Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE HEMORAGIK
I. KONSEP DASAR MEDIS
A. DEFINISI
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global)
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vassekuler.
Stroke hemoragik adalah jenis stroke yang penyebabnya adalah
pecahnya pembuluh darah di otak atau bocornya pembulu darah otak.
Terjadi karena tekanan darah otak yang mendadak, meningkat dan
menekan pembuluh darah, sehingga pembuluh darah tersumbat. Tidak
dapat menahan tekanan tersebut. (Waloyo & Putra 2013).
B. KLASIFIKASI
Perdarahan intracranial dibedakan tempat perdarahannya, yakni rongga
subaraknoid atau di dalam parenkim otak (intaserebral). Ariani, 2013.
a. Stroke Perdarahan Intraserebral
Stroke perdarahan intraserebral adalah ekstravasasi yang berlangsung
spontan dan mendadak ke dalam parenkim otak yang bukan
disebabkan oleh trauma (non traumatis). Stroke jenis ini biasanya
disebabkan oleh faktor anatomik pembuluh darah (Arteriovenous
Malformation/AVM, microaneurisme, amyloid angiophaty, Cerebral
Venous Occlusive Disease/CVOD), faktor hemodinamik
(hipertensi), penggunaan obat terapi anti koagulan (Munir, 2015).
b. Stroke Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid (PSA) adalah ekstravasasi darah ke dalam
ruang sub arahnoid yang meliputi sistem saraf yang diisi dengan
cairan serebrospinal. Stroke jenis ini biasanya terjadi karena adanya
kelainan anatomi pembuluh darah, seperti: aneurisma saccular,
fusiform dan mikrotik, AVM, sisanya kelainan rongga arteri, karena
tumor dan lainnya (Munir, 2015).
C. ETIOLOGI
a. Stroke Perdarahan Intraserebral Penyebab utama stroke jenis ini
dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu:
1) Faktor anatomik pembuluh darah otak.
a) Arterivenous Malformation (AVM).
b) Microaneurisme.
c) Amyloid angiopathy.
d) Cerebral Venous Occlusive Disease (CVOD).
2) Faktor hemodinamik
a) Hipertensi.
3) Faktor hemostatik
a) Dengan fungsi trombosit atau sistem koagulasi darah.
b) Penggunaan terapi obat antikoagulan.
b. Stroke Subaraknoid Kelainan anatomi pembuluh darah: Aneurisma
saccular, fusiform dan mikrotik (85%), AVM (10%), sisanya
kelainan rongga arteri, karena tumor dan lainnya (Munir, 2015).
D. PATOFISIOLOGI
a. Stroke Perdarahan Intraserebral
Mekanisme yang sering terjadi adalah faktor dinamik yang
berupa peningkatan tekanan darah. Hipertensi kronis menyebabkan
pembuluh darah arteriol yang berdiameter 100-400 mikrometer
mengalami perubahan yangpatologik. Perubahan tersebut berupa
lipohyalinosis, fragmentasi, nekrosis, dan mikroaneurisma pada
arteri di otak. Kenaikan tekanan darah secara mendadak ini dapat
menginduksi pecahnya pembuluh darah. Jika pembuluh darah
tersebut pecah, maka akan menyebabkan perdarahan. Pecahnya
pembuluh darah otak mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak
dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan Transient
Iskemic Attack (TIA) yang terjadi dengan cepat dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan Intraserebral sering dijumpai di daerah pituitary glad,
thalamus, sub kartikal,lobus parietal, nucleus kaudatus, pons, dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur
dinding pembuluh darah berupa lipohyalinosisatau nekrosis fibrinoid
(Munir, 2015).
b. Stroke Subaraknoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM
(Arteriovenous Malformati). Aneurisma paling sering di dapat pada
percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willis sedangkan
AVM (Arteriovenous Malformatio) dapat dijumpai pada jaringan
otak di permukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun di dalam
ventrikel otak dan ruang subarachnoid.Aneurisma merupakan lesi
yang didapatkan karena berkaitan dengan tekanan hemodinamik
pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Prekursor awal
aneurisma adalah adanya kantong kecil melalui arteri media yang
rusak. Kerusakan ini meluas akibat tekanan hidrostatik dari aliran
darah pulsatif dan turbulensi darah, yang paling besar berada di
bifurcatio atrei. Suatu anuerisma matur memiliki sedikit lapisan
media, diganti dengan jaringan ikat, dan mempunyai lamina elastika
yang terbatas atau tidak ada sehingga mudah terjadi ruptur. Saat
aneurisma ruptur, terjadi ekstravasasi darah dengan tekanan arteri
masuk ke ruang subarachnoid dan dengan cepat menyebar melalui
cairan serebrospinal mengelilingi otak dan medulla spinalis.
Ekstravasasi darah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) global dan mengiritasi meningeal.Peningkatan TIK yang
mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina
dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat
mengakibatkan vasopasme pembuluh darah serebral. Vasopasme ini
seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai
puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5.
Timbulnya vasopasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan
yang berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam cairan
serebrospinalis dengan pembuluh darah arteri di ruang subarachnoid.
Ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika
kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan
aliran darah otak walausebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak,
(Munir, 2015).
PATWAY
Etiologi

Faktor anatomik Factor hemostatik


Factor Hemodinamik
1. Arterivenous malformation 1. Fungsi trombosit/
1. Hipertensi
system kougulasi
2. Mikroanorisme
darah.
3. Amyluid angiopathy 2. Penggunaan terapi
Pembuluh darah pecah
4. Cerebral venous acclusiva obat antikougulan
disease
perdarahan
Ektravasasi darah
Massa/ hematoma

Infark serebral Peningkatan TIK

Pendarahan subarachoid Vasopasme


pembuluh darah
Pada retina

Disfungsi otak global

Hemiplegi/hemaparesis Bicara pelo

Keterbatasan dalam pergerakan Gangguan


fisik dan ekstremitas Komunikasi Verbal
pusat penglihatan dan asosiasi
penglihatan
Gangguan Mobilitas
Fisik
Penglihatan terganggu, lapang
pandang menurun, hemi amopsia

Resiko
Cedera
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Stroke Perdarahan Intraserebral
1) Manifestasi perdarahan intraserebral bergantung pada lokasinya.
Perdarahan ganglia dengan kerusakan kapsula interna biasanya
menyebabkan hemiparesis kontralatral berat, sedangkan
perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda batang otak.
2) Ruptur intraventrikular perdarahan intraserebral dapat
menyebabkan hidrosefalus, baik melalui obstruksi aliran
ventricular dengan bekuan darah atau dengan gangguan resorpsi
LCS dari granulasiones arakhnoideae. Jika ada hidrosefalus
makin meningkatkan tekanan intrakranial
3) Nyeri kepala hebat karena hipertensi. Sakit kepala menetap.
4) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau
marah.
5) Mual atau muntah pada permulaan serangan.
6) Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
7) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65%
terjadi kurang dari ½ jam-2 jam; <2% terjadi setelah 2 jam-19
hari), biasanya pada perdarahan besar segera menimbulkan
somnolen, stupor atau koma.
Pada fase lanjut, pasien menunjukkan spasme ekstensor,
instabilitas hemodinamik, dan akhirnya, gagal napas, kesuali fosa
posterior dapat didekompresi secara operatif.
8) Perdarahan yang lebih kecil, terutama di hemisfer sereberi,
menyebabkan manifestasi fokal yang meliputi ataksia
ekstremitas, kecenderungan untuk terjatuh ke sisi lesi, dan
deviasi gaya jalan ke arah lesi.
9) Hiperemi pada wajah.
10) Pernapasan irreguler, mengorok. (Batticaca, 2008).
b. Stroke Subaraknoid
1) Nyeri kepala hebat dan mendadak. Sakit kepala terjadi
sementara.
2) Ada gejala atau tanda meningeal.
3) Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarakhnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikasi anterior ataru arteri
karotis interna.
4) Hiperemi pada wajah, tampak blefarosipasme.
5) Gangguan kesadaran yang reversible.
6) Defisit saraf kraniasalis.
7) Iritasi meningeal oleh darah subarachnoid menyebabkan kaku
kuduk.
8) Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan.
9) Stupor, deficit neurologis berat (misalnya hemiparesis),
manifestasi otonom.
c. Gangguan Khusus Setelah Serangan Stroke
1) Defisit lapang penglihatan
a) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
penglihatan): tidak menyadari orang atau objek di tempat
kehilangan, penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh,
kesulitan menilai jarak.
b) Kehilangan penglihatan perifer: kesulitan melihat pada
malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek. Digital
Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas
Jember.
c) Diplopia: penglihatan ganda. (Ariani, 2013)
2) Defist motorik
a) Hemiparesis: kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi
yang sama. Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang
berlawanan). Kelemahan separuh muka, lengan dan tungkai
pada sisi yang sama biasanya disebabkan oleh lesi di
hemisfer otak kontralateral atau batang otak bagian atas. Bila
lesinya sangat besar/luas (misalnya perdarahan intraserebral
yang luas) sehingga disertai dengan peningkatan tekanan
intracranial, dapat timbul reflex Babinski bilateral. Secara
teoritis, hemiparesis dapat mengenai medulla spinallis (sangat
jarang sekali) yang ditandai dengan fungsi mental/luhur dan
saraf otak baik, deficit sensorik berlawanan dengan
hemiparesisnya (sindrom Brown Sequard).
b) Gangguan khusus setelah stroke diantaranya afasia merujuk
pada gangguan dalam pembuatan dan pemahaman bahasa,
dan disatria yang merujuk kepada gangguan dalam kontrol
otot-otot perangkat bicara (bibir, lidah, palatum, faring)
pengucapan kata-kata menjadi sengau, cadel, atau tidak jelas.
Gangguan ini sering disebabkan lesi di hemisfer serebrum
dominan biasanya kiri.
c) Disfonia atau perubahan kualitas bicara.
d) Ataksia: berjalan tidak mantap, tegak. Tidak mampu
menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
e) Disartria: kesulitan dalam bentuk kata.
f) Disfagia: kesulitan dalam menelan.
3) Defisit verbal
a) Afasia ekspresif: tidak mampu membentuk kata yang dapat
dipahami, mungkin mapu bicara dalam respons kata tunggal.
b) Afasia resptif: tidak mampu memahami kata yang
dibicarakan, mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
c) Afasia global: kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
4) Defisit kognitif Penderita stroke akan kehilangan memori jangka
pendek dan panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan
kemampuan untuk berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, dan
perubahan penilaian.
5) Defisit emosional Penderita akan mengalami kehilangan control
diri, labilitas emosional, penurunan toleransi pda situasi yang
menimbulkan stress, depresi, menarik diri, rasa takut,
bermusuhan dan marah, serta perasaan isolasi. (Ariani, 2013).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. .Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri memperlihatkan
secara tepat letak oklusi atau rupture.
2. Skan tomografi komputer (Computer Tomography scan-CT scan).
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli
serebral, dan tekanan intrakranial (TIK). Peningkatan TIK dan cairan
yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan
subarakhnoid dan perdarahan intrakranial. Kadar protein total
meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi
(Batticaca, 2008).CT secara sensitif mendeteksi perdarahan
subarachnoid akut, tetapi semakin lama interval antara kejadian akut
dengan CT-scan, semakin mungkin temuan CT-scan negative. Jika
SAH masih masih dicurigai pada CT-scan normal, pungsi lumbal
harus dilakukan.
3. .Pungsi lumbal. Pemeriksaan ini menunjukkan terlihatnya darah atau
siderofag secara langsung pada cairan serebrospinal.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark,
perdarahan, malformasi arteriovena (MAV).
5. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran darah atau timbulnya
plak) dan arterioklerosis. Pemeriksaan sinar x kepala dapat
menunjukkan perubahan pada glandula pineal pada sisi yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis internal yang
dapat dilihat pada trombosis serebral, klasifikasi parsial pada dinding
aneurisme pada perdarahan subaraknoid.
6. Elektroensefalogram (Electroencephalogram-EEG).
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan
daerah lesi yang spesifik. g.Sinar tengkorak. Menggambarkan
perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dan
massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subarakhnoid.
7. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan gula darah: gula darah bisa meningkat karena
keadaan hiperglikemia.
b) Faktor risiko stroke hemoragik yang dapat dimodifikasi, sebagian
besar pasien memiliki hipertensi (82,30%), kadar gula darah
meningkat (63,54%), LDL meningkat (65,63%), triglserida
meningkat (64,58%), dan cholesterol otal meningkat (69,79%),
pasien dengan kadar HDL normal lebih banyak (48,96)
G. FAKTOR RESIKO
1. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi
dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh
darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah, maka timbullah
perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit, maka
aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami
kematian.
2. Diabetes melitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak
akan menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan
tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang
pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak.
3. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung berpotensi untuk
menimbulkan stroke. Faktor risiko ini akan menimbulkan
hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas
gumpalan darah atau sel-sel/jaringan yang telah mati ke dalam aliran
darah.
4. Gangguanaliran darah otak sepintas pada umumnya bentuk-bentuk
gejalanya adalah hemiparesis, disartria, kelumpuhan otot-otot mulut
atau pipi, kebutaan mendadak, hemiparestesi, dan afasia.
5. Hiperkolesterolemi Meningginya angka kolesterol dalam darah,
terutama low density lipoprotein(LDL), merupakan faktor risiko
penting untuk terjadinya arterioklerosis (menebalnya dinding
pembuluh darah yang kemudian diikuti penurunan elastisitas
pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar High
Density Lipoproterin (HDL) merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit jantung koroner.
6. Infeksi Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko
stroke adalah tuberkulosis, malaria, lues (sifilis), leptosspirosis, dan
infeksi cacing.
7. Kelainan pembuluh darah otak yang tidak normal di mana suatu saat
akan pecah dan menimbulkan perdarahan.
8. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
9. Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark
jantung.
10. Riwayat penyakit dalam keluarga Orang tua atau saudara sekandung
yang pernah mengalami stroke pada usia muda maka berisiko tinggi
terkena stroke
11. Lain-lain Peningkatan resiko terjadinya stroke pada masyarakat
kelompok ekonomi menengah ke bawah antara lain dipicu oleh pola
hidup tidak sehat, seperti merokok, tidak teratur mengkomsumsi obat
antihipertensi, dan berbagai penyakit kronis lainnya. Bisa juga
disebabkan oleh kebiasaan mengkomsumsi makanan yang tinggi
kadar garamnya, seperti ikan asin dan mi instan. Sementara pada
kelompok ekonomi menengah ke atas, emingkatnya resiko terkena
stroke terutama disebabkan oleh kebiasaan mengkomsumsi makanan
yang tinggi kadar lemak, kalori, dan kadar garamnya, seperti
makanan cepat saji yang terkategori junk food. Selain itu, penyakit
hipertensi dan kencing manis (DM tipe 2), penyakit dan kelainan
irama jantung (aritmia) yang tidak diobati secara teratur juga
meningkatkan resiko terjadinya stroke pada kelompok ekonomi
menengah ke atas.

H. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Stroke hemoragik pada serangan akut
1. Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
2. Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat di bagian
bedah saraf.
3. Penatalaksanaan umum di bagian saraf.
4. Penatalaksanaan khusus pada kasus :
a) Subarachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage,
b) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid
hemorrhage,
c) Parenchymatous hemorrhage.
5. Neurologis
a) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
b) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian
jaringan otak.
6. Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah.
a) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis
kecil.
(1) Aminocaproic acid 100-150 ml% dalam cairan isotonik 2
kali selama 3-5hari, kemudian 1 kali selama 1-3 hari.
(2) Antagonis untuk pencegahan permanen: Gordox dosis
pertama 300.000 IU kemudian 100.000 IU 4 x per hari
IV; Contrical dosis pertama 30.000 ATU, kemudian
10.000 ATU x 2 per hari selama 5-10 hari.
b) Natri etamsylate (Dynone®) 250 mg x 4 hari IV sampai 10
hari.
c) Kalsium mengandung obat; Rutinium®, Vicasolum®,
Ascorbicum®
d) Profilaksis Vasospasme
(1) Calcium-channel antagonist (Nimotop® 50 ml [10 mg per
hari IV diberikan 2mg per jam selama 10-14 hari).
(2) Profilaksis hipostatik pneumonia, emboli arteri pulmonal,
luka tekan, cairan purulen pada luka korne, kontraksi oto
dini. Lakukan perawatan respirasi, jantung,
penatalaksanaan cairan dan elektrolit, kontrol terhadap
tekanan edema jaringan otak dan peningkatan TIK,
perawatan pasien secara umum, dan penatalaksanaan
pencegahan komplikasi. (Affandi, 2016).
(3) Terapi infus, pemantauan (monitoring) AGD,
tromboembolisme arteri pulmonal, keseimbangan asam
basa, osmolaritas darah dan urine, pemeriksaan biokimia
darah.
b. Perawatan umum pasien dengan serangan stroke akut :
1. Pengaturan suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-200C.
2. Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien (EKG, nadi,
saturasi O2 PO2, PCO2).
3. Pengukuran suhu tiap dua jam.
4. Pada stroke hemoragik manajemen cairan merupakan prioritas,
sehingga pasien berada dalam status euvolemi dengan pemberian
cairan isotonik. Tidak dianjurkan menggunakan cairan hipotonik
karena dapat mencetuskan atau memperberat edema serebral
yang terjadi, dan larutan yang mengandung glukosa sebaiknya
tidak diberikan kecuali pasien berada dalam keadaan
hipoglikemik.
5. Neuroprotektor yang umum digunakan pada pasien stroke adalah
citicolin dan piracetam. Berdasarkan penelitian penggunaan
neuroprotektor memberikan luaran yang signifikan terhadap
kesadaran, fungsi kognitif, dan motorik pada pasien stroke.
Citicolin dengan dosis 2 x 250 mg maupun 2 x 500 mg
memberikan nilai GCS yang tidak jauh berbeda baik pada pasien
stroke iskemik maupun stroke hemoragik (Abdillah dkk., 2017).
c. Untuk mencegak vasospasme pada pasien stroke hemoragik
diberikan penyekat saliran kalsium: nimodipin, nicardipin, nivaldipin
yang diberikan per IV. Obat-obat tersebut jelas dapat menurunkan
defisit neurologis berat dan bekerja lebih dengan mengurangi influks
kalsium intrasel iskemik dibandingkan dengan vasodilatasi serebral

d. Terapi perdarahan intraserebral


1. Kontrol tekanan darah. Tekanan darah diturunkan bila tekanan
sistolik >180 mmHg atau tekanan diastolic >105 mmHg. Pada
fase akut tekanan darah tinggi, tekanan darah tidak boleh
diturunkan lebih dari 20%.
2. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intracranial.
a) Tindakan pengobatan pertama adalah osmoterapi, tapi tidak
boleh digunakan sebagai profilaksis. Manitol 20% 1g/kg
dalam 20 menit. Unruk mempertahankan gradient osmotic,
furosemide (10 mg dalam 2-8 jam) dapat diberikan secara
terus-menerus bersama dengan osmoterapi.
b) Pengaturan cairan.
e. ROM (Range Of Motion) Range of motion (ROM) adalah gerakan
dalam keadaan normal yang dapat dilakukan oleh sendi
bersangkutan. ROM dibedakan menjadi dua jenis, yaitu ROM aktif
(gerakan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan energi
sendiri, kekuatan otot 75%), dan ROM pasif (energi yang
dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain atau alat mekanik,
kekuatan otot 50%). Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma
dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan
mandiri,pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis
ekstremitas total.
ROM bertujuan meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas
dan kekuatan otot, dan bermanfaat untuk menentukan nilai
kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan.
Prinsip ROM diantaranya yaitu, ROM dilakukan berlahan dan hati-
hati sehingga tidak melelahkan pasien, ROM harus diulang 8 kali
dan dikerjakan minimal 2 kali sehari, perhatikan umur, diagnosa,
tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring, ROM dapat dilakukan
pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang
dicurigai mengalami proses penyakit, dan melakukan ROM harus
sesuai waktunya (misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah
di lakukan).
Hal yang perlu diperhatikan selama terapi latihan, yaitu posisi
tengkurap dan trendelenburg, kepala pasien harus dalam posisi netral
tanpa rotasi ke kiri atau ke kanan, fleksi atau ekstensi dari leher,
meminimalisasi stimulus yang berbahaya, dan berikan jarak antara
aktivitas keperawatan paling sedikit 15 menit. Pasien akan
disarankan untuk menggunakan rehabilitas medik untuk member
kemampuan kepada penderita yang telah mengalami disabilitas fisisk
dan atau penyakit kronis, agar dapat hidup atau bekerja sepenuhnya
sesuai dengan kapasitasnya. Program rehabilitasi medik yang dapat
diikuti pasien dapat berupa fisioterapi, terapi wicara, psikoterapi.
f. Pengaturan Posisi
Pengaturan posisi pasien di tempat tidur setiap dua jam untuk
memberi peluang tubuh beraktivitas secara pasif, dan
memaksimalkan pengembangan paru serta mencegah terjadinya
dekubitus, tetapi jika membalikkan tubuh pasien terlalu sering
dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan intrakranial, oleh karena
itu dilakukan perubahan posisi dalam selang waktu 2 jam.

I. KOMPLIKASI
1. Stroke Perdarahan Intraserebral
a. Intra kranial: herniasi, TIK meningkat, kejang.
b. Ekstra kranial: dekubitus, sepsis
2. Stroke Subarakno
a. Hydrocephalus.
b. Perdarahan berulang.
c. Vasospasme.
d. Defisit neurologis.
e. Disfungsi hypothalamic mengakibatkan iskemia miokard atau
gangguan tekanan darah yang stabil.
f. Hiponatremia. (Munir, 2015)
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Umur. Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering
dijumpai pada populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun,
risikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun.
b. Jenis kelamin. Dari seluruh subjek penderita stroke, proporsi
terbanyak adalah laki-laki (51,95%) namun tidak jauh berbeda
dengan jenis kelamin perempuan (48,1%).
c. Pekerjaan Beberapa ahli menyebutkan bahwa stroke cenderung
diderita oleh golongan dengan sosial ekonomi yang tinggi karena
berhubungan dengan pola hidup, pola makan, istirahat dan
aktivitas.
2. Keluhan utama Keluhan utama ini seringkali yang menjadi alasan
klien untuk datang meminta pertolongan rumah sakit. Pasien akan
mengeluh kelemahan anggota gerak, badan, bicara agak pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat Penyakit Sekarang Setelah melakukan aktivitas, tiba-tiba
terjadi keluhan neurologis misalnya sakit kepala dan penurunan
kesadaran Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas, biasanya
terjadi nyeri kepala, mual muntah bahkan kejang sampai pasien tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan seluruh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai dengan perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
4. Riwayat Penyakit Dahulu Perlu dilakukan adanya pengkajian DM,
hipertensi, dan kelainan jantung (disritmia) karena hal ini
berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh darah otak
menjadi menurun Selain itu tanyakan apakah pasien pernah
mengalami trauma kepala atau tidak Tanyakan juga tentang
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif. Pengkajian obat-obatan yang sering digunakan pasien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alcohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pegkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga Adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetis maupun tidak. Seperti riwayat hipertensi,
penyakit jantung atau DM.
6. Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan Berkaitan dengan
fungsi peran yang tergambar dari penyesuaian atau pencerminan
diri yang tidak adekuat terhadap peran baru setelah stroke serta
masih menerapkan pola tidak sehat yang dapat memicu serangan
stroke berulang. Pengkajian perilaku adaptasi interdependen pada
pasien paska stroke antara lain identifikasi sistem dukungan
sosial pasien baik dari keluarga, teman, maupun masyarakat.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme Pasien stroke sering mengalami
disfagia yang menyebabkan gangguan intake dan pola nutisi.
Respons adaptasi tidak efektif yang sering ditunjukkan pasien
antara lain mual, muntah, penurunan asupan nutrisi dan
perubahan pola nutrisi. Stimulus fokal yang sering menyebabkan
respons adaptasi tidak efektif pada pola nutrisi pasien stroke
yaitu disfagia dan penurunan kemampuan mencerna makanan.
Stimulus konstekstual yaitu kelumpuhan saraf kranial, faktor usia
dan kurangnyapengetahuan tentang cara pemberian makanan
pada pasien stroke yang mengalami disfagia. Stimulus residual
yaitu faktor budaya serta pemahaman pasien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi bagi tubuh.
c. Pola Eliminasi Pengkajian eliminasi meliputi BAB dan BAK,
konsistensi feses, jumlah dan warna urin, inkontinensia urin,
inkontinensia bowel, dan konstipasi. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik steril.
Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
d. Pola Aktivitas dan Latihan Sulit beraktivitas, kehilangan sensasi
penglihatan, gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran.
e. Pola Tidur dan Istirahat Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri
atau kejang otot).
f. Pola Hubungan dan Peran Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi
akibat gangguan bicara.
g. Pola Persepsi Dan Konsep Diri Konsep diri merupakan
pandangan individu tentang dirinya yang terbentuk dari persepsi
internal dan persepsi berdasarkan reaksi orang lain terhadap
dirinya. Konsep diri terbagai menjadi dua aspek yaitu fisik diri
dan personal diri. Fisik diri adalah pandangan individu tentang
kondisi fisiknya yang meliputi atribut fisik, fungsi tubuh, seksual,
status sehat dan sakit, dan gambaran diri. Personal diri adalah
pandangan individu tentang karakteristik diri, ekspresi, nilai yang
meliputi konsistensi diri, ideal diri, dan moral etika spiritual diri.
h. Pola Sensori dan Kognitif Sinkop atau pingsan, vertigo, sakit
kepala, penglihatan berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik
kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama.
i. Pola Reproduksi Seksual Biasanya terjadi penurunan gairah.
j. Pola Penanggulangan Stress Dalam hubungannya dengan
kejadian stroke, keadaan stress dapat memproduksi hormone
kortisol dan adrenalin yang berkonstribusi pada proses
aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon tadi
meningkat jumlah trombosit dan produksi kolestrol. Kortisol dan
adrenalin juga dapat merusak sel yang melapisi arteri, sehingga
lebih mudah bagi jaringan lemak untuk tertimbun di dalam
dinding arteri.
k. Pola Tata Niai dan Kepercayaan Klien biasanya jarang
melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil,
kelemahan atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
B. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing), tidak mampu menelan karena batuk kelemahan
melindungi jalan nafas, timbulnya pernafasan yang sulit dan/atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi.
2. B2 (Blood), riwayat penyakit jantung, polisitemia, hipertensi arterial,
disritmia (perubahan EKG), Pulsasi (kemungkinan bervariasi). Pada
kulit jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu juga
perlu di kaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami mobilitas fisik.
3. B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran: pada tingkat lanjut, tingkat kesadaran pasien
stroke berkisar antara tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Apabila pasien sudah mengalami koma, maka penilaian GCS
sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
(Abdillah dkk, 2017 ).
b. Status mental: tingkat kesadaran, kesesuaian respons, orientasi
terhadap waktu dan tempat. Koma biasanya menandai stadium
perdarahan, gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis,
menyerang), dan gagguan fungsi kognitif. Penderita sulit
memutuskan pikiran, tampak lebih banyak mengantuk serta
apatis (Affandi dan Panggabean, 2016)
c. Fungsi intelektual: kemampuan memori dan berpendapat
menurun, gangguan pada otak kiri menyebabkan gangguan
memori bahasa, pasien sangat berhati-hati dalam membuat
keputusan. Sedangkan gangguan pada otak kanan, lebih
cenderung implusif dan bergerak cepat.
d. Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika kerusakan telah terjasi dalam lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Masalah psikologis lain juga umum terjadi
dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerja sama
e. Saraf kranialis.
1) Saraf kranialis I (Olfaktorius): seorang normal biasanya dapat
mencium bau di masing-masing sisi dan sering dapat
menjelaskannya.
2) Saraf kranialis II (Optikus): pasien mengeluh gangguan
penglihatan parsial, dan pemeriksaan kedua mata
memperlihatkan defek, lapang pandang, atau kelainan pada
penglihatan perifer, misalnya hemianopsia homonym.
3) Saraf kranialis III (Okulomotorius): meliputi gerak ptosis,
pupil dengan gerakan bola mata ke atas, kontriksi pupil, dan
sebagian besar gerakan ekstra ocular. Ukuran pupil pada
kedua mata umumnya sama (isokor). Bila tidak sama
(anisokor), dimana salah satu mata miosis atau medriasis,
bisa disebabkan oleh paralisis N. III. Reflek pupil terdiri dari
reaksi cahaya langsung dan tidak langsung. Pada
pemeriksaan ini, pasien melihat jauh dengan cara memfiksasi
pada benda yang jauh letaknya. Kemudian mata pasien diberi
cahaya (senter) dan dilihat apakah ada reaksi pada
pupil.kerusakan akan menyebabkan otosis dilatasi pupil. Pada
keadaan normal, bila seseorang melihat ke depan, batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama
secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata
atas memotong iris lebih rendah daripada mata yang lain,
atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang/ke atas
(untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata
secara kronik pula.
4) Saraf kranialis IV (Troklearis): meliputi gerakan mata ke
bawah dan ke dalam, stimulus konvergen dan diplopia.
5) Saraf kranial V (Trigeminus): mempunyai tiga bagian sensori
yang mengontrol sensori pada wajah dan kornea serta bagian
motorik mengontrol otot mengunyah.Winking-jaw reflex
dapat terjadi pada pasien stroke. Mandibular bergerak ke sisi
berlawanan bilsa salah satu mata ditutup atau korne diraba
dengan kapas (reflek korneo-mandibukar). Syarat tes ini
adalah otot-otot mandibular harus dalam keadaan relaksasi.
Pengamat harus teliti karena gerakan madibula sangat cepat
dan pendek. Reflek yang positif menunjukkan adanya lesi
supranuklear (jaras kortikobulbar) pada sisi kornesa yang
disentuh. Reflek korneabulbar ini tidak selalu ada pada lesi
jaras kortikobulbar, tetapi paling baik dilihat pada stadium
akut (±1 minggu) setelah serangan hemiplegia (pada
hemiplegia kronik atau orang normal reflek negatif).
6) Saraf kranialis VI (Abdusens): mengontrol pendengaran dan
keseimbangan. kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan ke bawah dan ke samping
7) Saraf kranialis VII (Fasialis): pemeriksaan dilakukan saat
pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien
diam diperhatikan asimetris wajah, mengontrol ekspresi dan
simetris wajah. Kerusakan akan menyebabkan asimetris
wajah dan poresis. Juga menjelaskan,otot wajah tertarik pada
bagian sisi yang sehat.
8) Saraf kranialis VIII (vestibulokoklearis): tes saraf
menyebabkan tinitus atau kurang pendengaran atau ketulian.
9) Saraf kranialis IX dan X (Glosofaringeus dan Vagus):
kesulitan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
10) Saraf kranialis XI (Aksesoris): kekuatan otot trapezius dan
sternokleidomastoid, kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan mengangkat bahu.
f. Saraf kranialis XII (Hiplogosus): fungsi motorik lidah, kerusakan
akan menyebabkan ketidakmampuan menjulurkan dan
menggerakkan lidah.
g. Sistem motorik UMN (Upper Motor Neuron) terdiri dari traktus
pyramidal akan menghilangkan transmisi semua stimulus
gerakan volunter dari korteks motorik ke sel kornu anterior,
sehingga mengakibatkan paralisis otot-otot yang dipersarafi oleh
sel-sel ini. Bila terjadi secara mendadak, interupsi ini akan
menyebabkan supresi reflek regang otot sehingga paralisis yang
terjadi pada mulanya adalah flaksid (sampai reflek tersebut
kembali pulih). Lesi kecil di kapsula interna dapat menyebabkan
interupsi serabut-serabut pyramidal yang dapat menyebabkan
kelumpuhan spastic otot-otot tubuh kontralateral. Sedangkan lesi
di korona radiata denagn ukuran yang relatif sama biasanya
hanya menyebabkan paralisis otot sebagian (hanya pada lengan
atau tungkai). Kerusakan traktus pyramidal di bawah dekukasio
akan menyebabkan hemiplegia yang ipsilateral. Adapun bentuk
kelemahan tipe UMN meliputi: hemiparesis (disebabkan oleh lesi
kortikospinalis unlateral), crossed hemiparesis/hemiparesis
alternans, double hemiparesis(disebabkan oleh lesi
kortikospinalis bilateral), paresis (disebabkan oleh lesi medulla
sspinalis bilateral), brown sequard syndrome/kelemahan satu sisi
tubuh (disebabkan oleh lesi separuh medulla spinalis).
h. Sistem sensorik: kehilangan sensor pada sisi kolateral pada
ekstremitas dan pada muka ipsilateral.
4. B4 (Baldder): inkontinensia, anuria, distesi abdomen (kandung
kemih sangat penuh), tidak adanya suara usus (ileus paralitik).
5. B5 (Bowel), nafsu makan hilang, nausea/vomitus menandakan
adanya peningkatan tekanan intrakranial, kehilangan sensasi lidah,
pipi, tenggorokan, disfagia, riwayat DM, peningkatan lemak dalam
darah.
6. B6 (Bone): kelemahan atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh,
hemiparestesi, kesemutan/kebas, perubahan tonus otot (flaksid atau
spastic), paralisis (hemiplegia), kelemahan umum.
C. Pemeriksaan pada penderita koma.
1. Gerakan penduler tungkai Pasien tetap duduk di tepi tempat tidur
dengan tungkai tergantung, kemudian kaki diangkat ke depan dan
dilepas. Pada waktu dilepas akan ada gerakan penduler yang maikn
lama makin kecil dan biasanya berhenti 6 atau 7 gerakan. Beda pada
rigiditas ekstrapiramidal akan ada pengurangan waktu, tetapi tidak
teratur atau tersendat-sendat.
2. Menjatuhkan tangan Tangan pasien diangkat kemudian dijatuhkan.
Pada kenaikan tonus (hipertoni) terdapat penundaan jatuhnya lengan
ke bawah. Sementara pada hipotomisitas jatuhnya cepat.
3. Tes menjatuhkan kepala Pasien berbaring tanpa bantal, pasien dalam
keadaan relaksasi, mata terpejam. Tangan pemeriksa yang satu
dilektakkan di bawah kepala pasien, tangan yang lain mengangkat
kepala dan menjatuhkan kepala lambat. Pada kaku kuduk (nuchal
rigidity) karena iritasi meningeal terdapat hambatan dan nyeri pada
fleksi leher. (Ariani, 2013).
D. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaftif intracranial b.d edema Serebral d.d tingkat
kesadaran menurun.
2. Resiko Perfusi serebral tidak efektif d.d embolisme
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular d.d fisik
lemah
4. Gangguan komunikasi Verbal b.d penurunan sirkulasi serebral d.d
tidak mampu berbicara
5. Resiko Cedera d.d hipoksia jaringan.
E. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


NO
(SDKI) (SLKI) (SIKI)

1. Penurunan kapasitas Setelah dilakukan Manajemen peningkatan


adaptif intracranial b.d tindakan keperawatan tekanan intracranial (I.
edema Serebral d.d selama ….x24 jam 06194)
tingkat kesadaran kapasitas adaptif
Observasi
menurun intracranial meningkat.
Dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK (mis.
1. Tingkat
Penyebab : Lesi, gangguan
kesadaran
metabolism, edema
1. Edema serebral meningkat
serebral)
(mis. Akibat 2. Fungsi kognitif
2. Monitor tanda/gejala
cedera kepala meningkat
peningkatan TIK (mis.
[hematoma 3. Sakit kepala
Tekanan darah
epidural, menurun
meningkat, tekanan
hematoma 4. Bradikardia
nadi melebar,
subdural, menurun
bradikardia, pola
hematoma 5. Gelisah menurun
napas ireguler,
subarachnoid, 6. Agitasi menurun
kesadaran menurun)
hematoma 7. Muntah menurun
3. Monitor status
intraserebral], 8. Postur deserebrasi
pernapasan
stroke iskemik, (ekstensi) meurun
4. Monitor intake dan
stroke hemoragik, 9. Papiledema
output cairan
hipoksia, menurun
5. Monitor cairan
ensefalopati 10. Tekanan darah
serebro-spinalis ( mis.
iskemik, membaik
pascaoperasi) 11. Tekanan nadi
Warna, konsistensi)
Gejala dan tanda mayor membaik
12. Pola napas Terapeutik
Subjektif
membaik
Sakit kepala 13. Respon pupil 1. Minimalkan stimulus
membaik dengan menyediakan
Objektif
14. Reflex neurologis lingkungan yang
1. Tekanan darah tenang
membaik
meningkat 2. Berikan posisi semi
15. Tekanan
dengan tekanan fowler
intracranial
nadi ( pulse 3. Hindari maneuver
membaik
pressure ) valsava
melebar 4. Cegah terjadinya
2. Bradikardia kejang
3. Pola napas 5. Hindari pemberian
ireguler cairan IV hipotonik
4. Tingkat 6. Atur ventilator agar
kesadaran PaCO2 optimal
menurun 7. Pertahankan suhu
5. Respon pupil tubuh normal
melambat atau
tidak sama Kolaborasi
6. Refleks
1. Kolaborasi pemberian
neurologis
sedasi dan anti
terganggu
konvulsan, jika perlu
Gejala dan tanda minor
2. Kolaborasi pemberian
Subjektif diuretic osmosis, jika
perlu
( tidak tersedia )

Objektif

1. Gelisah
2. Agitasi
3. Muntah (tanpa
disertai mual)
4. Tampak
lesu/lemah
5. Fungsi kognitif
terganggu
6. Tekanan
intracranial (TIK)
≥ 20 mmHg
7. Papiledema
8. Postur
deserebrasi
(ektensi)

2. Risiko perfusi jaringan Setelah dilakukan Pemantauan Neurologis


serebral tidak efektif tindakan kperawatan I.06197
d.d embolisme selama ...x 24 jam Definisi : mengumpulkan
Faktor Risiko : diharapkan Status dn menganalisa data untuk
Neurologis membaik. . mencegah atau
1. Embolisme
Dengan kriteria hasil : meminimalkan komplikasi
2. Hipertensi
neurologis.
1. Tingkat kesadaran
Meningkat Tindakan :

2. Reaksi pupil Observasi


Meningkat
1. Monitor ukuran,
3. Orientasi kognitif bentuk, kesimetrian,
Meningkat reaktifitas pupil
4. Status kognitif 2. Monitor tingkat
Meningkat kesadaran (mis:
5. Kontrol motorik menggunakan skala

pusat Meningkat koma Glasgow)

6. Fungsi sensorik 3. Monitor tingkat


orientasi
kranial Meningkat
7. Fungsi sensorik 4. Monitor tanda- tanda
spinal Meningkat vital

8. Fungsi motorik 5. Monitor status


pernapasan: Analisa
Kranial Meningkat
Gas Darah, oksimetris
9. Fungsi motorik
nadi, kedalaman napas,
spinal Meningkat
pola napas dan usaha
10. Fungsi otonom
napas
Meningkat 6. Monitor parameter
11. Komunikasi hemodinamika invasive,
Meningkat jika perlu
12. Sakit kepala 7. Monitor refleks kornea
Menurun 8. Monitor kesemetrian
13. Frekuensi Kejang wajah

Menurun 9. Monitor gangguan


visual : diplopia,
14. Hipertermia
nistagmus, pemotongan
Menurun
bidang visual,
15. Diaforesis Menurun
penglihatan kabur dan
16. Pucat Menurun
ketajaman peglihatan.
17. Kongesti 10. Monitor keluhan
konjungtiva sakit kepala
Menurun 11. Monitor
18. Kongesti nasal karakteristik bicara:
Menurun kelancaran, kehadiran

19. Parastesial afasia, atau kesulitan

Menurun mencari kata,


12. Monitor parestesi
20. Sensasi logam
(mati rasa dan
dimulut Menurun
kesemutan
21. Sindrom horner
13. Monitor respon
Menurun
cushing
22. Pandangan kabur Terapeutik
Menurun 1. Tingkatkan frekuensi
23. Penile erection pemantauan neurologis,
Menurun jika perlu

24. Tekanan darah 2. Hindari aktivitas yang


dapat meningkatkan
sistlik Membaik
tekanan intracranial
25. Frekuensi nadi
3. Atur interval waktu
Membaik
pemantauan sesuai
26. Ukuran pupil
dengan kondisi pasien
Membaik 4. Dokumentasi hasil
27. Gerakan mata pemantauan
Membaik Edukasi
28. Pola napas 1. Jelaskan tujuan dan
Membaik prosedur pemantauan
29. Pola istrahat tidur 2. Informasikan hasil
Membaik pemantauan, jika perlu

30. Frekuensi napas


Membaik
31. Refleks pilomotorik
Membaik
3. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi ( I.
fisik b.d gangguan tindakan kperawatan 06171)

neuromuskular d.d selama ...x 24 jam Definisi :


fisik lemah diharapkan Mobilitas
Fisik Meningkat dengan Memfasilitasi pasien untuk
kriteria hasil : meningkatkan aktivitas
berpindah.
Penyebab : 1. Pergerakan
ekstremitas Tindakan
1. Gangguan neuro
muskular Meningkat Observasi :
Gejala dan Tanda 2. Kekuatan otot
1. Identifikasi adanya
Mayor : Meningkat
nyeri atau keluhan fisik
3. Rentang gerak
Subjektif : lainnya
(ROM) Meningkat
2. Identifikasi toleransi
1. Mengeluh sulit 4. Nyeri Menurun
menggerakkan 5. Kecemasan Menurun fisik melakukan
ekstremitas 6. Kaku sendi Menurun ambulasi
Objektif : 7. Gerakan tidak 3. Monitor frekuensi
1. Kekuatan otot terkoordinasi jantung dan tekanan
menurun Menurun darah sebelum memulai
2. Rentang gerak ROM 8. Gerakan terbatas ambulasi
menurun Menurun 4. Monitir kondisi umum
9. Kelemahan fisik selama melakukan
Menurun ambulasi
Gejala dan Tanda
Minor :
Terepeutik :
Subjektif : 1. Fasilitas aktivitas

1. Nyeri saat bergerak ambulasi dengan alat

2. Enggan melakukan bantu (mis. Tongkat,

pergerakan kruk)

3. Merasa cemas saat 2. Fasilitas melakukan

bergerak mobilisasi fisik, jika

Objektif : perlu

1. Sendi kaku 3. Libatkan keluarga

2. Gerakan tidak untuk membantu pasien

terkoordinasi dalam meningkatkan

3. Gerakan terbatas ambulasi

4. Fisik lemah

Edukasi :

1. Jelaskan tujuan dan


prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
3. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
Berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)
1. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan Promosi komunikasi :
verbal b.d penurunan tindakan kperawatan Defisit Bicara ( I.13492)

sirkulasi serebral d.d selama ...x 24 jam Definis :Menggunakan


tidak mampu diharapkan Komunikasi teknik komnikasi tambahan
Verbal Meningkat dengan
berbicara pada individu dengan
kriteria hasil :
gangguan bicara
Penyebab :
1. Kemampuan
Tindakan
1. Penurunan berbicara Meningkat
sirkulasi serebral 2. Kemampuan Observasi :
mendengar 1. Monitor kecepatan,
Meningkat
Gejala dan Tanda tekanan, kuantitas,
3. Kesesuaian ekspresi volume, dan diksi
Mayor
wajah/tubuh bicara
Subjektif Meningkat 2. Monitor proses
4. Kontak mata kognitif, anatomis, dan
(tidak tersedia)
Meningkat fisiologis yang
5. Afasia Menurun berkaitan dengan bicara
6. Disfasia Menurun (mis. Monitor proses
Objektif
7. Apraksia Menurun kognitif, anatomis, dan
1. Tidak mampu 8. Displeksia Menurun fisiologis yang
berbicara dan 9. Disatria Menurun berkaitan dengan bicara
mendengar 10. Afonia Menurun (mis. Memori,
2. Menunjukkan 11. Dislalia Menurun pendengaran, dan
12. Pelo Menurun bahasa)
respon tidak sesuai
13. Gagap Menurun 3. Monitor frustasi,
14. Respon perilaku marah, depresi, atau hal
Gejala dan Tanda Membaik lain yang menggangu
Minor 15. Pemahaman
Subjektif komunikasi Membaik bicara
4. Identifikasi perilaku
(tidak tersedia)
emosianal dan fisik
sebagai bentuk
komunikasi
Objektif

1. Afasia Terapeutik :
2. Disfasia
1. Gunakan metode
3. Disleksia
komunikasi alternatif
4. Disatria
(mis. Menulis, mata
5. Afonia
berkedip, papan
6. Dislalia komunikasi dengan
7. Pelo gambar dan huruf,
8. Gagap isyrat tangan, dan
9. Tidak ada kontak komputer)
mata 2. Sesuaikan gaya

10. Sulit memahami komunikasi dengan

komunikasi kebutuhan (mis. Berdiri


di depan pasien,
11. Sulit
mendengarkan dengan
mempertahankan
saksama, tunjukan satu
komunikasi
gagasan atau pemikiran
12. Sulit menggunakan
sekaligus, bicaralah
ekspresi wajah atau dengan perlahan sambil
tubuh menghindari teriakan,
13. Tidak mampu gunakan komunikasi
menggunakan tertulis, atau meminta
ekspresi wajah atau bantuan keluarga utnuk

tubuh memahami ucapan


pasien)
14. Sulit menyusun
3. Modifikasi lingkungan
kalimat
untuk meminimalkan
15. Verbalisasi tidak
bantuan
tepat 4. Ulangi apa yang
16. Sulit disampaikan pasien

mengungkapkan 5. Berikan dukungan


psikologis
kata-kata
6. Gunkan juru bicara,
17. Disorientasi orang,
jika perlu
ruang, waktu
18. Deficit penglihatan
19. Delusi Edukasi :

1. Anjurkan berbicara
perlahan
2. Ajarkan pasien dan
keluarga proses
kognitif, anatomis, dan
fisiologis yang
berhubungan dengan
kemampuan bicara

Kolaborasi :

Rujuk keahli patologi


bicara atau terapis
2. Risiko cedera d.d Setelah dilakukan Pencegahan cedera
hipoksia jaringan tindakan keperawatan ( I.14537)
selama ….x24 jam tingkat
Faktor resiko : Observasi
cedera menurun. Dengan
kriteria hasil : 1. Identeifikasi area
1. Hipoksia jaringan lingkungan yang
1. Toleransi
berpotensi
aktivitas
menyebabkan cedera
meningkat
2. Identifikasi obat yang
2. Toleransi
berpotensi
makanan
menyebabkan cedera
meningkat
3. Identifikasi kesesuaian
3. Kejadian cedera
menurun alas kaki atau stoking
4. Luka/lecet elastis pada ekstremitas
menurun bawah
5. Ketegangan otot Terapeutik
menurun
1. Sediakan pencahayaan
6. Fraktur menurun
yang memadai
7. Perdarahan
2. Gunakan lampu tidur
menurun
selama jam tidur
8. Ekspresi wajah
3. Gunakan alas lantai
kesakitan
jika berisiko
menurun
mengalami ceder
9. Agitasi menurun
serius
10. Iritabilitas
4. Sediakan pispot atau
menurun
urinal untuk eliminasi
11. Gangguan
di tempat tidur, jika
mobilitas
perlu
menurun
5. Pastikan bel panggilan
12. Gangguan
atau telepon mudah
kognitif menurun
dijangkau
13. Tekaan darah
6. Pertahankan posisi
membaik
tempat tidur di posisi
14. Frekuensi nadi
terendah saat
membaik
digunakan
15. Frekuensi napas
7. Pastikan roda tempat
membaik
tidur atau kursi roda
16. Pola
dalam kondisi terkunci
istirahat/tidur
8. Gunakan pengaman
membaik
tempat tidur sesuai
17. Nafsu makan
dengan kebijakan
membaik
fasilitas pelayanan
kesehatan
9. Diskusikan mengenai
latihan dan terapi fisik
yang diperlukan
10. Diskusikan mengenai
alat bantu mobilitas
yang sesuai (mis.
Tongkat atau alat
bantu jalan)
11. Diskusikan bersama
anggota keluarga yang
dapat mendampingi
pasien
12. Tingkatkan frekuensi
observasi dan
pengawasan pasien,
sesuai kebutuhan
Edukasi

1. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
2. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
dan duduk selama
beberapa menit
sebelum berdiri
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, R., A. Kusnandar, dan Anggadireja. 2017. Dampak Terapi Sitikolin,


Sosiodemografi Dan Komordibitas Terhadap Nilai GCS Pasien Stroke
Di RSUP dr. M Djamil Padang. Jurnal Sains Dan Teknologi Farmasi.
19(1): 92
Affandi, I. G., dan R. Panggabean. 2016. Pengelolaan Tekanan Tinggi
Intrakranial Pada Stroke. CDK-238/ vol.43 no.3, Th.2016 . 43(3): 182.
Ariani, T. A., 2013. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika.
Batticaca, F. B., 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Juwono, T, 2014. Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktik. Edisi 2. Jakarta:
EGC
Munir, B. 2015. Neurologi Dasar. 1 ed. Jakarta: CV Sagung
Perdana, W. H. 2017. Asuhan Keperawatan Ny. S Di Ruang Teratai RSUD
Banyumas. Skripsi. Purwokerto: Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperwatan Indonesia: Definisi Dan Indikator
Diagnosis, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Kperawatan Indonesia: Definisi Dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarata: DPP PPNI
Waluyo, S. & Putra, B. M., 2013. Cek Kesehatan Anda (Khusus Untuk Pria Usia
50 Tahun). Jakarta: PT. Flex Media K.
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA

A. Konsep Dasar Hemodialisa

1. Definsi
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi
kedalam tubuh pasien, (Baradero, Dayrit dan siswadi, 2009 dalam Amali, 2018).
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah
dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser (Hudak dan Gallo 1996
dalam Wijaya dan Putri, 2013).
2. Tujuan

1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam


urat
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan.
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, (Wijaya dan
Putri, 2013).
3. Prinsip Hemodialisis
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu
dialisis dan ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi
zat terlarut dari satu larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran
semipermiabel. Molekul-molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul
rendah dalam kedua larutan dapat melewati poripori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier
membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin
uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi)
a. Difusi
Dihubungkan dengan pergeseran partikel-partikel dari daerah konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan oleh perbedaan
konsentrasi zat-zat terlarut dikedua sisi membran dialysis, difusi menyebabkan
pergeseran urea, kreatinin dan asam urat dari darah klien ke larutan dialisat
b. Osmosa
Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari daerah
yang kadar partikel-partikel rendah ke daerah yang kadar partikel lebih tinggi.
c. Ultrafiltrasi
Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permeabel dampak dari
bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan. Proses ultrafiltrasi ini
terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
Hemo = darah Dialisis = memisahkan dari yang lain, (Wijaya dan Putri, 2013).
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
a) Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan
tekanan yang melewati membran.
b) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan
(ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan
tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil
dibandingkonsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari
“A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran, akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

4. Indikasi
Adapun indikasi untuk pasien yang dapat melakukan terapi cuci
darah/hemodialisis ini antara lain :
1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus <5 ml)

2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat


indikasi:

a Hiperkalemia (K+ darah >6 meq/l)


b Asidosis
c Kegagalan terapi konservatif
d Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam (ureum >200 mg%, kreatinin serum >
6 mEq/l
e Kelebihan cairan
f Mual dan muntah hebat
3) Intoksikasi obat dan zat kimia
4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
5) Sindrom hepatorenal dengan criteria :
a. K+ pH darah <7,10 asidosis
b. Oliguria/anuria > 5 hr
c. GFR < 5 ml/I pada GGK
d. Ureum darah > 200 mg/dl
5. Kotraindikasi
1) Hipertensi berat (TD >200 / 100 mmHg)
2) Hipotensi (TD < 100 mmHg)
3) Adanya perdarahan hebat
4) Demam tinggi, (Wijaya dan Putri.2013).
6. Akses Sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati,
2017).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart,
2011). Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum
berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh
darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007 dalam Hermawati, 2017).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri
atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai
tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008 dalam
Hermawati, 2017).
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu
pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik
hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang
besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2-5 jam sangatlah sulit. Biasannya pada
pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran
darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu
harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena. Ada 2 macam
cara :
a. Pintas (shunt) eksternal Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri
langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan
dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula
arteri dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan
kanula vena untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita.
Komplikasi yang sering terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh
karena itu pemakaian pintas ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya,
paling lama 6 bulan. Hal ini jarang dilakukan lagi.

b. Fistula Arteriovenisa Interna Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali


dibuat oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan
arteri dan vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan
pada daerah tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat
sehingga menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara
perlahan-lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh
darah sesuai dengan yang diharapkan.

c. Antikoagulan Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan


agar tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin.
Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :

a) Heparinisasi sistemik Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil.


Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak
diberikan lagi.
b) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikAN
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal
buatan dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah
masuk kedalam tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi
ekstrakorporeal saja
c) Heparinisasi minimal Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan
karena penderita cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
7. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010 dalam Pratiwi, 2014).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013 dalam Pratiwi, 2014)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab
1. Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi
anafilaksis
2. Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak
adekuat
3. Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
4. Aritmia
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
5. Kram Otot Udara memasuki sirkuit darah
6. Emboli Udara Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
7. Dialysis disequilibirium menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu
cepat
8. Masalah pada dialisat Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,
gejala neurologi, aritmia
Demam, mengigil, hipotensi oleh karena
9. Kontaminasi Fluoride kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air

10. Kontaminasi bakteri/ endotoksin

b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber & Himmelfarb,
2013).
8. Penatalaksanaan
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012 dalam Hermawati, 2017).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar
tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan predictor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2
gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.
Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120
mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium
akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006 dalam Hermawati, 2017).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui
ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,
antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efektoksik
akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010 dalam Hermawati,
2017).

9. Peralatan Hemodialisa
1) Dialiser (Dialyzer)

Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen


darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe
membrane yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor
ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya
membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
a. Fungsi :
a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam
urat.
b) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus
darah dan tekanan negative (penghisap) dalam kompartemen dialisat
(proses ultrafiltrasi).
c) Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, (Haryono,
2012).
b. Karakteristik Dialiser
Banyak aspek dari dialiser dapat mempengaruhi efektivitas tindakan
hemodialisis, kenyamanan dan keamanan pasien. Hal ini termasuk
Biokompatibiliti (seberapa cocok membran dengan tubuh manusia), luas
permukaan membran, batas berat molekul (ukuran solut yang dapat melewati
membrane). Koefisien ultrafiltrasi dan klirens (kecepatan keluarnya solut),
(Cahyaningsih,2008).
2) Dialisat atau cairan dialisis
a. Tujuan Dialisat
Dialisat adalah cairan yang membantu mengeluarkan sampah uremik
seperti ureum dan kreatinin dan kelebihan elektrolit seperti sodium dan kalium,
dari dalam darah pasien. Dialisat juga dapat mengganti substansi yang dibutuhkan
tubuh seperti kalsium dan bikarbonat yang membantu menjaga keseimbangan pH
tubuh.
b Komposisi dialisat
Ada dua konsentrat dialisat : acid dan bikarbonat
a) Konsentrat acid mempunyai jumlah yang diinginkan dari sodium chloride,
calcium chloride, magnesium chloride, calcium chloride, glucose
chloride, dan asam asetat. Asam asetat ini ditambahkan untuk menurunkan
pH dialisat.
b) Konsentrat bikarbonat mempunyai kandungan sodium bikarbonat,
(Cahyaningsih, 2008).

Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat
harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh
pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, tetapi dapat
dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
Sistem pemberian dialisat. Unit pemberian tunggal memberikan dialisat
untuk satu pasien : system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk
20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan
alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat air.
(Haryono, 2012).
3) Asesoris peralatan
Peranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan
tekanan, udara, dan kebocoran darah. (Haryono, 2012 : 96).

10. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisis

1) Tahap persiapan
a. Mesin sudah siap pakai
b. Alat lengkap (set HD)
a) Dialyzer
b) Av blood line
c) Av vistula
d) Cairan dialisat pekat
e) Infuse set
f) Spuit 1 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc
g) Kassa steril
h) Hanschoen steril
i) Pinset, dock, klem steril
j) Gunting dan plester
c. Obat-obatan
a) Lidocain
b) Alcohol
c) Betadin
d) Heparin
e) Kalmetason
f) Anti histamine & Nacl 0,9%
d. ADM
a) informed consent
b) Formulir hemodialisis dan travelling dialysis
2) Tahap pelaksanaan
a. Penjelasan pada klien dan keluarga
b. Timbang berat badan
c. Atur posisi, observasi TTV
d. Siapkan sirkulasi mesin
e. Persiapkan tindakan steril pada daerah punksi
f. Lakukan penurunan vena (out let dan in let) dengan AV fistula fiksasi
kemudian tutup dengan kasa steril
g. Berikan bolus heparin dosis awal, Heparin 5000 Ui encerkan 1 cc menjadi
10 cc dengan NaCl
h. Memulai HD:
a) Hubungkan sirkulasi mesin dengan klien
b) Jalankan pompa darah dengan 26 ± 100 ml/’ sampai sirkulasi darah
terisi semua
c) Cairan priming ditampung Ukur jumlahnya.
d) Hubungkan selang-selang untuk semua monitor
e) Pompa heparin dijalankan
f) Catat keluhan dan masalah sebelum hemodialisis
3) Tahap penghentian
a. Siapkan alat yang dibutuhkan
b. Ukur TTV
c. 5 menit pre hemodialisis berakhir 26 diturunkan sekitar 100 cc/l, UFR:0
d. Blood pump stop
e. Ujung ABL di klem, jarum dicabut, bekas tusukan intel ditekan dengan
kassa steril yang diberi betadin.
f. Hubungkan dengan ujung ABL dengan infuse set
g. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan didorong NaCL 0,9% (±
50.100 cc)
h. Setelah outlet dicabut, bekas punksi outlet dengan kassa steril + betadin
i. Ukur TTV
j. Timbang berat badan, (Wijaya dan Putri, 2013).
11. Dosis dan adekuasi
Kecukupan dialysis ditentukan berdasarkan kriteria klinis dan atas dasar
formula Kxt/V, seperti yang direkomendasikan oleh KDOQL, K adalah Kliren
urea dari dialiser, t adalah lama dialysis dan V adalah volume distribusi urea
(Rocco et al., 2015).
Dosis Hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi
dialysis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan
protein dan makanan, derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya komorbid.
Kecukupan (Adequacy) dialysis menjadi target dosis dialysis saat ini dipakai juga
URR (%Urea Reduction Rate) atau besarnya penurunan ureum dalam persen.
URR = 100% x (1-(ureum sebelum/ ureum sesudah dialysis)). Pada hemodialisis
yang dilakukan 3 kali seminggu dianjurkan target URR setiap kali hemodialisa
adalah diatas 65%.
Untuk setiap sesi dialysis, status fisiologis pasien harus dinilai sehingga
resep dialysis dapat disejajarkan dengan tujuan setiap terapinya (Sari, 2017).
1. Menghitung Adekuasi Hemodialisis
a. Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea
predialisis dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang
dapat dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara
paling sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak
dapat dipakai untuk merencanakan dosis hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan
waktu dan V merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter.K adalah
klearensi dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis
dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih dari 1,2 saat evaluasi menandakan
bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi metode pilihan untuk
mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat menunjukkan
penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan
bisa dipakai untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal
residual.5,20. Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang
dipakai adalah model single-pool urea kinetik. Cara ini merupakan
penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum (MKU), dimana Kt
merupakan jumlah bersihan ureadari plasma dan V merupakan volume
distribusidari urea. K dalam satuan L/menit,diperhitungkan dari KoA dializer
serta kecepatan aliran darah dan kecepatan alirandialisat, t adalah waktu tindakan
HD dalam satuan me nit, sedangkan V dalam satuanliter. Rumus yang dianjurkan
oleh NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakanoleh Daugirdas.

Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x


UF/W

Dimana :
a. Ln adalah logaritma natural.
b. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
c. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:

Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)

Dimana :
a. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
b. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
c. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
d. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah
lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu.
Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan
menaikkan Kt/V menjadi 1,4.Hemodialisis 2 kali seminggu hanya dilakukan
untuk sementara dan hanya untuk penderita yang masih mempunyai klirensia
> 5 ml/menit.

b. Rumus-rumus sebelumnya :

1. Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)

2. Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)

3. Kt/V =BUN sebelum HD – BUN sesudahHD (Barth, 1988)


BUN mid
4. Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas,
1989)

5. Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan,


1989)

6. Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas,


1990)

7. Kt/V = 0,023PRU-0,28 (Basile,1990)

8. Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)

PRU=Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x


100/BUNsebelum HD
c. Rasio Reduksi Urea (RRU).
Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur
RRU. Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :

RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)

Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum


hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
AHD. Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor
terbaik untuk mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens
yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD.
NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkanbahwa penderita yang menerima RRU ³60% memiliki
mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.
d. Cara alternatif untuk menilai AHD.
a) Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-
DOQI karena dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan
kesalahan terhadap MKU yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari
Jindal hanya akurat untuk Kt/V=0,9-1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile
hanya akurat untuk Kt/V= 0,6 sampai 1,3.
b) Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar
baku pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150
liter tidak praktis.
c) Waktu tindakan HD.
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen
dari Kt/V ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang
lebih besar dari urea diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dimana hal ini akan mengurangi komplikasi
kardiovaskuler. Meskipun data penunjang secara klinis belum lengkap, lama HD
yang dianjurkan minimal adalah 2,5jam.

d) Urea removal indek (URI).


Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk
mengukurAHD, dan masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam
penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis
hemodialisis, independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan
hemodialisis, klirens dari molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan
lebih baik. Selain itu juga akan mengakibatkan terjadinya intravaskuler euvolemia
yang lebih baik dan dapat mengurangi komplikasi kardiovaskuler.Hemodialisis
dianggap adekuat, jika :
1. Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
2. Pelaksanaan secara rutin
3. Kualitas hidup baik
4. Parameter :

Kt/v: 0,7 – 1,2


URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)

a. Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :


1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)

3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam
atau HD 2 kali per mingguselama 4 hingga 5 jam

4. Kt/v URR setiap bulan

b. Untuk peritoneal dialisis :

1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu

3. Target Creatinin Clearance 60L per minggu padahigh average.


Sedangkan pada low average50L per minggu

c. Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:

1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu


setelah dialisis.
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang
tiap 2 bulan pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :

a. Volume urine menurun tajam


b. Overload cairan
c. Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

e). Mengukur KT/V yang Diberikan


Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD
yangakan dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang
ditentukan untuk Kt/V =1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau
setara dengan RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
1. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan.
a. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.

b. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.

c. Resirkulasi.

d. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang


direncanakan.
e. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.

f. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.

2. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.


a. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnyapengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.

b. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.

c. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.

Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang


bisa diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan
nilai KoAtinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk
wanita.Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat
tidak akanmengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal.Di beberapa tempat
dimana pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan
pemakaian dialyzer ini.Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan
dialisis asetat, pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek
samping.Terlepas dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada
pasien besar, terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan
>45 liter. Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA
rendah, walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11
Dializer KoA tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam).
Kecepatan aliran darah yang tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak
akan memberikan dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan
durasi dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi
tidak selalumenjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang
lebih besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan
aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer
besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang
lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih
mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer
KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.

Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD


yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.
2. Penggunaan 2 Dializer Paralel Atau Seri Meningkatkan AHD.
Terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas penderita HD reguler
padasaat ini masih menjadi masalah.Dari penelitian dilaporkan bahwa salah satu
penyebabmortalitas yang tinggi dan tidak produktifnya penderita tersebut karena
tindakan HDyang tidak adekuat. Seperti pada penelitian Ifudu dkk mendapatkan
bahwa dosishemodialisis standard pada penderita dengan berat badan lebih dari
68,2 kg tidakmendapatkan hasil yang adekuat. Penelitian Wolfe dkk mengenai
luas permukaantubuh, dosis HD dan mortalitas mendapatkan luas permukaan
tubuh berhubungandengan mortalitas serta berkorelasi langsung dengan dosis HD.
Menyatakan bahwadosis HD yang diberikan merupakan keadaan individual.
Penelitian Kuhlmannmelaporkan bahwa penderita dengan volume distribusi urea
>42,0 liter atau luaspermukaan tubuh >2,0 m2 merupakan pasien yang
mempunyai risiko dosis hemodialysis yang tidak adekuat. Penelitian Salahudeen
dkk pada penderita HD berat badan lebihmendapatkan hasil Kt/V lebih rendah dan
berpengaruh negatif terhadap survival.Penelitian Elangovan dkk melaporkan
bahwa walaupun menggunakan dializer yangluas, kec epatan aliran darah dan
aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80kg atau volume distribusi urea
>46 liter tidak satupun yang mencapai Kt/V 1,45 setaradengan RRU >70%,
penelitian tersebut menganjurkan perlu terobosan HD pada penderita berat badan
besar.
Oleh karena hal tersebut berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan
AHD.Telah diketahui bahwa untuk meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan
memperlama waktu dialisis, meningkatkan kecepatan aliran darah dan atau aliran
dialisat,meningkatkan luas permukaan membran dializer dengan memakai dializer
KoA tinggi.
Akhir-akhir ini meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan meningkatkan
luas permukaan membran dializer dengan memakai memakai 2 dializer yang
dihubungkan secara paralel atau secara seri.
Ari dalam penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan 2 coil dializer
secara seri dapat mempersingkat lama waktu HD.
Nolph dkk penelitiannya menggunakan 2 dializer paralel mendapatkan
total klearens berat molekul rendah (ureum) yang menurun, menyimpulkan
terdapatnya efikasi dialisis.
Sridhar dkk penelitian pada penderita berat badan ³95 kg membandingkan
penggunaan 2 dializer paralel dan dializer tunggal melaporkan 2 dializer paralel
dapat meningkatkan Kt/V.
Powers dkk menggunakan 2 dializer dihubungkan secara paralel pada
penderita dengan berat badan besar mendapatkan RRU meningkat bermakna.
Denninson menggunakan 2 dializer yang dihubungkan secara seri untuk
meningkatkan AHD mendapatkan perbaikan RRU dari 52% menjadi 64%, dan
menyimpulkan bahwa 2 dializer seri tersebut dapat meningkatkan RRU 23 %.
Fritz dkk membandingkan 2 dializer yang dihubungkan secara paralel dan 2
dializer yang dihubungkan secara seri mendapatkan bahwa Kt/V dan RRU dari
penderita tersebut tidak mempunyak perbedaan yang bermakna dan juga
melaporkan 83% penderta mendapatkan target adekuasi hemodialisis dari 2
dializer yangdihubungkan secara paralel ataupun 2 dializer yang dihubungkan
secara seri.
Pada penelitian lainnya dikatakan tidak ada perbedaan 2 dializer seri dan 2
dializer paralel, tetapi 2 dializer seri mempunyai keuntungan lebih praktis dan
mudah dalam pelaksanaanya. Gerhartd dkk. Penelitiannya membandingkan 2
dializer paralel dan 2 dializer seri, pada 167 penderita masing-masing 112
penderita menggunakan 2 dializer paralel dan 55 penderita menggunakan 2
dializer seri menyimpulkan bahwa efektifitas kedua alat tersebut hampir sama,
tetapi hubungan seri lebih mempunyai keuntungan praktis.

12. Durasi Hemodialisis


Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu, tiap
hemodialisa dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa
idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan memerlukan QB 200-300
mL/menit. Sedangkan merurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3-5
jam dan dilakukuan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2-3 hari diantara
hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa, (Nuari dan Widyati, 2017)
13. Asupan Nutrisi pada pasien Hemodialisis
Ketika ginjal tidak dapat bekerja dengan baik, sampah-sampah sisa hasil
metabolisme dari apa yang dimakan dan diminum akan menumpuk dalam tubuh
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini mengapa diet khusus penting
dipatuhi pasien.
Tujuan terapi diet dan intervensi nutrisi pada pasien hemodialisa yaitu
untuk mencapai dan menjaga status nutrisi yang baik. Maka dari itu, sangat
penting dilakukan pendidikan tentang prinsip-prinsip terapi diet dan targetnya.
(Cahyaningsih, 2011)
Tabel 2 : Kebutuhan Nutrisi Pasien dengan Hemodialisa
Kebutuhan Nutrisi Jumlah
Asupan Protein 1,2 g/kg BB/hari, bila secara klinis
pasien stabil (setidaknya 50% dari
diet protein dengan nilai biologi
tinggi).
Asupan energy 35 kcal/kg BB/hari dengan umur <60
tahun, 30-35 kcal/kg BB/hari dengan
≥ 60 tahun

Lemak 30% dari total intake energi

Natrium 750-2000 mg/hari

Kalium 70-80 mEq/L

Fosfor 10-17 mg/kg/hari

Calcium ≤ 1000 mg/hari

Magnesium 200-300 mg/hari

Vitamin B1 1,1 – 1,2 mg/hari

Vitamin B2 1,1 – 1,3 mg/hari

Vitamin B5 5 mg/hari

Biotin 30 μg/hari

Niacin 14-16 mg/hari

Vitamin B6 10 mg/hari

Vitamin B12 2,4 μg/hari


Vitamin C 75-90 mg/hari

Asam Folat 1-10 mg/hari

Sumber : Nutritional management ogf renal disease (2004) dalam Cahyaningsih


(2011)

B. Konsep keperawatan

1. Pengkajian
1) Biodata
a. Nama :
b. Umur : Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun
c. Jenis Kelamin :
d. Pekerjaan :
e. Agama :
f. Alamat :
g. Pendidikan :
2) Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya mengeluh
mual, muntah, anorexia, akibat peningkatan ureum darah dan edema akibat
retensi natrium dan cairan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai
penyebab terjadinya GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penggunakan analgesik
yang lama atau menerus.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu ditanyakan apakah orang tua atau kelauarga lain ada yang menderita
GGK erat kaitannya dengan penyakitketurunannya seperti GGK akibat
DM.
3) Kebutuhan Yang Terganggu
a. Makan/ minum
Biasanya terjadi penurunan nafsu makan sehubungan dengan keluhan
mual muntah akibat peningkatan ureum dalam darah.
b. Eliminasi
Biasanya terjadi ganggutian pengeluaran urine seperti oliguri, anuria,
disuria, dan sebagainya akibat kegagalan ginjal melakukan fungsi filtrasi,
reabsorsi dan sekresi.
c. Aktivitas
Pasien mengalami kelemahan otot, kehilangan tonus dan penurunan gerak
sebagai akibat dari penimbunan ureum dan zat-zat toksik lainnya dalam
jaringan.
d. Istrahat/ tidur
Pasien biasanya mengalami gangguan pola istrahat tidur akibat keluhan-
keluhan sehubungan dengan peningkatan ureum dan zat-zat toksik seperti
mual, muntah, sakit kepala, kram otot dan sebagainya.

4) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : lemah dan penurunan tingkat kesadaran akibat terjadinya
uremia

b. Vital sign : biasanya terjadi hipertensi akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivitas sistim rennin

c. BB : Biasanya meningkat akibat oedema

d. Inspeksi

a) Tingkat kesadaran pasien biasanya menurun


b) Biasanya timbul pruritus akibat penimbunan zat-zat toksik pada kulit

c) Oedema pada tangki, acites, sebagai akibat retensi caira dan natrium
e. Auskultasi

Perlu dilakukan untuk mengetahui edema pulmonary akibat penumpukan


cairan dirongga pleura dan kemungkinan gangguan jantung (perikarditis)
akibat iritasi pada lapisa pericardial oleh toksik uremik serta pada tingkat
yang lebih tinggi dapat terjadi gagal jantung kongestif.
f. Palpasi
Untuk memastikan oedema pada tungkai dan acietas.
g. Perkusi
Untuk memastikan hasil auskultasi apakah terjadi oedema pulmonar yang
apabila terjadi oedema pulmonary maka akan terdengar redup pada
perkusi.
5) Data psikologis
Pasien biasanya mengalami kecemasan akibat perubahan body image,
perubahan peran baik dikeluarga maupun dimasyarakat. Pasien juga biasanya
merasa sudah tidak berharga lagi karena perubahan peran dan ketergantungan
pada orang lain.

6) Data sosial
Pasien biasanya mengalami penurunan aktivitas sosial akibat penurunan
kondisi kesehatan dan larangan untuk melakukan aktivitas yang berat.
7) Data Penunjang
a. Rontgen foto dan USG yang akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan
atropik
b. Laboratorium :
a) BUN dan kreatinin, terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dalam
darah
b) Elektrolit dalam darah : terjadi peningkatan kadar kalium dan
penurunan kalium.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan
2. Resiko ketidak seimbangan elektrolit dibuktikan dengan faktor resiko
disfungsi ginjal
3. Resiko infeksi dibuktikan dengan Efek Prosedur invasif
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mengabsorbsi
nutrien
5. Resiko Gangguan Integritas Kulit dibuktikan dengan Faktor resiko
kelebihan volume cairan
6. Ansietas Berhubungan dengan Ancaman terhadap kematian
3. Intervensi Kepeawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan (SLKI) Intervensi Keperawatan(SIKI)
(SDKI)
1. Hipervolemia berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Menejemen cairan
kelebihan asupan cairan keperawatan diharapkan Observasi
Dibuktikan den keseimbangan cairan meningkat 1. Monitor status hidrasi
dengan kriteria hasil (mis, frekuensi nadi,
1. Asupan cairan meningkat kekuatan nadi, akral,
2. Output urin meningkat pengisian kapiler,
3. Membran mukosa lembab kelembapan mukosa,
meningkat turgor kulit, tekanan
4. Asupan makana meningkat darah)
5. Edema menurun 2. Monitor berat badan
6. Dehidrasi menurun harian
7. Asites menurun 3. Monitor berat badan
8. Konfusi menurun sebelum dan sesudah
9. Tekana darah membaik dialisis
10. Frekuensi Nadi membaik 4. Monitor pemeriksaan
11. Kekuatan nadi membaik laboratorium (mis,
12. Tekanan arteri rata – rata hematokrit, Na, K,CL, berat
membaik jenis urine, BUN)
13. Mata cekung membaik 5. Monitor status
14. Turgor kuli membaik hemidinamik (mis,
15. Berat badan membaik MAP,CVP, PAP, PCWP, jika
tersedia)
Terapeutik
1. Catat intake out – put
2. Berikan asupan cairan
sesuai kebuthan
3. Berikan cairan intravena
jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
deuretik, jika perlu

Setelah dilakukan intervensi


keperawatan diharapkan
Keseimbangan elektrolit
meningkat dengan kriteria hasil Manajemen Elektrolit
2. Resiko ketidak seimbangan Elektrolit 1. Serum natrium meningkat Observasi
Di buktikan dengan Faktor Resiko 2. Serum kalium meningkat 1. Identifikasi tanda dan
disfungsi ginjal 3. Sereum Clorida meningkat gejala ketidak seimbangan
kada elektolit
2. Identifikasi penyebab
ketidak seimbangan
elektrolit
Terapeutik
1. Berikan diet yang tepat
(mis, tinggi kalium, atau
rendah natrium)
2. Pasang akses intravena,
jika perlu
Edukasi
1. Jelaskan jenis, penyebab
dan penanganan ketidak
seimbangan elektrolit
Kolaborasi
1. Koaborasi pemberian
suplemen elektrolit (mis,
oral, NGT, IV), sesuai
indikasi
3 Resiko infeksi dibuktikan dengan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan infeksi
Faktor Risiko Efek prosedur invasif keperawatan diharapkan tingkat Observasi
infeksi menurun 1. Monitor tanda dan gejala
Dengan kriteria hasil infeksi lokal dan sistemik
1. Deman menurun Terapeutik
2. Kemerahan menurun 1. Batasi jumlah pengunjung
3. Nyeri menurun 2. Berikan perawatan kulit
4. Bengkak menurun pada area edema
5. Kadar sel darah putih 3. Cuci tangan sebelum dan
membaik sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
4. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
5. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

Manajemen nutrisi
Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
Defisit Nutrisi berhubungan 2. Identifikasi alergi dan
4 denganKetidak mampuan Setelah dilakukan intervensi intoleransi makanan
mengabsorbsi nutrien di buktikan keperawatan status nutrisi 3. Identifikasi makanan yang
dengan membaik dengan kriteria hasil disukai
Gejala dan tanda mayor 1. Porsi makan yang dihabiskan 4. Identifikasi kebutuhan
Subjektif (tidak tersedia) meningkat’ kalori dan jenis nutrien
Objektif 2. Berat badan membaik 5. Identifikasi perlunya
1. Berat badan menurun minimal 3. IMT membaik selang nasogastrik
10% dibawah rentang ideal 4. Frekuensi makan membaik 6. Monitor asupan makan
Gejala dan tanda minior 7. Monitor berat badan
Subjektif 8. Monitor hasil pemeriksaan
1. Cepat kenyang setelah makan laboratorium
2. Kram / nyeri abdomen Terapeutik
3. Nafsu makan menurun 1. Lakukan oral hygiene
Objektif sebelum makan jika perlu
1. Bising usus hiperaktif 2. Fasilitasi menentukan
2. Otot penguyah lemah pedoman diet (misa,
3. Otot menelan lemah piramida makan)
4. Membran mukosa pucat 3. Sajikan makanan secara
5. Sariawan menarik dan suhu yang
6. Serum albumin turun sesuai
7. Rambut rontok berlebihan 4. Berikan makanan tinggi
8. Diare serat untuk mencegah
konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian
makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika
perlu
2. Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemebrian
medikasi sebelum makan
(mis, pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika
perlu

5 Resiko Gangguan Integritas Kulit Setelah dilakukan asuhan Perawatan integritas kulit
dibuktikan dengan keperawatan diharapkan Observasi
Faktor Risiko Kekurangan / kelebihan integritas kulitmeningkat dengan 1. Identifikasi penyebab
volume cairan kriteria hasil gangguan integritas kulit
1. Elastisitas meningkat (mis. Perubahan sirkulasi,
2. Hidrasi meningkat perubahan status nutrisi,
3. Kerusakan lapisan kulit penurunan kelembaban,
menurun suhu lingkungan ekstrim,
4. Kemerahan menurun penurunan mobilitas)
5. Hematoma menurun Terapeutik
6. Pigmentasi abdormal 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika
menurun tirah baring
7. Nekrosis menurun 2. Lakukan pemijatan pada
8. Suhu kulit membaik area penonjolan tulang,
9. Sensai mebaik jika perlu
10. Tekstur membaik 3. Bersihkan parineal denga
air hangat, terutama
selama periode diare
4. Gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak
pada kulit kering
5. Gunakan produk berbahan
ringan/ alami dan
hipoalergik pada kulit
sensitif
6. Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
1. Anjurkan mengunakan
pelembab (Mis. Lotion,
serum)
2. Anjurkan minum air yang
cukup
3. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
5. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
6. Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal 30
saat berada di luar rumah
7. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya.
6 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Reduksi ansietas
Ancaman terhadap kematian keperawatan diharapkan tingkat Observasi
Dibuktikan dengan ansietas menurun dengan 1. Identifikasi saat tingkat
Gejala dan tanda mayor kriteria hasil ansietas berubah (mis.
Subjektif 1. Verbalisasi kebingungan Kondisi, waktu, stresor)
1. Merasa bingung menurun 2. Identifikasi kemampuan
2. Merasa khawatir dengan akibat 2. Verbalisasi khawatir akibat mengambil keputusan
3. Sulit berkontraksi kindisi yang dihadapi 3. Monitor tanda- tanda
Objektif menurun ansietas (verbal dan
1. Tampak gelisah 3. Perilaku gelisah menurun nonverbal)
2. Tampak tegang 4. Perilaku tegang menurun Terapeutik
3. Sulit tidur 5. Keluhan pusing menurun 1. Ciptakan suasan terapeutik
Gejala dan tanda minor 6. Anorekisa menurun untuk menumbuhkan
Subjektif 7. Palpitasi menurun kepercayaan
1. Mengeluh pusing 8. Diaforesis menurun 2. Temani pasien untuk
2. Anoreksia 9. Tremor menurun mengurangi kecemasan,
3. Palpitasi 10. Pucat menurun jika memungkinkan
4. Merasa tidak berdaya 11. Konsentrasi membaik 3. Pahami situasi yang
Objektif 12. Pola tidur membaik membuat ansietas
1. Frekuensi nafas meningkat 13. Frekuensi pernapasan 4. Dengarkan dengan penuh
2. Frekuensi nadi meningkat membaik perhatian
3. Tekanan darah meningkat 14. Frekuensi nadi membaik 5. Gunakan pendekatan yang
4. Diaforesis 15. Tekanan darah membaik tenang dan meyakinkan
5. Tremor 16. Kontak mata membaik 6. Tempatkan barang pribadi
6. Muka tampak pucat 17. Pola berkemih mebaik yang memberikan
7. Suara bergetar 18. Orientasi membaik kenyamanan
8. Kontak mata buruk 7. Motivasi mengidentifikasi
9. Sering berkemih situasi yang memacu
10. Berorientasi pada masa lalu kecemasan
8. Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang
Edukasi
1. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untik
tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif , sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan mengungkpkan
perasaan dan persepsi
6. Latihan kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
7. Latihan penggunaan
mekanisme pertahanan
diri yang tepat
8. Latih tekhnik relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
obat anti ansietas, jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA

Amali. 2018. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Menjalani


Terapi Hemodialisa Pada Pasien Chronic Kidney Disease (Ckd) Di
Ruangan Hemodialisa Di Rsud Dr. M.M Dunda Limboto.
Universitas Muhammadiyah Gorontalo
Cahyaningsih. 2008. Hemodialisis (Cuci darah) Panduan Praktis Perawatan Gagal
Ginjal. Yogyakarta : Mitra Cendekia
Haryono. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan. Yogyakarta :
Rapha Publishing
Hermawati. 2017. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self
Care dan Status Cairan Pada Pasein yang Menjalani Hemodialisa
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi I. Jakarta : DPP PPNI
Pratiwi. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi Pasien
GagalGinjal Kronik dengan Hemodialisa di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. STIKES’ Aisyah Yogyakarta
Wijaya, dan Putri. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai