Anda di halaman 1dari 13

Laporan Pendahuluan Cerebrovascular Disease

A. Definisi
Penyakit serebrovaskuler (stroke) adalah cedera pada otak akibat dari perubahan
aliran darah yang dapat dikelompokkan berdasarkan etiologinya menjadi iskemik dan
hemoragik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah pada sistem saraf
pusat (Kumar, Abbas, & Aster [Eds], 2015). Pada stroke ini, integritas pembuluh darah
terganggu dan terjadi pendarahan ke dalam jaringan otak atau ke dalam ruang yang
mengelilingi otak (biasanya intraserebral atau subarachnoid).
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Otak
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 3
pon (Price & Wilson, 2005). Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak
besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon (Black,
2005). Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks
serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan
area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, lobus
parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi
sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik
untuk impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks
penglihatan primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna
(Price & Wilson, 2005). Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi
oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya
dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang
mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan
kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh (Price & Wilson, 2005).
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan
mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting
untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air
liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon
merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa
traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan
penglihatan (Price & Wilson, 2005). Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus,
subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan
pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat
dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus
yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi
tubuh. Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang.
Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf
otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi. (Price & Wilson, 2005)
2. Sirkulasi darah otak
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen
tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya (Price & Wilson, 2005). Otak
diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis.
Dari dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk
sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi. Sirkulasi Willisi adalah area dimana
percabangan arteri basilar dan karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua
arteri serebral, arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua
arteri komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi
dari satu hemisfer ke hemisfer yang lain dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini
merupakan sistem yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh darah
arteri mengalami penyumbatan. Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem:
kelompok vena interna yang mengumpulkan darah ke vena galen dan sinus rektus,
dan kelompok vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak yang
mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan
seterusnya ke vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Stroke dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor risiko stroke sendiri
terbagi menjadi dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Contoh faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya: merokok, penyalahgunaan zat
(terutama kokain), obesitas, gaya hidup monoton, penggunaan kontrasepsi oral, alkoholik,
dan penggunaan phenylpropanolamine (PPA) yang ditemukan pada obat-obatan
antihistamin. Sementara itu, faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah atara lain:
 Umur: Risiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia seseorang.
 Seks: Pria memiliki insiden 30% lebih tinggi dari stroke, tapi wanita postmenopause
juga pada risiko lebih tinggi secara signifikan.
 Riwayat keluarga: Jika seseorang memiliki stroke, meningkatkan risiko stroke pada
anggota keluarga lainnya.
 Ras: Afrika-Amerika memiliki risiko lebih tinggi untuk stroke karena insiden
meningkat dari tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes.
 Infark miokard (MI): Riwayat MI menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk
stroke.
 Sejarah sakit kepala migrain: Pasien yang menderita migrain mungkin beresiko lebih
tinggi untuk stroke iskemik.
 Stroke sebelum: Pasien yang memiliki stroke berada pada risiko stroke yang lain.
 Penyakit sel sabit: Pasien dengan jenis gangguan beresiko untuk stroke di usia muda.
 Aneurisma Berry: Ini adalah daerah kantung-seperti kecil di dinding arteri di otak dan
umumnya ditemukan di persimpangan pembuluh di dasar otak; mereka bisa pecah
tanpa peringatan, menyebabkan perdarahan di dalam otak.
Selain itu terdapat faktor risiko yang dapat diubah melalui manajemen kolaboratif, yaitu:
 Tekanan darah tinggi (HBP): HBP dapat dikelola dengan kombinasi terapi obat, diet,
dan olahraga.
 Kadar kolesterol yang tinggi: Pasien dengan kolesterol tinggi dapat mengurangi risiko
stroke sebesar 30% melalui perubahan gaya hidup dan terapi obat.
 Serangan iskemik transien (TIA): Ketika pasien memiliki gejala TIA, mereka harus
mencari perhatian medis segera untuk terapi antikoagulan untuk mencegah
kemungkinan stroke.
 Penyakit jantung: Aterosklerosis dan fibrilasi atrium adalah faktor risiko utama untuk
stroke, tetapi jika didiagnosis dini, mereka dapat dikontrol dengan terapi obat.
 Diabetes: kontrol diabetes Konsisten sangat penting untuk menurunkan risiko stroke.
 Gangguan pembekuan darah: Pasien dengan masalah pembekuan berada pada risiko
tinggi untuk stroke trombotik dan memerlukan antikoagulan preventif.
 Sleep apnea: Pasien dengan sleep apnea memiliki 3-6 kali risiko stroke. Penurunan
berat badan dan / atau menggunakan perangkat pernapasan di malam hari disebut
mesin continuous positive airway pressure (CPAP) dapat mengelola masalah ini.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada pasien stroke bergantung pada area yang terkena. Berikut adalah
contoh perubahan yang terjadi pada pasien stroke.

Arteri Carotis
Arteri
A. Oftalmika A. Cerebri A. Cerebri A. Cerebri
Vertebrobasiler
media anterior poterior
 Kebutaan satu  Hemiparese/  Hemiparese  Koma Kelumpuhan
mata monoparese (tungkai lebih  Hemiparese disatu sampai
amaurosis kontralateral lemah daripada kontralateral ke-4 ekstremitas
fugak (lengan lebih tangan)  Afasia visual Meningkatnya
(sementara) sering  Defisit sensori (buta kata) refleks tendon
 Buta warna/ daripada kontralateral  Kelumpuhan Ataksia
penglihatan tungkai)  Demensia, syaraf Tanda babinski
kabur  Hemianastesia, gerakan  kranialis 3: bilateral
 Shade kadang menggenggam,  hemianopsia, Disfagia
hemiopsia reflek Disathria
koreoatosis
(kebutaan) patologik Tremor,
kontralateral (disfungsi intention, dan
 Afasia global lobus frontal) vertigo(gejala

 disfasia serebellum)
Sinkop, stupor,
koma, pusing,
dan gg. daya
ingat
Diplopia,
nistagmus
Tinitus dan
gg.pendengaran
Rasa baal di
wajah, mulut
atau lidah

Fitur Hemisfer kiri Hemisfer kanan


Bahasa Aphasia Gangguan rasa humor
Agraphia
Alexia
Memori Kemungkinan defisit Disorientasi WTO, Ketidakmampuan
mengenali wajah
Penglihatan Ketidakmampuan membedakan kata Defisit spasial pandangan, pengabaian
dan huruf, masalah membaca, lapang pandang kiri, hilangnya persepsi
penurunan lapang pandang kanan kedalaman
Perilaku Kelambatan, kehati-hatian, Impulsive, kurang sadar terhadap
kecemasan saat mencoba tugas baru, gangguan neurologi, konfabulasi,
depresi atau respon katastropik euphoria, tersenyum terus menerus,
terhadap penyakit, rasa bersalah, penyangkalan terhadap penyakit,
merasa tidak berharga, khawatir penilaian yang buruk, memiliki estimasi
terhadap masa depan, mudah marah berlebihan terhadap kemampuan.
dan frustasi, gangguan intelektual
Pendengaran Tidak ada gangguan Hilangnya kemampuan untuk mendengar
variasi nada

E. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage [ICH]) menggambarkan
perdarahan ke dalam jaringan otak umumnya dihasilkan dari hipertensi berat. Tekanan
darah tinggi menyebabkan perubahan dalam dinding arteri yang meninggalkan
kemungkinan pecah. Kerusakan otak terjadi akibat pendarahan, menyebabkan edema,
distorsi, dan perpindahan, yang mengiritasi langsung jaringan otak. Stroke hemoragik
lebih sering terjadi dengan peningkatan tekanan darah yang drastis dan tiba-tiba, seperti
yang terlihat pada penyalahgunaan kokain (Ignatavicius & Workman, 2013).
Perdarahan subarachnoid (SAH) jauh lebih umum dan hasil dari pendarahan ke dalam
ruang subarachnoid, ruang antara pia mater dan lapisan arachnoid dari meninges yang
menutupi otak. Jenis perdarahan biasanya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau
arteriovenous malformation (Mink & Miller, 2011).
Aneurisma adalah penggelembungan yang abnormal atau blister sepanjang arteri
normal, yang biasanya berkembang di tempat yang lemah pada dinding arteri, biasanya di
sepanjang sirkulasi posterior seperti arteri basilar, arteri vertebralis, atau arteri serebral
superior. Aneurisma yang lebih besar berisiko tinggi untuk pecah dibanding yang kecil.
Pecahnya aneurisma menyebabkan perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, ventrikel,
dan / atau jaringan intraserebral. Vasospasme, penyempitan tiba-tiba dan periodik dari
arteri serebral, sering hasil dari pendarahan otak akibat pecahnya aneurisma. Aliran darah
ke daerah distal dari otak disuplai oleh arteri yang nyata berkurang, yang mengarah ke
iskemia serebral dan infark dan disfungsi neurologis lebih lanjut.
Malformasi arteri (arteriovenous malformation [AVM]) adalah kelainan langka yang
terjadi selama perkembangan embrio yang memiliki gambaran pembuluh darah dengan
malformasi massa yang kusut atau seperti spaghetti, berdinding tipis, dan melebar. Tidak
adanya jaringan kapiler secara kongenital membentuk komunikasi abnormal antara sistem
arteri dan vena. Pembuluh akhirnya dapat pecah, menyebabkan perdarahan ke dalam
ruang subarachnoid atau ke dalam jaringan intraserebral, karena biasanya jaringan kapiler
menurunkan tekanan antara sistem arteri dan vena. Akibat tidak adanya jaringan kapiler,
vena berdinding tipis yang menjadi sasaran tekanan arteri (Ignatavicius & Workman,
2013).
F. Diagnostik penunjang
Setiap pasien dengan dugaan stroke yang harus menjalani CT scan atau MRI untuk
menentukan jenis stroke, ukuran dan lokasi hematoma, dan ada atau tidak adanya
ventrikel darah dan hidrosefalus. Cerebral angiography mengkonfirmasi diagnosis
aneurisma intrakranial atau AVM. Tes ini menunjukkan lokasi dan ukuran lesi dan
memberikan informasi tentang arteri yang terkena, vena, pembuluh sebelah, dan cabang
pembuluh darah. Pungsi lumbal dilakukan jika tidak ada bukti peningkatan ICP, hasil CT
scan negatif, dan untuk konfirmasi perdarahan subarachnoid. Pungsi lumbal dengan
adanya peningkatan ICP bisa mengakibatkan otak herniasi batang atau perdarahan ulang.
Ketika mendiagnosis stroke hemoragik pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun,
beberapa dokter melakukan skrining toksikologi untuk penggunaan narkoba.
G. Pengkajian
Pengkajian awal dan termasuk evaluasi neurologis lengkap dilakukan sebagai berikut
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010):
• Tingkat perubahan kesadaran
• Reaksi pupil lamban
• Disfungsi motorik dan sensorik
• Defisit saraf kranial (gerakan mata ekstraokular, wajah terkulai, adanya ptosis)
• Kesulitan berbicara dan gangguan penglihatan
• Sakit kepala dan kaku kuduk atau defisit neurologis lainnya
Semua pasien harus dipantau di unit perawatan intensif setelah perdarahan intraserebral
atau subarachnoid. Neurologis temuan penilaian didokumentasikan dan dilaporkan
kondisi pasien memerlukan penilaian ulang dan dokumentasi menyeluruh; perubahan
harus segera dilaporkan. Perubahan tingkat kesadaran sering adalah tanda awal kerusakan
pada pasien dengan stroke hemoragik. Karena perawat memiliki kontak yang paling
sering dengan pasien, mereka berada dalam posisi terbaik untuk mendeteksi perubahan
halus. Mengantuk ringan dan sedikit slurring dalam berbicara mungkin tanda-tanda awal
bahwa tingkat kesadaran memburuk.

Pengkajian Temuan
Aktivitas/Istirahat kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan; kehilangan sensasi
atau paralisis; gangguan tonus otot; gangguan penglihatan; gangguan
tingkat kesadaran
Sirkulasi Adanya penyakit jantung; polisitemia; riwayat hipotensi postural;
hipertensi arterial; perubahan EKG; desiran pada karotis, femoralis, dan
arteri iliaka/ aorta yang abnormal
Integritas Ego Perasaan tidak berdaya; perasaan putus asa; emosi yang labil; kesulitan
untuk mengekspresikan diri
Eliminasi Perubahan pola berkemih inkontinensia, anuria; distensi abdomen
( distensi kandung kemih berlebihan ); bising usus negatif ( ileus paralitik)
Makanan/ Cairan Dyspagia/ kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan
faringeal); obesitas (faktor resiko); nafsu makan hilang; mual, muntah
selama fase akut (peningkatan TIK); kehilangan sensasi (rasa kecap) pada
lidah, pipi dan tenggorokan; adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak
dalam darah.
Hygiene Tercium bau tidak sedap; tampak kotor; berantakan; penggunaan baju
yang tidak sesuai
Neurosensori Status mental/ tingkat kesadaran; penurunan memori dan pemecahan
masalah; ekstremitas/ paralysis; genggaman tidak sama; refleks tendon
melemah secara kontralateral; pada wajah terjadi paralisi/ parese
(ipsilateral); afasia motorik, reseftif/ sensorik; kehilangan rangsang
visual; kehilangan rngsang pendengaran taktil/ agnosia); kehilangan
kemampuan menggunakan motorik saat pasien ingin menggunakannya
(apraksia); ukuran/ reaksi pupil tidak sama; dilatasi/ miosis pupil
ipsilateral ( perdarahan/ herniasi); kekakuan nukal biasanya karena
perdarahan; kejang karena adanya pencetus perdarahan; penglihatan
menurun/ ganda; sakit kepala; kesemutan
Nyeri/ Tingkah laku yang stabil/ gelisah, ketegangan pada otot/ fasia; sakit
kenyamanan kepala dengan intensitas yang berbeda- beda
Pernafasan Merokok; ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas;
timbulnya pernafasan sulit dan / atau tidak teratur; suara nafas terdengar/
Pengkajian Temuan
ronki (aspirasi sekresi)
Keamanan Motorik/ sensorik, masalah dengan penglihatan; perubahan persepsi
terhadap orientasi tempat tubuh; kesulitan untuk melihat obyek kesisi kiri
(pada stroke kanan); hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang
sakit; tidak mampu mengenali obyek , warna/ kata dan wajah yang pernah
dikenalnya dengan baik; gangguan berespon terhadap panas dan dingin/
gangguan regulasi suhu tubuh; kesulitan dalam menelan, tidak mampu
memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri; gangguan dalam memutuskan
perhatian sedikit terhadap keamanan, tidak sabar/ kurang kesadaran diri
(stroke kanan)
Interaksi sosial Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi;
Penyuluhan Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, kecanduan alkohol, merokok
Pembelajaran

H. Rencana Asuhan Keperawatan Pasien dengan Stroke Hemoragik


1. Nyeri akut b.d peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama 3x24 jam, mengatakan nyeri
hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang, Tanda-tanda vital
normal, pasien tampak tenang dan rileks.
Intervensi Keperawatan
 Pantau tanda-tanda vital, intensitas/skala nyeri, lokasinya, lamanya, faktor yang
memperburuk atau meredakan. (Rasional: Mengenal & memudahkan dalam
melakukan tindakan keperawatan. Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan
dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor berhubungan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memilih intervensi yang tepat dan
untuk mengevaluasi keefektifan dari yang diberikan).
 Anjurkan klien istirahat ditempat tidur. (Rasional: istirahat untuk mengurangi
intesitas nyeri).
 Atur posisi pasien senyaman mungkin. (Rasional: posisi tepat mengurangi
penekanan & mencegah ketegangan otot serta mengurangi nyeri).
 Ajarkan teknik relaksasi & napas dalam. (Rasiona: relaksasi mengurangi
ketegangan & membuat perasaan lebih nyaman).
 Berikan kompres dingin. (Rasional : Meningkatkan sirkulasi pada otot yang
meningkatkan relaksasi dan mengurangi ketegangan).
 Hindari valsava maneuver (misal mengejan saat BAB, membungkuk,batuk).
(Rasional : Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala
pada adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral.
 Kolaborasi buat pemberian analgetik. (Rasional : analgetik berguna buat
mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman).
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuler
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam, mobilitas fisik
meningkat secara bertahap
Kriteria Evaluasi : mempertahankan posisi yang optimal ditandai dengan tidak adanya
tanda kontraktur, footdrop (-), mempertahankan kekuatan otot, mampu melakukan
ROM, aktif dan pasif secara bertahap.
Intervensi Keperawatan :
 Kaji kemampuan fungsional/luasnya gangguan sejak awal, klasifikasikan dalam
skala 0-4. (Rasional: mengidentifikasikan kekuatan/defisiensi dan dapat
memberikan informasi terhadap usaha penyembuhan. Pada stroke akan terjadi
peningkatan kemampuan motorik setelah 3-5 hari paska serangan, hal ini
disebabkan karena pada hari tersebut telah dimulai proses absorbsi edema yang
dapat meningkatkan sirkulasi serebral dan mengurangi tekanan serebral (Hickey,
1997).
 Lakukan terapi fisik yang di fokuskan pada latihan gerak pasif dan aktif (jika
pasien sadar) minimal 4 kali dalam sehari. (Rasional : latihan gerak aktif
meningkatkan massa otot, tonus otot dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi
jantung akibat tirah baring. Bila otot-otot volunter tidak digunakan makan akan
kehilangan kekuatannya sehingga perlu dilakukan latihan gerak pasif. Hal ini
dapat mengimbangi paralysis melalui penggunaan otot yang masih mempunyai
fungsi normal, membantu mempertahankan dan membentuk adanya kekuatan dan
mengontrol otot-otot yang mengalami gangguan serta mempertahankan
kemampuan ROM sehingga tercegah dari kontraktur dan atropi
(www.healtoz.com, 2006). Terapi ini merupakan terapi keperawatan berdasarkan
teori keperawatan Florence Nightingale (Modern Nursing), karena dalam teori ini
bertujuan memberikan kondisi alamiah yang baik bagi pasien sehingga tulang,
otot-otot serta syaraf dapat berfungsi kembali. Terapi tersebut bertujuan untuk
mengembalikan kondisi tubuh dalam keadaan mampu berakomodasi/bergerak
seperti sebelum sakit.
 Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam jika pasien
dapat mentoleransi. (Rasional : membantu mempertahankan ekstensi pinggul
fungsional, tetapi penting kita kaji kemampuan pasien akan bernapas).
 Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board)
selama periode paralysis flaksid. (Rasional : mencegah kontraktur/foot drop dan
memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralysis flaksid dapat
mengganggu kemampuan untuk menyangga kepala, dilain pihak paralysis spastic
dapat mengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi [Lewis, Heitkemper, dan
Dirksen, 2000]).
 Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan posisi
kelurusan postur tubuh seperti ; hindari duduk/berbaring dalam waktu lama pada
posisi yang sama, ubah posisi send bahu tiap 2-4 jam, gunakan bantal kecil atau
tanpa bantal dalam posisi fowler, sangga tangan dan pergelangan pada kelurusan
alamiah, gunakan bebat pergelangan tangan. (Rasional : imobilisasi dan
kerusakan fungsi neurosensori yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kontraktur permanent, hindari posisi duduk/berbaring yang lama dimaksudkan
untuk mencegah kontraktur fleksi panggul, ubah posisi bahu mencegah kontraktur
bahu, sangga tangan mencegah edema dependen dan kontraktur fleksi pada
pergelangan, dan bebat tangan mencegah kontraktur fleksi/ekstensi jari
[www.neuro.wust.edu, 2006]).
 Siapkan pasien untuk mobilisasi progresif. Pertahankan bagian kepala tempat tidur
sedikitnya 30 derajat kecuali ada indikasi, Bantu pasien secara bertahap dari
berbaring ke posisi duduk dan biarkan paisen menjuntaikan kaki disamping
tempat tidur untuk beberapa saat sebelum berdiri. Saat latihan awal batasi latiha
turun dari tempat tidur tidak lebih dari 15 menit 3 kali sehari, motivasi pasien
untuk berjalan singkat tapi sering dengan bantuan bila belum stabil, tingkatkan
jarak berjalan tiap hari. (Rasional : tirah baring lama menyebabkan penurunan
volume darah yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.
Peningkatan aktivitas secara bertahap akan menurunkan keletihandan
meningkatkan ketahanan. Secara bertahap Bantu pasien maju dari ROM aktif ke
aktifitas fungsional, sesuai indikasi dan anjurkan orang terdekat untuk
berpartisipasi atau kita sebut sebagai terapi kerja. Dengan latihan ini pasien
diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisinya (Rasional : mendorong pasien
untuk melakukan aktivitas secara teratur. Terapi kerja berfokus pada latihan
aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, dll. Terapi kerja mengembangkan alat
dan teknik khusus yang mengijinkan perawatan sendiri yang dapat memberikan
motivasi bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup normal
(www.strokecenter.com, 2006). Terapi keperawatan ini berlandaskan pada teori
keperawatan Sister Calista Roy (Adaptation Model). Di mana teori ini
mengemukakan bahwa individu sebagai mahluk biopsikososial dan spiritual
sebagai satu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Tujuan terapi ini pasien mampu beradaptasi
dengan kemungkinan handicap yang akan dialami paska stroke. Kolaborasi
dengan fisioterapi. Jelaskan pada pasien dan keluarga adanya terapi khusus bagi
pasien pasca stroke seperti constrainit induced treatment program yaitu cara
penatalaksanaan pada paralysis yang terjadi setelah terkena stroke dan cedera
otak. Cara ini menjanjikan dapat meningkatkan fungsi tubuh pada seseorang rata-
rata setahun setelah stroke).
3. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot dan kehilangan kontrol otot
akibat terganggunya neuromuskular.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, kebutuhan ADL
terpenuhi dan terjadi peningkatan kemampuan untuk memenuhinya sampai mandiri.
Kriteria evaluasi : kebutuhan makanan dan minuman terpenuhi, badan bersih, pakaian
bersih dan rapi, berangsur-angsur mendemonstrasikan perubahan tingkah laku dalam
merawat diri, menampilkan aktivitas perawatan diri secara mandiri, mengidentifikasi
sumber-sumber bantuan.
Intervensi Keperawatan :
 Kaji kemampauan ADL pasien (Rasional : membantu menentukan/merencanakan
intervensi sesuai kebutuhan).
 Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi,
berpakaian,BAK, dan BAB. (Rasional : karena pasien mengalami penurunan
kekuatan otot sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
maka perawat harus membantu pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan
untuk mencegah erjadinya masalah lanjut bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi,
seperti; gangguan nutrisi, gangguan eleminasi, gangguan integritas kulit dll.
Intervensi ini berlandaskan pada teori Virginia Henderson (14 Human Needs)
karena perawat berupaya memenuhi kebutuhan nutrisi, eleminasi, berpakaian,
kebersihan diri pasien).
 Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan.
 Hindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuan
bila diperlukan. (Rasional : penting bagi pasien untuk melakukan kegiatan
sebanyak mungkin yang dia bisa untuk mempertahankan harga diri dan
meningkatkan pemulihan).
 Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan
keputusan. (Rasional : Mengidentifikasi perlunya intervensi tambahan untuk
meningkatkan keamanan).
 Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk
mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang
telah dilakukan (Rasional : Pasien membutuhkan perasaan empati, tetapi perlu
mengetahui bahwa pemberi asuhan bersifat konsisten. Intervensi ini menggunakan
teori keperawatan Jean Watson (Phyloshopy and Science of Caring) dimana
perawat harus bersikap memahami apa yang dirasakan pasien dan menghargai
kemampuan yang dimiliki pasien, serta memperhatikan kewajiban-kewajiaban
yang harus dilakukan oleh pasien jangan sampai terlupakan).
 Kaji kemampuan pasien untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, misal; lapar,
mengosongkan kandung kemih dll. (Rasional : mengetahui kebutuhan pasien
yang belum terpenuhi, sehingga perawat dapat membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhannya).
 Dekatkan makanan dan peralatan yang dibutuhkan pasien di sisi tempat tidur yang
mudah di jangkau dan motivasi pasien untuk memenuhi kebutuan ADL nya secara
bertahap. (Rasional : Membantu memudahkan pasien untuk menggunakannya.
Intervensi ini berlandaskan pada teori keperawatan Dorothea Orem (self care
model) dalam teori ini perawat memberikan pelayanan langsung pada pasien
dalam bentuk intervensi keperawatan, memberikan arahan dan memfasilitasi
kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, dan
memberikan dorongan secara fisik dan psikologis agar pasien dapat
mengembangkan potensinya sehingga dapat melakukan perawatan mandiri.
Tujuan pada intervensi ini adalah perawat ingin melatih pasien mandiri dalam
memenuhi kebutuhan ADL nya).
Referensi

Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2013) Medical-surgical nursing: Patient-centered


collaborative care. (7th ed.). St. Louis: Elsevier Saunders.

Kumar, V., Abbas, A.K., & Aster, J.C. (Eds). (2015). Robbins and Cotran pathologic basis
of disease. ( 9th ed.).

Lewis, Sharon, M., Heitkemper, Margaret, M., & Direksen, S. (2000). Medical Surgical
Nursing; assessment and management of clinical problem. Fifth edition. St. Louis :
Cv. Mosby.

Mink J., Miller J. Opening the window of opportunity for treating acute ischemic stroke.
Nursing2011. 2011;41(1):24–32.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner and Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. (12th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer
Health / Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai