektrolit

 Delayed vasospasm

I. Stop dimodipin, antihipertensi dan diuretika

II. Berikan 5% albumin 250 ml intravena

III.Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan

wedge preasure 12-14 mmHg

IV. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter

V. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min

5. Pengelolaan darah pada PSA

Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan

tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian

hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya

mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood

Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002.

Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-

shaped relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut

(iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut

menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan

tingginya kematian dan kecacatan.

19
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan

rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga

neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan

sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai

Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penuurunan

tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan

memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.

a. apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150

mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi

intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

b. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala

dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan

intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat

antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan

tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.

c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan

tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara

hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau

intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP

110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT

2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.

20
d. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,

penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup

aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.

e. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah

pada penderita stroke perdarahan intraserebral.

f. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol

dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,

digunakan dalam upaya diatas.

g. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena

mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan

kontraindikasi mutlak.

h. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus

dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral

untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta

perdarahan ulang.

i. Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien

stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS

140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai

target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini

bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya

kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.

j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan

penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional

21
pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini

menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari

nimodipin.

k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat

dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan

darah belum jelas.

l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga

lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam

target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema

paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan

tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6

jam pertama.

6. Tata Laksana Hiponatremia pada PSA

a. Bila natrium dibawah 120 mEq/L, berikan NaCL 0,9% 2-3 L/hari. Berikan

NaCl hipertonil 3% 50 ml 3 kali sehari bila perlu (AHA/ASA, Class III-IV,

Level of evidence C). Praktik di Indonesia maksimal 0,5 mEq/L/jam,

sehingga kadar natrium diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan

tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.

b. Hindari pemberian cairan hipotonik dan kontraksi volume intravaskular

pada pasien perdarahan subarakhnoid.

22
c. Pantau status volume cairan pada pasien PSA dengan kombinasi tekanan

vena sentral, tekanan arteri pulmoner, balans cairan. Terapi untuk kontraksi

volume cairan adalah dengan cairan isotonik.

d. Pemberian fludrocortisone acetate dan cairan hipertonik berguna untuk

mengoreksi hiponatremia (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

Dosis fludrocortisone 0,4 mg/hari secara oral atau 0,4 mg dalam dextrose

5% intravena 2 kali sehari.

e. Pada keadaan tertentu, restriksi cairan dapat dilakukan untuk

mempertahankan keadaan euvolemik

7. Tata Laksana Stress Ulcer pada PSA

a. Prevensi

 Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke,

sitoprotektor atau penghambat reseptor H2 perlu diberikan.

 Tidak ada perbedaan hasil antara pemberian penghambat reseptor H2,

sitoprotektor agen ataupun inhibitor pompa proton

 Antasida tidak perlu diberikan pada profilaksis stress ulcer

 Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti NSAID

dan kortikosteroid, serta makanan/minuman yang bersifat iritatif

terhadap lambung (alkohol,rokok,cuka) perlu dihindari.

b. Tatalaksana

 Pasien dipuasakan

23
Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC

adekuat. Petugas yang terlatih diperlukan dalam mengenali tanda gagal

nafas dan mampu melakukan bantuan dasar untuk jalan nafas.

 Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi),

penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan. Untuk mengganti

kehilangan volume sirkulasi cairan pengganti berupa koloid atau

kristaloid dapat diberikan sebelum transfusi. Infusion line: Infus NaCl

0,9%, RL atau plasma expander.

 Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam

sampai darah berhenti.

 Pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazole atau

pantoprazole diberikan secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,

kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/jam selama 72 jam berikutnya

 Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel. Pemakaian aspirin dapat

diteruskan bila terdapat indikasi yang jelas. Pemberian nutrisi makanan

cair jernih diit pasca hematemesis sangat membantu percepatan proses

penyembuhan stress ulcer. Pemberian nutrisi haru dengan kadar serat

yang tinggi dan dihindarkan dari makanan yang merangsang atau

mengiritasi lambung.

8. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

24
a. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus

dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis

pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

b. Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita

yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA,

Class V, Level of evidence C).

c. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.

d. Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial

meliputi :

i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300

ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

iv. Hindari hipertermia

v. Jaga normovolernia

vi. Osmoterapi atas indikasi:

- Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap

4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali

dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

- Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1

mg/kgBB i.v.

25
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).

Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan

operatif.

viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang

adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi

naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,

bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti vencuronium atau

pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada

ganglion lebih baik digunakan

Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot

sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.3

ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak

dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat

diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.

x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke

iskemik serebelar

xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang

menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat

menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik (Perossi,

2011).

9. Tatalaksana Komplikasi Hidrosefalus

Jika pasien perdarahan subaraknoid menderita deteriorasi mental akut,

harus dilakukan pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari penyebabnya,

26
dan penyebab yang paling sering adalah hidrosefalus. Volume darah pada

pemeriksaan CT scan dapat sebagai prediktor terjadinya hidrosefalus. Kurang lebih

sepertiga pasien yang didiagnosis perdarahan subaraknoid karena aneurisma

memerlukan drainase ventrikuler eksternal sementara atau dengan ventricular

shunt permanen (Setyopranoto, 2012).

Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan risiko

perdarahan ulang dan vasospasme serebral.]Faktor-faktor yang dapat

meningkatkan risiko shunt-dependent hydrocephalus adalah usia lanjut,

perempuan, skor Hunt dan Hess rendah, volume perdarahan subaraknoid cukup

banyak berdasarkan CT scan saat pasien masuk, adanya perdarahan

intraventrikuler, pemeriksaan radiologik mendapatkan hidrosefalus saat pasien

masuk, lokasi pecahnya aneurisma di sirkulasi posterior distal, vasospasme klinis,

dan terapi endovaskuler (Setyopranoto, 2012).

10. Terapi Tambahan

a. Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara reguler

b. Analgesik

 Asetaminofen ½-1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-6 jam

 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.

 Tylanol dengan kodein

 Hindari asetosal

Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :

 Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam

27
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6

jam

 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam

 Propofol 1-3 mg/kg/jam

 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5oC (AHA/ASA

Guideline)1 atau 37,5oC (ESO Guideline).

 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur

dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika

memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus

dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik

(AHA/ASA Guideline) (Perdossi, 2011).

28
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama :R

No.RM : 12.58.xx.xx.

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir :

Usia : 50 tahun

Berat Badan (BB) : - kg

Alamat : Wonokuso Lor 3/41

Agama :-

Pekerjaan :

Ruang Asal : IRD RSUD Dr.Soetomo Surabaya

Pindahan dari :-

Ruangan sekarang : Seruni A (IRNA Medik RSUD

Dr.Soetomo Surabaya

Tanggal Masuk RS : 12 Mei 2017

Tanggal keluar RS : tidak ada (belum KRS)

Status : BPJS

Diagnosa : ICH-SAH + HT Stage I

29
3.2 Riwayat Penyakit dan Pengobatan

3.2.1 Riwayat penyakit terdahulu

Pasien menderita hipertensi ± 5 tahun diabetes mellitus tipe II ± 1 tahun

namun jarang kontrol ke dokter dan minum obat. Pasien juga mengeluh sering

sakit kepala dan minum obat bebas.

3.2.2 Riwayat keluhan utama

Pasien mengeluh sakit kepala hebat

3.2.2 Riwayat keluhan penyerta

Tidak ada

3.2.3 Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

3.2.4 Riwayat penggunaan obat terdahulu

Bodrex tablet (Parasetamol 600 mg dan Kafein 50 mg), Injeksi Antrain,

Injeksi Difenhidramin, Injeksi Ondansentron 4 mg, Injeksi Citicolin 250

mg.

3.3 Ringkasan pada waktu pasien masuk RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Pasien sebelumnya dibawa ke RS AL Irsya Surabaya sekitar tengah malam

tanggal 12 Mei 2017, kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya sekitar

pukul 05.00 WIB. Pasien mengalami penurunan kesadaran selama ± 30 menit,

tidak mengalami merot dan pelo (ketidakseimbangan otot pada mulut dan wajah).

30
Pasien dirawat di Instalaasi Rawat Darurat kemudian dipindahkan ke IRNA Medik

Seruni A pada tanggal 12 Mei 2017.

3.4 Pemeriksaan

Selama dirawat di RSUD.Dr.Soetomo Surabaya pada tanggal 12 s/d 18 Mei

2017, pasien telah menjalani berbagai pemeriksaan yang dapat dilihat sebagai

berikut.

3.4.1 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pasien dilakukan oleh dokter dan perawat setiap hari.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien, melihat

perkembangan pasien, dan sebagai pedoman dalam penentuan terapi yang akan

dijalani pasien setiap harinya. Hasil pemeriksaan yang dilakukan selama tanggal

12 s/d 18 Mei 2017 dapat dilihat pada Tabel 3.1

3.4.2 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penting bagi Apoteker dalam melaksanakan

praktik klinik untuk monitoring kesesuaian terapi obat, monitoring efek terapetik,

monitoring reaksi obat yang tidak diinginkan, menilai toksisitas obat, dan

monitoring kepatuhan minum obat (Kemenkes RI, 2011). Hasil pemeriksaan

laboratorium pasien pada tanggal 12 s/d 18 Mei 2017 ditunjukkan pada Tabel 3.2.

3.5.5 Pemeriksaan penunjang

Pada tanggal 12 Mei 2017 dilakukan CT Scan pada pasien dan diperoleh

kesan Saccular Aneurisma di PCOM kanan, dengan ukuran leher (neck) 3,1 mm,

tinggi (height) 2,1 mm; lebar (width) 3,6 mm menghadap ke postero lateral. Kesan

31
lainnya adanya SAH di basal cystema, fissura sylvi kanan kiri, sulcy rego

hemporoparietal kanan dan kiri. Di samping dilakukan juga pemeriksaan

thoraxdan diperoleh kesan adanya keradangan paru, namun perlu korelasi data

klinis dan laboratorium.

3.5 Terapi Obat

Terapi obat-obat yang digunakan pasien selama masa perawatan di RSUD

Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 12 - 18 Mei 2017 dapat dilihat pada Tabel 3.3.

3.6 Pengkajian Terapi Obat

Pengkajian terapi obat pasien selama masa perawatan di RSUD Dr. Soetomo

Surabaya pada tanggal 12 - 18 Mei 2017 dapat dilihat pada Tabel 3.4.

3.7 Monitoring Efek Samping Obat

Monitoring efek samping obat yang digunakan pasien selama masa

perawatan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 12 - 18 Mei 2017 dapat

dilihat pada Tabel 3.5.

3.8 Rencana Kerja Farmasi dan Pemantauan

Rencana kerja farmasi dan pemantauan selama masa perawatan di RSUD Dr.

Soetomo Surabaya pada tanggal 12 - 18 Mei 2017 dapat dilihat pada Tabel 3.6.

32
3.9 Konseling

Konseling obat-obat yang digunakan pasien selama masa perawatan di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 12 - 18 Mei 2017 dapat dilihat pada

Tabel 3.7.

33
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik

34
Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan laboratorium

Data Laboratorium 12/5 12/5


DARAH LENGKAP LIVER FUNCTION TEST
Hb (13,2-16,6 mg/dL) 13,6 SGOT (0-50 U/L) 15
Leukosit (3,8-10,6 x 103
11,17 SGPT (0-50 U/L) 17
U/L)
Trombosit (150-450 x 103
204
U/L
HCT (41,3-52,1 %) Lain-lain
GDA
RBC (3,69-5,46 x 106
4,61 N < 100 mg/dL
U/L)
DM > 126 mg/dL
EO (0,6-5,4%) 0,4 GDP 108
2 jam PP
BASO (0,3-1,4%) 0,4 N < 140 mg/dL 130
DM > 200 mg/dL
Asam Urat
NEUT (39,8-70,5%) 90,4 2,90
(3,4-7,0 mg/dL)
LYMPH (23,1-49,9%) 5,5 HbA1C (4,3-6%) 7
Kolesterol Total
MONO (4,3 – 10%) 2,9 238
(0-200 mg/dL)
FAAL KOAGULASI HDL (40-60 mg/dL) 57
PPT (9-12 detik) 9,8 TG (30-150 mg/dL) 99
APTT (23-33 detik) 23,7 LDL (0-99 mg/dL) 155
SE
K (3,5-5,3 mmol/L) 3,50 MCV (86,7-102,3 fL) 89,2
Na (135-145 mmol/L 140 MCH (27,1-32,4 pg) 29,6
Cl (98-107 mmol/L) 96 MCHC (29,7-33,1 g/dL) 33,2
Ca (8,5-10,1 mmol/L) RDW-CV (12,2-14,8 %) 13,7
RFT MPV (9,2-2,0%) 6,4
BUN (10-20 mg/dL) 14
SCr (0,6-1,3 mg/dL) 0,82
CCr
Albumin (3,4-5,0 mg/dL) 3,74

Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan laboratorium (lanjutan)


35
Data Laboratorium 12/5
BGA
pH (7,35-7,45) 7,39
pCO2 (35-45 mmHg) 41
pO2 (80-100 mmHg) 74
HCO3 (22-28 mmol/L) 24,8
BE (-3,5 s/d -2 mmol/L) -0,2
TCO2 26,1
Urin Lengkap 12/5
Glukosa (negatif) negatif
Bilirubin (negatif) 1+
KET (negatif) Negatif
SG (1010-1015) >=1030
BLD (negatif) 3+
pH (6-8) 5
PRO (negatif) 2+
URO (negatif) 3,2
NIT (negatif) Negatif
Leukosit (negatif) Negatif
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Eritrosit (mikroskopik)
>100
1-2/lp
Leukosit (mikroskopik)
25-50
0-5/lp
Epitel (sedikit) banyak
Kristal (negatif) Negatif
Silinder (negatif) Negatif
Lain2 Bakteri (+)
AADO2 24

36
Tabel 3.3 Lembar pengobatan

37
Tabel. 3.4 Lembar pengkajian obat

Hari dan Kode


Uraian Masalah Rekomendasi/ Saran Tindak Lanjut
Tanggal Masalah
S: pasien mengalami pendarahan subaraknoid
O : nyeri kepala 7, CT Scan: (+) SAH
A: pemberian Nimodipine per oral setiap 4 jam selama 21 hari
16 Mei
2 dapat mengurangi vasospasme arteri, melindungi neuron dari P : terapi dilanjutkan I : Terapi dilanjutkan
2017
radikal bebas, perbaikan reaktivitas CO2 dan metabolisme otak
serebral dan mengurangi resiko rusaknya jaringan akibat
kelebihan kalsium pada saraf iskemik (Medscape.com)
S: Pemberian cairan kristaloid
O:
16 Mei
2 A: Pemberian Cairan kristaloid NaCl 0,9% bertujuan menjaga P : terapi dilanjutkan I : Terapi dilanjutkan
2017
keseimbangan cairan sehingga mencegah iskemik serebral
(Perdossi, 2011)
S : Pemberian omeprazole injeksi
O:
P : memberikan saran pada
13 Mei A: Pemberian omeprazole tidak tepat sebab indikasi I : dalam konfirmasi
3 dokter untuk menghentikan
2017 omeprazole adalah hematemesis, sedangkan pasien tidak dokter
penggunaan omeprazole
mengalaminya
(Perdossi, 2011)
S : pasien mengalami peningkatan LDL namun belum diterapi
O : LDL 155 mg/dL (normal 0-99 mg/dL), Kolesterol total 238
mg/dl (normal 90-200 mg/dL) P : memberikan saran pada
16 Mei I : dalam konfirmasi
1 A : Simvastatin (gol. HMG-CoA reduktase Inhibitor) dapat dokter untuk memberikan
2017 dokter
meningkatkan produksi nitrit oksida dan menurunkan simvastatin
pembentukan radikal bebas yang dapat memicu vasospasme

S : pasien diduga mengalami infeksi


O : foto thorax : kesan infiltrat paru; WBC : 11,17 /uL (normal P: memberikan saran pada
16 Mei I: dalam konfirmasi
12 3,57-10 x 103 /uL); urin lengkap: bakteri (+) dokter untuk melakukan uji
2017 dengan dokter
A : sebaiknya dilakukan kultur untuk memastikan adanya kultur
infeksi

38
Tabel. 3.4 Lembar Pengkajian Obat (lanjutan)

Hari dan Kode


Uraian Masalah Rekomendasi/ Saran Tindak Lanjut
Tanggal Masalah
S: pasien mengalami pendarahan subaraknoid
O : nyeri kepala 7, CT Scan: (+) SAH
P : memberikan saran
A: Citicoline sebagai neuroprotektor bertujuan untuk
16 Mei pada dokter untuk I : dalam konfirmasi
2 meningkatkan vasospasme. Dosis berdasarkan penelitian
2017 memberikan terapi dokter
ICTUS diberikan 2x1000 mg secara intravena (30-60 menit
citicoline
infusion) selama 3 hari kemudian diberikan oral 2x1000mg
selama seminggu. Dosis citicolin 500 mg-2000 mg
S: Pasien mengalami nyeri kepala dan diterapi dengan injeksi
Methamizole 3x1 g intravena
P : memberikan saran
O: Skala nyeri kepala 6-7
16 Mei pada dokter untuk I : dalam konfirmasi
2 A: Pemberian Methamizole sebagai terapi nyeri kurang adekuat
2017 mengganti Methamizole dokter
sebab tidak terjadi penurunan nyeri sejak diberikan, menurut
dengan opioid
WHO, sebaiknya Methamizole dikombinasi dengan opioid,
misalnya tramadol atau kodein dosis rendah.
S : pasien mengalami peningkatan tekanan intrakranial
O : penurunan derajat kesadaran (GCS: 356), nyeri kepala,
mual-muntah
A : Pemberian mannitol bertujuan untuk menurunkan tekanan
P: memberikan saran
12 Mei intrakranial. Dosis 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, I: masih dalam
1 pada dokter untuk
2017 diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. konfirmasi dengan dokter
memberikan mannitol
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi

39
Tabel 3.5 Lembar monitoring efek samping obat

Regimen Evaluasi
No Manifestasi ESO Nama Obat Cara Mengatasi ESO
Dosis Tgl Uraian
13 Mei Efek samping tidak terjadi
Edema perifer (2-3 minggu sejak
14 Mei Efek samping tidak terjadi
terapi) Monitor Tekanan darah dan
6x 60 mg 15 Mei Efek samping tidak terjadi
1 Takikardia Nimodipine denyut nadi
po 16 Mei Efek samping tidak terjadi
(Drug Information Handbook Ed.24,
17 Mei Efek samping tidak terjadi
2015)
18 Mei Efek samping tidak terjadi
Agranulositosis 13 Mei Efek samping tidak terjadi
Mulut kering Ganti dengan terapi nyeri lain, 14 Mei Efek samping tidak terjadi
3x1
2 Mual dan muntah Methamizole seperti ketorolac atau 16 Mei Efek samping tidak terjadi
ampul iv
Konstipasi parasetamol 17 Mei Efek samping tidak terjadi
(Formularium RSUD Soetomo, 2013) 18 Mei Efek samping tidak terjadi
Sakit kepala, nyeri perut, mual, 13 Mei Efek samping tidak terjadi
muntah, kembung, konstipasi atau
diare 2x1 14 Mei Efek samping tidak terjadi
3 Omeprazole Beritahu pasien tentang ESO
(Efek samping bersifat ringan dan ampul iv
sementara dan tidak ada hubungan
yang konsisten dengan pengobatan) 15 Mei Efek samping tidak terjadi
Bradikardia (Pemberian iv cepat) 16 Mei Efek samping tidak terjadi
Rasa panas dan terbakar di tempat Monitor tekanan darah, 17 Mei Efek samping tidak terjadi
2x1
4 penyuntikan Ranitidin pemberian secara iv paling
ampul iv
(Drug Information Handbook Ed.24, cepat 5 menit 18 Mei Efek samping tidak terjadi
2015)

40
Tabel 3.6 Form rencana kerja farmasi dan lembar pemantauan

Parameter Tanggal
Tujuan Rekomendasi Hasil Akhir yang Frekuesi
No yang
Farmakoterapi Terapi Diinginkan Pemantauan
Dipakai
12/5 13/5 14/5 15/5 16/5 17/5 18/5
Mengurangi Nyeri Skala Nyeri Skala nyeri 0 Setiap hari 7 6 6 7 6 6 6
1 dan menurunkan Methamziole
demam Suhu 36 -37 ± 2OC Setiap hari 38 38,3 37,9 36 37,6 37,8 36,3
Mengurangi stress Omeprazole Mual dan Mual dan muntah
2 Setiap hari + + + + + + +
uler Ranitidin muntah (-)
Nyeri
Menurunkan Nyeri kepala (-) Setiap hari + + + + + + +
3 Nimodipine Kepala
tekanan intrakranial
GCS 456 Setiap hari 356 356 356 356 456 456
TIK < 20 mmHg
CPP >70 mmHg
Nadi <90x/menit Setiap hari 80 80 80 80 80 60 54
Tekanan
<20/80 mmH Setiap hari 140/80 140/90 130/110 140/80 140/100 160/90 140/90
PZ/NaCL Darah
4 Terapi Cairan
0,9% Kalium (3,5-5,1 mmol/L) Setiap 5-7 hari 3,5
Natrium (136-145 mmol/L) Setiap 5-7 hari 140
Klorida (98-107 mmol/L) Setiap 5-7 hari 96

41
Tabel 3.7 Lembar konseling

Hari dan
No Uraian Rekomendasi dan Saran Evaluasi
Tanggal
Sediaan omeprazole berupa vial berisi 40 mg serbuk
omeprazole. Rekontitusi dengan 5 ml dari 100 m
NaCl 0,9% atau 5%.
Dikocok sampai benar-benar larut, lalu dipindahkan
Penjelasan mengenai rekonstitusi
ke kantung infus semula. Pembelian dilakukan lewat Perawat mengerti
13 Mei 2016 sediaan omeprazole (ada pelarut)
intravena selama 20-30 menit.Sediaan disimppan penjelasan yang diberikan
kepada perawat
dalam ruang dengan suhu 25oC Sediaan stabil dalam
cairan NaCl 0,9% selama 3-11 jam jika terpapar
sinar matahri stabilitas menururn hingga 6 jam
(Handbook of Injectable Drugs Ed.XVII, 2009)
Ampul 2 ml berisi 50 mg diencerkan dengan paling
Penjelasan mengenai pembuatan sedikit 20 ml cairan infus intravena yang kompatibel Perawat mengerti
16 Mei 2016
injeksi ranitidin dan diberikan paling sedikit 5 menit penjelasan yang diberikan
(Handbook of Injectable Drugs Ed.XVII, 2013)
Pemberian methamizole injeksi dapat dilakukan
secara intravena atau intramuskular dengan durasi
pemberian maksimal tiap 8 jam disuntikkan selama
Penjelasan mengenai pemberian Pasien mengerti penjelasan
13 Mei 2016 5 menit (secara perlahan-lahan). Penyimpanan
injeksi metamizole pada perawat yang diberikan
dilakukan pada suhu kamar (di bawah 30oC) dan
terlindung dari cahaya
(Dipiro, 2015)

42
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus di IRNA Medik yang

dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :

a. Permasalahan yang terjadi pada pasien selama menjalani perawatan di RSUD Dr.

Soetomo antara lain adalah hasil foto toraks menunjukkan adanya keradangan paru

namun tidak dilakukan kultur.

b. Terdapat penggunaan obat yang tidak rasional untuk diberikan kepada pasien

seperti pasien tidak mengalami hematemesis tetapi diberikan omeprazol. Di

samping itu pasien mengalami nyeri kepala sedang dengan skala 6-7 namun masih

diberikan methamizole, sehingga pengobatan kurang adekuat.

c. Terdapat beberapa indikasi pada pasien yang perlu diobati, seperti peningkatan

tekanan intrakranial, resiko defisit neurologis dan hiperlipidemia, namun tidak

diberikan terapi yang sesuai.

d. Telah dilakukan peran dan fungsi Apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi

klinis seperti pengkajian resep, visite pasien untuk memberikan pelayanan

informasi obat, pemantauan terapi obat dan monitoring efek samping obat.

4.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan pada kasus ini, maka disarankan

agar komunikasi antara dokter dan apoteker lebih ditingkatkan agar pasien

memperoleh terapi sesuai dengan kebutuhannya.

43
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, (2012). Guidelines for the Management of Aneurysmal


Subarachnoid Hemorrhage. Diunduh dari http://stroke.ahajournals.org pada 3
Mei 2017. Halaman 2

Baehr M, dan Frotcsher M. ( 2012). Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,


Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Medscape. (2016). Subarachnoid Hemorrhage. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview#a4 pada 20 Juni
2017

Setyopranoto, I. (2012). Penatalaksanaan Pendarahan Subarakhnoid. Cermin Dunia


Kedokteran. 39 (11): 807-812.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2011). Guideline Stroke. Jakarta:


Fakultas Kedokteran UI. Halaman 42-43;48-50; 64-65;68;83-86.

44

Anda mungkin juga menyukai