Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASKEP
PASIEN DENGAN STROKE

DISUSUN OLEH :

ZULKIBLI
231133112

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


TAHUN AKADEMIK 2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

, 2023
Telah di persiapkan dan disusun oleh :
Zulkibli
Nim. 231133112

Telah disetujui :
2023

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik (CI),

2
BAB I
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal yang akut
dan disebabkan oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri
dan pembuluh kapiler (Price, 2006). Stroke jenis ini merupakan sekitar 20%
dari semua stroke. Stroke jenis ini diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro
aneurisma di otak. Stroke ini dibedakan atas: perdarahan intraserebral,
subdural, dan subaraknoid (Sudoyo, 2007).
Stroke hemoragik disebabkan oleh pendarahan di otak akibat
pecahnya pembuluh darah. Stroke hemoragik dapat dibagi lagi menjadi
perdarahan intraserebral (ICH) dan perdarahan subarachnoid (SAH). ICH
mengeluarkan darah ke parenkim otak, dan SAH mengeluarkan darah ke
ruang subarachnoid. Stroke hemoragik dikaitkan dengan morbiditas yang
parah dan mortalitas yang tinggi. Perkembangan stroke hemoragik dikaitkan
dengan hasil yang lebih buruk. Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting
mengingat perdarahan yang meluas dengan cepat, menyebabkan penurunan
kesadaran secara tiba-tiba dan disfungsi neurologis (Unnithan et al, 2023)
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang
tidak terkontrol di otak.Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh
sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis
perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial,
pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi
tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya
pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak
tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma
congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dkk.,
2007).

3
Perdarahan intraserebral (ICH) merupakan stroke berat dengan angka
kematian yang tinggi (40% mortalitas). Prevalensi stroke hemoragik telah
meningkat secara global, dengan perubahan penyebab yang mendasari seiring
berjalannya waktu seiring dengan membaiknya penggunaan antikoagulan dan
pengobatan hipertensi (Gill et al, 2022).
Jadi stroke hemoragik adalah sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke
dalam jaringan otak.
Pengembangan clinical pathway stroke hemoragik berbasis 3S disusun
dengan diagnosis keperawatan antara lain bersihan jalan napas tidak efektif,
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, nyeri akut, gangguan mobilitas fisik,
dan risiko ketidakseimbangan cairan (Sukrisno et al, 2023)

B. KLASIFIKASI
Menurut Pudiastuti (2011) dan Misbach dkk., (2007) stroke hemoragik
digolongkan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Hemoragik intraserebral (perdarahan yang terjadi di dalam jaringan
otak) yaitu pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry
aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi
arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan
kongenital pada pembuluh darah otak tersebut.
2. Hemoragik subaraknoid yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang
subaraknoid atau ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan
yang menutupi otak atau pecahnya aneurysma congenital pembuluh
arteri otak di ruang subarakhnoidal.

C. ETIOLOGI
Menurut Price dan Wilson (2006) dan Muttaqin (2008), ada beberapa
penyebab stroke hemoragik yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi yang tidak terkontrol

4
2. Malformasi arteriovenosa (hubungan yang abnormal)
3. Aneurisma berry, biasanya efek kongenital
4. Aneurisma fusiformis dari arteriosklerosis
5. Aneurisma mikotik dari vaskulitis nekrose dan emboli sepsis
6. Malformasi arteriovena (AVM), terjadi hubungan persambungan
pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena
7. Ruptur arteriol serebri, akibat hipertensi yang menimbulkan
penebalan dan degenerasi pembuluh darah

D. FAKTOR RESIKO
Menurut Dharma, K.K. (2018a) faktor risiko stroke ada yang dapat
dirubah dan ada yang tidak dapat dirubah
1. Faktor yang tidak dapat dirubah
a. Merokok
b. Minum Alkohol
c. Kadar kolesterol darah yang tinggi
d. Tubuh kurang bergerak
e. Makan makanan tinggi garam dan lemak
f. Makan makanan tinggi gula
2. Faktor yang tidak dapat diubah
a. Usia lanjut

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut (Price, 2005) :
1. Infark pada Sistem Saraf Pusat
Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vaskular yang
terkena.
a. Infark total sirkulasi anterior (karotis):
- Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus
kortikospinal),
- Hemianopia (kerusakan pada radiasio optikus),

5
- Defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan),
hilangnya fungsi visuospasial (hemisfer nondominan).
b. Infark parsial sirkulasi anterior:
- Hemiplegia dan hemianopia, hanya defisit kortikal saja.
c. Infark lakunar:
- Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil
profunda menyebabkan sindrom yang karakteristik.
- Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar):
- Tanda-tanda lesi batang otak,
- Hemianopia homonim.
d. Infark medulla spinalis (Price, 2005).
2. Serangan Iskemik Transien
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara
mendadak; gejala seperti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis.TIA umumnya berlangsung selama
beberapa menit saja, jarang berjam-jam. Daerah arteri yang terkena
akan menentukan gejala yang terjadi:
a. Karotis (paling sering):
- Hemiparesis,
- Hilangnya sensasi hemisensorik,
- Disfasia,
- Kebutaan monokular (amaurosis fugax) yang
disebabkan oleh iskemia retina.
b. Vertebrobasilar:
- Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau
alternatif,
- Kebutaan mendadak bilateral (pada klien usia
lanjut),
- Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua
dari tiga gejala ini terjadi secara bersamaan (Price,
2005).

6
3. Perdarahan Subarakhnoid
Akibat iritasi meningen oleh darah, maka klien menunjukkan
gejala nyeri kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat
berat disertai fotofobia, mual, muntah, dan tanda-tanda
meningismus (kaku kuduk dan tanda Kernig).Pada perdarahan
yang lebih berat, dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan
gangguan kesadaran.Pada funduskopi dapat dilihat edema papil
dan perdarahan retina. Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai
akibat dari:
a. Efek lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan
intrakranial,
b. intraserebral yang terjadi bersamaan,
c. Spasme pembuluh darah, akibat efek iritasi darah,
bersamaan dengan iskemia.
4. Perdarahan Intraserebral Spontan
Klien datang dengan tanda-tanda neurologis fokal yang tergantung
dari lokasi perdarahan, kejang, dan gambaran peningkatan tekanan
intrakranial.Diagnosis biasanya jelas dari CT scan.

Menurut Dharma, K. K. (2018b) waspadalah terhadap gejala berikut ini


1. Wajah miring sebelah atau tidak seimbang
2. Tangan atau kaki lemah atau tidak dapat digerakkan yang terjadi
secara tiba-tiba
3. Sulit berbicara
4. Pusing yang berat
5. Penurunan kesadaran, pingsan dan tiba-tiba jatuh

F. PATOFISIOLOGIS
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subaraknoid.Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20 %

7
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan
subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2009).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna.Hal ini paling
sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak.Hipertensi
kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa degenerasi lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta
timbulnya aneurisma Charcot Bouchard.Pada kebanyakan klien,
peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya
penetrating arteri.Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat
efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya
membuat pembuluh ini pecah juga.Hal ini mengakibatkan volume
perdarahan semakin besar (Caplan, 2009).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik
akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di
dearah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala
neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis (Caplan, 2009).Perdarahan subaraknoid (PSA)
terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga
terjadi ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid.Perdarahan subaraknoid
umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan, 2009).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Biasanya, tidak ada penemuan diagnostik laboratorium pada
infark serebral. Tetapi pada semua klien, dapat dinilai dengan
pemeriksaan darah lengkap, prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), basic metabolic panel (Chem-7), kadar
gula darah, dan ezim jantung (Fitzsimmons, 2007).

8
a. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap digunakan untuk mendeteksi anemia,
leukositosis, jumlah platelet yang abnormal.Anemia mungkin
terjadi akibat adanya perdarahan gastrointestinal, dimana dapat
meningkatkan resiko trombolisis, antikoagulasi, dan kejadian
terapi antiplatelet.Anemia dapat juga berhubungan dengan
keganasan, dimana dapat menghasilkan hiperkoagulasi, atau
menghasilkan gejala neurologis sebagai hasil metastasis.Inflamasi
dan kelainan kolagen pembuluh darah, dimana menyebabkan
anemia, juga sebagai penyebab jarang dari stroke iskemik.Platelet
jurang dari 100.000/mm3 merupakan kontraindikasi pengobatan
stroke dengan intravenous recombinant tissue plasminogen
activator (IV rt-PA).
b. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
Pemeriksaan PT dan aPTT diperlukan dalam penentuan
penatalaksanaan stroke.Peningkatan yang signifikan pada PT atau
aPTT merupakan kontraindikasi absolut dalam terpai IV rt-
PA.Peningkatan PT dapat terjadi pada pengobatan menggunakan
warfarin jangka panjang, indikasi dari itu mungkin berhubungan
dengan etiologi stroke iskemik.
c. Pemeriksaan kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah sebaiknya diperiksa pada semua
klien dengan gejala stroke akut, karena keadaan hipoglikemia
kadang dapat memberikan gejala defisit neurologik fokal tanpa
iskemik serebral akut (Fitzsimmons, 2007).
d. Pemeriksaan enzim jantung
Pemeriksaan enzim jantung, seperti troponin jantung, enzim CK-
MB menilai adanya iskemik miokard.Diperkirakan 20-30% klien
dengan stroke iskemik akut memiliki riwayat gejala penyakit
jantung koroner (Fitzsimmons, 2007).
2. Pemeriksaan Radiologi

9
a. CT Scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan
stroke hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold
standar untuk menegakan diagnosis stroke (Rahmawati, 2009).
Kemajuan teknologi meningkatkan penilaian klinis pada klien
stroke, pencitraan ini dapat memperlihatkan lesi serebral dan
pembuluh darah yang terkena. CT memperlihatkan secara akurat
lokasi perdarahan kecil, darah subaraknoid, clots dan aneurisma,
kelainan bentuk arterivena, dan memperlihatkan area infark
(Adams dan Victor, 2009).
b. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) punya keuntungan dapat
memperlihatkan lesi yang dalam pada lakunar kecil di hemisfer
dan abnormalitas pada batang otak.Tetapi, keuntungan utama
memulai teknik diffusion-weighted magnetic resonance, dimana
dapat mendeteksi lesi infark dengan waktu beberapa menit setelah
stroke, lebih cepat dibandingkan CT scan dan sekuens MRI
lainnya (Adams dan Victor, 2009).
c. Angiografi
Angiografi digunakan dengan proses pencitraan digital, secara
akurat menperlihatkan stenosis dan penyumbatan pembuluh darah
intrakranial dan ekstrakranial seperti aneurisma, malformasi
pembuluh darah, dan penyakit pembuluh darah lainnya seperti
arteritis dan vasospasme (Adams dan Victor, 2009).

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan
aktivitas fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik
yang penting untuk semua pasien yang berisiko

10
aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat
untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus
diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan
perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga
terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik
pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dan studi
Nurses Health (JAMA 1999;282:1233), setiap peningkatan
konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik
sebesar 6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi
lemak omega-3 juga direkomendasikan.
b. Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan
stroke setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang
dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan
tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk
melakukan aktivitas aerobik sekitar 30-45 menit setiap hari
(Goldszmidt et al., 2011).
Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan
metabolisme karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi
kardiovaskular (jantung). Latihan juga merupakan komponen
yang berguna dalam memaksimalkan program penurunan berat
badan, meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam
menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme
(Sweetman, 2009).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara
lain: (1) mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan
mengurangi angka kematian, (2) mencegah komplikasi sekunder
yaitu disfungsi neurologi dan imobilitas permanen, (3) mencegah
stroke ulangan. Terapi yang diberikan tergantung pada jenis stroke

11
yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan berdasarkan pada
rentang waktu terapi (terapi pada fase akut dan terapi pencegahan
sekunder atau rehabilitasi).
Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama
reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan
untuk memperbaiki iskemik dengan obat-obat antitrombotik
(antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua dengan
neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak
berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and
Hess, 2008).
Berdasarkan guidelines American Stroke Association
(ASA), untuk pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua
terapi farmakologi yang direkomendasikan dengan grade A yaitu t-
PA dengan onset 3 jam dan aspirin dengan onset 48 jam (Fagan
and Hess, 2008).
 Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)
Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat
pembuluh darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin
(komponen pembekuan darah). Akan tetapi, obat ini
mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini disebabkan
kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumba
pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam
pembuluh darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika
diberikan sebelum 3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien juga
harus menjalani pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI,
jumlah trombosit, dan tidak sedang minum obat pembekuan
darah (Wiwit S., 2010).
 Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke
Association (AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi
antitrombotik digunakan sebagai terapi pencegahan stroke

12
iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun extended-
release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan
antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008).
Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol,
dipiridamol, tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk
mencegah stroke iskemik. Agen ini umumnya bekerja baik
dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 atau
meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat
membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat,
sehingga mencegah adesi dan agregasi trombosit. Belum ada
data penelitian yang merekomendasikan obat golongan
antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet
yang lebih murah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat
kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang tidak tahan
terhadap aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran
cerna yaitu mengiritasi lambung, dapat direkomendasikan
dengan penggunaan klopidogrel.
Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal
dengan penurunan resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian asetosal. Kombinasi asetosal
dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan
resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan
dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008).
 Pemberian Neuroprotektan
Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu
sebagian besar jaringan neuron dapat dipulihkan.
Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa yang
disebut sebagai strategi neuroprotektif. Cara kerja metode ini
adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja
kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron
terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia

13
berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat
jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel
neuron. Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan,
serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium
neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P.
& Lorraine M.W., 2006).
Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal
kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat
(aptiganel, gavestinel, selfotel), agonis GABA (klokmethiazol),
penghambat peroksidasi lipid (tirilazad), antibody anti-ICAM-1
(enlimobab), dan aktivator metabolik (sitikolin). Pemberian obat
golongan neuroprotektan sangat diharapkan dapat menurunkan
angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008).
 Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk
pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada
pasien dengan fibrilasi atrial dan sejarah stroke atau TIA, resiko
kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi yang
diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa Atrial
Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien
yang mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya
pernah mengalami stroke atau TIA. Pasien pada kelompok
plasebo, mengalami stroke, infark miokardium atau kematian
vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun pada kelompok
warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini
menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan
antikoagulan (Fagan & Hess, 2008).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid
setelah stroke iskemik tidak direkomendasikan karena
pemberian antikoagulan (heparin, LMWH, atau heparinoid)
secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang

14
serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan baik untuk
pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial
fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat
meningkatkan risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin
terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk
memperbaiki outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini
terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (PERDOSSI, 2007).
Adapun beberapa cara penatalaksanaan medis yang dapat
dilakukan pada klien stroke menurut Brunner dan Suddarth (2002)
adalah sebagai berikut:Diagnostik seperti ingiografi serebral, yang
berguna mencari lesi dan aneurisme.
a. Bedah syaraf (kraniotomi)
b. Obat-obatan, karena biasanya klien dalam keadaan koma,
maka obat-obatan yang diberikan yaitu :
 Kortikosteroid , gliserol, valium manitol untuk
mancegah terjadi edema dan timbulnya kejang
 Asam traneksamat 1gr/4 jam IV pelan-pelan selama
tiga minggu, serta berangsur-angsur diturunkan untuk
mencegah terjadinya Lisis bekuan darah atau
perdarahan ulang.
 Deuretik : untuk menurunkan edema serebral
 Antikoagulan : untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya trombosis atau emboli dari tempat lain
dalam sistem kardiovaskuler
 Medikasi anti trombosit : Dapat disebabkan karena
trombosit berperan penting dalam pembentukan
trombus dan embolisasi

I. KOMPLIKASI
Menurut Pudiastuti (2011) pada klien stroke yang berbaring lama dapat
terjadi masalah fisik dan emosional diantaranya:

15
1. Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan
cairan, pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri
yang mengalirkan darah ke paru.
2. Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar atau kemerahan adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar atau kemerahan ini
tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus dekubitus dan
infeksi.
3. Pneumonia
Klien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya
menimbulkan pneumoni.
4. Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi
5. Depresi dan kecemasan
Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi
emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan
dan kehilangan fungsi tubuh.

J. PENCEGAHAN
Pencegahan stroke diikuti tiga cara utama, yaitu kontrol faktor resiko,
terpai farmakologi, dan intervensi bedah. Pengetahuan dan mengendalikan
faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah hal utama dalam pencegahan
primer dan sekunder stroke. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara
lain hipertensi, diabetes melitus, merokok, hiperlipidemia, konsumsi
alkohol yang berlebihan, obesitas, dan aktivitas fisik. Faktor resiko lain
termasuk umur dan jenis kelamin, penyakit jantung, riwayat stroke
terdahulu, tingginya level hemoglobin dan hematokrit, tinggi fibrinogen,
penggunaan kontrasepsi oral (Biller, 2009).

16
Hipertensi merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi paling
penting pada stroke, meningkatkan 3-4 kali faktor resiko stroke.
Penurunan tekanan darah juga menurunkan resiko stroke pada individu
dengan isolated systolic hypertension dan pada orang usia lanjut.
Pengendalian tekanan darah menghasilkan penurunan 5 mmHg selama 2-3
tahun berhubungan dengan penurunana 40% resiko stroke (Biller, 2009).
Diabetes Melitus meningkatkan resiko iskemik serebrovaskular 2-4
kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes.Banyak
orang dengan diabetes meninggal akibat komplikasi atrosklerosis (lebih
dari 80% dari semua penderita diabetes) (Biller, 2009).
Merokok merupakan faktor resiko stroke iskemik pada laki-laki
maupun perempuan di semua umur. Dibutuhkan lebih dari lima tahun
berhenti merokok untuk menurunkan resiko stroke (Biller, 2009).
Ada korelasi positif anatara serum kolesterol dan resiko stroke
iskemik. Klien dengan TIA atau stroke iskemik dengan peninggian
kolesterol, riwayat penyakit jantung koroner, atau riwayat lesi
aterosklerosis harus ditatalaksana dengan mengunakan statin. Pada Stroke
Preventionby Aggressive Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL),
pengobatan dengan atorvastatin 80 mg per hari, menurunkan resiko
nonfatal atau stroke fatal, dan resiko stroke atau TIA jika dibandingkan
dengan plasebo (Biller, 2009).

17
BAB II WOC STROKE

Jaringan otak bergeser, Membentuk Pembuluh arteri robek Hipertensi


tertekan, terdesak suatu massa
(tekanan darah meningkat secara
signifikan)
Peningkatsn TIK, gangguan fungsi
otak

Perubahan perfusi jaringan Hemisfer kiri Hemisfer kanan Perdarahan pada batang otak

Nervus I Nervus 2 Nervus Nervus 7 Nervus 8 Nervus Nervus 5 Nervus 12


Disfagia Afasia Kelainan Mudah Hemiplagi Hemiplagi Defisit 3,4,6 9,10,11
visual frustasi kanan kiri perseptual Penurun
kanan an daya Penurunan
Kerusakan Daya Menutup
pengliha lapang
komunikasi Gangguan Kelemahan penciuman kelopak
Kelainan pandang Pendengaran Kemampuan Reflek
verbal konsep diri : fisik menurun tan mata,
visual kiri dan menelan mengunya
Harga diri Reflek fungsi
Kerusakan rendah keseimbangan menurun h menurun
Kurang Organ cahaya pengecap
menelan tubuh menurun
perawatan mobilitas Resiko menurun 2/3 lidah
diri fisik tinggi
cidera Perubahan
ukuran
Resiko tinggi Tersedak
pupil
kerusakan
Bersihan
integritas kulit Bola mata tidak dapat jalan nafas
Gangguan mengikuti perintah tidak efektif
persepsi
sensori

Gangguan nutrisi kurang 18


dari kebutuhan tubuh
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
2. Riwayat Kesehatan Klien
 Riwayat kesehatan masa lalu: Penyakit yang pernah diderita, Riwayat
alergi, Tindakan operatif yang pernah didapat
 Riwayat kesehatan saat ini: Alasan Masuk RS, Keluhan Utama Saat
Ini:
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
4. Pemeriksaan Fisik
 Sistem pernapasan:
Inspeksi : adanya lesi, bentuk dada, pernapasan klien, adanya
penggunaan otot bantu pernapasan,
Palpasi : taktil fremitus, massa
Perkusi : terdengar sonor pada paru
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, terdengar suara napas
gorgling
 Sistem kardiovaskuler:
a. Jantung:
Inspeksi : tidak ada lesi ataupun jejas didada, bentuk
dada, iktus cordis, edema pada ektremitas
Palpasi : iktus kordis, irama nadi
Perkusi : terdengar dullness
Auskultasi : suara jantung S1 dan S2 reguler tunggal, tidak
terdapat suara jantung tambahan seperti mur-mur dan gallop
b. Cappillary refill time (CRT):
 Sistem persyarafan
a. Sensasi Nyeri:

19
Dilakukan pengkajian nyeri dengan memberikan rangsangan
nyeri pada dada
b. Reflek fisiologis:
Sulit dilakukan pengkajian reflek fisiologis dan sulit untuk
dievaluasi karena terjadi penurunan kesadaran
c. Reflek patologis:
Tidak ada kaku kuduk, tidak ada reflek laseque, tidak ada reflek
kernig, tidak ada reflek brudzinski I, tidak ada reflek brudzinski II
d. Nervus I-XII:
Klien mengalami penurunan reflek menelan yaitu nervus IX-X,
sehingga klien terpasang NGT.
e. Kekuatan otot dan tonus otot menurun
f. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami penurunan kesadaran, yaitu stupor. Klien hanya
berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila
dibangunkan.
 Sistem pencernaan
Intake makanan, BAB dibantu
 Sistem Pekemihan
Terpasang atau tidak alat bantu berkemih

B. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan
serebri
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan
reflek menelan
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskular
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kesadaran

C.

20
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Tujuan(NOC) Intervensi(NIC) Rasional


Keperawatan

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan -Anjurkan klien -Dengan


perfusi jaringan b.d tindakan keperawatan dan keluarga menghindari
Peningkatan selama 3×24 jam untuk makanan yang
Tekanan Darah diharapkan masalah menghindari mengandung
dapat teratasi dengan makanan yang garam diharapkan
kriteria hasil: mengandung dapat
garam menghindari
-Tekanan darah dalam
peningkatan
batas normal
tekanan darah
-Status kenyamanan
-Dengan
meningkat
mengatur posisi
semifowler
-Kualitas tidur dan
diharapkan klien
istirahat adekuat merasa nyaman
-Dengan
-Atur posisi memberikan
klien semifowler istirahat yang
cukup diharapkan
nyeri klien
berkurang

-Berikan
istirahat yang
cukup

21
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan -Bukajalannafas, -Membuka jalan
bersihan jalan tindakan keperawatan gunakantehnik nafas klien
nafas b.d selama 3x24 jam chin lift atau jaw
penekanan saluran diharapkan masalah thrust bilaperlu.
pernafasan akibat dapat teratasi dengan
-
PTIK criteria hasil : -Untuk
Posisikanpasien
-Suara nafas yang bersih untukmemaksim memudahkan

alkanventilasi sirkulasi udara


-Tidak ada sianosis dan
dypsneu (mampu -Keluarkan
bernafas dengan mudah, secret dengan -Melancarkan
tidak ada pursed lips) suction jalan nafas klien

-Menunjukkan jalan -
nafas paten (irama nafas, Pertahankanjala
frekuensi pernafasan nnafas yang
dalam rentang normal, paten -Memantau
tidak ada suara nafas keadaan umum
-Monitor
abnormal) klien
tekanandarah,
-Tanda-tanda vital dalam nadi, suhu,
rentang normal (tekanan pernafasan
darah, nadi,pernafasan)

3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway


pola nafas b.d tindakan keperawatan Management
-Untuk
penekanan saluran selama 3×24 jam
-Buka jalan memaksimalkan
pernafasan akibat diharapkan masalah
nafas, gunakan jalan nafas bila
PTIK dapat teratasi dengan
teknik chin lift ditemukan adanya
kriteria hasil:
atau jaw thrust sumbatan
-Suara nafas yang bersih bila perlu
-Untuk membantu
-Tidak ada sainosis dan kepatenan jalan

22
dyspneu (mampu -Posisikan nafas
bernafas dengan mudah, pasien untuk
tidak ada pursed lips) memaksimalkan
ventilasi -Untuk membatu
-Menunjukkan jalan
kepatenan jalan
nafas paten (irama nafas, -Identifikasi
nafas bila proses
frekuensi pernapasan pasien perlunya
pernapasan
dalam rentang normal, pemasangan alat
fisiologi tidak
tidak ada suara nafas jalan nafas
maksimal
abnormal) buatan
-Membantu
-Tanda-tanda vital dalam
membuka jalan
rentang normal (tekanan
nafas jika
darah, nadi, pernapasan)
diketahui ada
-Pasang mayo
sumbatan
bila perlu
-Untuk membantu
mengeluarkan
sekret (kondisi
pasien yang tidak
sadar tidak dapat
-Lakukan
mengeluarkan
fisoterapi dada
sumbatan secara
bila perlu
mandiri)
-Keluarkan
-Untuk
sekret dengan
mengetahui ada
suction
tidaknya
sumbatan

-Untuk membantu
membersihkan

23
sumbatan pada
jalan nafas
-Auskultasi
suara nafas, -Untuk
catat adanya memaksimalkan
suara nafas pemberian
tambahan oksigen

Oxygen Therapy

-Bersihkan
mulut, hidung
dan trakea dari
sekret

-Atur aliran
oksigen

D. Aplikasi pemikiran kritis dalam Asuhan Keperawatan Stroke


Dampak yang dialami pasien pasca serangan stroke dapat berupa tidak
tahu bagaimana menyesuaikan diri atau beradaptasi setelah stroke, kelemahan
tangan atau kaki yang menyebabkan susah beraktifitas, kesulitan untuk
mengucapkan perkataan dengan benar sehingga pendengar harus mendengar
dengan seksama, kesulitan mengingat dan masalah psikologis lainnya seperti
sedih dan depresi (Dharma, 2018b)
Intervensi Religius Spiritual and Psycososial Coping Training (RS PCT )
terbukti efektif meningkatkan penerimaan diri dan efikasi diri pasien pasca
stroke. Intervensi ini berupa latihan menerapkan koping spiritual religius dan
koping psikososial yang diberikan pada pasien pasca stroke. Yang bertujuan

24
untuk meningkatkan penerimaan pasca stroke berupa kesulitan beraktifitas
dab berbicara agar dapat menjalani program pengobatan dan rehabilitasi
secara optimal (Dharma, 2020).
Selain itu, perubahan fisik akibat dari gejala sisa pasca Stroke
mengakibatkan penderita sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Activity
Daily Living/ADL) sehingga dapat menganggu kemandirian penderita.
Tingkat kemandirian penderita dioptimalkan menjadi tidak bergantung orang
lain melalui proses Self Management, untuk memberikan motivasi, semangat,
dan pengelolaan emosi yang baik. Penderita pasca Stroke dapat
menerapkan Self Management yang baik dengan cara beradaptasi terhadap
gejala sisa, melatih aktivitas diri dan mengontrol emosi saat beraktifitas ( Laili
& Taukhid, 2023)
Pasien stroke mengalami kerusakan sel otak berbagai masalah fisik dan
mental seperti tekanan darah, sistem pernapasan, kardiovaskular, gangguan
bahasa, masalah otot dan sendi. Salah satu aspek penting dari rehabilitasi
pasien stroke adalah mobilisasi dini. Mobilisasi dini meliputi perubahan
posisi tubuh, latihan gerakan sendi secara aktif dan pasif. Program rehabilitasi
mencakup rehabilitasi medik, sosial, vokasional melibatkan tim medis
multidisiplin termasuk dokter spesialis ahli saraf, dokter rehabilitasi medis,
perawat, fisioterapis, terapisokupasi, asisten kesehatan sosial, psikolog dan
keluarga pasien. Maksimalkan kemandirian fungsional, kemampuan pasien
untuk melanjutkan gaya hidup atau peran seperti sebelum sakit
(rehabilitasi,penyesuaian dan perubahan fungsional).Pentingnya rehabilitasi
pasien stroke dan mobilisasi dini membantu mencegah komplikasi dan
meningkatkan kemampuan fungsional pasien, tim medis multidisiplin dan
program rehabilitasi yang holistik untuk memastikan pasien stroke
mendapat perawatan terbaik (Marliana et al, 2023).

25
DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2009. Principles of Neurology. 8nd.
Ed. McGraw-Hill. New York.
Biller J, Love BB, Schneck MJ, 2009. Vascular diseases of the nervous system
ischemic cerebrovascular disease. Dalam (Daroff RB, et al) Bradley’s
Neurology in Clinical Practice. Philadelphia: Elsevier, 1003-1053.
Caplan,LR. 2009. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach, Fourth Edition.
Philadelphia, Saunders Elsevier.
Dharma, K. K. (2018a). Pemberdayaan keluarga untuk mengoptimalkan kualitas
hidup pasien paska stroke. Deepublish.
Dharma, K. K. (2018b). Adaptasi setelah stroke: menuju kualitas hidup yang
lebih baik. Deepublish.
Dharma, K. K., Parellangi, A., & Rahayu, H. (2020). Religious Spiritual and
Psycososial Coping Training (RS-PCT) Meningkatkan Penerimaan Diri dan
Efikasi Diri pada Pasien Paska Stroke. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(2),
520-533.
Fitzsimmons, B.M., 2007. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In: Brust,
J.C.M., (ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology. Mc Graw Hill.
New York.
Gil-Garcia, C. A., Flores-Alvarez, E., Cebrian-Garcia, R., Mendoza-Lopez, A. C.,
Gonzalez-Hermosillo, L. M., Garcia-Blanco, M. D., & Roldan-Valadez, E.
(2022). Essential Topics About the Imaging Diagnosis and Treatment of
Hemorrhagic Stroke: A Comprehensive Review of the 2022 AHA
Guidelines. Current problems in cardiology, 47(11), 101328.
https://doi.org/10.1016/j.cpcardiol.2022.101328
Gofir, A. 2009, Manajemen Stroke Evidence Based Medicine. Yogyakarta:Pustaka
Cendikia Press.
Laili, N., & Taukhid, M. (2023). Hubungan Self Management Dengan Tingkat
Kemandirian Activity Daily Living (Adl) Pada Penderita Pasca
Stroke. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 19(1), 70-82.

26
Marliana, L. ., Septianingrum, Y., Wijayanti, L., Sholeha, U., & Hasina, S. N.
(2023). Rehabilitasi Pasca Stroke Ditinjau dari Fungsi Motorik : A
Systematic Review. Jurnal Keperawatan, 15(2), 681–692.
https://doi.org/10.32583/keperawatan.v15i2.999
Misbach, J. 2007, Stroke, Aspek Diagnostik,Patofisiologi,Manajemen,edisi
pertama, BP FK Universitas Indonesia, Jakarta.
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC, Jakarta.
Price, S. A. dan Wilson, L. M.. 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-roses
Penyakit, Volume ke-2, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Pudiastuti, R.D. (2011). Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sukrisno, A., Nursalam, N., Efendi, F., & Zamroni, A. H. (2023). Pengembangan
Clinical Pathway Stroke Hemoragik Berbasis 3S (SDKI, SLKI,
SIKI). Journal of Telenursing (JOTING), 5(2), 2127-2134.
Unnithan, A. K. A., M Das, J., & Mehta, P. (2023). Hemorrhagic Stroke.
In StatPearls. StatPearls Publishing.

27

Anda mungkin juga menyukai