Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN STROKE HEMORAGI

A. Konsep Teori Stroke Hemoragi

1. Pengertian

Menurut British Medical Association (2007), stroke hemoragi adalah

pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik oleh cidera atau

ruptur spontan dari pembuluh darah. Ada empat kemungkinan dari stroke

hemoragi yaitu : subdural, ekstradural, subaraknoid, dan intraserebral. Ekstradural

dan subdural hemoragi biasanya merupakan hasil dari cidera kepala. Subaraknoid

dan perdarahan intraserebral biasanya terjadi secara spontan akibat pecahnya

aneurisma atau pembuluh darah kecil di otak .

Menurut Price (2006), stroke hemoragi dapat terjadi apabila lesi vaskuler

intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang

subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan stroke hemoragi adalah

pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik oleh cedera atau

ruptur spontan dari pembuluh darah di area intraserebrum (parenkim),

intraventrikel, dan perdarahan subraknoid.


2. Etiologi

Menurut Mansjoer (2009), etiologi stroke hemoragi dapat dibedakan menjadi :

a. Perdarahan intraserebral (20%)

1) Hipertensi

2) Malformasi arteri-vena

3) Angiopati amiloid

b. Perdarahan subaraknoid (5%)

1) Perdarahan spontan (non traumatik) akibat pecahnya aneurisma saccular

intracranial.

3. Manifestasi Klinis

Menurut Machfoed (2011), pada perdarahan intraserebral yang akut dijumpai :

a. Onset akut dari defisit neurologi fokal yang memberat sampai koma dalam

menit sampai jam.

b. Nyeri kepala, mual, muntah.

c. Pada non-hipertensi terdapat anamnesa demensia pada usia tua curiga factor

CAA

d. Riwayat penggunaan obat antikoagulan atau trombolitik

e. Riwayat kejang ataupun bruit kranial curiga adanya suatu sebab malformasi

vaskular.

Menurut Machfoed (2011), ciri khas dari kasus perdarahan subaraknoid

adalah keluhan nyeri kepala mendadak, dengan gambaran “nyeri kepala paling

hebat selama hidup” atau “seperti ada yang menghantam kepala saya”. Keluhan

ini terjadi mendadak dan seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran

sesaat ketika onset. Dua pertiga kasus terjadi ketika penderita sedang tidur atau

melakukan aktivitas sehari-hari, sedangkan sisanya terjadi ketika melakukan


aktivitas fisik yang berat. Pemeriksaan neurologi menunjukan adanya tanda

rangsang meningeal seperti kaku kuduk. Akan tetapi keluhan ini tidak selalu ada.

Pemeriksaan fundus okuli menunjukan gambaran perdarahan subarahknoid,

vitreous, atau flame shaped. Kondisi ini disebabkan oleh karena kongesti vena

retina akibat peningkatan tekanan inrakranial. Defisit neurologi lain bisa

bervariasi, bahkan perdarahan subaraknoid berat bisa meyebabkan kondisi koma.

Skala kondisi klinis yang sering digunakan untuk PSA adalah Hunt and Hess

Scale

Tabel 2.1. Hunt and Hess Scale

Hunt and Hess scheme for grading cerebral aneurysms

Grade
0 Unruptured
I Asymptomatic or minimal headache, nuchal rigidity
II Moderate to severe headache, nuchal rigidity, no neurological
deficit other than cranial nerve palsy
III Drowsiness, confusion, mild focal deficit
IV Stupor, moderate to severe hemiparesis, possible early
decerebrate rigidity and vegetative disturbances
V Deep coma, decerabrate rigidity, moribund appearance

Sumber : Machfoed, 2011

4. Patofisiologi

Perdarahan pada otak dapat dengan cepat menimbulkan gejala

neurologi karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak.

Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan

maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1)

tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak

yang volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah


yang terpajan ke daerah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan

piameter meningen. Biasanya stroke hemoragi secara cepat menyebabkan

kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Apabila perdarahan

berlangsung lambat, pasien kemungkinan mengalami nyeri hebat, yang

merupakan gejala khas perdarahan subaraknoid (Price, 2006).

Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling

sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu oleh hipertensi dan rupture

salah satu arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Apabila

perdarahan terjadi pada individu yang tidak mengidap hipertensi, diperlukan

pemeriksaan- pemeriksaan untuk mengetahui kausa lain seperti gangguan

perdarahan, malformasi arteriovena, dan tumor yang menyebabkan erosi.

Lokasi perdarahan intraserebrum yang berdekatan dengan basal ganglia dan

kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang

disebabkan oleh stroke tipe ini. Mengingat bahwa basal ganglia memodulasi

fungsi motorik volunter dan bahwa semua serat saraf aferen dan eferen di

separuh korteks mengalami pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula

interna, maka dapat dilihat bahwa stroke di salah satu bagian ini menimbulkan

defisit neurologi fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam

bebrapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan

dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula

interna (Price, 2006).

Perdarahan subaraknoid memiliki dua penyebab utama: ruptur

aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan dapat massif dan

extravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan meningen dapat


berlangsung cepat. Penyebab perdarahan subaraknoid yang lebih jarang adalah

malformasi arterionvena (MAV), yaitu jaringan kapiler yang mengalami

malformasi kongenital. Pada MAV pembuluh melebar sehingga darah

mengalir di antara arteri bertekanan tinggi dan sistem vena bertekanan rendah,

akhirnya dinding venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke

jaringan otak. Pada sebagian besar pasien, perdarahan terutama terjadi di intra

parenkim dengan perembasan ke dalam ruang subaraknoid (Price, 2006).

Efek spesifik stroke sangat tergantung bagian mana dari otak yang

mengalami kekurangan oksigen. Jika aliran darah yang terputus adalah yang

menuju bagian otak yang mengatur saraf bicara, stroke akan menyebabkan

penderita tidak bisa berbicara atau pengucapan yang tidak jelas. Kesulitan

dalam mengekspresikan dalam perkataan ataupun tulisan, gangguan dalam

mengerti inti percakapan. Jika stroke merusak bagian otak yang mengatur

kemampuan gerak, penderita akan mengalami kesulitan dalam berjalan,

menggerakkan tangan. Biasanya terjadi pada salah satu sisi tubuh, kiri atau

kanan. Selain masalah fisik, stroke memberi efek pada psikologi, orang yang

mengalami stroke lebih mudah depresi, marah, frustasi karena sulitnya untuk

melakukan tugas dimana sebelum stroke semuanya sudah berjalan dengan

normal dan otomatis (Muttaqin, 2008).

5. Pemeriksaan penunjang

Menurut Machfoed (2011), pemeriksaan diagnostik untuk stroke

hemoragi adalah:
a. Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.

b. Pemeriksaa CT Scan kepala harus segera (kurang dari 12 jam) dilakukan pada

kasus dugaan perdarahan subaraknoid. Bila hasil CT Scan tidak menunjukan

adanya perdarahan subaraknoid, maka langsung dilanjutkan dengan tindakan

pungsi lumbal untuk menganalisa hasil cairan serebrospinal dalam kurun

waktu 12 jam. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan spektrofotometri cairan

serebrospinal untuk mendeteksi adanya xanthochromia.

c. Pemeriksaan angiografi selektif dilakukan pada penderita perdarahan

subaraknoid untuk mengetahui adanya gambaran aneurisma. Angiografi dan

venografi : dilakukan pada perdarahan intraserebral di usia muda <50 tahun

dengan perdarahan intraserebral yang belum diketahui faktor risikonya curiga

suatu malformasi vaskular otak

d. Pemeriksaan MRA dan CT Angiografi hanya dilakukan bila angiografi

konvensional tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI tidak dianjurkan untuk

mendeteksi perdarahan subaraknoid.

6. Diagnosis banding

Menurut Gofir (2011), gejala neurologi fokal yang terjadi mendadak

seperti pada stroke memiliki diagnosis banding yang luas, seperti:

a. Penyakit sistemik atau kejang, yang menyebabkan perburukan stroke yang

pernah dialami

b. Kejang epileptik atau kejang non konvulsif

c. Lesi struktural intrakranial: hematoma subdural, tumor otak.


d. Ensefalopati metabolik/toksik: hipoglikemia, hiperglikemia non-ketotik,

hiponatremia, Wernicke-Korsakoff syndrome, ensefalopati hepatik, intoksikasi

obat dan alkohol, septikemia.

7. Penatalaksanaan

Menurut Machfoed (2011), terapi konservatif pada pasien perdarahan

intraserebral adalah pasien perdarahan intraserebral dengan perdarahan kecil (<10

cc) atau defisit neurologi minimal, pasien perdarahan intraserebral dengan GCS

<4; kecuali pasien perdarahan serebellar disertai kompresi batang otak masih

mungkin untuk life saving.

Terapi konservatif ini meliputi :

a. Terapi umum : menjaga dan mengevaluasi ABCD (Airway, Breathing,

Circulation, and Neurological Deficit).

b. Terapi khusus :

1) Hipertensi

Bila tekanan darah sistol > 220 diastol >140 mmHg, atau MAP rerata

>145 mmHg dapat diberikan antihipertensi parenteral dengan nikardipin,

diltiazem, atau labetalol. Bila tekanan darah sistol 180-220 mmHg atau

diastol 105-140 mmHg atau MAP rerata 130 mmHg dapat diberikan juga

obat antihipertensi seperti di atas. Bila tekanan darah sistol <180 mmHg

diastol <105, tangguhkan pemberian antihipertensi. Pada fase akut

tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari MAP dalam

1 jam pertama.

2) Kejang
Pada status kejang; pada saat kejang diberikan injeksi diazepam bolus

lambat intravena 5-20 mg diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kg/menit

dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit dan diberikan dosis

pemeliharaan 5 mg/kg/hari. Apabila kejang tidak teratasi perlu dirawat di

ICU.

3) Peningkatan tekanan intrakranial

Akibat penekanan massa hematom yang besar pada jaringan otak yang

berdekatan. Biasanya timbul dalam 48 jam pertama dan dapat berlangsung

dalam 2 mingu setelah perdarahan awal. Ditandai dengan perburukan

gejala neurologis dan gambaran CT Scan ulangan adanya gambaran

impending herniasi. Langkah- langkah yang dapat ditempuh adalah :

a) Non medikamentosa :

(1) Posisi kepala da tubuh berbaring 20-30o

(2) Pemberian O2 dan membuat hiperventilasi (PaO2 30-35)

(3) Menghindari pemberian cairan glukosa/hipotonik

(4) Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular

(5) Pemasangan urine kateter

(6) Mencegah konstipasi

(7) Menurunkan metabolisme dengan membuat hipotermi.

b) Medikamentosa :

Obat hiperosmolar manitol dosis 0.25-1 g/kg bolus, dilanjutkan

dengan 0.25-0.5 g/kg diulang setiap 4-6 jam sekali.

Terapi operatif dilakukan pada kasus perdarahan intraserebral

cerebellar dengan diameter >3 cm dengan perburukan klinis dan penekanan pada
batang otak menyebabkan hidrosephalus akibat obstruksi ventrikel IV; perdarahan

intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi AV, atau

angioma kavernosa, yang mempunyai harapan keluaran yang baik dan lesi

strukturalnya terjangkau; pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang-besar

yang memburuk.

Sedangkan penatalaksanaan untuk perdarahan subaraknoid biasanya

berupa medikamentosa seperti berikut :

a. Monitor dan kontrol tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang

dan menjaga tekanan perfusi serebral. Tekanan darah dipertahankan dengan

MAP <110 mmHg atau tekanan darah <160/90 mmHg.

b. Pemberian terapi dini antifibrinolitik jangka pendek yang dikombinasi

dengan terapi aneurisma, serta dilanjutkan dengan upaya pencegahan

hipovolemia dan vasospasme. Terapi antifibrinolitik hanya diberikan pada

kondisi tertentu, yaitu pada penderita yang memiliki risiko rendah terjadinya

vasospasme sambil menunggu tindakan operasi.

c. Penatalaksanaan vasospasme serebral

1) Nimodipin (calcium channel blocker) oral 60 mg tiap 4 jam dapat

menurunkan outcome jelek pada kasus perdarahan subaraknoid

aneurisma. Obat ini diberikan selama 21 hari. Bila terjadi hipotensi,

maka dapat dilakukan penyesuaian dosis.

2) Memelihara sirkulasi volume darah normal dan menghindari terjadinya

hipovolemia.

3) Terapi triple H (Hipertensi, Hemodilusi, Hipervolemia).


a) Mempertahankan cerebral venous pressure (CVP) pada kisaran 10-

12 mmHg dan hematokrit pada kisaran 30-35%.

b) Mempertahankan tekanan darah sistolik pada kisaran 160-200

mmHg.

4) Angioplasty serebral dan/atau vasodilator intrakranial selektif

merupakan terapi alternatif.

d. Pemberian profilaksis antikejang dilakukan segera setelah periode

perdarahan. Profilaksis antikejang diberikan pada penderita dengan resiko

berupa riwayat kejang sebelumnya, perdarahan parenkim, infark parenkim

atau adanya aneurisma pada arteri serebri media.

e. Pencegahan hiponatremia

1) Pemberian cairan hipotonis dan cairan penarik cairan ke dalam

intravaskuler dalam jumlah besar hendaknya dihindari pada kasus

perdarahan subaraknoid.

2) Monitor status volume cairan penderita perdarahan subaraknoid dengan

menggubakan kombinasi central venous pressure, pulmonary artery

wedge pressure, keseimbangan cairan, serta berat badan penderita.

Cairan yang diberikan adalah cairan isotonis.

3) Penggunaan fludrocortisones acetate dan salin hipertonis ditujukan

untuk mengkoreksi hiponatremia.

f. Mengurangi keluhan penderita dengan memberikan analgetik adekuat, sedasi

ringan dan pelunak feses.


8. Komplikasi

Menurut Smeltzer, S. C., & Bare (2002), serangan stroke tidak berakhir

dengan akibat pada otak saja, gangguan emosional dan fisik akibat berbaring

lama tanpa dapat bergerak adalah hal yang tidak dapat dihindari. Ada beberapa

komplikasi dari penyakit stroke, yaitu:

a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat

ke otak. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin

serta hematokrit dalam tingkat dapat diterima akan membantu dalam

mempertahankan oksigenasi jaringan.

b. Penurunan aliran darah serebral. Aliran darah serebral bergantung pada

tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral.

Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan

pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cidera.

c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium.

Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya

menurunkan aliran darah serebral. Disritmia mengakibatkan curah jantung

tidak konsisten dan penghentian thrombus lokal.


B. Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragi

1. Pengkajian menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada klien dengan

kegawatdarutan stroke antara lain:

a. Primary Survey

Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain :

1) Airway maintenance

Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus dilakukan

adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara

untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien

yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pasien yang tidak sadar mungkin

memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi jalan nafas paling

sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar.

Perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

a) Kepatenan jalan nafas pasien.

b) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

(1) Adanya snoring atau gurgling

(2) Agitasi (hipoksia)

(3) Penggunaan otot bantu pernafasan

(4) Sianosis

c) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas

dan potensial penyebab obstruksi

d) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien

terbuka.
e) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien

sesuai indikasi :

(1) Chin lift/jaw thrust

(2) Lakukan suction (jika tersedia)

(3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask

Airway

(4) Lakukan intubasi

2) Breathing dan oxygenation

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus stroke mungkin

terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat stroke) atau oleh karena

komplikasi infeksi di saluran napas. Pedoman konsensus mengharuskan

monitoring saturasi O2 dan mempertahankannya di atas 95% (94-98%).

Pada pasien stroke yang mengalami gangguan pengendalian respiratorik

atau peningkatan TIK, kadang diperlukan untuk melakukan ventilasi.

3) Circulation

Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan sebagai tidak

adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Diagnosis shock

didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,

pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan

produksi urin. Pengkajian circulation menurut Muttaqin (2008) pada klien

stroke biasanya didapatkan renjatan (syok) hipovolemik, tekanan darah

biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat hipertensi massif dengan

TD >200 mmHg.
4) Disability - pemeriksaan neurologis.

Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien dan respons

terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk membuat

peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan

lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat

letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma,

maka penilaian GCS sangat penting untung menilai tingkat kesadaran

klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

b. Secondary Assessment

Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,

dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1) Anamnesis

Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009), anamnesis

juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan

keluarga:

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,

makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat).

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi

berapa jam sebelum kejadian).


E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera (kejadian

yang menyebabkan adanya keluhan utama).

2) Pemeriksaan fisik

a) Kulit kepala

Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya

pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.

b) Mata

Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana refleks

cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya

ikterus, apakah konjungtivanya anemis atau tidak.

c) Hidung

Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman.

d) Telinga

Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya pendengaran.

e) Mulut

Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna, kelembaban.

f) Toraks

Inspeksi: peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot

bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien dengan

tingkat kesadaran compos mentis.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.

Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien stroke

dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak didapatkan bunyi

nafas tambahan pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis.


g) Abdomen

Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.

Auskultasi : bising usus.

Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).

Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali, splenomegali.

h) Ektremitas

Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus

diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari periksa adanya

clubbing finger serta hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien

hypoxia lambat s/d 5-15 detik).

3) Pengkajian Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).

a) Syaraf Olfaktorius (N.I)

Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

b) Syaraf Optikus (N.II)

Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer

diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial

sering terlihat pada klien dengan hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak

dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

c) Syaraf Okulomotorius (N.III), Trokealis (N.IV), dan Abdusens (N.VI)

Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-otot okularis

didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi

yang sakit.
d) Syaraf Trigeminalis (N.V)

Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf trigeminus,

didapatkan penurunan koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan

rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan sesisi otot-otot

pterigoidus internus dan eksternus.

e) Syaraf Fasialis (N.VII)

Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris, otot wajah

tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f) Syaraf Vestibulokoklear (N.VIII)

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

g) Syaraf Glosofaringeus (N.IX) dan Vagus (N.X)

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

h) Syaraf Asesorius Spinal (N.XI)

Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i) Saraf Hipoglossus (N.XII)

Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indra

pengecapan normal.
Gambar 2.2. Pathways Stroke Hemoragi

Hipertensi, gangguan perdarahan, pemberian antikoagulan yang berlebihan

Stroke hemoragi Vasospasme arteri serebral/saraf


serebral

Peningkatan tekanan sistemik


Suplai darah ke jaringan serebral tidak
adekuat
Aneurisma/AVM

iskemik/infark Perfusi jar.


Perdarahan araknoid/ventrikel serebral

Hematoma serebral deficit neurologi

Peningkatan TIK/herniasi otak Hemisfer kanan Hemisfer kiri

Penekanan pada medulla Penurunan kesadaran


oblongata hemiparese/plegi kanan hemiparese/plegi kiri

Refleks batuk menurun


Pola nafas tidak efektif
Penumpukan secret pada
jalan nafas

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Sumber :Nanda, 2013


2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu label singkat, mengambarkan

kondisi pasien yang diobservasi di lapangan (Wilkinson dalam NANDA

2013). Diagnosa keperawatan pasien dengan masalah stroke hemoragi

didapatkan diagnosa keperawatan gawat darurat sebagai berikut :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan

sekret.

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.

c. Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan iskemia.

3. Intervensi Keperawatan

Menurut Iowa Intervention Project (2008), NIC merupakan klasifikasi

intervensi keperawatan yang dibuat untuk menyeragamkan bahasa intervensi

yang dilakukan oleh perawat.

Menurut Iowa Intervention Project (2008), NOC adalah istilah standar

untuk menggambarkan outcomes pasien.


N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
o Keperawatan Hasil

Tabel 2. Intervensi NIC


1 Bersihan Jalan Nafas NOC : NIC :
tidak Efektif Respiratory status :
Airway patency Airway Management
Batasan
Karakteristik : Kriteria Hasil : a. Buka jalan nafas
a. Dispneu, Menunjukkann dengan tekhik chin
b. Sianosis dyspnea berkurang, lift/jaw thrust
c. Kelainan suara mempunyai irama b. Posisikan pasien
nafas (ronkhi, teratur dan frekuensi untuk
wheezing) pernafasan dalam memaksimalkan
d. Kesulitan rentang normal (16- ventilasi dengan
berbicara 20x/menit), sekret semifowler 20-30o
e. Batuk, tidak dapat keluar c. Pasang mayo
efektif atau tidak d. Lakukan suction
ada pada mayo
f. Produksi e. Monitor
sputum respirasi dan status
g. Perubahan O2
frekuensi dan
irama nafas

Faktor yang
berhubungan:
Penumpukan sekret.

2 Pola Nafas Tidak NOC : NIC :


Efektif Vital sign Monitoring
a. Vital sign
Batasan karakteristik : Status a. Monitor TTV
a. Menggunakan b. Monitor
otot pernafasan Kriteria Hasil : frekuensi, irama
tambahan menunjukan tanda- pernapasan, & pola
b. Dyspnea tanda vital dalam pernapasan
c. Nafas pendek rentang normal c. Monitor sianosis
perifer
Faktor yang d. Monitor adanya
berhubungan : cushing triad
Hiperventilasi (tekanan nadi yang
melebar,bradikardi
, peningkatan
sistolik)

3 Perfusi Jaringan NOC : NIC :


Serebral tidak Efektif Circulation status Intrakranial Pressure
Tissue Prefusion : (ICP) Monitoring
Serebral serebral
a. Abnormalitas a. Monitor tekanan
bicara Kriteria Hasil: tidak intrakranial pasien
b. Kelemahan ada tanda tanda b. Monitor respon
c. Perubahan peningkatan tekanan neurologi terhadap
status mental intrakranial. aktivitas
d. Perubahan c. Restrain pasien
pada respon d. Monitor angka
motorik WBC
e. Perubahan e. Kolaborasi terapi
Implem

Sumber : Dochterman, J. M and Bulecheck, G. M., 2004

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan yang dilakukan oleh

perawat (Doengoes, 2000).

Implementasi dibedakan menjadi :

a. Secara mandiri (independent) adalah tindakan yang diprakarsai sendiri

oleh perawat untuk membantu klien dalam mengatasi masalah.

b. Saling ketergantungan atau kolaborasi (interdependent) adalah tindakan

keperawatan atas dasar kerja sama tim perawat dan tim kesehatan lainnya.

c. Ketergantungan (dependent) adalah tindakan keperawatan atas dasar

rujukan profesi lainnya.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan dari intervensi

tersebut tercapai/tidak (Doengoes, 2000).

Evaluasi disusun menggunakan SOAP, yaitu :

S : Adakah hal-hal yang dikemukakan oleh pasien/keluarga secara subyektif.

O : Adakah hal-hal yang ditemukan perawat secara obyektif setelah

dilakukan intervensi keperawatan.

A : Adakah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada

tujuan yang terkait diagnosis.


P : Adakah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon

pasien/keluarga pada tahap evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba
Medika.

Jackson, M, 2009. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta : Penerbit Erlangga

Machfoed, Moh. Hasan, dkk.2011. Buku Ajar Penyakit Saraf. Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair:Surabaya

Medical Association, British. 2007. Illustrated Medical Dictionary edisi 2. Singapura: DK


Company
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

NANDA, nic-noc. (2013). Diagnosis Keperawatan, NANDA 2013 Definisi & Klasifikasi, T.
Heather Herdman, PhD, RN, Jilid 2. Jakarta: EGC

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Pnelitian Ilmu Keperawatan :


Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan.Jakarta: Salemba
Medika.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC.

Sylvia A. Price dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit alih bahasa Brahm U. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai