LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN subarachnoid
hemorrhage (SAH)
(Disusun untuk memenuhi tugas)
2
1.1 KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Perdarahan subarakhnoid (PSA) atau subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah salah
satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang
subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu jenis patologi stroke yang
sering dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia
sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan; lebih sering dijumpai pada
perempuan dengan rasio 3 : 2 (Steyopranoto, 2012).
Pendarahan subarakhnoid merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen
yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya aneurisma sakuler
yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang utamanya berada
didaerah “Circle of Willis” (Ganesen, 2016).
B. Etiologi
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah aneurisma
serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa (sekitar 5-10%)
(Steyopranoto, 2012).
1. Aneurisma
Aneurisma merupakan area lemah di dinding arteri serebral yang menonjol seperti
balon. Tonjolan dapat meregang dan menyebabkan dinding pembuluh darah serebral
menjadi semakin menipis sehingga terjadi ruptur. Adanya cedera, infeksi atau
kecenderungan yang diwariskan dapat memulai aneurisma yang berkembang secara
diam-diam dari waktu ke waktu. Ada dua tipe dari aneurisma, yaitu aneurisma sakular
(berry) dan aneurisma fusiformis.
3
a. Aneurisma Sakular
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri
serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan
menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada
arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan
paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).
b. Aneurisma Fusiformis
C. Faktor Risiko
Faktor resiko stroke adalah kondisi atau penyakit atau kelainan yang terdapat pada
seseorang yang memiliki potensi untuk memudahkan orang mengalami serangan stroke
pada suatu saat. Fartor resiko PSA secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor
resiko yang tidak dapat dikendalikan atau dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat
dikendalikan (Setyopranoto, 2012). Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah
riwayat keluarga pendarahan subrarakhnoid atau aneurisma, riwayat pernah menderita
perdarahan subarakhnoid, penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau
penyakit jaringan ikat (sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan dan Pseudoxanthoma
Elasticum). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, konsumsi
alkohol, perokok (masih atau riwayat), body mass index rendah, bekerja keras terlalu
ekstrim pada 2 jam sebelum onset, konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya (Ganesen,
2016).
5
D. Patofisiologi
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama.
Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi
posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans
anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam
sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri
basilar ke arterie otak posterior.
E. Manifestasi Klinis
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2. Hilangnya kesadaran
3. Fotofobia dan meningismus
4. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak tadi,
sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian
sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi
dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya
perdarahan yang hebat.
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang
dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-
50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu,
aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai
berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital,
atau nyeri kepala yang terlokalisasi.
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan
penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri
karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis internus
didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat
menimbulkan sindrom sinus kavernosus.
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan
fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis
okulomotorius.
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan.
Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom
subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat
bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan
koma. Sementara itu, reflek Babinski positif bilateral.
7
Gangguan tingkat kesadaran yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi
pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak
muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya
hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas
emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior.
Disfungsi nervi kranial dapat terjadi sebagai akibat dari : a) kompresi langsung oleh
aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c)
meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan
nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat
patognomik untuk PSA.
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar,
atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme.
Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan
secara ekstra-aksial.
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA.
Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willis
yang terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu
atau lebih lama lagi.
(Perdossi, 2011).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya
tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya
mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi akan
turun pada 1 minggu setelah serangan.
2. Lumbal Pungsi
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya
adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung
diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat
pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan
kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit,
terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.
8
3. Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi
aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif
serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh
pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma
multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama.
Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk
melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak.
(Setyopranoto, 2012).
G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pertama pada PSA adalah identifikasi sumber pendarahan
dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravaskuler
lain. Kedua adalah manajemen komplikasi (Setyopranoto, 2012).
Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah saraf merupakan hal yang
sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada aneurisma intrakranial. Pasien perdarahan
subaraknoid harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi
hemodinamiknya dan untuk meminimalkan rangsangan yang dapat menyebabkan
peningkatan TIK, minta pasien ditempatkan di ruang pribadi yang gelap, tenang, dan diberi
obat penenang ringan jika gelisah. Kepala tempat tidur harus dijaga tinggi pada 30 untuk
memastikan drainase vena yang optimal. Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology
Critical Care Unit yang secara signifikan akan memperbaiki luaran klinis (Becske T.,
2017).
Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous
pressure dan/atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri,
harus terus dilakukan. Untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, manipulasi
pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan; dapat diberikan analgesik dan
pasien harus istirahat total (Setyopranoto, 2012).
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan
hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35
mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial
seperti:
1. Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara signifikan
(50% dalam 30 menit pemberian).
2. Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial.
9
3. Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial masih
kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain (Becske T., 2017).
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan
pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya.
Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat
antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini
menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MAP diatas 130
mmHg. Analgesic seringkali diperlukan, obat-obat narkotika dapat diberikan berdasarkan
indikasi. Dua faktor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia
dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Calcium channel blocker
dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral
(Setyopranoto, 2012).
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa penambahan obat
cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat mencegah kejadian vasospasme serebral
dengan menurunkan resiko-resiko yang memperparah kejadian vasospasme serebral
(Becske T., 2017).
H. Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis
fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama,
yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan
ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati
dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol,
esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100
mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah
sistolik akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg.
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
(Setyopranoto, 2012).
10
I. Pathway
Aneurisma, MAV, Faktor Genetik, Hipertensi, Alkohol, Merokok, Narkoba
Perdarahan serebral
Afasia global
c) Eliminasi
Terjadi kelemahan otot panggul dan springter pada anus sehingga dapat
menyebabkan pasien mengalami konstipasi.
d) Aktivitas
Terjadi gangguan mobilitas akibat hemiparesis pada satu sisi anggota gerak.
Disarankan bed rest total.
e) Istirahat
Pasien istirahat dengan normal.
f) Pengaturan Suhu
Suhu tubuh pasien biasanya dalam batas normal.
g) Kebersihan/Hygiene
Pasien tidak dapat melakukan personal hygiene secara mandiri akibat kelemahan
yang dialami.
h) Rasa aman
Pasien dan keluarga biasanya merasa khawatir terhadap perubahan yang terjadi
seperti keemahan anggota gerak, gangguan berbicara dll.
i) Rasa Nyaman
Kadang pasien akan mengalami nyeri hebat pada bagian kepala yang
mengakibatkan pasien tidak nyaman serta merasa kepala berputar.
j) Sosial
Terjadi gangguan pada pasien saat berkomunikasi pada orang disekitarnya.
k) Pengetahuan/Belajar
Kebanyakan pasien tidak mengetahui penyakit yang dialaminya serta apa pemicu
munculnya stroke tersebut.
l) Rekreasi
Pasien tidak dapat bangun dari tempat tidur atau pun keluar rumah karena
disarankan bed rest total.
m) Spiritual
Pasien mungkin tidak dapat melakukan aktivitas spiritual seperti biasa karena
hambatan mobilitas fisik atau pun penurunan kesadaran.
7. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang mengalami gangguan
yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/ afaksia. Tanda – tanda vital : TD
meningkat, nadi bervariasi.
13
b) Sistem integument
Tidak tampak ikterus, permukaan kulit kering, tekstur kasar, perubahan warna
kulit; muka tampak pucat.
c) Kepala
Normo cephalic, simetris, biasanya terdapat nyeri kepala/sakit kepala.
d) Muka
Asimetris, otot muka dan rahang kekuatan lemah.
e) Mata
Alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor, sclera
ikterus (-/-), reflek cahaya positif. Tajam penglihatan tidak dapat dievalusai,mata
tampak cowong.
f) Telinga
Secret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal.
g) Hidung
Deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung
tidak ada.
h) Mulut dan faring
Biasanya terpasang NGT.
i) Leher
Simetris, kaku kuduk, tidak ada benjolan limphe nodul.
j) Thoraks
Gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi
resonan, rhonchi -/- pada basal paru, wheezing -/-, vocal fremitus tidak
teridentifikasi.
k) Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal
kanan dan ics 5 mid axilla kanan.perkusi dullness. Bunyi S1 dan S2 tunggal;
dalam batas normal, gallop(-), mumur (-). capillary refill 2 detik .
l) Abdomen
Terjadi distensi abdomen, Bising usus menurun.
m) Genitalia-Anus
Pembengkakan pembuluh limfe tidak ada., tidak ada hemoroid, terpasang kateter.
n) Ekstremitas
Akral hangat, kaji edema , kaji kekuatan otot , gerak yang tidak disadari , atropi
atau tidak, capillary refill, perifer tampak pucat atau tidak.
14
C. Rencana
Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Ketidakefektifan pola Pasien mampu a. Buka jalan nafas, guanakan
nafas berhubungan mempertahankan pola teknik chin lift atau jaw
dengan penurunan napas yang efektif. thrust bila perlu
kesadaran Kriteria hasil : b. Posisikan pasien untuk
a. Mendemonstrasikan memaksimalkan ventilasi
batuk efektif dan suara c. dentifikasi pasien perlunya
nafas yang bersih, tidak pemasangan alat jalan nafas
ada sianosis dan buatan
dyspneu (mampu d. Pasang mayo bila perlu
mengeluarkan sputum, e. Lakukan fisioterapi dada jika
mampu bernafas perlu
dengan mudah, tidak f. Keluarkan sekret dengan
ada pursed lips) batuk atau suction
b. Menunjukkan jalan g. Auskultasi suara nafas, catat
nafas yang paten adanya suara tambahan
(klien tidak merasa h. Lakukan suction pada mayo
tercekik, irama nafas, i. Berikan bronkodilator bila
frekuensi pernafasan perlu
dalam rentang normal, j. Berikan pelembab udara
tidak ada suara nafas Kassa basah NaCl Lembab
abnormal) k. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
l. Monitor respirasi dan status
O2
m. Bersihkan mulut, hidung dan
15
secret trakea
n. Pertahankan jalan nafas yang
paten
o. Atur peralatan oksigenasi
p. Monitor aliran oksigen
q. Pertahankan posisi pasien
r. Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
s. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Pemberian oksigen
Laboratorium :
Analisa gas darah,
lengkap dll
Pemberian obat
sesuai kebutuhan.
Baehr M, & Frotcsher M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. 4th ed. Jakarta : EGC.
Ganesen, S.S. 2016. Skripsi: Studi Penggunaan Nimodipin Pada Pasien Stroke Pendarahan
Subarakhnoid Non Traumatik Berdasarkan Gambaran Angiografi Serebral. Surabaya :
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Diakses pada tanggal 08 April 2018 dari
http://repository.unair.ac.id/54716/13/FF.FK.%2017-16%20Gan%20s-min.pdf.
Nurarif, A.H, & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Setyopranoto, Ismail. 2012. Penatalaksanaan Subarakhnoid. CDK-199 vol. 39 no.11. Diakses pada
tanggal 07 April 2018 dari http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_199 Penatalaksanaan%20
perdarahan%20subaraknoid.pdf.