Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

STROKE HEMORAGIK (SH) DAN CONTOH KASUS PASIEN STROKE


HEMORAGIK DI UGD RS ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG

Disusun Oleh :
Nama : Pratika Widya Septiara
NIM : P27820417061

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


PRODI DIII KEPERAWATAN SIDOARJO
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN STROKE HEMORAGI

A. Konsep Teori Stroke Hemoragi


1. Pengertian
Menurut British Medical Association (2007), stroke hemoragi
adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik
oleh cidera atau ruptur spontan dari pembuluh darah. Ada empat
kemungkinan dari stroke hemoragi yaitu : subdural, ekstradural,
subaraknoid, dan intraserebral. Ekstradural dan subdural hemoragi
biasanya merupakan hasil dari cidera kepala. Subaraknoid dan
perdarahan intraserebral biasanya terjadi secara spontan akibat
pecahnya aneurisma atau pembuluh darah kecil di otak .
Menurut Price (2006), stroke hemoragi dapat terjadi apabila lesi
vaskuler intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan
ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan stroke hemoragi
adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik
oleh cedera atau ruptur spontan dari pembuluh darah di area
intraserebrum (parenkim), intraventrikel, dan perdarahan subraknoid.

2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2009), etiologi stroke hemoragi dapat
dibedakan menjadi :
a. Perdarahan intraserebral (20%)
1.Hipertensi
2.Malformasi arteri-vena
3. Angiopati amiloid
b.Perdarahan subaraknoid (5%)
1.Perdarahan spontan (non traumatik) akibat pecahnya aneurisma
saccular intracranial.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Machfoed (2011), pada perdarahan intraserebral yang
akut dijumpai :
a. Onset akut dari defisit neurologi fokal yang memberat sampai koma
dalam menit sampai jam.
b. Nyeri kepala, mual, muntah.
c. Pada non-hipertensi terdapat anamnesa demensia pada usia tua
curiga factor CAA
d. Riwayat penggunaan obat antikoagulan atau trombolitik
e. Riwayat kejang ataupun bruit kranial curiga adanya suatu sebab
malformasi vaskular.

Menurut Machfoed (2011), ciri khas dari kasus perdarahan


subaraknoid adalah keluhan nyeri kepala mendadak, dengan gambaran
“nyeri kepala paling hebat selama hidup” atau “seperti ada yang
menghantam kepala saya”. Keluhan ini terjadi mendadak dan
seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat ketika
onset. Dua pertiga kasus terjadi ketika penderita sedang tidur atau
melakukan aktivitas sehari-hari, sedangkan sisanya terjadi ketika
melakukan aktivitas fisik yang berat. Pemeriksaan neurologi
menunjukan adanya tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk.
Akan tetapi keluhan ini tidak selalu ada. Pemeriksaan fundus okuli
menunjukan gambaran perdarahan subarahknoid, vitreous, atau flame
shaped. Kondisi ini disebabkan oleh karena kongesti vena retina
akibat peningkatan tekanan inrakranial. Defisit neurologi lain bisa
bervariasi, bahkan perdarahan subaraknoid berat bisa meyebabkan
kondisi koma. Skala kondisi klinis yang sering digunakan untuk PSA
adalah Hunt and Hess Scale
Tabel 2.1. Hunt and Hess Scale

Hunt and Hess scheme for grading cerebral aneurysms

Grade
0 Unruptured
I Asymptomatic or minimal headache, nuchal rigidity
II Moderate to severe headache, nuchal rigidity, no
neurological
deficit other than cranial nerve palsy

III Drowsiness, confusion, mild focal deficit


IV Stupor, moderate to severe hemiparesis, possible
early
decerebrate rigidity and vegetative disturbances

V Deep coma, decerabrate rigidity, moribund appearance

Sumber : Machfoed, 2011

4. Patofisiologi

Perdarahan pada otak dapat dengan cepat menimbulkan gejala


neurologi karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan
maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1)
tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam
tengkorak yang volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif pembuluh-
pembuluh darah yang terpajan ke daerah bebas di dalam ruang antara
lapisan araknoid dan piameter meningen. Biasanya stroke hemoragi
secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan
kesadaran. Apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien kemungkinan
mengalami nyeri hebat, yang merupakan gejala khas perdarahan
subaraknoid (Price, 2006).
Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling
sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu oleh hipertensi dan
rupture salah satu arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan
otak. Apabila perdarahan terjadi pada individu yang tidak mengidap
hipertensi, diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengetahui kausa
lain seperti gangguan perdarahan, malformasi arteriovena, dan tumor
yang menyebabkan erosi. Lokasi perdarahan intraserebrum yang
berdekatan dengan basal ganglia dan kapsula interna sering menerima
beban terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini.
Mengingat bahwa basal ganglia memodulasi fungsi motorik volunter dan
bahwa semua serat saraf aferen dan eferen di separuh korteks mengalami
pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula interna, maka dapat
dilihat bahwa stroke di salah satu bagian ini menimbulkan defisit
neurologi fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
bebrapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang
berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada
keterlibatan kapsula interna (Price, 2006).

Perdarahan subaraknoid memiliki dua penyebab utama: ruptur


aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan dapat massif dan
extravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan meningen dapat
berlangsung cepat. Penyebab perdarahan subaraknoid yang lebih jarang
adalah malformasi arterionvena (MAV), yaitu jaringan kapiler yang
mengalami malformasi kongenital. Pada MAV pembuluh melebar
sehingga darah mengalir di antara arteri bertekanan tinggi dan sistem
vena bertekanan rendah, akhirnya dinding venula melemah dan darah
dapat keluar dengan cepat ke jaringan otak. Pada sebagian besar pasien,
perdarahan terutama terjadi di intra parenkim dengan perembasan ke
dalam ruang subaraknoid (Price, 2006).

Efek spesifik stroke sangat tergantung bagian mana dari otak yang
mengalami kekurangan oksigen. Jika aliran darah yang terputus adalah
yang menuju bagian otak yang mengatur saraf bicara, stroke akan
menyebabkan penderita tidak bisa berbicara atau pengucapan yang tidak
jelas. Kesulitan dalam mengekspresikan dalam perkataan ataupun tulisan,
gangguan dalam mengerti inti percakapan. Jika stroke merusak bagian
otak yang mengatur kemampuan gerak, penderita akan mengalami
kesulitan dalam berjalan, menggerakkan tangan. Biasanya terjadi pada
salah satu sisi tubuh, kiri atau kanan. Selain masalah fisik, stroke
memberi efek pada psikologi, orang yang mengalami stroke lebih mudah
depresi, marah, frustasi karena sulitnya untuk melakukan tugas dimana
sebelum stroke semuanya sudah berjalan dengan normal dan otomatis
(Muttaqin, 2008).
5. Pathways
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Machfoed (2011), pemeriksaan diagnostik untuk
stroke hemoragi adalah:
a. Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.
b. Pemeriksaa CT Scan kepala harus segera (kurang dari 12 jam)
dilakukan pada kasus dugaan perdarahan subaraknoid. Bila hasil
CT Scan tidak menunjukan adanya perdarahan subaraknoid, maka
langsung dilanjutkan dengan tindakan pungsi lumbal untuk
menganalisa hasil cairan serebrospinal dalam kurun waktu 12 jam.
Kemudian dilanjutkan pemeriksaan spektrofotometri cairan
serebrospinal untuk mendeteksi adanya xanthochromia.
c. Pemeriksaan angiografi selektif dilakukan pada penderita
perdarahan subaraknoid untuk mengetahui adanya gambaran
aneurisma. Angiografi dan venografi : dilakukan pada perdarahan
intraserebral di usia muda <50 tahun dengan perdarahan
intraserebral yang belum diketahui faktor risikonya curiga suatu
malformasi vaskular otak
d. Pemeriksaan MRA dan CT Angiografi hanya dilakukan bila
angiografi konvensional tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI
tidak dianjurkan untuk mendeteksi perdarahan subaraknoid.

7.. Diagnosis banding


Menurut Gofir (2011), gejala neurologi fokal yang terjadi
mendadak seperti pada stroke memiliki diagnosis banding yang luas,
seperti:
a. Penyakit sistemik atau kejang, yang menyebabkan perburukan
stroke yang pernah dialami
b. Kejang epileptik atau kejang non konvulsif
c. Lesi struktural intrakranial: hematoma subdural, tumor otak.
d. Ensefalopati metabolik/toksik: hipoglikemia, hiperglikemia non-
ketotik, hiponatremia, Wernicke-Korsakoff syndrome, ensefalopati
hepatik, intoksikasi obat dan alkohol, septicemia.

8. Penatalaksanaan
Menurut Machfoed (2011), terapi konservatif pada pasien
perdarahan intraserebral adalah pasien perdarahan intraserebral dengan
perdarahan kecil (<10 cc) atau defisit neurologi minimal, pasien
perdarahan intraserebral dengan GCS <4; kecuali pasien perdarahan
serebellar disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life
saving.
Terapi konservatif ini meliputi :
a. Terapi umum : menjaga dan mengevaluasi ABCD (Airway,
Breathing, Circulation, and Neurological Deficit).
b. Terapi khusus :
1. Hipertens
Bila tekanan darah sistol > 220 diastol >140 mmHg, atau MAP
rerata >145 mmHg dapat diberikan antihipertensi parenteral
dengan nikardipin, diltiazem, atau labetalol. Bila tekanan darah
sistol 180-220 mmHg atau diastol 105-140 mmHg atau MAP
rerata 130 mmHg dapat diberikan juga obat antihipertensi
seperti di atas. Bila tekanan darah sistol <180 mmHg diastol
<105, tangguhkan pemberian antihipertensi. Pada fase akut
tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari
MAP dalam 1 jam pertama.

2. Kejang
Pada status kejang; pada saat kejang diberikan injeksi
diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg diikuti fenitoin
loading dose 15-20 mg/kg/menit dengan kecepatan maksimum
50 mg/menit dan diberikan dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari.
Apabila kejang tidak teratasi perlu dirawat di ICU.
3. Peningkatan tekanan intrakranial
Akibat penekanan massa hematom yang besar pada jaringan
otak yang berdekatan. Biasanya timbul dalam 48 jam pertama
dan dapat berlangsung dalam 2 mingu setelah perdarahan awal.
Ditandai dengan perburukan gejala neurologis dan gambaran
CT Scan ulangan adanya gambaran impending herniasi.
Langkah- langkah yang dapat ditempuh adalah :
a. Non medikamentosa :
1. Posisi kepala da tubuh berbaring 20-30 o
2. Pemberian O2 dan membuat hiperventilasi (PaO2 30-
35)
3. Menghindari pemberian cairan glukosa/hipotonik
4. Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
5. Pemasangan urine kateter
6. Mencegah konstipasi
7. Menurunkan metabolisme dengan membuat
hipotermi.

b. Medikamentosa :
Obat hiperosmolar manitol dosis 0.25-1 g/kg bolus,
dilanjutkan dengan 0.25-0.5 g/kg diulang setiap 4-6 jam
sekali.

Terapi operatif dilakukan pada kasus perdarahan


intraserebral cerebellar dengan diameter >3 cm dengan perburukan
klinis dan penekanan pada batang otak menyebabkan hidrosephalus
akibat obstruksi ventrikel IV; perdarahan intraserebral dengan lesi
struktural seperti aneurisma, malformasi AV, atau angioma kavernosa,
yang mempunyai harapan keluaran yang baik dan lesi strukturalnya
terjangkau; pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang-besar
yang memburuk.
Sedangkan penatalaksanaan untuk perdarahan subaraknoid
biasanya berupa medikamentosa seperti berikut :
a. Monitor dan kontrol tekanan darah untuk mencegah risiko
perdarahan ulang dan menjaga tekanan perfusi serebral. Tekanan
darah dipertahankan dengan MAP <110 mmHg atau tekanan
darah <160/90 mmHg.
b. Pemberian terapi dini antifibrinolitik jangka pendek yang
dikombinasi dengan terapi aneurisma, serta dilanjutkan dengan
upaya pencegahan hipovolemia dan vasospasme. Terapi
antifibrinolitik hanya diberikan pada kondisi tertentu, yaitu pada
penderita yang memiliki risiko rendah terjadinya vasospasme
sambil menunggu tindakan operasi.
c. Penatalaksanaan vasospasme serebral
1. Nimodipin (calcium channel blocker) oral 60 mg tiap 4 jam
dapat menurunkan outcome jelek pada kasus perdarahan
subaraknoid aneurisma. Obat ini diberikan selama 21 hari.
Bila terjadi hipotensi, maka dapat dilakukan penyesuaian
dosis.
2. Memelihara sirkulasi volume darah normal dan menghindari
terjadinya hipovolemia.
3. Terapi triple H (Hipertensi, Hemodilusi, Hipervolemia).
a. Mempertahankan cerebral venous pressure (CVP) pada
kisaran 10-12 mmHg dan hematokrit pada kisaran 30-
35%.
b. Mempertahankan tekanan darah sistolik pada kisaran 160-
200 mmHg. Angioplasty serebral dan/atau vasodilator
intrakranial selektif merupakan terapi
alternatif.Pemberian profilaksis antikejang dilakukan
segera setelah periode perdarahan. Profilaksis antikejang
diberikan pada penderita dengan resiko berupa riwayat
kejang sebelumnya,
c. perdarahan parenkim, infark parenkim atau adanya
aneurisma pada arteri serebri media.
d. Pencegahan hiponatremia
1. Pemberian cairan hipotonis dan cairan penarik cairan
ke dalam intravaskuler dalam jumlah besar hendaknya
dihindari pada kasus perdarahan subaraknoid.
2. Monitor status volume cairan penderita perdarahan
subaraknoid dengan menggubakan kombinasi central
venous pressure, pulmonary artery wedge pressure,
keseimbangan cairan, serta berat badan penderita.
Cairan yang diberikan adalah cairan isotonis.
3. Penggunaan fludrocortisones acetate dan salin
hipertonis ditujukan untuk mengkoreksi hiponatremia.
e. Mengurangi keluhan penderita dengan memberikan
analgetik adekuat, sedasi ringan dan pelunak feses.

9. Komplikasi
Menurut Smeltzer, S. C., & Bare (2002), serangan stroke tidak
berakhir dengan akibat pada otak saja, gangguan emosional dan fisik
akibat berbaring lama tanpa dapat bergerak adalah hal yang tidak
dapat dihindari. Ada beberapa komplikasi dari penyakit stroke, yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
darah adekuat ke otak. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit dalam tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi
jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral. Aliran darah serebral bergantung
pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah
serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cidera.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak
dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia
mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian
thrombus lokal.
B.Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragi
1. Pengkajian menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada klien dengan
kegawatdarutan stroke antara lain:
a. Primary Survey
Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain :
1. Airway maintenance
Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus
dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan
mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau
tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.
Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pasien yang tidak sadar
mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi
jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar. Perlu diperhatikan dalam
pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kepatenan jalan nafas pasien.
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien
antara lain:
1. Adanya snoring atau gurgling
2. Agitasi (hipoksia)
3. Penggunaan otot bantu pernafasan
4. Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
e. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan
nafas pasien sesuai indikasi :
1. Chin lift/jaw thrust
2. Lakukan suction (jika tersedia)
3. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
4. Lakukan intubasi

2. Breathing dan oxygenation


Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus
stroke mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat
stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas.
Pedoman konsensus mengharuskan monitoring saturasi O2 dan
mempertahankannya di atas 95% (94-98%). Pada pasien stroke
yang mengalami gangguan pengendalian respiratorik atau
peningkatan TIK, kadang diperlukan untuk melakukan
ventilasi.

3. Circulation
Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan
sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas
dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi
urin. Pengkajian circulation menurut Muttaqin (2008) pada
klien stroke biasanya didapatkan renjatan (syok) hipovolemik,
tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat
hipertensi massif dengan TD >200 mmHg.

4. Disability - pemeriksaan neurologis.


Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien dan
respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma, maka
penilaian GCS sangat penting untung menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan
pemberian asuhan.

b. Secondary Assessment
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.
1. Anamnesis
Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009),
anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa
didapat dari pasien dan keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,
plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat).
P: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian).
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
kepala.
b. Mata
Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana
refleks cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, apakah konjungtivanya anemis
atau tidak.
c. Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman.
d. Telinga
Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya
pendengaran.
e. Mulut
Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban.
f. Toraks
Inspeksi: peningkatan produksi sputum,
sesak nafas,penggunaan otot bantu nafas, dan peningkata
frekuensi pernafasan.
Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien
dengan tingkat kesadaran compos mentis.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan.
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak
didapatkan bunyi nafas tambahan pada klien dengan tingkat
kesadaran compos mentis.
g. Abdomen
Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.
Auskultasi : bising usus.
Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).
Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri
tekan, hepatomegali, splenomegali.
h. Ektremitas
Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi
harus diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari
periksa adanya clubbing finger serta hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik).

3. Pengkajian Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).


a. Syaraf Olfaktorius (N.I)
Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b. Syaraf Optikus (N.II)
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik
primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual-spasial sering terlihat pada klien dengan
hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian
tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan
pakaian ke bagian tubuh.
c. Syaraf Okulomotorius (N.III), Trokealis (N.IV), dan
Abdusens (N.VI)
Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-
otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Syaraf Trigeminalis (N.V)
Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf
trigeminus, didapatkan penurunan koordinasi gerakan
mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral
dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoidus internus dan
eksternus.
e. Syaraf Fasialis (N.VII)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris,
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Syaraf Vestibulokoklear (N.VIII)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g. Syaraf Glosofaringeus (N.IX) dan Vagus (N.X)
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
h. Syaraf Asesorius Spinal (N.XI)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf Hipoglossus (N.XII)
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi.
Indra pengecapan normal.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan
kontrol otot facial atau oral.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular
4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan.
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan
hemiparese/hemiplegi.
6. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan
penekanan pada saraf sensori.
7. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan,
imobilisasi.
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.
9. Gangguan eliminasi uri (incontinensia urin) yang berhubungan
dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan
untuk berkomunikasi.

3. Perencanaan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan
intracranial.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam,
diharapkan Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil :
- Klien tidak gelisah
- Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
- GCS 456
- Pupil isokor, reflek cahaya (+)
- Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7
C, Pernafasan 16-20 kali permenit).
Intervensi :
1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab
peningkatan TIK dan akibatnya
Rasional : Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total
Rasional : Untuk mencegah perdarahan ulang
3) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial
tiap 2 Jam.
Rasional : Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara
dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat.
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri
bantal tipis)
Rasional : Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainage
vena dan memperbaiki sirkulasi serebral.
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
Rasional : Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra
kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjunng
Rasional : Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan
kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mingkin diperlukan untuk
pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik /
perdarahan lainnya.
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
Rasional : Memperbaiki sel yang masih viabel.

2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan


kontrol otot facial atau oral.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam
diharapkan kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi
tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik).
- Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi.
- Meningkatkan kemampuan untuk mengerti.
- Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi.
- Mampu berbicara yang koheren.
- Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.

Intervensi :
1) Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata
atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh
tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan
memahami kata yang diucapkan; mengucapkan kata-kata dengan
benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut.
2) Bedakan antara afasia dengan disartria.
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya.
Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan
simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik
dan/atau motorik, seperti ketidakmampuan untuk memahami
tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang
dengan disartria dapat memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi
mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan
dengan kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
3) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau
ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang
diucapkannya tidak nyata. Umpan balik membantu pasien
merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti/berespon sesuai
dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi/makna yang
gterkandung dalam ucapannya.
4) Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka
mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
(afasia sensorik).
5) Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda
tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik
(afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak
dapat menyebutkannya.
6) Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau
“Pus”
Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen
motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang
dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia
motorik.
7) Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika
tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang
pendek
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan
dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari
afasia sensorik dan afasia motorik.
8) Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan
pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu.
Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa
kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera. Penggunaan bel
yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan bermanfaat ketika pasien
tidak dapat menggunakan system bel regular.
9) Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis,
gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar,
daftar kebutuhan, demonstrasi).
Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan
keadaan/deficit yang mendasarinya.
10) Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan
tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya/tidak,”
selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai
dengan respons pasien.
Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses
komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu
waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih
mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan
menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata.
11) Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari
“pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-hal
yang menentang kebanggaan pasien.
Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab
kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik.
12) Kolaborasi : Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan 2x 24 jam diharapkan
mobilisasi klien mengalami peningkatan.
Kriteria hasil:
- mempertahankan posisi optimal,
- mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terserang hemiparesis dan hemiplagia.
- mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan
cara yang teratur.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan
terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk
paralisis spastik dengan flaksid.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya
dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi
bagian yang terganggu.
Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek
dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada
kulit/ dekubitus.
3) Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika
pasien dapat mentoleransinya.
Rasional : Membantu mempertahankan ekstensi pinggul
fungsional;tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas terutama
mengenai kemampuan pasien untuk bernapas.
4) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti latihan
quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari
kaki/telapak.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya
hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah
perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi pencetus
adanya perdarahan berulang.
5) Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki
(foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi
kepala netral.
Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi
kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat
mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak
paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi.

6) Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada


tangan.
Rasional : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
7) Tempatkan ”handroll’ keras pada teelapak tangan dengan jari – jari dan
ibu jari saling berhadapan.
Rasional : Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari-jari,
mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal (posisi
anatomis).
8) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
9) Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti
meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi
tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan untuk
menyokong berta badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan kaki
yang sakit; meningkatkan waktu duduk) dan keseimbangan dalam
berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar;sokong bagian belakang
bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut penolong diluar
lutut pasien;bantu menggunakan alat pegangan paralel dan walker).
Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan
respon proprioseptik dan motorik.
10) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/
menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada
ekstremitas yang terganggu.
11) Kolaborasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latiahn resistif,
dan ambualsi pasien.
- Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperi TENS sesuai indikasi.
- Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi seperti
baklofen dan trolen(Doenges, 1999).

4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
tidak terjadi gangguan nutrisi.
Kriteria hasil :
 Berat badan dapat dipertahankan/ ditingkatkan
 Hb dan albumin dalam batas normal
Intervensi
1) Tentukan kemampuan klien dengan mengunyah, menelan dan refleks
batuk.
Rasional : untuk menetapkan jenis makanan yang akan di berikan
kepada klien
2) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah
makan.
Rasional : untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya
gravitasi.
3) Letakkan makanan didaerah mulut yang tidak terganggu.
Rasional : membantu dalam melatih sensorik dan meninggkatkan
kontrol muskuler.
4) Berikan makanan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makanan tanpa
adanya distrakrasi / gangguan dari luar
5) Mulailah untuk memberi makan peroral setengah cair, makan lunak
ketika klien dapat menelan air.
Rasional : makan lunak/ cairan kental mudah untuk mengendalikannya
di dalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi.
6) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
Rasional : menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan
resiko terjadinya tersedak.
7) Koloborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui iv atau
makanan melalui selang.
Rasional : mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan
juga makanan apabila klien tidak mampu untuk memasukkan segala
sesuatu melalui mulut.
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese /
hemiplegi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan kemampuan klien
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas
untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan
perawatan diri.
Rasional : Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan
kebutuhan secara individual.
2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri
bantuan dengan sikap sungguh.
Rasional : Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-
menerus.
3) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien
sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat
tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam
mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan
sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk mempertahankan harga diri
dan meningkatkan pemulihan

4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang


dilakukannya atau keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta
mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu.
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi.
Rasional : Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan
rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus

6. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan


pada saraf sensori.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
- Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi persepsi
- Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan
merasa.
- Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi terhadap
perubahan sensori
Intervensi :
1) Tentukan kondisi patologis klien.
Rasional : Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami
gangguan, sebagai penetapan rencana tindakan.
2) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin,
tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan kinetik
berpengaruh terhadap keseimbangan/posisi dan kesesuaian dari
gerakan yang mengganggu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya
trauma.
3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan klien
suatu benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien menyentuh
dinding atau batas-batas lainnya.
Rasional : Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan
persepsi dan intepretasi diri. Membantu klien untuk mengorientasikan
bagian dirinya dan kekuatan dari daerah yang terpengaruh.
4) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lindungan yang
berbahaya. Anjurkan pada klien dan keluarga untuk melakukan
pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan klien dan menurunkan resiko
terjadinya trauma.
5) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila perlu dan
menyadari posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien sadar akan
semua bagian tubuh yang terabaikan seperti stimulasi sensorik pada
daerah yang sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati
garis tengah, ingatkan individu untuk merawata sisi yang sakit.
Rasional : Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu
dalan mengintegrasikan sisi yang sakit.
6) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respon emosi yang
berlebihan/kebingungan yang berhubungan dengan sensori berlebih.
7) Lakukan validasi terhadap persepsi klien.
Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan
dari persepsi dan integrasi stimulus.
7. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan,
imobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
Intervensi :
1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat
ketidakefektifan jalan nafas.
Rasional : Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah
terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran
pernafasan.
3) Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)
Rasional : Air yang cukup dapat mengencerkan sekret
4) Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas
5) Auskultasi suara nafas.
Rasional : Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas
6) Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien
Rasional : Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-
paru.

8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring


lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil :
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
Intervensi :
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan
mobilisasi jika mungkin.
Rasional : Meningkatkan aliran darah kesemua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam
Rasional : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah
yang menonjol.
Rasional : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang
menonjol.
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisi.
Rasional : Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler.
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas
terhadap kulit.
Rasional : Mempertahankan keutuhan kulit.
9. Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan
dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan
untuk berkomunikasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Klien mampu mengontrol eliminasi urinnya.
Kriteria hasil :
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
- Tidak ada distensi bladder
Intervensi :
1) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari
distensi kandung kemih yang berlebih.
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari.
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu
mencegah enuresis.
3) Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan
kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
Rasional : Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih.
4) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada
jadwal yang telah direncanakan.
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering
berkemih.
5) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000
cc per hari bila tidak ada kontraindikasi)
Rasional : Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat (Doengoes, 2000). Implementasi
dibedakan menjadi :
a. Secara mandiri (independent) adalah tindakan yang diprakarsai
sendiri oleh perawat untuk membantu klien dalam mengatasi
masalah.
b. Saling ketergantungan atau kolaborasi (interdependent) adalah
tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim perawat dan
tim kesehatan lainnya.
c. Ketergantungan (dependent) adalah tindakan keperawatan atas
dasar rujukan profesi lainnya.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan dari
intervensi tersebut tercapai/tidak (Doengoes, 2000). Evaluasi
disusun menggunakan SOAP, yaitu :

S : Adakah hal-hal yang dikemukakan oleh pasien/keluarga secara


subyektif.
O : Adakah hal-hal yang ditemukan perawat secara obyektif
setelah dilakukan intervensi keperawatan.
A : Adakah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu
pada tujuan yang terkait diagnosis.
P : Adakah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon
pasien/keluarga pada tahap evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data.

Jakarta: Salemba Medika.

Jackson, M, 2009. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta : Penerbit


Erlangga

Machfoed, Moh. Hasan, dkk.2011. Buku Ajar Penyakit Saraf. Pusat Penerbitan
dan Percetakan Unair:Surabaya

Medical Association, British. 2007. Illustrated Medical Dictionary edisi 2.


Singapura: DK Company

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
NANDA, nic-noc. (2013). Diagnosis Keperawatan, NANDA 2013 Definisi &
Klasifikasi, T. Heather Herdman, PhD, RN, Jilid 2. Jakarta: EGC

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Pnelitian Ilmu


Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC.

Sylvia A. Price dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit alih bahasa Brahm U. EGC : Jakarta.


ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Tanggal masuk : 16 Maret 2019, pukul 07.10 WIB
Tanggal pengkajian : 16 Maret 2019, pukul 07.10 WIB

A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. M
Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Wonodri, Semarang
Diagnosa medis : Cedera kepala berat
Nomor register : 320985
PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. S
Usia : 29 tahun
Alamat : Semarang
Hubungan dengan klien : Anak

B. KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran

C. PENGKAJIAN SAMPLE
1. Symptom
Keluarga mengatakan klien ditemukan terjatuh di kamar mandi dengan posisi telungkup sekitar pukul
06.30 WIB. Pada saat ditemukan klien sudah tidak sadarkan diri. Malam sebelumnya, menurut
anaknya klien mengeluh kepala pusing dan nggliyeng.
2. Allergy
Keluarga mengatakan klien tidak mempunyai riwayat alergi apapun.
3. Medication
Keluarga mengatakan klien sedang mengkonsumsi obat anti hipertensi, klien sudah mengkonsumsi
obat tersebut sejak usia 40 tahun.
4. Past Illness
Keluarga mengatakan klien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus.
5. Last Meal
Keluarga mengatakan klien terakhir tadi malam tanggal 15 Maret 2012 pukul 20.00 WIB (nasi, sayur,
dan lauk).
6. Event
Saat kejadian klien dibawa ke UGD RS Roemani Muhammadiyah, klien dalam kondisi tidak
sadarkan diri namun masih terdapat nafas spontan.

D. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway
Look : klien tidak berbicara, tidak sadarkan diri, tidak terdapat tanda-tanda cedera servikal.
Listen : jalan napas klien terdengar bunyi gurgling dan snoring.
Feel : napas klien masih dapat dirasakan.
2. Breathing
Inspeksi : RR 19 kali/menit, regular, I:E=1:2, tidak terdapat ada retraksi dinding dada
saat klien bernapas, pengembangan dada normal, simetris antara dada kanan
dan kiri.
Palpasi : taktil fremitus tidak dapat dikaji karena penurunan kesadaran.
Perkusi : terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : terdengar bunyi napas ronkhi basah dan halus pada kedua apeks paru dan
vesikuler pada lapang paru bagian basal.

3. Circulation
Frekuensi nadi klien 90 kali/menit, regular dan kuat, capillary refill < 2 detik pada ekstremitas atas
dan 3 detik pada ekstremitas bawah, akral teraba hangat, SpO2 99% (dengan bantuan O2 nasal kanul 4
lpm), tidak ada sianosis, tidak terdapat diaphoresis, tekanan darah klien 230/100 mmHg.
4. Disability
- GCS klien 5 (E1M3V1), tingkat kesadaran koma.
- Pupil anisokor  5 mm/3 mm.
5. Exposure
- Suhu tubuh klien 36,7oC
- Terdapat jejas pada kepala bagian oksipital sinistra dengan diameter 3 cm.
- Terdapat luka VE pada jari-jari kaki kanan.
6. Foley catheter
- Tidak terdapat perdarahan pada OUE, tidak terdapat hematom pada daerah genetalia,
vesika urinaria teraba penuh.
7. Gastric tube
- Abdomen terlihat cekung, tidak terdapat distensi abdomen, bising usus 7 x/menit.
8. Heart monitoring/monitor EKG
- Terdapat gambaran EKG 3 lead: sinus takikardi dengan HR 112 x/menit.
-
E. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Inspeksi : kepala mesochepal, kulit kepala bersih, tidak berketombe, berwarna putih, tidak
terdapat lesi pada wajah, terdapat jejas pada kepala bagian oksipital sinistra
dengan diameter 3 cm, kulit wajah berwarna sawo matang (tidak pucat).
Palpasi : tidak ada benjolan di area kepala dan nyeri tekan tidak terkaji.
b. Mata
Inspeksi : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil anisokor  5 mm/3 mm,
tidak ada lesi pada kulit sekitar mata.
Palpasi : tidak ada benjolan pada area mata dan nyeri tekan tidak terkaji.
c. Telinga
Inspeksi : telinga bersih, tidak ada lesi pada kulit area telinga, tidak ada pembengkakan pada
area telinga, pendengaran tidak terkaji.
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan tidak terkaji.
d. Hidung
Inspeksi : tidak ada lesi pada kulit area hidung, warna kulit hidung sawo matang, tidak ada
pembengkakan pada area hidung, tidak ada sekret yang keluar dari nares, nares
simetris, tidak terdapat napas cuping hidung.
Palpasi : tidak ada benjolan pada area hidung, kulit hidung teraba hangat, nyeri tekan tidak
terkaji.
e. Mulut
Inspeksi : mukosa bibir lembab, mukosa bibir berwarna merah muda, mulut simetris, tidak
ada lesi pada area mulut.
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan tidak terkaji.
f. Leher
Inspeksi : tidak ada lesi pada kulit leher; tidak ada pembengkakan pada area leher, warna
kulit leher sawo matang, tidak ada deviasi trakea.
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak
ada benjolan pada area leher, nyeri tekan tidak terkaji, kelenjar istmus naik ketika
klien batuk.
g. Dada
 Pulmo
Inspeksi : RR 19 kali/menit, regular, I:E=1:2, tidak terdapat ada retraksi dinding dada
saat klien bernapas, pengembangan dada normal, simetris antara dada kanan
dan kiri.
Palpasi : taktil fremitus tidak dapat dikaji karena penurunan kesadaran.
Perkusi : terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : terdengar bunyi napas ronkhi basah dan halus pada kedua apeks paru dan
vesikuler pada lapang paru bagian basal.
 Cordis
Inspeksi : ictus cordis tak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba pada rongga intercostal kelima kiri pada garis medio-
klavikularis.
Perkusi : terdengar bunyi redup yang memanjang dari garis medio-klavikularis di ruang
intercostal ketiga dextra sampai ruang intercostal kelima sinistra.
Auskultasi : terdengar bunyi jantung I dan II murni tanpa adanya bunyi murmur dan gallop.
h. Abdomen
Inspeksi : perut datar, tidak ada jaringan parut dan lesi pada kulit perut, tidak ada spider
nevi.
Auskultasi : peristaltik usus 7 kali/menit.
Perkusi : terdengar bunyi timpani pada area lambung dan usus pada kuadran I, III dan IV,
terdengar bunyi dullness atau pekak pada kuadran II.
Palpasi : tidak ada massa, tidak ada pembesaran jaringan hepar; nyeri tekan tidak terkaji.
i. Ekstremitas

Kekuatan otot /

 Ekstremitas atas
Tidak ada lesi/fraktur, capillary refill kurang dari 2 detik, turgor kulit kering.
 Ekstremitas bawah
Inspeksi : tidak terdapat lesi pada kulit ekstremitas bawah.
Palpasi : tidak terdapat benjolan, nyeri tekan saat tidak terkaji, capillary refill 3 detik, tidak
ada sianosis, akral teraba hangat.
j. Genitalia
Tidak terdapat perdarahan pada OUE, tidak terdapat hematom pada area genetalia.
2. Cairan dan Nutrisi
Keluarga mengatakan klien tadi malam (17/3/19) minum dan makan terakhir (nasi, sayur,
dan lauk).
3. Eliminasi
Keluarga mengatakan tidak mengetahui kapan terakhir kali klien BAB dan BAK. Namun
jika dilihat dari pengeluaran urin pada urine bag, haluaran urin klien yaitu sebanyak 900 ml
selama dipasang 2 jam.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan Kepala Tanpa Kontras
Interpretasi singkat: perdarahan luas pada daerah pons sinistra.
G. TERAPI OBAT : Tidak ada.
ANALISA DATA
No Tgl/Jam Data Fokus Diagnosa Keperawatan Ttd
1 16/3/19 DS: - Ketidakefektifan IGD
07.10 DO: bersihan jalan napas Tea
 Terdapat sekret warna kuning berhubungan dengan m
kecoklatan. mukus dalam jumlah
 SpO2 99 % (terpasang O2 nasal kanul 4 berlebihan.
lpm), RR 19 x/menit regular.
 Terdengar suara napas tambahan:
snoring dan gurgling.
 Terdengar ronkhi basah halus di kedua
apeks paru.
 GCS 5 (E1M3V1)
 Tingkat kesadaran = koma.
2 16/3/19 DS: Resiko ketidakefektifan IGD
07.10  Keluarga mengatakan menemukan perfusi otak berhubungan Tea
klien tidak sadarkan diri di kamar dengan aneurisma m
mandi dengan posisi telungkup jam serebri.
6.30 kemudian dibawa ke rumah sakit
jam 7.00.
 Keluarga mengatakan klien
mempunyai riwayat hipertensi dan tadi
malam mengeluh kepalanya pusing.

DO:
 SpO2 99 % (terpasang O2 nasal kanul 4
lpm).
 TD 230/100 mmHg.
 HR 90 kali/menit.
 GCS 5 (E1M3V1).
 Tingkat kesadaran koma.
 Terdengar suara napas tambahan:
snoring dan gurgling.
 Terdengar ronkhi basah halus di kedua
apeks paru.
 Tampak jejas pada kepala bagian
oksipital sinistra dengan diameter 3
cm.
 Capilary refill ekstremitas bawah 3
detik, ekstremitas atas < 2 detik.
 Pupil anisokor dengan diameter 5
mm/3 mm.
 Hasil CT Scan kepala tanpa kontras:
perdarahan luas pada daerah pons
sinistra.

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebihan.
2. Resiko ketidakefektifan perfusi otak berhubungan dengan aneurisma serebri.

RENCANA KEPERAWATAN
No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Positioning
keperawatan selama 2 jam, 1. Pertahankan kepatenan
bersihan jalan bersihan jalan napas klien menjadi jalan napas dengan posisi jaw
napas efektif dengan kriteria hasil: thrust/head tilt chin lift.
berhubungan 1. Tidak terdengar gurgling
dengan mukus (skala 3). Respiratory Management
2. Tidak terdengar bunyi snoring 2. Lakukan pemasangan
dalam jumlah
(skala 3). oropharingeal airway.
berlebihan. 3. Suara ronkhi basah pada 3. Monitor frekuensi,
kedua apeks paru berkurang kedalaman pernapasan dan
(skala 3). saturasi oksigen.
4. Tidak ada sekret (skala 3). 4. Auskultasi bunyi napas
tambahan.
5. Lakukan
penghisapan/suction bila ada
indikasi.
2 Resiko Setelah dilakukan tindakan Cerebral Perfusion Promotion
ketidakefektifan keperawatan selama 2 jam tidak 1. Identifikasi faktor
perfusi otak terjadi ketidakefektifan perfusi penyebab penurunan
berhubungan jaringan otak, dengan kriteria kesadaran.
hasil: 2. Monitor status
dengan aneurisma
1. Tanda-tanda vital: neurologis.
serebri.
 Peningkatan tekanan 3. Pantau adanya tanda-
darah [sistol < 230 tanda penurunan perfusi
mmHg, diastol < 100 serebral: GCS, memori,
bahasa, respon pupil dll.
mmHg] (skala 2).
4. Evaluasi pupil, batasan
 HR 60-150 x/menit dan proporsinya terhadap
(skala 3). cahaya.
 RR 18-24 x/menit 5. Monitor TTV, MAP, dan
(skala 5). saturasi oksigen klien.
 T 36,0-37,5oC (skala 5). 6. Monitor input dan output
2. Tidak terjadi penurunan klien.
GCS (skala 5).
3. Tidak terjadi sianosis Oxygen Therapy
(skala 5). 7. Berikan oksigen sesuai
4. Tidak terjadi diaforesis keperluan.
(skala 5). 8. Monitor adanya oxygen
5. Tidak terjadi penurunan induced-hypoventilation.
kesadaran (skala 5). 9. Monitor adanya
6. Tidak terjadi tanda-tanda toksisitas oksigen dan
peningkatan TIK (skala 3). atelektasis.

Intracranial Pressure
Monitoring
10. Pertahankan posisi tirah
baring pada posisi kepala 15-
30o.
11. Pantau adanya tanda-
tanda peningkatan TIK.

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No.
Tgl/Jam Implementasi Respon Ttd
Dx
16/3/19 1 Membuka jalan napas dengan jaw S: - IGD
07.10 thrust dan kontrol servikal. O: Tea
Jalan napas klien terbuka, area m
servikal terfiksasi
1 Memasang OPA (oropharingeal S: - IGD
airway). O: Tea
Terdapat reflek batuk, OPA m
telah terpasang untuk
mempertahankan lidah, tidak
terdengar snoring
1 Melakukan suction pada daerah S: - IGD
mulut dan jalan napas atas. O: Tea
- Terdapat reflek batuk m
- Sekret yang keluar
berwarna kuning
kecoklatan
- Bunyi gurgling berkurang
1,2 Memasang O2 nasal kanul sebanyak S: - IGD
4 lpm. O: Tea
O2 nasal kanul 4 lpm m
terpasang, saturasi O2 klien
07.15 99%
2 Memonitor akral, saturasi oksigen S: - IGD
dan TTV serta MAP klien O: Tea
(memasang bedside monitor dan Akral hangat, saturasi O2 99%, m
oxymetri). TD 230/100 mmHg, HR 110
x/menit, t 36,6o C, RR 18
x/menit, MAP 143
1 Memonitor status pernapasan klien. S: - IGD
O: Tea
- RR klien 18 x/menit m
- Aus: ronkhi basah halus
pada kedua apeks paru
2 Mengecek nilai GDS klien. S: - IGD
O: Tea
07.20
GDS klien 367 mg/dl m

1 Melakukan suction pada daerah S: - IGD


mulut dan jalan napas atas. O: Tea
- Terdapat reflek batuk m
07.23 - Sekret yang keluar
berwarna kuning
kecoklatan
- Bunyi gurgling berkurang
2 Memasang infus Infumal 20 tpm. S: - IGD
O: Tea
Infus terpasang, satu kali m
tusukan tanpa terjadi flebitis
dan hematom
2 Memonitor reflek pupil, status GCS, S: IGD
kekuatan otot, dan status neurologis O: Tea
klien. Pupil anisokhor 5/3, reflek m
07.30
cahaya (-), kekuatan otot / ,
GCS klien E1M3V1
2 Memantau adanya tanda-tanda S: IGD
peningkatan TIK. O: Tea
Tidak terdapat adanya muntah m
proyektil, GCS klien E1M3V1,
nyeri kepala tidak dapat dikaji
07.40 1 Melakukan suction pada daerah S: - IGD
mulut dan jalan napas atas. O: Tea
- Terdapat reflek batuk m
- Sekret yang keluar
berwarna kuning
kecoklatan
- Bunyi gurgling berkurang
2 Mengidentifikasi faktor penyebab S: IGD
penurunan kesadaran. Keluarga klien mengatakan Tea
klien ditemukan terjatuh di m
kamar mandi dengan posisi
telungkup. Malam sebelumnya
07.50 klien mengeluh kepala pusing
dan nggliyeng. Klien memiliki
riwayat hipertensi.
O:
TD klien 230/100 mmHg,
GCS klien E1M3V1
2 Memasang folley catheter. S: - IGD
O: Tea
Folley catheter terpasang, m
urine keluar 300 cc, warna
kuning jernih
2 Memasang NGT. S: - IGD
08.05 O: Tea
NGT dua kali masuk ke paru- m
paru, pada percobaan ketiga
NGT berhasil masuk ke dalam
lambung, cairan lambung
yang keluar berwarna kuning
kecoklatan
2 Melakukan pemeriksaan CT Scan S: - IGD
kepala tanpa kontras. O: Tea
08.20 Interpretasi singkat: m
perdarahan luas pada daerah
pons sinistra
1 Melakukan suction pada daerah S: - IGD
mulut dan jalan napas atas. O: Tea
- Terdapat reflek batuk m
08.45 - Sekret yang keluar
berwarna kuning
kecoklatan
- Bunyi gurgling hilang
2 Mengobservasi status kesadaran, S: - IGD
TTV, pernapasan, dan saturasi O: Tea
oksigen klien. - Status kesadaran klien m
koma dengan GCS
E1M3V1
- Saturasi oksigen 99%
- TD 220/100 mmHg, HR
09.00
112 x/menit, t 36,6o C,
RR 18 x/menit, MAP 140
- Ronkhi basah halus pada
kedua apeks paru
berkurang, tidak terdapat
bunyi snoring dan
gurgling

EVALUASI
No.
Tgl/Jam Evaluasi Ttd
Dx
16/3/19 1 S: - IGD
09.30 O: Tea
 Saturasi oksigen 99%, RR 18 x/menit m
 Ronkhi basah halus pada kedua apeks paru berkurang,
tidak terdapat bunyi snoring dan gurgling
 Terdapat reflek batuk
 Sekret yang keluar berwarna kuning kecoklatan.
A:
Masalah teratasi
P:
 Pertahankan pemasangan OPA
 Pertahankan pemberian oksigen
 Monitor frekuensi, kedalaman pernapasan dan saturasi
oksigen.
 Lakukan penghisapan/suction sesuai indikasi.

16/3/19 2 S: - IGD
09.30 O: Tea
 Status kesadaran klien koma dengan GCS E1M3V1 m
 Saturasi oksigen 99%
 TD 230/100 mmHg, HR 112 x/menit, t 36,6o C, RR 18
x/menit, MAP 140
 Ronkhi basah halus pada kedua apeks paru berkurang,
tidak terdapat bunyi snoring dan gurgling
 Terdapat reflek batuk
 Sekret yang keluar berwarna kuning kecoklatan
 Pupil anisokhor 5/3, reflek cahaya (-), kekuatan otot

A:
Masalah teratasi
P:
 Motivasi keluarga untuk perawatan non ICU atau rawat
inap.
 Monitor status neurologis.
 Pantau adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral:
GCS, memori, bahasa, respon pupil dll.
 Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya.
 Monitor TTV, MAP, dan saturasi oksigen klien.
 Monitor intake dan output klien.
 Pertahankan pemberian oksigen sesuai keperluan.
 Monitor adanya oxygen induced-hypoventilation.
 Monitor adanya toksisitas oksigen dan atelektasis.
 Pertahankan posisi tirah baring pada posisi kepala 15-30o.
 Pantau adanya tanda-tanda peningkatan TIK.

Anda mungkin juga menyukai