Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN NEUROLOGI : STROKE

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

1. Adinda Destria Tanjaya ( 520002 )


2. Andriana Puji R ( 520007 )
3. Arimbi Retno Pembayun ( 520014 )
4. Bekti Romaningsih ( 520015 )
5. Brillian Pegyta Elsazsari ( 520016 )
6. Dini Candra Martyana ( 520024 )
7. Durotun Nafisah ( 520026 )
8. Eni Wulandari ( 520034)

Ruang: CATTLEYA 10

SMC RS TELOGOREJO SEMARANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO SEMARANG
2021/2022
I. KONSEP TEORI
A. DEFINISI
Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena
trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri dan pembuluh kapiler (Price,
2011).Stroke jenis ini merupakan sekitar 20% dari semua stroke.Stroke jenis ini
diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma di otak. Stroke ini dibedakan atas:
perdarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid (Sudoyo, 2017).
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di
otak.Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel otak, sekitar 20% stroke
adalah stroke hemoragik (Gofir, 2011).Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan
pecahnya pembuluh darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid.Pada perdarahan
intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat
hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh
darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang
subarakhnoidal (Misbach dkk., 2011).
Jadi stroke hemoragik adalah sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat
terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan
ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
B. KLASIFIKASI
Menurut Pudiastuti (2011) dan Misbach dkk., (2011) stroke hemoragik digolongkan
menjadi 2 jenis yaitu :
1. Hemoragik intraserebral (perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak) yaitu
pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak
terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah
otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut.
2. Hemoragik subaraknoid yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid
atau ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan yang menutupi otak atau
pecahnya aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal.

C. ETIOLOGI
Menurut Price dan Wilson (2011) dan Muttaqin (2012), ada beberapa penyebab stroke
hemoragik yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi yang tidak terkontrol
2. Malformasi arteriovenosa (hubungan yang abnormal)
3. Aneurisma berry, biasanya efek kongenital
4. Aneurisma fusiformis dari arteriosklerosis
5. Aneurisma mikotik dari vaskulitis nekrose dan emboli sepsis
6. Malformasi arteriovena (AVM), terjadi hubungan persambungan pembuluh darah
arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena
7. Ruptur arteriol serebri, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan
degenerasi pembuluh darah

D. PATOFISIOLOGIS
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subaraknoid.Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke
hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subaraknoid dan
perdarahan intraserebral (Caplan, 2014).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry
aneurysm) akibat hipertensi maligna.Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak.Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada
dinding pembuluh darah tersebut berupa degenerasi lipohialinosis, nekrosis fibrinoid
serta timbulnya aneurisma Charcot Bouchard.Pada kebanyakan klien, peningkatan
tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri.Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga.Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2014).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena darah dan
sekitarnya lebih tertekan lagi.Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2014).Perdarahan subaraknoid
(PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi
ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid.Perdarahan subaraknoid umumnya
disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous
malformation (AVM) (Caplan, 2014).
E. PATHWAY
F. FAKTOR RESIKO
National Stroke Association (2009) dalam Pudiastuti (2011) menjelaskan bahwa
setiap orang dapat menderita stroke tanpa mengenal usia, ras dan jenis kelamin.
Namun kemungkinan terserang stroke dapat diminimalisir jika seseorang mengetahui
faktor resikonya. Terdapat 2 tipe dari faktor resiko stroke yaitu:
1. Faktor yang tidak dapat dikendalikan
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Riwayat keluarga
e. Kejadian stroke sebelumnya atau TIA (transient ischemic attack)
f. Fibromuscular dysplasia.
2. Faktor yang dapat dikendalikan
a. Merokok
b. Konsumsi alkohol
c. Obesitas
d. Kurang berolahraga
e. Hipertensi
f. Kolestrol tinggi
g. Diabetes mellitus
h. Aterosklerosis

G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut (Price, 2012) :
1. Infark pada Sistem Saraf Pusat
Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vaskular yang terkena.
a. Infark total sirkulasi anterior (karotis):
- Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus kortikospinal),
- Hemianopia (kerusakan pada radiasio optikus),
- Defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan),
hilangnya fungsi visuospasial (hemisfer nondominan).
b. Infark parsial sirkulasi anterior:
- Hemiplegia dan hemianopia, hanya defisit kortikal saja.
c. Infark lakunar:
- Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil profunda
menyebabkan sindrom yang karakteristik.
- Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar):
- Tanda-tanda lesi batang otak,
- Hemianopia homonim.
d. Infark medulla spinalis (Price, 2012).
2. Serangan Iskemik Transien
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak; gejala
seperti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis.TIA umumnya berlangsung selama beberapa menit saja, jarang
berjam-jam. Daerah arteri yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi:
a. Karotis (paling sering):
- Hemiparesis,
- Hilangnya sensasi hemisensorik,
- Disfasia,
- Kebutaan monokular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh
iskemia retina.
b. Vertebrobasilar:
- Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif,
- Kebutaan mendadak bilateral (pada klien usia lanjut),
- Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua dari tiga
gejala ini terjadi secara bersamaan (Price, 2012).
3. Perdarahan Subarakhnoid
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka klien menunjukkan gejala nyeri
kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat berat disertai fotofobia,
mual, muntah, dan tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda
Kernig).Pada perdarahan yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan
intrakranial dan gangguan kesadaran.Pada funduskopi dapat dilihat edema
papil dan perdarahan retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai
akibat dari:
a. Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intrakranial,
b. intraserebral yang terjadi bersamaan,
c. Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah, bersamaan dengan
iskemia.
4. Perdarahan Intraserebral Spontan
Klien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung dari lokasi
perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan intrakranial.Diagnosis
biasanya jelas dari CT scan.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Biasanya, tidak ada penemuan diagnostik laboratorium pada infark serebral.
Tetapi pada semua klien, dapat dinilai dengan pemeriksaan darah lengkap,
prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (PTT), basic metabolic panel
(Chem-7), kadar gula darah, dan ezim jantung (Fitzsimmons, 2012).
a. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap digunakan untuk mendeteksi anemia,
leukositosis, jumlah platelet yang abnormal.Anemia mungkin terjadi akibat
adanya perdarahan gastrointestinal, dimana dapat meningkatkan resiko
trombolisis, antikoagulasi, dan kejadian terapi antiplatelet.Anemia dapat juga
berhubungan dengan keganasan, dimana dapat menghasilkan hiperkoagulasi,
atau menghasilkan gejala neurologis sebagai hasil metastasis.Inflamasi dan
kelainan kolagen pembuluh darah, dimana menyebabkan anemia, juga
sebagai penyebab jarang dari stroke iskemik.Platelet jurang dari
100.000/mm3 merupakan kontraindikasi pengobatan stroke dengan
intravenous recombinant tissue plasminogen activator (IV rt-PA).
b. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
Pemeriksaan PT dan aPTT diperlukan dalam penentuan penatalaksanaan
stroke.Peningkatan yang signifikan pada PT atau aPTT merupakan
kontraindikasi absolut dalam terpai IV rt-PA.Peningkatan PT dapat terjadi
pada pengobatan menggunakan warfarin jangka panjang, indikasi dari itu
mungkin berhubungan dengan etiologi stroke iskemik.
c. Pemeriksaan kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah sebaiknya diperiksa pada semua klien dengan
gejala stroke akut, karena keadaan hipoglikemia kadang dapat memberikan
gejala defisit neurologik fokal tanpa iskemik serebral akut (Fitzsimmons,
2012).
d. Pemeriksaan enzim jantung
Pemeriksaan enzim jantung, seperti troponin jantung, enzim CK-MB menilai
adanya iskemik miokard.Diperkirakan 20-30% klien dengan stroke iskemik
akut memiliki riwayat gejala penyakit jantung koroner (Fitzsimmons, 2012).
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke
hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk
menegakan diagnosis stroke (Rahmawati, 2009). Kemajuan teknologi
meningkatkan penilaian klinis pada klien stroke, pencitraan ini dapat
memperlihatkan lesi serebral dan pembuluh darah yang terkena. CT
memperlihatkan secara akurat lokasi perdarahan kecil, darah subaraknoid,
clots dan aneurisma, kelainan bentuk arterivena, dan memperlihatkan area
infark (Adams dan Victor, 2015).
b. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) punya keuntungan dapat
memperlihatkan lesi yang dalam pada lakunar kecil di hemisfer dan
abnormalitas pada batang otak.Tetapi, keuntungan utama memulai teknik
diffusion-weighted magnetic resonance, dimana dapat mendeteksi lesi infark
dengan waktu beberapa menit setelah stroke, lebih cepat dibandingkan CT
scan dan sekuens MRI lainnya (Adams dan Victor, 2015).
c. Angiografi
Angiografi digunakan dengan proses pencitraan digital, secara akurat
menperlihatkan stenosis dan penyumbatan pembuluh darah intrakranial dan
ekstrakranial seperti aneurisma, malformasi pembuluh darah, dan penyakit
pembuluh darah lainnya seperti arteritis dan vasospasme (Adams dan Victor,
2015).

I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas
fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk
semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang
membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut
harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan perubahan
gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti
memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi
Framingham (JAMA 1995;273:1113) dan studi Nurses Health (JAMA
1999;282:1233), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari
mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak trans
dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan.
b. Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara
dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan
sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus
diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30-45 menit setiap
hari (Goldszmidt et al., 2011).
Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme
karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung).
Latihan juga merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan
program penurunan berat badan, meskipun pengaturan pola makan lebih
efektif dalam menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme
(Sweetman, 2010).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain: (1)
mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka
kematian, (2) mencegah komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan
imobilitas permanen, (3) mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan
tergantung pada jenis stroke yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan
berdasarkan pada rentang waktu terapi (terapi pada fase akut dan terapi
pencegahan sekunder atau rehabilitasi).
Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi
yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki
iskemik dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet,
trombolitik). Kedua dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak
agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and
Hess, 2008).
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk
pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang
direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan aspirin
dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2014).
 Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)
Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh
darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen
pembekuan darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu
perdarahan. Hal ini disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang
menyumba pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam
pembuluh darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum
3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien juga harus menjalani pemeriksaan
lain, seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang minum
obat pembekuan darah (Wiwit S., 2010).
 Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik
digunakan sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin,
klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA)
merupakan antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2014).
Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol,
tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik.
Agen ini umumnya bekerja baik dengan mencegah pembentukan
tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini
dapat membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat,
sehingga mencegah adesi dan agregasi trombosit. Belum ada data
penelitian yang merekomendasikan obat golongan antiplatelet selain dari
aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah, sehingga akan
berpengaruh pada tingkat kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang
tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran
cerna yaitu mengiritasi lambung, dapat direkomendasikan dengan
penggunaan klopidogrel.
Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan
penurunan resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak
dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko perdarahan dan tidak
menunjukkan hasil yang signifikan dengan pemberian tunggal klopidogrel
(Tatro, 2012).
 Pemberian Neuroprotektan
Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu sebagian
besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan
adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Cara
kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja
kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi
dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau
eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya
timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang
menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium
neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine
M.W., 2016).
Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium
(nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel,
selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid
(tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik
(sitikolin). Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat diharapkan
dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2011).
 Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial
dan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah
satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa
Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang
mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami
stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark
miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun
pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini
menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan
antikoagulan (Fagan & Hess, 2014).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah
stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan
(heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan
komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan
baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial
fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan
risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke
iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau
sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi
(PERDOSSI, 2011).
Adapun beberapa cara penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan
pada klien stroke menurut Brunner dan Suddarth (2010) adalah sebagai
berikut:Diagnostik seperti ingiografi serebral, yang berguna mencari lesi dan
aneurisme.
a. Bedah syaraf (kraniotomi)
b. Obat-obatan, karena biasanya klien dalam keadaan koma, maka obat-
obatan yang diberikan yaitu :
 Kortikosteroid , gliserol, valium manitol untuk mancegah terjadi
edema dan timbulnya kejang
 Asam traneksamat 1gr/4 jam IV pelan-pelan selama tiga minggu,
serta berangsur-angsur diturunkan untuk mencegah terjadinya Lisis
bekuan darah atau perdarahan ulang.
 Deuretik : untuk menurunkan edema serebral
 Antikoagulan : untuk mencegah terjadinya atau memberatnya
trombosis atau emboli dari tempat lain dalam sistem
kardiovaskuler
 Medikasi anti trombosit : Dapat disebabkan karena trombosit
berperan penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi

J. KOMPLIKASI
Menurut Pudiastuti (2011) pada klien stroke yang berbaring lama dapat terjadi
masalah fisik dan emosional diantaranya:
1. Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan,
pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru yaitu
sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.
2. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar atau kemerahan adalah pinggul,
pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar atau kemerahan ini tidak dirawat dengan
baik maka akan terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.
3. Pneumonia
Klien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumoni.
4. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi
5. Depresi dan kecemasan
Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi emosional
dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan kehilangan fungsi
tubuh.

K. PENCEGAHAN
Pencegahan stroke diikuti tiga cara utama, yaitu kontrol faktor resiko, terpai
farmakologi, dan intervensi bedah. Pengetahuan dan mengendalikan faktor resiko
yang dapat dimodifikasi adalah hal utama dalam pencegahan primer dan sekunder
stroke. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi, diabetes melitus,
merokok, hiperlipidemia, konsumsi alkohol yang berlebihan, obesitas, dan aktivitas
fisik. Faktor resiko lain termasuk umur dan jenis kelamin, penyakit jantung, riwayat
stroke terdahulu, tingginya level hemoglobin dan hematokrit, tinggi fibrinogen,
penggunaan kontrasepsi oral (Biller, 2011).
Hipertensi merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi paling penting pada
stroke, meningkatkan 3-4 kali faktor resiko stroke. Penurunan tekanan darah juga
menurunkan resiko stroke pada individu dengan isolated systolic hypertension dan
pada orang usia lanjut. Pengendalian tekanan darah menghasilkan penurunan 5 mmHg
selama 2-3 tahun berhubungan dengan penurunana 40% resiko stroke (Biller, 2011).
Diabetes Melitus meningkatkan resiko iskemik serebrovaskular 2-4 kali lebih
besar dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes.Banyak orang dengan
diabetes meninggal akibat komplikasi atrosklerosis (lebih dari 80% dari semua
penderita diabetes) (Biller, 2011).
Merokok merupakan faktor resiko stroke iskemik pada laki-laki maupun
perempuan di semua umur. Dibutuhkan lebih dari lima tahun berhenti merokok untuk
menurunkan resiko stroke (Biller, 2011).
Ada korelasi positif anatara serum kolesterol dan resiko stroke iskemik. Klien
dengan TIA atau stroke iskemik dengan peninggian kolesterol, riwayat penyakit
jantung koroner, atau riwayat lesi aterosklerosis harus ditatalaksana dengan
mengunakan statin. Pada Stroke Preventionby Aggressive Reduction in Cholesterol
Levels (SPARCL), pengobatan dengan atorvastatin 80 mg per hari, menurunkan
resiko nonfatal atau stroke fatal, dan resiko stroke atau TIA jika dibandingkan dengan
plasebo (Biller, 2011).

II. KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
2. Riwayat Kesehatan Klien
 Riwayat kesehatan masa lalu: Penyakit yang pernah diderita, Riwayat alergi,
Tindakan operatif yang pernah didapat
 Riwayat kesehatan saat ini: Alasan Masuk RS, Keluhan Utama Saat Ini:
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
4. Pemeriksaan Fisik
 Sistem pernapasan:
Inspeksi : adanya lesi, bentuk dada, pernapasan klien, adanya penggunaan otot
bantu pernapasan,
Palpasi : taktil fremitus, massa
Perkusi : terdengar sonor pada paru
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, terdengar suara napas gorgling
 Sistem kardiovaskuler:
a. Jantung:
Inspeksi : tidak ada lesi ataupun jejas didada, bentuk dada, iktus
cordis, edema pada ektremitas
Palpasi : iktus kordis, irama nadi
Perkusi : terdengar dullness
Auskultasi : suara jantung S1 dan S2 reguler tunggal, tidak terdapat suara
jantung tambahan seperti mur-mur dan gallop
b. Cappillary refill time (CRT):
 Sistem persyarafan
a. Sensasi Nyeri:
Dilakukan pengkajian nyeri dengan memberikan rangsangan nyeri pada
dada
b. Reflek fisiologis:
Sulit dilakukan pengkajian reflek fisiologis dan sulit untuk dievaluasi karena
terjadi penurunan kesadaran
c. Reflek patologis:
Tidak ada kaku kuduk, tidak ada reflek laseque, tidak ada reflek kernig, tidak
ada reflek brudzinski I, tidak ada reflek brudzinski II
d. Nervus I-XII:
Klien mengalami penurunan reflek menelan yaitu nervus IX-X, sehingga klien
terpasang NGT.
e. Kekuatan otot dan tonus otot menurun
f. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami penurunan kesadaran, yaitu stupor. Klien hanya berbaring
dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila dibangunkan.
 Sistem pencernaan
Intake makanan, BAB dibantu
 Sistem Pekemihan
Terpasang atau tidak alat bantu berkemih

B. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Risiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan hipertensi (D.0017)
2. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan (D.0109)

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

RISIKO PERFUSI SEREBRAL TIDAK EFEKTIF (D.0017)


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x10 jam, diharapkan tidak terjadi
perfusi serebral tidak efektif, dengan kriteria hasil :
 Tekanan darah sistolik dari cukup memburuk (2) menjadi membaik (5)
 Tekanan darah diastolic dari cukup memburuk (2) menjadi membaik (5)
Intervensi :
MANAJEMEN PENINGKATAK TIK :
 Observasi
- Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (tekanan darah meningkat, pola
nafas ireguler, kesadaran menurun)
- Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Monitor status pernapasan
- Monitor intake dan output cairan
 Terapeutik
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yg tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Cegah terjadinya kejang
- Pertahankan suhu tubuh normal
 Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan (jika perlu)
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja (jika perlu)

PEMANTAUAN TIK :
 Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK
- Monitor peningkatan tekanan darah
- Monitor penurunan frekuensi jantung
- Monitor ireguleritas irama nafas
- Monitor penurunan kesadaran
- Monitor perlambatan atau ketidakseimbangan respon pupil
- Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
 Terapeutik
- Pertahankan posisi kepala dan leher netral
- Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
 Kolaborasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan dan informasikan hasil
pemantauan (jika perlu)

DEFISIT PERAWATAN DIRI (D.0109)


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x10 jam diharapkan perawatan diri
terpenuhi, dengan kriteria hasil :
 Kemampuan mandi dari menurun (1) menjadi meningkat (5)
 Kemampuan mengenakan pakaian dari menurun (1) menjadi meningkat (5)
 Kemampuan ke toilet dari menurun (1) menjadi meningkat (5)
Intervensi :
DUKUNGAN PERAWATAN DIRI :
 Observasi
- Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
- Monitor tingkat kemandirian
- Identifikasi kebutuhan alat bantu kerbersihan diri, berpakaian, berhias, dan
makan
 Terapeutik
- Sediakan lingkungan yg aman dan nyaman
- Siapkan keperluan pribadi
- Damping dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
- Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
- Jadwalkan rutinitas perawtana diri
 Edukasi
- Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten dan sesuai
kemampuan

DAFTAR PUSTAKA

Gofir, A. (2011). Manajemen Stroke Evidence Based Medicine. Yogyakarta: Pustaka


Cendikia Press.
Misbach, J. (2011). Stroke, Aspek Diagnostik ,Patofisiologi, Manajemen Edisi Pertama.
Jakarta: BP FK Universitas Indonesia.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Volume ke-2 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. (2017). Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Pudiastuti, R.D. (2011). Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Price, S & Wilson, L.(2011). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Caplan,LR. (2011). Caplan’s Stroke: A Clinical Approach, Fourth Edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Fitzsimmons, B.M., (2014). Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In: Brust, J.C.M.,
(ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology. New York: Mc Graw Hill.
Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. (2011). Principles of Neurology. 8nd. Ed. New
York: Mc Graw Hill.
Biller J, Love BB, Schneck MJ. (2011). Vascular diseases of the nervous system ischemic
cerebrovascular disease. Dalam (Daroff RB, et al) Bradley’s Neurology in Clinical Practice.
Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai