Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN CVA HEMORAGIK

A. PENGERTIAN
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di otak
pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke hemoragi
antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Biasanya
kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat
istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2008).
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di
otak dan kemudian merusaknya (M. Adib, 2009).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbulkarena terjadi gangguan
perdarahan di otak yang menyebabkan terjadinyakematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderitakelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008).
Menurut Muttaqin (2008), ada beberapa faktor risiko stroke hemoragik, yaitu :
1. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang
menekan dinding arteri sampai pecah.
2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.
3. Peningkatan hemotokrik meningkatkan risiko infark serebral.
4. Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen
tinggi).
5. Konsumsi alkohol.
6. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti
payudara, kulit, dan tiroid.
7. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam
dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.
8. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
9. Overdosis narkoba, seperti kokain.

B. ETIOLOGI
Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intracranial
dengan gejala peningkatan tekana darah systole > 200 mmHg pada hipertonik dan 180
mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah keunguan, sianosis, dan pernafasan
mengorok.
Penyebab stroke hemoragik, yaitu :
1. Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.
2. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak.
3. Adanya sumbatan bekuan darah di otak. (Batticaca 2008).
Penyebab stroke hemoragik biasanya diakibatkan dari: Hemoragi serebral
(pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan kedalam jaringan otak atau
seluruh ruang sekitar otak ). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak .
Hemoragi serebral dapat terjadi di berbagai tempat yaitu :
1. Hemoragi obstrudural
2. Hemoragi subdural
3. Hemoragi subakhranoid
4. Hemoragi intraserebral
Faktor resiko penyakit stroke menyerupai faktor resiko penyakit jantung iskemik :
1. Usia
2. Jenis kelamin: pada wanita premonophous lebih rendah, tapi pada wanita post
monophous sama resiko dengan pria
3. Hipertensi
4. DM
5. Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung
6. Koagulopati karena berbagai komponen darah antara lain hiperfibrinogenia
7. Keturunan
8. Hipovolemia dan syook ( Aru W, Sedoyo dkk, 2006)

Menurut Sylvia dan Lorraine (2006), SH terjadi akibat :


1. Perdarahan intraserebrum hipertensif.
2. Perdarahan subaraknoid (PSA): ruptura aneurisma secular (berry), rupture
malformasi arteriovena (MAV), trauma.
3. Penyalahgunaan kokain, amfetamin
4. Perdarahan akibat tumor otak
5. Infark hemoragik
6. Penyakit perdarahan sistemik termasuk penggunaan obat antikoagulan.

C. PATOFISIOLOGI
Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri
penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan tegak
lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler.
Aterosklerosis dapat terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya hipertensi
kronik, sehingga sepanjang arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan
diameter 1 mm. Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan
pecahnya aneurisme ini, sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang
bisa mendorong struktur otak dan merembas kesekitarnya bahkan dapat masuk
kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial.
Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur arteri serebri.
Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaraknoid, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi
jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar
perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis.
Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak
disekitar bekuan darah dapat membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja
enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga.
Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan
kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya
rongga-rongga tersebut terisi oleh astroglia yang mengalami proliferasi (Sylvia &
Lorraine 2006).
Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya aneurisma.
Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan
perdarahan mempermudah kemungkinan terjadinya ruptur, dan sering terdapat lebih
dari satu aneurisma. Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan.
Pembuluh yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti
cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari 3
ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit ini mendadak
dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit, beberapa jam,
bahkan beberapa hari.
Gambaran klinis yang sering terjadi antara lain; sakit kepala berat, leher
bagian belakang kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. 90% menunjukkan
adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan besar dan atau letak dekat
ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam waktu 1-30 hari,
biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke system ventrikel,
herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau mungkin disebabkan
karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Smletzer & Bare, 2005).
Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian hemisfer serebri
masih dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata.
Sedangkan adanya bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat
mengakibatkan kematian. Bila perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah
biasanya pasien masih muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma (Black
& Hawk, 2005).
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Apabila aliran darah ke jaringan otak
terputus selama 15-20 menit maka akan terjadi infark atau kematian jaringan. Akan
tetapi dalam hal ini tidak semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah
otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai di daerah tersebut. Dapat juga karena keadaan penyakit pada pembuluh
darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau robeknya dinding
pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan status
aliran darah misalnya syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat
bekuan atau infeksi pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak.
(Sylvia A. Price dan Wilson, 2006).

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Kehilangan motorik
a. Hemiplegis, hemiparesis.
b. Paralisis flaksid dan kehilangan atau penurunan tendon profunda (gambaran
lklinis awal ).
2. Kehilangan komunikasi
a. Disartria
b. Difagia
c. Afagia
d. Afraksia
3. Gangguan konseptual
a. Hamonimus hemia hopia (kehilanhan sitengah dari lapang pandang)
b. Gangguan dalam hubungan visual-spasial (sering sekali terlihat pada pasien
hemiplagia kiri)
c. Kehilangan sensori : sedikit kerusakan pada sentuhan lebih buruk dengan
piosepsi, kesulitan dalam mengatur stimulus visual, taktil dan auditori.
4. Kerusakan aktivitas mental dan efek psikologis :
a. Kerusakan lobus frontal : kapasitas belajar memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin mengalami kerusakan disfungsi tersebut.
Mungkin tercermin dalam rentang perhatian terbatas, kesulitan dalam
komperhensi, cepat lupa dan kurang komperhensi.
b. Depresi, masalah psikologis-psikologis lainnya. Kelabilan emosional,
bermusuhan, frurtasi, menarik diri, dan kurang kerja sama.
5. Disfungsi kandung kemih :
a. Inkontinansia urinarius transia
b. Inkontinensia urinarius persisten / retensi urin (mungkin simtomatik dari
kerusakan otak bilateral)
c. Inkontinensia urin dan defekasi berkelanjutan (dapat menunjukkan Kerusakan
neurologisekstensif) (Brunner & Suddart, 2002).

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan CVA Bleeding
1. Observasi TTV (TTV)
2. Observasi kesadaran dengan GCS dan tanda-tanda TIK meningkat
3. Ingat 5 pantangan yaitu :
- No antihipertensi
- No glukosa
- No Kortikosteroid
- No diuretika
- No antikoagulan
4. Keseimbangan cairan elektrolit
5. Lakukan rehabilitasi medik secepat mungkin
6. Kandung kemih
Bila tenaga memungkinkan lebih baik dilakukan kateterisasi intermitten. Bila
tidak dilakukan dower kateter atau bisa juga dilakukan dengan pemasangan
kondom kateter
7. Pada Bowel, bila lebih dari 3 hari tidak BAB dibantu dengan lakson
8. Kulit hati-hati terjadi dekubitus
9. Perhatikan segi rohani, sosial dari penderita dan keluarga.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Batticaca (2008), Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat
dilakukan adalah :
1. Laboratorium : darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, analisa
gas darah, biokimia darah, elektolit.
2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk
memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
3. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena ( masalah sistem
arteri karotis ).
4. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
5. MRI ( magnetic resonance imaging ) : menunjukan daerah yang mengalami
infark, hemoragik ).
6. EEG ( elektroensefalogram ) : memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar-X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari masa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosit serebral ; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarachnoid.
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan,
diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat
trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib
koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dan generasi terdahulu.
6. Riwayat psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecemasan, rasa cemas, rasa tidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri
menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan
tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami
kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya
jarang melakukan ibadah spritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan
kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/ afaksia. Tanda –
tanda vital : TD meningkat, nadi bervariasi.
a. B1 (breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan obat bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compas mentis, peningkatan inspeksi
pernapsannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
b. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskulardidapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan
darah >200 mmHg.
c. B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian
B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
d. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandunf kemih karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinesia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada pasien akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinesia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi,
serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2) Pengkajian tingkat kesadaran
Pada klien lanjut usia tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor, dan semikomantosa.
3) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa,
lobus frontal, dan hemisfer.
4) Pengkajian saraf kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
5) Pengkajian sistem motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan / kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
6) Pengkajian refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologi akan muncul kembali di dahului dengan refleks
patologis.
7) Pengkajian sistem sensori
Dapat terjadi hemihipertensi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
5. Kurangnya perawatan diri
6. Gangguan persepsi sensori : perabaan

\
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke.
Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, Joice. M., & Hawk, Jane. H. 2005. Medical Surgical Nursing; clinical management
for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis : Elsevier. Inc

Carpenito, L. J. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi X. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, S. C et.al. 2005. Brunner&Suddarth’s: Textbook of Medical Surgical Nursing.9th.


Philadelphia: Lippincott

Soepardjo. 2009. Sekilas Tentang Stroke. Yayasan stroke Indonesia.

Sudoyo, A. W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK-UI. Jakarta.
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI.

Anda mungkin juga menyukai